• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Dan Faktor Risiko Trematodosis Pada Sapi Potong Di Sentra Peternakan Rakyat (Spr) Kasiman, Kabupaten Bojonegoro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Dan Faktor Risiko Trematodosis Pada Sapi Potong Di Sentra Peternakan Rakyat (Spr) Kasiman, Kabupaten Bojonegoro"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO TREMATODOSIS

PADA SAPI POTONG DI SENTRA PETERNAKAN RAKYAT

(SPR) KASIMAN, KABUPATEN BOJONEGORO

WIROKARTIKO SATYAWARDANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Prevalensi dan Faktor Risiko Trematodosis pada Sapi Potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kasiman, Kabupaten Bojonegoro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

WIROKARTIKO SATYAWARDANA. Prevalensi dan Faktor Risiko Trematodosis pada Sapi Potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR SATRIJA.

Trematodosis pada sapi adalah penyakit penting yang disebabkan oleh trematoda yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada peternakan sapi potong dan sapi perah. Studi cross sectional dilakukan untuk menentukan prevalensi dan faktor risiko trematodosis pada sapi potong yang dilaksanakan dari bulan Agustus 2014 sampai bulan Maret 2015 di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Sebanyak 533 sampel tinja secara acak diambil dari peternakan sapi potong tradisional. Sampel diperiksa untuk keberadaan telur trematoda dengan metode modifikasi filtrasi dan sedimentasi. Prevalensi trematodosis dihubungkan dengan kategori musim, umur, jenis kelamin, pola pemeliharaan dan padang penggembalaan yang dianalisis statistik dengan uji Chi-square.

Jenis trematoda yang ditemukan pada sapi potong adalah Paramphistome dan Fasciola sp. dengan masing-masing prevalensi sebesar 1.31% dan 0.94%. Prevalensi trematodosis yang ditemukan pada sapi potong di Kecamatan Kasiman Bojonegoro sebesar 2.25% dengan kejadian penyakit tertinggi terjadi pada musim hujan. Faktor risiko yang berpengaruh nyata terhadap infeksi trematoda adalah lokasi padang penggembalaan dimana padang penggembalaan sebelah Timur menimbulkan risiko 7.9 kali lebih besar terhadap terjadinya trematodosis.

(5)

SUMMARY

WIROKARTIKO SATYAWARDANA. Prevalence and Risk Factor of Beef Cattle Trematodosis in ‘Sentra Peternakan Rakyat’ Subdistrict of Kasiman, District of Bojonegoro. Supervised by YUSUF RIDWAN and FADJAR SATRIJA.

Bovine trematodosis is an important disease caused by trematode resulting in considerable economic losses to the beef and dairy farming. A cross sectional study was conducted to determine the prevalence and risk factor of trematodosis in beef cattle during period from August, 2014 to March, 2015 in sub district of Kasiman, district of Bojonegoro. A total of 533 bovine fecal samples were randomly collected from traditionally management of beef cattle. The samples were examined for the presence of trematode egg by modification filtration and sedimentation methode. Prevalence of trematodosis associated with category of season, age, sex, husbandry of animal and grazing location was analized statistically by Chi-square.

The trematodes were Paramphistome and Fasciola sp. with prevalence 1.31% and 0.94% respectivelly. Trematodosis prevalence found in beef cattle in the sub district of Kasiman district of Bojonegoro of 2.25% with the highest incidence of the disease occurs during the rainy season. The risk factors that affect significantly the trematode infection is the grazing location where the East pasture paddocks pose a risk 7.9 times greater on the occurrence trematodosis.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO TREMATODOSIS

PADA SAPI POTONG DI SENTRA PETERNAKAN RAKYAT

(SPR) KASIMAN, KABUPATEN BOJONEGORO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Prevalensi dan Faktor Risiko Trematodosis pada Sapi Potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro

Nama : Wirokartiko Satyawardana NIM : B252140071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr drh Yusuf Ridwan, MSi Ketua

drh Fadjar Satrija, MSc PhD Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof drh Upik Kesumawati Hadi, MS, PhD

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc, Agr

Tanggal Ujian: 17 November 2016

(11)

PRAKATA

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Prevalensi dan Faktor Risiko Trematodosis pada Sapi Potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Yusuf Ridwan, MSi dan Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis, serta kepada Dr drh Elok Budi Retnani, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian tesis. Terima kasih kepada keluarga penulis yaitu Ratna Noor Hikmah (istri), Girindra Wardhana dan Wikrama Jaya Wardhana (anak) yang telah menjadi pemberi semangat dan menjadi penghias keseharian penulis sebagai mahasiswa. Terima kasih pula kepada drh Mulyanto, MM (Sekretaris Badan Karantina Pertanian) dan drh Sujarwanto, MM (Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani) atas kesempatan yang diberikan untuk meningkatkan kompetensi kepada penulis serta segenap keluarga Ibunda Romlah, drh Wikrama Satyadarma dan drh R Nurcahyo Nugroho MSi atas segala doa dan dukungannya. Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa dukungan pendanaan dari Penelitian Institusi IPB tema Peningkatan Sistem Produksi dan Keamanan Ternak Ruminansia. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pula kepada seluruh sivitas akademika Institut Pertanian Bogor, rekan dan kolega di Prodi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, GPPT dan anggota SPR Kasiman, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro serta semua pihak yang telah memberikan banyak kontribusi positif selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah yang dipersembahkan tidaklah sempurna, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(12)

DAFTAR ISI

Kondisi Geografis dan Iklim Wilayah 9

Karakteristik Peternakan 9

Prevalensi Trematodosis di SPR Kasiman 10

Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Infeksi Trematoda 12

(13)

DAFTAR TABEL

1 Data Iklim (Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban) Rata-rata di

Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro 9

2 Komposisi, Prevalensi dan Rataan Ukuran Telur Setiap Jenis Trematoda pada Sapi Potong di Kecamatan Kasiman Kabupaten

Bojonegoro 12

3 Prevalensi Trematodosis Berdasarkan Musim 12

4 Prevalensi Trematodosis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin 13 5 Prevalensi Trematodosis Berdasarkan Kategori Manajemen 14

DAFTAR GAMBAR

1 Telur Cacing pada Ruminansia 4

2 Beberapa Variasi Siklus Hidup Trematoda pada Hewan Domestikasi 5 3 Kondisi Umum Pemeliharaan Sapi Potong di Kecamatan Kasiman

Kabupaten Bojonegoro 10

4 Hasil Identifikasi Telur Trematoda Trematoda pada Sapi Potong di

Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner Trematodosis pada Sapi Potong (Sentra Peternakan Rakyat

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan protein hewani terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kapasitas sosioekonomi masyarakat. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar merupakan potensi pasar (konsumen) pangan hewani yang besar. Kebutuhan daging sapi dalam negeri baru terpenuhi 70 % dari sapi lokal, sisanya sebesar 30% berasal dari impor. Pemerintah Republik Indonesia telah mencanangkan program swasembada daging sapi untuk mengurangi jumlah impor daging. Program swasembada daging sapi berhasil bila porsi impor baik berupa sapi bakalan maupun daging sapi beku maksimum sebesar 10% dari konsumsi daging sapi dalam negeri (Ashari et al. 2012; Matondang dan Rusdiana 2013; Ariningsih 2014).

