• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Indeks Glikemik Dan Beban Glikemik Dengan Insulin-Like Growth Factor-1 Pada Pasien Akne Vulgaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Indeks Glikemik Dan Beban Glikemik Dengan Insulin-Like Growth Factor-1 Pada Pasien Akne Vulgaris"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA INDEKS GLIKEMIK DAN BEBAN GLIKEMIK

DENGAN INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

PADA PASIEN AKNE VULGARIS

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Persyaratan

Untuk Memperoleh Keahlian dalam Bidang Magister Kedokteran Klinik

dan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

OLEH:

RUDYN REYMOND PANJAITAN

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang Maha Pengasih lewat putraNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus, yang telah memampukan penulis dalam menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis yang berjudul: “Hubungan antara Indeks Glikemik dan Beban Glikemik dengan Insulin-like Growth

Factor-1 pada Pasien Akne Vulgaris” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

keahlian dalam bidang Magister Kedokteran Klinik dan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tidak ada satupun karya tulis dapat diselesaikan seorang diri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam penyelesaian tesis ini, baik ketika penulis melakukan penelitian maupun saat penulis menyusun setiap kata demi kata dalam penyusunan proposal dan hasil penelitian, ada banyak pihak yang Tuhan telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Yang terhormat dr. Nelva K. Jusuf, SpKK (K), selaku pembimbing utama penulis, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberi masukan dan koreksi kepada penulis selama proses penyusunan tesis ini.

2. Yang terhormat dr. Zaimah Z. Tala, SpGK, MS, selaku pembimbing kedua penulis, yang juga telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan tesis ini.

3. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, juga sebagai guru besar dan anggota tim penguji, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan juga selalu memberikan dukungan, bimbingan dan dorongan kepada saya dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

(3)

saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

5. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, SpA (K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

6. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Yang terhormat Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K), yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

8. Yang terhormat dr. Kristo Alberto Nababan, SpKK, yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, semangat serta nasehat selama saya menjalani pendidikan.

9. Yang terhormat dr. Kamaliah Muis, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi atas penyempurnaan tesis ini.

10. Yang terhormat dr. Imam Budi Putra, SpKK, yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.

11. Yang terhormat para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

12. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medam, Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, dan Direktur RS PTPN II Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

13. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amra, M.Kes, selaku staf Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, dan dr. Arlinda Sari Wahyuni. M.Kes, selaku staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FK USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

(4)

15. Yang tercinta Ayahanda Drs. Junjungan Panjaitan dan Ibunda Mantha Hutahaean, yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Kiranya hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan kalian.

16. Yang terkasih Kakak dan Adik-adik saya, terima kasih atas doa, dukungan dan pengertian yang telah kalian berikan kepada saya selama ini.

17. Yang terkasih Neni Triana Silalahi, S.Sos, yang telah mengisi hari-hari saya selama 3,5 tahun ini. Terima kasih untuk segala dukungan, perhatian, kebersamaan, tawa canda yang boleh saya rasakan. Doa, semangat dan kasihmu merupakan salah satu sumber kekuatan saya dalam menjalani suka duka masa pendidikan ini.

18. Yang terkasih seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan dukungan dan nasehat selama masa pendidikan dan penelitian saya ini.

19. Kepada seluruh keluarga dan kerabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

20. Yang terhormat dr. Olivia Anggrenni, dr. Margaret Nelly Olinca Sibarani, dr. Sufina F. Nasution, dr. Dina Arwina Dalimunthe, dr. Joice Sonya Panjaitan, dan seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

21. Kepada seluruh staf Laboratorium Prodia Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan kemudahan kepada saya untuk melaksanakan penelitian.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini.

Dan akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, saya panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya berkenan untuk memberkati dan melindungi kita sekalian. Amin.

(5)

dr. Rudyn Reymond Panjaitan

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Rumusan masalah ... 5

C. Hipotesis ... 5

D. Tujuan penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5

2. Tujuan khusus ... 5

E. Manfaat penelitian ... 6

F. Kerangka teori ... 7

G. Kerangka konsep ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Akne vulgaris ... 8

1. Epidemiologi ... 8

2. Etiologi dan patogenesis ... 10

(6)

4. Pemeriksaan laboratorium ... 14

5. Diagnosis ... 15

6. Diagnosis banding ... 16

B. Diet dan akne ... 18

1. Klasifikasi karbohidrat ... 18

2. Indeks glikemik ... 19

3. Beban glikemik ... 21

4. Insulin-like growth factor-1 ... 21

5. Hubungan antara diet, IGF-1 dan akne vulgaris ... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain penelitian ... 30

B. Waktu dan tempat penelitian ... 30

C. Populasi penelitian ... 30

D. Besar sampel ... 31

E. Cara pengambilan sampel penelitian ... 31

F. Identifikasi variabel ... 32

G. Kriteria inklusi dan eksklusi ... 32

H. Alat, bahan, dan cara kerja ... 33

I. Definisi operasional ... 37

J. Kerangka operasional ... 42

K. Pengolahan dan analisis data ... 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik subjek penelitian ... 44

1. Jenis kelamin ... 45

(7)

3. Tingkat pendidikan ... 47

4. Suku bangsa ... 47

B. Insulin-like growth factor-1 ... 48

1. Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol ... 48

2. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ... 49

3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ... 50

4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh ... 51

5 Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan insulin-like growth factor-1 ... 52

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 56

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian ………... 44

Tabel 4.2. Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol ... 48

Tabel 4.3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ... 49

Tabel 4.4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ... 50

Tabel 4.5. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh ... 51

Tabel 4.6. Perbandingan indeks glikemik dan beban glikemik antara kelompok kasus dan

kontrol ... 52

Tabel 4.7. Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan insulin-like

(9)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 1 : Kerangka teori hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik

dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris ... 7

Skema 2 : Kerangka konsep hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik

dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris ... 7

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Naskah penjelasan kepada pasien/orangtua/keluarga pasien

Lampiran 2 : Persetujuan ikut serta dalam penelitian

Lampiran 3 : Status penelitian

Lampiran 4 : Status “dietary recall

Lampiran 5 : Indeks glikemik dan beban glikemik beberapa jenis pangan

Lampiran 6 : Persetujuan Komite Etik

Lampiran 7 : Master Tabel

(11)

HUBUNGAN ANTARA INDEKS GLIKEMIK DAN BEBAN GLIKEMIK DENGAN INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

PADA PASIEN AKNE VULGARIS

Rudyn Reymond Panjaitan, Zaimah Z. Tala*, Nelva K. Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin *Departemen Ilmu Kesehatan Gizi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar belakang : Akne vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit kulit yang umum dengan

patogenesis yang bersifat kompleks. Banyak timbul perdebatan seputar pengaruh makanan terhadap timbulnya AV. Makanan dengan indeks glikemik (IG) dan beban glikemik (BG) yang tinggi mungkin merupakan suatu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi AV melalui hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia dapat terlibat dalam patofisiologi AV karena hubungannya dengan peningkatan bioavailabilitas androgen dan konsentrasi

insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dalam serum.

Tujuan : Mengetahui hubungan antara IG dan BG makanan dengan kadar IGF-1 pada pasien

AV.

Subjek dan metode : Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang yang

dilaksanakan pada bulan Januari – April 2010, melibatkan 18 orang penderita AV dan 18 orang kontrol yang tidak menderita AV. Terhadap subjek penelitian dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan pengukuran nilai IG dan BG dari makanan yang dikonsumsi.

Hasil : Kadar IGF-1 pada penderita AV lebih tinggi dibandingkan pada individu yang tidak

menderita AV walaupun tidak signifikan secara statistik. Tidak terdapat hubungan antara IG dan BG dengan IGF-1 pada penderita AV.

Kesimpulan : Makanan dengan IG dan BG yang tinggi belum terbukti berperan pada

timbulnya gejala klinis AV.

(12)

THE CORRELATION BETWEEN GLYCEMIC INDEX AND GLYCEMIC LOAD WITH INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

IN ACNE VULGARIS PATIENTS

Rudyn Reymond Panjaitan, Zaimah Z. Tala*, Nelva K. Jusuf

Department of Dermato-Venereology *Department of Clinical Nutrition

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan

ABSTRACT

Background : Acne vulgaris (AV) is a common skin disease with complex pathogenesis.

Much debate arose about the effect of foods on the occurrence of AV. Foods with a high glycemic index (GI) and glycemic load (GL) value may be a significant contributor to the high prevalence of AV through hyperinsulinemia. Hyperinsulinemia may be involved in the pathophysiology of AV because of its relationship with increased of androgen bioavailability and insulin-like growth factor-1 (IGF-1) levels in serum.

