• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Senyawa Triterpenoida/Steroida Dari Herba Suruhan (Peperomiae pellucidae herba)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Senyawa Triterpenoida/Steroida Dari Herba Suruhan (Peperomiae pellucidae herba)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA

TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI HERBA SURUHAN

(Peperomiae pellucidae herba)

SKRIPSI

Oleh: PUJI LESTARI NIM 071524051

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA

TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI HERBA SURUHAN

(Peperomiae pellucidae herba)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh: PUJI LESTARI NIM 071524051

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena kasih sayang dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Ayahanda

Hartono dan Ibunda Rusmiati yang tercinta, adinda Citra Septantris dan adinda

Indah Tusikowaty serta kepada semua keluarga atas perhatian, nasehat dan

dorongan semangat serta dukungan doa yang tiada ternilai harganya.

Dengan segala ketulusan hati penulis juga menyampaikan terima kasih

kepada Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt., dan Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt.,

yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab

selama melakukan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dekan Fakultas Farmasi Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang

telah memberikan fasilitas kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, Apt., sebagai Dosen wali yang telah banyak

membimbing penulis selama masa perkuliahan.

3. Ibu dan Bapak staf penguji yang telah memberikan petunjuk dan

bimbingannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

4. Bapak Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium

Farmakognosi beserta seluruh staf yang telah mengizinkan penulis

menggunakan fasilitas laboratorium selama penelitian.

5. Bapak/Ibu dosen Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan didikan dan

bimbingan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Farmasi USU

6. Kepada teman-teman dan sahabatku serta rekan Farmasi yang tidak dapat

disebutkan satu persatu yang selalu menjadi teman berbagi suka duka,

membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis untuk

(4)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu

sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Medan, Februari 2010

Penulis,

Puji Lestari

(5)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI

HERBA SURUHAN (Peperomiae pellucidae herba)

ABSTRAK

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.) adalah tumbuhan gulma yang

banyak dijumpai di tempat lembab, agak terlindung dan memiliki banyak khasiat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik simplisia dan mengisolasi

senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan. Metode penelitian meliputi

pengumpulan dan pengolahan sampel, pemeriksaan karateristik simplisia,

pembuatan ekstrak, kromatografi cair vakum (KCV), kromatografi lapis tipis

(KLT) preparatif, uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara

spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri inframerah (IR).

Dilakukan karakterisasi simplisia yang meliputi pemeriksaan makroskopik,

pemeriksaan mikroskopik, kadar sari yang larut dalam air (18,80), kadar sari yang

larut dalam etanol (12,83), kadar abu total (3,85%), kadar abu yang tidak larut

dalam asam (1,17%), dan kadar air (6,66%). Hasil pengamatan makroskopik

terhadap simplisia herba, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun berbentuk

jantung, berwarna coklat kehijauan. Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia

menunjukkan adanya rambut penutup, sel minyak, stomata tipe anomositik, hablur

kalsium oksalat berbentuk prisma dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan

tumpul, serbuk sari dan trakea. Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan

menggunakan pelarut n-heksan, dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis

(KLT), kromatografi cair vakum (KCV), dan KLT preparatif.Isolat yang

diperoleh dianalisis secara spektrofotometri UV memberikan absorbansi

maksimum pada panjang gelombang (λ) 223,3 nm menunjukkan adanya gugus kromofor dan hasil spektrofotometri IR diketahui adanya gugus -OH, ikatan C-H

alifatis, gugus C=O, ikatan rangkap C=C, ikatan C-O, gugus CH2, dan gugus

CH3. Hasil analisis isolat menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh adalah

senyawa golongan triterpenoida/steroida.

(6)

CHARACTERIZATION SIMPLESIA AND ISOLATION OF TRITERPENOID/STEROID COMPOUNDS FROM SURUHAN HERB

(Peperomiae pellucidae herb) ABSTRACT

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K) is weed abundamtly found in

protected moist area and have many effects. One of chemistry compound is

steroid. This objective of research would be to know characteristics of simplesia

and isolating steroid compounds from suruhan herb. Characterization of simplesia

that cover macroscopic, microscopic, water-soluble extract content,

ethanol-soluble extract content, total ash content, acid-inethanol-soluble ash content and water

content. The macroscopic examination from simplesia herb, single leaf, dwindle,

fragile, leaf in form of tan heart green, brown green colour. The microscopic

examination on simplesia powder indicated that there was the covering hairs, oil

drip, stomata of anosocitic type, prism and druse shape that the end of crystal its

become sharp and blunt, and stone cells. The examination result of simplesia

characteristic indicated water-soluble extract content was 18,80%, ethanol-soluble

extract content was 12,83%, total ash content 3,85%, acid-insoluble ash content

1,17%, and water content 6,66%. Extraction was made through maceration by

using n-hexane solvent, followed by thin layer chromatography, vacuum liquid

chromatography, and KLT preparative. The isolat gained was characterized by

ultraviolet spectrophotometer indicated maximum absorbance in wafelength (λ) 223,3 nm to show the existence of chromophor cluster and the result of infrared

spectrophotometer indicated the existence of OH-cluster, C-H aliphatic bonding,

C=O cluster, double bonding C=C, C=O bonding, CH2 and CH3. The analysis

result of isolat indicating the compound of steroid type.

(7)
(8)
(9)
(10)

3.6.4 Pemeriksaan Tanin ... 30

3.6.5. Pemeriksaan Glikosida ... 30

3.6.6 Pemeriksan Antrakuinon ... 31

3.6.7 Pemeriksaan Triterpenoida/Steroida ... 31

3.7 Pembuatan Ekstrak ... 31

3.8 Analisis Ekstrak n-heksan secara KLT ... 32

3.9 Fraksinasi Ekstrak n-heksan secara KLT ... 32

3.10 Analisis KLT secara KCV ... 33

3.11 Isolasi senyawa triterpenoida/steroida hasil fraksinasi secara KLT preparatif ... 33

3.12 Uji kemurnian kristal hasil isolat ... 34

3.13 Identifikasi Isolat ... 35

3.13.1 Identifikasi Isolat secara Spektrofotometri UV ... 35

3.13.2 Identifikasi Isolat secara Spektrofotometri IR ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Pemeriksan Karakteristik Simplisia ... 36

4.2 Isolasi Senyawa Triterpenoida/Steroida ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 43

2. Gambar Tumbuhan Suruhan ... 44

3. Gambar Herba Suruhan ... 45

4. Gambar Simplisia Herba Suruhan ... 46

5. Mikroskopik Serbuk Herba Suruhan ... 47

6. Perhitungan Hasil Karakterisasi Pemeriksaan Simplisia ... 48

7. Hasil Karakterisasi Serbuk Herba Suruhan ... 53

8. Bagan Ekstraksi Serbuk Simplisia Herba Suruhan ... 54

9. Kromatogram Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 55

10. Bagan Isolasi Triterpenoida/Steroida dari Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 56

11. Kromatogram Hasil KCV Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 57

12. Kromatogram Hasil KCV Fraksi F2 Ekstrak n-heksan Herba Suruhan .... 58

13. Kromtogram KLT Preparatif Fraksi A2 ... 59

14. Kromatogram KLT Dua Arah Isolat 2 ... 60

15. Spektrum Ultraviolet Isolat 2 ... 61

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Golongan Utama Terpenoid Tumbuhan ... 6

