UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
POTENSI KONFLIK KOMUNITAS JAWA MUSLIM TERHADAP ETNIS BERBEDA DAN PENGANUT AGAMA LAIN DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan oleh:
NIM: 060901012 Dharma Kelana Putra
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penelitian ini memfokuskan tentang kajian mengenai potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di Kota Medan. Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya keingintahuan mengenai bagaimana sebenarnya potensi konflik antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan, khususnya dari perspektif komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode deskriptif. Dimana data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel silang (cross tabulation).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas jawa Muslim cenderung inklusif dan terbuka dalam bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama. Dalam hubungan yang lebih intens, identitas sosial yang mencakup perbedaan agama dan perbedaan bahasa relatif mempengaruhi interaksi komunitas Jawa Muslim dalam membina hubungan pertemanan. Pada aspek ekonomi, kecemburuan sosial tidak begitu terlihat pada komunitas Jawa Muslim, namun adanya diskriminasi dalam pekerjaan-pekerjaan strategis merupakan potensi konflik yang harus diwaspadai.
Pada aspek politik, etnisitas tidak begitu terlihat dalam pemilihan Walikota, yang disebabkan karena lemahnya identitas kelompok di antara mereka. Akan tetapi, persamaan agama menjadi prasyarat utama sebagai seorang pemimpin yang ideal menurut komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.
DAFTAR ISI
Halaman persetujuan ... ii
Abstrak ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KERANGKA TEORI ... 10
2.1. Teori Konflik ... 10
2.2. Definisi Operasional ... 20
2.2.1. Konflik ... 20
2.2.2. Potensi Konflik ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25
3.1. Jenis Penelitian ... 25
3.2. Lokasi Penelitian ... 25
3.3. Populasi dan Penarikan Sampel ... 26
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.5. Teknik Analisis Data ... 27
3.6. Jadwal Penelitian ... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 29
4.2. Karakteristik Responden ... 36
4.3. Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim di Kota Medan ... 42
4.3.1. Aspek Sosial dan Interaksi ... 44
4.3.2. Aspek Ekonomi ... 63
4.3.3. Aspek Politik dan Struktural ... 70
4.3.4. Aspek Budaya ... 83
4.4. Analisis Data ... 98
BAB V PENUTUP ... 111
5.1. Kesimpulan ... 111
5.2. Saran ... 114
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Agama ... 4
Tabel 4.1. Luas Kota Medan Berdasarkan Pemanfaatan Lahan ... 30
Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 31
Tabel 4.3. Koposisi Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin... 35
Tabel 4.4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Pekerjaan ... 36
Tabel 4.5. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Penghasilan .. 37
Tabel 4.6. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan ... 38
Tabel 4.7. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Terjadinya Konflik Antaretnis dan Agama di Lingkungan Tempat Tinggal ... 40
Tabel 4.8. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Bergaul dengan Orang yang Berbeda Etnis dan Agama... 42
Tabel 4.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial Komunitas jawa Muslim ... 44
Tabel 4.10. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Teman yang Berbeda Etnis dan Agama ... 45
Tabel 4.11. Tanggapan Responden Terhadap Etnis Lain yang Melaksanakan Kegiatan Adat di Lingkungan Tempat Tinggal... 47
Tabel 4.12. Tanggapan Responden Terhadap Penganut Agama Lain yang Melaksanakan Kegiatan Keagamaan di Lingkungan Tempat Tinggal ... 48
Tabel 4.13. Tanggapan Responden Terhadap Penganut Agama Lain yang Membangun Rumah Ibadah di Lingkungan Tempat Tinggal ... 49
Tabel 4.14. Komposisi Responden Berdasarkan Kesediaan Membantu/ Menghadiri Resepsi Pernikahan Tetangga yang Berbeda Etnis dan Agama ... 50
Tabel 4.15. Komposisi Responden Berdasarkan Berdasarkan Kesediaan Mengunjungi Apabila Tetangga yang Berbeda Etnis dan Agama Mengalami Kemalangan ... 51
Tabel 4.16. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain di Kota yang Sama ... 52
Tabel 4.17. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain di Kecamatan yang Sama ... 53
Tabel 4.18. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap Keberadaan Penganut Agama Lain di Kelurahan yang Sama ... 54
Tabel 4.22. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap
Keberadaan Etnis Lain di Kecamatan yang Sama ... 57 Tabel 4.23. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap
Keberadaan Etnis Lain di Kelurahan yang Sama ... 57 Tabel 4.24. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap
Keberadaan Etnis Lain Sebagai Tetangga Lingkungan yang Sama ... 58 Tabel 4.25. Komposisi Responden Berdasarkan Penerimaan Terhadap
Keberadaan Etnis Lain Sebagai Anggota Keluarga yang Masuk
Melalui Pernikahan ... 59 Tabel 4.26. Tanggapan Responden Apabila Ada Tetangga yang Berasal
dari Etnis Lain Memiliki Kemampuan Ekonomi Lebih Tinggi ... 60 Tabel 4.27. Tanggapan Responden Apabila Ada Tetangga yang Berasal
dari Etnis Lain Memiliki Status Sosial Lebih Tinggi ... 61 Tabel 4.28. Komposisi Responden Berdasarkan Tanggapan Terhadap
Kesamaan Kesempatan Usaha Antara Etnis Jawa dengan
Etnis Lain ... 63 Tabel 4.29. Tanggapan Responden Terhadap Kesamaan Kesempatan
Dalam Pekerjaan-Pekerjaan Strategis Antara Etnis Jawa
dengan Etnis Lain ... 64 Tabel 4.30. Tanggapan Responden Apabila Mengalami Persaingan
Usaha dengan Etnis Lain ... 65 Tabel 4.31. Tanggapan Responden Apabila Mengalami Persaingan
Usaha dengan Penganut Agama Lain ... 66 Tabel 4.32. Komposisi Responden Berdasarkan Keaktifan Dalam
Organisasi Kemasyarakatan Islam ... 67 Tabel 4.33. Komposisi Responden Berdasarkan Keaktifan Dalam
Organisasi Kemasyarakatan Berbasis Kesukuan ... 68 Tabel 4.34. Komposisi Responden Berdasarkan Afiliasi Partai Politik
Dalam Pemilihan Umum Terakhir ... 69 Tabel 4.35. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini
Etnis Jawa Memiliki Akses yang Sama dalam Kepemilikan
Tempat Tinggal” ... 71 Tabel 4.36. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini Etnis
Jawa Memiliki Akses yang Sama Memperoleh Fasilitas dan
Sarana Kesehatan” ... 72 Tabel 4.37. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini Etnis
Jawa Memiliki Akses yang Sama dalam hal Pendidikan” ... 73 Tabel 4.38. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Saat ini Etnis Jawa
Memiliki Akses yang Sama dalam Kepemilikan Tanah” ... 74 Tabel 4.39. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Anda Memilih
Pemimpin Berdasarkan Kesamaan Etnis” ... 75 Tabel 4.40. Tanggapan Responden Terhadap Pernyataan “Anda Memilih
Pemimpin Berdasarkan Kesamaan Agama” ... 76 Tabel 4.41. Komposisi Responden Berdasarkan Kepuasan Terhadap Proporsi
dan sebagainya) ... 77 Tabel 4.42. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Kepuasan Terhadap
Kepemimpinan non-Jawa di Kota Medan... 79 Tabel 4.43. Tanggapan Responden Terhadap Keterwakilan Aspirasi
Komunitas Jawa Muslim dengan Proporsi Etnis Jawa di DPRD Kota Medan Saat ini ... 80 Tabel 4.44. Komposisi Responden berdasarkan Pengetahuan Tentang
Peninggalan Sejarah ke-Jawaan di kota Medan ... 81 Tabel 4.45. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang
Pelaksanaan Upacara Adat di Lingkungan Tempat Tinggal ... 82 Tabel 4.46. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Kesenian
Adat Jawa di Lingkungan Tempat Tinggal ... 83 Tabel 4.47. Komposisi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang
Penggunaan Bahasa Jawa di Lingkungan Tempat Tinggal ... 84 Tabel 4.48. Komposisi Responden Berdasarkan Penilaian Terhadap Kelompok
Etnis Lain yang Baik Sebagai Teman ... 85 Tabel 4.49. Stereotip Terhadap Etnis Lain Dalam Pandangan Komunitas Jawa
Muslim di Kota Medan ... 87 Tabel 4.50. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Perselisihan dengan
Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan ... 91 Tabel 4.51. Komposisi Responden Berdasarkan Cara yang Disukai Untuk
Mengekspresikan Konflik ... 92 Tabel 4.52. Komposisi Responden Berdasarkan Cara yang Disukai Untuk
ABSTRAK
Penelitian ini memfokuskan tentang kajian mengenai potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di Kota Medan. Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya keingintahuan mengenai bagaimana sebenarnya potensi konflik antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan, khususnya dari perspektif komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode deskriptif. Dimana data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel silang (cross tabulation).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas jawa Muslim cenderung inklusif dan terbuka dalam bergaul dengan orang yang berbeda etnis dan agama. Dalam hubungan yang lebih intens, identitas sosial yang mencakup perbedaan agama dan perbedaan bahasa relatif mempengaruhi interaksi komunitas Jawa Muslim dalam membina hubungan pertemanan. Pada aspek ekonomi, kecemburuan sosial tidak begitu terlihat pada komunitas Jawa Muslim, namun adanya diskriminasi dalam pekerjaan-pekerjaan strategis merupakan potensi konflik yang harus diwaspadai.
