DAFTAR PUSTAKA
I. BukuAli Achmad, Menguak Takbir Hukum Industri Perekaman Suara, Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Arnel Affandi, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum Industri Perekaman Suara, cet.V,(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997).
Damian, Eddy, Pengaluran dan Pengertian Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal, Pro Justitia Tahun XIX No. 3, Juli, FH Unpar, Bandung, 2001. Hutagalung, Sophar Maru, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Dalam
Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004.
M. Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. M. Djumhana & R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (sejarah, teori & prakteknya di
Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Raharjo, Agus, 2002, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Saidin, OK, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Sanusi Bintang, Perlindungan Hak Cipta, PT Elex Media Komputindo. Jakarta, 1998. Sulistia, Teguh, Pelanggaran Hak Cipta Dalam Perspektif Hukum Pidana (Suatu
Pemahaman pada Makna dan Keberadaan UU No.19 Tahun 2002), Jurnal, Delicti, Vol. I No. 2, Desember, FH UNAND, Padang 2003.
Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta 2002.
Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Global, Cet. 1. Riau: UIR Press, 2001.
Tanya-Jawab UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Lengkap dan Terpadu Dengan Jawabannya, Cet. 1. Semarang: Dahara Prize.
II. Internet
Polisi Musnahkan Nakorba danVCD Bajakan” , Republika Online, <http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=242624&kat_id=286&kat_id1= &kat_id2=>, diakses 3 Maret 2009.
Masalah Pembajakan rekaman video, Asirevi, Jakarta. www.hukumonline.com, diakses tanggal 10 Februari 2009.
Ranti Fauza Maulana, Rabu Agustus 2003, Penegakkan Hukum Hak Cipta, www.pikiranrakyat.com. diakseskan tanggal1 Maret 2009.
www.TinjauanBadanHukumPerusahaan.co.id. Diakses hari Rabu tanggal 14 Februari 2009.
Barang Bajakan dilarang tetapi dirindukan, Kompas, tanggal 20 April 2009.
III. Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
IV. Sumber lain
Yuliati, et, al, Laporan Penelitian Efektivitas Penerapan UUNo.19/2002 Tentang Hak Cipta Terhadap Karya Musik Indilabel, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2004.
BAB III
PELAKSANAAN UU HAK CIPTA KHUSUSNYA TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET
A. Status perlindungan karya rekaman suara
Permasalahan mengenai hak cipta sangat beragam, ada yang menunjukkan
persamaan dengan situasi dan kondisi industri musik nasional dan ada pula yang
menunjukkan kondisi setempat yang unik. Seperti halnya pada situasi dan kondisi
industri musik nasional, pada kondisi industri musik lokal pun ada pihak-pihak yang
merasa diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan.
Pihak pertama yang mendapat keuntungan dari produk bajakan adalah para
pembajak. Secara ekonomis pelaku pembajakan mendapatkan keuntungan yang
paling besar, karena tanpa susah payah dapat menjual karya orang lain. Si pembajak
tidak terlibat dalam proses panjang pembuatan suatu produk album musik yang
meliputi perencanaan, pengadaan lagu, pencarian penyanyi, dan proses perekaman
yang memakan waktu panjang. Dari segi biaya, si pembajak juga sangat diuntungkan.
Karena tidak perlu membayar penyanyi, musisi, pencipta lagu, biaya iklan, kemudian
tidak membayar pajak dan dijual di emperan yang juga tidak bayar pajak.
Sementara dari sisi konsumen, ada yang dirugikan dan diuntungkan.
Konsumen yang dirugikan adalah konsumen yang membeli dengan harga barang asli
(original) tetapi pada kenyataannya mendapatkan barang bajakan. Sedangkan
konsumen yang diuntungkan adalah konsumen yang memang secara sadar
menghendaki barang bajakan. Hal itu disebabkan harga yang jauh lebih murah, tanpa
memperdulikan kualitas produk. Dalam industri musik pada umumnya, konsumen
pembajak. Konsumen tersebut pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah
bawah yang memerlukan hiburan dengan biaya murah. Pertautan antara produsen dan
konsumen tersebut menjadi salah satu sebab maraknya pembajakan dalam industri
musik lokal.
Selain itu penyebab maraknya produk bajakan dalam industri musik lokal adalah lemahnya pengawasan aparat (dalam hal ini kepolisian). Pembajakan menyangkut perkara pidana dengan bentuk delik umum. Artinya pihak kepolisian tidak perlu menunggu pengaduan masyarakat korban pembajakan, melainkan harus aktif mencegah dan memberantas pembajakan. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang terjadi di berbagai daerah. Pada umumnya keberadaan pembajak tidak tersentuh hukum, dengan demikian para pedagang produk bajakan dengan leluasa menggelar dagangannya secara terbuka. Seperti di Pasar Genteng di Surabaya, Pasar Kota Kembang, Cicadas, dan Tegalega di Bandung, berbagai pasar tradisional di Bali, serta pasar Tanjungpura dan jalan Dipenogoro di Pontianak dan pajak USU dimedan adalah surga bagi pembajak dan peminatnya. Bahkan di kota Singkawang banyak dijumpai toko-toko yang menjual album-album bajakan secara terbuka, toko-toko tersebut seperti toko-toko kaset yang menjual album resmi dan legal. Operasi-operasi pemberantasan pembajakan hak cipta hanya dilakukan di beberapa wilayah saja di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung. Sedangkan di wilayah lainnya tidak pernah diadakan operasi pemberantasan album-album rekaman bajakan.10
10 Peran POLRI dalam mengatasi Pembajakan Film –Video, Makalah Kapolri pada Worksop
Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman
suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai UU Hak Cipta 2002, ketiga jenis
ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim Hak Terkait (Related Right/
Neighbouring Right). Dengan pengalihan itu lantas timbul perbedaan yang signifikan
yang menyangkut addressat perlindungan. Bila dalam konsepsi Hak Cipta yang
dilindungi adalah karya Ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan, sebaliknya
dalam konsepsi Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan
hukum atau lembaga. Perbedaan ini tampak jelas pada definisi Hak Terkait yang
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 sebagai berikut :“Hak Terkait adalah hak yang
berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak
atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk
memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan
bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya
siarannya”.11
Dari segi hukum, perubahan ini juga membawa dampak serius bagi
perlindungan karya rekaman suara asing di Indonesia. Masalahnya, selama ini basis
perlindungan bagi karya rekaman suara asing serupa itu dibangun berdasarkan
konsepsi Hak Cipta. ketentuan ini mengindikasikan bahwa Konvensi Bern mengakui
adanya bentuk-bentuk ciptaan derivatif atau derivative works yaitu berupa karya
turunan. Misalnya, rekaman lagu yang telah diberi ilustrasi dan aransemen musik.
Bentuk karya seperti itu pada dasarnya berbeda dengan feature lagu aslinya.
Ciptaan komposisi lagu dan musik dalam bentuk rekaman inilah yang dahulu
ditempatkan dalam lingkup obyek perlindungan Hak Cipta. Jadi, perlindungan Hak
Cipta bagi karya rekaman suara sesungguhnya tidak berdosa dan secara hukum
sebenarnya juga memiliki logika. Namun adanya kesan perlindungan ganda memang
tidak bisa ditepiskan.
Sejak diputuskannya perubahan Hak Cipta ke Hak Terkait, masih tersisa
pemikiran kritis yang cenderung anomali. Yaitu, ajakan untuk serentak membajak
rekaman suara asing. Tentu sinisme ini terasa berlebihan, meskipun secara yuridis
memperoleh pembenaran. Sebab, memang tidak ada lagi instrumen bilateral maupun
multilateral yang mendasari perlindungan.
