PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS INFORMASI YANG TIDAK BENAR MENGENAI UNDIAN BERHADIAH PADA KEGIATAN PERBANKAN (Studi Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan
Banten Cabang Medan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
LIDYA Y S PINEM NIM : 110200437
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS INFORMASI YANG TIDAK BENAR MENGENAI UNDIAN BERHADIAH PADA KEGIATAN PERBANKAN (Studi Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan
Banten Cabang Medan) SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
LIDYA Y S PINEM NIM : 110200437
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Dr.Hasim Purba,S.H,M.Hum 196603031985081004
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. OK Saidin, S.H,.M.Hum Dr.Dedi Harianto, S.H,.M.Hum NIP. 196202131990031002 NIP. 196908201995121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan dan penulisan skripsi ini yang berjudul “Perlindungan Konsumen Atas Informasi Yang Tidak Benar Mengenai Undian Berhadiah Pada Kegiatan
Perbankan”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dari penyelenggaraan undian
berhadiah oleh bank yang dapat dilihat dari berbagai peraturan
perundang-undangan, diantaranya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian, dan Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia No. 13/HUK/2005 tentang Izin Undian.
Kemudian dibahas mengenai pengawasan dari pihak bank selaku penyelenggara
undian berhadiah, pengawasan pemerintah, lembaga perlindungan swadaya
konsumen, serta peran notaris dalam penarikan undian berhadiah. Skripsi ini juga
membahas mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap tayangan iklan
promosi di media massa.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Hal
ini tidak terlepas dari keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam meyelesaikan skripsi ini
tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M sebagai Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr.O.K.Saidin, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya dalam proses
penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang
telah banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya dalam
proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Ketua Jurusan Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum sebagai Penasehat Akademik
saya selama saya berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Kedua orang tua: Drs. Pengadun Pinem dan Erna Ginting, SPd, orangtua
yang selalu memberikan motivasi yang membuat saya bangkit dari segala
serta untuk adik-adik saya Laura Meinina Sari Pinem, Dina Emma Safira
Pinem, Selvi Septiara Sari Pinem, dan Andre Nisuranta Natanel Pinem.
11. Buat seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
13. Bapak M. Budi Hardana sebagai Manager Operasional Bank Pembangunan
Daerah Jawa Barat dan Banten Cabang Medan.
14. Bapak Kawalta Ginting sebagai Kepala Seksi Pembinaan Sumbangan Sosial
di Dinas Kesejahteraan dan Sosial Kota Medan.
15. Bapak Abu Bakar Shidiq sebagai Ketua Lembaga Konsumen Indonesia Kota
Medan.
16. Bapak Hasrul Harahap di Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat Kota Medan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, Juli 2015
ABSTRAK
Lidya Y S Pinem*) O.K.Saidin **) Dedi Harianto ***)
Program bagi-bagi hadiah untuk menarik minat masyarakat menjadi pilihan utama bagi pelaku usaha dalam strategi promosinya. Hal-hal yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah undian berhadiah bagi konsumen, misalnya adanya pihak ketiga atau orang yang tidak bertanggungjawab memberikan suatu informasi yang tidak benar sehingga konsumen akan dirugikan. Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan penyelenggaraan undian berhadiah yang dilaksanakan oleh pihak bank, bagaimana bentuk-bentuk penyampaian informasi yang dilakukan pihak bank dalam penyelenggaraan undian berhadiah, serta bagaimana peran bank selaku penyelenggara undian berhadiah dan instansi pemerintah yang terkait dalam memberikan perlindungan bagi konsumen mengenai penyelenggaraan undian berhadiah.