Pada aspek politik, etnisitas tidak begitu terlihat dalam pemilihan Walikota, yang disebabkan karena lemahnya identitas kelompok di antara mereka. Akan tetapi, persamaan agama menjadi prasyarat utama sebagai seorang pemimpin yang ideal menurut komunitas Jawa Muslim di Kota Medan.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan
kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak
ternilai harganya, akan tetapi keanekaragaman ini juga tidak jarang menjadi masalah
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemajemukan tidak jarang
menjadi potensi konflik dalam masyarakat. Potensi konflik biasanya dapat dengan
mudah tumbuh dan berkembang melalui aspek-aspek primordial, seperti etnis, agama,
ataupun kebudayaan. Karena sifatnya yang inheren, potensi konflik yang berasal dari
aspek primordial cenderung sulit untuk dihilangkan.
Untuk mengatasi hal itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah,
mulai dari rezim orde lama hingga saat ini. Upaya-upaya tersebut pada dasarnya
ditujukan untuk menciptakan kehidupan antaretnis dan agama yang rukun, aman,
damai, dan tenteram yang merupakan kondisi terwujudnya integrasi sosial dalam
masyarakat.
Pada masa pemerintahan orde lama, upaya untuk mengurangi gesekan antara
etnis dan agama oleh Bung Karno dilakukan dengan mengemukakan konsep
Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis). Akan tetapi, konsep Nasakom ini
Konsep Nasakom berakhir seiring dengan jatuhnya rezim orde lama, yang ditandai
dengan peristiwa pembantaian orang-orang yang terlibat dengan PKI di berbagai
daerah di Indonesia. Peristiwa ini hingga saat ini dikenal dengan Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI), atau Gestapu (Gerakan September
Tiga Puluh).
Berbeda dengan orde lama, pada masa pemerintahan orde baru upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi setiap betuk konflik adalah dengan
melakukan penyeragaman melalui doktrin P4, yang melibatkan penggunaan bantuan
militer sebagai sarana untuk menciptakan situasi aman. Situasi aman pada masa orde
baru diciptakan dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap hal-hal yang bersifat
kedaerahan, seperti menggunakan isu-isu subversif pada organisasi kedaerahan yang
mulai terlihat vokal.
Adanya hal itu memang membuat situasi menjadi aman dan terkendali, akan
tetapi keamanan yang tercipta justru bersifat semu. Kekecewaan-kekecewaan yang
seharusnya dapat tersalur secara wajar diredam melalui paksaan selama puluhan
tahun. Tentunya, hal ini membuat kekecewaan yang ada terakumulasi, sehingga
menimbulkan potensi konflik yang sangat besar yang dikemas dengan nuansa agama
dan etnis.
Berkaitan dengan hal itu, Sitorus (2003) mengemukakan bahwa di era orde
baru, keberpihakan terhadap kapitalisme semu memunculkan prasangka bahwa
kelompok etnik Tionghoa secara sosio-ekonomis yang diuntungkan. Prasangka ras
(racial prejudice) dan kekentalan aprioritas kelompok pribumi terhadap kelompok
2003). Ini dibuktikan pada saat jatuhnya rezim pemerintahan orde baru, akumulasi
kekecewaan berubah menjadi konflik yang nyata dalam bentuk demonstrasi,
pembakaran, perkosaan, dan bahkan perusakan barang-barang milik etnis China.
Kemudian pada masa reformasi, sistem yang baru dibenahi membuka peluang
bagi seluruh penduduk Indonesia menggunakan kebebasannya dalam berdemokrasi.
Situasi ini oleh sebagian besar pihak dianggap sebagai langkah awal menuju
masyarakat yang madani. Namun demikian, terbukanya peluang untuk menggunakan
kebebasan berpolitik justru membawa potensi konflik horizontal yang menjurus pada
konflik antaretnis dan agama.
Di Ambon misalnya, potensi konflik dibawa oleh dua komunitas berbasis
agama, yakni komunitas Muslim dan komunitas Kristen. Selain perbedaan
kepentingan, konflik Ambon disebabkan oleh ketiadaan jalur komunikasi yang baik
antara kedua komunitas yang bertikai, sehingga potensi konflik yang ada tetap
terpelihara (persisten) atau bahkan terakumulasi dibalik situasi damai yang semu
(www.preventconflict.org,).
Selain konflik yang diakibatkan oleh perbedaan agama, konflik antaretnis juga
tidak kalah berbahaya. Di Sampit misalnya, konflik diakibatkan oleh kecemburuan
sosial antaretnis, yakni etnis Dayak dengan etnis Madura. Dalam hal ini, sensitifitas
etnis Dayak terusik karena etnis Madura lebih berhasil pada sektor ekonomi. Konflik
juga semakin dipertajam dengan adanya kontrol yang berlebihan oleh etnis Madura
terhadap sumber-sumber daya yang tedapat di Sampit (Susan, 2009).
beberapa ahli dalam teori modern seperti Coleman, Inkeles, Dove, dan Habermas
sebelumnya telah mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat seiring dengan
modernisasi telah menghapus bentuk-bentuk kesadaran primordial yang menjadi
potensi konflik antaretnis dan agama.
Kota Medan adalah salah satu dari beberapa kota besar yang majemuk di
Indonesia. Kemajemukan Kota Medan dapat dilihat dari keberadaan berbagai
lembaga keagamaan yang terdapat di Kota Medan, seperti; Muhammadiyah,
Al-Wasliyah, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP), dan lain sebagainya.
Mayoritas penduduk di Kota Medan menganut agama Islam. Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari adanya pengaruh kebijakan Sultan Deli pada masa penjajahan,
dimana setiap orang yang ingin menjadi penduduk kota Medan harus menanggalkan
marga, menjadi orang Melayu, dan memeluk agama Islam. Untuk lebih jelas,
komposisi penduduk Kota Medan berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah Persentase
1 Islam 1.416.815 68,53 %
2 Protestan 373.451 18,10 %
3 Buddha 204.113 9,87 %
4 Katolik 59.038 2,85 %
5 Hindu 13.602 0,66 %
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2006, secara kuantitatif
mayoritas penduduk di Kota Medan adalah pemeluk agama Islam (68,53%). Dengan
jumlah tersebut, penduduk yang beragama Islam dapat hidup berdampingan dengan
pemeluk agama lain. Sementara itu, dalam kasus Ambon konflik kepentingan dapat
dengan mudah dikemas menjadi konflik antara komunitas Muslim dengan komunitas
Kristen pada daerah dimana penduduk yang beragama Islam menjadi kelompok
minoritas. Fenomena ini seharusnya dapat diungkapkan melalui suatu penelitian yang
lebih mendalam.