Belajar dari keputusan revisi itu, yang perlu dicatat adalah adanya kebijakan
penyempurnaan UU Hak Cipta yang sebenarnya miskin aspirasi. Langkah
meniadakan perlindungan ganda itu tidak intensif dikonsultasikan pada berbagai
stakeholders di dalam negeri sendiri. Banyak pihak merasa terlambat dilibatkan.
Bahkan sewaktu sudah di DPR pun, mestinya beberapa konsepsi RUU masih dapat
dikonsultasikan. Tentu, ini bukan kelemahan siapa-siapa, ini kekurangan kita semua.
Sejak awal, perubahan itu sudah mengundang pertanyaan mendasar. Bila
memang sistem yang dibangun selama ini salah dan perlu perbaikan, masyarakat
(internasional) sudah pasti akan keras bereaksi. Anehnya, tidak satupun komplain
dialamatkan ke Indonesia. Kalaupun timbul berbagai keluhan, hal itu lebih
menyangkut kualitas penegakan hukum yang rapuh, lemah dan tidak mampu
sepi tidak bereaksi. Tetapi ironisnya, ide penyempurnaan itu justru datang pada saat
industri rekaman sedang collapse karena tekanan pembajakan. Pada saat industri
rekaman dan seniman musik sedang kusut mendambakan penegakan hukum yang
efektif dan memadai, muncul kebijakan yang tidak endorsable seperti ini.
Masalahnya, dengan sistem yang ada saja kualitas penegakan hukum kita masih
memprihatinkan. Apalagi dengan konsepsi baru yang belum banyak dipahami ini.
Untuk tidak dikatakan kounter produktif, harus diingatkan kembali bagaimana
masalah rekaman suara lagu-lagu mandarin dahulu menjadi polemik di Indonesia.
Pada waktu itu sulit meluruskan pendapat bahwa lagu-lagu Cina memang tidak
dilindungi di Indonesia, tetapi karya rekaman suaranya dilindungi penuh karena di
release oleh produser rekaman suara Amerika, atau negara lain yang memiliki
persetujuan bilateral di bidang Hak Cipta dengan Indonesia. Oleh karena itu, tanpa
sosialisasi yang intensif, perubahan ketentuan pada UU yang baru dikawatirkan akan
menyeret langkah mundur untuk beberapa waktu. Yang pasti, peran pencipta lagu
akan dipinggirkan. Yang akan lebih harus tampil adalah para produser. Kepolisian
juga harus mengubah pikiran dan konsep dasar penyidikan. Arahnya, harus jelas
bahwa penanganan pembajakan kaset dan CD musik, tidak lagi mendasarkan pada
Hak Cipta.12
Demikian pula proses penuntutan dan persidangannya di pengadilan yang
harus belajar dari awal menerapkan aturan hukum Hak Terkait. Masih harus dilihat,
bagaimana dampak perubahan ini, terutama dari sisi penegakan hukumnya. Ada
masalah lain yang tersisa. Hal itu menyangkut karya rekaman suara atau bunyi yang
dibuat tanpa motif komersial. Misalnya, rekaman suara-suara artificial angin, ombak,
letupan senjata, ledakan bom, deru mobil dan raungan peluit kereta api dan banyak
ragam lain yang lazim digunakan untuk ilustrasi pertunjukan drama panggung.13
Karena hanya dibuat oleh orang perorangan dan bukan “produser rekaman
suara” serta tidak untuk diperdagangkan, maka karya-karya seperti itu kemungkinan
luput dari jangkauan perlindungan. Betapapun harus diakui, kata “produser” jelas
berkonotasi industri dan komersial. Bandingkan misalnya dengan kata “pembuat”.
Sungguh, tampaknya bakal ada jenis ciptaan yang kehilangan pegangan. Ini terjadi
karena tidak lagi ada Hak Cipta bagi karya rekaman suara. Konsekuensinya, rekaman
suara akan hanya bermakna sebagai bagian dari proses fiksasi, yang dapat terjadi
untuk segala ciptaan yang berelemen suara atau bunyi.
Masalah yang sama juga tampil dalam rasionalita peniadaan karya siaran dan
karya pertunjukan. Pembahasan mengenai keduanya juga tidak kalah peliknya. Secara
umum hal itu terkait dengan makna harfiah yang terkesan duplikasi dengan esensi hak
untuk mengumumkan (performing rights).
Hak untuk mengumumkan dalam UU Hak Cipta 2002 dijabarkan sebagai hak
untuk membacakan, menyiarkan, memamerkan, menjual, mengedarkan, atau
menyebarkan suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media
internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca,
didengar atau dilihat orang lain.
Ketidakpastian pemahaman juga timbul dalam kaitannya dengan karya
rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan pelaku (performers). Terhadap karya
seperti itu, performer berhak untuk melarang pihak lain memperbanyak atau
menyiarkan rekaman UU Hak Cipta 2002 telah menetapkan karya rekaman suara
tunduk pada rejim Hak Terkait. Menurut rejim ini, perlindungan difokuskan pada
subyeknya, yaitu produser rekaman suara. Perlindungan diberikan karena pihak
produser yang telah memprakarsai kegiatan merekam lagu-lagu dengan melibatkan
penyanyi (performer/pelaku) dan musisi termasuk arranger. Dalam kegiatan rekaman
itu, lagu hanya merupakan salah satu unsur yang terkait. Hasilnya, terwujud dalam
bentuk kaset atau CD atau bahkan VCD. Lalu, apabila kaset, CD atau VCD tersebut
digunakan oleh para users, apakah penyanyi dan produsernya tidak berhak
mendapatkan sebagian.14
B. Prospek pelaksanaan UU Hak Cipta
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan
budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa,
dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu
dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya
intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak
semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para
penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat
meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi
bangsa dan negara.
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 yang
selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah
memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih
terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi
karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya
tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang
disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya
dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta
di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan
bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.15
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk mengganti
Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena kekayaan seni
dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia
memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan
usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Hak
Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk
Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang
tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau
Hak Terkait telah dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya
cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian
sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian
sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
Undang-undang No.19 tahun 2002 ini memuat beberapa ketentuan baru, antara
lain, mengenai:
1) database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi;
2) penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk
media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc)
melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana telekomunikasi;
3) penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif
penyelesaian sengketa;
4) penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi
pemegang hak;
5) batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik
di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
6) pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol
teknologi;
7) pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap
produk-produk yang menggunakan sarana produk-produksi berteknologi tinggi;
9) ancaman pidana dan denda minimal;
10)ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk
kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
Tanpa mengabaikan berbagai permasalahan lain yang relevan, terdapat
beberapa ketentuan penting dalam UU Hak Cipta 2002 yang perlu dikaji. Hal itu
utamanya terkait dengan anggapan sebagian pelaku bisnis yang bereaksi merasa
haknya tereduksi.
Beberapa ketentuan tersebut diantaranya mencakup jabaran hak ekonomi, end
user piracy, dan peniadaan perlindungan ganda bagi karya rekaman suara. Sejauh
menyangkut jabaran hak ekonomi, UU Hak Cipta 2002 telah menegaskan kembali
status dan legitimasi hak penyewaan atau rental right. Namun, hak seperti ituhanya
berlaku untuk karya film/sinematografi dan program komputer. UU Hak Cipta 2002
memang tidak mengaplikasikannya pada karya rekaman suara sebagai obyek UUHak
Cipta sebagaimana sebelumnya, karena status karya rekaman suara telah dipindahkan
perlindungannya kedalam rejim Neighbouring Right atau Hak Terkait. Di domain
yang baru itu hak penyewaan diakui dan tetap diberlakukan.