Untuk menjawab permasalahan dalam rangka penulisan skripsi ini, maka digunakan metode yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat dengan menggunakan metode pendekatan secara deskriptif analitis. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier, serta melaksanakan wawancara terstruktur dengan mempergunakan pedoman wawancara.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan undian berhadiah diatur dalam undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian, dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 14/HUK/2006 tentang Izin Undian. Banyak penyelenggaraan undian yang dilaksanakan tanpa informasi yang jelas. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk. Sehubungan dengan skripsi ini ada beberapa hal yang dijadikan saran yaitu diperlukan pembaharuan undang-undang mengingat perkembangan undian saat ini menjadi trend/kebiasaan didunia perbankan maupun masyarakat luas dan menghindari praktek undian yang menuju kearah penipuan maupun perjudian. Pihak penyelenggara undian dan pemerintah sebaiknya bekerja sama dalam hal menyerukan perihal perlunya peningkatan partisipasi dan kewaspadaan warga masyarakat agar lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya penipuan dengan memanfaatkan undian berhadiah.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penulisan ... 11
D. Manfaat Penulisan ... 11
E. Metode Penelitian ... 12
F. Keaslian Penulisan ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN ... 19
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen ... 19
1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen ... 19
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 24
3. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha ... 26
4. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 35
5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 39
B. Penyampaian Informasi kepada Konsumen Melalui Iklan .. 60
1. Pengertian Iklan ... 60
2. Tujuan, Prinsip, serta Fungsi Iklan ... 62
3. Media Periklanan dan Pengaturan serta Perlindungannya ... 67
4. Bentuk-bentuk Pelanggaran Tayangan Iklan ... 72
BAB III PENYELENGGARAAN UNDIAN BERHADIAH PADA BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA BARAT DAN BANTEN (Bank bjb) ... 77
A. Kegiatan Perbankan ... 77
1. Pengertian Perbankan ... 77
2. Jenis dan Usaha Bank ... 79
3. Kegiatan Bank Umum ... 85
4. Aspek Penilaian Kesehatan Suatu Bank ... 87
1. Sejarah Singkat Bank bjb ... 90
2. Nilai-nilai Perusahaan ... 92
3. Struktur Organisasi Perusahaan ... 95
C. Penyelenggaraan Undian Berhadiah Pada Bank ... 98
1. Pengertian dan Dasar Hukum Undian Berhadiah ... 98
2. Tata Cara Pengajuan Permohonan Izin Penyelenggaraan Undian Berhadiah ... 101
3. Syarat-syarat Permohonan Izin Undian Berhadiah ... 103
4. Bentuk-Bentuk Undian Berhadiah ... 107
BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS INFORMASI YANG TIDAK BENAR MENGENAI UNDIAN BERHADIAH PADA KEGIATAN PERBANKAN ... 111
A. Pengaturan Penyelenggaraan Undian Berhadiah yang Dilaksanakan Oleh Pihak Bank ... 111
1. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 111
2. Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian .... 115
3. Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Undian ... 119
4. Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1973 tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian ... 121
5. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 14/HUK/2006 tentang Izin Undian ... 123
6. Standart Operating Prosedure (SOP) Bank bjb ... 126
B. Bentuk-Bentuk Penyampaian Informasi yang Dilakukan Pihak Bank dalam Penyelenggaraan Undiah Berhadiah ... 130
1. Iklan Promosi Program Undian Berhadiah ... 130
2. Bentuk-bentuk Pelanggaran Penyelenggaraan Undian Berhadiah ... 133
C. Peran Bank Selaku Penyelenggara Undian Berhadiah dan Instansi Pemerintah yang Terkait dalam Memberikan Perlindungan Bagi Konsumen Mengenai Penyelenggaraan Undian Berhadiah ... 136
1. Pengawasan Oleh Pihak Bank ... 136
2. Peran Notaris dalam Penarikan Undian Berhadiah ... 138
3. Peranan Menteri Sosial Republik Indonesia dan Dinas Kesejateraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara ... 141
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ... 150 B. Saran ... 154
ABSTRAK
Lidya Y S Pinem*) O.K.Saidin **) Dedi Harianto ***)
Program bagi-bagi hadiah untuk menarik minat masyarakat menjadi pilihan utama bagi pelaku usaha dalam strategi promosinya. Hal-hal yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah undian berhadiah bagi konsumen, misalnya adanya pihak ketiga atau orang yang tidak bertanggungjawab memberikan suatu informasi yang tidak benar sehingga konsumen akan dirugikan. Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan penyelenggaraan undian berhadiah yang dilaksanakan oleh pihak bank, bagaimana bentuk-bentuk penyampaian informasi yang dilakukan pihak bank dalam penyelenggaraan undian berhadiah, serta bagaimana peran bank selaku penyelenggara undian berhadiah dan instansi pemerintah yang terkait dalam memberikan perlindungan bagi konsumen mengenai penyelenggaraan undian berhadiah.
