KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM
BAGI INVESTASI ASING DI INDONESIA
TESIS
Oleh
SUKIRAN
067011085/MKn
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM
BAGI INVESTASI ASING DI INDONESIA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUKIRAN
067011085/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
Nama : Sukiran
NIM : 067011085
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Sanwani Nasution, S.H) Ketua
(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI) Anggota
(Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum) Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah Diuji Pada
Tanggal: 18 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Sanwani Nasution, S.H.
Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI.
2. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.
3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
4. Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum.
ABSTRAK
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia, dan kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan perundang-undangan hukum investasi di Indonesia yang didukung dengan wawancara kepada narasumber pada BAINPROM Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui, jaminan kepastian hukum investor asing menurut UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 adalah pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan pengambialihan atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, dan jika terpaksa harus dilakukan pengambilalihan, maka kepada investor akan diberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7), dan jika tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi atau terjadinya sengketa investasi asing di Indonesia, penyelesaiannya dapat dibawa ke lembaga lembaga arbitrase (Pasal 32). Lembaga arbitrase yang dimaksud adalah Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi ICSID dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam kaitan investasi asing sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1 butir n dan Pasal 14 ayat 1 butir n, adalah kewenangan untuk pelayanan administrasi penanaman modal.
Berhubung pemerintah sudah meratifikasi lembaga arbitrase dalam undang-undang, maka sebaiknya ditegaskan penyelesaian sengketa antara WNA dengan pemerintah dalam hal penanaman modal melalui lembaga arbitrase internasional namun tetap menjunjung asas kebebasan berkontrak. Dengan kata lain tetap mengacu pada ketentuan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Kemudian perlu lebih tegas batasan pelayanan administrasi penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, sehingga tidak terjadi persepsi yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah dengan mempedomani UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.
ABSTRACT
Target of management of investment can only be reached by if supporter factor pursuing investment climate can be overcome, for example passing repair co-ordinate between Central Government with Local Government, creation of efficient bureaucracy, rule of law in capital cultivation area, expense of highly competitive economics, and also effort climate which is conducive in labour and security business of. Therefore become problems about rule of law guarantee to foreign investment according to Law of Investment in Indonesia, and regulations Local Government authority to foreign investment according to regulation of Local Governance.
The character of this research is descriptive of conducted analysis normative approach, because this research represent research of conducted document study or bibliography or addressed only at law and regulation punish investment in Indonesia which is supported with interview to guest speaker at BAINPROM North Sumatra Province.
Pursuant to result of research known, rule of law guarantee to foreign investor according to Law No. 25 Year 2007 is in principle Government will not conduct foreign company nationalization in Indonesia, and if its cannot help conducted by nationalization, hence to investor will be given by compensation which is its amount is specified pursuant to market price (Section 7), and otherwise there is agreement concerning indemnation or the happening of foreign investment dispute in Indonesia, its solution can be brought to institute institute arbitrate (Section 32) such Arbitrate institute is International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), because Indonesia have ICSID with Law No. 5 Year 1968 about Solving of Dispute Between State and Foreign Citizen Concerning Investment. Authority of Local Governance in foreign investment bearing as according to Law No. 12 Year 2008 becoming local government business is obliged to province and or sub-province/arranged town in Section 13 article 1 n item and Section 14 article 1 n item, is authority for the administrative services of foreign investment.
Referring to Government have ratified arbitrate institute in law, hence better be affirmed by the solving of dispute between WNA with Government in the case of investment through international arbitrate institute but remain to contract business principle. Equally remain to relate at rule of Section 66 Law No. 30 Year 1999 about Arbitrate jo Regulation of Supremacy Court (Peraturan Mahkamah Agung) No.1 Year 1990 about International Execution Decision Arbitrate, that international arbitrate decision can only be executed in Indonesia limited to decision which do not oppose against public interest. Then need more coherent investment administrative services definition becoming local governance authority, so that do not happened different perception between central government and local government. Therefore Government have to immediately publish Governmental Regulation with guidance of Law No. 12 Year 2008 about Local Government.
Keyword: Investment Guarantee; Foreign Investment.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama dengan segala kerendahan hati dipanjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas berkat dan anugrah-Nya yang telah menambah keyakinan dan
kekuatan bagi penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat
menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Kajian Yuridis Tentang Jaminan
Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia”
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Program Studi Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih penulis
sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak
Prof. Sanwani Nasution, S.H., Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI.,
dan Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum atas kesediaannya memberikan bimbingan dan
arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, kepada para dosen penguji di luar komisi pembimbing, yang
terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H dan Bapak
Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum yang telah berkenan memberi
masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium,
seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas
bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan
studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
beserta seluruh Staf atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas
sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu
kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.
5. Kepada seluruh rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan
(M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi
penulis dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Kenotariatan
(M.Kn).
Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Soe Tjiu Hoe dan Ibunda Tok Saikim yang
selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang
terbaik demi masa depan penulis. Demikian juga kepada orang tua mertua, yang telah
memberikan motivasi untuk penyelesaian studi.
Ucapan terima kasih kepada isteri tercinta Anny dan anak-anakku tersayang
Yudha Pratama dan Ovilya yang menjadi motivasi penulis sejak dalam masa studi
sampai dengan penulisan dan penyelesaian tesis ini.
Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu,
terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama
proses penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.
Medan, 18 September 2008
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Sukiran
Tempat/ Tgl. Lahir : 15 Februari 1975
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Agama : Budha
Alamat : Jl. Jemadi Gg. Bahagia II No. 23 Kelurahan Pulo
Brayan Darat II, Kecamatan Medan Timur, Kota
Medan.
II. Orang Tua
Nama Ayah : Soe Tjiu Hoe
Nama Ibu : Tok Saikim
III. Pendidikan
1. SD Teladan Medan, Tamat Tahun 1983
2. SMP Teladan Medan, Tamat Tahun 1989
3. SMA Letjen S. Parman, Tamat Tahun 1992
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Tamat Tahun 1999.
