PENGARUH KESEMPATAN, KEMAUAN, DAN KEMAMPUAN
IBU TERHADAP PARTISIPASI DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI
KECAMATAN BAITURRAHMAN
KOTA BANDA ACEH
T E S I S
Oleh
Z A I R I N A
067023021/AKK
.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KESEMPATAN, KEMAUAN, DAN KEMAMPUAN
IBU TERHADAP PARTISIPASI DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI
KECAMATAN BAITURRAHMAN
KOTA BANDA ACEH
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
Z A I R I N A
067023021/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH KESEMPATAN, KEMAUAN, DAN KEMAMPUAN IBU TERHADAP PARTISIPASI DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN BAITURRAHMAN KOTA BANDA ACEH
Nama Mahasiswa : Zairina
Nomor Pokok : 067023021
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Dr. Dra. Ida Yustina, Msi) (Ir. Evi Naria, M.Kes)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 4 Agustus 200817 April 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Dra. Ida Yustina, Msi
Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes
2. Drs. Tukiman, MKM
PERNYATAAN
PENGARUH KESEMPATAN, KEMAUAN, DAN KEMAMPUAN
IBU TERHADAP PARTISIPASI DALAM PENCEGAHAN
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI
KECAMATAN BAITURRAHMAN
KOTA BANDA ACEH
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 4 Agustus2008
ABSTRAK
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aides Aegypti. Kota Banda Aceh khususnya Kecamatan Baiturrahman merupakan salah satu kecamatan yang endemis DBD dengan angka insidens rate DBD 378 per 100.000 penduduk.
Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe explanatory research untuk menganalisis pengaruh kesempatan, kemauan dan kemampuan ibu terhadap partisipasi dalam pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengeu (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu rumah tangga yang ada di Kecamatan Baiturrahman dengan sampel 99 ibu yang diambil secara simple random
sampling. Data primer diperoleh menggunakan kuesioner melalui wawancara.
Analisa statistik menggunakan uji regresi linier berganda.
Hasil analisis menunjukkan variabel kesempatan (p = 0.03), kemauan (p =
0.05) dan variabel kemampuan (p = 0.00) berpengaruh terhadap partisipasi dalam
pencegahan penyakit DBD. Partisipasi ibu dalam pencegahan penyakit DBD mayoritas terdapat pada kategori tidak baik yaitu 82.8%.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh agar dapat melibatkan masyarakat sejak awal pelaksanaan program pencegahan penyakit DBD, serta membentuk tim khusus di masyarakat untuk memberikan informasi dan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat lainnya, guna meningkatkan kemauan, pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang cara pencegahan penyakit DBD. Diharapkan Dinas Kesehatan juga dapat meningkatkan pengawasan dan melakukan
sweeping jentik, serta memberikan sanksi kepada masyarakat yang rumahnya ada
jentik nyamuk DBD. Kepada perangkat desa/ kelurahan hendaknya dapat bekerjasama dengan masyarakat lainnya untuk melakukan kebersihan lingkungan (PSN DBD) guna mengendalikan jentik-jentik nyamuk DBD.
ABSTRACT
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is a transmitted disease caused by dengue
virus and transmitted by Aides Aegypti mosquito. One of sub district in the city of
Banda Aceh, Baiturrahman is an DHF endemic area with incidens rate of 378 per 100.000 populations.
The purpose of this survey with explanatory research design is to analyze the influence of opportunity, desire and ability of mothers on their participation in preventing DHF is Baiturrahman sub district, the City of Banda Aceh.
The population of this study was all housewives living in Baiturrahman sub district and 99 of them were selected through simple random sampling to be sample. Primary data were obtained through questionnaire based interviews. Data were analyzed by multiple linier regresion.
The result of this survey shows that all the variable: opportunity (p = 0.03), desire (p = 0.05) and ability (p = 0.00) have influencing the participation in preventing DHF. Majority (88.9%) of mother’s participation in preventing DHF is inadequate category.
It is suggested that Banda Aceh Health Service can provide the community with the opportunity to get involved from the early stage of the DHF prevention program implementation, and establish special team in the community to provide the other members of community with information and periodical extensions to improve their desire, knowledge and ability to prevent DHF. The Banda Aceh Health Service is required to increase control and larvae sweeping and given sanction to the community whose houses have the larvae of DHF transmitting mosquito. The village officer are required to improve coorporation with the other community members to manage the environment in order to control larvae of DHF transmitting mosquito.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadiran Allah SWT, dimana atas rahmat dan hidayahNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “Pengaruh
Kesempatan, Kemauan, Dan Kemampuan Ibu Terhadap Partisipasi Dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan
Baiturrahman Kota Banda Aceh”.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Komunitas/Epidemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih dengan penuh
keikhlasan dan cinta kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,
Sp. A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Pascasarjana.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, atas kesempatan yang diberikan menjadi
mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang dijabat oleh Dr.
Drs. Surya Utama, MS, atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Sekolah
Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kami ucapkan kepada Dr. Dra. Ida Yustina, Msi selaku ketua komisi pembimbing
yang telah banyak membimbing dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku
pembimbing dua, yang juga telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing
dengan penuh kesabaran dan mengarahkan penulisan tesis ini. Drs. Tukiman, MKM,
selaku dosen pembanding yang telah banyak memberikan masukan demi
kesempurnaan penulisan ini dan drh. Rasmaliah, M.Kes, selaku dosen pembanding
yang telah banyak membantu penulisan ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda
Aceh yang dijabat oleh dr. Media Yulizar, M.Kes yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian ini.
Ucapan terima kasih kepada keluaga tercinta Ayahanda H. Zainudin Usman
dan Ibunda (Alm) Asnah Daud, Ayahanda H. Iskandar, SKM, M.Kes dan Ibunda Hj.
Salmiah serta adik-adikku Zulfansyah, Zuandi, Zulikram, Deni Muntazar, Rita
Wahyuni dan Nyak Na serta seluruh keluarga besar tercinta, yang telah membantu
memberi dorongan dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terbatas
kepada penulis.