2. Hasil Karakterisasi Serbuk Herba Suruhan ... 53

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur dari Beberapa Senyawa Triterpenoida ... 37

2. Struktur Dasar Steroida dan Sistem Penomorannya ... 37

3. Struktur Beberapa Senyawa Fitosterol ... 37

4. Struktur Dasar Spiroketal ... 37

5. Tipe Aglikon dari Glikosida Jantung ... 40

6. Tumbuhan Suruhan ... 37

7. Herba Suruhan ... 38

8. Simplisia Herba Suruhan... 39

9. Mikroskopik Serbuk Herba Suruhan ... 40

10. Bagan Ekstraksi Serbuk Simplisia Herba Suruhan ... 47

11. Kromatogram Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 48

12. Bagan Isolasi Triterpenodia/Steroid dari Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 49

13. Kromatogram Hasil KCV Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 50

14. Kromatogram Hasil KCV Fraksi A2 Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 51

15.Kromatogram KLT Preparatif Fraksi A2 ...52

16. Kromatogram KLT Dua Arah Isolat 2...53

17.Spektrum Ultraviolet Isolat 2...54

(14)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI

HERBA SURUHAN (Peperomiae pellucidae herba)

ABSTRAK

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.) adalah tumbuhan gulma yang

banyak dijumpai di tempat lembab, agak terlindung dan memiliki banyak khasiat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik simplisia dan mengisolasi

senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan. Metode penelitian meliputi

pengumpulan dan pengolahan sampel, pemeriksaan karateristik simplisia,

pembuatan ekstrak, kromatografi cair vakum (KCV), kromatografi lapis tipis

(KLT) preparatif, uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara

spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri inframerah (IR).

Dilakukan karakterisasi simplisia yang meliputi pemeriksaan makroskopik,

pemeriksaan mikroskopik, kadar sari yang larut dalam air (18,80), kadar sari yang

larut dalam etanol (12,83), kadar abu total (3,85%), kadar abu yang tidak larut

dalam asam (1,17%), dan kadar air (6,66%). Hasil pengamatan makroskopik

terhadap simplisia herba, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun berbentuk

jantung, berwarna coklat kehijauan. Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia

menunjukkan adanya rambut penutup, sel minyak, stomata tipe anomositik, hablur

kalsium oksalat berbentuk prisma dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan

tumpul, serbuk sari dan trakea. Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan

menggunakan pelarut n-heksan, dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis

(KLT), kromatografi cair vakum (KCV), dan KLT preparatif.Isolat yang

diperoleh dianalisis secara spektrofotometri UV memberikan absorbansi

maksimum pada panjang gelombang (λ) 223,3 nm menunjukkan adanya gugus kromofor dan hasil spektrofotometri IR diketahui adanya gugus -OH, ikatan C-H

alifatis, gugus C=O, ikatan rangkap C=C, ikatan C-O, gugus CH2, dan gugus

CH3. Hasil analisis isolat menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh adalah

senyawa golongan triterpenoida/steroida.

(15)

CHARACTERIZATION SIMPLESIA AND ISOLATION OF TRITERPENOID/STEROID COMPOUNDS FROM SURUHAN HERB

(Peperomiae pellucidae herb) ABSTRACT

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K) is weed abundamtly found in

protected moist area and have many effects. One of chemistry compound is

steroid. This objective of research would be to know characteristics of simplesia

and isolating steroid compounds from suruhan herb. Characterization of simplesia

that cover macroscopic, microscopic, water-soluble extract content,

ethanol-soluble extract content, total ash content, acid-inethanol-soluble ash content and water

content. The macroscopic examination from simplesia herb, single leaf, dwindle,

fragile, leaf in form of tan heart green, brown green colour. The microscopic

examination on simplesia powder indicated that there was the covering hairs, oil

drip, stomata of anosocitic type, prism and druse shape that the end of crystal its

become sharp and blunt, and stone cells. The examination result of simplesia

characteristic indicated water-soluble extract content was 18,80%, ethanol-soluble

extract content was 12,83%, total ash content 3,85%, acid-insoluble ash content

1,17%, and water content 6,66%. Extraction was made through maceration by

using n-hexane solvent, followed by thin layer chromatography, vacuum liquid

chromatography, and KLT preparative. The isolat gained was characterized by

ultraviolet spectrophotometer indicated maximum absorbance in wafelength (λ) 223,3 nm to show the existence of chromophor cluster and the result of infrared

spectrophotometer indicated the existence of OH-cluster, C-H aliphatic bonding,

C=O cluster, double bonding C=C, C=O bonding, CH2 and CH3. The analysis

result of isolat indicating the compound of steroid type.

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Upaya pencarian tumbuhan berkhasiat obat telah lama dilakukan, baik

untuk mencari senyawa baru ataupun menambah keanekaragaman senyawa yang

telah ada. Hasil pencarian dan penelitian tersebut kemudian dilanjutkan dengan

upaya pengisolasian senyawa murni dan turunannya sebagai bahan dasar obat

modern atau pembuatan ekstrak untuk obat fitofarmaka.

Suruhan termasuk tumbuhan gulma yang dapat digunakan sebagai obat

tradisional. Suruhan merupakan tumbuhan liar yang sering di jumpai dan banyak

terdapat di tempat yang lembab, agak terlindung, sela batu, bawah pohon, tebing,

pekarangan dan ladang. Saat ini gulma banyak dilirik dan digunakan oleh para

ahli pengobatan untuk mengobati berbagai penyakit. (Djauhariya, 2004).

Menurut Hembing (2004), suruhan berkhasiat untuk mengatasi nyeri pada

rematik, penyakit asam urat, sakit kepala, sakit perut, abses, bisul, jerawat, radang

kulit, luka terpukul dan luka bakar ringan. Bagian yang digunakan adalah herba.

Menurut hasil penelitian Muhtadi dkk (2004), tentang aktivitas antidiabetes

ekstrak etanol dari herba suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K), hasil penapisan

fitokimia dari ekstrak etanol menunjukkan adanya golongan senyawa steroida.

Golongan senyawa triterpenoida/steroida merupakan komponen aktif dari

tumbuhan yang telah digunakan untuk mengobati beberapa penyakit dan

digunakan dalam bidang farmasi untuk pembuatan obat-obat kontrasepsi,

(17)

Suruhan memiliki banyak khasiat sebagai obat, namun karakterisasinya

belum ada dan masih sedikit yang meneliti tentang kandungan kimianya.

Berdasarkan hal di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan karakterisasi

terhadap simplisia, serta mengisolasi senyawa triterpenoida/steroida dari herba

suruhan dengan cara kromatografi cair vakum (KCV) dan kromatografi lapis tipis

(KLT) preparatif yang dilanjutkan dengan identifikasi senyawa hasil isolasi secara

spekrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan pada penelitian ini adalah:

a. apakah karakterisasi simplisia dari herba suruhan perlu dilakukan?

b. apakah senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan dapat diisolasi

dari ekstrak n-heksan dan isolatnya dapat diidentifikasi secara

spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. karakterisasi simplisia herba suruhan belum ada pada literatur, maka

karakterisasi herba suruhan perlu dilakukan.

b. senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan dapat diisolasi dari

ekstrak n-heksan dan isolatnya dapat diidentifikasi secara spektrofotometri

UV dan spektrofotometri IR.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. untuk memperoleh informasi mengenai karakterisasi simplisia dari herba

(18)

b. untuk mengetahui senyawa triterpenoida/steroida yang terdapat dalam

herba suruhan dan mengidentifikasi isolat secara spektrofotometri UV dan

spektrofotometri IR.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah informasi tentang herba

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Uraian Tumbuhan

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Piperales

Suku : Piperaceae

Marga : Peperomia

Jenis : Peperomia pellucida H.B.&K

(Djumidi, 1997)

2.1.2 Nama daerah

Nama daerah tumbuhan ini adalah seladaan (Jawa), saladaan (Sunda),

ketumpang ayer (Sumatera), gotu garoko (Maluku) (Dhauhariya, 2004).