Kabupaten Bojonegoro merupakan sentra perkembangbiakan populasi ternak yang potensial dalam pengembangan ternak sapi. Tercatat populasi sapi potong pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar 5.99% dari 160,037 ekor menjadi 169,639 ekor (BPS 2014). Untuk meningkatkan populasi sapi, pemerintah daerah kabupaten Bojonegoro menerapkan beberapa strategi diantaranya adalah dengan membentuk Sentra Peternakan Rakyat (SPR). SPR dibentuk bekerjasama dengan perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor guna mewadahi para peternak yang ada di kecamatan-kecamatan yang potensial di bidang pembibitan sapi, yaitu kecamatan yang memiliki sekitar 1000 ekor sapi betina dan minimal 100 ekor sapi jantan (Kementan 2015). Kecamatan Kasiman merupakan satu dari tiga kecamatan tempat didirikannya SPR di Kabupaten Bojonegoro dengan populasi sapi potong pada tahun 2014 sebanyak 5552 ekor yang terdiri dari 4608 ekor sapi betina dan 944 ekor sapi jantan (BPS 2014).

Ternak yang dipelihara baik secara ekstensif maupun yang dipelihara secara intensif tidak lepas dari berbagai kendala termasuk penyakit akibat cacing parasit. Infeksi cacing parasit dapat merugikan secara ekonomis, karena dapat menurunkan produktivitas ternak (Tantri et al. 2013). Trematodosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan cacing parasit dari kelompok trematoda yang keberadaannya sering terabaikan (Affroze et al. 2013; Khedri et al. 2015). Kejadian trematodosis di Indonesia pada sapi lebih tinggi jika dibandingkan pada kerbau. Prevalensi trematodosis di Indonesia bervariasi antara 20 – 61 % dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 32 juta dolar (FAO 2016). Widjajanti (2004) menyatakan bahwa Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. adalah spesies trematoda yang umum ditemukan di Indonesia. Fasciolosis umumnya berjalan secara kronis tetapi pada beberapa kasus bersifat akut. Pada kejadian kronis, terjadi kerusakan pada hati yang menyebabkan gangguan metabolisme lemak, protein dan karbohidrat, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup, anemia dan dapat menyebabkan kematian. Paramphistomum sp. menimbulkan Paramphistomosis yang merupakan penyakit parasitik gastrointestinal pada hewan ternak yang menyebabkan kerugian ekonomi yang ditandai dengan penurunan produktivitas (Choudary et al. 2015).

(15)

antara dan inang definitif memiliki hubungan potensial dalam menentukan faktor risiko kejadian penyakit (Khan et al. 2008). Penelitian ini dilakukan di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kasiman Kabupaten Bojonegoro yang merupakan salah satu kantong ternak sapi di wilayah Jawa Timur. Dalam rangka peningkatan produktivitas diperlukan data penyakit khususnya trematodosis agar program pengendalian penyakit tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi potong.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1 Mengidentifikasi jenis Trematoda pada sapi potong di SPR Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.

2 Mengukur prevalensi trematodosis pada sapi potong berdasarkan tingkat umur, jenis kelamin sapi, sistem pengembalaan dan musim yang berbeda.

3 Menganalisis dan menentukan faktor risiko infeksi Trematoda pada sapi potong di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kejadian trematodosis dan faktor risiko sapi potong terhadap infeksi Trematoda. Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar penyusunan program pengendalian trematodosis pada sapi potong.

(16)

2

TINJAUAN PUSTAKA

SPR Kasiman

Sentra Peternakan Rakyat (SPR) merupakan suatu kawasan tertentu sebagai media pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang di dalamnya terdapat populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar pemukim di satu desa atau lebih, serta sumber daya alam untuk kebutuhan hidup ternak (air dan bahan pakan). Di dalam SPR, terdapat Sekolah Peternakan Rakyat (Sekolah PR) yang merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun kesadaran peternak dan mendorong tindakan kolektif. Melalui SPR, peternak berskala kecil baik individu maupun yang sudah tergabung dalam kelompok atau asosiasi didorong untuk berkonsolidasi membangun perusahaan kolektif yang dikelola secara profesional dalam satu manajemen. Ini merupakan salah satu upaya untuk menjadikan peternak berdaulat dan memiliki posisi tawar lebih tinggi (Kementan 2015).

Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten sentra perkembangbiakan populasi ternak, utamanya sapi dan domba, di Provinsi Jawa Timur. Ketika menjabat Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Prof. Muladno senantiasa mempromosikan Kabupaten Bojonegoro sebagai sentra SPR, namun, ada beberapa kelemahan yakni belum adanya tata kelola manajemen yang bagus dan peternakan masih belum terorganisir. Oleh karena itu, dibentuklah bebrapa SPR di Kabupaten Bojonegoro yang salah satunya adalah SPR Mega Jaya yang terletak di Dusun Ngantru Desa Sekaran Kecamatan Kasiman. Dengan pengelolaan secara kelompok ini, membawa efek bisnis yang positif yang salah satunya akan mendapatkan alokasi dana dari bidang Peternakan maupun Kesehatan Hewan. (Pemkab Bojonegoro 2016).

Trematoda pada Sapi Potong

Trematoda, atau cacing daun merupakan kelas dari filum Platyhelminthes. Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan parenkim. Tubuh umumnya berbentuk seperti daun, pipih dorsoventral, dan tidak bersegmen. Terdapat tiga kelompok trematoda utama yaitu Monogenea, Aspidogastrea dan Digenea. Monogenea, atau trematoda monogenetik, kebanyakan merupakan ektoparasit pada ikan dan amfibi. Aspidogastrea merupakan parasit pada moluska dan vertebrata air tawar dan air laut. Digenea, atau trematoda digenetik, meliputi semua parasit cacing daun pada hewan domestikasi (Levine 1990; Schmidt dan Roberts 2000). Telur trematoda cenderung memiliki warna keemasan hingga coklat gelap dan memiliki operkulum pada salah satu ujungnya. Telur trematoda memiliki ukuran bervariasi antara 20-200 mikron. Telur trematoda cenderung padat dan tidak mengapung sebagaimana telur nematoda pada pemeriksaan metode flotasi (Bowman 2014).