Untuk menjawab permasalahan dalam rangka penulisan skripsi ini, maka digunakan metode yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat dengan menggunakan metode pendekatan secara deskriptif analitis. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier, serta melaksanakan wawancara terstruktur dengan mempergunakan pedoman wawancara.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan undian berhadiah diatur dalam undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian, dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 14/HUK/2006 tentang Izin Undian. Banyak penyelenggaraan undian yang dilaksanakan tanpa informasi yang jelas. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk. Sehubungan dengan skripsi ini ada beberapa hal yang dijadikan saran yaitu diperlukan pembaharuan undang-undang mengingat perkembangan undian saat ini menjadi trend/kebiasaan didunia perbankan maupun masyarakat luas dan menghindari praktek undian yang menuju kearah penipuan maupun perjudian. Pihak penyelenggara undian dan pemerintah sebaiknya bekerja sama dalam hal menyerukan perihal perlunya peningkatan partisipasi dan kewaspadaan warga masyarakat agar lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya penipuan dengan memanfaatkan undian berhadiah.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan Konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus
dilakukan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam hal
semakin berkembangnya transaksi perdagangan pada zaman modern saat ini. Hal
ini dapat dilihat dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena
tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip
ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin
dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.1
Lemahnya keadaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas
sangat merugikan kepentingan masyarakat. Faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih
rendah. Hal ini terutama disebabkan rendahnya pendidikan konsumen yang tidak
1
hanya diperoleh melalui jenjang pendidikan formal tetapi dapat melalui kegiatan
swadaya masyarakat maupun media massa.
Perlindungan bagi kalangan pelaku usaha adalah untuk kepentingan
komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana
mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana
memproduksinya, mengangkutnya dan memasarkannya, termasuk didalamnya
bagaimana menghadapi persaingan usaha. Kepentingan non-komersial bagi
konsumen yang harus diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan
persaingan dikalangan pelaku usaha terhadap jiwa, tubuh atau harta benda
mereka. Dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus dijaga keseimbangan,
keselarasan, dan keserasian diantara keduanya.2
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan
mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional
termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap
konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara
Pancasila dan konstitusi negara Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.3
Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta
peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa
dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi
2
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2001), hlm 35.
3
berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik. Tujuan
penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan konsumen yang
direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen serta
secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan
usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Langkah-langkah untuk
meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya
untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai
landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.
Salah satu hak-hak pokok konsumen tersebut yaitu hak untuk
mendapatkan informasi. Pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukanlah
tugas dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga tugas dari konsumen untuk
mencapai apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat
dipergunakan untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan
maupun pemakaian barang dan/atau jasa tertentu.4
Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau
jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh
masyarakat konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar
konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama
besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan
konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk
yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku
usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak
4
konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas
informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.5
Banyak sarana yang dapat digunakan oleh pelaku usaha dalam
memperkenalkan produknya kepada konsumen. Dari sekian sarana yang ada
akhirnya pelaku usaha memilih iklan sebagai sumber informasi dan sarana
pemasaran produk barang dan jasa. Berbekal informasi iklan konsumen dapat
menentukan pilihannya terhadap suatu produk dan berlanjut pada tahap transaksi.
Ketepatan konsumen dalam menentukan pilihan sangat bergantung kepada
keakuratan dan kejujuran informasi yang disampaikan pelaku usaha melalui iklan.
Apabila informasi yang tidak akurat dan/atau tidak jujur, maka akan berakibat
konsumen akan salah dalam menjatuhkan pilihan serta dapat pula mengalami
kerugian.6 Namun, banyak iklan yang tidak mengindahkan norma-norma yang
ada, menjanjikan manfaat tertentu, informasi yang tidak jelas, bahkan mengarah
pada unsur penipuan.
Bagi sebagian besar pelaku usaha, iklan cenderung dianggap sebagai
media promosi untuk meningkatkan penjualan serta melebih-lebihkan kemampuan
dan kemanfaatan produk yang diiklankan. Dalam proses komunikasi, iklan
menyampaikan sebuah pesan, sehingga menimbulkan kesan bahwa periklanan
bermaksud memberi informasi yang tujuan terpentingnya adalah memperkenalkan
sebuah produk atau jasa. Permasalahan muncul apabila hal-hal yang diiklankan
5
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm 26.