Lebih lanjut, di Kota Medan juga terdapat beberapa etnis yang membentuk
suatu organisasi yang berbasiskan marga atau keluarga. Organisasi tersebut umumnya
didirikan untuk melindungi eksistensi dan kepentingan dari etnis yang
mendirikannya. Lebih lanjut, organisasi tersebut diantaranya; Ikatan Aceh Sepakat,
Himpunan Keluarga Besar Mandailing, Perkumpulan Marga Panjaitan, Ikatan
Keluarga Gasan Saiyo, Persatuan Warga Sunda, Pujakesuma, Forum Komunikasi
Warga Putra-Putri Jawa, Pendawa, dan lain-lain.
Dalam hubungan antarkelompok etnis dan agama di Kota Medan,
sentimen-sentimen primordial tidak sepenuhnya dapat dihilangkan. Isu yang telah bertahan
cukup lama di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan adalah sentimen antara etnis
Aceh, Minangkabau, Tapanuli, dan Melayu terhadap orang-orang Jawa. Akan tetapi,
sentimen tersebut umumnya tidak diperlihatkan dalam interaksi sosial, inilah yang
menyebabkan mengapa Kota Medan menjadi kota percontohan untuk kategori
Di Sumatera Utara, penelitian mengenai konflik antaretnis pernah diteliti oleh
Saladin (1995). Penelitian tersebut terfokus pada konflik dan mekanisme resolusi
konflik pada komunitas nelayan di Bagan Asahan. Penelitian tersebut berakhir pada
kesimpulan bahwa konflik antaretnis di Bagan Asahan lebih disebabkan oleh
kompetisi atas kontrol terhadap sumber-sumber daya antara kelompok etnis asli
dengan etnis pendatang, dimana sumber-sumber daya yang dimaksud meliputi;
wilayah penangkapan ikan, perempuan sebagai fungsi reproduksi, serta lokasi untuk
berdagang.
Penelitian-penelitian lain mengenai masalah konflik di Medan sendiri hingga
saat ini juga telah banyak dilakukan, baik mengenai konflik antaretnis maupun
antaragama. Umumnya, penelitian tersebut hanya membahas permasalahan konflik
antaretnis dan agama secara umum tanpa melihat realitas subjektif yang khusus dari
salah satu etnis, seperti Mandailing, Minangkabau, Batak, maupun etnis Jawa. Oleh
sebab itu, penelusuran yang mendalam mengenai realitas subjektif sebagai potensi
konflik dari salah satu etnis yang mendiami Kota Medan menjadi sangat menarik
untuk dilakukan. Pada konteks ini, komunitas Jawa ditetapkan sebagai etnis yang
akan diteliti, sebab reaksi dari etnis Jawa terhadap sentimen dari berbagai etnis
tersebut merupakan potensi konflik yang patut diperhitungkan.
Keberadaan etnis Jawa di Kota Medan sendiri tidak dapat dilepaskan dari
kolonialisme di Indonesia. Dimana pada saat itu etnis Jawa didatangkan secara
besar-besaran oleh VOC melalui sistem outsourcing tenaga kerja pertama, yang hingga kini
pesat disebabkan oleh kemampuan mereka dalam meregenerasi anggotanya, baik
melalui kelahiran atau bahkan melalui migrasi.
Dalam pandangan masyarakat Kota Medan, etnis Jawa dilihat sebagai etnis
yang submisif. Hal ini dikarenakan masih melekatnya stereotip bahwa orang Jawa
cenderung nrimo atau pasrah dalam segala hal. Adanya stereotip tersebut menafikan
faktor penting, dimana salah satu etnis di Sumatera Utara ini juga memiliki potensi
konflik yang belum diketahui secara pasti.
Mengingat belum diketahui secara pastinya potensi konflik yang dimiliki oleh
komunitas Jawa di Kota Medan, maka penelitian mengenai “Potensi Konflik
Komunitas Jawa Muslim Terhadap Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota
Medan” dianggap perlu untuk diteliti.
Penelitian tentang potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim merupakan
suatu upaya awal untuk mengidentifikasi potensi-potensi konflik antaretnis dan
agama di Kota Medan. Dari hasil penelitian, dapat diketahui potensi konflik yang ada
pada komunitas Jawa Muslim, sehingga kemudian dapat diprediksi kemungkinan
terburuk dari konflik yang mungkin terjadi. Selain itu, dapat diketahui sampai
sejauhmana potensi konflik pada komunitas tersebut bertahan (persisten) sehingga
hasilnya diharapkan dapat menjadi referensi untuk menetapkan model resolusi
konflik, serta membangun suatu model kerukunan antaretnis dan agama pada
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:
a. Bagaimanakah potensi konflik yang terdapat pada komunitas Jawa Muslim di
Kota Medan?
b. Sejauhmanakah resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap penganut agama
lain di Kota Medan?
c. Sejauhmanakah resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap etnis lain di Kota
Medan?
d. Bagaimana stereotip yang tumbuh dan berkembang dalam etnis Jawa terhadap
etnis dan agama lain?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:
a. Untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi potensi konflik pada komunitas
Jawa Muslim di Kota Medan.
b. Untuk mengetahui sejauhmana resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap
penganut agama lain di Kota Medan.
c. Untuk mengetahui sejauhmana resistensi komunitas Jawa Muslim terhadap
etnis lain di Kota Medan.
d. Untuk mengetahui bagaimana stereotip yang tumbuh dan berkembang dalam
1.4. Manfaat Penelitian
Secara umum, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai
karakteristik dan potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim di kawasan perkotaan.
Secara teoritis hasil penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah keilmuan
bagi perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu. Sedangkan secara praktis,
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan ataupun referensi untuk
menetapkan model resolusi konflik, serta membangun model kerukunan antarernis
dan agama khususnya di Kota Medan. Kemudian bagi peneliti sendiri, hasil
penelitian ini berguna untuk memperdalam kajian sosiologis, terutama kajian-kajian
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Teori Konflik
Dalam kehidupannya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan
orang lain. Dalam kajian sosiologis, kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
disebut dengan gregariousness. Lebih lanjut, interaksi sosial sendiri merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
orang-perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2006: 55).
Interaksi sosial sendiri dimulai ketika dua orang bertemu (tatap muka), saling
menegur (kontak suara), dan berjabat tangan (kontak fisik). Lebih lanjut, interasi
sosial menurut Karp dan Yoels (dalam Soenarto, 2003) ditentukan oleh ciri-ciri fisik
dan penampilan. Ciri-ciri fisik meliputi jenis kelamin, usia, ras, sedangkan
penampilan meliputi daya tarik, bentuk tubuh, busana, dan wacana percakapan.
Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa pertimbangan dalam
berinteraksi biasanya ditentukan oleh adanya persamaan-persamaan, baik persamaan
dalam ciri fisik maupun penampilan. Dalam hal ini, individu cenderung melakukan
identifikasi atau mencari persamaan, dimana individu kemudian menempatkan diri
pada kelompok tertentu. Pada tataran kelompok etnis, persamaan yang dicari
diantaranya persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem
Lebih lanjut, bentuk-bentuk interaksi sosial yang sering dijumpai dalam
masyarakat, antara lain; kerjasama, persaingan, dan pertentangan (konflik).
Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok
manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Sedangkan kompetisi
adalah suatu proses dimana individu atau kelompok saling bersaing mencari
keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan (sumber daya) yang pada suatu masa
tertentu menjadi pusat perhatian umum.
Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai proses pertentangan yang
diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek
konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan
keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik lahir karena adanya perbedaan-perbedaan
yang tidak atau belum dapat diterima oleh satu individu dengan individu lain atau
antara suatu kelompok dengan kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi
perbedaan antara individu-individu (ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur
kebudayaan, emosi, perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola
perilaku, dan perbedaan kepentingan.
Giddens (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa pendekatan primordial
menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas,
seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan, budaya, geografis, bangsa,
bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain sebagainya.
Pendapat Giddens menyiratkan makna bahwa pendekatan primordial melihat
melalui sosialisasi dalam institusi keluarga. Adanya hal ini memperkuat asumsi
bahwa potensi tersebut telah mengakar dalam diri individu.