(17)

Spesies trematoda yang umum ditemukan di Indonesia adalah Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. (Arsani et al. 2015). Fasciola gigantica memiliki bentuk tubuh seperti daun dengan ukuran dewasa 7.5 cm. Hidup di saluran empedu pada inang definitifnya. Memiliki ukuran telur 190 x 100 μm (Urquhart 1996). Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, seperti buah pir. Cacing dewasanya berukuran panjang sekitar 1 cm hidup di rumen dan retikulum. Memiliki ukuran telur 120 x 70μm (Purwanta et al. 2009; Bowman 2014).

Gambar 1. Telur cacing pada ruminansia (Taylor et al, 2007) Siklus Hidup

Siklus hidup trematoda digenetik bersifat kompleks membutuhkan satu atau lebih inang antara. Satu dari inang antara hampir selalu siput. Siklus hidup trematoda digenetik melibatkan sejumlah bentuk larva yang berbeda-beda, beberapa di antaranya ikut bereproduksi. Cacing hati dewasa dalam saluran empedu memproduksi telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu, kandung empedu dari inang. Telur terbawa ke dalam usus dan meninggalkan tubuh bersama feses (Levine, 1990).

Telur di lingkungan tidak dapat berkembang dibawah suhu 10 ºC, tetapi dapat berkembang dengan baik pada suhu 10 ºC sampai 26 ºC (Levine, 1990). Telur dari banyak spesies Trematoda menetas bebas dalam air, sedangkan pada spesies yang lain hanya menetas jika tertelan oleh inang perantara yang cocok. Cahaya dan tekanan osmotik penting dalam stimulasi penetasan untuk spesies

(18)

yang menetas di dalam air. Cahaya juga diperlukan untuk merangsang aktivitas penetasan telur trematoda (Schmidt dan Roberts 2000).

Telur Trematoda akan menetas menjadi larva yang bersilia yang disebut mirasidium hanya jika telur tersebut masuk ke dalam air. Mirasidium akan menetas setelah 2 sampai 4 minggu, keluar dari kapsul telur dengan melalui operkulum dan berenang mencari spesies siput yang cocok. Jika gagal menemukan siput tersebut dalam waktu 24 jam, mirasidium akan kehabisan cadangan energi dan mati. Apabila mendapat siput yang sesuai, mirasidium masuk ke dalam tubuh siput, kehilangan silia yang meliputinya, bermigrasi ke gonad atau kelenjar pencernaan (hepatopankreas), dan membentuk sporokista. Setiap sel germinal menjadi sel kecambah dan masing-masing sel kecambah berkembang menjadi redia. Redia tumbuh sampai merusak dinding sporokista dan dibebaskan ke dalam jaringan siput. Redia memiliki mulut dan organ pencernaan dan memakan jaringan siput. Beberapa trematoda memiliki dua atau tiga generasi redia. Dalam kasus F. hepatica, setiap sel kecambah dari redia generasi kedua berkembang menjadi larva ketiga, yaitu serkaria. Serkaria adalah larva seperti kecebong dengan ekor panjang untuk berenang. Redia berkembang sempurna dalam satu atau dua bulan pada suhu 300C, serkaria meninggalkan redia melalui pori kelahiran dan membuat jalan keluar melalui jaringan siput ke dalam air. Serkaria berenang dan menempel pada berbagai objek yang ada dalam air termasuk tanaman kemudian membentuk metaserkaria, yang merupakan bentuk infektif untuk ruminansia. Apabila termakan ruminansia, terjadi ekistasi di dalam usus kecil inang. Cacing muda menembus dinding usus dan melintasi ruang peritoneal menembus ke hati. Setelah beberapa minggu di parenkim hati, cacing muda memasuki saluran empedu, menjadi cacing dewasa yang aktif secara seksual, dan mulai bertelur sekitar tiga bulan setelah infeksi (Bowman, 2014).

(19)

Trematoda Digenea sangat selektif dalam memilih siput inang. Distribusi geografis trematoda sebagian besar ditentukan oleh distribusi geografis dari spesies siput yang cocok. Trematoda dewasa memiliki inang definitif yang luas. Strategi yang digunakan oleh trematoda untuk mendapatkan inang sangat bervariasi (Gambar 2). Metaserkaria dari fasciolids dan paramphistomatids membentuk kista pada vegetasi air, sedangkan Troglotrematids, Heterophyids, dan Opisthorchiids, membentuk kista pada inang antara seperti ikan, udang karang, dan kepiting. Umumnya inang definitif Troglotrematids, Heterophyids, dan Opisthorchiids adalah mamalia pemakan ikan. Diplostomids ditemukan dalam amfibi atau inang paratenik vertebrata lainnya, sedangkan Dicrocoeliids membentuk kista pada arthropoda. Famili Schistosomatidae berbeda dari trematoda lainnya dimana tidak ada tahap metasersaria, melainkan serkaria (furoserkaria) menembus kulit inang definitifnya.

Faktor Risiko Infeksi

Risiko terjadinya infeksi parasit ditentukan oleh banyak faktor antara lain dari faktor inang, agen parasitik dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi inang antara lain umur, jenis kelamin, ras, stress dan status imunitas. Agen penyakit meliputi jenis cacing, siklus hidup, stadium infektif dan rute infeksi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi trematodosis antara lain karakter geografis, kondisi cuaca (suhu, kelembaban, curah hujan) dan manajemen peternakan. Suhu dan kelembaban mempengaruhi penetasan telur, kelangsungan hidup serkaria dan siput (Khan et al. 2008; Rana et al. 2014). Pemeliharaan secara ekstensif menyebabkan sapi dapat terinfeksi larva cacing hati di padang gembala, sedangkan pemeliharaan secara intensif dapat mengurangi resiko infeksi karena pakan ternak diberikan di dalam kandang (Tantri et al. 2013)

Dampak dari interaksi tersebut adalah sintasan dan daya tetas telur, sintasan dan daya tahan larva di alam (fase free living), keberhasilan menemukan inang, keberhasilan infeksi, keberhasilan berkembang normal di dalam inang, serta keberhasilan bereproduksi (Urquhart et al., 1996). Sintasan telur cacing di luar tubuh inang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ketersediaan air, suhu, dan kelembapan. Air diperlukan karena telur dapat mengering dengan cepat. Telur Fasciola hepatica tidak akan berkembang di luar kisaran pH 4.2 sampai 9.0. F. hepatica membutuhkan 23 minggu untuk berkembang pada suhu 10°C, sedangkan pada suhu 30°C dibutuhkan hanya delapan hari. Perkembangan telur kembali melambat pada suhu di atas 30°C, dan benar-benar berhenti pada suhu 37°C. Telur akan mati dengan cepat pada titik beku. Cahaya menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan di beberapa spesies trematoda (Schmidt dan Roberts 2000).

(20)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Mega Jaya Dusun Ngantru, Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2014 dan Maret 2015. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Helminthologi, Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Desain

Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang dilakukan di Sentra Peternakan Rakyat Kasiman Bojonegoro. Prevalensi dan derajat infeksi Trematoda diukur berdasarkan hasil diagnosa mikroskopik dari sampel feses yang diambil sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada musim kemarau dan musim hujan. Faktor risiko infeksi digali melalui wawancaradengan peternak menggunakan kuisioner tertutup (Lampiran 1).