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang- undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk
bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media
yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk
melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk
Hak cipta untuk program computer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30). Harga
program komputer/ software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia
merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna
menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.
Misalnya, program anti virus seharga Rp 500.000,00 dapat dibeli dengan harga
Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software
asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal
yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping.16
C. Pelaksanaan Undang-undang Hak Cipta khususnya tindak pidana
pembajakan kaset serta cara menanggulanginya dari pihak industri
perekaman suara maupun upaya dari pihak pemerintah
Dibentuknya beberapa UU Hak Cipta sebagai hukum positif yang berlaku di
Indonesia sekaligus menegaskan sikap Indonesia untuk mengakui dan melindungi
HKI. Ketegasannya juga bisa dilihat dari jenis dan besarnya sanksi yang diancamkan
kepada siapa saja yang terbukti melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut.
UU Hak Cipta misalnya, mengancam pelanggarnya dengan ancaman pidana
penjara maksimal hingga tujuh tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar. UU Merek
juga mengancam pelanggarnya dengan pidana yang cukup berat, yaitu maksimal 5
tahun pidana penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa di Indonesia berlaku tiga norma
hukum. Selain hukum positif, berlaku juga hukum Islam dan hukum adat. Idealnya
apa yang diatur dalam satu norma hukum bersesuaian atau tidak bertentangan dengan
norma hukum lainnya. Dengan kata lain, misalnya, apa yang diatur dalam norma
hukum positif tidak bertentangan dengan norma hukum Islam dan norma hukum adat.
Hal yang sama berlaku juga untuk peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan HKI. Idealnya, norma hukum positif yang dimuat dalam beberapa
UU berkaitan dengan HKI tidak bertentangan dengan norma hukum lainnya.
Ketidakjelasan prosedur dan kekurangjelian pemerintah daerah dalam
merespon industri musik di daerah mengakibatkan hilangnya suatu peluang untuk
sumber pemasukan kas daerah dan menunjukkan ketidakpedulian pemerintah daerah
dalam melindungi hak cipta karya-karya musik daerah.Hambatan dari ketidakadaan
label dalam setiap produksi album rekaman lokal sempat membuat distributor album
rekaman resmi menolak mengedarkan produk tanpa label izin produksi. Baru setelah
adanya jaminan bahwa kalau terjadi sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum
maka si produser album rekaman lokal sendiri yang akan bertanggungjawab, maka
beberapa distributor album rekaman resmi mau mendistribusikannya. Selain
ketidaktahuan prosedur untuk mengesahkan produknya sehingga dapat dijual di
pasaran secara resmi, produk-produk bukan bajakan tetapi illegal, memperlihatkan
suatu gejala kekurang tanggapan dari aparat terkait. Misalnya tidak nampak adanya
pendekatan atau sosialisasi kepada para produser-produser musik di daerah.
Kemudian juga lamanya prosedur pengesahan, dalam kasus di Pontianak lamanya izin
industri memakan waktu selama tiga bulan. Ketiadaan label ijin produksi dan pajak
bagi produk album rekaman lokal menyebabkan kesulitan tersendiri untuk
mereka takut mendapat tuduhan balik bahwa produknya juga illegal berada di
pasaran. Dalam hal ini produser produk-produk illegal bukan bajakan berada dalam
posisi yang lemah.
Sementara itu bagi produser produk musik album lokal yang legal yang pernah
menjadi korban pembajakan menunjukkan adanya keengganan untuk melaporkannya
kepada pihak yang berwajib. Karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah
pihak kepolisian akan meminta uang penyisiran yang tidak sedikit jumlahnya tanpa
jaminan adanya suatu penyelesaian masalah. Dengan melaporkan kepada pihak yang
berwajib dalam hal ini polisi sebagai aparat negara mereka akan mendapat kerugian
yang lebih besar. Padahal ASIRI sebagai suatu lembaga yang berkepentingan dengan
pemberantasan pembajak ini seharusnya dapat merespon atau bahkan membantu
produser-produser yang legal di daerah. Suatu fenomena memprihatinkan adalah
putus asanya para produser yang legal terhadap upaya-upaya pemberantasan
pembajakan. Upaya pemberantasan pembajak dianggap suatu yang sia-sia. Salah
satunya nampak dari cover album rekaman kaset Genk Cobra, cukup terkenal di
Yogyakarta dan Solo, yang menuliskan “Silahkan dibajak”.17
Upaya lain yang dilakukan oleh produser musik lokal adalah dengan mencoba
memberikan sentuhan moral dengan pesan yang dituliskan dalam produknya. Pesan
tersebut seperti “sebagian dari penjualan kaset ini akan disumbangkan ke yatim
piatu”. Hal seperti itu telah dilakukan oleh Jansen record di Makasar. Meskipun
pesan moral tersebut dianggap juga tidak berhasil mengatasi pembajakan secara
tuntas.
Cara penyelesaian kasus pembajakan di Pontianak nampaknya sangat unik dan
dianggap berhasil untuk melindungi produk-prodduk industri musik lokal dari
pembajakan. Yaitu dengan cara denda adat, yang melibatkan tokoh-tokoh adat
setempat. Pembajak dan korban dipertemukan oleh para tetua adat, kemudian
disepakati jumlah denda yang harus dibayarkan. Nampaknya proses penyelesaian
dengan cara seperti itu efektif diterapkan di Pontianak. Karena, sejak kasus itu di
Pontianak tidak ditemui lagi kasus pembajakan terhadap produk-produk industri
musik lokal.18
Jika seseorang melakukan suatu pelanggaran terhadap hak cipta orang lain
maka orang tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Jika
perusahaan melanggar hak cipta pihak lain, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak
memproduksi, meniru atau menyalin, menerbitkan atau menyiarkan,
memperdagangkan atau mengedarkan atau menjual karya-karya hak cipta pihak lain
atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta (produk-produk bajakan).
Disamping itu, dapat dikenakan gugatan perdata dari pemegang atau pemilik
hak cipta itu, yang dapat menuntut ganti rugi dan atau memohon pengadilan untuk
menyita produk-produk bajakan tersebut dan memerintahkan atau perusahaan
menghentikan pelanggaran-pelanggaran itu.
18 Polisi Musnahkan Narkoba danVCD Bajakan” , Republika Online,
Langkah pemerintah ini telah menuai protes dari kalangan pengusaha industri
dan artis rekaman yang tergabung dalam Asosiasi Industri Rekaman Indonesia
(ASIRI), meskipun sejumlah artis lain mendukung kebijakan pemerintah ini. Alasan
pemerintah untuk mengenakan pita cukai rekaman pada Industri Musik adalah untuk
mengatasi maraknya pembajakan, selain untuk meningkatkan penerimaan negara
melalui cukai.