Dalam konteks ini, konflik dalam pendekatan primordial biasanya dapat
muncul ke permukaan dengan melibatkan kebencian, dendam, prasangka (prejudice),
dan stereotip yang sifatnya ekstrim. Prasangka oleh Soenarto (2003) didefinisikan
sebagai sikap bermusuhan yang ditujukan pada kelompok tertentu atas dasar dugaan
bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak menyenangkan. Prasangka
umumnya bersifat tidak rasional serta berada di bawah alam sadar, ini yang
menyebabkan mengapa prasangka sulit untuk dihilangkan meski kebenaran mengenai
prasangka yang dianut telah disangkal melalui bukti-bukti nyata.
Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah citra
yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa
memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip
memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif biasanya
membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru menjadi
potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama.
Senada dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap
etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang
menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras
lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong
meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan
Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan tersebut
dianggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas potensi konflik
karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat kelompok-kelompok
yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail di air keruh dari suatu kondisi yang
dipenuhi oleh ketegangan sosial.
Perbedaan kepentingan pada konteks ini, oleh Dahrendorf (dalam Poloma,
2003) dibagi menjadi dua, yakni kepentingan manifes dan kepentingan laten.
Kepentingan manifes adalah kepentingan yang disadari oleh semua pihak, sedangkan
kepentingan laten sendiri merupakan tingkah laku potensil yang telah ditentukan bagi
seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari.
Apa yang dikatakan oleh Dahrendorf mengenai kepentingan manifest dan
laten (dalam Poloma, 2003) dikuatkan dengan pendapat Giddens yang melihat
potensi konflik pada komunitas Jawa Muslim dengan menggunakan pendekatan
primordial. Kemudian, Magenda dalam Sitorus (2003) juga mengatakan bahwa
terdapat pembelahan kultur pada masyarakat Jawa, sedangkan pada banyak suku,
agama merupakan identitas suku (seperti halnya orang Melayu yang identik dengan
agama Islam), sehingga lahirlah konsep agama suku. Adanya pembelahan kultur pada
masyarakat Jawa (Jawa Muslim, Jawa Hindu, Jawa Buddha, dan Jawa Kristen) di
Indonesia sendiri merupakan salah satu potensi konflik, jika dilihat dari pendekatan
yang digunakan oleh Giddens.
Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau
membahas setiap situasi konflik, Coser membedakan konflik menjadi dua tipologi,
yakni konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang
berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam
hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan (Poloma, 2003: 111).
Selanjutnya, konflik non-realistis diartikan oleh Coser (dalam Poloma, 2003)
sebagai konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistik,
tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari satu pihak.
Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan konflik antarkelompok
ke dalam empat fase, diantaranya:
a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi
namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi, kultur,
dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai tumbuh,
namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir.
b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh
kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan
dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang
dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya
kekerasan makin tinggi.
c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi
perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan
structural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan adanya
kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan
merasa tidak dapat berkompromi.
d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami
penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali
hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat
knflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua
bagan yang terpisah, yakni; fase keamanan jangka pendek (security-building
phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta fase keamanan jangka
panjang (long-term institution building phase) dimana rekonstruksi sosial,
politik, dan ekonomi membantu membangun kembali hubungan
antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan.
Sementara itu, Soekanto (2006) mengutarakan bahwa konflik atau
pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain; pertentangan pribadi,
pertentangan rasial, pertentangan politik, pertentangan internasional, serta
pertentangan antara kelas-kelas sosial. Terkait dengan kelas sosial, Dahrendorf
(dalam Poloma, 2003) berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status
sosial, meskipun bukan determinan kelas akan tetapi dapat mempengaruhi intensitas
pertentangan.
Senada dengan apa yang diungkapkan Soekanto, Susan (2009)
mengemukakan bahwa konflik dapat muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik
(interstate conflict). Konflik yang muncul pada skala tersebut umumnya dapat
ditemui oleh individu dalam kehidupan sosial yang nyata di lingkungannya.
Dalam kehidupan sosial di tingkat interpersonal, konflik cenderung
disebabkan oleh adanya ikatan yang intim dengan orang lain. Pada tahapan ini,
semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang tertanam,
sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan daripada
mengungkapkan rasa permusuhan. Sementara di sisi lain, penekanan rasa permusuhan
itu sendiri dapat menyebabkan akumulasi permusuhan yang akan meledak apabila
konflik tersebut berkembang (Poloma, 2003: 114).
Pada umumnya konflik di tingkat interpersonal relatif mudah untuk ditangani,
sebab konflik tersebut hanya melibatkan antara satu orang dengan orang lainnya.
Akan tetapi, konflik yang telah melibatkan suatu kelompok pada umumnya relatif
sulit untuk ditangani dan memerlukan mekanisme khusus dalam upaya resolusinya.
Coser (dalam Ritzer dan Goodman, 2006) mengemukakan bahwa mekanisme
tersebut adalah katup penyelamat atau savety valve. Katup penyelamat
memungkinkan luapan konflik tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur,
dimana konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang
kacau. Selain katup penyelamat, mekanisme lain yang dikemukakan oleh Coser
adalah pengkambinghitaman atau scapegoating. Pengkambinghitaman sendiri oleh
Coser (dalam Poloma, 2003) digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana
seseorang atau suatu kelompok tidak melepaskan prasangka (prejudice) mereka
terhadap kelompok yang benar-benar merupakan lawan, akan tetapi menggunakan
Poloma (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial.
Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.
Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Fisher (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa terkait persoalan sikap,
perilaku, dan situasi konflik dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe-tipe tersebut
terdiri dari:
a. Tanpa konflik; menggambarkan situasi yang relatif stabil,
hubungan-hubungan antarkelompok bias saling memenuhi dan damai.
b. Konflik laten; menggambarkan situasi dimana konflik yang ada sifatnya
tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan untuk ditangani.
c. Konflik terbuka; menggambarkan situasi konflik yang nyata dan telah muncul
ke permukaan, berakar kuat, serta memerlukan berbagai tindakan untuk
mengatasi akar penyebabnya.
d. Konflik di permukaan; memiliki akar yang dangkal atau bahkan tidak berakar,
dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran.
Sebagai suatu proses sosial yang sifatnya dinamis, konflik sangat rentan
terhadap pengaruh-pengaruh yang berasal dari berbagai aspek. Sifatnya yang dinamis
cenderung membuat konflik dapat dikelola untuk mencapai suatu resolusi, dimana
Susan (2009) menetapkan metode resolusi konflik melalui konsep tata kelola
konflik (conflict governance). Konsep tersebut melibatkan penggunaan seluruh
sumber daya yang ada, disertai strategi yang tepat, sehingga tujuan dari resolusi
tersebut dapat dicapai dengan baik.
Sementara itu, Wirawan (2010) juga memaparkan bahwa resolusi konflik
dapat dicapai dengan dua cara, yakni pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang
berkonflik (self regulation), dan melalui intervensi pihak ketiga (third party
intervention). Dalam pengaturan sendiri, pihak-pihak yang terlibat menyusun strategi
konflik untuk mencapai tujuannya. Sementara apabila melibatkan pihak ketiga, terdiri
atas; resolusi melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan
alternatif.
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan oleh beberapa pakar, maka
dapat dijabarkan bahwa dalam menganalis konflik sedikitnya terdapat beberapa
indikator penting. Indikator-indikator tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Interaksi (interaction), yakni hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara
individu ataupun kelompok yang dapat menyebabkan konflik.
b. Sumber-sumber konflik (source), yang meliputi; perbedaan fisik, perbedaan
kepentingan, perbedaan perlakuan, perbedaan identitas, kekecewaan,
keterbatasan sumber daya, bahasa, terputusnya komunikasi, perbedaan
persepsi, dan stereotip.
c. Pihak-pihak yang berkonflik (stakeholder), yakni pihak-pihak yang berkonflik
atau memiliki kepentingan atas terjadinya konflik, meliputi; individu,
d. Proses (process), yakni bagaimana konflik diawali dan berlangsung hingga
saat ini. Proses konflik juga meliputi sampai sejauhmana konflik atau potensi
konflik akan terjadi, yang dapat digambarkan sebagai eskalasi dan deskalasi
konflik.
e. Ekspresi (expression), yakni dalam bentuk apa konflik ditunjukkan, seperti;
ucapan (verbal), tulisan, gerak tubuh (gesture), dan kontak fisik.
f. Hasil akhir (result), meliputi bagaimana hasil akhir dari konflik yang terjadi,
seperti; win-win, win-lose, dan lose-lose condition.