2.1.3 Morfologi tumbuhan

Habistus : Herba, tinggi 10-20 cm

Batang : Tegak, lunak hijau muda

Daun : Tunggal, duduk spiral, lonjong,panjang 1-4 cm, lebar 1,5-2 cm,

ujung rncing, pangkal bertoreh, tepi rata, pertulangan melengkung, permukaan

lici, lunak, hijau.

Bunga : Majemuk, bentuk bulir, diujung batang atau di ketiak daun,

panjang bulir 2-3 cm, tangkai lunak, putih kekuningan.

(20)

Biji : Bulat, kecil, hitam

Akar : Serabut, putih

(Djumidi, 1997)

2.2Uraian Kimia 2.2.1 Terpenoida

Senyawa terpenoida mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan dan

istilah terpenoida digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua

senyawa tumbuhan ini berasal dari senyawa yang sama. Senyawa terpenoida

adalah senyawa yang berasal dari unit-unit isopren CH2=C(CH3)−CH2 dan

kerangka karbonnya dibangun oleh persambungan dua atau lebih satuan C5 ini

melalui kaidah persambungan “kepala dan ekor”. Terpenoida dapat mengandung

dua, tiga atau lebih satuan isopren. Molekul-molekulnya dapat berupa rantai

terbuka atau siklik, dan dapat mengandung gugus hidroksil, gugus karbonil atau

gugus fungsional lainnya.

Terpenoida terdiri atas beberapa macam senyawa berdasarkan jumlah

satuan isoprena yang terdapat dalam senyawa tersebut. Mulai dari komponen

minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena (C10 dan C15), diterpena yang

lebih sukar menguap (C20), sampai ke senyawa yang tidak menguap yaitu

triterpenoida (C30), serta pigmen karotenoida (C40). Golongan senyawa

(21)

Tabel 1. Golongan terpenoida tumbuhan

Jumlah satuan isoprena Jumlah Karbon Golongan

1

Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik,

yaitu skualena, senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi

dan bersifat optis aktif yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan

kimianya. Uji yang banyak digunakan untuk uji atau identifikasi triterpenoida

ialah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat – H2SO4 pekat) yang biasanya

menghasilkan warna hijau-biru (Harborne,1987).

Sebagian senyawa triterpenoida juga merupakan komponen aktif dalam

tumbuhan dan telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan

menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Beberapa senyawa

menunjukkan aktivitas antibakteri, antifungi dan ada juga senyawa yang dapat

(22)

Triterpenoida dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu

triterpena, steroida, saponin dan glikosida jantung.

a. Triterpena

Triterpena terutama terdapat dalam lapisan malam daun dan dalam buah

yang berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba.

Pembagian triterpena berdasarkan jumlah cincin yang terdapat dalam struktur

molekulnya adalah:

1. Triterpena asiklik yaitu triterpenoida yang tidak mempunyai cincin

tertutup dalam struktur molekulnya, misalnya skualena.

2. Triterpena trisiklik yaitu triterpenoida yang mempunyai tiga cincin

tertutup dalam struktur molekulnya, misalnya ambrein.

3. Triterpena tetrasiklik yaitu triterpenoida yang mempunyai lima cincin

tertutup pada struktur molekulnya, misalnya lanosterol.

4. Triterpena pentasiklik yaitu triterpenoida yang mempunyai lima cincin

tertutup pada struktur molekulnya, misalnya α-amirin pada buah apel

(Harborne, 1987; Robinson, 1995).

Struktur dari senyawa triterpenoida tersebut dapat dilihat pada gambar 1 berikut

ini.

(23)

Lanosterol α-amirin

Gambar 1. Struktur dari beberapa senyawa triterpenoida b. Steroida

Steroida adalah triterpenoida yang kerangka dasarnya adalah cincin

siklopentana perhidrofenantren (Harbourne, 1987). Kerangka dasar dan sistem

penomoran steroida (Robinson, 1995) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya

Dahulu steroida dianggap sebagai senyawa satwa tetapi makin banyak senyawa

steroida yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (fitosterol). Tiga senyawa yang

biasa disebut fitosterol terdapat pada hampir setiap tumbuhan tinggi yaitu:

sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Harbourne, 1987).

(24)

Sitosterol

Stigmasterol

Kampesterol

Gambar 3. Struktur beberapa senyawa fitosterol

c. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, menimbulkan busa

jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan

hemolisis daram merah. Mula-mula disebut saponin karena sifatnya yang khas

(25)

saponin sangat beracun untuk ikan dan beberapa saponin bekerja sebagai anti

mikroba.

Dikenal dua jenis saponin yaitu glikosida triterpenoida alkohol dan

glikosida steroida yang mempunyai rantai samping spiroketal. Aglikonnya disebut

sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis

memakai enzim (Robinson, 1995)

Inti steroida spiroketal mempunyai struktur berikut:

Gambar 4. Struktur dasar spiroketal d. Glikosida Jantung

Glikosida jantung merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan

sebagai pemacu jantung (mempunyai efek menambah daya kontraksi otot

jantung). Struktur dari glikosida jantung ini menyerupai struktur saponin steroida

(Robinson, 1995).

Aglikon dari glikosida jantung merupakan golongan triterpena steroida

yang mempunyai inti siklopentano perhidrofenantrena dan cincin lakton yang

(26)

Aglikon yang mempunyai cincin lakton tersebut ada 2 macam yaitu:

1. Kardenolida, berupa steroida dengan atom karbon 23 yang mempunyai

rantai samping cincin lakton pentasiklik dengan sati ikatan rangkap dan

satu buah gugus hidroksil pada C-14 (butirolakton, γ-lakton).

2. Bufadienolida, merupakan steroida dengan atom karbon 24 dengan rantai

samping cincin lakton dan satu buah gugus hidroksil pada C-14

(valerolakton, δ-lakton) (Harborne, 1987; Robinson, 1995).

Tipe-tipe aglikon dari glikosida jantung dapat dilihat pada gambar 5

dibawah ini.

Kardenolida Bufadienolida

Gambar 5. Tipe aglikon dari glikosida jantung 2.3 Ekstraksi

2.3.1 Pengertian

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan tentang

golongan senyawa yang dikandung simplisia akan mempermudah proses

(27)

2.3.2 Metode-Metode Ekstraksi

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Ditjen POM,

2000) yaitu:

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman

dalam pelarut sambil dilakukan beberapa kali pengocokan pada temperatur

ruangan (suhu kamar).

Remaserasi berarti proses maserasi yang dilanjutkan dengan pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan

seterusnya sampai maserat tersebut jernih.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi

penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses

perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, dan

penampungan ekstrak. Untuk menentukan akhir dari pada perkolasi dapat

dilakukan pemeriksaan zat secara kualitatif pada perkolat akhir.