Jika tujuan pemerintah adalah untuk memberantas pembajakan terhadap
produk-produk rekaman, sepertinya pengenaan cukai pada industri musik tersebut
bukan merupakan solusi yang tepat untuk memberantas pembajakan. Pada era tahun
80-an, Indonesia telah dihebohkan oleh adanya laporan dari musisi asal Amerika
Serikat – Bob Geldof yang mengatakan bahwa negara Indonesia telah melakukan
pembajakan terhadap produk-produk rekaman dalam bentuk kaset, dimana seluruh
rekaman musik asing yang diperjualbelikan di Indonesia dilakukan tanpa memperoleh
ijin dari perusahaan rekaman yang menjadi pemegang lisensi. Atas tekanan dari
pemerintah Amerika Serikat, akhirnya pemerintah Indonesia mengambil langkah
serius untuk menanggulangi praktek pembajakan dengan memerintahkan pengusaha
rekaman agar menarik semua produk-produk rekaman yang tidak memiliki lisensi.19
Peristiwa tersebut sangat ironis, karena Indonesia merupakan negara yang
memiliki kedaulatan hukum, namun dalam menegakkan hukum harus mendapat
kontrol dan tekanan dari negara asing. Tidak mengherankan apabila penegakan
hukum di negeri ini tidak dapat dilakukan secara konsisten. Salah satu contoh nyata
adalah pada saat mulai diberlakukannya Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta pada tanggal 29 Juli 2003, hampir seluruh pedangang CD, VCD dan DVD
bajakan tidak tampak di pinggir-pinggir jalan, di tempat mereka biasa menggelar
barang dagangannya.
Namun beberapa minggu kemudian, sedikit-demi sedikit para pedagang
tersebut mulai tampak menggelar kembali barang dagangannya, dan hingga sampai
saat ini mereka dengan sangat leluasa dan terang-terangan berani menjual barang
dagangannya di tempat keramaian.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan tindakan para aparat penegak hukum
yang hanya melakukan razia terhadap para pedagang tetapi tidak terhadap sumber
produk bajakan tersebut, sehingga produksi barang bajakan terus berlanjut. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah belum secara tuntas menyelesaikan masalah
pembajakan, oleh karena masih terdapat produsen yang memproduksi barang bajakan
tersebut yang belum tersentuh oleh aparat penegak hukum.
Jika memang niat pemerintah adalah untuk memberantas praktek pembajakan,
maka tanpa pengenaan cukai terhadap produksi rekamanpun sebenarnya hal tersebut
sudah dapat dilakukan sejak belakunya UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Namun dalam kenyataannya, praktek perdagangan barang ilegal tersebut bukan
semakin berkurang, malahan semakin marak diperdagangkan di kaki lima. Untuk
membedakan bahwa suatu produk rekaman merupakan produk bajakan, tidaklah sulit,
karena dari tampilan fisik dan kualitas produk serta harga jual, dapat dengan mudah
Dari ketentuan tersebut, maka dengan pembuktian yang cukup sederhana
sebenarnya aparat penegak hukum sudah dapat melakukan tindakan terhadap praktek
pembajakan, sehingga kerugian negara yang diakibatkan oleh praktek pembajakan
tersebut dapat dikurangi. Jika dilihat dari sisi penerimaan negara, pengenaan cukai
terhadap produk-produk rekaman diharapkan akan menambah pendapatan bagi
negara. Namun apabila hal tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk
memberantas tindak pidana pembajakan nampaknya hal tersebut tidak akan berjalan
efektif. Praktek pembajakan yang merupakan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta,
sudah sepatutnya jika sanksi pidana yang dikenakannya didasarkan pula pada UU
Hak Cipta.
Pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal dapat diidentifikasi
berdasarkan beberapa cara. Berikut ini akan dipaparkan berapa cara yang umum
dilakukan dalam pelanggaran hak cipta industri musik lokal:
1) membajak dalam bentuk merekam langsung dari tv kemudian diubah ke
dalam format vcd untuk diperjualbelikan di tempat-tempat umum. Cara kerja
pembajakan ini cukup popular di berbagai daerah, seiring dengan
berkembangnya stasiun-stasiun tv lokal. Kasus dengan modus operandi yang
juga berlaku dalam industri musik nasional ini, terutama dapat ditemukan di
wilayah Bali, Surabaya, dan Bandung. Untuk wilayah Bali, hal itu
dimungkinkan dengan adanya program siaran khusus lagu-lagu Bali secara
teratur di Bali TV. Selain itu terdapat pula selingan-selingan pada pergantian
berbagai acara tv ataupun adanya penayangan iklan musik lokal. Pada kasus
maupun pemasangan iklan di Jawa TV. Sementara pada kasus di Bandung
pembajakan musik lokal dimungkinkan terjadi karena adanya siaran-siaran
musik lokal di TVRI stasiun Bandung.
2) merekam dari vcd asli ke dalam format vcd. Beberapa daerah penelitian
memang telah menghasilkan produk-produk industri musik lokal dalam
format vcd. Hal itu dimungkinkan dengan pemanfaatan teknologi yang
semakin familiar karena semakin mudah dipelajari dan murah. Sehingga
dengan handycam yang penggunaannya semakin memasyarakat dan dibantu
seperangkat komputer maka telah dapat diproduksi vcd musik lokal. Akan
tetapi, pada sisi lain pemanfaatan teknologi komputer yang semakin familiar
juga telah dimanfaatkan oleh para pembajak dengan cara meng- copy
produk-produk asli ke dalam disk kosong untuk kemudian menjualnya ke
pasaran.
3) merekam dari vcd kemudian diubah ke dalam bentuk mp3 dan
diperjualbelikan ke pasaran. Produk-produk dalam format mp3 sangat
digemari konsumen karena merekam banyak lagu dalam satu keping cakram
(disk) dan murah harganya. Jumlah lagu yang terdapat dalam setiap keping
mp3 minimal berjumlah 40 lagu. Oleh karena dapat merekam banyak lagu,
maka dalam produk bajakan dengan format mp3 biasanya terdapat lebih dari
dua album produk asli yang dibajak. Pada kasus industri musik di daerah
terdapat produk mp3 bajakan yang merupakan campuran dari album pop
4) dari kaset kemudian diubah ke dalam bentuk vcd. Dalam penelitian, cara
seperti ini hanya terjadi satu kasus saja yaitu di Pontianak. Seperti diketahui
bahwa kaset hanya menyajikan sisi audio saja, sementara vdc bersifat audio
visual. Untuk mengisi ruang visual tersebut pembajak mengambil gambar
apa saja. Dalam kasus-kasus produk industri musik nasional biasanya
pembajak akan mengambil gambar penyanyi yang bersangkutan ketika
melakukan pertunjukan di tv-tv nasional. Meskipun lagu dan penampilan
tidak nyambung, lagu yang berada di format vcd bajakan bukan lagu yang
dinyanyikan ketika penyanyi tersebut tampil di tv. Dalam kasus di
Pontianak ada penyanyi yang dibajak tidak pernah melakukan pertunjukan
untuk program tv dan tidak memproduksi vcd. Oleh karena tidak ada gambar
si penyanyi, si pembajak kemudian menempatkan film Folra dan Fauna
dalam vcd bajakan tersebut.
5) mengubah lagu atau karya musik. Dalam hal ini ada dua penyebabnya,
pertama si pencipta lagu mengadaptasi lagu-lagu karya orang lain tanpa izin.