Teristimewa buat suami tercinta H. Dedi Andria, SKM, M.Kes dan
anak-anakku tersayang Raisya Putri Andria dan Rasya Putra Andria yang tidak
Akhirnya dengan satu harapan, semoga penulisan akhir ini berguna dan
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 4 Agustus 2008
Tertanda,
RIWAYAT HIDUP
Penulis, lahir di Banda Aceh pada tanggal 26 April tahun 1978, agama Islam,
status sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak. Alamat rumah Jl. Singgahmata
No.17 Blower Banda Aceh.
Riwayat pendidikan, memasuki SD Negeri 7 Banda Aceh selama 6 tahun dan
lulus tahun 1990, kemudian memasuki MTsN 1 Banda Aceh selama 3 tahun dan lulus
tahun 1993, selanjutnya memasuki SLTA Negeri 5 Banda Aceh selama 3 tahun dan
lulus tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh (FKM UNMUHA) selama 5 tahun dan
lulus tahun 2001. Terakhir melanjutkan tugas belajar ke Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara (USU) pada bulan September tahun 2006 dan lulus tahun
2008.
Riwayat pekerjaan, pertama sekali di tempatkan menjadi staf puskesmas Pidie
Kabupaten Pidie pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, kemudian di tempatkan
menjadi staf Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh pada tahun 2005 sampai dengan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Hipotesis penelitian... 7
1.5. Manfaat Penelitian ... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Konsep Partisipasi Masyarakat ... 8
2.2. Faktor-Faktor Pembentuk Partisipasi... 12
2.3. Penyakit Demam Berdarah Dengeu (DBD) ... 24
2.4. Landasan Teori... 34
2.5. Kerangka Konsep ... 36
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 37
3.1. Jenis Penelitian... 37
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 37
3.3. Populasi dan Sampel ... 37
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 39
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 42
3.6. Metode Pengukuran ... 42
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 47
4.1. Gambaran Umum dan Keadaan Wilayah... 47
4.2. Karakteristik Responden ... 48
4.3. Analisis Univariat ... 49
4.4. Hasil Uji Statistik ... 60
BAB 5 PEMBAHASAN ... 64
5.1. Pengaruh Kesempatan Terhadap Partisipasi ... 64
5.2. Pengaruh Kemauan Terhadap Partisipasi... 68
5.3. Pengaruh Kemampuan Terhadap Partisipasi ... 71
5.4. Tempat Perindukan Nyamuk DBD dan Keberadaan Jentik Nyamuk DBD ... 74
5.4. Keterbatasan Penelitian ... 75
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
6.1. Kesimpulan ... 77
6.2. Saran... 78
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian di Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh ... 39
2. Hasil Perhitungan Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 41
3. Metode Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 45
4. Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Baiturrahman Kota
Banda Aceh ... 48
5. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Kesempatan dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 49
6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kesempatan dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 50
7. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Kemauan dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 51
8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kemauan dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 53
9. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Kemampuan dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 54
10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kemampuan dalam
11. Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Partisipasi dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 57
12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Partisipasi dalam
Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 59
13. Distribusi Tempat Perindukan Nyamuk DBD Pada Rumah Responden
di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 59
14. Distribusi Keberadaan Jentik Nyamuk DBD Pada Rumah Responden
di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh ... 60
15. Hasil Uji Regresi Variabel Independen (Kesempatan, Kemauan Dan
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Faktor-Faktor Pembentuk Partisipasi... 35
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 83
2. Angka Insidens Per 100.000 Penduduk Dan CFR (%) Penyakit Demam Berdarah Dengue Tahun 2000 – 2005... 92
3. Angka Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Kota Banda Aceh Tahun 2005 – 2007 dan Perkembangan Demam Berdarah Dengue (DBD) Menurut Kecamatan Di Kota Banda Aceh Tahun 2007 ... 93
4. Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 94
5. Distribusi Frekuensi dan Analisis Univariat ... 100
6. Uji Regresi Linier Berganda ... 110
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aides Aegypti. Sampai saat
ini DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan dampak sosial dan ekonomi serta berkaitan dengan perilaku
masyarakat. Penyakit DBD ini muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filiphina dan
selanjutnya menyebar ke banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia (Depkes RI,
2005).
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama dilaporkan pada tahun 1969, dan pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke
seluruh 27 provinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota
besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan
(Soedarmo, 2005).
Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah provinsi dengan
jumlah kabupaten/kota terjangkit sampai dengan tahun 2005 sebanyak 330
kabupaten/ kota (75% dari seluruh kab/kota). Penyakit ini sering muncul sebagai
kejadian luar biasa (KLB) dengan angka Insidens Rate (IR) dan Case Fatality Rate
tahun. Awalnya pola epidemik terjadi setiap lima tahunan, namun dalam kurun waktu
lima belas tahun terakhir mengalami perubahan dengan periode antara 2 – 5 tahunan,
sedangkan CFR cenderung menurun. Perkembangan angka IR dan CFR DBD dari
tahun 2000 – 2005 terjadi peningkatan. Tahun 2000 angka IR 10,17 per 100.000
penduduk dengan CFR 2% dan sampai dengan tahun 2005 angka IR 43,42 per
100.000 penduduk dengan CFR 1,36%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada daftar
lampiran 2 (Profil Kesehatan Depkes RI (2007).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri dari 23 Kabupaten/ Kota,
angka IR DBD sebesar 12,4 per 100.000 penduduk dengan CFR 1,90%. Dari jumlah
kabupaten/ kota tersebut empat di antaranya yaitu Kota Lhokseumawe, Kota Banda
Aceh, Aceh Besar dan Aceh Barat Daya merupakan daerah endemis dan tetap terjadi
peningkatan kasus setiap tahunnya. Kota Banda Aceh penyumbang tertinggi kedua
kasus DBD di Provinsi NAD setelah Kota Lhokseumawe (Profil Dinkes Provinsi
NAD, 2007).
Angka IR DBD di Kota Banda Aceh terlihat dari kurun waktu tahun 2005 –
2007 terjadi peningkatan secara fluktuatif, sedangkan CFR DBD cenderung menurun.