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur

titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

(28)

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi mengunakan pelarut yang selalu baru, dengan

menggunakan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah

pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan yang kontinu pada temperatur

yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yang umumnya pada temperatur

40-50°C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut air di mana bejana

infus tercelup dalam penangas air mendidih, pada temperatur 96-98°C selama

15-20 menit.

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih dari 30 menit dan

temperaturnya mencapai titik didih air.

2.4Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan

perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase

diam, dapat berupa zat cair atau zat padat, dan fase gerak, dapat berupa gas atau

zat cair (Ditjen POM, 1995; Stahl, 1985). Jika fase tetap berupa zat padat maka

cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai

kromatografi partisi. Karena fase bergerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada

empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985) :

1. Fase bergerak zat cair – fase tetap padat (kromatografi serapan):

(29)

- Kromatografi penukar ion

2. Fase bergerak gas – fase tetap padat (kromatografi serapan):

- Kromatografi gas padat

3. Fase bergerak zat cair – fase tetap zat cair (kromatografi partisi):

- Kromatografi cair kinerja tinggi

4. Fase bergerak gas – fase tetap zat cair (kromatografi partisi):

- Kromatografi gas cair

- Kromatografi kolom kapiler

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan

dnegan mengunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan

dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan yang memerlukan

investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat serta

pemakaian pelarut dan cuplikan dalam jumlah sedikit. KLT termasuk

kromatografi serapan, dimana sebagai fase diam berupa zat padat yang disebut

adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut larutan

pengembang (Gritter dkk., 1991; Stahl, 1985).

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa

cara, yaitu dengan pengamatan langsung atau dibawah sinar ultraviolet jika

senyawanya berwarna dan pengamatan dengan cahaya biasa atau cahaya

ultraviolet setelah disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut

(30)

dengan sinar UV gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm)

(Ditjen POM, 1995; Gritter dkk., 1991).

a. Fase diam (Lapisan Penyerap)

Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri

atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya

terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan

melekat pada permukaan dnegan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat

atau amilum (pati). Penyerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis

adalah silika gel, alumina, kieselgur, dan selulosa (Gritter dkk, 1991).

Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan

homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua

sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel

yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan

salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan

fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran

pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).

b. Fase gerak (Pelarut Pengembang)

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa

pelarut. Jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu

campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen

(Stahl, 1985).

Dalam pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur.

Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan

(31)

masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang

yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis

antara lain: n-heksana, karbontetraklorida, benzena, kloroform, eter, etil asetat,

piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter dkk., 1991; Sudjadi, 1988).

c. Harga Rf

Untuk menggambarkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram

dipakai istilah harga Rf (Stahl, 1985).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf =

Jarak garis depan pelarut dari titik awal

Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga

Rf (Sastrohamidjojo, 1985):

a. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan

b. Sifat penyerap

c. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

d. Pelarut dan derajat kemurniannya

e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana

f. Teknik percobaan

g. Jumlah cuplikan yang digunakan

h. Temperatur

i. Kesetimbangan

2.4.2 Kromatografi Cair Vakum

Cara ini pertama kali dipublikasikan oleh Coll dkk. Pada tahun 1977

(32)

mengisolasi diterpena sembrenoid dari terumbu karang Australia. Kolom

kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan

kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah

dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dihisap sampai

kering dan sekarang siap dipakai.

Sampel, dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada

bagian atas kolom atau pada lapisan pra penyerap dan dihisap perlahan-lahan

kedalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom, dielusi dengan campuran

pelarut yang cocok, mulai dari pelarut yang kepolarannya rendah lalu

kepolarannya ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap sampai kering pada

setiap pengumpulan fraksi. Oleh karena itu kromatografi cair vakum

menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran fase gerak

(Hostettmann, 1995).

2.4.3 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Salah satu metode pemisahan yang memerlukan biaya paling murah dan

memakai peralatan sedarhana ialah KLT preparatif. Walaupun KLT preparatif

dapat memisahkan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam

jumlah miligram. KLT preparatif dilakukan dengan menggunakan lapisan tebal

(sampai 1 mm) sebagai pengganti lapisan penyerap yang tipis (0,10-0,25 mm).

pita-pita sampel yang sudah dipisah dapat diperoleh kembali dengan cara

mengerok penyerap dari plat KLT preparatif yang telah dikembangkan. Demikian

kuatnya lapisan penyerap melekat pada kaca penyokong sehingga memungkinkan

(33)

pengembang yang berbeda, dengan terlebih dulu mngeringkan plat sebelum

pengembangan berikutnya (Harborne, 1987).

Fase diam yang paling sering dugunakan biasanya dengan ketebalan 0,5-2

mm dan ukuran plat kromatogram biasanya 20x20 cm. fase diam yang paling

umum dipakai ialah silika gel dan dipakai untuk pemisahan berbagai campuran

senyawa lipofil maupun senyawa hidrofil.

Sampel dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada plat KLT

preparatif. Pelarut yang baik ialah pelarut yang mudah menguap (atsiri), karena

jika pelarut kurang atsiri terjadi pelebaran pita. Konsentrasi sampel harus sekitar

5-10%. Sampel ditotolkan berupa pita yang harus ditotolkan sesempit mungkin

karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Pemilihan pelarut ditentukan

berdasarkan pemeriksaan pendahuluan memakai KLT analitik. Karena ukuran

partikel penyerap kira-kira sama, pelarut yang dipakai pada KLT analitik dapat

dipakai pada KLT preparatif.

Pengembangan plat KLT preparatif biasanya dilakukan dalam bejana kaca

yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut

pengembang dengan bantuan sehelai kertas saring yang tecelup ke dalam larutan

pengembang. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara

pengembangan berulang. Harus diperhatikan bahwa semakin lama senyawa

berkontak dengan penyerap maka semakin besar kemungkinan penguraian

(Hostettmann, 1995).

2.5 Spektrofotometri

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara cahaya dengan atom

(34)

spektroskopi serapandan spektroskopi emisi. Pengelompokkan ini berdasarkan

atas apa yang diukur setelah terjadi interaksi antara radiasi elektromagnetik dan

sampel. Pembagian dapat juga berdasarkan daerah-daerah panjang gelombang

dalam spektrum elektromagnetik. Cara pengukuran yang berasarkan spektroskopi

umumnya dinamakan spektroskopi dan jika sumber energi berupa sinar/cahaya

dan sistem detektor menggunakan sel fotolistrik maka metode pengukuran ini

dinamakan spektrofotometri (Noerdin, 1985).

2.5.1 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri ultraviolet merupakan suatu teknik analisis berdasarkan

atas pengukuran serapan suatu larutan yang dilalui radiasi monokromatis

ultraviolet. Kegunaan spektrofotometri ini terletak pada kemampuannya

mengukur jumlah ikatan rangkap atau konyugas aromatis di dalam suatu molekul

(Sudjadi, 1983).

Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang

sangat encer dengan pembanding blanko pelarut menggunakan spektrofotometer

yang merekam otomatis. Senyawa tan warna diukur pada daerah panjang

gelombang 200-400 nm, senyawa berwarna pada panjang gelombang 400-800

nm.

Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri UV ialah etanol

95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol

absolut komersial harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat

menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan ialah air,

(35)

dan piridin umumnya harus dihindari karena menyerap kuat di daerah 200-260 nm

(Harbourne, 1987).