Objective : To determine the correlation between glycemic index and glycemic load of food

with insulin-like growth factor-1 levels in AV patients serum.

Subject and method : An analytic study with cross sectional design was conducted from

Januari to April 2010, involving 18 AV patients and 18 matched individuals without AV. On the subject of research, measurements of IGF-1 levels in serum and the values of GI and GL of the foods consumed were carried out.

Result : Levels of IGF-1 in AV patients are higher than in control subjects, although not

statistically significant. There is no correlation between GI and GL values with IGF-1 levels in AV patients.

Conclusion : Foods with high GI and GL values has not been proven to play a role in the

onset of clinical symptoms of AV.

(13)

HUBUNGAN ANTARA INDEKS GLIKEMIK DAN BEBAN GLIKEMIK DENGAN INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

PADA PASIEN AKNE VULGARIS

Rudyn Reymond Panjaitan, Zaimah Z. Tala*, Nelva K. Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin *Departemen Ilmu Kesehatan Gizi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Latar belakang : Akne vulgaris (AV) merupakan suatu penyakit kulit yang umum dengan

patogenesis yang bersifat kompleks. Banyak timbul perdebatan seputar pengaruh makanan terhadap timbulnya AV. Makanan dengan indeks glikemik (IG) dan beban glikemik (BG) yang tinggi mungkin merupakan suatu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi AV melalui hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia dapat terlibat dalam patofisiologi AV karena hubungannya dengan peningkatan bioavailabilitas androgen dan konsentrasi

insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dalam serum.

Tujuan : Mengetahui hubungan antara IG dan BG makanan dengan kadar IGF-1 pada pasien

AV.

Subjek dan metode : Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang yang

dilaksanakan pada bulan Januari – April 2010, melibatkan 18 orang penderita AV dan 18 orang kontrol yang tidak menderita AV. Terhadap subjek penelitian dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan pengukuran nilai IG dan BG dari makanan yang dikonsumsi.

Hasil : Kadar IGF-1 pada penderita AV lebih tinggi dibandingkan pada individu yang tidak

menderita AV walaupun tidak signifikan secara statistik. Tidak terdapat hubungan antara IG dan BG dengan IGF-1 pada penderita AV.

Kesimpulan : Makanan dengan IG dan BG yang tinggi belum terbukti berperan pada

timbulnya gejala klinis AV.

(14)

THE CORRELATION BETWEEN GLYCEMIC INDEX AND GLYCEMIC LOAD WITH INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

IN ACNE VULGARIS PATIENTS

Rudyn Reymond Panjaitan, Zaimah Z. Tala*, Nelva K. Jusuf

Department of Dermato-Venereology *Department of Clinical Nutrition

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan

ABSTRACT

Background : Acne vulgaris (AV) is a common skin disease with complex pathogenesis.

Much debate arose about the effect of foods on the occurrence of AV. Foods with a high glycemic index (GI) and glycemic load (GL) value may be a significant contributor to the high prevalence of AV through hyperinsulinemia. Hyperinsulinemia may be involved in the pathophysiology of AV because of its relationship with increased of androgen bioavailability and insulin-like growth factor-1 (IGF-1) levels in serum.

Objective : To determine the correlation between glycemic index and glycemic load of food

with insulin-like growth factor-1 levels in AV patients serum.

Subject and method : An analytic study with cross sectional design was conducted from

Januari to April 2010, involving 18 AV patients and 18 matched individuals without AV. On the subject of research, measurements of IGF-1 levels in serum and the values of GI and GL of the foods consumed were carried out.

Result : Levels of IGF-1 in AV patients are higher than in control subjects, although not

statistically significant. There is no correlation between GI and GL values with IGF-1 levels in AV patients.

Conclusion : Foods with high GI and GL values has not been proven to play a role in the

onset of clinical symptoms of AV.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang umum dan kompleks yang

mengenai individu dari semua usia. Akne vulgaris ditandai dengan adanya papul folikular non

inflamasi (komedo) dan adanya papul inflamasi, pustul dan nodul pada bentuk yang berat.

Akne vulgaris mengenai daerah kulit dengan populasi kelenjar sebasea yang paling padat;

antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.1

Patogenesis akne vulgaris bersifat kompleks, dengan bukti-bukti yang kuat mendukung

keterlibatan hiperplasia sebasea, hiperkeratinisasi folikular, hiperkolonisasi bakteri, dan

inflamasi. Konsentrasi sebum yang tinggi dan hiperkeratinisasi folikular mengakibatkan

perubahan pada lingkungan folikular serta proliferasi bakteri khususnya Propionibacterium

acnes (P. acnes). Hal ini menyebabkan peningkatan produksi lebih lanjut dari sitokin-sitokin

pro-inflamasi yaitu interleukin-1α (IL-1α) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) oleh sel T dan

keratinosit yang menyebabkan proliferasi dari kedua jenis sel tersebut. Keratinosit folikular

gagal berdiferensiasi melalui apoptosis dan menghasilkan hipergranulosis yang sama dengan

lapisan kulit luar yang impermeabel, menyebabkan pembentukan mikrokomedo. Respons

inflamasi selanjutnya memicu perkembangan peningkatan derajat beratnya bentuk inflamasi

dari akne vulgaris.2

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit yang tidak hanya memberikan efek secara

fisik bagi penderitanya, namun juga efek psikologis seperti rasa cemas dan depresi.3 Akne

vulgaris yang berat dapat menyebabkan terbentuknya skar yang permanen, suatu hasil akhir

yang bahkan dapat merupakan suatu faktor resiko untuk bunuh diri, khususnya pada pria

(16)

Pada populasi barat, akne vulgaris diperkirakan mengenai 79-95% populasi usia

remaja.5 Pada pria dan wanita yang berusia lebih dari 45 tahun, 40-45% diantaranya memiliki

akne vulgaris pada wajah, dimana pada 12% wanita dan 3% pria menetap hingga usia

pertengahan.6 Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan, berdasarkan data

yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember 2008, dari total 5.573

pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%)

diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41%

berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 36-65 tahun.

Hal ini menggambarkan bahwa penderita akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan

dewasa muda.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh para ahli, ternyata akne vulgaris jarang

ditemukan pada populasi non-westernized. Walaupun faktor-faktor familial dan etnik berperan

dalam prevalensi akne vulgaris, berbagai pengamatan menunjukkan bahwa insiden akne

vulgaris meningkat seiring dengan diadopsinya pola hidup barat. Pengamatan-pengamatan ini

menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup barat termasuk diet, dapat

terlibat dalam patogenesis akne vulgaris.5

Berdasarkan catatan sejarah, banyak perdebatan timbul seputar pengaruh makanan

terhadap timbulnya akne vulgaris. Pada tahun 1930-an, akne vulgaris dianggap sebagai suatu

penyakit akibat gangguan metabolisme karbohidrat karena ditemukannya gangguan toleransi

glukosa pada pasien-pasien akne vulgaris. Akibatnya, para penderita akne vulgaris dilarang

untuk mengkonsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat atau gula yang tinggi secara

berlebih. Hubungan antara diet dengan akne vulgaris akhirnya mulai berkurang pada tahun

1969 ketika suatu penelitian mengemukakan bahwa ternyata tidak timbul eksaserbasi lesi-lesi

akne vulgaris pada kelompok yang mengkonsumsi coklat batangan dibandingkan dengan