Tahun 2005 angka IR 26 per 100.000 penduduk dengan CFR 0.05%, tahun 2006
angka IR 112 per 100.000 penduduk dengan CFR 0.02% dan pada tahun 2007 DBD
terjadi peningkatan yang mencapai angka IR 378 per 100.000 penduduk dengan CFR
0.004%, sedangkan upaya nasional tahun 2010 ditargetkan angka IR DBD adalah 2
Kota Banda Aceh memiliki 9 Kecamatan, di mana Kecamatan Baiturrahman
merupakan kecamatan yang endemis DBD dengan angka IR 765 per 100.000
penduduk, kemudian disusul oleh Kecamatan Ulee Kareng dan Kecamatan Kuta
Alam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada daftar lampiran 3.
Menyikapi tingginya endemis DBD di beberapa kecamatan dalam Kota Banda
Aceh khususnya Kecamatan Baiturrahman, pemerintah daerah telah melakukan
berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan. Upaya-upaya tersebut antara lain
berupa kegiatan pemutusan rantai penularan DBD dengan melakukan Pemberantasan
Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD) melalui gerakan 3M (menguras, menutup,
mengubur), Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), abatisasi selektif, fogging atau
pengasapan pada semua lokasi kasus terjangkit dan penyuluhan penggerakan
masyarakat. Namun kenyataan di lapangan masyarakat banyak yang tidak paham
dengan pencegahan penyakit DBD yang menyebabkan kasus tersebut terus meningkat
di Kota Banda Aceh.
Purwo (2007) di Denpasar, menyatakan ada perbedaan tingkat pengetahuan
tentang pencegahan penyakit DBD antara di daerah endemis dan non endemis DBD.
Di daerah endemis masyarakat lebih tahu dan mempunyai pengalaman oleh karena
keluarga atau tetangga pernah menderita DBD.
Kecamatan Baiturrahman merupakan Kecamatan yang terletak di Pusat Kota
Banda Aceh yang luas wilayahnya sekitar 10,16 km² dengan jumlah penduduk
Aceh dalam rangka proses rehabilitasi dan rekonstruksi kembali Kota Banda Aceh.
Dampak dari mobilisasi penduduk dari luar Kota Banda Aceh, maka muncul
permukiman-permukiman baru sebagai tempat tinggal para pekerja rehabilitasi dan
rekonstruksi yang kurang memenuhi syarat kesehatan (Profil Dinas Kesehatan Kota
Banda Aceh, 2007).
Timbulnya peningkatan kasus DBD di Kecamatan Baiturrahman diduga
disebabkan banyaknya bangunan-bangunan yang terbengkalai akibat dampak
Tsunami. Dengan adanya bangunan yang terbengkalai, banyak masyarakat yang
membuang sampah di lokasi tersebut, sehingga diasumsikan bangunan terbengkalai
tersebut akan menjadi tempat perindukan nyamuk DBD.
Perubahan faktor musim dan penyimpangan pola hujan juga berperan dalam
peningkatan jumlah jentik nyamuk DBD. Kondisi tersebut di atas juga dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat yang menyimpan air secara tradisional yang disebabkan
oleh kekurangan air bersih yang dialami masyarakat. Hal ini terjadi karena banyaknya
saluran pipa dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang putus dan tidak
berfungsi pasca Tsunami, sehingga beberapa keluarga yang tidak mudah
mendapatkan air enggan membuang air dan menguras bak mandi.
Selain hal tersebut, masyarakat Kecamatan Baiturrahman pasca Tsunami
sudah jarang bahkan hampir tidak pernah lagi melakukan kegiatan gotong-royong
untuk pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD di lingkungan tempat tinggal.
Beberapa studi yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terungkap
melakukan 3M (menguras, menutup dan mengubur), namun hanya 35% dari
masyarakat tersebut yang benar-benar melakukan kegiatan 3M (Soekidjo, 2005).
Menurut keterangan petugas P2P penyakit DBD Dinas Kesehatan Kota Banda
Aceh, peningkatan IR DBD juga disebabkan oleh perilaku masyarakat itu sendiri
yang kurang aktif dalam program penanggulangan penyakit DBD, seperti menolak
sewaktu diadakan penyemprotan DBD, banyak masyarakat yang tidak hadir ketika
dilakukan penyuluhan tentang DBD, menolak petugas kesehatan melakukan
pemeriksaan jentik, bahkan abate yang dibagikan petugas kesehatan pun tidak mau
ditaburkan ke dalam sumur atau bak mandi dengan alasan takut airnya tidak bisa
digunakan lagi (Subdinas P2P Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2007).
Partisipasi masyarakat menjadi faktor yang menentukan dalam pencegahan
penyakit DBD ini, sebab sebagus apa pun program yang dilakukan oleh pemerintah
tanpa peran aktif masyarakat program tersebut tidak akan mencapai hasil yang
diharapkan. Putra (2006) di Kabupaten Sumenep, menerangkan faktor perilaku yang
berhubungan dengan endemisitas DBD antara lain kurangnya peran serta masyarakat
dalam program dan kepercayaan masyarakat itu sendiri.
Paul dalam Hikmat (2004) menerangkan, ditinjau dari beberapa aspek upaya
pemberantasan penyakit DBD, faktor yang berperan tidak hanya dilakukan oleh
sektor kesehatan saja, tetapi perlu dilakukan secara terintegrasi dengan
memberdayakan berbagai komponen masyarakat. Geertz menyatakan bahwa
sungguh. Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyarakat seringkali
terhambat oleh persepsi yang kurang tepat, yang menilai masyarakat ”sulit diajak
maju” (Mardikanto, 2003).
Dalam melakukan berbagai upaya pencegahan penyakit DBD, peranan ibu
sangat menentukan, karena kebersihan rumah dan lingkungan sekitar rumah biasanya
lebih dominan dilakukan oleh ibu yang lebih banyak waktunya di rumah. Berdasarkan
hasil penelitian Hendra (2003) di Kabupaten Bogor didapati bahwa dalam keluarga,
ibu lebih peduli dan dominan melakukan berbagai upaya pencegahan penyakit DBD,
seperti membersihkan halaman rumah, membersihkan tempat penampungan air,
membersihkan bak mandi, dan lain-lain. Penelitian Amin (2004) di Jakarta Timur
menyatakan bahwa anggota keluarga yang paling dominan menentukan perlu
tidaknya keluarga melakukan tindakan pencegahan penyakit DBD (sebagai
pengambil keputusan) adalah ibu rumah tangga.