Kedua, disebabkan adanya campur tangan produsen yang menginginkan
produknya laku di pasaran tanpa memperdulikan hak cipta. Campur tangan
produser dalam menentukan suatu produk rekaman terutama berlaku pada
artis atau grup band yang dikontrak oleh produser rekaman. Hal ini
dikarenakan musik yang dibuat harus berdasarkan orientasi pasar sang
produser. Beberapa produser melakukan cara apapun untuk memperoleh
keuntungan sebanyak mungkin. Misalnya sampai saat ini masih ada produser
musisi untuk diganti kata-katanya, lalu lagu tersebut diganti nama
penciptanya dan kemudian dinyanyikan oleh seorang penyanyi terkenal,
iramanya Mandarin tapi bahasanya bahasa Bali. Demikian juga dengan lagu
dangdut SMS yang diproduksi oleh sebuah perusahaan rekaman di Sumatra
Barat. Adalah suatu lagu yang mengadaptasi lagu India.
6) merekam gambar pada saat pertunjukan berlangsung. Pengambilan bukan
berasal dari tv tetapi langsung dari tempat suatu pertunjukan berlangsung.
Biasanya diambil melalui alat rekam yang sederhana saja (handycam). Hasil
rekaman tersebut kemudian dijual dalam bentuk vcd. Dalam format vcd
bajakan tersebut, gambar yang dilihat dapat berupa pertunjukkan langsung
dari artis atau grup band yang direkam, bisa juga diisi dengan lagu lain.
Artinya gambar berasal dari pertunjukkan secara langsung tetapi lagunya
adalah lagu yang lain yang tidak dinyanyikan di pertunjukkan tersebut.
Selain itu, ada juga bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta lainnya. Dalam hal
ini adanya penggunaan lagu-lagu untuk nada dering maupun nada panggil yang
digunakan pada handphone tanpa izin. Akan tetapi, kasus ini tidak banyak dijumpai di
wilayah-wilayah yang diteliti.
Fenomena yang paling umum ditemui dalam industri musik lokal adalah
adanya produk legal tetapi tidak sah. Produk industri musik dibuat secara benar,
artinya tanpa melakukan pembajakan atau pelanggaran karya cipta, tetapi tidak
mempunyai izin produksi maupun izin penjualan dari departemen perindustrian,
Maraknya pembajakan kaset di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya
sangat merugikan pemegang hak cipta. Tindakan pembajakan kaset tersebut juga
merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU No. 19
Tahun 2002 dan bagi yang menyiarkan, menjual, barang hasil pelanggaran hak cipta
akan dikenakan hukuman sesuai dengan Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN KASET
A. Kasus posisi
Berdasarkan surat penetapan pengadilan negri Medan No.3683/Pid.B/2008/PN
Medan tanggal 15 Desember 2008. dengan acara pemeriksaan biasa terdakwa
dihadapkan ke depan persidangan dengan dakwaan Hendry als Ahwat pada hari
Kamis tanggal 9 Oktober 2008, sekitar pukul 09.00 wib atau setidak-tidaknya pada
waktu lain dalam bulan Oktober 2008 bertempat dirumah terdakwa Jl. Mahkamah
Dalam no.1-11 Kel. Mesjid Kec. Medan Kota Kodya Medan atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat yang masih berada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan,
dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara
dan/atau gambar pertunjukkan tanpa persetujuan pelaku memiliki hak eksklusif yaitu
berupa VCD bajakan.
Pekerjaan penggandaan CD Film atau lagu tersebut dilakukan terdakwa sudah
sekitar 1 (satu) tahun lamanya. Dimana CD yang terdakwa gandakan pada CDRW
berupa VCD Film Indonesia, CD lagu dan MP3 lagu saja, antara lain lagu barat, lagu
India, dan dalam pengerjakan penggandaan tersebut dilakukan terdakwa tanpa ada
bantuan orang lain. Selanjutnya terdakwa masukkan kaset kosong ke dalam CDR atau
rak CD yang berjumlah 9 (sembilan) unit setelah itu terdakwa masukkan VCD master
yang akan dicopy atau digandakan dan setelah itu mesin copy tersebut beroperasi
sendiri selama lebih kurang 20 (dua puluh) menit dan apabila selesai VCD master
dan keluar sendiri hasilnya dari CDRW dan terdakwa membungkusnya kedalam
plastic VCD.
Adapun jumlah CD Film ataupun lagu terdakwa gandakan perharinya
sebanyak 200 (dua ratus) keping dan selanjutnya dijual terdakwa ke Pajak USU di
Kampus USU, dimana untuk penggandaan CD lagu ataupun film tersebut digandakan
terdakwa apabila ada pesanan. Dari Hendra (DPO) yang membuka kios penjualan
VCD bajakan di Pajak USU Kampus USU yang dijual terdakwa untuk perjudul film
sejumlah 2 (dua) keeping CD dengan harga Rp.3500,- (tiga ribu lima ratus) dan untuk
CD lagu dan MP3 lagu perkepingnya terdakwa jual dengan harga Rp.1800 (seribu
delapan ratus rupiah).
Bahwa perbedaan antara VCD/CD asli dengan VCD/CD bajakan adalah :
a. VCD/CD asli ada kena pajak dari pemerintah, sedangkan bajakan tidak kena
pajak.
b. Untuk harga VCD/CD aslinya harganya jauh lebih mahal dari pada bajakan.
c. Untuk VCD/CD yang asli terdapat gambar pada kemasannya, sedangkan
VCD/CD bajakan tidak terdapat gambar atau polos saja.
d. Dilihat dari Cover/gambar untuk CD original bersegel CD bajakan tidak
bersegel.
Adapun perbuatan terdakwa dalam menyiarkan, memamerkan, mengedarkan
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta tidak memiliki
izin dari pihak yang berwenang sehingga mengakibatkan Negara dirugikan pada
aspek ekonomi/fiscal, social, budaya dan politik, pencipta serta artis pada aspek
Berikut keterangan saksi-saksi Achiruddin hasibuan, Abdul hamid dan Sihar
Siahaan (masing-masing saksi dari kepolisian) pada pokok menerangkan sebagai
berikut :
Bahwa saksi menemukan beberapa kaset VCD Film dan lagu-lagu yang
digandakan oleh terdakwa Hendry als Ahwat dirumahnya di Jl. Mahkamah
dalam No.1 II Kel. Mesjid Kec. Medan.
Bahwa barang-barang yang ditemukan pada saat dirumah terdakwa di Jl.
Mahkamah Dalam No.1-II Kel. Mesjid pada hari Kamis tanggal 09 Oktober
2008 sekira pukul 09.00 wib berupa :
1) 378 keping kaset VCD Film bajakan
2) 228 keping kaset VCD Film (Master)
3) 37 keping kaset CD MP3 lagu (Master)
4) 532 keping kaset CD kosong
5) 140 keping kaset CD lagu India
6) 1 unit CDRW (alat copy kaset VCD)
Serta sebagian dari barang bukti tersebut ditemukan didalam mobil terdakwa
yang rencanya dari pengakuan terdakwa diantar kepada pemesan untuk dijualnya.
Bahwa kaset yang digandakan oleh terdakwa dirumahnya di Jl. Mahkamah
dalam No.1 II Kel. Mesjid Kec. Medan bersama-sama dengan Sihar dan Abdul
Hamid.
Bahwa cara terdakwa melakukan penggandaan dengan menggunakan alat
CDRW (alat pengganda) adalah pertama kabel-kabel dihubungkan ke listrik baru
dimasukkan kedalam rak paling bawah kaset, kaset kosong dimasukkan ke dalam rak
paling atas baru ditutup rak tersebut dan menunggu selesai copy/penggandaan sesuai
dengan banyak kaset yang di copy kedalam CDRW.