Metode Penarikan Contoh

Ukuran sampel yang digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus Thursfield (2005) bagi populasi kecil:

1

Keterangan: n = besar ukuran sampel

n*= jumlah sampel pada populasi besar dengan rumus �∗ =1.962� 1 − �

�2

N = Jumlah populasi kecil dan terhingga p = proporsi kejadian/prevalensi

e = galat yang diinginkan

Besaran sampel didapat dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95%, estimasi prevalensi 50% tingkat kesalahan 5%, dan populasi sapi di SPR sebanyak 650 ekor, maka diperoleh jumlah ukuran sampel sebanyak 242 sampel. Pengambilan sampel dilakukan dua kali yaitu pada musim kemarau dan musim hujan sehingga total sampel minimal sebanyak 484 sampel.

Koleksi Sampel Tinja

(21)

selama perjalanan dan disimpan di dalam refrigerator pada suhu 4-6 °C di laboratorium sampai dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja dilakukan dengan menggunakan metode modifikasi filtrasi dan sedimentasi (Willingham et al. 1998). Empat gram tinja ditambahkan ke dalam 50 ml aquades dan diaduk sampai homogen. Setelah itu, larutan sampel disaring 2-3 kali menggunakan saringan teh. Filtrat hasil saringan difiltrasi dengan saringan bertingkat, berturut-turut 400 μm, 100μm dan 45 μm. Residu dari saringan pertama disemprot dengan sprayer sehingga terkumpul pada saringan ketiga. Residu pada saringan ketiga dimasukkan ke dalam cawan petri hitung dengan cara menyemprotkan sprayer ke arah cawan petri hitung dengan posisi mulut saringan ke arah cawan. Selanjutnya sedimen dicampur air dan methylene blue secukupnya, lalu diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40×.

Identifikasi trematoda

Identifikasi trematoda berdasarkan ciri morfologi telur yang meliputi warna, bentuk, dan ukuran telur yang diamati menggunakan mikroskop pembesaran 100 kali. Acuan yang dipakai adalah Soulsby (1986).

Kuisioner

Data berupa karakteristik peternak, manajemen pemeliharan dan status kesehatan ternak diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner diisi melalui wawancara dengan peternak yang dilakukan oleh enumerator.

Data Iklim

Data iklim (suhu,kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran) merupakan data sekunder yang didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Data tersebut merupakan hasil pengamatan selama tahun 2014-2015 dari stasiun pengamat cuaca yang terdekat dari wilayah penelitian yaitu Stasiun Geofisika Sawahan Kabupaten Nganjuk.

Analisis Data

Data hasil penelitian berupa hasil pemeriksaan laboratorium dan kuisioner diinput kedalam program microsoft excel. Pengaruh faktor umur, jenis kelamin, sistem penggembalaan, lokasi padang penggembalaan, pemisahan kandang, alas kandang, sumber air, tempat penyimpanan pakan, frekuensi pembersihan kandang, pembuangan kotoran, kondisi diare dan pengobatan terhadap kejadian trematodosis dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat dan regresi logistik. Data iklim diolah untuk mendapatkan nilai minimum, maksimum dan rataan bulanan dari setiap parameter.

(22)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis dan Iklim Wilayah

Sentra Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman berlokasi di Dukuh Ngantru, Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Lokasinya berada di garis lintang 7.067°LS dan 111.663°BT. Area ini berada pada ketinggian 107-245 meter di atas permukaan laut. Sebagaimana wilayah lainnya di Indonesia, wilayah Kabupaten Bojonegoro beriklim tropis dan mengalami dua pergantian musim, yaitu musim hujan (basah) dan musim kemarau (kering). Data pengamatan stasiun cuaca BMKG Nganjuk menunjukkan wilayah sekitar stasiun cuaca mengalami musim kemarau dari bulan Mei hingga Oktober 2014. Musim hujan mulai datang pada bulan November 2014 hingga April 2015. Suhu udara cenderung tinggi dan mencapai puncaknya pada Oktober (akhir musim kemarau). Kelembapan udara menurun pada bulan yang sama (Mei-Oktober), kemudian bergerak naik pada bulanNovember (Tabel 1).

Tabel 1. Data Iklim (Suhu, Kelembaban, Curah Hujan dan Lama Penyinaran) di Stasiun Geofisika Sawahan Kabupaten Nganjuk

Bln

Secara umum peternak anggota SPR Kasiman memelihara ternak sebagai usaha sampingan selain bertani. Kegiatan beternak sapi sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, begitu pula metode pemeliharaan masih tradisional. Sapi yang dipelihara terutama adalah sapi bangsa peranakan ongol (PO). Sapi dimanfaatkan sebagai harta simpanan (tabungan). Sapi sudah tidak banyak dimanfaatkan sebagai tenaga penarik bajak.

(23)

mayoritas menyatu dengan rumah utama, beberapa menyatu dengan salah satu ruangan, misalnya dapur atau ruang tamu. Perkandangan yang dekat dengan peternak memudahkan pengawasan dan memberikan keamanan lebih, namun dinding bangunan yang rapat menyebabkan minimnya pencahayaan dan sirkulasi udara (Gambar 3).

Gambar 3. Kondisi umum pemeliharaan sapi potong di Kecamatan Kasiman Bojonegoro (a) Sapi pada umumnya digembalakan pada siang haridan (b) Sapi dikandangkan dalam rumah menyatu dengan pemilik

Aktivitas peternakan rakyat di SPR Kasiman lebih difokuskan pada pembibitan sehingga struktur sapi lebih banyak betina dewasa. Berdasarkan jenis kelamin, sapi betina memiliki porsi sekitar 76-77% dari populasi sapi di wilayah tersebut. Sapi pejantan umumnya dijual ke luar wilayah SPR Kasiman pada usia 6 bulan hingga satu tahun sebagai bakalan. Sapi jantan pada umumnya dipelihara secara intensif sedangkan sapi betina dan anakan digembalakan di beberapa area penggembalaan yang lokasinya cenderung lebih dekat dengan tempat tinggal peternak.

Pakan ternak sapi di SPR Kasiman diperoleh dari padang gembala milik bersama pada lahan milik PT Perhutani dan hijauan tanaman pertanian (misalnya jerami). Ada tiga area penggembalaan utama yaitu padang sebelah utara, barat dan timur. Ketiga area tersebut dimanfaatkan dengan kepadatan yang relatif sama dengan masing-masing area menanggung kebutuhan hijauan sekitar 30% jumlah sapi yang ada di SPR Kasiman.