Mengacu kepada uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
pengaruh kesempatan, kemauan, dan kemampuan ibu terhadap partisipasi dalam
pencegahan penyakit DBD di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh.
1.2.Permasalahan
Berdasarkan tingginya IR DBD di Kecamatan Baiturrahman yaitu sebanyak
378 per 100.000 penduduk dengan CFR 0.004%, dan dikaitkan dengan peran strategis
ibu yang lebih dominan melakukan berbagai upaya pencegahan penyakit DBD,
membersihkan bak mandi, dan lain-lain. Maka dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini apakah ada pengaruh kesempatan, kemauan, dan kemampuan ibu
terhadap partisipasi dalam pencegahan penyakit DBD di Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh kesempatan, kemauan, dan kemampuan ibu
terhadap partisipasi dalam pencegahan penyakit DBD di Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh.
1.4. Hipotesis Penelitian
Kesempatan, kemauan, dan kemampuan ibu berpengaruh terhadap partisipasi
dalam pencegahan penyakit DBD di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dalam
mengambil kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan program pencegahan
penyakit DBD.
1.5.2. Sebagai tambahan informasi dan referensi mengenai DBD sehingga menjadi
dasar dilakukannya penelitian selanjutnya.
1.5.3. Bagi Program magister Kesehatan sebagai bahan informasi yang dapat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Partisipasi Masyarakat
Conyers dalam Soetomo (2006), mengemukakan bahwa partisipasi
masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh
determinan dan kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan.
Ada lima cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu :
1. Survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi.
2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar pelaksanaan tugasnya sebagai agen
pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
perencanaan.
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang
semakin besar kepada masyarakat unutk berpartisipasi.
4. Perencanaan melalui pemerintah lokal.
5. Menggunakan strategi pengembangan komunitas (community development).
Chapin dalam Notoatmodjo (2005), mengemukakan partisipasi dapat diukur
dari yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu :
1. Kehadiran individu dalam pertemuan-pertemuan.
2. Memberikan bantuan dan sumbangan keuangan.
3. Keanggotaan dalam kepanitiaan.
Sutton dan Kolaja dalam Notoatmodjo (2005), membagi peran-peran dalam
partisipasi program menjadi tiga, yaitu :
1. Pelaku adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan yang aktif dalam
program.
2. Penerima adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang
dijalankan.
3. Publik adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan
program, tetapi dapat membantu pihak pelaku.
Dusseldorp dalam Mardikanto (2003), menyatakan bahwa bentuk kegiatan
partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa :
1. Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat.
2. Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok.
3. Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat yang lain.
4. Menggerakkan sumberdaya masyarakat.
5. Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan.
6. Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya.
Ditjen PP & PL Depkes RI (2006), mengemukakan bahwa partisipasi adalah
keadaan di mana individu, keluarga, maupun masyarakat umum ikut serta
bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan masyarakat
suatu stimulus. Mekanisme ini disebut pemecahan masalah atau proses pemecahan
masalah.
Mengembangkan dan membina partisipasi masyarakat sebenarnya tidak lain
dari pada mengembangkan mekanisme atau proses pemecahan masalah tersebut agar
berlangsung lebih rasional. Sayangnya seringkali apa yang rasional menurut petugas
kesehatan, tidak selamanya dianggap rasional pula oleh masyarakat. Perbedaan
persepsi tersebut menyebabkan hambatan dalam perkembangannya mekanisme atau
proses pemecahan masalah tersebut, sehingga berpengaruh pula terhadap
perkembangan dan pembinaan partisipasi itu sendiri. Sesuai dengan tahap-tahap
dalam pemecahan masalah, maka tahap-tahap partisipasi juga dapat dikelompokkan
menjadi :
1. Partisipasi dalam tahap pengenalan masalah dan penentuan prioritas masalah.
2. Partisipasi dalam tahap penentuan cara pemecahan alias tahap perencanaan.
3. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan, termasuk penyediaan sumber daya.
4. Partisipasi dalam tahap penelitian dan pemantapan.
Setiap tahap partisipasi ini jelas bahwa setiap tahap, bentuk ikut sertanya
masyarakat bertanggung jawab dalam perencanaan, dan sebagainya.
Ditjen PP & PL Depkes RI (2005), mengemukakan bahwa partisipasi
diartikan sebagai keikutsertaan seseorang atau kelompok anggota masyarakat dalam
suatu kegiatan. Wujud dari keikutsertaan dimaksud tentu saja adalah perilaku tertentu
yang positif bagi pencapaian tujuan kegiatan. Dalam program pencegahan penyakit
Craig dan Mayo dalam Yustina (2003), mengatakan Empoworment is road to
participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi
dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk
menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum
berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk
berpartisipasi, karena merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat ketika mereka
dikehendaki untuk berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan.
Collins dalam Hikmat (2004), ada beberapa alasan untuk memfokuskan
partisipasi masyarakat (community participation) dalam hal manajemen dan
perencanaan kesehatan, yaitu :
1. Efektivitas program lebih mudah dicapai, hal ini dimungkinkan oleh karena
manajemen dan perencanaan lebih mengarah kepada kebutuhan masyarakat lokal,
selain itu masyarakat dapat memberikan kontribusi yang penting dalam proses
monitoring dan evaluasi program.
2. Melalui partisipasi masyarakat sustainabilitas kesehatan dapat diperoleh dengan
lebih mudah.
3. Dengan proses community participation yang efektif dapat merupakan prinsip
akuntabilitas dari masyarakat terutama dalam hal pembiayaan pelayanan
4. Dengan community participation tingkat penerimaan program kesehatan oleh
masyarakat dapat lebih mudah diperoleh yang pada gilirannya akan meningkatkan
utilitas dan cakupan pelayanan kesehatan.
5. Pada situasi dengan keterbatasan sumber daya yang ada, masyarakat dapat
berperan dalam hal kontribusi tenaga, lahan, material dan bahkan pembiayaan.