Pada etnis Jawa yang masih memegang nilai-nilai tradisional, perihal
kehidupan diatur dalam suatu tatanan norma dan nilai luhur yang disebut dengan
pitutur. Dalam pitutur, diajarkan bahwa hidup orang Jawa haruslah harmonis, selaras,
serasi, dan seimbang. Sebab, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai apabila
keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan terwujud. Maka dari itu, segala hal
yang dapat mengganggu keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan harus
dihindari (Wirawan, 2010).
Geertz dalam Wirawan (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua prinsip
dasar dari kehidupan masyarakat Jawa dalam rangka penciptaan harmoni,
keseimbangan, dan keselarasan, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Apabila
kedua prinsip ini dipegang teguh sebagai pedoman hidup, maka hubungan sosial yang
2.2. Definisi Operasional 2.2.1. Konflik
Konflik dalam penelitian ini adalah proses pertentangan yang diekspresikan di
antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik,
menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran
konflik. Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan konflik
antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya:
a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi
namun dalam intensitas yang rendah.
b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh
kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan
dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang
dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya
kekerasan makin tinggi.
c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi
perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan
struktural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan kekerasan
masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok
yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak
dapat berkompromi.
d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami
hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat
knflik untuk menghindari terulangnya kekerasan.
Pada etnis Jawa yang masih memegang nilai-nilai tradisional, perihal
kehidupan diatur dalam suatu tatanan norma dan nilai luhur yang disebut dengan
pitutur. Dalam pitutur, diajarkan bahwa hidup haruslah harmonis, selaras, serasi, dan
seimbang. Sebab, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai apabila
keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan terwujud. Maka dari itu, segala hal
yang dapat mengganggu keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan harus
dihindari (Wirawan, 2010).
Geertz dalam Wirawan (2010) mengemukakan bahwa terdapat dua prinsip
dasar dari kehidupan masyarakat Jawa dalam rangka penciptaan harmoni,
keseimbangan, dan keselarasan, yakni prinsip rukun dan prinsip hormat. Apabila
kedua prinsip ini dipegang teguh sebagai pedoman hidup, maka hubungan sosial yang
harmonis dapat diwujudkan dengan baik. Prinsip rukun memandang konflik dapat
mengganggu keselarasan, dan harmoni kehidupan. Konflik bertentangan dengan
nilai-nilai luhur, serta menyebabkan orang tidak dapat bahagia di dunia dan akhirat,
sehingga konflik bagi masyarakat Jawa harus dihindari dalam kehidupan.
Dalam budaya Jawa terdapat stratifikasi sosial yang membedakan antara
seorang individu dengan individu lainnya dalam hierarki yang kompleks, seperti
bangsawan dan abdi, orang tua dan anak, laki-laki dan perempuan, dan lain
menghormati status yang dimiliki orang lain, meskipun penghormatan yang diberikan
kepada setiap orang cenderung berbeda.
Selain prinsip rukun dan hormat, dikenal pula pitutur catur murti, yakni;
berbicara yang baik, berpikir yang baik, berbuat yang baik, dan berperasaan yang
baik. Prinsip ini tidak hanya ditujukan untuk menghindari konflik, tetapi juga menjadi
pedoman bagi seseorang untuk berperilaku ketika sedang berada dalam situasi
konflik. Pada situasi konflik, penerapan catur murti bertujuan untuk menghargai dan
menghormati setiap lawan yang dihadapi. Dalam hal ini, penerapan catur murti
biasanya diikuti pula dengan dengan beberapa prinsip, antara lain sebagai berikut:
a. Sugih tanpo bondo; kaya tanpa harta.
b. Ngluruk tanpo bolo; menyerang tanpa tentara.
c. Menang tan ngasorake; menang tanpa merendahkan.
d. Eling; ingat (tidak lupa diri).
e. Aja dumeh; tidak sombong (menganggap remeh).
f. Teposeliro ngerti kualat; tenggang rasa dan memahami resiko perbuatan.
g. Durung menang yen durung wani kalah; belum menang kalau belum siap
untuk kalah.
h. Durung unggul yen durung wani asor; belum di atas kalau belum berani di
bawah.
i. Durung gede yen durung wani cilik; belum dianggap besar kalau belum berani
menjadi (dianggap) kecil.
j. Mikul dhuwur mendem jero; menjunjung setinggi-tingginya (kebaikan lawan),
2.2.2. Potensi Konflik
Potensi konflik adalah akar permasalahan dari konflik sosial, atau berbagai hal
yang dapat memicu terjadinya konflik. Potensi konfik dalam penelitian ini muncul
dari beberapa aspek, yakni;
No Aspek Konflik Variabel Indikator
1 Aspek Sosial dan Interaksi
a. Frekuensi interaksi
b. Identitas sosial
c. Jumlah teman dalam jejaring sosial
d. Toleransi
e. Jarak sosial (skala Bogardus)
− Perbedaan agama − Perbedaan etnis − Perbedaan warna kulit − Perbedaan budaya − Perbedaan bahasa − Perbedaan kelas − Penampilan
− Tanggapan terhadap
pelaksanaan kegiatan adat etnis lain
− Tanggapan terhadap
pelaksanaan kegiatan agama lain
− Tanggapan terhadap
pembangunan rumah ibadah agama lain
− Menghadiri resepi pernikahan − Mengunjungi tetangga yang
kemalangan
− di kota yang sama − di kecamatan yang sama − di kelurahan yang sama − sebagai tetangga
− sebagai anggota keluarga 2 Aspek Ekonomi a. Kecemburuan sosial − Status ekonomi
b. Kesempatan kerja
− Kekayaan
− Kesempatan usaha − Pekerjaan strategis
− Persaingan dengan etnis lain − Persaingan dengan penganut
agama lain 3 Aspek
Struktural dan Politik
a. Partisipasi politik
b. Akses terhadap sumber daya (sarana dan prasarana kota)
c. Etnisitas dalam
kepemimpinan
d. Kepuasan terhadap
kepemimpinan saat ini
− Ormas kesukuan − Ormas keagamaan − Partai politik
− Tempat tinggal − Sarana kesehatan − Pendidikan
− Kepemilikan tanah
− Berdasarkan kesamaan
agama
− Berdasarkan kesamaan etnis
− Kepuasan terhadap proporsi etnis Jawa di pemerintahan
− Kepuasan terhadap
kepemimpinan non-Jawa − Keterwakilan aspirasi politik 4 Aspek Budaya a. Pengetahuan tentang
budaya
b. Prasangka dan Stereotip
e. Ekspresi konflik dan Resolusi konflik
− Peninggalan sejarah
kejawaan
− Upacara adat Jawa − Kesenian adat Jawa − Gotong-royong − Penggunaan bahasa
− Penilaian dan citra kaku terhadap etnis lain
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif tipe
deskriptif. Penelitian deskriptif berguna untuk menjelaskan, mendeskripsikan, atau
memaparkan potensi konflik komunitas Jawa Muslim di Kota Medan secara
komprehensif sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di tujuh wilayah Kecamatan di Kota Medan, dimana
wilayah sampel ditentukan dengan teknik penarikan sampel acak bertingkat atau
multistage random sampling. Kerangka sampel yang digunakan mengacu pada data
yang bersumber dari data dasar Badan Pusat statistik (BPS). Dengan menggunakan
teknik tersebut, sampel kecamatan terpilih yaitu; Kecamatan Medan Tuntungan (9
Kelurahan), Kecamatan Medan Area (12 Kelurahan), Kecamatan Medan Timur (12
Kelurahan), Kecamatan Medan Selayang (6 Kelurahan), Kecamatan Medan Petisah
(7 Kelurahan), Kecamatan Medan Perjuangan (9 Kelurahan), dan Medan Labuhan (6
Kelurahan). Seluruh Kelurahan yang terdapat pada wilayah Kecamatan terpilih
3.3. Populasi Penarikan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga Jawa Muslim di Kota Medan
yang telah menetap sekurang-kurangnya lima tahun, dengan alasan untuk
memperoleh informasi yang lebih baik mengenai persepsi responden terhadap etnis
berbeda dan penganut agama lain di wilayah tempat tinggal mereka.