2.5.2 Spektrofotometri Inframerah

Spektrum inframerah senyawa tumbuhan dapat diukur dengan

spektrofotometri inframerah yang merekam secara otomatis dalam bentuk larutan

(dalam kloroform, karbontetrakloroida 1-5%), atau bentuk padat yang dicampur

dengan kalium bromida. Daerah pengukuran adalah daerah bilangan gelombang

4000-667 cm-1 atau panjang gelombang 2,5-15 µ m, dan perekaman spektrum

memakan waktu kira-kira 3 menit (Noerdin, 1985).

Daerah pada spektrum inframarah di atas bilangan gelombang 1200 cm-1

menunjukkan pita spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan

kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang ditelaah. Daerah di bawah 1200 cm-1

menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena

kerumitannya dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam

secara subjektif pada skala sederhana: kuat (K; strong, s), menengah (M; Medium,

m) atau lemah (L; weak, w).

Kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak gugus fungsi dapat

diidentifikasi dengan menggunakan frekuensi getaran khasnya mengakibatkan

spektrofotometri infra merah merupakan cara paling sederhana dan paling

terandalkan dalam menentukan golongan senyawa yang terkandung dalam sebuah

molekul (Harborne, 1987).

Penafsiran spektrum inframerah dari suatu senyawa yang belum diketahui

harus ditujukan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional

(36)

umum dilakukan untk memeriksa pita-pita yang penting pada spektrum

inframerah secara berurutan adalah (Pavia et al., 1988):

1. Gugus Karbonil

Gugus C=O memberikan puncak yang kuat pada daerah bilangan gelombag

1820-1660 cm-1.

2. Bila gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut (jika C-O tidak ada

langsung ke nomor 3).

Asam : periksalah gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah

3300-2200 cm-1.

Amida : periksalah gugus N-H, merupakan serapan medium di daerah

3500 cm-1, kadang-kadang dengan puncak rangkap.

Ester : periksalah gugus C-O, merupakan serapan medium di daerah

1300-1000 cm-1.

Anhidrida : mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1.

Aldehida : periksalah gugus C-H, merupakan dua serapan lemah di daerah

2850 dan 2750 cm-1 yaitu di sebelah kanan serapan C-H.

Keton : kemungkinan bila kelima gugus di atas tidak ada.

3. Bila gugus C=O tidak ada

Alkohol atau fenol : periksalah gugus O-H, merupakan senyawa melebar di

daerah 3600-3300 cm-1 yang diikuti adanya serapan

C-O di daerah 1300-1000 cm-1.

Amina : periksalah gugus N-H, yaitu serapan medium di daerah

(37)

Eter : Periksalah gugus C-O (tidak adanya O-H), yaitu

serapan medium di daerah 1300-1000 cm-1.

4. Ikatan rangkap dua dan cincin aromatik

- Serapan lemah sampai medium dan tajam C=C di daerah 1650 cm-1.

- Serapan medium sampai kuat dan tajam pada daerah 1650-1450 cm-1 sering

menunjukkan adanya cincin aromatis.

- Buktikan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah

C-H aromatis di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di

sebelah kana daerah tersebut (2925 cm-1 dan 2850 cm-1).

5. Ikatan rangkap tiga

- Serapan medium dan tajam dari C≡N di daerah 2250 cm-1.

- Serapan lemah dan tajam dari C≡C di daerah 2150 cm-1-1.

6. Gugus nitro

Dua serapan yang kuat di daerah 1600-1500 cm-1 dan 1390-1300 cm-1.

7. Hidrokarbon

- Apabila keenam serapan di atas tidak ada.

- Serapan C-H alifatis di daerah sebelah kanan 3000 cm-1 (yaitu 2925 cm-1

dan 2850 cm-1).

- Serapan yang sangat sederhana di daerah 1450 cm-1 (CH2) dan 1375 cm-1

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode deskriktif meliputi pengumpulan

dan pengolahan sampel, penapisan fitokimia, pemeriksaan karateristik, pembuatan

ekstrak, KCV, KLT preparatif, uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara

spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

3.1 Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas

laboratorium, blender (Panasonic), eksikator, mikroskop (Olympus), seperangkat

alat destilasi, separangkat alat penetapan kadar air, seperangkat alat kromatografi

cair vakum, oven listrik (Stork), elektromantel (EM 2000), hairdryer (Maspion),

neraca analitik (Vibra AJ), neraca kasar (Saherand), penangas air (Yenaco),

seperangkat alat kromatogramrafi lapis tipis (Dessaga), lemari pengering,

spektrofotometer UV (Milton Troy Spectronic 3000 array) dan spektrofometer IR

(IR-Prestige 21).

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan adalah herba suruhan (Peperomiae pellucidae

(39)

analisis yaitu n-heksan, etilasetat, etanol, amil alkohol, metanol, eter, isopropanol,

α-naftol, ammonia pekat, besi (III) klorida, iodium, raksa (II) klorida, timbal (II)

asetat, kalium iodine, asam asetat glasial, asam sulfat pekat, asam klorida pekat,

serbuk magnesium, bismuth (III) nitrat, plat pra lapis silika gel GF254, silika gel

60H, kloralhidrat, n-heksan hasil destilasi dan air suling laboratorium.

3.3 Pembuatan larutan pereaksi

Pembuatan pereaksi dilakukan menurut Depkes (1979) yaitu untuk

pereaksi asam klorida 2 N, natrium hidroksida 2 N; menurut Depkes (1989) untuk

pereaksi asam nitrat 0,5 N, besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendroff,

Mayer, Molish, timbal (II) asetat 0,4 M, kloralhidrat dan pereaksi

Liebermann-Burchard.

3.3.1 Pereaksi Dragendroff

Sebanyak 0,85 g bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam 100 ml asam asetat

glasial, lalu ditambah 40 ml air suling. Pada wadah yang lain dilarutkan 8 g

kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling, kemudian kedua larutan

dicampurkan sama banyak dan disimpan dalam botol yang gelap.

3.3.2 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air secukupnya sampai larut

sempurna. Iodium sebanyak 2 g dilarutkan dalam larutan kalium iodida, lalu

volume dicukupkan hingga 100 ml.

(40)

Sebanyak 1,358 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling.

Pada wadah lain dilarutkan 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling. Kedua

larutan dicampur lalu ditambahkan air suling hingga 100 ml.

3.3.4 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga 100

ml.

3.3.5 Pereaksi Besi (III) Klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml.

3.3.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 gram timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas

karbondioksida hingga 100 ml.

3.3.7 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 gram α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100

ml.

3.3.8 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrat ditambah 5 ml asam sulfat pekat,

kemudian campuran dimasukkan ke dalam 50 ml etanol. Pengerjaan dilakukan

dalam kondisi dingin dan pereaksi dibuat baru.

3.3.9 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,001 gram kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air

suling hingga 100 ml.

3.3.10 Pereaksi asam nitrat 0,5 N

Sebanyak 3,15 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling

(41)

3.3.11 Pereaksi kloralhidrat

Sebanyak 50 gram kloralhidrat ditimbang, dilarutkan dalam 20 ml air

suling.