2.2. Faktor-Faktor Pembentuk Partisipasi
Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa elemen partisipasi, antara lain:
1. Motivasi
Persyaratan utama masyarakat untuk berpartisipasi adalah motivasi. Tanpa
motivasi masyarakat sulit untuk berpartisipasi di segala program. Timbulnya
motivasi harus dari masyarakat itu sendiri, dan pihak luar hanya merangsangnya saja.
2. Komunikasi
Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan pesan, ide dan
informasi masyarakat. Sebagian media masa merupakan alat yang sangat efektif
untuk menyampaikan pesan yang akhirnya dapat menimbulkan partisipasi.
3. Kooperasi
Kerja sama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan instansi
kesehatan sendiri adalah mutlak diperlukan. Terjelmanya team work antara mereka
4. Mobilisasi
Partisipasi bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program saja, tetapi
partisipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir mungkin, dari
identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan program, pelaksanaan
sampai dengan monitoring program.
Cary dalam Notoatmodjo (2005), mengatakan bahwa partisipasi dapat tumbuh
jika tiga kondisi berikut terpenuhi :
1. Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan
anggota-anggota masyarakat untuk berpartisipasi.
2. Mampu untuk berpartisipasi, adanya kapasitas dan kompetensi anggota
masyarakat sehingga mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif
untuk program.
3. Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk
berpartisipasi dalam program.
Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama. Bila orang mau dan mampu
tetapi tidak merdeka untuk berpartisipasi, maka orang tidak akan berpartisipasi.
Ross dalam Notoatmodjo (2005) berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhnya
partisipasi, yaitu :
1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga
dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara
2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar
untuk mengambil keputusan.
3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
Slamet dalam Mardikanto (2003), menyatakan bahwa tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh
tiga unsur pokok, yaitu :
1. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
2. Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi.
3. Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi.
2.2.1. Kesempatan Untuk Berpartisipasi
Banyak program pembangunan yang kurang memperoleh partisipasi
masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi. Di lain pihak, juga sering dirasakan kurangnya informasi yang
disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat
atau dituntut untuk berpartisipasi.
Beberapa kesempatan yang dimaksud adalah (Mardikanto, 2003):
1. Kemauan politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam
pembangunan, baik dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, pemeliharaan dan pemanfaatan pembangunan sejak di
tingkat pusat sampai di jajaran birokrasi yang paling bawah.
3. Kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumberdaya alam dan manusia
untuk pelaksanaan pembangunan.
4. Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat (termasuk
peralatan perlengkapan penunjangnya).
5. Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan
peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan.
6. Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan,
menggerakkan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat sering tidak nampak karena mereka merasa tidak diberi
kesempatan untuk berpartisipasi atau dibenarkan berpartisipasi, khususnya yang
menyangkut: pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, pemantauan
dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil pembangunan yang akan dicapai. Karena itu
harus dijelaskan tentang segala hak dan kewajiban setiap warga masyarakat pada
bagian kegiatan apa mereka diharapkan partisipasinya, dan apa bentuk partisipasinya
yang diharapkan (tenaga, uang, pikiran, dll) dari masyarakat (Yustina, 2003).
Pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah sekedar
pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak
melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau mengganggu tercapainya
tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus dilandasi
oleh pamahaman bahwa masyarakat setempat layak diberi kesempatan karena
negara, mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap
kesempatan membangun bagi perbaikan mutu hidupnya (Mardikanto, 2003).
2.2.2. Kemauan Untuk Berpartisipasi
Soewardi dalam Makmur (2008), menyatakan human motivation (kemauan
manusia) adalah kekuatan psikis dalam diri manusia. Dengan motivasi tersebut
manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila kemauan itu hilang, manusia akan
melesak ke bawah, yang disebut tergelincir. Sebaliknya bila kemauan itu timbul
manusia akan melejit ke atas, yang disebut menyongsong.
Winardi dalam Makmur (2008), mengemukakan bahwa Kemauan (motivasi)
berkaitan dengan kebutuhan. Kita sebagai manusia selalu mempunyai kebutuhan yang
diupayakan untuk dipenuhi. Untuk mencapai keadaan termotivasi, kita harus
mempunyai tindakan tertentu yang harus dipenuhi. Dengan demikian, kebutuhan
seseoranglah yang akan menjadi dasar untuk melakukan tindakan (perilaku).
Mardikanto (2003), menyatakan kemauan untuk berpartisipasi merupakan
kunci utama untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Sebab,
kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan
untuk turut membangun.
Kemauan untuk membangun ini, ditentukan oleh sikap mental yang dimiliki
masyarakat, yang menyangkut :
2. Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya.
3. Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas diri.
4. Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan
pembangunan.
5. Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki
mutu hidupnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
stimulasi atau objek. Sikap juga menggambarkan suka atau tidak suka, setuju atau
tidak setujunya seseorang terhadap semua objek dan sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau dari orang lain. Sikap cenderung memberikan pendapat,
penelitian terhadap suatu hal (Azwar, 2005).
Purwanto dalam Azwar (2005), menyatakan bahwa sikap adalah pandangan
atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap yang
objektif. Jadi sikap senantiasa terarah terhadap suatu hal. Manusia dapat mempunyai
sikap terhadap bermacam-macam hal. Sikap juga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sikap bukan dibawa Sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan seseorang.
2. Sikap dapat berubah-ubah karena dapat dipelajari.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan terhadap suatu
4. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat inilah yang
membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki
seseorang.
Alport dalam Azwar (2005) mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan
dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati,
menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek
tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok, yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting.
Struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu
komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen konatif
(conative). Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercaya oleh
individu pemilik sikap mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek
sikap. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional
subjektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Komponen konatif merupakan aspek
kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang
2.2.3. Kemampuan Untuk Berpartisipasi
Menurut Robbins dalam Makmur (2008), kemampuan adalah suatu kapasitas
individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh
kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah
kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan
kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas
yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan ketrampilan serupa.
Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan masyarakat baik secara
intelektual dan fisik, masyarakat akan memberikan kontribusi secara maksimal
terhadap penyelenggaraan program pemberantasan penyakit DBD. Kesediaan
seseorang untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuannya untuk
berkembang secara mandiri.
Tilaar dalam Makmur (2008), mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang
berpartisipasi adalah masyarakat yang mengetahui potensi dan kemampuannya
termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu
berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya
termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat
lainnya, bahkan pada tingkat nasional, regional dan internasional.