Prevalensi Trematodosis di SPR Kasiman

Berdasarkan pemeriksaan sampel tinja yang telah dilakukan, sapi-sapi di SPR Kasiman menderita trematodosis dengan prevalensi rendah. Jumlah sampel yang terinfeksi oleh Trematoda sebanyak 12 sampel dari total sampel 533 sampel, sehingga prevalensi yang didapatkan sebesar 2.25%.

Dalam penelitian ini, puncak infeksi Trematoda terjadi pada bulan Maret 2015 dimana curah hujan berada pada puncaknya yaitu 48.4 mm perhari. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Maqbool (2012) dimana prevalensi tertinggi terjadi pada saat curah hujan mencapai puncaknya. Lama penyinaran sinar matahari sangat rendah yaitu hanya selama 2.7 jam akibat tingginya curah hujan pada bulan tersebut.

a b

(24)

Penelitian yang dilakukan dibeberapa negara menunjukkan adanya prevalensi trematodosis yang bervariasi seperti di India sebesar 11.08% (Swarnakar dan Sanger2014), 7.89% di Pakistan (Khan et al. 2008), 66.14% di Bangladesh (Karim et al. 2015) dan 36.9% di Iran (Khedriet al. 2015). Perbandingan di Indonesia, hasil ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Mubarok et al. (2015) di Bali (5.51%). Namun demikian, prevalensi yang ditemukan jauh lebih rendah dari hasil penelitian Munadi (2011) di Banyumas yaitu sebesar 47%, Tantri et al. (2013) di Kota Pontianak yaitu sebesar 36.25% dan Hambal et al. (2013)di Kabupaten Aceh Besar yaitu sebesar 90.6%. Rendahnya tingkat prevalensi diduga berkaitan dengan topografi Kecamatan Kasiman yang berbukit-bukit dan termasuk lahan kering sehingga dapat menghambat perkembangan inang antara yaitu Lymnaea sp. Penyebaran trematodosis dipengaruhi oleh faktor topografi, iklim dan faktor lain yang ada hubungannya dengan tatalaksana beternak termasuk manusia (Munadi 2011). Rendahnya populasi siput sebagai inang antara juga berpengaruh terhadap rendahnya prevalensi trematodosis (Mubarok et al. 2015).

Berdasarkan identifikasi ukuran panjang dan lebar, warna dan bentuk telur, ditemukan 2 jenis telur trematoda, yaitu Fasciola sp dan Paramphistome (Tabel 2). Hasil pengamatan terhadap karakteristik dan bentuk telur Trematoda dalam sampel tinja sapi potong yang ditemukan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil identifikasi telur trematoda pada sapi potong di Kecamatan Kasiman Bojonegoro (pembesaran 100X) (a) Fasciola sp dan (b) Paramphistome

Ciri yang mendasar pada telur Fasciola sp adalah warna kuning emas pada telur karena tidak menyerap warna methylene blue, sedangkan pada telur Paramphistome memiliki kerabang telur yang transparan, berwarna keabu-abuan karena menyerap warna methylene blue. Rataan ukuran telur Fasciola sp dalam penelitian ini adalah 140 mikron x 88.7 mikron sedangkan rataan ukuran telur Paramphistome adalah 122.8 mikron x 70.2 mikron. Cacing F. hepatica pada umumnya dijumpai di daerah beriklim sub tropis, sedangkan F. gigantica ditemukan di daerah yang beriklim tropis basah (Munadi 2011).

(25)

Tabel 2. Komposisi, prevalensi dan rataan ukuran telur setiap jenis trematoda pada sapi potong di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro

Jenis Trematoda Jumlah sampel positif

Prevalensi (%) Rataan Ukuran Telur P x L (µm)

Fasciola sp 5 0.94 140.6 x 88.7

Paramphistome 7 1.31 122.8 x 70.2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 sampel yang positif trematodosis dari 533 sampel yang diperiksa. Sebanyak 0.94% infeksi disebabkan oleh Fasciola sp dan 1.31% infeksi oleh Paramphistome (Tabel 2). Infeksi trematoda yang terjadi seluruhnya merupakan infeksi tunggal. Hal ini diduga akibat adanya suatu mekanisme yang menghambat terjadinya infeksi campuran (fenomena antagonis) sejak dari siput inang antara dalam siklus hidupnya (Widjajanti 1998). Hal ini mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan baik oleh Widjajanti (1998) maupun Suhardono dan Copeman (2001) dimana tidak ditemukan infeksi campuran antar spesies trematoda dalam tubuh Lymnae rubiginosa.

Faktor Risiko yang Mempengaruhi Infeksi Trematoda

Analisis khi-kuadrat digunakan untuk menentukan pengaruh dari masing-masing faktor terhadap kejadian penyakit sedangkan analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kejadian penyakit terhadap faktor yang mempengaruhi. Adapun data yang diolah merupakan data kuisioner yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak. Variabel yang memiliki nilai P<0.05 hanya lokasi padang penggembalaan (P=0.0062) (Tabel 5). Sedangkan variabel lainnya yang tidak memenuhi syarat P<0.05 adalah musim (P=0.592) (Tabel 3), umur sapi (P=0.3972), jenis kelamin (P=0.3791) (Tabel 4), sistem pengembalaan (P=0.2342), sumber air (P=0.7398), tempat pembuangan kotoran (P=0.8105) dan pengobatan (P=0.3235) (Tabel 5) Nilai P pada variabel lokasi padang penggembalaan sebesar 0.0062 (<0.05) menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap infeksi.

Tabel 3. Prevalensi Trematodosis berdasarkan musim

Kategori lingkungan Infeksi Prevalensi % Nilai P OR (+) (-) meningkat menjadi 2.59% di musim hujan. Risiko sapi menderita trematodosis pada musim hujan 1.37 kali lebih besar dibandingkan pada musim kemarau. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan infeksi trematoda pada setiap musimnya. Lebih besarnya prevalensi trematodosis pada musim hujan ada kaitannya dengan

(26)

ketersediaan air, vegetasi dan kelembaban yang diperlukan oleh siput inang antara dan metaserkaria untuk tumbuh dan berkembang (Karim et al. 2015).

Tabel 4. Prevalensi Trematodosis berdasarkan umur dan jenis kelamin

Kategori Ternak Infeksi Prevalensi % Nilai P OR (+) (-)

Umur ternak merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap tingkat prevalensi trematodosis pada sapi (Affroze et al. 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan infeksi trematoda terjadi pada sapi di semua kelompok umurdi atas 6 bulan dengan prevalensi sapi umur 6-12 bulan (1.25%), 1-2 tahun (1.23%) dan sapi umur lebih dari dua tahun memiliki prevalensi paling tinggi (3.1%). Secara statistika tidak terjadi perbedaan nyata antara infeksi trematoda dengan kategori umur meskipun nilai OR pada sapi berumur lebih dari 2 tahun 2.56 lebih besar dari sapi yang berumur antara 1-2 tahun. Tidak adanya kejadian penyakit pada sapi dengan umur kurang dari 6 bulan kemungkinan akibat sapi tersebut masih menyusu pada induknya sehingga peluang transmisi penyakit dari lingkungan sangat rendah. Kejadian penyakit meningkat seiring dengan pertambahan umur (Affroze et al. 2013 dan Karim et al. 2015). Prevalensi trematodosis lebih tinggi pada ternak dewasa disebabkan keterpaparan terhadap faktor-faktor yang menjadi risiko terinfeksi trematodosis lebih lama jika dibandingkan pada ternak muda (Melaku dan Addis 2012).