5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana
USU Medan Tahun 2006 - 2008.
Medan, 18 September 2008
Penulis,
Sukiran
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 18
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19
1. Kerangka teori ... 19
2. Konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 30
BAB II. TINJAUAN TENTANG INVESTASI ASING ... 33
A. Pengertian Investasi Asing ... 33
C. Perbedaan Investasi Asing Langsung dan Tidak Langsung ... 65
D. Prosedur Penanamn Modal Asing dan Masalah Yang
Dihadapi ... 70
BAB III. JAMINAN KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTASI
ASING MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG
NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL... 76
A. Substansi Baru, Insentif dan Pembatasan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ... 76
1. Substansi Baru dalam Undang-Undang Penanaman
Modal ... 76
2. Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal .. 80
3. Pembatasan dalam Undang-Undang Penanaman
Modal ... 107
B. Respon dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal yang Baru ... 113
1. Respon terhadap Undang-Undang Penanaman Modal .. 113
2. Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman
Modal ... 126
C. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ... 138
D. Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia ... 143
BAB IV. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
INVESTASI ASING MENURUT UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN
DAERAH... 155
A. Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Penanaman Modal
Kepada Pemerintah Daerah ... 155
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Investasi Asing Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah... 164
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 170
A. Kesimpulan ... 170
B. Saran ... 171
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Antara Investasi Asing Langsung dan Investasi Tidak Langsung ... 69
Tabel 2. Bahan Masukan Muatan Materi RPP Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal Sumatera Utara ... 162
DAFTAR SINGKATAN
APEC : Asia Pasific Economic Country APIT : Angka Pengenal Importir Terbatas BAINPROM : Badan Investasi dan Promosi
BAMI : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal CSR : Corporate Social Responsibility DNI : Daftar Negatif Investasi
DSP : Daftar Skala Prioritas
FDI : Foreign Direct Investment
FII. : Foreign Indirect Investment
ICSID : The International Center for the Settlement of Investment Disputes.
IFC : International Finance Corporation IKTA : Izin Kerja Tenaga Asing
ISIC : International Standard for Industrial Classification KBLI : Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
KPPOD : Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
LoI : Letter of Intent
MIGA : Multilateral Investment Guarentee Agency
PMA : Penanaman Modal Asing
PMDN. : Penanaman Modal Dalam Negeri
PMN : Perusahaan Multi Nasional
RKL : Rencana Pengelolaan Lingkungan ROI : Return On Investment
RTRW : Rencana Tata Ruang dan Wilayah SPI : Sales and Profit Income
TDP : Tanda Daftar Perusahaan
UKL : Upaya Pengelolaan Lingkungan
UMKMK : Usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya perekonomian di banyak negara mengakibatkan “interdepensi”
pada akhirnya menciptakan derajat keterbukaan ekonomi yang semakin tinggi di
dunia, yang terlihat bukan hanya pada arus peningkatan barang tapi juga pada arus
jasa serta arus uang dan modal. Pada gilirannya arus investasi di dunia semakin
mengikuti perkembangan keterbukaan ini, sehingga dewasa ini peningkatan arus
investasi itulah yang memacu arus perdagangan di dunia.1
Untuk itu, cukup beralasan jika setiap negara saling bersaing untuk menarik
calon investor khususnya investor asing (Foreign Direct Investment atau FDI) untuk
menanamkan modal di negaranya. Dalam suasana seperti ini peluang yang begitu
terbuka di era globalisasi agaknya perlu disikapi secara positif. Perdebatan tentang
globalisasi itu sendiri hingga saat ini masih terus berlangsung. Namun apa pun
alasannya, terjadinya globalisasi dalam berbagai hal termasuk dalam penanaman
modal suatu hal sulit dihindari. Satu hal yang pasti bahwa transformasi, penetrasi,
modernisasi, dan investasi merupakan bagian dari banyak hal yang akan memberi ciri
sebuah dunia global yang tidak lagi mengenal batas-batas teritorial. Dalam suasana
seperti ini penting untuk disadari bahwa memasuki arena pasar global, tentunya harus
1
Yanto Bashri (ed), Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia Prisma Pemikiran
Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Predna Media, Jakarta, 2003, hal. 12-13.
disertai persiapan yang matang dan terintegrasi terlebih lagi jika ingin mengundang
investor asing.2
Kehadiran investor asing dalam suatu negara menimbulkan berbagai pendapat
dengan argumentasi masing-masing. Pendapat tersebut antara lain ada yang
mengemukakan, kehadiran investor asing dapat mengancam industri dalam negeri
sendiri dan bahkan mungkin mengancam kedaulatan negara. Hal ini bukannya tidak
disadari oleh negara penerima modal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Rusdin:
Salah satu kritik terhadap globalisasi adalah meningkatnya ketergantungan antara ekonomi global, kekuatan ekonomi yang menggantikan dominasi pemerintah dan memfokuskan ke arah organisasi perdagangan bebas (WTO). Ketika dunia ini menjadi salah satu pasar berakibat pada semakin kuatnya interdepensi atau saling ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya yang sama-sama mempunyai kedaulatan nasional. Jadi yang sebenarnya terjadi bukanlah satu negara tergantung pada negara lainnya, melainkan suatu situasi dan kondisi di mana semuanya saling memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis, ekonomis dan tentu pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara.3
Oleh karena itu, terbukanya hubungan antara satu negara dengan negara
lainnya, terlebih lagi bagi negara-negara yang selama ini menutup diri dengan dunia
luar, mulai membuka diri. Hal ini berarti peluang untuk berinvestasi cukup luas.