Jumlah sampel ditentukan berdasarkan jumlah Primary Sampling Unit (PSU),
yakni dua orang dalam setiap Kelurahan atau sejumlah 122 rumah tangga. Penentuan
ini dikarenakan tidak tersedianya data yang akurat mengenai jumlah rumah tangga
yang termasuk dalam kategori komunitas Jawa Muslim.
Selanjutnya, wilayah sampel untuk satuan wilayah Lingkungan ditentukan
sebanyak dua yang didasarkan atas urutan, yakni urutan awal dan urutan akhir. Dari
setiap Lingkungan, dipilih satu orang mewakili rumah tangga yang akan dijadikan
sebagai calon responden secara purposif berdasarkan kata kunci “Jawa Muslim”.
Pembagian responden dari aspek gender ditentukan berdasarkan nomor urut
kuesioner, yakni nomor urut ganjil untuk laki-laki dan nomor urut genap untuk
perempuan.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat, jenis data dalam penelitian ini dibagi ke
dalam dua kategori, yakni data primer dan data sekunder. Lebih lanjut, teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Data Primer; data primer dalam penelitian, diperoleh melalui studi lapangan
− Pengamatan, yaitu pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang
tampak pada saat penelitian. Dalam penelitian, peneliti mengamati
langsung ke lapangan untuk mengetahui interaksi sosial yang terjadi
antara komunitas Jawa Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut
agama lain.
− Kuesioner semi terbuka, yakni teknik pengumpulan data melalui
serangkaian daftar pertanyaan yang dilengkapi dengan beberapa alternatif
jawaban.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang
memiliki relevansi dengan penelitian. Lebih lanjut, data sekunder diperoleh melalui
studi kepustakaan dari berbagai literatur, baik buku, jurnal, internet, maupun media
massa.
3.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan teknik
analisis statistika deskriptif dengan menggunakan tabel silang (cross tabulation),
dimana variabel-variabel disajikan dalam sebaran frekuensi baik secara angka mutlak
maupun persentase. Prosesnya meliputi; data yang telah terkumpul diberi kode, lalu
diteruskan dengan pengolahan data, proses pengeditan, dan kemudian dianalisis
3.6. Jadwal Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan, yang mencakup penelitian
lapangan dan penelusuran literatur. Lebih lanjut, perincianan kegiatan penelitian
[image:35.612.110.532.249.523.2]dapat dilihat pada Tabel 3.1. yang terlampir sebagai berikut:
Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian
No Bentuk Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Observasi dan Pra-Penelitian √
2 ACC Judul √
3 Penyusunan Proposal Penelitian √
4 Seminar Proposal Penelitian √
5 Revisi dan penguatan referensi √ √
6 Persiapan instrumen penelitian √ √
7 Administrasi dan pengurusan izin √
8
Operasional penelitian: Penelusuran literatur Observasi
Penyebaran Kuesioner
√ √ √ √ √
√ √
9
Penyusunan Laporan Penelitian: Pengelompokan dan Analisis Data Konsep Laporan
Perbaikan dan Penyempurnaan Laporan
√ √
√
√
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Medan terletak di bagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di
antara 3°30’ sampai 3°43’ LU dan 98°35’ sampai 98°44’ BT, secara astronomis hal
ini menempatkan Kota Medan ke dalam wilayah dengan iklim tropis. Secara
keseluruhan, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 m sampai 37,5 m di atas
permukaan laut. Curah hujan di Kota Medan bergantung pada musim, dimana curah
hujan relatif tinggi jika sedang mengalami musim penghujan, dan curah hujan rendah
jika sedang mengalami musim kemarau.
Secara administratif, Kota Medan merupakan salah satu Daerah Tingkat II
yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Letak Kota Medan relatif strategis, sebab
selain dilalui oleh dua sungai besar, pembangunan kota mengacu pada perencanaan
yang didesain oleh arsitek Eropa yang memudahkan distribusi barang-barang
perdagangan pada masa lalu. Sebagai jalur lintas perdagangan, Kota Medan sendiri
saat ini semakin berkembang dengan pesat, baik dari segi sosial-ekonomi maupun
dari luas wilayah. Gambaran ini tidak terlepas karena Kota Medan memiliki
batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli
Serdang.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang.
Mata pencaharian penduduk Kota Medan sangat beragam, akan tetapi
sebagian besar berafiliasi pada jenis-jenis pekerjaan di sektor informal, selebihnya
adalah PNS, karyawan swasta, tenaga kerja profesional (guru, dokter, dosen,
pengacara, dan sebagainya), buruh, dan lain sebagainya. Luas keseluruhan Kota
Medan adalah 265,10 kilometer bujur sangkar atau sekitar 26510 Ha, yang
dimanfaatkan sebagai permukiman, persawahan, dan lain sebagainya. Untuk lebih
jelas, luas kota Medan berdasarkan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.1. Luas Kota Medan Berdasarkan Pemanfaatan Lahan
No Pemanfaatan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Permukiman 8828 33,3
2 Perkebunan 822 3,1
3 Lahan jasa 504 1,9
4 Persawahan 1617 6,1
5 Industri dan perusahaan 1511 5,7
6 Kebun campuran 12036 45,4
7 Hutan rawa 477 1,8
8 Lain-lain 715 2,7
Jumlah 26510 100
Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa penggunaan lahan sebagai permukiman
seluas 8828 Ha (33,3%), kemudian penggunaan lahan sebagai perkebunan seluas 822
Ha (3,1%). Lahan jasa di Kota Medan seluas 504 Ha (1,9%), sedangkan untuk
persawahan seluas 1617 Ha (6,1%). Kawasan perindustrian di Kota Medan
menggunakan lahan seluas 1511 Ha (5,7%), sedangkan untuk kebun campuran seluas
12036 Ha (45,4%). Kawasan hutan rawa di Kota Medan seluas 477 Ha (1,8),
sedangkan 715 Ha (2,7%) difungsikan untuk berbagai kegiatan yang lain.
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kota Medan
dimanfaatkan sebagai kebun campuran oleh masyarakat. Kebun campuran merupakan
kawasan perladangan yang diselenggarakan masyarakat di atas lahan-lahan milik
pemerintah (PTPN), maupun milik pribadi. Kawasan perkebunan, kebun campur, dan
persawahan umumnya terletak di pinggiran Kota Medan, atau di kawasan perbatasan
antarkota.
Permukiman di Kota Medan menggunakan lahan seluas 8828 Ha (33,3%), ini
menunjukkan bahwa Kota Medan mulai mengalami kepadatan penduduk yang
ditandai dengan tingginya pemanfaatan lahan sebagai kawasan permukiman. Dari
perspektif konflik, jumlah penduduk yang relatif besar memiliki keterkaitan erat
dengan terbatasnya pemanfaatan lahan untuk aktivitas ekonomi, seperti; industri dan
perusahaan (5,7%), lahan jasa (19%), dan perkebunan (3,1%). Hal ini berakibat
semakin tersegregasinya kelompok-kelompok etnis dan agama karena tingginya
kompetisi antaretnis dan agama yang dalam memperoleh kesempatan kerja.
kendaraan beroda dua (sepeda motor), beroda tiga (beca motor), beroda empat dan
enam (mobil). Namun, sebagian besar jalan kondisinya kurang baik, hal ini
disebabkan seringnya badan jalan tergenangi air dari selokan (parit) yang tumpat.
Kota Medan berpenduduk sebanyak 2.076.821 jiwa, yang terdiri dari beragam etnis
dan agama. Tercatat lebih dari 11 etnis yang bermukim di Kota Medan, yang
[image:39.612.189.451.297.516.2]disajikan pada Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Komposisi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Etnis
No Etnis Jumlah penduduk (Jiwa)
Persentase (%)
1 Jawa 682.205 33
2 Batak Toba 396.919 19,2
3 Tionghoa 219.133 10,6
4 Mandailing 193.911 9,4
5 Minangkabau 177.786 8,6
6 Melayu 136.411 6,6
7 Karo 86.826 4,2
8 Aceh 57.884 2,8
9 Simalungun 14.264 0,69
10 Nias 14.264 0,69
11 Pak-pak 14.265 0,69
12 Lain-lain 81.658 3,95
Jumlah 2.067.288 100
Sumber: Medan Dalam Angka Tahun 2007
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Medan adalah etnis
Jawa, dengan proporsi 33% dari total keseluruhan penduduk, atau sekitar 682.205
jiwa. Disusul oleh etnis Batak Toba dengan proporsi 19,2 %, atau sekitar 396.919
jiwa. Selanjutnya etnis Tionghoa dengan proporsi 10,6%, atau sekitar 219.133 jiwa.