B. Analisa kasus
Berdasarkan fakta baik yang berasal dari keterangan saksi-saksi dan
keterangan tersangka dan barang bukti tersebut diatas diduga telah terjadi perbuatan
tidak Pidana menggandakan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta dan dengan sengaja menggandakan kaset CD lagu dan
film, kaset VCD lagu dan Film yang tidak lulus sensor.
Benar saksi Abdul Hamid dan Sihar Siahaan adalah anggota Polri yang telah
menemukan Kaset CD/VCD lagu dan film pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 2008
sekitar jam 09.00 Jl.Mahkamah Dalam No.1-II Kel. Mesjid Kota pemilik adalah
Hendry Als Ahwat.
Bahwa tersangka juga membenarkan kegiatan yang dilakukannya
Menggandakan CD/VCD lagu dan film di hari kamis tanggal 9 Oktober 2008 sekitar
jam 09.00 di Jl. Mahkamah dalam No.1 II Kel. Mesjid Kec. Medan.
Ahli menjelaskan sanksi pidana bagi barang siapa melakukan tidak pidana
perlanggaran hak cipta atas lagu dan film adalah pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp.1.000.000 (satu juta rupiah)
atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan atau denda paling banyak
Rp.5.000.000.000 (lima miliar rupiah) bagi barang siapa melakukan perbuatan
hak ciptaannya atau tanpa ijin dari pencipta dan atau pemegang hak cipta
sebagaimana tidak pidana ini diatur dalam Pasal 72 ayat 1 UU RI No.19 Tahun 2002
tentang hak cipta. Selanjutnya pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda
paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) bagi barang siapa dengan
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana tindak
pidana ini diatur dalam Pasal 72 ayat 2 UU RI No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dengan pertimbangan Pasal 72 ayat (1) UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak
Cipta maka jaksa menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang
memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan agar terdakwa Hendry als
Ahwat dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi selama
terdakwa berada di dalam tahanan sementara.
Atas dasar tuntutan tersebut diatas maka hakim menyatakan terdakwa Hendry als
Ahwat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana :
Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan
gambar pertunjukan tanpa persetujuan pelaku yang memiliki hak ataupun produser
yang memegang Hak Cipta, oleh karena itu majelis hakim Pengadilan Negeri Medan
yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan hukuman kurungan penjara
selama 7 bulan terhitung mulai tanggal 10 Oktober 2008 dan menyatakan barang
bukti berupa 1 unit Suzuki AVP warna hitam No. Pol BK 1867 AV berikut kunci
kontak di kembalikan kepada wali Hendry als Sahwat dan seluruh barang hasil
bajakan maupun alat membajak seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan.
1. Barang siapa
Yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum yang dapat
mempertanggungjawabkan segala perbuatan, dalam perkara ini berdasarkan
keterangan saksi dan terdakwa, bahwa ketika di bacakan dakwaan terdakwa
membenarkan seluruh identitas yang ada di dalam dakwaan, mengenai tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa akan dibuktikan dalam unsur lain dari
pasal ini.
2. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara
dan atau gambar pertunjukan tanpa persetujuan pelaku.
Bahwa berdasarkan keterangan saksi dihubungkan dengan keterangan terdakwa
dan barang bukti yang telah disita, didapat suatu fakta : bahwa pada hari Kamis
pada tanggal 9 Oktober 2008 sekitar Pukul 08.00 wib saksi Achiruddin Hasibuan,
SH bersama saksi Sihar Siahaan dan saksi Abdul Hamid mendapat informasi
tentang adanya penggandaan VCD, selanjutnya saksi tersebut melakukan
pengecekan ke Jl. Mahkamah Dalam No. 1-II Kel. Mesjid Kota Medan. Dalam
proses menuju ke rumah terdakwa para saksi mendapati beberapa VCD hasil
pembajakan didalam mobil terdakwa. Kemudian para saksi membawa terdakwa
ke rumah terdakwa untuk melakukan pemeriksaan dan kemudian mendapati
barang bukti sebagaimana tersebut diatas.
C. Pengaruh sanksi pidana yang ditujukan kepada para pelanggar Hak Cipta
khususnya pembajak kaset dalam Pasal 72 Undang-undang Nomor 19
Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan
finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang
izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar hukum yang menentukan agar
setiap orang dapat mematuhi, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain dalam
hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang
diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.Faktor-faktor yang mempengaruhi
warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan Lubis antara lain adalah
:
1) pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;
2) para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh
pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif
maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;
3) ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil
karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat
adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
4) dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut
tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
5) masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau
palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau
dengan kemampuan ekonomi. Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta
tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan
budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan
menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal
yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan
melanggar undang-undang (wet delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini
lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries)
karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya
bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem
pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.Harus diakui, upaya
pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum
mampu membuat jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya,
karena upaya penanggulangannya tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan,
pengutipan, perekaman, pertanyaan dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan
orang lain dengan cara apa pun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan
dengan undang-undang. Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta
tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena
tiga hal, yakni :
1) merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau
selurulnya ciptaan orang lain kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas;
2) merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan
3) bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak
dan menjual video compact disc (vcd) film dewasa. Melanggar perjanjian
artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah
disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya
cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang
dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada
pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan
4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta.Pelanggaran hak cipta
menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari
1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni :
a. mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan
sendiri olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain
seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat atau penjiplakan
(plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku,
lagu dan notasi lagu, dan
b. mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan
sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta dan
penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang
banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti
kaset lagu dan gambar (vcd), karena menyangkut dengan masalah a
commercial scale.Pembajakan terhadap karya orang lain seperti buku dan
rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta yang dilarang
diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak.
Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari
penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin
menunaikan kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara
sebagaimana layaknya warga negara yang baik. Pembajakan merupakan
salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang grafika dan
elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (illegal) oleh mereka
yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.Pasal 72 UU
No. 19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak
cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok,
yakni :
1) Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini
antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak
atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan
kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara,
kesusilaan dan ketertiban umum;
2) Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk
perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan vcd bajakan;
3) Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer.Dari ketentuan Pasal 72
diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah
perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak
cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama
ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku
pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau
menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak
cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk
pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan
pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran
hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.Kedua golongan
pelaku pelanggaran hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi
pidana oleh ketentuan UU No. 19 tahun 2002. Pelanggaran dilakukan
dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besanya, baik
secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan
bagi kepentingan para pencipta.
Dengan adanya sanksi hukum yang tegas setelah diberlakukannya UU No.19
tahun 2002 tentang Hak Cipta, diharapkan dapat diberlakukan secara
maksimal oleh aparat penegak hukum dalam memberantas pembajakan
dengan sanksi-sanksi yang tegas yang dikandung dalam UU tersebut.
Sehingga dapat menghindari luputnya suatu perbuatan pembajakan dari
jeratan hukum lebih jauh dari itu, penerapan sanksi maksimal dan minimal
para pelaku tindak pidana pembajakan atas pemberlakuan sanksi tersebut,
juga diharapkan efektifitas penindakannya akan terwujud.
Selain sebagai sanksi hukum yang mengancam perbuatan pembajakan,
sanksi ini juga sebagai pemberi efek ancaman secara psikologis bagi para
calon pembajak potensial.
Pembatasan waktu proses perkara dibidang Hak Cipta yang ditangani oleh
Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan mencegah berlarut-larutnya penanganan suatu perkara
di bidang Hak Cipta, selain akan berakibat buruk bagi ekonomi dan
perdagangan dalam hal ini komoditas musik sebagai industri juga
memberikan kepastian hak hukum kepada terdakwa.