Negara penerima modal pun menyadari bahwa implikasi yang akan muncul dengan
kehadiran investor asing di negara suatu hal yang sulit untuk dihindari. Negara
membutuhkan modal dalam membangun berbagai sektor. Modal yang dimaksud
disini, tidak semata-mata berupa dana segar, akan tetapi meliputi teknologi,
keterampilan serta sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam dan
potensi ekonomi lainnya.
2
Freddy Roeroe dkk., Batam Komitmen Setengah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003, hal. 108. 3
Modal dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam dan potensi ekonomi
yang berada di bawah otoritas negara. Adanya pengelolaan secara optimal terhadap
sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada, diharapkan ada nilai tambah tidak
saja bagi negara akan tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Adapun wujud
pengelolaan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada tersebut antara lain
dapat dilakukan oleh investor baik lokal maupun asing.
Dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis, terminologi
penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung
oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (foreign direct investment atau
FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing
(foreign indirect investment atau FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan istilah
penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat Lembaga
Pasar Modal (Capital Market).4 Menurut Gunarto Suhardi, Investasi langsung (FDI)
lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena investasi langsung
lebih permanen.5
Motivasi investor asing dalam melakukan investasi tidak dapat dilepaskan
dari perhitungan bisnis, sehingga di satu sisi kehadiran investasi asing sangat
dibutuhkan, terlebih bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Di sisi lain, ada kekhawatiran berbagai pihak investor hanya berpikiran bisnis.
4
Investasi dalam bentuk portofolio atau pembelian efek lewat pasar modal diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi, kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24).
5
Gunarto Suhari, Beberapa Elemen Penting dalam Hukum Perdagangan Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004, hal. 45.
Sebagaimana dikemukakan Robert Gilpin dan Jean Milies Gilpin dalam Haris
Munadar:
Para penerima investasi asing langsung (FDI), bersikap mendua menyangkut kegiatan perusahaan multi nasional. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa investasi asing langsung (FDI) membawa modal dan teknologi berharga ke dalam negara. Di sisi lain, mereka takut didominasi dan dieksplotasi perusahaan-perusahaan yang kuat ini.6
Sejumlah pakar ekonomi mengkaitkan ekspansi perusahaan multi nasional
(PMN) ke negara berkembang dengan dampak positif yang ditimbulkan oleh aktivitas
PMN sehingga mendorong pemerintah negara berkembang untuk lebih membuka diri
bagi investasi asing. Mereka pada umumnya bersepakat bahwa negara berkembang
menginginkan investasi asing karena manfaat langsung yang dapat dirasakan dari
kehadiran PMN. Dampak positif dari kehadiran PMN yakni pertama memberikan
kontribusi pertumbuhan ekonomi suatu negara; kedua menciptakan lapangan kerja
baru dan ketiga modal yang dibawa oleh PMN dapat memperbaiki neraca
pembayaran negara berkembang.7
Dengan demikian, perlu dicari hubungan antara motif investor mencari untung
dengan tujuan negara penerima modal yakni usaha untuk mencapai tujuan
pembangunan nasionalnya. Agar investor mau menanamkan modalnya maka
pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya. Sebagai
konsekuensi, maka pemerintah perlu menyelenggarakan perencanaan dengan mantap,
termasuk menetapkan kebijakan pelaksanaan dan pengawasan yang efektif sehingga
tercapai tujuan pembangunan nasional. Dengan pendekatan ini, maka peran investor
6
Robert Gilpin dan Jean Milies Gilpin, “The Challenge of Global Capitalism” (Tantangan
Kapitalisme Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
Edisi 1, Cetakan 1, hal. 173. 7
dapat diarahkan ke prioritas pembangunan. Dengan pendekatan semacam ini, maka
teori pembangunan merupakan satu proses kerjasama dan bukan masalah
ketergantungan dan bukan pula masalah pertentangan kepentingan.8
Faktor yang terdekat atau utama yang mendorong perusahaan dari perusahaan
negara industri baru untuk memindahkan modalnya ke luar negeri, karena
meningkatnya biaya lahan dan tenaga kerja di negaranya, akibatnya hasil produksi
tidak mempunyai daya saing. Selain faktor upah, juga dipengaruhi oleh perselisihan
perburuhan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan.9
Faktor lain disebabkan kebijakan pemerintah negara asal investor dan sikap
positif pemerintah negara industri baru terhadap penanaman modal di luar negeri.
Sebagai contoh sejak tahun 1986, pemerintah Taiwan menghapuskan pengawasan
devisa. Hal ini berarti mempermudah pengusaha Taiwan untuk menanamkan
modalnya ke luar negeri. Demikian juga halnya pemerintah Korea Selatan
mendorong penanaman modal ke luar negeri. Selain itu, sejak tahun 1987 pemerintah
Korea Selatan mengirim misi pengkaji ke Indonesia untuk menganalisis lingkungan
penanaman modal di Indonesia, dan menyediakan informasi bagi para penanam
modal prospektif Korea di samping mengorganisasi pertemuan-pertemuan orientasi
mereka yang melakukan penanaman modal di Indonesia.10
Dengan demikian kehadiran investor membawa manfaat bagi Indonesia
sebagai penerima modal untuk kelangsungan pembangunan, di sisi lain investor yang
8
Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal/Problems of Investment in
Equities and in Securities, Binacipta, Bandung, 1990, hal. 59.
9
Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia berbagai Kajian, LP3ES, Jakarta, 1996, Cetakan Kedua, hal. 149.
10
Ibid. hal. 149.
hendak menanamkan modalnya juga tidak lepas dari orientasi bisnis yaitu modal
yang diinvestasikan aman dan bisa menghasilkan keuntungan.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka bila suatu negara ingin
menjadi tujuan investasi asing perlu menciptakan iklim usaha yang memadai. Artinya
dilihat dari perspektif hukum ada aturan yang jelas. Itulah sebabnya mengapa para
pemimpin pemerintahan mengadakan berbagai pertemuan internasional untuk
menyatukan persepsi dalam merumuskan norma-norma yang terkait dengan investasi.