3.4 Pengumpulan dan pengolahan sampel 3.4.1 Pengumpulan sampel

Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa

membandingkan dengan daerah lain. Sampel yang digunakan adalah herba

suruhan yang diambil di lapangan, di bawah pohon, dan sela batu di sekitar

kampus Universitas Sumatera Utara, kota Medan.

3.4.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi sampel dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan

Biologi LIPI, Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada lampiran 1

halaman 43. Gambar tumbuhan suruhan dan herba suruhan dapat dilihat pada

lampiran 2 dan 3 pada halaman 43 dan 45.

3.4.3 Pengolahan sampel

Herba suruhan dibersihkan dari kotoran dengan cara mencuci di bawah air

mengalir hingga bersih dan ditiriskan. Kemudian herba suruhan dikeringkan

dalam lemari pengering pada suhu 40oC. Herba suruhan dianggap kering apabila

sudah rapuh. Selanjutnya disimpan dalam wadah plastik di tempat yang terlindung

dari cahaya sebelum digunakan.

3.5 Pemeriksaan karateristik simplisia

Pemeriksaan karateristik simplisia meliputi pemeriksan makroskopik dan

(42)

larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak

larut dalam asam dan penetapan kadar air (Ditjen POM, 1989; WHO, 1992).

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk simplisia

yang menjadi karateristiknya. Gambar simplisia herba suruhan dapat dilihat pada

lampiran 4 halaman 46.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap terhadap serbuk simplisia.

Pemeriksaan terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk

simplisia diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan kloralhidrat dan ditutupi

dengan kaca penutup kemudian dilihat di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik

dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 47.

3.5.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24

jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1

liter) dalam labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama

kemudian dibiarkan 18 jam lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan hingga

kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan pada

suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung dalam persen

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).

(43)

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan diudara dimaserasi selama 24

jam dalam 100 ml etanol 95% dalam labu bersumbat sambil dikocok selama 6 jam

pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk

menghindari penguapan etanol 95%, sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai

kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah ditara dan sisanya

dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol

dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen

POM, 1989).

3.5.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan ke dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis kemudian

didinginkan dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).

3.5.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25

ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu kemudian dicuci dengan

air panas. Residu dan kertas saring dipijar sampai bobot tetap kemudian

dididnginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung terhadap

bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).

(44)

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (Destilasi

Toluen). Alat-alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin,

tabung penyambung, tabung penerima 5 ml.

Cara kerja : Kedalam labu alas bulat dimasukkan 100 ml toluen dan 1 ml air

suling, didestilasi selama 2 jam, toluen didinginkan selama 30 menit dan volume

air didalam tabung penerima dibaca. Kemudian kedalam labu dimasukkan 5 g

serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama

15 menit, setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik

sampai sebagian air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4

tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian bagian dalam pendingin

dibilas dengan toluen, destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung

penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah

sempurna, dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml. Kadar air dihitung dalam

persen (WHO, 1992). Perhitungan karakterisasi simplisia dapat dilihat pada

lampiran 6 halaman 48. Hasil karakterisasi simplisia dapat dilihat pada lampiran 7

halaman 53.

3.6 Penapisan fitokimia serbuk simplisia

Penapisan fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

golongan alkaloida, flavonoida, saponin, tanin, glikosida, antrakuinon, dan

triterpenoida/steroida.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml

asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2

(45)

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer,

akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi

Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi

Dragendroff, akan terbentuk endapan warna merah atau jingga.

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari

tiga percobaan diatas (Depkes, 1989).

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 100 ml air panas, didihkan

selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat

ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil

alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna

merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1996).

3.6.3. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik.

Jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10

menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan

adanya saponin (Depkes, 1989).

(46)

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu

disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil

sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%.

Jika terjadi warna biru atau kehitaman menunjukkan adanya tanin. (Depkes,

1989).

3.6.5 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 95%

dengan air suling (7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N, direfluks selama 1 jam,

didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25

ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari

dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3) dilakukan berulang

sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan dan sisanya dilarutkan dalam 2 ml

metanol. Larutan sisa dimasukkan dalam tabung reaksi selanjutnya diuapkan

diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi

Molish. Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat melalui dinding tabung, terbentuk

cincin ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida. (Depkes,

1989).

3.6.6 Pemeriksaan antrakuinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambah 5 ml asam sulfat 2 N,

dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzena, dikocok dan

didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring. Kocok lapisan benzena

dengan 2 ml NaOH 2 N, diidamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan

benzena tidak berwarna menunjukkan adanya antrakuinon (Depkes, 1989).

(47)

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam,

disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan

10 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi

Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru

menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987). Hasil penapisan

fitokimia serbuk simplisia dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 53.

3.7 Pembuatan ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut

n-heksan.

Cara kerja :

Sebanyak 300 g serbuk simplisia herba suruhan dimasukkan ke dalam

wadah gelas bertutup (maserator) dengan pelarut n-heksan sampai seluruh serbuk

terendam, ditutup dan dibiarkan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya

selama 24 jam sambil sering diaduk. Kemudian disaring hingga di dapat maserat.

Ampas dimaserasi kembali dengan n–heksan menggunakan prosedur yang sama,

maserasi dilakukan sebanyak 3 kali. Seluruh maserat digabung dan dipekatkan

dengan bantuan alat penguap vakum putar pada temperatur tidak lebih dari 40°C.

Bagan pembuatan ekstrak dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 54.

3.8Analisis ekstrak n-heksan secara KLT

Terhadap ekstrak n–heksan dilakukan analisis secara KLT menggunakan

fase diam silika gel GF 254 dan fase gerak campuran n-heksan – etilasetat dengan

perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), dan (50:50). Sebagai penampak

bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.

(48)

Ekstrak ditotolkan pada plat lapis tipis, kemudian dimasukan ke dalam

chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai

plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan penampak bercak

Liebermann-Burchard dan dipanaskan di oven pada suhu 105°C selama 15 menit

lalu diamati warna yang terbentuk. Kromatogram ekstrak dapat dilihat pada

lampiran 9 halaman 55.

3.9 Fraksinasi ekstrak n-heksan dengan KCV

Ekstrak n-heksan difraksinasi secara KCV menggunakan pelarut landaian

n-heksan - etilasetat dengan perbandingan (100:0), (90:10), (80:20), (70:30),

(60:40), (50:50), (40:60), (30:70), (20:80), (10:90), (0:100).

Cara kerja:

Sebagai kolom digunakan corong Buchner kaca masir, lalu dimasukkan

silika gel 60 H yang dikemas dalam keadaan kering ke dalam corong. Alat vakum

dihidupkan untuk memperoleh kerapatan yang maksimum. Kemudian cuplikan

yang telah dicampur dengan silika gel 60 H dimasukkan pada bagian atas kolom

yang disebar secara merata, lalu di atasnya diletakkan kertas saring. Alat vakum

dihidupkan kembali. Sampel dielusi dengan pelarut mulai dari kepolaran rendah

lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan dan kolom dihisap sampai kering pada

setiap pengumpulan fraksi (Hostettmann, 1986). Bagan isolasi steroida dari

ekstrak n-heksan herba suruhan dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 56.

3.10 Analisis KLT hasil KCV

Hasil fraksinasi yang telah dipekatkan tersebut di KLT menggunakan fase

diam plat pra lapis, pengembang n-heksan - etilasetat (90:10) dengan penampak

(49)

sama digabungkan. Kromatogram KLT dari fraksi-fraksi hasil KCV dapat dilihat

pada lampiran 11 dan 12 halaman 57-58.