Lalu etnis Mandailing dengan proporsi 9,4%, atau sekitar 193.911 jiwa. Kemudian,
Melayu adalah 6,6%, atau sekitar 136.411 jiwa. Sementara itu, etnis Karo memiliki
proporsi sebesar 4,2%, atau sebesar 86.826 jiwa. Etnis Aceh dengan proporsi 2,8%,
atau sebesar 57.884 jiwa. Sedangkan untuk etnis Simalungun, Nias, dan Pak-Pak
masing-masing memiliki proporsi sebesar 0,69%, atau sekitar 14.264 jiwa. Terakhir,
adalah gabungan dari beberapa etnis minoritas dengan proporsi sebesar 3,95%, atau
sebanyak 81.658 jiwa.
Data tersebut menunjukkan bahwa etnis Jawa sebagai kelompok mayoritas
(33%) sebenarnya memiliki potensi untuk mendominasi berbagai sektor di Kota
Medan, baik ekonomi, politik, maupun dominasi budaya. Akan tetapi, kenyataannya
tidak demikian. Etnis Jawa di Kota Medan justru mengambil peran sebagai kelompok
yang moderat, sehingga akhirnya etnis Jawa mulai termarjinalkan dalam berbagai
sektor.
Kondisi demikian membuat kompetisi yang terjadi di Kota Medan menjadi
sedikit longgar, sehingga gesekan-gesekan kepentingan antarkelompok etnis tidak
begitu terlihat menonjol. Situasi Hal ini memberikan kesan bahwa ada satu kekuatan
tidak terlihat yang mengatur terciptanya integrasi sosial yang nyaris sempurna di Kota
Medan. Namun demikian, segregasi antaretnis masih dapat dilihat dengan adanya
kawasan-kawasan permukiman yang identik dengan etnis-etnis yang ada di Kota
medan, baik yang sudah lama terbentuk maupun yang baru terbentuk beberapa tahun
belakangan. Seperti halnya kawasan Sukaramai yang identik dengan etnis
Minangkabau, Tembung dengan etnis Jawa, Bandar Selamat dengan etnis
kawasan Sekip dengan etnis Batak Toba, kawasan Sentral dan Jl. Asia dengan etnis
Tionghoa (Pecinan).
Sebagai kota metropolitan dan salah satu kota terbesar di Indonesia,
kehidupan di Kota Medan tidak pernah berhenti. Sejak fajar menyingsing hingga
senja, kemudian dilanjutkan hingga fajar menyingsing keesokan harinya. Dengan kata
lain, kehidupan Kota Medan berlangsung selama 24 jam dalam tujuh hari.
Apabila ditilik dari aspek sejarah, Kota Medan pantas dikatakan sebagai
“Kota Perwujudan Segala Impian”. Sebab kota ini dibangun oleh impian dari para
migran, yang diwujudkan melalui kerja keras selama ratusan tahun, hingga akhirnya
terbentuklah Kota Medan yang menuju metropolitan.
Sejarah kota Medan sendiri dimulai ketika seorang Karo yang dikenal dengan
sebutan Guru Patimpus, mendirikan sebuah kampung yang bernama Medan Putri
tahun 1590-an. Tengku Lukman Sinar dalam Silaban (2010) mengatakan bahwa
sebutan Guru Patimpus sendiri berasal dari bahasa Karo, dimana Guru dapat berarti
dukun atau “orang berilmu”. Kemudian, Pa dapat diartikan sebagai Bapak, sedangkan
Timpus berarti kain yang digunakan untuk membungkus bekal atau bawaan. Apabila
ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia, maka Guru Patimpus berarti “dukun yang
senantiasa bepergian membawa bungkusan”.
Letak asli Kampung Medan berada tepat dimana sungai Babura dan Sungai
Deli bertemu, yang saat ini dekat dengan Jl. Putri Hijau. Secara harfiah, nama
“Medan” sendiri berasal dari kata dalam bahasa Arab Maidani yang berarti kota yang
aman, damai, tentram, dan sejahtera. Menurut Buiskool (dalam Colombijn, 2005)
mewajibkan setiap orang yang hendak bermukim di Kampung Medan harus
menanggalkan Marga, menjadi orang Melayu, dan memeluk agama Islam.
Masuknya pedagang Eropa pada tahun 1642 merubah Sumatera Timur dan
Semenanjung Malaya menjadi jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat
terkenal, mulai dari kopi, karet, coklat, tembakau, sawit, dan lain sebagainya. Lokasi
yang strategis, iklim yang mendukung, dan lahan yang potensial membuat Sumatera
Timur mulai dilirik oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dari seluruh dunia.
Puncaknya, Jacob Nienhuys mencoba menanam tembakau pertamanya di
Sumatera Timur tahun 1960-an, dengan berbekal konsesi atas lahan seluas 2000 m2
dari Sultan Deli. Hasil yang diperoleh sangat memuaskan, sehingga para pengusaha
yang tergabung dalam serikat dagang VOC meminta konsesi besar-besaran di
Sumatera Timur. Dengan uang hasil konsesi tersebut, Sultan Deli kemudian
membangun istana barunya tidak jauh dari Kampung Medan, yang saat ini dikenal
dengan nama Istana Maimoon.
Perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan yang demikian pesat,
membutuhkan administrasi yang lebih baik, koordinasi yang cepat dengan Sultan, dan
jalur distribusi yang lebih strategis. Dengan alasan tersebut, kantor perusahaan Deli
Maatschapij kemudian dipindahkan ke Kampung Medan (sekarang Balai Kota). Hal
ini berdampak pada semakin berkembangnya Kampung Medan, dimana sarana dan
prasarana seperti jalan beraspal, rel kereta api, kantor pos, gedung perkantoran,
listrik, air bersih, bahkan hotel bagi para turis dan investor mulai dibangun.
perencanaan yang ditetapkan oleh Deli Maatschapij, yang saat itu menguasai
perekonomian melalui sistem perkebunan. Hal ini kemudian menjadi magnet bagi
para pendatang dari berbagai daerah. Dengan modal yang dimiliki, mereka datang
untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan membuka lembaran baru kehidupan mereka di
kampung kecil bernama Medan.
4.2. Karakteristik Responden
Penelitian dilakukan dengan melibatkan 122 responden, yang ditarik dengan
metode penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling). Responden
yang terjaring terdiri atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang seimbang
(equal), yakni 61 responden laki-laki dan 61 responden perempuan. Seluruh sampel
terdiri dari kelompok umur yang bervariasi sesuai dengan teknik pemilihan sampel
secara purposif, agar pendapat dari keseluruhan populasi dapat terwakili dengan lebih
baik. Untuk lebih jelas, komposisi responden berdasarkan usia dan jenis kelamin
[image:43.612.142.500.546.666.2]dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3. Komposisi Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
No Usia Laki-laki Perempuan Total
n f n f N F
a 16 – 25 13 10,6 27 22,1 40 32,8
b 26 – 35 12 9,8 12 9,8 24 19,8
c 36 – 45 11 9 10 8,2 21 17,2
d 46 – 55 18 14,8 10 8,2 28 23
e > 55 7 5,7 2 1,6 9 7,3
Jumlah 61 50 61 50 122 100
Data di atas menunjukkan bahwa responden didominasi oleh responden
dengan usia 16-25 tahun sebanyak 40 orang (32,78%), dengan proporsi responden
laki-laki sebanyak 13 orang (10,6%) dan responden perempuan berjumlah 27 orang
(22,1%). Responden dengan dengan usia 26-35 sebanyak 24 orang (19,68%), dengan
proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan sebanyak 12 orang (9,8%).