Dengan kata lain, dengan adanya pertemuan baik secara bilateral maupun multilateral
yang wujud konkretnya dalam perjanjian internasional bisa diangkat menjadi hukum
nasional dengan mengadopsi norma-norma atau nilai-nilai yang terkandung dalam
tatanan global. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, dalam berbagai pertemuan
para pemimpin APEC, telah disepakati berbagai hal antara lain pada pertemuan bulan
November 1994, Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan anggota APEC mengeluarkan
deklarasi yang dikenal dengan “Deklarasi Bogor”. Dalam pertemuan tersebut, para
pemimpin negara anggota APEC menyepakati sejumlah asas-asas yang tidak mengikat
dalam bidang investasi (nonbinding investment principles), antara lain:11
a. Transparency (keterbukaan)
b. Nondiscriminatory between source economics (non diskriminasi antar sumber ekonomi).
c. National treatment (perlakuan nasional) d. Investment incentives (rangsangan investasi) e. Performance requirement (persyaratan kinerja) f. Dispute settlement (penyelesaian sengketa)
g. Avoidance of double taxation (penghindaran pajak berganda) h. Investor behavior (perilaku investor)
i. Removal of barriers to foreign capital (penghapusan rintangan modal asing). j. Penyelesaian sengketa Penanaman Modal Asing (PMA) melalui lembaga
arbitrase.
11
Pertemuan para pemimpin dunia yang cukup berpengaruh dalam dunia bisnis
yakni pembentukan World Trade Organization (WTO). Bagi Indonesia sendiri, jauh
sebelum ditandatanganinya Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
atau World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994, sudah mulai timbul
pemikiran dari para ahli hukum bahwa ketentuan yang mengatur tentang investasi
secara langsung (FDI) yang dibuat sekitar empat puluh tahun yang lalu, dianggap
sudah tidak memadai lagi sebagai dasar hukum untuk menarik investor, baik investor
asing maupun dalam negeri.12 Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment
Report (WIR) 2003, dari 140 negara tujuan investasi yang disurvei, dilihat dari indeks
kinerja investasi ternyata Indonesia masuk dalam urutan ke 138.13
Untuk memacu kegiatan investasi, Pemerintah Indonesia ketika memasuki
awal tahun 2002 telah mencanangkan sebagai tahun investasi. Namun tingkat
kehadiran investasi asing ke Indonesia belum berjalan sesuai dengan harapan. Jika
ditelusuri lebih seksama mengapa kegiatan investasi berjalan lamban, agaknya ada
beberapa faktor yang cukup mempengaruhi,14 antara lain:
a. Faktor Politik
Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan
modalnya ke suatu negara adalah kondisi di negara tujuan investasi, apakah
kondisi politiknya stabil atau tidak. Sebab dengan tidak adanya kestabilan politik
12
Peter Kuin (Penyunting) dengan Kata Pengantar Sjahrir, Perusahaan Transnasional, Jakarta: Gramedia – Obor, 1987, hal. 2.
13
WIR 2003 yang dipublikasikan oleh UNCTAD, dalam www.unctad.org. 14
Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal, Indhill Co., Jakarta, 2002, Cetakan 1, hal. 8-13.
sulit untuk memprediksi kebijakan apa yang akan diambil oleh pemerintah yang
berkaitan dengan dunia usaha.
b. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dan politik dalam investasi merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, artinya adanya stabilitas politik dapat menggerakkan
roda perekonomian. Oleh karena itu tidak mengherankan, dengan
terselenggaranya pelaksanaan Pemilihan Umum15 sesuai dengan jadwal yang
sudah ditentukan, pihak yang terkait dengan masalah investasi dengan rasa
optimis menyampaikan kepada masyarakat, sekaranglah saatnya untuk
berinvestasi.
c. Faktor Hukum
Selain faktor politik dan ekonomi, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi
investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian hukum.
Berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan investasi dirasakan perlu untuk
menyesuaikan dengan berbagai perjanjian multilateral, regional maupun bilateral
yang diikuti oleh Pemerintah Indonesia.16
15
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam penjelasan umum disebutkan, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI merupakan suatu rangkaian Pemilu Anggaran DPR, DPD, dan DPRD yang dialskanakan sekali dalam lima tahun. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara.
16
Dari uraian yang dikemukakan di atas, memberikan pengertian bahwa
masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan internasional, maka kaidah-
kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma yang telah menjadi acuan
umum.
Peraturan perundang-undangan investasi di Indonesia diatur dalam
Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Kemudian undang-undang ini dicabut dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 (UUPM), yang berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 6 pada tanggal 26 April 2007.
Pasal 1 angka 3 UUPM menyatakan penanaman modal asing adalah kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Penanam modal asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil
bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas, atau membeli saham. 17
Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal
yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di
17
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UUPM
Indonesia. Perlakuan ini tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang
memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.18
Dalam penjelasan umum UUPM, agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi,
undang-undang ini juga memerintahkan penyusunan peraturan perundang-undangan
mengenai bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan, termasuk
bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UUPM berikut ini:
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertanahan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan
persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang
18
berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di
Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI) dan/atau International Standard for Industrial Classification (ISIC).19
Dalam Pasal 13 UUPM, Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang
dicadangkan, pembinaan dan pengembangan untuk usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi (UMKMK).20 Namun dalam pasal itu tidak disebutkan secara tegas,
bagaimana bentuk pengaturan yang dicadangkan untuk bidang usaha mikro, kecil,
menengah dan koperasi.21
Demikian juga dalam hal fasilitas fiskal (pajak) menjadi pertimbangan bagi
calon investor untuk menanamkan modalnya. Walaupun, dalam berbagai fasilitas
fiskal (pajak) yang diatur dalam Pasal 18 UUPM sudah memberikan ruang gerak
kemudahan bagi investor, namun ketentuan yang tercantum dalam UUPM juga harus
terjadi kesesuaian dengan peraturan yang terkait dalam hal ini ketentuan tentang
pajak.