3.11 Isolasi senyawa steroida hasil fraksinasi secara KLT preparatif

Terhadap fraksi A2 yang mengandung bercak berwarna ungu dan merah

ungu dilakukan isolasi secara KLT preparatif. Sebagai penyemprot digunakan

pereaksi penyemprot LiebermanBurchard dan sebagai fase gerak digunakan

n-heksan - etilasetat (90:10) dan fase diam silika gel GF254.

Cara kerja:

Fraksi ditotolkan pada jarak 2 cm dari tepi bawah plat KLT berukuran

20x20 cm yag telah diaktifkan sehingga membentuk pita. Setelah kering plat KLT

dimasukkan kedalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak, pengembang

dibiarkan naik membawa komponen yang ada. Setelah mencapai batas

pengembangan plat dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Bagian tengah plat

ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri plat

disemprot dengan pereaksi penyemprot Liebermann-Burchard dan dipanaskan

dengan alat pengering. Bagian tengah plat yang sejajar dengan bercak berwarna

ungu dan merah ungu dikerok dan dikumpulkan, direndam dengan metanol satu

malam lalu disaring kemudian pelarutnya diuapkan. Kemudian dilakukan uji

kemurnian dengan KLT terhadap isolat yang diperoleh. Kromatogram dapat

dilihat pada lampiran 13 halaman 59.

3.12 Uji kemurnian kristal hasil isolat

Terhadap isolat dilakukan uji kemurnian dengan KLT dua arah dengan

(50)

yaitu kloroform - etilasetat (70:30) dengan fase diam plat pralapis dan pereaksi

penyemprot Liebermann-Burchard.

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat pra lapis ukuran 10 x 10 lalu dielusi memakai

fase gerak I yaitu n-heksan - etilasetat (90:10) hingga mencapai batas

pengembangan, kemudian plat dikeluarkan dari dalam bejana dan dikeringkan.

Setelah plat kering dielusi kembali dengan arah yang berbeda 90° memakai fase

gerak II yaitu kloroform - etilasetat (70:30), disemprot dengan memakai pereaksi

penyemprot Liebermann-Burchard, setelah itu plat dipanaskan pada suhu 105°C

selama 10 menit lalu diamati warna yang terbentuk. Kromatogram KLT dua arah

isolat dapat dilihat pada lampiran 14 halaman 60.

3.13 Identifikasi isolat

Identifikasi isolat secara spektrofotometri ultraviolet dan spektrofotometri

inframerah dilakukan di Laboratorium Kimia Organik UGM, Yogyakarta.

3.12.1 Identifikasi isolat secara spektrofotometri UV

Cara kerja:

Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam pelarut n-heksan, kemudian

dimasukkan kedalam kuvet yang telah dibilas dengan larutan sampel. Selanjutnya

absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200-400 nm. Spektrum

ultraviolet isolat dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 61.

3.12.2 Identifikasi isolat secara spektrofotometri IR

Cara kerja:

Identifikasi isolat secara spektrofotometri IR dilakukan dengan cara

(51)

mixture vibrate, kemudian dicetak menjadi pelet pada tekanan 11,5 ton dan

dimasukkan kedalam spektrofotometer inframerah serta diukur absorbansinya

pada frekuensi 4000-400 cm -1. Spektrum inframerah isolat dapat dilihat pada

lampiran 16 halaman 62.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemeriksaan karakteristik simplisia

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan

Biologi Bogor terhadap tumbuhan yang diteliti adalah suruhan (Peperomia

pellucida H.B. & K.) suku Piperaceae (lihat lampiran 1). Pemeriksaan karateristik

simplisia secara makroskopik yaitu, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun

berbentuk jantung, berwarna coklat kehijauan, batang berwarna coklat kehijauan,

buah bulat, kecil, berwarna coklat.

Pada pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia dijumpai adanya rambut

penutup, berkas pembuluh, sel minyak, stomata tipe anomositik, hablur kalsium

oksalat berbentuk persegi dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan tumpul,

(52)

Hasil pemeriksaan karateristik serbuk simplisia herba suruhan diperoleh

kadar sari yang larut dalam air 18,8%, kadar sari yang larut dalam etanol 12,83%,

kadar abu total 3,85 %, kadar abu yang tidak larut dalam asam 1,17 % dan kadar

air 6,66 %. Hasil penapisan fitokimia serbuk herba suruhan menunjukkan adanya

senyawa golongan flavonoida, glikosida, tanin, dan triterpenoida/steroida.

4.2 Isolasi senyawa triterpenoida/steroida

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut n-heksan,

hasil maserasi 300 g serbuk simplisia diperoleh ekstrak 7,935 g (2,64%). Analisis

KLT dari ekstrak n-heksan menunjukkan bahwa fase gerak yang paling baik

adalah n-heksan – etilasetat (90:10) karena menghasilkan pemisahan noda yang

baik dan diperoleh 8 noda yang terdiri dari 1 noda berwarna ungu coklat, 3 noda

berwarna ungu, 1 noda berwarna merah ungu, 2 noda berwarna biru ungu dan 1

noda berwarna biru hijau (lihat lampiran 9).

Selanjutnya terhadap ekstrak n-heksan dilakukan fraksinasi secara KCV

untuk memisahkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak berdasarkan

kepolarannya menggunakan pelarut landaian n-heksan - etilasetat dengan

kepolaran yang semakin meningkat dan fase diam silika gel 60H. Hasil fraksinasi

dilakukan KLT dengan fase gerak n-heksan – etilasetat (90:10) dengan penampak

bercak Liebermann-Burchard. Dari 11 fraksi yang diperoleh fraksi yang

mempunyai pola kromatogram yang sama digabung menjadi satu fraksi yaitu F1,

F2, F3, F4, F5 (fraksi 5 dan 6), F6 (fraksi 7, 8, dan 9), sedangkan fraksi 10 dan 11

tidak menunjukkan adanya noda (lihat lampiran 11). Terhadap fraksi F2

dilanjutkan untuk di KLT preparatif karena pada fraksi F2 menunjukkan noda

(53)

Setelah dilakukan KLT preparatif ternyata hasilnya menunjukkan noda yang

terlalu rapat sehingga perlu dilakukan KCV sekali lagi. Hasil KCV diperoleh 11

fraksi yaitu fraksi A1 – A11. Dari 11 fraksi yang diperoleh, fraksi yang

mempunyai pola kromatogram yang sama digabung menjadi satu yaitu FA1, FA2

(A2 dan A3), FA3 (A4, A5, A6), FA4 (A7,A8,A9,A10,A11). Jadi dari 11 fraksi

menjadi 4 fraksi yaitu FA1, FA2, FA3, dan FA4 (lihat lampiran 12).

Terhadap FA2 dilakukan KLT preparatif karena pada FA2 ini

menunjukkan 3 noda yang berwarna ungu dengan Rf = 0,44, Rf = 0,52, Rf =

0,625dan 1 noda yang berwarna merah ungu dengan Rf = 0,77. Sedangkan fraksi

FA1, FA3 dan FA4 tidak menunjukkan noda berwarna ungu dan merah ungu.

Hasil A2 secara KLT preparatif dengan menggunakan plat KLT preparatif

ukuran 20x20 cm, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10). Hasil KLT

menunjukkan tiga pita (lihat lampiran 13), kemudian masing-masing pita dikerok,

direndam dengan metanol, diambil filtrat lalu diuapkan dan diperoleh 3 isolat

yaitu isolat 1, isolat 2 dan isolat 3.