(27)

betina dibandingkan pada hewan jantan bisa juga dikaitkan dengan fakta bahwa jumlah sampel pada hewan betina lebih besar daripada jantan (Swarnakar dan Sanger 2014).

Tabel 5. Prevalensi Trematodosis berdasarkan kategori manajemen Kategori Manajemen Infeksi Prevalensi

%

Keterangan : (*)variabel risiko trematodosis pada P<0.05

Manajemen penggembalaan sangat berpengaruh terhadap kejadian trematodosis. Prevalensi pada ternak yang digembalakan sebesar 2.71% berbanding 0% pada sapi yang dikandangkan (tidak digembalakan). Tingginya kejadian trematodosis diduga berkaitan dengan frekuensi penggembalaan yang lebih sering sehingga meningkatkan peluang terinfeksi metaserkaria. Faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian trematodosis adalah tingginya tingkat kontaminasi lapangan penggembalaan, potensi biologik yang tinggi dari siput sebagai inang perantara dan pemberian anthelmintika yang tidak tepat, serta kurangnya tindakan pengendalian (Melaku dan Addis 2012).

Sampel diambil dari peternak yang tersebar di 8 RT yang ada di wilayah Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Mega Jaya Dusun Ngantru, Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro. Ternak digembalakan di tiga wilayah yaitu wilayah barat untuk peternak dari RT 7 dan RT 8, wilayah timur untuk peternak dari RT 3, RT 5 dan RT 8 serta wilayah utara untuk peternak dari RT 1, RT 2 dan RT 4. Prevalensi trematodosis tertinggi terjadi pada ternak yang digembalakan di wilayah timur dengan prevalensi 5.20%, selanjutnya 0.9% pada wilayah utara dan paling rendah pada wilayah barat dengan prevalensi sebesar

(28)

0.69% (P<0.05). Nilai OR sapi yang digembalakan sebelah Timur 7.9 dan sebelah Utara 1.35 lebih besar dari sapi yang digembalakan di sebelah Barat. Dari hasil analisa ini dapat dilihat bahwa sapi yang digembalakan di sebelah Barat kemungkinan terinfeksi trematoda lebih kecil dibandingkan apabila sapi digembalakan di sebelah Timur dan Utara. Karakteristik padang penggembalaan sebelah barat berupa hamparan rumput berbatasan dengan area pemakaman umum dan jalan desa. Pada padang penggembalaan sebelah utara berupa persawahan dan sebelah timur berupa persawahan dengan saluran air irigasi dan sendang (mata air) yang berbatasan dengan hutan jati milik Perhutani. Rumput di padang gembalaan sebelah Timur diduga telah terkontaminasi metaserkaria trematoda.

Kotoran sisa hasil metabolisme ternak baik berupa feses maupun urin dibuang baik disekitar kandang, di saluran air atau comberan atau ke dalam bak penampungan. Hal yang menarik di sini adalah tidak ada infeksi pada sapi yang kotorannya dibuang ke saluran air atau comberan. Padahal, perilaku pembuangan kotoran ke saluran air seharusnya meningkatkan peluang terhadap kontaminasi trematoda ke lingkungan karena feses yang mengandung telur trematoda akan ikut terbawa arus pada saluran air yang akhirnya akan bermuara ke sungai atau parit dimana inang antara berada.

Lokasi yang terpencil menyebabkan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi kesehatan ternak menjadi terhambat. Dalam segi pengobatan, para peternak akan memanggil dokter hewan atau petugas kesehatan yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bojonegoro untuk konsultasi kesehatan ternaknya, termasuk pemberian obat-obatan dan inseminasi buatan. Pengobatan yang diberikan biasanya hanya berupa pemberian vitamin, obat tradisional, anthelmintik atau antibiotika apabila sapi menderita demam, diare, tidak mau makan dan gejala sakit lainnya. Prevalensi trematodosis pada sapi yang riwayatnya tidak pernah diberi tindakan pengobatan sebesar 2.31% dengan jumlah sampel positif sebesar 10 sampel justru lebih rendah jika dibandingkan pada sapi yang sebelum dilakukan sampling telah diberi obat cacing yaitu sebesar 4.44% dengan nilai OR 1.04 lebih besar jika dibandingkan dengan sapi yang tidak diberi pengobatan. Hal ini disebabkan karena jumlah sampel ternak yang tidak mendapat pengobatan sangat besar, yaitu sebanyak 433 sampel berbanding ternak yang mendapat pengobatan cacing hanya sebesar 45 sampel.

(29)

Dalam penelitian ini diperoleh prevalensi trematodosis di SPR Kasiman sebesar 2.25% dimana hasil tersebut cukup rendah, namun perlu dilakukan pengendalian penyakit untuk menekan angka prevalensi tersebut hingga batas diabaikan. Kasus trematodosis pada sapi PO di SPR Kasiman jauh lebih rendah dibandingkan kasus infeksi nematoda saluran pencernaan dengan prevalensi mencapai 67.78 % (Winarso et al 2015, Winarso 2015).

Pengendalian trematodosis meliputi perbaikan tata laksana pemeliharaan, penggunaan antelmintik dan pengendalian inang antara. Selama ini sapi yang dipelihara dikandangkan bersama dengan rumah pemilik dan sebagian besar ternak digembalakan. Diharapkan pola pemeliharaan tersebut dirubah dengan membuat satu kandang kelompok sehingga pengawasan kesehatan ternak dapat lebih mudah dilakukan. Dengan adanya kandang kelompok, diharapkan pola penggembalaan ternak bisa ditinggalkan sehingga akan memutus siklus hidup dari cacing trematoda di wilayah SPR Kasiman. Apabila tidak dimungkinkan, dianjurkan untuk tidak menggembalakan ternak di wilayah timur mengingat kejadian trematodosis tertinggi terjadi pada ternak yang digembalakan di wilayah tersebut. Pengendalian trematodosis dengan menggunakan anthelmintik umum dilakukan sebagaimana dilakukan dalam penelitian oleh Raunelli dan Gonzales (2009) di Peru. Dalam penelitian tersebut berhasil menurunkan prevalensi Fascioliasis, meningkatkan berat rata sapi serta meningkatkan produksi rata-rata susu. Dengan mempertimbangkan bahwa masalah kecacingan yang dihadapi pada sapi di SPR Kasiman disebabkan oleh Trematoda dan Nematoda saluran pencernaan, maka anthelmintika yang digunakan harus efektif terhadap kedua jenis parasit tersebut. Anthelmintik yang direkomendasikan untuk digunakan dalam program pengendalian kecacingan di SPR Kasiman diantaranya adalah albendazol (7.5 mg/kg BB) yang diberikan per oral atau kombinasi antara 200 mcg ivermectin/kg dan 2 mg clorsulon/kg diberikan secara injeksi subkutan.