19
Penjelasan Pasal 12 UUPM. Selanjutnya, peraturan presiden yang dimaksud, yaitu:
1) Peraturan Presiden R.I. Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
2) Peraturan Presiden R.I Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
20
Lihat Pasal 13 UUPM
21 Secara normatif, untuk usaha kecil sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (UUUK). Dalam undang-undang usaha kecil disebutkan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana yang diatur dalam UUUK (Pasal 1 butir 1 UUUK). Demikian juga halnya untuk koperasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Dalam undang-undang koperasi disebutkan, koperasi adalah badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (Pasal 1 butir 1 UU Koperasi). Yang menjadi masalah adalah bidang usaha apa saja yang dapat dimasuki oleh badan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
Selanjutnya, hal yang sering menjadi kekhawatiran bagi investor dalam
berinvestasi adalah panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati. Dalam Pasal 26
UUPM secara tegas dikemukakan pelayanan investasi dilakukan dalam satu pintu.
Sehingga investor tidak harus membutuhkan jangka waktu yang terlalu panjang
dalam mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan investasi yang hendak
dilakukan. Hanya saja untuk melaksanakan sistem pelayanan satu pintu perlu diatur
dalam Peraturan Presiden.22
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila
faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain
melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan
birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi
yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan
dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut,
diharapkan realiasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.23 Mengenai
ketenagakerjaan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Calon investor investasi fisik dimanapun akan selalu mencari informasi
selengkap-lengkapnya mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan
22
Pasal 26 ayat (3) UUPM, yang menyatakan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden..
23
investasinya di suatu negara. Mereka akan mencari informasi dari klipping-kliping di
kantor kedutaannya, rekan-rekannya (komunitasnya, asosiasi international),
majalah/koran/Televisi(TV), KADIN, pengamatan langsung, jurnal-ilmiah, dan
global independent rater (misalnya corruption perception index yang diterbitkan
transparency international, PERC, Instititutional Investor Credit Rating, dan
lain-lain).24 Hal ini menunjukkan bahwa investor asing sangat membutuhkan pengamanan
terhadap modal yang diinvestasikannya di negara penerima modal.
Investasi diharapkan membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.
Hal ini mendorong semua negara saling berlomba untuk menarik investasi, tak
terkecuali Indonesia. Persaingan memperebutkan investasi juga semakin sengit
sehingga semua negara saling berlomba memperbaiki iklim investasi guna
mendorong perekonomian. Di antara negara-negara berkembang, iklim investasi di
Indonesia masih kalah jauh, termasuk dengan negara tetangga. Lemahnya arus masuk
investasi turut membuat daya saing Indonesia menurun. Karena itu, kenaikan arus
investasi yang juga akan membawa keahlian akan bisa menolong pemulihan daya
saing Indonesia.
Perkembangan ini bisa disimak dari laporan hasil penelitian yang dikeluarkan
International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta Bank Pembangunan
Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai ”Doing Business
2007”. Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan
24
“CPI Investasi Asing dan Potensi Industri Asing “, Pidato ilmiah Prof.Dr.Ir. Kresnohadi Ariyoto Karnen, dibacakan pada saat upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen FEUI yang berlangsung hari Rabu, 14 Nopember 2007 di Kampus Depok, dalam Website Universitas Indonesia, hal. 1.
memulai usaha baru. Peringkat itu turun dari posisi 131 tahun lalu karena perbaikan
tak sesignifikan negara lain.25
Satu hal yang sering menjadi pertimbangan calon investor, jika investor ingin
menanamkan modalnya di luar negeri adalah eksistensi lembaga penyelesaian
sengketa antara investor dengan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional
di negara manapun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa yakni
lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga
yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan
rumah diselesaikan lewat lembaga peradilan ada keraguan di kalangan calon investor
asing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tineke Louise Tuegeh Longdong:
Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi adalah adanya jaminan hukum yang memadai, menyediakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase luar negeri terhadap kerugian-kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari penanaman modal. Investor dan pedagang asing selalu berupaya untuk melepaskan diri dari peradilan negara berkembang karena merasa tidak mengenal hukum setempat yang berlainan dengan sistem hukum negaranya sendiri. Selain itu ada keragu-raguan bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak obyektif. Alasan lain adalah, apakah lembaga peradilan negara berkembang ada kemampuan dalam memeriksa sengketa perdagangan internasional dan alih teknologi yang demikian rumit.26
Gencarnya ajakan Pemerintah Indonesia untuk menarik investasi asing
ternyata belum dibarengi dengan sistem kebijakan, perundang-undangan, birokrasi,
dan jaminan rasa aman yang memadai. Publik memandang berbagai kondisi yang ada
di Tanah Air saat ini belum mendukung iklim investasi yang kondusif. Padahal,
cukup tersirat harapan di benak publik bahwa masuknya investasi asing ini bisa turut
25
Ali Mubarak, “Memutus Hambatan Investasi”, terdapat dalam http://www.seputarindonesia.com, diakses tanggal 4 September 2007.
26
membantu memulihkan kondisi perekonomian nasional yang dirasakan kian
memburuk. Undangan pemerintah kepada pihak asing untuk terus menanamkan
investasi di Indonesia tak pernah henti diserukan. Namun, tampaknya berbagai hal
belum siap mendukung keseriusan pemerintah menarik investasi asing. Dalam
memberikan jaminan keamanan berusaha, misalnya kondisi di beberapa wilayah di
Indonesia memang masih belum cukup aman untuk membuat perusahaan-perusahaan
asing tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.27 Hal ini juga dipengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintahan daerah sejak diberlakukannya Otonomi Daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang telah dua kali dilakukan perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah.