(17)

menunjukkan tidak adanya hubungan antara diet dengan akne vulgaris, penelitian ini akhirnya

dikritik karena adanya sejumlah kekurangan dalam rancangan penelitiannya, seperti komposisi

nutrisi yang sama antara plasebo dengan coklat batangan.8

Saat ini terdapat suatu tinjauan ulang mengenai hubungan antara diet dengan akne

vulgaris karena adanya pemahaman yang lebih besar mengenai bagaimana makanan dapat

mempengaruhi faktor-faktor endokrin yang terlibat dalam akne vulgaris. Yang menarik adalah

adanya konsep mengenai indeks glikemik (glycemic index), yaitu suatu sistem yang

mengklasifikasikan respons glikemik dari karbohidrat. Indeks glikemik (IG) adalah suatu

indikator untuk menilai respons glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan

respons glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni. Indeks glikemik merupakan angka yang

menyatakan urutan makanan berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar gula darah. Karena

indeks glikemik hanya dapat membandingkan makanan dengan kandungan karbohidrat yang

sama, maka kemudian dikembangkan konsep beban glikemik (glycemic load) untuk menilai

efek glikemik dari keseluruhan makanan atau diet. Beban glikemik (BG) merupakan IG untuk

masing-masing makanan dikalikan kandungan karbohidratnya (dalam gram) dan kemudian

dibagi 100. Cordain menyatakan bahwa diet dengan BG yang tinggi mungkin merupakan

suatu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi akne vulgaris di negara-negara

barat. Para peneliti berspekulasi bahwa konsumsi karbohidrat dengan IG yang tinggi dapat

menyebabkan para remaja penderita akne vulgaris tersebut terpapar berulangkali dengan

hiperinsulinemia akut. Hiperinsulinemia telah dinyatakan terlibat dalam patofisiologi akne

vulgaris karena hubungannya dengan peningkatan bioavailibilitas androgen dan konsentrasi

insulin-like growth factor-1 (IGF-1).9,10

Insulin-like growth factor-1 adalah suatu polipeptida dengan urutan yang sangat mirip

dengan insulin. Insulin-like growth factor-1 adalah bagian dari suatu kompleks sistem yang

(18)

Insulin-like growth factor-1 yang bersirkulasi dalam darah disintesis di hati. Sintesis

IGF-1 diatur oleh beberapa faktor. Secara invivo, sintesis IGF-1 dirangsang oleh hormon

pertumbuhan (growth hormone) dan asupan nutrisi.12 Growth hormone (GH) menstimulasi

sintesis dan sekresi IGF-1 hepatik. Sebaliknya, IGF-1 mengatur sekresi GH dari hipofisis

melalui mekanisme umpan balik negatif.11,13,14 Selain oleh GH, sintesis IGF-1 juga distimulasi

oleh insulin. Tidak adanya insulin sebagaimana yang terlihat pada penderita diabetes tipe 1,

ditandai dengan penurunan insulin dan kadar IGF-1 walaupun sekresi GH meningkat.15

Data menunjukkan bahwa IGF-1 dibutuhkan untuk proliferasi keratinosit pada manusia

dan pada tikus transgenik.16 Ekspresi yang meningkat dari IGF-1 menyebabkan hiperkeratosis

dan hiperplasia epidermis, yang mendukung pernyataan bahwa peningkatan kadar IGF-1 bebas

yang dipicu oleh insulin dapat mencetuskan akne vulgaris melalui hiperkeratinisasi.17

Selain faktor GH yang terkait dengan usia, asupan nutrisi, dan insulin, berbagai

keadaan yang diakibatkan oleh perubahan kadar hormon androgen dalam darah seperti

menstruasi, kehamilan dan penggunaan kontrasepsi hormonal, ditengarai dapat mempengaruhi

kadar IGF-1 dalam serum. Demikian pula halnya dengan obesitas sentral. Namun satu faktor

yang sifatnya masih kontroversial adalah kaitan antara IGF-1 dengan perubahan antropometrik

yaitu indeks massa tubuh. Oleh karena itu, diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut agar

keterkaitan antara IGF-1 dengan faktor-faktor tersebut menjadi lebih jelas dan bermakna

khususnya pada pasien-pasien akne vulgaris.

Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk. (2007) adalah penelitian pertama yang

menunjukkan suatu efek terapeutik dari intervensi makanan pada akne vulgaris. Setelah 12

minggu, diet dengan BG yang rendah secara signifikan ternyata dapat menurunkan jumlah lesi

akne dan memperbaiki sensitivitas insulin dibandingkan diet dengan BG yang tinggi.

(19)

hilangnya berat badan, penemuan mereka konsisten dengan usulan sebelumnya mengenai

hubungan antara hiperinsulinemia dan akne vulgaris.18

Di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian untuk menilai

hubungan antara diet dengan akne vulgaris. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian

mengenai keterkaitan antara kedua faktor tersebut. Faktor diet (makanan) dinilai dari IG dan

BG, sedangkan akne vulgaris dinilai dari peningkatan kadar IGF-1 dalam serum.

B. Rumusan masalah

Apakah terdapat hubungan antara IG dan BG dengan kadar IGF-1 dalam serum pada

pasien akne vulgaris?

C. Hipotesis

1. Semakin tinggi IG makanan maka semakin tinggi kadar IGF-1 dalam serum pada

pasien akne vulgaris.

2. Semakin tinggi BG maka semakin tinggi kadar IGF-1 dalam serum pada pasien

akne vulgaris.

D. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum:

Untuk mengetahui hubungan antara IG dan BG makanan harian dengan kadar

IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris.

2. Tujuan khusus:

a. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pasien akne vulgaris.

(20)

c. Mengetahui kadar IGF-1 berdasarkan perbedaan usia.

d. Mengetahui hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan IGF-1

e. Mengetahui peran IG dan BG pada timbulnya gejala klinis akne vulgaris

dalam hubungannya dengan kadar IGF-1 dalam serum.

E. Manfaat penelitian

1. Membuka wawasan mengenai patogenesis akne vulgaris terutama dalam

hubungan antara makanan dengan kadar IGF-1 di dalam serum.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang

faktor-faktor pencetus akne vulgaris terutama yang berhubungan dengan

makanan.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi data bagi penelitian selanjutnya dalam hal

evaluasi pengaruh makanan terhadap kadar IGF-1 dalam serum, sehingga dapat

(21)

F. Kerangka teori

G. Kerangka konsep

IGF-1

Akne vulgaris Beban glikemik

Indeks glikemik Makanan dengan IG

dan BG yangtinggi

↑ Insulin plasma (hiperinsulinemia)

↑ Sintesis androgen ↑ IGF-1

Inflamasi ↑P. acnes Hiperproliferasi folikuler

↑ Produksi sebum Hormon

pertumbuhan Hipofisis

anterior

Adrenal

Akne Vulgaris

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akne vulgaris

Akne vulgaris merupakan suatu gangguan dari unit pilosebasea yang umum dijumpai,

dapat sembuh sendiri dan terutama ditemukan pada remaja. Akne vulgaris ditandai dengan

adanya papul folikular non inflamasi (komedo) dan adanya papul inflamasi, pustul dan nodul

pada bentuk yang berat. Akne vulgaris mengenai daerah kulit dengan populasi kelenjar

sebasea yang paling padat; antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.1

1. Epidemiologi

Pada populasi barat, akne vulgaris diperkirakan mengenai 79-95% populasi usia

remaja.5 Pada pria dan wanita yang berusia lebih dari 45 tahun, 40-45% diantaranya memiliki

akne vulgaris pada wajah, dimana pada 12% wanita dan 3% pria menetap hingga usia

pertengahan.6 Meskipun demikian, hanya ada beberapa penelitian mengenai prevalensi akne

vulgaris pada remaja di Asia. Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap 1.045 remaja

usia 13-19 tahun di Singapura, hasilnya memperlihatkan bahwa 88% diantaranya ternyata

memiliki akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 51,4 % diklasifikasikan sebagai akne vulgaris

ringan, 40 % akne vulgaris sedang dan 8,6 % akne vulgaris berat.19 Di RSUP. H. Adam Malik

Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember

2008, dari total 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,

107 pasien (1,91%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari

jumlah tersebut 8,41% berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun dan hanya 0,93% yang

berusia 36-65 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa penderita akne vulgaris yang terbanyak

(23)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh para ahli, ternyata akne jarang

ditemukan pada populasi non-westernized. Walaupun penelitian pada keluarga telah

menyatakan bahwa faktor herediter penting dalam menentukan kerentanan terhadap akne

vulgaris, tidak ditemukannya penyakit ini pada populasi non-westernized dengan kuat

menunjukkan adanya faktor-faktor lingkungan yang mendasarinya, termasuk diet.5

Dua populasi non-westernized yaitu kepulauan Kitavan di Papua Nugini dan Ache

hunter-gatherer di Paraguay ternyata tidak memiliki akne vulgaris. Mereka mengkonsumsi

buah-buahan, ikan, binatang buruan, dan umbi-umbian, tetapi tidak sereal dan refined sugar.5

Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat dengan IG tinggi (misalnya roti, kue donat, permen,

dan biskuit), yang dapat meningkatkan kadar gula darah dan menyebabkan serangkaian

perubahan hormonal, dapat menyebabkan terjadinya akne vulgaris. Peningkatan kadar gula

darah dapat menyebabkan peningkatan produksi insulin. Hal ini mempengaruhi

hormon-hormon lain yang menyebabkan peningkatan sekresi minyak (sebum) pada kulit. Oleh karena

itu, makanan dengan IG rendah, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, mungkin dapat

digunakan sebagai pilihan pengobatan pasien-pasien dengan akne vulgaris.20

Akne vulgaris lebih sering dijumpai pada populasi pria dibandingkan wanita pada usia

remaja. Namun pada usia dewasa, akne vulgaris lebih sering dijumpai pada wanita. Akne

vulgaris dapat timbul pada beberapa minggu dan bulan pertama kelahiran saat bayi masih

berada di bawah pengaruh hormon maternal dan kadar hormon androgen yang dihasilkan oleh

kelenjar adrenal bayi masih sangat sedikit. Akne vulgaris pada neonatus ini dapat sembuh

secara spontan. Akne vulgaris pada remaja biasanya dimulai sebelum onset pubertas, saat

kelenjar adrenal mulai menghasilkan dan melepaskan lebih banyak hormon androgen. Akne

vulgaris tidak hanya terbatas pada usia remaja. Pada usia 45 tahun, 5% baik pria maupun

(24)

sering terjadi pada pria kulit putih dibandingkan kulit hitam, dan satu penelitian menemukan

bahwa akne vulgaris lebih berat pada pasien-pasien dengan genotip XYY.21

2. Etiologi dan patogenesis

Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Ada 4 faktor penting yang dianggap

berperan dalam perkembangan suatu lesi akne vulgaris. Faktor-faktor tersebut antara lain

hiperproliferasi epidermal folikular dengan pembentukan sumbatan pada folikel, peningkatan

produksi sebum, adanya dan peningkatan aktivitas P. acnes, dan inflamasi.1,5,20,21

Hiperproliferasi epidermal folikular adalah kejadian yang pertama sekali dikenal dalam

perkembangan akne vulgaris. Penyebab pasti yang mendasari hiperproliferasi ini tidak

diketahui. Saat ini, ada 3 buah hipotesis yang telah diajukan untuk menjelaskan mengapa

epitelium folikular bersifat hiperproliferatif pada individu dengan akne vulgaris. Pertama,

hormon androgen, yang telah dikenal sebagai pencetus awal. Komedo, lesi klinis yang

menyebabkan pembentukan sumbatan pada muara folikular, mulai timbul disekitar usia

pubertas pada orang-orang dengan akne vulgaris. Derajat akne vulgaris komedonal pada usia

prapubertas berhubungan dengan kadar hormon androgen adrenal yaitu

dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S). Apalagi, reseptor hormon androgen ditemukan

pada folikel-folikel dimana komedo berasal. Selain itu individu dengan malfungsi reseptor

androgen ternyata tidak akan mengalami akne vulgaris. Kedua, perubahan komposisi lipid,

yang telah diketahui berperan dalam perkembangan akne. Para penderita akne biasanya

mempunyai produksi sebum yang berlebihan dan kulit yang berminyak. Produksi sebum yang

berlebihan ini dapat melarutkan lipid epidermal normal dan menyebabkan suatu perubahan

dalam konsentrasi relatif dari berbagai lipid. Berkurangnya konsentrasi asam linoleat

ditemukan pada individu dengan lesi akne vulgaris, dan menariknya, keadaan ini akan normal

(25)

asam linoleat dapat mengaktifkan pembentukan komedo. Inflamasi adalah faktor hipotesis

ketiga yang terlibat dalam pembentukan komedo. Interleukin-1α adalah suatu sitokin

proinflamasi yang telah digunakan pada suatu model jaringan untuk menginduksi

hiperproliferasi epidermal folikular dan pembentukan akne vulgaris. Walaupun inflamasi tidak

terlihat baik secara klinis maupun mikroskopis pada lesi awal akne vulgaris, ia tetap

memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan akne vulgaris dan komedo.1

Peningkatan produksi sebum adalah faktor kunci yang berperan dalam pembentukan

akne vulgaris. Produksi dan ekskresi sebum diatur oleh sejumlah hormon dan mediator yang

berbeda. Hormon androgen khususnya, meningkatkan pembentukan dan pelepasan sebum.

Kebanyakan pria dan wanita dengan akne vulgaris memiliki kadar hormon androgen yang

bersirkulasi dalam jumlah yang normal. Sejumlah agen lain seperti GH dan IGF, juga

mengatur kelenjar sebasea dan dapat berperan dalam perkembangan akne vulgaris.1

Propionibacterium acnes merupakan suatu organisme mikroaerofilik yang ditemukan

pada banyak lesi akne vulgaris. Walaupun tidak ditemukan pada lesi yang paling awal dari

akne vulgaris, P. acnes ini hampir pasti dapat ditemukan pada lesi-lesi yang lanjut. Adanya P.

acnes akan meningkatan proses inflamasi melalui sejumlah mekanisme. Propionibacterium

acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator-mediator proinflamasi yang berdifusi

melalui dinding folikel. Penelitian terkini menunjukkan bahwa P. acnes mengaktifkan toll-like

receptor-2 pada monosit dan neutrofil. Aktivasi toll-like receptor-2 ini kemudian akan

memicu produksi sitokin proinflamasi yang multipel, seperti IL-12, IL-8, dan TNF.

Hipersensitivitas terhadap P. acnes dapat juga menjelaskan mengapa beberapa individu

mengalami akne vulgaris inflamasi sedangkan yang lain tidak.1

Inflamasi mungkin merupakan suatu fenomena primer atau sekunder. Kebanyakan

(26)

sekunder terhadap P. acnes. Meskipun demikian, ekspresi IL-1α telah diidentifikasi dalam

mikrokomedo dan dapat berperan dalam pembentukan akne vulgaris.1

Faktor-faktor eksternal jarang ditemukan pada akne vulgaris. Beberapa bahan kosmetik

dan minyak rambut dapat memperburuk akne vulgaris. Sejumlah obat-obatan seperti steroid,

litium, anti epilepsi dan iodium dapat mencetuskan akne vulgaris. Hiperplasia adrenal

kongenital, polycystic ovarian syndrome (PCOS), dan kelainan-kelainan endokrin yang lain

dengan peningkatan produksi dan pelepasan androgen dapat memicu perkembangan akne

vulgaris.1

Akne vulgaris juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Goulden dkk., disimpulkan bahwa faktor-faktor familial penting dalam

menentukan kerentanan individu untuk menderita akne vulgaris yang persisten. Faktor-faktor

genetik dapat menentukan kegagalan folikel-folikel yang mempunyai kecenderungan menjadi

akne vulgaris untuk berkembang menjadi folikel-folikel yang resisten terhadap akne vulgaris

pada awal usia dewasa.22

3. Gambaran klinis

Lesi kulit pada akne vulgaris berupa komedo, papul, pustul dan nodul pada daerah

distribusi sebasea. Ada 3 tipe utama komedo, yaitu mikrokomedo, komedo terbuka

(blackhead) dan komedo tertutup (whitehead) tanpa disertai tanda klinis inflamasi.23 Papul dan

pustul adalah berupa pembengkakan yang disertai inflamasi. Kulit wajah dapat merupakan

satu-satunya daerah yang terkena, tapi dada, punggung, dan lengan atas juga sering terlibat.1

Pada akne vulgaris komedonal, tidak ditemukan adanya lesi-lesi inflamasi. Lesi

komedonal merupakan lesi yang paling dini dari akne vulgaris, dan komedo tertutup

(27)

Akne vulgaris inflamasi ringan ditandai dengan adanya komedo dan papul. Akne

vulgaris inflamasi sedang ditandai dengan adanya komedo, papul, dan pustul. Jumlah lesinya

lebih banyak dibandingkan dengan akne vulgaris inflamasi yang lebih ringan.1

Akne nodulokistik ditandai dengan adanya komedo, lesi-lesi inflamasi, dan nodul

dengan diameter yang lebih besar dari 5 mm. Skar sering ditemukan pada akne vulgaris jenis

ini.1

Akne vulgaris persisten (82%) adalah akne vulgaris yang menetap sejak masa remaja.