Tindak pidana yang dikenakan sanksi-sanksi pidana sebagai berikut,
Ketentuan pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 19, pasal 20, atau pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 atau pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(8) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Pelanggaran hak cipta akan membawa dampak buruk bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra. Tanpa adanya perlindungan
hukum yang memadai atas hak cipta seseorang, maka daya inovasi dan
kreativitas pencipta akan menurun tajam yang dapat merugikan semua pihak.
Masuk akal dalam pemikiran para pencipta, untuk apa mencipta atau
berkreativitas dalam ilmu pengetahuan, sastra dan seni, jika hasil ciptaan
mereka selalu dibajak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sudah
menjadi kewajiban dari negara melalui instansi yang berwenang untuk
mampu melindungi hasil ciptaan tersebut dengan melakukan penegakan
hukum terhadap para pelanggarnya. Sebaliknya, penegakan hukum hak cipta
harus hati-hati dalam memilah bentuk pelanggaran yang dilakukan dan justru
diharapkan adalah petugas penegak hukum yang betul-betul dapat memahami
tentang makna akan hak cipta sesungguhnya tanpa menggeneralisasikan
begitu saja suatu perbuatan pelanggaran hak cipta dalam pemikiran orang atau
masyarakat awam.
2) Tindak pidana hak cipta merupakan delik biasa. Artinya, penegak hukum
dalam hal ini pihak Kepolisian, bisa melakukan tindakan hukum terhadap
pelanggar hak cipta tanpa perlu adanya pengaduan dari pihak lain. Bagi
mereka yang terbukti menjual atau mengedarkan produk bajakan dapat
penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan bagi yang terbukti memperbanyak
tanpa seizin pemegang hak cipta bisa dikenakan denda minimal Rp. 1.000.000
(satu juta rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) serta
dipidana dengan pidana penjara sedikitnya 1 (satu) bulan dan paling lama 7
(tujuh) tahun (Pasal 72 UUHC).
Menurut UUHC, gugatan terhadap pelanggaran hukum hak cipta secara
perdata diajukan kepada Pengadilan Niaga. Bila melihat substansi UUHC
tersebut maka hak-hak pemegang hak cipta cukup terlindungi. Sanksi-sanksi,
baik perdata maupun pidana yang akan dijatuhkan kepada pelanggar hak cipta
juga dinilai telah memadai.
3) Sanksi hukum diharapkan dapat mengurangi atau menjerakan para pembajak
tanpa izin dan prosedur hukum (illegal) menggunakan ciptaan orang lain
dengan maksud tertentu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Pemberian sanksi hukum dalam ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tidak akan
menjamin pelanggaran hak cipta dapat berkurang, sejauh kesadaran hukum
masyarakat masih rendah dan kurang menghargal hasil karya orang atau
bangsa lain. Menghargai karya cipta ini perlu ditingkatkan mengingat adanya
sanksi internasional bagi setiap bangsa yang membajak ciptaan orang lain
B. Saran
1) Kerugian Barang-barang pembajakan kaset CD/VCD yang diproduksi palsu
dan dijual ke pasar ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum
atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang
diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif
dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta
terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para
pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun
tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan
berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. 2) Selain Negara melalui perangkat hukumnya, maka para insan musik seperti pencipta lagu, pemegang hak cipta, pemusik, asosiasi penerbitan musik, para produser musik, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan langsung agar kiranya turut berpartisipasi dalam memberikan pengenalan pada masyarakat akan pentingnya menghargai karya cipta sebagai suatu komoditi yang bernilai ekonomis yang merupakan sumber banyak pihak secara ekonomis, yang dalam hal ini agar tidak membeli kaset bajakan.
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG INDUSTRI PEREKAMAN SUARA DALAM UU NO. 19 TAHUN 2002
A. Perkembangan Industri perekaman suara di Indonesia
Perkembangan industri musik di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini
telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh tim penelitian industri budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya Universitas Indonesia (tahun 2006 berada di bawah naungan Fakultas Ilmu
Budaya UI) selama tahun 2003-2007 telah menunjukkan bahwa di berbagai daerah di
Indonesia telah tumbuh industri musik dalam skala lokal. Beberapa daerah yang
dijadikan tempat penelitian selama tiga tahun tersebut meliputi; Jakarta, Bandung,
Surabaya, Yogyakarta, Bali, Menado, Kupang, Medan, Makasar, dan Padang. 5
Dalam tulisan ini, pengertian industri musik di daerah adalah suatu produk
musik yang diproduksi di berbagai daerah di Indonesia. Produknya dapat berupa
musik tradisi lokal dan musik pop lokal maupun musik pop nasional. Musik tradisi
lokal menggunakan alat musik tradisional (pentatonis) maupun alat musik modern
(diatonis) yang mengkorvesi nada bunyi musik tradisi. Dalam musik tradisi lokal
bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat.
Dalam musik pop lokal, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan genre musik
nasional ada irama dangdut bahkan juga rock. Alat musik yang digunakan juga sama
dengan alat musik yang digunakan pada alat-alat musik pop nasional, yaitu alat musik
diatonis. Pemakaian bahasa merupakan ciri utama yang membedakannya dengan
musik nasional. Apabila musik nasional menggunakan bahasa Indonesia dalam lirik
5 M. Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm 34
lagunya, maka musik pop daerah menggunakan bahasa daerah setempat dalam lirik
lagunya. Pembedaan lainnya antara musik daerah dan musik nasional adalah adanya
dominasi sisipan-sisipan bunyi alat musik tradisional dalam musik pop lokal.
Pembedaan ini perlu dikemukakan dalam tulisan ini, mengingat selain industri
musik lokal, di berbagai daerah di Indonesia pun telah lama menjadi pasar industri
musik nasional. Apabila dikaitkan dengan judul tulisan, maka permasalahan hak cipta
yang dibahas adalah yang menyangkut industri musik lokal., juga industri musik
nasional di daerah.
Beberapa jenis bentuk wadah musik secara fisik hasil Industri perekaman suara di
Indonesia adalah:
1. Piringan Hitam
Piringan hitam mulai ada sejak tahun 1948. Ada tiga ukuran piringan
hitam dalam hitungan rpm (rotation per minute) yaitu 78, 45, 33 1/3. Piringan
hitam 78 dan 45 untuk plat berdiameter 25 cm, sedangkan 33 1/3 untuk plat
berdiameter 30 cm. 78, 45, 33 1/3 rpm maksudnya adalah, setiap satu menit
piringan hitam itu berputar sebanyak angka yang menjadi ukurannya (78, 45,
33 1/3). Semakin besar diameter platnya, semakin kecil ukuran untuk
memutarnya.
Belakangan kecepatan 78 mulai tidak digunakan lagi pada produksi
piringan hitam ini sejak sekitar tahun 60an dan hanya kecepatan 45 dan 33 1/3
saja yang masih digunakan untuk memutarnya. Plat berukuran 30 cm dengan
kecepatan 33 1/3 yang biasa disebut Long Play (disingkat LP), plat ukuran
biasanya berisi 4 buah lagu di tiap sisinya, plat ukuran 18 cm dengan
kecepatan 45 atau 33 1/3 juga, berisi 1 buah lagu di tiap sisinya disebut Single
Player dan yang berisi 2 buah lagu di tiap sisinya disebut Extended Player.