Mardikanto (2003) menyatakan, kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk
membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki
mutu hidupnya).
2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan yang dipengaruhi oleh
pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan
sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.
Menurut Mardikanto (2003), Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
dipengaruhi oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
1. Pendidikan
Cumming dkk dalam Azwar (2005), mengemukakan bahwa pendidikan
sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu
pembentukan watak yaitu sikap disertai kemampuan dalam bentuk kecerdasan,
pengetahuan dan keterampilan.
Seperti diketahui bahwa pendidikan formal yang ada di Indonesia adalah
tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas
dan tingkat akademi/ Perguruan Tinggi. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya
nalar seseorang yang lebih baik, sehingga memungkinkan menyerap
informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi informasi-informasi atau setiap
2. Pengetahuan
Purwodarminto dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal objek. Pengetahuan merupakan
hasil ”tahu” dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh malalui mata dan telinga.
Margono dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi.
Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu
unsur yang diperlukan seseorang agar dapat melakukan sesuatu. Unsur-unsur tersebut
adalah :
(1) Pengetahuan/ pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukannya.
(2) keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa yang
dilakukannya.
(3) Sarana yang diperlukan untuk melakukannya.
(4) Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang
dirasakan.
Staton (Notoatmodjo, 2005) menyebutkan ”Pengetahuan atau Knowledge”
Notoatmodjo (2005), berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil tahu
seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek. Pengetahuan seseorang terhadap
obyek mempunyai intensitas dan tingkat yang berbeda-beda, yang secara garis besar
dapat dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu:
(1) Tahu (know)
Merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, termasuk dalam
tingkatan ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
(2) Memahami (comprehension)
Pada tingkatan ini orang sudah paham dan dapat menjelaskan secara benar
tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar juga.
(3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
(4) Analisis (analisys)
Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk menjabarkan materi yang
(5) Sintetis (synthetis)
Sintesis merupakan kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada dengan cara meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
(6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau obyek, dimana penilaian berdasarkan pada kriteria yang
dibuat sendiri atau pada kriteria yang sudah ada.
3. Keterampilan
Gie dalam Makmur (2008) menyatakan keterampilan sangat erat kaitannya
dengan sumber daya manusia (SDM). Kegiatan menguasai sesuatu keterampilan
dengan tambahan bahwa mempelajari keterampilan harus dibarengi dengan kegiatan
praktik, berlatih dan mengulang-ngulang suatu kerja. Seseorang yang memahami
semua asas, metode, pengetahuan dan teori dan mampu melaksanakan secara praktis
adalah orang yang memiliki keterampilan.
Keterampilan merupakan pemahaman seseorang akan suatu metode (cara,
teknik), pengetahuan dan teori dan dapat mempraktikkannya dalam kehidupan
2.3. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes terutama Aedes Aegypti yang
sering menimbulkan wabah dan kematian. Menemukan kasus DBD secara dini
bukanlah hal yang mudah, karena pada awal perjalanan penyakit gejala dan tandanya
tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya. Penegakan
diagnosis DBD (secara klinis) sesuai dengan kriteria World Health Organization
(WHO), sekurang-kurangnya memerlukan pemeriksaan laboratorium, yaitu
pemeriksaan trombosit dan hematokrit secara berkala (Depkes RI, 2005).
Virus Dengue sebagai penyebab DBD ini sampai sekarang dikenal ada empat
tipe (tipe 1, 2, 3 dan 4) termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus. Keempat
tipe virus ini ada di berbagai daerah indonesia. Hasil penelitian menunjukkan virus
Dengue tipe 3 merupakan serotype yang dominan menyebabkan kasus yang berat
(Depkes RI, 2005).
Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade
terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa.
Masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari. Prognosis DBD sulit
diramalkan dan pengobatan yang spesifik untuk DBD tidak ada, karena obat terhadap
virus Dengue belum ada. Prinsip dasar pengobatan penderita DBD adalah pengantian
2.3.1. Definisi kasus DBD
1. Diagnosa klinis
Diagnosa DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut World
Health Organization (WHO), terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris (Depkes RI,
2005).
Kriteria Klinis (1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus 2-7 hari, (2) Terdapat manifest perdarahan ditandai
sekurang-kurangnya uji torniquet positif. Perdarahan spontan berbentuk perdarahan bawah kulit
(peteki, purpura, ekimosis), mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena), (3) Disertai atau tanpa pembesaran hati, (4) Syok
ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi < 20mm Hg atau nadi
tidak teraba, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris (1) Trombositopenia (100.000/μ1 atau kurang), (2)
Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
2. Diagnosa Laboratoris DBD
Pemeriksaan serologis didasarkan pada timbulnya antibodi setelah infeksi
(Depkes RI, 2005). Cara yang dilakukan adalah pemeriksaan HI (Haemaglutination
Inhibition) dan uji antibodi IgM dan IgG (ELISA)
a.Deteksi Antigen PCR (Polymerase Chain Reaction).
2.3.2. Klasifikasi kasus DBD (Depkes RI, 2005).
1. Kasus tersangka DBD :
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet
positif) dan/atau trombositopenia(≤ 100.000μ1).
2. Kasus Demam Dengue (DD)
Gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik, nyeri kepala hebat,
nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang dan sendi, mual, muntah dan timbulnya
ruam atau hasil Ig M positif.
3. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet
positif), trombositopenia, hemokonsentrasi atau hasil pemeriksaan serologis positif.
4. Kasus Dengue Shock Syndrome (DSS)
DBD derajat III dan IV.
2.3.3. Tempat Potensial Bagi Penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya, antara lain (Depkes RI, 2005):
1. Wilayah yang banyak kasus DBD (endemis)
2. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang
beberapa tipe virus dengeu cukup besar. Tempat-tempat tersebut antara lain
sekolah, rumah sakit, hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah, dll.
3. Permukiman baru di pinggir kota
Karena di lokasi ini penduduknya berasal dari berbagai wilayah, maka
kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa virus
Dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal.
2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes Aegypti
Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah
tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat-tempat atau
bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak
melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat
berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.
Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
1. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum,
tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti: tempat
minum burung, vas bunga, perangkap semut, dan barang-barang bekas (ban,
kaleng, botol,plastik, dll).
3. Tempat penampungan air alamiah, seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah
2.3.5. Perilaku Nyamuk Aedes Aegypti
Biasanya nyamuk Aedes aegypti mencari mangsanya pada siang hari. Aktifitas
menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara
pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, nyamuk Aedes
aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sabagai
penular penyakit. Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di
dalam atau kadang-kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat
perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di
tempat-tempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Hadinegoro, 2005).
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina Aedes
aegypti akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di
atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu
±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umumnya nyamuk
batina dapat mencapai 2-3 bulan. Setiap bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan
telur sebanyak 100 butir. telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan
berbulan-bulan pada suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila tempat-tempat tersebut
kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih
2.3.6. Penyebaran Nyamuk Aedes Aegypti
Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter,
namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah
lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis. Di indonesia
nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum.
Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian ±1000 meter dari
permukaan air laut. Di atas ketinggian ±1000 tidak dapat berkembangbiak, karena
pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan
bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).
2.3.7. Variasi Musiman Nyamuk Aedes Aegypti
Pada musim hujan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang
pada musin kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. telur-telur yang tadinya belum
sempat menetas akan menetas. selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat
penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk ini. Oleh karena itu pada musim hujan populasi Aedes
aegypti meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengeu (Depkes RI, 2005).
2.3.8. Pencegahan Penyakit DBD
Sebagaimana diketahui cara pencegahan dan pemberantasan DBD yang dapat
dan pemberantasan terhadap jentik-jentiknya, karena vaksin untuk mencegah dan obat
untuk membasmi virusnya belum tersedia. Cara yang dianggap paling tepat adalah
Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengeu (PSN-DBD) yang harus
didukung oleh peran serta masyarakat. Apabila PSN-DBD dilaksanakan oleh seluruh
masyarakat maka populasi nyamuk Aedes Aegypti akan dapat ditekan
serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi. Upaya penyuluhan dan
motivasi kepada masyarakat harus dilakukan secara berkesinambungan dan
terus-menerus, karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku
masyarakat (Depkes RI, 2005).
Hadinegoro (2005), menyatakan bahwa Strategi dalam pencegahan penyakit
DBD, maliputi:
1. Fogging
Fogging dilakukan terhadap nyamuk dewasa dengan insektisida. mengingat
kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka
penyemprotan tidak dilakukan pada dinding rumah. Kegiatan fogging hanya
dilakukan jika ditemukan penderita/tersangka penderita DBD lain, atau
sekurang-kurangnya ada 3 penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukannya jentik
nyamuk Aedes aegypti di lokasi.
2. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan tentang penyakit demam berdarah dan pencegahannya dilakukan
Kegiatan ini dilakukan setiap saat pada beberapa kesempatan. Selain penyuluhan
kepada masyarakat luas, penyuluhan juga dilakukan secara individu melalui kegiatan
pemantauan jentik berkala (PJB).
3. Pemantauan jentik berkala
Pemantauan jentik berkala dilakukan setiap 3 (tiga) bulan di rumah dan
tempat-tempat umum. Diharapkan angka bebas jentik (ABJ) setiap kelurahan/ desa
dapat mencapai lebih dari 95% akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD.
4. Penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD
Cara yang tepat dalam pencegahan penyakit DBD adalah dengan
melaksanakan PSN-DBD, dan dapat dilakukan dengan cara yaitu
(1) Fisik, cara ini dikenal dengan ”3M” yaitu: Menguras dan menyikat bak mandi
secara teratur seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air rumah
tangga (tempayan, drum, dan lain-lain), mengubur, menyingkirkan atau
memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban, dan lain-lain),
(2) Kimia, cara memberantas jentik Aides aegypti dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida yang biasa
digunakan adalah temephos dimana formulasi yang digunakan adalah dalam
bentuk granule (sand granules), dengan dosis 1 ppm atau 100 gram (± 1 sendok
makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temophos ini mempunyai
efek residu 3 bulan. Larvasida yang lain yang dapat digunakan adalah golongan
(3) Biologi, pemberantasan jentik Aides aegypti dengan cara biologi adalah dengan
memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang/tempalo,
dan lain-lain).
Selain itu ditambah juga dengan cara lain :
1. Mengganti air dalam vas bunga, tempat minum burung, atau tempat-tempat lain
yang sejenis semingu sekali.
2. Memperbaki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.
3. Menutup lubang-lubang dan potongan bambu.
4. Memasang kawat kasa.
5. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.
6. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang mamadai.
7. Menggunakan kelambu.
8. Memakai obat/lotin yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
2.3.9. Pelaksanaan Kegiatan Pencegahan DBD Oleh Masyarakat
Kegiatan pencegahan penyakit DBD yang melibatkan masyarakat adalah
(Depkes RI, 2005) :
1. Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing, yang sebelumnya telah
diberikan pengarahan langsung oleh ketua RT/RW, tokoh
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukan nyamuk; tempat
penampungan air, barang bekas, lubang pohon/tiang pagar, dll.
cara : Melakukan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur).
2. Penggerakan masyarakat dalam menaburkan bubuk larvasida
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas kesehatan.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempat-tempat
umum.
cara : Larvasida dilakukan di seluruh wilayah terjangkit, dengan
menaburkan larvasida sesuai takaran.
3. Penyuluhan
Pelaksana : Petugas kesehatan, kader dari masyarakat atau kelompok kerja
(Pokja) DBD desa/kelurahan.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
cara : Memberikan pengarahan dan informasi tentang cara-cara
pencegahan penyakit DBD yang dapat dilaksanakan oleh individu,
keluarga, dan masyarakat, serta situasi DBD di wilayahnya.
2.4. Landasan Teori
Secara umum partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan,
keterlibatan, dan kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu
baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan tersebut dimulai dari
gagasan, perumusan kebijaksanaan, hingga pelaksanaan program. Partisipasi secara
langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam
kegiatan yang dilaksanakan. Partisipasi tidak langsung dapat berupa bantuan
keuangan, pemikiran dan materi yang dibutuhkan (Depkes RI, 2005).