Mereka memiliki akne vulgaris hampir sepanjang waktu dan dapat mengalami eksaserbasi

selama periode menstruasi. Lesi yang timbul cenderung berupa lesi papulonodular, berlokasi

di atas seluruh bagian bawah wajah dan leher.24

Akne vulgaris onset lambat timbul setelah pubertas dan dapat dibagi menjadi 2, yaitu

a) akne vulgaris pada dagu, yaitu akne inflamasi dengan lesi-lesi di sekitar mulut dan dagu,

komedo jarang ditemukan, mengenai wanita dan mengalami eksaserbasi selama periode

menstruasi, serta cenderung menjadi resisten terhadap pengobatan dan menghasilkan eritema

paska inflamasi dengan hipo- atau hiperpigmentasi dan skar, serta b) akne vulgaris sporadik,

yaitu akne vulgaris yang timbul kemudian tanpa alasan yang jelas atau berhubungan dengan

suatu penyakit sistemik. Jenis ini dapat berlokasi dimana saja. Pada penderita yang berusia

lebih dari 60 tahun, lesi ini tampaknya lebih sering pada daerah badan dibandingkan wajah.24

Tidak diketahui alasan mengapa akne vulgaris persisten pada orang dewasa. Wanita

dengan akne vulgaris persisten memiliki sekresi sebum yang lebih besar dibandingkan yang

tanpa akne vulgaris, dan rokok tampaknya menjadi suatu faktor predisposisi bagi keadaan ini

sedangkan faktor-faktor eksternal lain seperti kosmetik, obat-obatan, atau jenis pekerjaan tidak

mempunyai pengaruh apapun.24 Akne vulgaris non inflamasi (dengan mikro dan makro

komedo) dilaporkan lebih sering pada wanita perokok dibandingkan bukan perokok pada

(28)

penelitian yang dilakukan oleh Schäfer dkk. tahun 2001 yang menyatakan bahwa prevalensi

akne vulgaris lebih besar terlihat pada perokok (40,8%) dibandingkan bukan perokok

(25,5%).26 Merokok tampaknya menjadi suatu faktor yang berperan penting dalam

meningkatkan prevalensi dan menambah derajat keparahan akne vulgaris. Kira-kira 50%

pasien memiliki riwayat menderita akne vulgaris post adolescent24 dalam keluarga derajat

pertamanya, suatu faktor yang diketahui meningkatkan resiko terkena akne vulgaris pada usia

dewasa sebesar 3,93 %.22

Sekitar 85% wanita melaporkan gejala-gejala yang memburuk selama periode

premenstruasi. Sekitar sepertiga dari wanita-wanita ini memiliki keadaan

hiperandrogenisme.24 Hiperandrogenisme harus dipertimbangkan pada pasien wanita dengan

akne vulgaris yang berat, onset yang mendadak, atau berhubungan dengan hirsutisme atau

gangguan siklus menstruasi. Gejala klinis tambahan hiperandrogenisme antara lain gambaran

cushingoid, peningkatan libido, klitoromegali, suara yang lebih berat, akantosis nigrikans, dan

alopesia androgenetika. Wanita dengan hiperandrogenisme dapat memiliki resistensi insulin.

Mereka memiliki resiko lebih besar untuk terkena penyakit kardiovaskular dan diabetes

melitus.27 Pasien dengan keadaan seperti ini dan mereka dengan akne vulgaris onset lambat

dapat memiliki gangguan metabolik androgen perifer, ovarium dan adrenal sehingga

memerlukan pemeriksaan khusus.24

Berbagai riwayat pengobatan dalam keluarga harus benar-benar diteliti dan

mengeksklusi faktor-faktor pencetus sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu

obat-obatan, bahan kosmetik komedogenik, dan rokok.24,28

4. Pemeriksaan laboratorium

Secara umum, pemeriksaan laboratorium tidak diindikasikan pada pasien-pasien

(29)

Terdapat sejumlah parameter pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah terdapat

kelainan pada androgen serum, antara lain kadar hormon DHEA-S untuk menentukan fungsi

adrenal; testosterone untuk aktivitas ovarium; luteinizing hormone/follicle stimulating

hormone-releasing factor (LH/FSH-RH) untuk aktivitas polycystic ovarian syndrome (PCOS)

dan prolaktin untuk mengidentifikasi suatu gangguan hipofisis yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan seharusnya dilakukan antara hari pertama dan kelima siklus menstruasi.28

Peningkatan kadar androgen dalam serum telah ditemukan pada kasus-kasus akne yang

berat dan akne yang dihubungkan dengan berbagai kelainan endokrin, seperti hiperplasia

adrenal kongenital (defisiensi 11β- dan 21β-hydroxilase), tumor ovarium atau adrenal, dan

PCOS. Meskipun demikian, pada kebanyakan pasien akne vulgaris, kadar androgen serum

berada dalam batas normal.21,28

Tes-tes tersebut diatas harus dilengkapi dengan tes darah perifer lengkap, fungsi hati,

glukosa, dan antitrombin III, karena banyak pasien-pasien ini akan memerlukan terapi

sistemik.28

5. Diagnosis

Diagnosis akne vulgaris merupakan suatu diagnosis klinis yang ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi histopatologi.

Pada pasien-pasien wanita dengan dismenore atau hirsutisme, suatu evaluasi hormonal

harus dipertimbangkan. Pasien-pasien dengan bukti adanya virilisasi harus diperiksa kadar

hormon testosteron totalnya. Banyak penulis juga menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan

kadar testosteron bebas, DHEA-S, LH, dan kadar FSH.1,28 Walaupun berbagai hormon dapat

mempengaruhi akne vulgaris, ternyata pada kebanyakan pasien dengan akne vulgaris tidak

(30)

Berdasarkan pemeriksaan biopsi histopatologi, mikrokomedo ditandai dengan adanya

dilatasi folikel dengan sumbatan keratin pada muara folikel. Dengan progresifitas penyakit,

folikel menjadi terbuka menghasilkan suatu komedo terbuka. Dinding folikular tipis dan dapat

ruptur. Inflamasi dan adanya bakteri dapat menjadi bukti, dengan ataupun tanpa ruptur

folikular. Ruptur folikular biasanya disertai dengan adanya reaksi tubuh terhadap benda asing.

Inflamasi pada lapisan dermis mungkin dihubungkan dengan fibrosis dan pembentukan skar. 1

6. Diagnosis banding

Diagnosis akne vulgaris biasanya cukup mudah, namun kadang sering salah

didiagnosis dengan folikulitis, rosasea, atau dermatitis perioral. Penyakit-penyakit ini

umumnya tidak memiliki komedo.21

Ada beberapa jenis folikulitis yang sering salah didiagnosis dengan akne vulgaris,

antara lain Staphylococcus aureus folliculitis, Staphylococcus epidermis folliculitis, Demodex

folliculitis, Fungal folliculitis, dan Pityrosporum folliculitis. Pada S. aureus folliculitis, lesinya

berupa pustul-pustul folikular superfisial yang paling sering ditemukan pada daerah pipi

bagian lateral, dagu, dan dahi bagian temporal. Lesi-lesi ini umumnya timbul secara mendadak.

Pada S. epidermis folliculitis, lesinya bersifat kronik, ditandai dengan adanya papul-papul atau

pustul superfisial pada daerah janggut, khususnya pada leher. Sering disebut sebagai shaving

rash. Demodex folliculitis biasanya mengenai usia dekade ke-5 sampai ke-8. Paling sering

berlokasi pada kulit dengan rambut non-terminal, dahi, hidung, dan pipi. Lesi khasnya berupa

papulopustul, kadang-kadang berkonfluens membentuk plak yang kecil. Gangguan pada

folikel dapat menyebabkan reaksi granulomatosa. Fungal folliculitis memiliki gambaran klinis

yang sama dengan S. epidermis folliculitis, tapi lebih bersifat asimetris dan umumnya

mengenai pasien yang lebih muda. Sedangkan lesi Pityrosporum folliculitis berupa

(31)

tegas disertai rasa gatal ringan, dan umumnya berlokasi pada badan bagian atas.23 Kultur dari

lesi di kulit untuk menyingkirkan folikulitis gram negatif harus dilakukan jika tidak terdapat

respons terhadap pengobatan atau jika tidak ada perbaikan.1

Rosasea adalah suatu reaksi inflamasi yang umumnya ditemukan di wajah, ditandai

dengan adanya papul-papul dan pustul-pustul. Sering dihubungkan dengan eritema dan

telangiektasi. Mungkin dihubungkan dengan konjungtivitis, keratitis dan blefaritis. Paling

sering ditemukan pada wanita usia 30-50 tahun.23,29

Dermatitis perioral umumnya mengenai wanita usia 20-35 tahun. Gambaran klinisnya

berupa papul-papul kecil, monomorfik, berwarna merah, yang kemudian membentuk plak

superfisial di sekitar daerah perioral, lipatan nasolabial dan/atau kelopak mata bagian bawah.