6
bertentangan dengan asas-asas umum kode etik periklanan.7 Minimnya pengaduan
konsumen berkaitan dengan penyesatan informasi melalui iklan dapat disebabkan
belum terdapatnya sikap kritis konsumen dalam mencermati berbagai bentuk
pelanggaran konsumen.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Salah satu cara yang dilakukan
pelaku usaha yaitu dengan penyelenggaraan undian berhadiah. Undian berhadiah
ini umumnya dibuat oleh bank, perusahaan makanan atau produk jual lainnya,
media televisi maupun cetak, atau pusat-pusat perbelanjaan. Undian merupakan
cara pemenangan dengan faktor keberuntungan, sehingga peluang seseorang
menjadi pemenang undian adalah sangat kecil. Undian berhadiah biasanya
diadakan bertujuan untuk mengumpulkan dana atau propaganda peningkatan
pemasaran barang dagangan. Program bagi-bagi hadiah untuk menarik minat
masyarakat menjadi pilihan utama bagi pelaku usaha dalam strategi promosinya.
Setiap penyelenggaraan undian gratis berhadiah harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari Departemen Sosial (Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Sosial
Republik Indonesia No. 13/HUK/2005 tentang Izin Undian jo. Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 48 Tahun 1973 tentang Penertiban
Penyelenggaraan Undian jo. Pasal 1 Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang
Undian). Namun, bagi penyelenggaraan undian yang hanya dilakukan dalam
lingkungan terbatas untuk para anggotanya dan tidak ada unsur jual-beli atau
7
promosi, dapat dilakukan tanpa izin dari Menteri Sosial (Pasal 5 Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia No. 13/HUK/2005 tentang Izin Undian).
Pelaksanaan penarikan undian berhadiah harus disaksikan dan dihadiri
oleh notaris sebagai pejabat yang berwenang. Hal tersebut berdasarkan Pasal 18
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 13/HUK/2005 tentang Izin
Undian. Dalam hal ini, notaris menyaksikan dan mengikuti proses pelaksanaan
penarikan undian berhadiah dari awal sampai akhir serta membuat akta berita
acara mengenai pelaksanaan penarikan undian berhadiah.8
Pelaksanaan undian berhadiah ini bertujuan agar dapat bertahan di tengah
ketat dan kerasnya persaingan bisnis di tanah air dan menjaring lebih banyak
konsumen/nasabah baru, serta menjaga loyalitas konsumen/nasabah lama.
Hadiah-hadiah yang ditawarkan bagi para pemenang undiah berHadiah-hadiah beraneka ragam,
seperti sepeda motor, mobil, telepon genggam, liburan ke luar negeri, deposito
bernilai ratusan juta rupiah, hingga penawaran paket umroh maupun naik haji bagi
pemenangnya. Besaran nilai undian berhadiah tersebut membawa kegembiraan
bagi para pemenangnya.
Undian berhadiah umumnya diselenggarakan oleh bank sebagai salah
satu unsur pendorong peningkatan efisiensi. Bank membuat suatu program seperti
mengadakan undian berhadiah dengan mengeluarkan biaya besar agar nasabah
tertarik. Jika tidak mengadakan program tersebut bank kesulitan untuk menarik
dana pada nasabah. Bank tidak akan rugi membiayai hadiah yang besar selama
8 “Undian Berhadiah”,
nasabah yang dimiliki terus bertambah banyak. Semakin banyak undian yang
ditawarkan bank semakin banyak pula nasabah yang didapatkan. Undian
berhadiah ini sangat potensial dan akan terus dijalankan bank untuk meningkatkan
financial bank.
Seperti halnya pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten
(Bank bjb) menyerahkan Hadiah Grand Prize Toyota Alphard dalam program
Petik Hadiah bank bjb tahun 2013 kepada dr. Hj Tri Ayu Lestari. Penyerahan
hadiah Grand Prize Toyota Alphard diserahkan secara simbolis oleh Pimpinan
Bank bjb Cabang Majalengka yaitu Kesuma Adhi pada 13 Desember 2013 di
Jakarta. Sebelumnya, Bank bjb Cabang Majalengka telah menyerahkan hadiah
mobil Toyota Yaris kepada Yaya Supriadi, warga Desa Banjaransari Rt 01/09
Kecamatan Cikijing dan 8 unit Motor Honda Vario kepada para nasabah yang
beruntung meraih hadiah dalam program Petik Hadiah bjb Cabang Majalengka.