Pada uji kemurnian terhadap isolat 1 terdapat dua noda yang berwarna

merah ungu dan kuning. Pada isolat 2 diperoleh satu noda yang berwarna ungu.

Pada isolat 3 terdapat dua noda yang berwarna ungu dan kuning. Isolat yang akan

diuji adalah isolat 2 karena pada isolat 2 hanya terdapat satu noda sedangkan pada

isolat 1 dan 3 hasil kromatogram menunjukkan lebih dari satu noda. Pada isolat 2

dilakukan uji kemurnian dengan kromatografi lapis tipis dua arah dengan fase

gerak pertama n-heksan - etilasetat (90:10) dan fase gerak kedua kloroform -

etilasetat (80:20) dengan fase diam silika gel GF254. Setelah disemprot dengan

(54)

ungu dengan nilai Rf 0,93. Diduga senyawa tersebut adalah senyawa

triterpenoida/steroida.

Hasil spektrofotometri ultraviolet isolat memberikan puncak absorbsi pada

panjang gelombang (λ) 223,3 nm yang menunjukkan adanya gugus kromofor

(lihat lampiran 15). Diduga senyawa tersebut adalah senyawa

triterpenoida/steroida.

Hasil spektrofotometri inframerah isolat menunjukkan adanya ikatan

O-H yang ditunjukkan oleh puncak melebar pada bilangan gelombang 3363,86 cm-1.

Pita pada bilangan gelombang 2924,09 cm-1 bilangan gelombang 2854,85 cm-1

menunjukkan adanya ikatan C-H alifatis yang diperkuat oleh puncak pada

bilangan gelombang 1458,18 cm-1 yang menunjukkan gugus CH2 dan puncak

pada bilangan gelombang 1373,32 cm-1 yang menunjukkan gugus CH3. Puncak

pada bilangan gelombang 1743,65 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O. Pita

pada bilangan gelombang 1157,29 menunjukkan adanya ikatan C-O (lihat

lampiran 16). Dari hasil spektrofotometri IR diduga senyawa tersebut adalah

senyawa triterpenoida/steroida.

Dari data-data yang diperoleh, secara KLT dengan penampak bercak

Liebermann-Burchard, spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR maka

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Hasil dari pengamatan makroskopik yaitu, daun tunggal, berkeriput, rapuh,

helai daun berbentuk jantung, berwarna coklat kehijauan, batang berwarna coklat

kehijauan, buah bulat, kecil, berwarna coklat. Hasil pemeriksaan mikroskopik

serbuk simplisia dijumpai adanya rambut penutup, berkas pembuluh, tetes

minyak, stomata tipe anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk persegi dan

drusse yang ujung kristalnya runcing dan tumpul, sel batu, serbuk sari dan trakea.

Karateristik serbuk simplisia suruhan diperoleh kadar sari yang larut dalam air

18,8%, kadar sari yang larut dalam etanol 12,83%, kadar abu total 3,85 %, kadar

abu yang tidak larut dalam asam 1,17% dan kadar air 6,66 %.

Hasil analisis spektrum UV dan spektrum IR menunjukkan bahwa isolat 2

(56)

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menentukan struktur

senyawa triterpenoida/steroida yang terdapat dalam herba suruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Carey, F.A. (2008). Organic Chemistry. Seventh Edition. USA: Mc Graw Hill. Page. 554-556

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Depkes RI. Hal. 748, 891

Ditjen POM. (1989). Materia Medika Indonesia. Edisi V. Jakarta: Depkes RI. Hal. 513-522, 536-541,549-553

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 1-11

Djauhariya, E., dan Hernani. (2004). Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 1-5, 86-87

Djumidi, S.H., (1997). Inventaris tanaman Obat Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 137

Fransworth, N.R.(1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.

Journal of Pharmaceutical Science. Vol. 55(3): 257-259, 263

(57)

Gritter, R. J., Bobbitt, J. dan Schwarting, A. E. (1991). Pengantar Kromatografi. Penerjemah: Padmawinata, K. Ed 2. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 107-146

Harborne, J. B. (1987). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Penerjemah: Padmawinata, K dan Soediro, I. Ed. 2. Penerbit

ITB. Bandung. Hal. 48-49, 147-149

Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. (1995). Cara Kromatografi

Preparatif : Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah:

Padmawinata, K., Penerbit ITB. Bandung. Hal. 9-12, 33-34

Mc Murry, J. (2007). Organic Chemistry a Biological Approach. USA: Thomson Books. Page 430-431

Muhtadi, A., Susilawati, Y dan Mulqie, L. (2004). Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Herba Peperomia pellucida (L.) H.B.K. pada Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Farmaka. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran.

Noerdin, D. (1985). Elusidasi Struktur Senyawa Organik dengan Cara

Spektroskopi Ultralembayung dan Inframerah. Bandung : Angkasa. Hal.

38, 106, 111

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Padmawinata, K. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 139, 152-156

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 1-2, 29-32

Stahl. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik. Penerjemah: Padmawinata, K. dan Soediro. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 3-18

Utami, P. (2008). Buku Pintar Tanaman Obat. Cetakan I. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal. 232

Wijayakusuma, H. (2006). Atasi Asam Urat dan Reumatik ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara. Hal. 46

(58)
(59)
(60)

Gambar 6. Tumbuhan suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.)

(61)

Gambar 7. Herba suruhan (peperomiae pellucidae herba)

(62)

Gambar 8. Simplisia herba suruhan (Peperomiae pellucidae herba)

Gambar

Tabel 1. Golongan terpenoida tumbuhan
Gambar 1. Struktur dari beberapa senyawa triterpenoida
Gambar 3.  Struktur beberapa senyawa fitosterol
Gambar 4. Struktur dasar spiroketal
+7

Referensi

Dokumen terkait

KARAKTERISASI SIMPLISIA, ISOLASI, DAN ANALISIS KOMPONEN MINYAK ATSIRI DARI RIMPANG DAN DAUN KUNYIT (Curcuma.. domestica Val.) KERING

Penelitian ini meliputi pemeriksaan terhadap karakteristik simplisia, skrining golongan senyawa kimia, ekstraksi simplisia dan isolasi senyawa steroid/triterpenoid

Telah dilakukan pembuatan simplisia dan isolasi senyawa penanda dari daun karamunting ( Rhodomyrtus tomentosa (Ait.) Hassk.).. Pemeriksaan meliputi organoleptis/

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Karakterisasi Simplisia dan Isolasi

Penelitian ini meliputi pemeriksaan terhadap karakteristik simplisia, skrining golongan senyawa kimia, ekstraksi simplisia dan isolasi senyawa steroid/triterpenoid

Salah satu senyawa yang terkandung di dalam herba suruhan adalah senyawa flavonoid, dan hasil penelitian menunjukkan herba suruhan memiliki aktivitas dalam

Berdasarkan penelitian mengenai isolasi dan karakterisasi senyawa terpenoid dari daun gaharu didapatkan bahwa senyawa yang didapat merupakan padatan kristal putih.

Berdasarkan penelitian mengenai isolasi dan karakterisasi senyawa terpenoid dari daun gaharu didapatkan bahwa senyawa yang didapat merupakan padatan kristal putih.