Biasanya disertai rasa gatal yang minimal. Penyebabnya tidak diketahui, walaupun banyak

pasien menyebutkan adanya riwayat pemakaian kortikosteroid topikal, yang dapat

mencetuskan penyakit ini.23,29

Selain itu ada beberapa diagnosis banding akne vulgaris yang lain, seperti milia, akne

varioliformis, adenoma sebasea dan siringoma.23

Milia ditandai dengan adanya papul-papul kecil, berwarna putih atau sedikit kuning,

berlokasi terutama pada kelopak mata atau daerah infraorbital. Milia tidak akan berkembang

menjadi lesi inflamasi karena merupakan retensi dari cornified material dalam duktus kelenjar

keringat. Pasien sering menyatakan bahwa mereka dapat menekan keluar isi dari milia tersebut.

Milia biasanya dapat dengan mudah didiagnosis, tapi pada pasien dengan kulit yang lebih

gelap, papul-papul putih atau kuning lebih sukar terlihat.23

Akne varioliformis umumnya mengenai wanita usia 30-60 tahun. Biasanya sukar

menemukan lesi primernya yang umumnya terlihat sebagai papul yang mengalami ekskoriasi.

Biasanya yang ditemukan berupa papul atau pustul pada daerah wajah dan khususnya badan

(32)

berupa skar varioliformis (menyerupai cacar), sesuai dengan namanya. Etiologinya tidak

diketahui.23

Adenoma sebasea timbul pada awal masa remaja yang ditandai dengan adanya lesi-lesi

berwarna merah seperti daging pada daerah dahi, pipi dan terutama disekitar hidung. Adenoma

sebasea merupakan istilah yang kurang tepat, karena secara histologis ditemukan adanya

angiofibroma dan trikoepitelioma. Kelainan lain yang ditemukan adalah sebuah shagreen

patch diatas sakrum, fibroma periungual, epilepsi dan retardasi mental. Sukar dibedakan jika

adenoma sebasea timbal bersama-sama dengan akne vulgaris.23

Siringoma sering berlokasi pada daerah suborbital, berkembang dengan lambat, dan

lebih sering mengenai wanita. Suatu bentuk khusus dari siringoma adalah bentuk diseminata,

yang hampir seluruhnya berlokasi pada daerah badan bagian atas.23

B. Diet dan akne

Dalam komunitas dermatologi, suatu konsensus umum telah berkembang yang menyatakan

bahwa diet (makanan) tidak berhubungan dengan etiologi akne vulgaris.9 Saat ini terdapat

beberapa data yang mendukung pernyataan ini. Sebaliknya, sejumlah bukti juga telah

ditemukan yang menunjukkan bagaimana diet, baik secara langsung maupun tidak langsung,

mempengaruhi ke-4 penyebab akne vulgaris.5,18,30

1. Klasifikasi karbohidrat

Karbohidrat merupakan molekul organik yang paling banyak ditemukan di alam.

Karbohidrat memiliki manfaat yang luas, meliputi sumber energi utama pada kebanyakan

makhluk hidup, cadangan energi tubuh, dan komponen membran sel yang berperan sebagai

perantara berbagai komunikasi antar sel. Karbohidrat juga berfungsi sebagai komponen

(33)

Berdasarkan jumlah gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi

monosakarida (1 molekul; antara lain glukosa, galaktosa dan fruktosa), disakarida (2 molekul;

antara lain sukrosa, laktosa), oligosakarida (3-10 molekul; contohnya raffinose dan stachyose),

polisakarida (> 10 molekul; contohnya pati, selulosa dan glikogen).31

Di masa lalu, karbohidrat diklasifikasikan atas karbohidrat sederhana dan kompleks

berdasarkan jumlah kandungan monosakarida yang terdapat di dalamnya. Karbohidrat yang

terdiri dari satu atau dua gula (seperti fruktosa, glukosa, atau sukrosa) disebut sebagai

karbohidrat sederhana, sedangkan yang mengandung pati atau zat tepung disebut sebagai

karbohidrat kompleks. Nasehat untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung sedikit

karbohidrat sederhana dan lebih banyak karbohidrat kompleks berdasarkan asumsi bahwa

makanan yang mengandung zat tepung hanya sedikit meningkatkan kadar glukosa darah.34

Asumsi ini sangatlah sederhana, karena respons glukosa darah terhadap karbohidrat kompleks

ternyata sangatlah bervariasi. Indikator yang lebih akurat dari respons glikemia terhadap

karbohidrat dalam makanan adalah indeks glikemik.31

2. Indeks glikemik

Indeks glikemik, yang awalnya dikembangkan oleh Jenkins dkk. pada tahun 198133,

adalah respons glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons glukosa

darah tubuh terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respons

glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik

berbeda-beda tergantung respons biologis atau respons fisiologis bahan makanan tersebut, bukan pada

kandungan kimiawinya.34

Karbohidrat yang dengan cepat dipecah selama proses pencernaan dan diserap dengan

cepat memiliki IG yang tinggi, sedangkan yang dipecah dengan lambat, melepaskan glukosa

(34)

yang rendah seringkali dianggap sama dengan demand insulin yang lebih rendah, kontrol

glukosa darah yang lebih baik, dan penurunan kadar lipid. Tapi kenyataannya, beberapa

makanan yang memiliki IG yang rendah atau kandungan karbohidrat yang sangat kecil

ternyata dapat menyebabkan suatu respons insulin yang tinggi atau peningkatan kadar lipid

dalam darah; sehingga indeks insulin juga dapat berguna karena dapat memberikan suatu

pengukuran langsung terhadap respons insulin pada suatu makanan.35

Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya (immediate effect)

terhadap kadar gula darah. Sebagai perbandingan, IG glukosa murni adalah 100. Indeks

glikemik dapat digunakan oleh semua orang, yaitu orang sehat, penderita diabetes, atlit dan

penderita obesitas. Pada penderita diabetes misalnya, dengan mengetahui IG pangan, maka

penderita dapat memilih jenis makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis

sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.36

Makanan dengan IG rendah dapat membantu seseorang untuk mengendalikan rasa

lapar, nafsu makan, dan kadar gula darah. Indeks glikemik dapat membantu orang yang

sedang berusaha menurunkan berat tubuhnya dengan cara memilih makanan yang cepat

mengenyangkan dan tahan lama.36

Pada awalnya, timbul keraguan pada kalangan klinisi mengenai bagaimana IG untuk

makanan tunggal dapat diterapkan terhadap makanan riil (terdiri dari campuran berbagai jenis

makanan tunggal). Namun setelah IG untuk lebih dari 600 jenis makanan dapat diketahui,

semua keraguan tersebut berakhir. Para ilmuwan menemukan bahwa kenaikan kadar gula

darah dapat diperkirakan dari makanan yang mengandung beberapa jenis makanan dengan IG

berbeda. Oleh karena itu, maka kandungan karbohidrat total makanan dan sumbangan

masing-masing makanan terhadap karbohidrat total harus diketahui. Untuk praktisnya, digunakan the

rule of thumb. The rule of thumb menyatakan bahwa IG makanan campuran berada diantara IG

(35)

karena itu, membuat menu makanan lebih bervariasi berarti juga menurunkan IG makanan

secara keseluruhan.36

3. Beban glikemik

Pada tahun 1997, konsep BG diperkenalkan untuk menentukan potensial dari suatu

makanan dalam meningkatkan kadar glukosa dalam darah berdasarkan pada kualitas dan

kuantitas karbohidrat yang terkandung dalam makanan. Beban glikemik untuk penyajian

makanan tunggal dapat dihitung berdasarkan jumlah kandungan karbohidrat dalam makanan

(gram) dikali IG, dan kemudian dibagi 100.32 Dari pernyataan tersebut dapat dinilai bahwa BG

berbanding lurus dengan kandungan karbohidrat. Artinya, semakin tinggi kandungan

karbohidrat maka semakin besar BG makanan untuk IG yang sama.33 Manfaat BG didasarkan

pada ide bahwa makanan dengan IG tinggi namun dalam jumlah yang kecil akan memiliki

efek yang sama dengan makanan yang mempunyai IG rendah namun jumlahnya lebih

banyak.35

Kecepatan peningkatan kadar gula darah berbeda untuk setiap jenis makanan. Sehingga

dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan dengan IG rendah dan mengurangi

konsumsi makanan dengan IG tinggi. Tujuannya adalah untuk mengurangi BG makanan

secara keseluruhan. Beban glikemik bertujuan untuk menilai dampak konsumsi karbohidrat

dengan memperhitungkan IG makanan. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih

lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah.31

4. Insulin-like growth factor-1

Insulin-like growth factor-1 adalah suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 70

residu asam amino dengan berat molekul 1760 Da.14 Sintesis IGF-1 distimulasi oleh GH dan

(36)

Pada manusia, kadar IGF-1 dalam plasma hampir tidak terdeteksi pada saat lahir,

kemudian meningkat secara perlahan-lahan selama masa kanak-kanak, mencapai puncaknya

pada pertengahan pubertas sampai usia kira-kira 40 tahun, kemudian menurun secara perlahan.