Kesuma Adhi menyampaikan selamat kepada para pemenang Undian Petik Bank
bjb dan menyampaikan terima kasih kepada para nasabah yang telah memberikan
kepercayaan kepada Bank bjb. Selanjutnya Kesuma Adhi mengharapkan agar
nasabah yang belum beruntung meraih hadiah untuk tidak kecil hati karena
Undian Petik Hadih kembali akan diberikan bagi para nasabah. 9
Hal-hal yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah undian
berhadiah bagi konsumen, misalnya adanya pihak ketiga atau orang yang tidak
bertanggungjawab memberikan suatu informasi yang tidak benar sehingga
konsumen akan dirugikan. Penyebab lainnya seperti keadaan bank yang kurang
9
sehat untuk menarik nasabah baru atau adanya konsumen yang lebih
mengutamakan untuk memperoleh hadiah sebagaimana dijanjikan melalui iklan
daripada mengutamakan manfaat membeli produk yang sebenarnya.10 Pelaku
usaha tidak kurang akal untuk memanfaatkan keluguan konsumen dengan alasan
stok hadiah terbatas, masa pengambilan hadiah sudah terlewati atau menukar
hadiah yang dijanjikan dengan hadiah lain dengan harga yang lebih murah.
Fenomena pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh pihak bank yaitu
terdapat kecurangan pada saat penyelenggaraan undian berhadiah. Pada tahun
1900-an, saya terpilih menjadi salah satu pemenang undian berhadiah di suatu
bank dengan mendapatkan sebuah sepeda motor. Saat penyerahan hadiah, saya
bertanya siapa yang beruntung menjadi pemenang utama yang mendapat hadiah
sebuah mobil dalam penyelenggaraan undian tersebut. Jawabannya cukup
membuat saya terkejut karena ternyata pemenang utama beruntung mendapatkan
kedudukan jabatan pada bank yang menyelenggarakan undian. Pernyataan itu
disebutkan oleh salah satu “orang dalam” pada bank yang menyelenggarakan
undian tersebut. Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, saya mulai menyadari bahwa cukup banyak kecurangan yang
dilakukan oleh perusahaan publik.11
10
Dedi Harianto, Op. Cit. hlm 60. 11
“Curangnya Perusahaan Penyelenggara Undian Berhadiah”,
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/07/17/curangnya-perusahaan-yang penyelenggara-undian-berhadiah--577442.html, diakses tanggal 8 February 2015, pukul 23.00.
Memilih bank sebaiknya tidak didasarkan pada tampak lahiriahnya saja
seperti penyelenggaraan undian hadiah, promosi yang gencar, atau suku bunga
yang tinggi. Meskipun menarik, namun dapat dilihat pada sejumlah bank yang
telah ditutup karena kondisinya yang tidak sehat. Lebih baik memilih bank
berdasarkan pertimbangan rasional adalah lebih bijak dibandingkan dengan hanya
sekedar memperhatikan tampilannya yang tampak gebyar tapi ternyata tidak
sehat.
Menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian
ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat,
cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Bank Indonesia sebagai pengawas dan
pembina bank dapat memberikan arahan atau petunjuk bagaimana bank tersebut
harus dijalankan atau dihentikan kegiatan operasinya.
Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh
pemerintah melalui Bank Indonesia. Penilaian kesehatan bank dilakukan setiap
periode. Bagi bank yang menurut penilaian sehat atau kesehatannya terus
meningkat tidak jadi masalah karena itulah yang diharapkan supaya tetap
dipertahankan. Namun, bagi bank yang terus-menerus tidak sehat, maka harus
mendapat pengarahan atau bahkan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penyelenggaran undian gratis berhadiah terus dilakukan perbaikan, agar
dana yang terhimpun bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dengan
menyerahkan pengelolaannya kepada Menteri Sosial. Menteri Sosial secara penuh
mendukung dan berupaya seoptimal mungkin untuk menjawab berbagai persoalan
berhadiah dan memperkuat regulasi penyelenggaraan promosi undian gratis
berhadiah yang akan menjadi pedoman bagi para pihak terkait.