(30)

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jenis trematoda yang ditemukan pada sapi potong adalah Paramphistome dan Fasciola sp. dengan masing-masing prevalensi sebesar 1.31% dan 0.94%. Prevalensi trematodosis yang ditemukan pada sapi potong di Kecamatan Kasiman Bojonegoro sebesar 2.25% dengan kejadian penyakit tertinggi terjadi pada musim hujan. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap infeksi trematoda adalah lokasi padang penggembalaan dimana padang penggembalaan sebelah timur menimbulkan risiko 7.9 kali lebih besar terhadap terjadinya trematodosis.

Saran

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Affroze S, Begum N, Islam MS, Rony SA Islam MA, Mondal MMH. 2013. Risk Factors and Gross Pathology of Bovine Liver Fluke Infection at Netrokona District, Bangladesh. J Anim Sci Adv.3(2):83-90.

Ariningsih E. 2014. Kinerja kebijakan swasembada daging sapi nasional. ForPenelit Agr Ekonom. 32(2): 137-156.

Arsani NM, Mastra IK, Saraswati NKH, Yunanto, Sutawijaya IGM. Epidemiologi Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali. Bul Vet. 27(87): 1-11 Ashari, Ilham N, Nuryanti S. 2012. Dinamika program swasembada daging

sapi:reorientasi konsepsi dan implementasi. Analis Kebijak Pertan. 10(2):181-198.

Bowman DD. 2014. Georgi’s Parasitology for Veterinarians., 10th Ed. Missouri, Saunders Elsevier.

[BPS] Badan Pusat Statistika Kabupaten Bojonegoro. 2014. Bojonegoro Dalam Angka 2014. Bojonegoro (ID): Indonesia. Tersedia pada: http://bojonegorokab.bps.go.id/website/flipping_publikasi/Bojonegoro-Dalam-Angka-2014-/files/search/searchtext.xml

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2016. Data Iklim Harian Stasiun Geofisika Saawahan Kabupaten Nganjuk tahun 2014 dan 2015. Indonesia.[Internet]. [diunduh 7 September 2016] Tersedia pada:http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim/download/?prov=15&reg= 241&no=&name=&tglawal=01-01-2014&tglakhir=31-12-2015

Choudhary V, Hasnani JJ, Khyalia MK, Pandey S, Chauhan VD, Pandya SS, Patel PV. 2015. Morphological and Histological Identification of Paramphistomum cervi (Trematoda: Paramphistoma) in the Rumen of Infected Sheep. Vet Wor. 8(1):125-129.

[FAO]. Food and Agriculture Organization. Corporate Document Repository. 2016. Liver Fluke Infections. [Internet]. [diunduh 31 Mei 2016]. Tersedia pada: http://www.fao.org/DOCREP/004/T0584E/T0584E03.htm.

Hambal M, Sayuti A, Dermawan A. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. J MedVet. 7(1):49-53.

Hamdan A. 2014. Paramphistomiasis pada ternak ruminansia. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. [Internet].[diunduh 2015 Okt 17]. Tersedia pada: http://lipi.go.id/katalog/index.php /searchkatalog/byld/210752

Kaplan RM. 2001. Fasciola hepatica: a Revieuw of the Economic Impact in Cattle and Considerations for Control. Vet Theurapeut. 2(1):1-11.

Karim MR, Mahmud MS, Giasuddin M. 2015. Epidemiological Study of Bovine Fasciolosis: Prevalence and Risk Factor Assessment at Shahjadpur Upazila of Bangladesh. Immunol Infect Dis. 3(3):25-29.

[Kementan-BPS] Kementerian Pertanian-Badan Pusat Statistika. 2011. Rilis Hasil Awal PSPK 2011. [Internet]. [diunduh2015 Agustus 16]. Tersedia pada: http://ditjennak.deptan.go.id/download.php?file=bahan%20rilis%20PSP K2011.pdf.

(32)

[Kementan] Balai Veteriner Lampung. 2014. Dampak Penyakit Kecacingan pada Performans Ternak. [Internet]. Lampung. [diunduh 2015 Okt 17]. Tersedia pada: http://bvetlampung.ditjennak.pertanian.go.id/dampak-penyakit-kecacingan-pada-performans-ternak/

[Kementan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Pedoman Sentra Peternakan Rakyat. Jakarta.

Khan UJ, Tanveer A, Maqbool A, Masood S. 2008. Epidemiological Studies of Paramphistomosis in Cattle. Vet Arhiv. 78(3):243-251.

Khan UJ, Maqbool A. 2012. Prevalence of Paramphistomosis in Relation to Meteorological Factors. Pakistan J Zool. 44(3):823-828.

Khedri J, Radfar MH, Borji H, Mirzaei M. 2015. Prevalence and Intensity of Paramphistomum spp. In Cattle from South-Eastern Iran. Iran J Parasitol. 10(2):268-272.

Levine ND.1990. Parasitologi Veteriner. S Soekardono, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Texbook of Veterinary Parasitology.

Lloyd J, Joe B, Stephen L. 2007. Stomach fluke (paramphistomes) in ruminants. Primefact. 452: 1-4.

Mirza I, Kurniasih. 2002. Identifikasi Molekuler Eurytrema sp. pada Sapi di Indonesia. J Biotek Pertan. 7(1): 25-31.

Melaku S, Addis M. 2012. Prevalence and Intensity of Paramphistomum in Ruminants Slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Glob Vet. 8(3):315-319.

Matondang RH, Rusdiana S. 2013. Langkah-langkah strategis dalam mencapaiSwasembada Daging Sapi/Kerbau 2014. J Litbang Petern. 32(3): 131-139.

Mubarok S, Suratma NA, Dwinata IM. 2015. Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan mengwi, Kabupaten Badung. Ind Med Vet. 4(1):48-53.

Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Kaitannya dengan Kerugian Ekonomi Sapi Potong yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-Karesidenan Banyumas. Agripet 11(1):45-50.

Noble AG, Noble ER.1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Ed ke-5. Wardiarto. Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Parasitology The Biology of Animal Parasites

Rana MAA, Roohi N, Khan MA. 2014. Fascioliasis in Cattle : a Review. J Anim Plan Sci. 24(3): 668-675.

[Pemkab Bojonegoro] Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. 2016. Juri Nasional Kagumi Peternak Bojonegoro. Bojonegoro (ID): Indonesia. [Internet].