Sejak otonomi daerah dilaksanakan telah lahir berbagai peraturan daerah.
Peraturan daerah ini semestinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan pendapatan daerah, namun demikian yang terjadi justru sebaliknya,
peraturan daerah cenderung membuat masyarakat dan dunia usaha dirugikan.28
Berdasarkan penelitian Departemen Keuangan peraturan daerah dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:29
1. Peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang telah sesuai dengan jenis-jenis pajak dan retribusi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2. Peraturan daerah tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar peraturan tentang biaya perizinan untuk bongkar pasang di wilayah perbatasan).
27
“Mencemaskan Masuknya Investasi Asing”, Kompas, 4 Februari 2006. 28
“Pemerintah Diminta Beri Perlakuan Yang Sama Untuk Tarik PMA”, Bisnis Indonesia, 25 Januari 2000.
29
Laporan Penelitian Departemen Keuangan, Tahun 2003.
Peraturan ini lebih banyak didorong untuk meningkatkan pendapatan dan cenderung mengabaikan kepentingan publik.
3. Peraturan daerah tentang kewajiban memberikan sumbangan perusahaan kepada pihak ketiga. Dengan peraturan ini maka perusahaan harus menyediakan bayaran “sukarela” kepada pihak ketiga termasuk pemerintah daerah setempat. Sumbangan pihak ketiga beroperasi sebagai pajak, tapi tidak dimasukkan ke dalam kas pemerintah. Alasannya, karena sumbangan ini diartikan sebagai sumbangan sukarela dari masyarakat kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada juga peraturan tentang biaya pungutan jalan dan transport. Pungutan ini dimaksudkan untuk membiayai pekerjaan jalan dan perawatan, tapi seringkali membebankan pajak dan biaya lainnya seperti pajak pendaftaran kendaraan.
4. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan namun di dalamnya tercantum pula pungutan-pungutan yang mirip pungutan pajak dan/ atau retribusi.
5. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan yang di dalamnya juga membuat pungutan namun pungutan tersebut berkaitan dengan jasa di bidang kepelabuhan.
Pada sisi lain, Departemen Keuangan juga melakukan penelitian terhadap
1.528 Perda yang terdiri dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, sektor
Pertanian dan Peternakan, sektor Perdagangan dan Industri, sektor Kehutanan dan
Perkebunan, sektor Pariwisata, sektor Perkebunan. Berdasarkan penelitian ini,
Departemen Keuangan merekomendasikan 206 Perda untuk dibatalkan karena
tumpang tindih dengan pajak pusat, pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip retribusi, menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah,
menghambat arus lalu lintas, menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan berakibat
meningkatnya beban subsidi pemerintah.30
Selain itu dana moneter internasional (IMF) juga merekomendasikan
pembatalan peraturan daerah karena memberatkan investor. Melalui letter of intent
(LoI), IMF meminta agar 100 peraturan daerah dibatalkan.31
30
Suparji, Penanaman Modal Asing di Indonesia Insentif vs Pembatasan, Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 150.
31
Pada tahun 2003, menurut hasil penelitian Komisi Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) ditemukan sebanyak 257 dari 353 peraturan daerah
(Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah adalah Perda bermasalah. Perda ini
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, pungutan non pajak, non retribusi, dan non
pungutan.32
Pada tahun 2008, sebanyak 41 Peraturan Daerah yang dinilai mengganggu
investasi migas dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Peraturan Daerah itu terkait
langsung maupun tidak langsung dengan iklim investasi di industri migas, seperti
perda pengelolaan air limbah, pengambilan air tanah dan pengelolaan migas.33
Banyaknya pungutan dan retribusi yang sebenarnya tidak perlu, kemudian
peraturan yang tumpang tindih dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah,
membuat biaya investasi menjadi lebih tinggi. Investor harus mengeluarkan biaya
ekstra yang memberatkan bagi kelangsungan usahanya.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi, pelayanan administrasi
penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Dalam melayani kebutuhan
investor, kemungkinan terjadinya perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya
sangat mungkin terjadi.
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian
yuridis tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia menurut
ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal dan kewenangan daerah dalam kaitan
dengan otonomi daerah.
32
“UU Otonomi Daerah Vs Perda”, Forum Keadilan, No. 35,1 Februari 2004. 33
“Ganggu Investasi Migas, 14 Perda Dibatalkan”, Bisnis Indonesia, 9 Mei 2008.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan adalah:
1. Bagaimana jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut ketentuan
Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia?
2. Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut
Undang-Undang Pemerintahan Daerah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka yang dijadikan tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut
ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing
menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangsih pengetahuan bagi
pengembangan hukum investasi secara umum dan secara khusus pada kajian
yuridis tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia.
2. Secara praktis
Diharapkan hasil penelitian ini nantinya bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman
bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta instansi-instansi terkait
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dari penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “Kajian Yuridis Tentang
Jaminan Kepastian Hukum Investasi Asing di Indonesia” belum pernah dilakukan
oleh peneliti lainnya. Sebelumnya memang penelitian yang berjudul “Analisis Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Investasi Dalam Pembangunan Daerah
Sumatera Utara” Tahun 2005 yang diteliti oleh H. Amiruddin, Magister Ekonomi
Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Jika dikonfrontir
penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah berbeda dalam pembahasannya.
Sehingga penelitian ini adalah asli dan keasliannya secara akademik keilmuan dapat
dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,34 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.35 Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.36 Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori kepastian hukum.
34
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203, dalam S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 13.