Kadarnya dalam plasma maternal meningkat selama kehamilan. Pada penyakit dengan

gangguan pertumbuhan, pemeriksaan IGF-1 berguna sebagai suatu indikator sekresi hormon

pertumbuhan. Konsentrasi IGF-1 dalam plasma atau serum yang normal merupakan suatu

bukti kuat tidak adanya defisiensi GH. Nilai IGF-1 yang rendah menunjukkan adanya

defisiensi GH dan memerlukan uji tambahan untuk menentukan apakah sekresi GH subnormal.

Pemeriksaan IGF-1 juga bermanfaat untuk menentukan perubahan status nutrisi.37

Insulin-like growth factor-1 yang bersirkulasi dalam darah disintesis di hati. Hormon

pertumbuhan menstimulasi sintesis dan sekresi IGF-1 hepatik. Sebaliknya, IGF-1 mengatur

sekresi GH dari hipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif.11,13,14 Selain oleh GH,

sintesis IGF-1 juga distimulasi oleh insulin. Tidak adanya insulin sebagaimana yang terlihat

pada penderita diabetes tipe 1, ditandai dengan penurunan insulin dan kadar IGF-1, walaupun

sekresi GH meningkat.15

Kadar IGF-1 dalam serum seperti telah disebut di atas terutama diatur oleh 3 faktor,

yaitu GH, insulin dan nutrisi. Ketiga faktor ini saling berkaitan secara erat. Asupan makanan,

yang menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dan asam amino dalam serum,

menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi insulin yang menghentikan produksi glukosa

oleh hati dan menginduksi pengambilan dan penyimpanan glukosa dalam otot dan hati. Pada

saat yang bersamaan, insulin menghentikan lipolisis sehingga kadar asam lemak bebas

menurun dan glukosa untuk sementara menjadi sumber energi utama selama periode post

pandrial. Sekresi GH mencapai puncaknya pada malam hari dan menurun setelah asupan

makanan yang kaya akan protein jika kadar asam amino meningkat. Di lain pihak, peningkatan

(37)

menurun dan sekresi GH dapat meningkat menyebabkan insulin insensitive atau insulin

resistant melalui peningkatan lipolisis dan ketogenesis dan mengubah organisme menjadi

lipid-oxidizing machinery. Selama puasa yang berkepanjangan atau pada para penderita

diabetes, sekresi insulin dari hati menurun dan kadar IGF-1 dalam serum juga berkurang.

Dapat disimpulkan bahwa GH dapat berperan pada sintesis IGF-1 di dalam hati hanya jika

asupan nutrisi cukup adekuat dan ditemukan adanya insulin. Selain keadaan itu, GH tidak akan

dapat menyebabkan peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Pada berbagai kondisi

patofisiologi dimana baik nutrisi yang tidak adekuat ataupun kurangnya insulin, GH tidak

dapat merangsang sintesis IGF-1. Oleh karena itu, aktivitas GH dalam anabolisme diperantarai

oleh IGF-1 hanya jika dibantu oleh insulin dan asupan makanan yang adekuat. Selain keadaan

itu, pada keadaan dimana konsentrasi IGF-1 rendah, defisiensi insulin, dan asupan makanan

yang tidak adekuat oleh jaringan, GH akan merangsang lipolisis, ketogenesis dan

glukoneogenesis.38

Keadaan lain yang dapat berpengaruh adalah obesitas, terutama obesitas sentral

(abdominal). Obesitas sentral ini berkaitan dengan resistensi insulin, yaitu suatu kelainan

metabolik yang dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin. Resistensi

insulin terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Implikasi klinisnya

adalah intoleransi glukosa yang selanjutnya dapat menyebabkan diabetes tipe 2.39 Cara

sederhana untuk mengetahui adanya obesitas abdominal adalah dengan mengukur panjang

lingkar pinggang. Untuk masyarakat Asia, obesitas sentral dianggap beresiko menderita

penyakit jika panjang lingkar pinggang untuk wanita dan pria masing-masing minimal 80 dan

90 cm.40

Penelitian yang dilakukan oleh Juul A. dkk (1998) memperlihatkan adanya sedikit

variasi diurnal terhadap kadar total IGF-1 dan insulin-like growth factor binding protein-3

(38)

merokok dengan kadar IGF-1 dalam serum.42 Dikaitkan dengan siklus menstruasi,

disimpulkan bahwa siklus menstruasi hanya sedikit (hampir tidak) mempengaruhi konsentrasi

IGF-1 dan IGFBP-3 dalam serum.43 Namun tidak demikian halnya dengan kontrasepsi oral,

dimana penggunaan kontrasepsi oral pada wanita muda dihubungkan dengan kadar IGF-1

yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kontrasepsi oral.44 Selama

masa kehamilan, kadar IGF-1 meningkat dan kembali ke nilai normal 2-3 hari setelah

melahirkan.45

Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan lemak tubuh (body fat), tapi lemak tubuh

sukar untuk diperiksa dan berdasarkan penuntun (guideline) indeks massa tubuh (IMT),

dikatakan bahwa IMT berhubungan erat dengan lemak tubuh. Indeks massa tubuh merupakan

cara yang sederhana yang dapat digunakan untuk memantau status gizi seseorang yang

berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan berat badan. Indeks massa tubuh dihitung dengan

cara membagi berat tubuh (kg) dengan kuadrat tinggi tubuh (m).46 Copeland KC dkk. (1990)

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara IMT dengan IGF-1.47 Gómez JM

dkk. (2003) berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif

antara IMT dengan kadar IGF-1 pada subjek dengan IMT kurang dari 30 kg/m2.48

Faupel-Badger JM dkk. (2009) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan inversal antara IMT

dengan kadar IGF-1 pada semua variabel antropometrik kecuali tinggi badan.49 Meskipun

demikian, mekanisme yang pasti mengenai bagaimana variabel antropometrik ini dapat

mempengaruhi kadar IGF-1 dalam serum masih belum dapat dimengerti sepenuhnya.

Selain itu, peningkatan kadar androgen serum tampaknya berhubungan dengan

peningkatan kadar IGF-1. Sebagai contoh, pada wanita menopause yang kemudian diberikan

suntikan DHEA-S, akan didapati peningkatan kadar IGF-1. Hal ini menunjukkan bahwa

peningkatan kadar androgen dalam serum ternyata dapat secara langsung merangsang

(39)

Sebaliknya, IGF-1 juga dapat menstimulasi pembentukan DHEA-S oleh kelenjar

adrenal. Hal ini terjadi karena IGF-1 dapat meningkatkan dan mempertahankan enzim-enzim

steroidogenik yang bertanggung jawab untuk mengubah kolesterol menjadi prekursor steroid

untuk sintesis DHEA-S dan androgen. Selain itu IGF-1 juga dapat menginduksi enzim 5

-reductase pada fibroblas kulit manusia yang mengakibatkan peningkatan konversi testosteron

menjadi dehidrotestosteron.50

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan penting yang luas dalam mengatur

fungsi-fungsi di dalam tubuh manusia. Hampir semua sel dalam tubuh manusia dipengaruhi

oleh IGF-1, khususnya sel otot, tulang rawan, tulang, hepar, ginjal, saraf, kulit dan paru-paru.