Meningkatkan partisipasi masyarakat tidaklah semata-mata berarti melibatkan
masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi program belaka. Dalam
partisipasi tersirat makna dan integritas keseluruhan program itu. Partisipasi
merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain. Partisipasi
berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan
dihasilkan suatu program sehubungan dengan kehidupan masyarakat (Depkes RI,
2005).
Untuk menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
kepada masyarakat untuk berpartisipasi, adanya kemauan, dan adanya kemampuan
masyarakat untuk berpartisipasi.
Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat pada gambar berikut ini:
KEMAMPUAN BERPARTISIPASI
KESEMPATAN BERPARTISIPASI KEMAUAN
BERPARTISIPASI
PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN
Gambar 2.1. Faktor-Faktor Pembentuk Partisipasi
Slamet (Mardikanto, 2003)
Adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan/ ditumbuhkan untuk
menggerakkan partisipasi masyarakat akan tidak banyak berarti jika masyarakatnya
tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Tentang hal ini, adanya kesempatan
yang diberikan, sering merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan
kemauan akan sangat menentukan kemampuannya. Sebaliknya adanya kemauan akan
mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan dan aktif memburu serta
2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori, maka peneliti merumuskan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:
Pembentuk Partisipasi
1. Kesempatan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
= Variabel yang diuji statistik
= Variabel yang tidak diuji statistik
2. Kemauan
3. Kemampuan
Partisipasi dalam pencegahan penyakit DBD
Karakteristik Ibu
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan 1. Tempat
perindukan nyamuk 2. Keberadaan
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe explanatory research
atau penjelasan yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara
variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun, 1986), yaitu untuk menjelaskan
pengaruh kesempatan, kemauan dan kemampuan ibu terhadap partisipasi dalam
pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh.
3.2.Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh, dengan pertimbangan di wilayah ini merupakan daerah yang
endemis DBD. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari sampai Juli 2008.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu rumah tangga yang ada di
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari ibu yang berada di
Kecamatan Baiturrahman yang berjumlah 6895 ibu, dengan besar sampel yang
diambil menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane (Notoatmodjo,
2003):
Dimana: N = Besar populasi yaitu sebanyak 6895 ibu
n = Besar sampel
d = Tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan (0,01)
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah sebanyak 99 ibu yang berada di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda
Aceh. Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara proportional
sampling to size, yaitu mengambil sampel dengan menghitung proporsi jumlah
sampel di setiap unit analisis (kelurahan). Proporsi sampel dalam penelitian ini adalah
perbandingan jumlah sampel dengan jumlah populasi, maka jumlah sampel di setiap
Tabel 3.1 : Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian di Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh
No Nama Kelurahan Jumlah ibu Sampel
1 Ateuk Deah Tanoh 638 9
2 Ateuk Jawo 654 9
3 Ateuk Munjeng 712 10
4 Ateuk Pahlawan 579 8
5 Kampong Baru 583 8
6 Neusu Aceh 688 10
7 Neusu Jaya 672 10
8 Peuniti 796 11
9 Seutui 698 10
10 Sukaramai 875 13
Total 6895 99
Untuk mengambil sampel terpilih setiap desa dilakukan dengan metode simple
random sampling, yaitu mengambil sampel dengan metode acak dengan cara undian
sampai memenuhi jumlah sampel yang diinginkan.
3.4. Metode Pengumpulan data
3.4.1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden (sampel) langsung
melalui wawancara berpedoman pada kuesioner yang telah disusun.
3.4.2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari catatan atau dokumen di Dinas Kesehatan Kota
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas instrumen dalam penelitian ini dilakukan kepada
30 orang responden di Kecamatan Kuta Alam, dengan alasan kecamatan Kuta Alam
juga merupakan kecamatan yang endemis DBD.
Validitas menunjukkan sejauh mana skor atau nilai yang diperoleh
benar-benar menyatakan hasil pengukuran yaitu dengan mencari korelasi antara
masing-masing pertanyaan dengan skor total variabel dengan nilai Corrected item-total
correlation (r), dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid
dan jika nilai r hitung < r tabel, maka dinyatakan tidak valid (Riduwan, 2005).
Dalam penelitian ini teknik untuk menghitung indeks reliabilitas yaitu
menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari
satu kali pengukuran, dengan ketentuan jika nilai r Alpha > r tabel, maka dinyatakan
reliabel dan jika nilai r Alpha < r tabel, maka dinyatakan tidak reliabel (Riduwan,
2005).
Berdasarkan tabel nilai r dengan taraf signifikansi 5% diperoleh nilai r tabel
dengan menggunakan df = n – 2, maka nilai r tabel adalah :
df = n – 2
= 30 – 2 = 28, maka nilai r tabel = 0,361
Tabel 3.2. : Hasil Perhitungan Validitas Dan Reliabilitas Kuesioner Kesempatan, Kemauan, Kemampuan Dan Partisipasi
No Variabel r tabel r hasil r alpha Keterangan
Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel
Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel
Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel Independen
1. Kesempatan adalah peluang atau keleluasaan ibu untuk ikut serta dalam
melakukan kegiatan pelaksanaan program pencegahan penyakit DBD, meliputi
mendapatkan informasi dan dilibatkan dalam proses kegiatan.
2. Kemauan adalah keinginan ibu untuk ikut serta dalam melakukan kegiatan
program pencegahan penyakit DBD, meliputi penyuluhan, penyemprotan,
pemeriksaan jentik, abatisasi dan PSN-DBD 3M.
3. Kemampuan adalah pengetahuan ibu dalam kaitannya dengan aplikasi
keterampilan untuk melakukan kegiatan pencegahan penyakit DBD, meliputi
PSN-DBD (3M dan abatisasi).
3.5.2. Variabel Dependen
Partisipasi dalam pencegahan penyakit DBD adalah keikutsertaan/ kesediaan
masyarakat dalam upaya tindakan preventif untuk menurunkan kasus penyakit DBD.
3.6. Metode Pengukuran
3.6.1. Variabel Independen
1. Variabel Kesempatan
Variabel ini mencakup 6 (enam) pertanyaan dengan menggunakan skala ukur