35
Ibid., hal. 16. 36
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Soerjono Soekanto, mengemukakan:
Wujud kepastian hukum adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di seluruh wilayah negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku umum, tetapi hanya bagi golongan tertentu. Selain itu dapat pula peraturan setempat yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja, misalnya peraturan kotapraja.37
Dari pendapat di atas, terlihat bahwa wujud kepastian hukum pada umumnya
berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas
untuk itu. Arti pentingnya kepastian hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo
adalah:
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, dan ketat menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).38
Dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi,
juga ada ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketentuan
tersebut, antara lain berkaitan dengan perpajakan, ketenagakerjaan, dan masalah
pertanahan. Semua ketentuan ini akan menjadi pertimbangan investor, dalam
melakukan investasi.
37
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan
Indonesia, UI Pres, Jakarta, 1974, Cet.4, hal. 56
38
Charles Himawan menyatakan:
Peraturan-peraturan itu kadang-kadang demikian banyaknya sehingga menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku. Untuk memanfaatkan modal multinasional secara maksimal diperlukan kejernihan hukum. Apabila hukum yang berwibawa berarti hukum yang ditaati orang, baik orang yang membuat hukum itu maupun orang terhadap siapa hukum itu ditujukan, akan terlihat di sini kaitan antara manusia dan hukum. Dirasakan pula perlunya hukum yang berwibawa untuk menunjang pembangunan. Dalam konteks yang berlainan diamati perlunya kepastian hukum untuk menjamin arus modal (capital flow) ke Indonesia.39
Satu hal yang menarik dari pandangan yang dikemukakan di atas, yakni
perlunya hukum yang berwibawa. Dengan kata lain berwibawanya hukum menjadi
indikator hukum yang dipatuhi. Tampaknya hal ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan
pembentukan hukum itu sendiri. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang pemikiran yang mendasari lahirnya suatu norma hukum. Selain itu, waktu
dan tempat berlakunya hukum juga cukup berpengaruh.
Lawrence M. Friedman, menyatakan:
“…hukum ditentukan secara tegas berdasarkan kebangsaan: hukum berhenti sampai di perbatasan negara. Di luar negaranya, hukum tidak sah sama sekali. Jadi tidak ada dua sistem hukum betul-betul serupa. Masing-masing sistem hukum bersifat khusus bagi negaranya atau yuridiksinya. Hal ini tidak berarti bahwa sistem hukum sepenuhnya berbeda dengan sistem hukum lainnya.40
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa keberadaan hukum di
tengah-tengah masyarakat sebagai pegangan dalam menjalankan hubungan satu dengan yang
lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis sangat dibutuhkan.
39
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, Cetakan 1, hal. 113, 155. Lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 118, yang menjelaskan bahwa: wibawa hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya. Bila demikian halnya hukum ditakuti, bukan dihormati. Tetapi sebaliknya wibawa ada pada hukum, oleh sebab hukum itu mengatur dan membimbing.
40
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Second Edition (Hukum Amerika
Sebuah Pengantar, Penerjemah: Wishnu Basuki), Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 19.
Investor membutuhkan adanya kepastian hukum sebagai salah satu ukuran
yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya, yaitu suatu aturan
yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu, ada aturan itu berlaku untuk
semua pihak.
Budiono Kusumohamidjojo, menyatakan:
Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama.41
Bertitik tolak dari pemikiran tentang asas kepastian hukum sebagaimana yang
dikemukakan di atas, dapat diketahui adanya korelasi antara kepastian hukum dengan
kegiatan investasi. Artinya apabila ada kepastian hukum dalam berinvestasi, maka
kegiatan investasi pun akan berjalan dengan baik.
Dalam menggerakkan sektor perekonomian lewat pranata hukum investasi
dibutuhkan aturan hukum yang jelas, demi kepastian hukum bagi investasi asing,
karena Indonesia membutuhkan investasi asing untuk pembangunan di segala sektor
yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara dana dalam negeri tidak
mencukupi, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara mencari alternatif lain,
di antaranya mengundang investasi asing masuk ke Indonesia.
Pengertian investasi dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, digunakan
investment (investasi) yang mempunyai arti:
41
Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya.42
Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah
investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk:
Penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang-barang produsen atau barang-barang-barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana kapital dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang, supaya memperoleh suatu hasil yang teratur dengan maksimum keamanan.43
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UUPM), penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun
penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia.
Dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis, terminologi
penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung
oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (Foreign Direct Investment
atau FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak
asing (Foreign Indirect Investment atau FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan
42
Lihat, John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi. Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1994, hal. 300.
43
Lihat, A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, Cetakan ke 6, hal. 340.
istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat
Lembaga Pasar Modal (Capital Market).44
Menurut Gunarto Suhardi,
Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena investasi langsung lebih permanen. Selain itu investasi langung:
a. Memberikan kesempatan kerja bagi penduduk
b. Mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal.
c. Memberikan risidu baik berupa peralatan maupun alih teknologi.
d. Bila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara.
e. Lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing.
f. Memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.45
Pernyataan ini memperlihatkan manfaat kehadiran investor asing dapat
menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan permintaan
bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor
asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor
pajak, adanya alih teknologi maupun alih pengetahuan. Dengan demikian kehadiran
investor asing cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya
pembangunan di daerah di mana investasi asing langsung (FDI) menjalankannya
aktivitasnya.
Mencermati peran investasi asing cukup signifikan dalam membangun
perekonomian, tidaklah mengherankan jika di berbagai negara di dunia, baik
44
Investasi dalam bentuk portofolio atau pembelian efek lewat pasar modal diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi, kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24).
45
negara maju maupun negara-negara berkembang berusaha secara optimal agar
negaranya dapat menjadi tujuan investasi asing tidak terkecuali Indonesia. Di lain
pihak, dari sudut pandang investor adanya keterbukaan pasar di era globalisasi
membuka peluang untuk berinvestasi di berbagai negara. Tujuannya sudah jelas
yakni mencari untung, sedangkan negara penerima modal berharap ada partisipasi
investor asing dalam pembangunan nasionalnya.