Kemudian, responden dengan kelompok umur 36-45 berjumlah 21 orang (17,21%),
dengan reponden laki-laki berjumlah 11 orang (9%) dan responden perempuan
sebanyak 10 orang (8,2%). Responden dengan usia 46-55 berjumlah 28 orang
(22,95%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 18 orang (14,8%) dan
responden perempuan sebanyak 10 orang (8,2%). Responden dengan usia >55
berjumlah 9 orang (7,38%), dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 7 orang
(5,7%) dan responden perempuan sebanyak 2 orang (1,6%).
Responden komunitas jawa Muslim didominasi oleh responden dengan
kelompok usia muda dengan kisaran usia 16-25 tahun, Perspektif konflik memandang
hal ini sebagai salah satu potensi konflik, dimana pada usia tersebut seseorang telah
dimasukkan dalam kategori angkatan kerja. Secara tidak langsung, kompetisi dalam
memperoleh lapangan pekerjaan akan semakin ketat, segregasi antarkelompok etnis
dan agama juga memiliki kemungkinan untuk meningkat karena keterbatasan
Tabel 4.4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Total
n f n f N F
a Profesional 6 4,9 8 6,6 14 11,5
b TNI/Polri 4 3,3 2 1,6 6 4,9
c PNS 7 5,7 3 2,5 10 8,2
d Kary. Swasta 16 13,1 13 10,7 29 23,8 e Wiraswasta 14 11,5 10 8,2 24 19,7
f Lain-lain 5 4,1 6 4,9 11 9
g Tidak bekerja 9 7,4 19 15,6 28 23
Jumlah 61 50 61 50 122 100
Sumber Data: Data Primer 2010
Data di atas menunjukkan bahwa 14 orang responden (11,5%) bekerja sebagai
profesional (guru, dosen, dokter, dan sebagainya), dengan proporsi 6 orang (4,9%)
responden laki-laki dan 8 orang (6,6%) responden perempuan. Responden yang
berprofesi sebagai TNI/Polri sebanyak 6 orang (5%), dengan proporsi 4 orang (3,3%)
responden laki-laki dan 2 orang (1,6%) responden perempuan. Kemudian, 10 orang
responden (8,2%) bekerja sebagai PNS, dengan proporsi 7 orang (5,7%) responden
laki-laki dan 3 orang (2,5%) responden perempuan. 29 orang responden (23,8%)
bekerja sebagai pegawai swasta, dengan proporsi 16 orang (13,1%) responden
laki-laki dan 13 orang (10,7%) responden perempuan. Terdapat 24 orang responden
(19,7%) yang membuka usaha sendiri, dengan proporsi 14 orang (11,5%) responden
laki-laki dan 10 orang (8,2%) responden perempuan. 11 orang responden (9%)
bekerja pada bidang lain yang belum terdefinisi, dengan proporsi 5 orang (4,1%)
responden laki-laki dan 6 orang (4,9%) responden perempuan. sedangkan 28 orang
responden (23%) masih sekolah dan tidak bekerja, dengan proporsi 9 orang (7,4%)
Data di atas menghasilkan analisa bahwa sebagian besar responden komunitas
Jawa Muslim di Kota Medan bekerja pada sektor swasta, baik usaha milik sendiri
(19,7%), maupun bekerja pada majikan sebagai karyawan swasta dengan berbagai
jenis pekerjaan yang beragam (23,8%). Jumlah responden yang bekerja pada
pekerjaan strategis justru relatif sedikit, seperti PNS (8,2%), dan TNI/Polri (4,9%).
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses etnis Jawa terhadap bidang-bidang
pekerjaan tersebut, sebab persaingan semakin ketat dan segregasi antarkelompok
etnis memainkan peranan dalam memperoleh setiap akses terhadap
pekerjaan-pekerjaan strategis.
Lebih lanjut, Jenis pekerjaan yang mereka geluti juga memiliki kontribusi
terhadap potensi konflik di lingkungan tempat tinggal mereka, yakni dalam hal
kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial muncul ketika seseorang merasa terganggu
ketika melihat tetangga sebelah, yang berbeda etnis atau agama memiliki pekerjaan
[image:46.612.139.504.526.657.2]yang relatif lebih tinggi status sosialnya dibandingkan dengan mereka.
Tabel 4.5. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Penghasilan
No Penghasilan Laki-laki Perempuan Total
n f n f N F
a Belum berpenghasilan 8 6,6 14 11,5 22 18 b < Rp. 1 Juta 17 14 13 10,6 30 24,6 c Rp. 1 – 2 Juta 17 14 16 13,1 32 27 d Rp. 2 – 4 Juta 14 11,5 12 9,8 26 21,3
e Rp. 4 – 6 Juta 4 3,3 2 1,6 6 4,9
f > Rp. 6 Juta 5 4,1 0 0 5 4,1
Jumlah 61 50 61 50 122 100
Dari data yang disajikan pada tabel 4.5 diketahui bahwa 22 orang responden
(18%), diantaranya 8 orang laki-laki (6,6%) dan 14 orang perempuan (11,5%) belum
memiliki penghasilan. Sedangkan responden yang berpenghasilan kurang dari Rp.
1.000.000,- berjumlah 30 orang (24,6%), diantaranya 17 orang laki-laki (14%), dan
13 orang perempuan (10,3%). Responden dengan tingkat penghasilan antara Rp.
1.000.000,- hingga Rp. 2.000.000,- sebanyak 32 orang (27%), dengan proporsi 17
orang laki-laki (14%) dan 16 orang perempuan (13,1%). 26 responden (21,3%),
diantaranya 14 orang laki-laki (11,5%) dan 12 orang perempuan (9,8%) memiliki
tingkat penghasilan antara Rp. 2.000.000,- sampai Rp. 4.000.000,-. 6 orang
responden (4,9%) berpenghasilan antara Rp. 4.000.000,- sampai Rp. 6.000.000,-,
dengan proporsi 4 orang laki-laki (3,3%) dan 2 orang perempuan (1,6%). Hanya 5
responden (4,1%) saja yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 6.000.000,-, yang
kesemuanya adalah laki-laki.
Analisis terhadap data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden
komunitas Jawa Muslim berada pada tingkatan ekonomi menengah dan menengah ke
bawah. Tentunya hal ini tidak dapat dilepaskan dari bidang pekerjaan yang mereka
geluti, yakni pada sektor-sektor swasta dengan penghasilan yang relatif lebih kecil
dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan strategis, seperti; PNS, TNI/Polri.
Rendahnya penghasilan dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi, terutama di
lingkungan ketetanggaan. Kesenjangan ekonomi apabila dibumbui dengan isu
perbedaan etnis atau agama dapat menimbulkan konflik sosial yang relatif besar,
Tabel 4.6. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan
No Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Total
n f n f N F
a Tidak pernah sekolah 1 0,8 0 0 1 0,8
b SD/ MI 6 4,9 2 1,6 8 6,6
c SMP/ MTs 12 9,8 6 4,9 18 14,8
d SMA/ MA 23 18,8 30 24,6 53 43,4
e Diploma 8 6,6 13 10,6 21 17,2
f Sarjana 11 9 10 8,2 21 17,2
Jumlah 61 50 61 50 122 100
Sumber Data: Data Primer 2010
Tabel 4.6. menunjukkan bahwa 1 orang responden laki-laki (0,8%) tidak
pernah sekolah. Responden berpendidikan SD/MI sebanyak 8 orang (6,6%), dengan
proporsi responden laki-laki sebanyak 6 orang (4,9%) dan perempuan 2 orang (1,6%).
Responden yang berpendidikan SMP/MTs sebanyak 18 orang (14,8%), dengan
proporsi responden laki-laki sebanyak 12 orang (9,8%) dan responden perempuan
sebanyak 6 orang (4,9%). Responden dengan tingkat pendidikan SMA/MA sebanyak
53 orang (43,4%), dengan proporsi responden laki-laki berjumlah 23 orang (18,8%)
dan responden perempuan 30 orang (24,6%). Responden yang berpendidikan
Diploma sebanyak 21 orang (17,2%), dengan proporsi responden laki-laki berjumlah
8 orang (6,6%) dan responden perempuan sebanyak 13orang (10,6%). Responden
berpendidikan sarjana masing-masing berjumlah 21 orang (17,2%), dengan proporsi
responden laki-laki sebanyak 11 orang (9%) dan responden perempuan berjumlah 10
orang (8,2%