Peranan IGF-1 secara garis besar adalah merangsang proliferasi dan pertumbuhan sel,

anabolik protein, inhibisi apoptosis, menurunkan kadar GH dan hormon insulin. Peranan ini

akan terhambat atau berkurang bila IGF-1 berada dalam ikatan dengan IGFBP-3.42

5. Hubungan antara diet, IGF-1 dan akne vulgaris

Data menunjukkan bahwa IGF-1 dibutuhkan untuk proliferasi keratinosit pada

manusia16 dan pada tikus transgenik, ekspresi yang meningkat dari IGF-1 menyebabkan

hiperkeratosis dan hiperplasia epidermis, yang mendukung pernyataan bahwa peningkatan

kadar IGF-1 bebas yang dipicu oleh insulin dapat mencetuskan akne vulgaris melalui

hiperkeratinisasi.17

Pada orang yang sehat, kadar glukosa dalam darah akan mencapai puncaknya 1 jam

setelah makan dan kemudian kembali ke nilai normal dalam 2-3 jam. Dalam waktu 3 sampai 5

menit sesudah terjadi peningkatan segera kadar glukosa darah, insulin meningkat sampai

hampir 10 kali lipat. Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran insulin yang sudah terbentuk

lebih dahulu oleh sel beta pulau langerhans pankreas. Akan tetapi, kecepatan sekresi awal

(40)

kemudian kecepatan sekresi insulin akan berkurang sampai kira-kira setengah dari kadar

normal. Kira-kira 15 menit kemudian, sekresi insulin meningkat untuk kedua kalinya,

sehingga dalam waktu 2 sampai 3 jam akan mencapai gambaran seperti dataran yang baru,

biasanya pada saat ini kecepatan sekresinya bahkan lebih besar daripada kecepatan sekresi

pada tahap awal. Sekresi ini disebabkan oleh adanya tambahan pelepasan insulin yang sudah

lebih dahulu terbentuk dan oleh adanya aktivasi sistem enzim yang mensintesis dan

melepaskan insulin baru dari sel.51

Indeks glikemik hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan

karbohidrat menjadi gula darah. Indeks glikemik tidak memberikan informasi mengenai

banyaknya karbohidrat dan dampak makanan tertentu terhadap kadar gula darah. Untuk

mengetahui jenis makanan yang baik bagi kesehatan (efek makanan terhadap kadar gula

darah), maka kadar karbohidrat dan IG makanan harus diketahui.36

Beberapa pengamatan menyatakan bahwa akne vulgaris dapat timbul pada

kelompok-kelompok dengan IG makanan yang tinggi. Makanan dengan kadar glikemik yang tinggi atau

kadar karbohidrat yang tinggi (> 55% energi berasal dari karbohidrat) pada anak remaja dan

dewasa yang sehat ternyata meningkatkan konsentrasi insulin dalam plasma, dan dapat

menyebabkan hiperinsulinemia jangka panjang dan resistensi insulin.52 Diet hiperinsulinemia

sebelumnya dianggap sebagai faktor lingkungan yang tidak disadari dalam perkembangan

akne vulgaris melalui pengaruhnya pada pertumbuhan epitelial folikular, keratinisasi, dan

sekresi sebum yang diperantarai androgen.9 Beberapa peneliti menyatakan bahwa

hiperinsulinemia yang diinduksi oleh makanan dengan IG yang tinggi akan meningkatkan

respons endokrin dan mempercepat pertumbuhan jaringan yang tidak teratur serta

meningkatkan sintesis androgen, yang akhirnya mempengaruhi perkembangan akne vulgaris

melalui sejumlah mediator antara lain androgen, IGF-1, IGFBP-3 dan jalur sinyal retinoid.9,22

(41)

Hiperinsulinemia akut dan kronik secara bersamaan meningkatkan kadar IGF-1 bebas namun

menurunkan IGFBP-3. Insulin-like growth factor-1 bebas secara langsung merangsang

proliferasi keratinosit basal, sedangkan IGFBP-3 menghambat proliferasi keratinosit basal

tanpa tergantung pada aktivitas reseptor IGF-1.37

Penurunan kadar IGFBP-3, yang distimulasi oleh peningkatan insulin dalam serum

atau melalui asupan akut karbohidrat dengan BG yang tinggi, berperan menurunkan proliferasi

sel di dalam folikel.10,53 Maka IGFBP-3 menghambat pertumbuhan melalui pencegahan ikatan

IGF-1 dengan reseptornya. Hiperinsulinemia secara tidak langsung meningkatkan jumlah

reseptor faktor-faktor pertumbuhan epidermal melalui peningkatan kadar asam lemak non

ester dalam plasma, dan juga menginduksi pembentukan transforming growth factor-1.

Peningkatan konsentrasi sitokin-sitokin ini menekan sintesis keratinosit lokal oleh IGFBP-3,

sehingga meningkatkan jumlah IGF-1 bebas untuk berikatan dengan reseptornya, yang akan

meningkatkan proliferasi keratinosit. Akibatnya, hiperkeratinisasi folikel sebasea dihasilkan

melalui sinergitas peningkatan kadar IGF-1 bebas dan atau penurunan konsentrasi IGFBP-3.54

Produksi sebum merupakan faktor yang penting dalam patogenesis akne vulgaris

walaupun sinyal molekular yang terlibat pada produksi sebum sebagian besar belum diketahui.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar IGF-1 mencapai puncaknya pada usia

remaja dan kemudian menurun bersamaan dengan menurunnya insiden akne pada banyak

individu. Kelompok yang sama juga menunjukkan bahwa IGF-1 merangsang lipogenesis

kelenjar sebasea. Lipogenesis juga dirangsang oleh IGF-1 pada pertumbuhan kelenjar sebasea

pada kultur organ.55

Insulin berperan penting dalam perkembangan akne vulgaris. Pernyataan ini juga

didukung oleh tingginya prevalensi akne vulgaris pada wanita dengan PCOS, suatu kondisi

(42)

Walaupun telah dikemukakan sejumlah bukti di atas, beberapa studi mengenai diet

yang terkontrol telah dilakukan untuk meneliti pengaruh makanan terhadap akne vulgaris.

Fulton dkk., dalam suatu penelitian cross-over tersamar tunggal, menemukan bahwa ternyata

tidak ada pengaruh coklat pada akne vulgaris dibandingkan dengan plasebo.7 Meskipun

demikian, penelitian berikutnya mengenai kandungan pada plasebo mengindikasikan bahwa

komposisi asam lemak dan kandungan gula secara virtual identik dengan yang terdapat pada

coklat.8 Selain itu stres ditemukan berperan sebagai kontributor yang penting, dan diet

ditentukan menggunakan suatu pemeriksaan kualitas makanan yang sifatnya non kuantitatif.

Saat ini, suatu evaluasi retrospektif dari intake makanan menunjukkan suatu hubungan positif

antara asupan susu dan beratnya akne vulgaris.30

Cordain dkk. menyatakan bahwa diet dengan BG yang tinggi mungkin merupakan

suatu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi akne vulgaris di negara-negara

barat.5 Para peneliti berspekulasi bahwa sering mengkonsumsi karbohidrat dengan IG yang

tinggi dapat menyebabkan para remaja berulangkali terpapar dengan hiperinsulinemia akut.

Oleh karena itu, intervensi diet dengan BG yang rendah dapat memberikan efek terapeutik

pada akne berdasarkan pada efek endokrin yang menguntungkan dari makanan ini. Hipotesis

ini berdasarkan fakta bahwa diet dengan BG yang tinggi dapat mempengaruhi satu atau lebih

dari 4 faktor yang mendasari terjadinya akne seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.10

Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk. adalah penelitian pertama yang

menunjukkan suatu efek terapeutik dari intervensi makanan pada akne vulgaris. Setelah 12

minggu, diet dengan BG yang rendah secara signifikan ternyata dapat menurunkan jumlah lesi

akne vulgaris dan memperbaiki sensitivitas insulin dibandingkan diet dengan BG yang tinggi.

Walaupun peneliti tidak dapat mengisolasi pengaruh diet dengan BG yang rendah terhadap

hilangnya berat badan, penemuan mereka konsisten dengan usulan sebelumnya mengenai

(43)

perlu diperkuat dan mekanisme yang mendasarinya ditentukan melalui suatu penelitian dengan

Gambar

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian
Tabel 4.2  Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol
Tabel 4.3    Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.4   Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan grading akne vulgaris pada siswi yang tinggal di asrama Assalam Surakarta.. Kata kunci

HUBUNGAN ANTARA KEBERSIHAN WAJAH DENGAN KEJADIAN AKNE VULGARIS PADA SISWA SMA NEGERI 3

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi susu dengan kejadian akne vulgaris pada mahasiswa FK USU angkatan

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi susu dengan kejadian akne vulgaris pada mahasiswa FK USU angkatan

Hasil analisa statistik dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan antara tidur larut malam dengan terjadinya akne vulgaris.. Kata Kunci: akne vulgaris, tidur larut

Adanya akne vulgaris dapat membuat hidup menjadi tidak menyenangkan, dan akne vulgaris sering sekali terjadi pada orang-orang yang berusia belasan dan puluhan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan derajat lesi pada penderita akne vulgaris dengan indeks glikemik tinggi dan sedang.. Jumlah sampel penelitian ini 60

Tidak ada hubungan antara konsumsi tempe dengan angka kejadian akne vulgaris pada dewasa muda. Oleh karena angka kejadian akne vulgaris paling menurun saat mengkinsumsi