Untuk menyatukan antara kepentingan investor asing dengan
penerima-penerima modal harus disadari tidak mudah. Artinya apabila negara penerima-penerima modal
terlalu ketat dalam menentukan syarat penanaman modal investor, mungkin saja para
investor tidak akan datang lagi bahkan bagi investor yang sudah ada pun bisa jadi
akan merelokasi perusahaannya. Karena di era globalisasi ini, para pemilik modal
sangat leluasa dalam menentukan tempat berinvestasi yang tidak terlalu dibatasi
ruang geraknya. Untuk itu dalam menyikapi arus globalisasi yang terus merambah ke
berbagai bidang tersebut maka, peraturan perundang-undangan investasi asing di
berbagai negara pun terus diperbarui sesuai dengan perkembangan dunia bisnis yang
semakin mengglobal.
Dengan kata lain dalam perspektif, dunia bisnis tidak lagi mengenal
sekat-sekat atau batas negara. Tidak kalah pentingnya, ikut andil dalam perubahan
kebijakan investasi asing adalah pesatnya perkembangan teknologi di berbagai sektor,
khususnya di sektor informasi. Hal ini ialah menimbulkan ekspansi
perusahaan-perusahaan multinatisional terutama di bidang jasa keuangan. Menyikapi hal ini,
maka sejumlah negara pun melakukan kebijakan liberalisasi di bidang investasi, antara
lain membuka seluas-luasnya bidang usaha yang dapat dimasuki oleh investor asing yang
sebelumnya tertutup. Selain itu prosedur untuk berinvestasi pun disederhanakan.46 Jadi,
agar dapat berkompetisi dalam menarik investor berbagai ketentuan hukum yang terkait
dengan investasi di Indonesia perlu disesuaikan dengan tuntutan global.
Sondang P. Siagian menyatakan:
Jika suatu negara hendak mengundang investor asing dalam rangka pembangunan ekonominya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni:
1) Bahwa kesahan (legitimacy) pemerintah yang sedang berkuasa harus berada pada tingkat yang tinggi, oleh karena kesahan yang tinggi tersebut diduga akan menjamin kontinuitas dari pemerintahan yang bersangkutan.
2) Pemerintah harus dapat menciptakan suatu iklim yang merangsang untuk penanaman modal asing tersebut. Artinya bahwa kepada para penanam modal asing harus diberikan keyakinan bahwa modal yang mereka tanamkan memberikan kepada mereka keuntungan yang wajar sebagaimana halnya apabila modal tersebut ditanam di tempat lain, baik di negara asalnya sendiri maupun di negara lain.
3) Pemerintah perlu memberi jaminan kepada para penanam modal asing tersebut, bahwa dalam hal terjadinya goncangan politik di dalam negeri, maka modal mereka akan dapat dikembalikan kepada pemiliknya dan badan usaha mereka tidak dinasionalisasi.
4) Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa pemerintah itu mempunyai kesungguhan dalam memperbaiki administrasi negaranya, agar dalam hubungannya dengan penanam modal asing itu, maka permintaan izin dan hal lain yang menyangkut pembinaan usaha tidak mengalami perubahan-perubahan birokratisme yang negatif akan tetapi dapat berjalan lancar dan memuaskan.47
Di sini terlihat yang menjadi perhatian investor adalah legitimasi dari
pemerintahan yang sedang berkuasa. Hal ini memang ada kaitannya dengan risiko
yang akan dihadapi oleh investor. Sebenarnya dalam tatanan global berkaitan dengan
risiko non-komersial (non-commercial risk), sudah ada satu pengaturan bagi investor
yakni apa yang dicantumkan dalam Multilateral Investment Guarentee Agency,
46
Lihat, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I. Laporan Akhir:
Penelitian Tentang Aspek Hukum Perdagangan Dikaitkan dengan Penanaman Modal Asing, Jakarta,
1996, hal. 7. 47
(MIGA) yang diprakarsai Bank Dunia (World Bank).48 Indonesia sendiri telah turut
serta dalam konversi MIGA berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 1 Tahun
1986 tentang Pengesahan Convention Establishing The Multilateral Investment
Guarentee Agency. Hal ini berarti secara normatif jika menyangkut risiko politik
tidak menjadi masalah. Artinya jika terjadi risiko politik, maka MIGA sebagai suatu
institusi akan memberikan ganti rugi kepada investor.
Gunarto Suhardi menyatakan:
Ada banyak persetujuan lainnya di antara kelompok anggota-anggota PBB dalam berbagai hal yang menjadi hukum internasional yang mempengaruhi ekonomi rakyat berbagai negara. Satu contoh yakni perbaikan pengaturan perdagangan dunia yang sangat mempengaruhi kepada kelancaran hubungan ekonomi antar negara khususnya ekspor, impor, dan perdagangan jasa-jasa internasional. Pengaturan yang dimaksud di sini adalah General Agreement on Tariffs and Trade, GATT.49
Dengan demikian masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan
internasional, maka kaidah-kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma
yang telah menjadi acuan umum.
Bismar Nasution menyatakan:
Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum juga tidak dapat dihindarkan, sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi tersebut, dalam arti berbagai substansi undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Disinilah diperlukan pembaruan hukum investasi sebagai perangkat aturan untuk mengantisipasi kegiatan investasi di Indonesia era AFTA 2003. Dengan ini berarti hukum investasi harus diperbarui sesuai dengan “ritme” tuntutan AFTA guna menampung ketentuan AFTA.50
48
Lihat, A.F. Elly Erawati, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara Berkembang: Kajian
Terhadap Fungsi dan Peran dari “The Multilateral Inevstment Guarantee Agency”, Pusat Studi
Hukum Unpar, Bandung, 1989, hal. 30. 49
Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Unika Atmajaya, Yogyakarta, 2002, cetakan 1, hal.30.
50
Bismar Nasution, “Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Hukum Investasi Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, edisi Januari-Februari, 2003, hal. 48.