[diunduh 28 November 2016].Tersedia pada:

http://www.bojonegorokab.go.id/berita/baca/566/Juri-Nasional-Kagumi-Peternakan-Bojonegoro-

Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran pencernaan (gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. J Agrisistem. 5(1): 10-21.

(33)

Schmidt GD, Roberts LS. 2000. Foundations of Parasitology. Ed ke-6. McGraw-Hill Company.

Soulsby EJL. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. London (GB): Bailliere Tindall.

Suhardono, Copeman DB. 2001. Population Dynamics of Lymnaea rubiginosa in Rice Fields and its Infection with Larvae of Trematodes in the Sub District of Surade, West Java. JITV 5(4):1-9.

Suweta IGP. 1989. Review on Important Helminthic Diseases in Animal in Indonesia. Bul Penelit Kesehat. 17(20: 34-43.

Swarnakar G, Sanger B. 2014. Epidemiologicaly Study of Liver Fluke (Trematoda : Digenea) in Domestic Ruminants of Udaipur District. Int J Curr Microbiol App Sci. 3(4):632-640.

Tantri N,Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Protobiont 2(2):102-106.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology Ed ke-3. Oxford (GB): Blackwell Publishing.

Thrusfield M. 2007. Veterinary Epidemiology. Ed ke-3. Oxford (GB): Blackwell Publishing.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary Parasitology. 2nd ed. Oxford: Blackwell Science Ltd.

Widjajanti S. 1998. Studi Ketahanan Hidup dan Perkembangbiakan Siput Lymnaea rubiginosa Asal Lapangan di Laboratorium. JITV 3(3):202-205. Widjajanti S. 2004. Fasciolosis pada Manusia: Mungkinkah Terjadi di Indonesia?

Wartazoa14(2):65-72.

Winarso A. 2015. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2015. Faktor Risiko dan Prevalensi Infeksi Toxocara vitulorum pada Sapi Potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. JIPI 20(20): 85-90.

Willingham AL, Johansen MJ, Barnes EH. 1998. A New Technic for Counting Schistosoma japonicum eggs in Pig Faeces. Southeast Asian J Trop Med Pub Health 29(1):128-130.

(34)
(35)

Lampiran 1. Kuisioner Trematodosis pada sapi potong (Sentra Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman Bojonegoro)

Kepada Yth:

Bapak / Ibu Responden di-

t e m p a t Dengan hormat,

Dalam rangka memenuhi tugas tesis saya pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, maka dengan segala kerendahan hati saya sangat menghargai tanggapan Bapak / Ibu terhadap beberapa pernyataan yang tersedia dalam kuesioner ini mengenai “Trematodosis pada sapi potong (Sentra Peternakan Rakyat Kecamatan Kasiman Bojonegoro)”. Pengumpulan data ini semata-mata hanya akan digunakan untuk maksud penyusunan tesis dan akan dijamin kerahasiaannya.

Kesediaan dan kerja sama yang Bapak / Ibu berikan dalam bentuk informasi yang benar dan lengkap akan sangat mendukung keberhasilan penelitian ini. Selain itu jawaban yang Bapak / Ibu berikan juga akan merupakan masukan yang sangat berharga bagi saya.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan kesediaan Bapak / Ibu yang telah meluangkan waktunya dalam pengisian kuesioner ini.

Hormat saya,

Wirokartiko Satyawardana

(36)

KUESIONER PENELITIAN

1. Apakah sapi anda digembalakan Ya

Tidak

2. Apakah ada pemisahan kandang berdasarkan umur sapi? Ya

Tidak

3. Alas kandang terbuat dari Tanah

Semen

Jerami/rumput

4. Berasal darimana sumber air yang anda gunakan? Sumur

Mata air pegunungan Mata air ‘sendang’

5.Bagaimana cara anda menyimpan pakan kepada ternak? Disimpan dalam tempat pakan khusus

Diletakan di atas lantai/ alas kandang III. Sanitasi

1. Apakah kandang dibersihkan? Ya

Tidak

2. Seberapa sering anda membersihkan kandang? Tidak setiap hari

Setiap hari

(37)

Di tanah atau lahan area sekitar kandang

Saluran pembuangan umum/saluran air/comberan Bak penampungan khusus

Di buat kompos IV. Riwayat Kesehatan Ternak

1. Pernahkan pedet/ sapi anda terkena diare? Ya

Tidak

2. Berapa umur ternak yang terkena diare? 1-6 bulan

6-12 bulan 1-2 tahun > 2 tahun

3. Pada kejadian diare, apakah pernah ternak yang mengalami kematian? Ya

Tidak pernah VI. Pengobatan Ternak

1. Apakah telah dilakukan pengobatan? Ya

Tidak

2. Apa jenis Obat yang diberikan? Antikoksi

Obat anti cacing Vitamin

Lainnya, sebutkan______________________________________

(38)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 24 Juni 1983. Penulismerupakan anak bungsu dari pasangan R. Satyawan Widodo (Alm.) dan Romlah. Penulistelah menikah dengan Ratna Noor Hikmah binti M. Tauhid dan dikaruniai dua orang putra yang diberi nama Girindra Wardhana dan Wikrama Jaya Wardhana.

Pendidikan dasar dan menengah ditamatkan penulis di Sekolah DasarNegeri Kramat 2, Kodya Cirebon (1995), Sekolah LanjutanTingkat Pertama (SLTP) Negeri 2Kota Cirebon(1998), dan SekolahMenengah Umum Negeri 1 Kota Cirebon (2001). Penulis meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan (2006) dan gelar profesi dokter hewan (2007)di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada.

Gambar

Gambar 1. Telur cacing pada ruminansia (Taylor et al, 2007)
Gambar 4 Hasil identifikasi telur trematoda pada sapi potong di Kecamatan
Tabel 2.  Komposisi, prevalensi dan rataan ukuran telur setiap jenis trematoda pada
Tabel 4. Prevalensi Trematodosis berdasarkan umur dan jenis kelamin
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi Kasus Kriptosporidiosis pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah dan Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko dari toxocarosis pada sapi potong di kecamatan Ujung Jaya,

Sampai saat ini kajian mengenai prevalensi kriptosporidiosis di Indonesia pada sapi potong telah dilaporkan di dua wilayah yakni di Kabupaten Bali sebesar 37.4%

Sentra Peternakan Rakyat merupakan pusat pertumbuhan komoditas peternakan dalam suatu kawasan peternakan sebagai media pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko dari toxocarosis pada sapi potong di kecamatan Ujung Jaya,

Prevalensi paramphistomosis pada sapi potong di Kecamatan Ujungjaya, Sumedang yang masih cukup tinggi tidak hanya bisa diatasi dengan mengobati ternak dengan

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa efisiensi produksi sapi potong pada usaha peternakan rakyat di daerah pertanian lahan kering adalah