Ada beberapa alat untuk memutar piringan hitam, salah satunya adalah
phonograph. Cara kerja piringan hitam sama saja disemua alat pemutarnya,
yaitu dengan menggunakan stylus, yang berbentuk seperti jarum yang berada
di pinggiran piringan hitam. Stylus itu berfungsi untuk mencatat simpangan
gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan kemudian
meneruskannya ke alat pengeras suara.
Dari segi fisik, piringan hitam besar dan agak berat, beratnya kira-kira
90-200 gram. Intinya tidak praktis untuk membawa piringan hitam
kemana-mana. Akan tetapi kelebihannya adalah piringan hitam tidak mudah rusak dan
suara yang direkam bagus. Jadi selama platnya tidak baret-baret, sebuah
piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena itulah piringan hitam
banyak disukai orang-orang. Para musisi pada tahun 1950-1970an pun banyak
yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan hitam. Namun biasanya
mereka hanya merekam single saja kedalam piringan hitam yang berukuran 78
atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu, masing-masing satu lagu di
side A dan side B. Hal itu dikarenakan pada masa itu biaya untuk merekam
lagu terbilang mahal, lagipula seorang penyanyi atau sebuah grup musik
biasanya hanya mempunyai satu atau dua lagu yang terkenal, maka dari itu
album hanya bisa direkam di piringan hitam berukuran 33 1/3, biasanya sisa
lagu yang lain yang selain single hanya filler.
Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat
perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan
memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di
Menteng. Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Lilies
Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut dalam
format piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia, piringan hitam termasuk
mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya, jadi tidak semua orang di
Indonesia memilikinya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan piringan
hitam kurang terkenal di Indonesia.
Untuk di dunia sendiri, piringan hitam mulai turun pamornya sejak
adanya CD pada awal tahun 1980an. CD berhasil menggusur pasar piringan
hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah dibawa,
ditambah lagi suaranya yang jernih.
Namun, pada masa sekarang ini, piringan hitam masih dan sedang
banyak dicari. Karena orang-orang yang ingin memiliki rekaman musisi
idolanya, ingin mempunyai rekaman mereka dari zaman piringan hitam.
Lagipula rekaman lagu-lagu untuk musisi-musisi lama, seperti contohnya The
Beatles, lebih banyak di piringan hitam. Selain itu nilai tambahan untuk yang
mempunyai piringan hitam sekarang ini adalah kepuasan batin, gengsi, dan
2. Kaset
Audio kaset, sudah ada sejak tahun 1963. Akan tetapi kaset tidak bisa
menggusur kedudukan piringan hitam saat itu. Sekitar tahun 1970an barulah
kaset mulai banyak dilirik oleh orang-orang dan juga industri rekaman.
Kaset mempunyai bentuk yang sederhana, dengan dua bolongan sebagai
alat pemutar pita magnetiknya. Pita magnetik adalah media untuk merekam
suara di dalam kaset. Kapasitas merekam yang dapat dilakukan sebuah kaset
berbeda-beda, yang paling sedikit kapasitasnya hanya bisa merekam selam
tujuh menit di setiap sidenya, jadi bila dijumlahkan durasi satu kaset adalah 14
menit, sedangkan yang paling panjang kapasitasnya adalah yang bisa merekam
sampai 60 menit di setiap sidenya, jadi durasi keseluruhannya adalah 120
menit atau dua jam.
Alat untuk memutar kaset dapat kita temukan dimana-mana, dari yang
besar sampai yang kecil, bahkan ada pula yang portable, jadi kita bisa
membawanya kemana-mana dengan mudah. Kelebihan lainnya adalah kaset
dapat digunakan untuk merekam secara manual, maksudnya adalah kita bisa
merekam rekaman suara lain dan dimasukkan ke dalam kaset kosong yang kita
punya. Oleh karena itulah pada tahun 1970an, hampir semua musisi pasti
mempunyai rekaman single atau albumnya dalam bentuk kaset. Karena selain
dapat merekam lebih banyak, apabila kita menggunakan kaset dengan
kapasitas 120 menit, biaya untuk memproduksi rekaman dengan menggunakan
media perekam yang dipilih oleh musisi. Namun beberapa tahun belakangan
ini mulai ada perusahaan rekaman yang tidak mau lagi memproduksi kaset.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kaset kurang terkenal di awal
kemunculannya, adalah kaset, yang menggunakan pita magnetik sebagai alat
untuk merekam suara, terkadang tidak merekam dengan sempurna. Jadi sangat
mungkin terjadi, rekaman di dalam kaset suaranya mendem atau kalau
memang suaranya bagus, kemungkinan kaset itu untuk menjadi mendem pun
besar. Hal itu dikarenakan pita magnetik yang terdapat dalam kaset terbilang
sensitif, kita tidak boleh membiarkan kaset itu kotor, apalagi sampai pita
magnetiknya yang kotor, dan kita juga harus memutar pitanya sampai ke batas
pita yang biasanya berwarna putih yang tidak ada rekamannya. Selain itu kita
juga harus berhati-hati jangan sampai pita magnetiknya kusut saat
menggulung. Artinya kita harus merawat kaset lebih ekstra. Ditambah lagi pita
magnetik untuk merekam sekarang ini lebih tipis dibandingkan dengan zaman
dulu (sekitar tahun 1970an), jadi kemungkinan kaset untuk rusak lebih besar.
Namun kaset zaman dulu pun tidak jaminan tidak mudah rusak.
3. Cakram Padat (CD) dan MP3
Primadona alat perekam musik sampai saat ini adalah CD. Hadir di awal
tahun 1980an dan berhasil menggeser kedudukan pendahulunya, piringan
hitam dan kaset. Keunggulan CD adalah bentuknya yang sangat simpel dan
ringkas, kualitas suaranya yang jernih, kemampuan merekamnya yang hebat,
mudah. Prinsip dasar perawatannya sama seperti piringan hitam, selama tidak
baret-baret CD itu akan baik-baik saja.
Terdapat banyak alat untuk dapat memutar sebuah CD. CD dapat diputar
apabila sensor yang berbentuk seperti mata yang terdapat di alat pemutar CD
dapat membaca CD tersebut. Untuk itulah mengapa penting agar CD tetap
dijaga keadaanya dan tidak baret-baret, karena kalau ada baretan akan ada
masalah dalam membaca CD tersebut.
Apabila grup musik, ambil contoh lagi The Beatles ingin merekam
albumnya ke dalam sebuah CD, biasanya perusahaan rekaman akan membuat
dua versi rekamannya. Rekaman internasionalnya yang akan menjadi CD
impor yang kualitasnya pasti lebih baik dan harganya juga lebih mahal.
Sedangkan versi keduanya adalah CD lokal yang dibuat lagi oleh perusahaan
rekaman yang sama seperti yang mengeluarkan rekaman CD impor, tetapi
perusahaan rekaman tersebut ada di negara dimana CD lokal itu akan
dipasarkan. Kekurangan CD lokal meskipun harganya jauh lebih murah dari
CD impor adalah kualitasnya yang kurang bagus, selain itu prestigenya pun
kurang apabila kita membeli CD local.
Kelebihan lainnya, lagu-lagu yang terdapat dalam CD dapat dipindahkan
ke komputer dengan cara di rip yang nantinya dapat dengan mudah kita
pindahkan lagi ke alat-alat pemutar musik portable seperti iPod. Ada lagi yang
dapat dengan mudah langsung dipindahkan ke komputer tanpa perlu me-rip
-nya, yaitu MP3. MP3 pada umumnya berprinsip sama seperti CD, namun