Bagi para konsumen juga harus memperhatikan mengenai informasi
terhadap pengumuman undian berhadiah tersebut. Hal ini disebabkan karena
dengan semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
konsumen harus berhati-hati dengan informasi yang tidak benar. Undang-undang
mengenakan sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak memberikan informasi
yang benar, akurat, relevan, dapat dipercaya maupun yang menyesatkan
konsumen.
Sesuai dengan latar belakang permasalahan seperti diuraikan diatas maka
penelitian ini mengambil judul: “Perlindungan Konsumen Atas Informasi Yang
Tidak Benar Mengenai Undian Berhadiah Pada Kegiatan Perbankan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan penyelenggaraan undiah berhadiah yang
dilaksanakan oleh pihak bank?
2. Bagaimana bentuk-bentuk penyampaian informasi yang dilakukan pihak
bank dalam penyelenggaraan undian berhadiah?
3. Bagaimana peran bank selaku penyelenggara undian berhadiah dan
instansi pemerintah yang terkait dalam memberikan perlindungan bagi
C. Tujuan Penulisan
Jika membahas mengenai suatu hal yang berkaitan dengan penulisan
karya ilmiah skripsi, harus ada tujuan yang jelas dengan maksud mengarahkan
pembahasan sesuai pada sasaran sehingga tidak terjadi penyimpangan dari judul
serta pembahasan yang telah dikemukakan. Tujuan penulisan dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan penyelenggaraan undiah berhadiah yang
dilaksanakan oleh pihak bank.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyampaian informasi yang dilakukan
pihak bank dalam penyelenggaraan undian berhadiah.
3. Untuk mengetahui peran bank selaku penyelenggara undian berhadiah
dan instansi pemerintah yang terkait dalam memberikan perlindungan
bagi konsumen mengenai pengumuman undian berhadiah.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Secara Teoretis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
bidang ilmu pengetahuan, masukan atau tambahan dokumentasi karya tulis dalam
bidang hukum perdata pada umumnya. Selain itu, skripsi ini diharapkan dapat
berkaitan dengan penyelenggaraan undian berhadiah dalam kegiatan perbankan,
serta dapat menjadi bahan sebagai dasar penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis
Pembahasan terhadap permasalahan dalam skripsi ini dapat memberikan
gambaran kepada masyarakat selaku konsumen dalam membela hak-haknya yang
berkaitan dengan penyelenggaraan undian berhadiah yang dilaksanakan oleh
pihak bank. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi bahan masukan bagi pihak
bank yang terkait, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan khususnya
pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat selaku
konsumen dalam menegakkan haknya mengenai suatu informasi undian
berhadiah.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini agar
lebih terarah dan sistematis serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
yaitu sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan
pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
masyarakat. 12 Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yaitu
menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat mengenai suatu kasus
yang diteliti.13
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan
perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa serta data yang terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan secara yuridis dan mengikat yang terdiri dari kaidah dasar,
peraturan dasar, perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasi, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman
penjajahan yang sampai saat ini masih berlaku14, sedangkan yang menjadi
bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 22 Tahun 1954
tentang Undian, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.
14/HUK/2006 tentang Izin Undian, dan lain sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti : pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet
12
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm 105. 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) 2005), hlm 252.
14
dan jurnal, serta hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus
bahasa, kamus hukum dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi
maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel yang diambil dari media cetak
maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah termasuk Peraturan
Perundang-undangan, serta penelitian lapangan (field research) yang dilakukan
melalui wawancara dengan informan Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan
Banten (Bank bjb) Cabang Medan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) Kota Medan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) Kota Medan, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Kota Medan.
4. Analisa Data
Analisa data dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif yaitu
dengan memahami manusia dari sudut pandang orang yang bersangkutan itu
sendiri, berguna untuk memahami dan mengerti gejala yang diteliti.15 Penulisan
15
skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis
hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet, kamus dan lain-lain yang
berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab
permasalahan yang dihadapi.
5. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam skripsi akan ditarik dengan metode deduktif yaitu
cara penarikan kesimpulan yang dilakukan akan dibahas terlebih dahulu tentang
data secara umum yang sudah diketahui, diyakini, dan dikumpulkan secara
lengkap. Kemudian, melalui data atau gejala umum ini dibandingkan serta
dianalisis dengan data-data atau gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan yang
bersifat khusus.16 Dengan demikian, kesimpulan dapat berupa apakah data atau
gejala di lapangan sesuai atau tidak dengan data yang bersifat umum yang
diyakini tersebut.
F. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi berjudul “Perlindungan Konsumen Atas Informasi
Yang Tidak Benar Mengenai Undian Berhadiah Pada Kegiatan Perbankan (Studi
Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank bjb) Cabang
Medan)” merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum dan didasarkan kepada ide pemikiran secara pribadi serta
terlepas dari segala bentuk peniruan (plagiat).
16
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan,
khususnya pada lingkungan Universitas Sumatera Medan jurusan Perdata BW,
penulisan skripsi dengan judul yang telah disebutkan diatas belum pernah
dilakukan dengan pendekatan yang sama. Namun terdapat beberapa skripsi yang
telah mengulas masalah hak-hak konsumen yang sama, misalnya:
1. Masintan Tarigan, 900200167, Tinjauan Yuridis Atas Hak-hak dan
Kewajiban Konsumen sebagai Pengguna Jasa Kelistrikan PLN (Studi
Pada PT PLN (Persero) Cabang Medan),
2. Muhammad Yunus, 000221026, Hak Untuk Mendapatkan Informasi
yang Benar Bagi Konsumen (Analisis Yuridis Tentang Iklan yang
Berlebihan pada Media Televisi),
3. Doni Amri Hasoloan Tambunan, 010222060, Perlindungan
Konsumen Perusahaan Listrik Negara Dalam Memperoleh Hak
Informasi (Studi di Perusahaan Listrik Negara Cabang Binjai),
4. Lailan Hafni Harahap, 090200127, Perlindungan Konsumen
Terhadap Hak-hak Konsumen Listrik Atas Pemadaman Listrik oleh
Perusahaan Listrik Negara (Studi Pada PT.PLN (Persero) Cabang
Lubuk Pakam).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan hal yang sangat diperlukan dalam
penulisan sebuah skripsi. Hal ini dilakukan demi memudahkan dalam melakukan
Skripsi berjudul Perlindungan Konsumen Atas Informasi Yang Tidak Benar
Mengenai Undian Berhadiah Pada Kegiatan Perbankan ini disusun dalam lima
bab yang kemudian terbagi lagi kepada beberapa sub bab. Keseluruhan bab ini
merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan satu sama lain sehingga pada
akhirnya membentuk suatu sistem. Kelima bab tersebut adalah:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini dibahas secara ringkas mengenai Latar
Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Metode Penelitian, dan ditutup dengan memberikan Sistematika
Penulisan.
Bab II merupakan bab yang membahas Tinjauan Umum tentang
Perlindungan Konsumen dan Penyampaian Informasi Kepada Konsumen Melalui
Iklan yang didalamnya diuraikan mengenai Beberapa Peristilahan dalam Hukum
Perlindungan Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Hak dan
Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha, Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan
Konsumen, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pengertian Iklan,
Tujuan, Prinsip, serta Fungsi Iklan, Media Periklanan, dan Bentuk-bentuk
Pelanggaran Tayangan Iklan
Bab III merupakan bab yang membahas tentang Penyelenggaraan Undian
Berhadiah Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank bjb)
yang didalamnya diuraikan mengenai Pengertian Perbankan, Jenis dan Usaha
Bank, Kegiatan Bank Umum, Aspek Penilaian Kondisi Suatu Bank, Profil Bank
Undian, Syarat-syarat Permohonan Izin Undian Berhadiah serta Bentuk-bentuk
Undian.
Bab IV merupakan bab yang membahas tentang Perlindungan Konsumen
Atas Informasi yang Tidak Benar Mengenai Undian Berhadiah pada Kegiatan
Perbankan yang didalamnya diuraikan mengenai Pengaturan Penyelenggaraan
Undian Berhadiah yang dilaksanakan oleh pihak bank, Iklan Promosi Program
Undian Berhadiah, Bentuk-bentuk Pelanggaran Penyelenggaraan Undian
Berhadiah, dan Pengawasan Pihak Bank Mengenai Penyelenggaraan Undian
Berhadiah serta Peran Instansi Pemerintah dalam Memberikan Perlindungan
Mengenai Undian Berhadiah.
Bab V merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran hasil pemecahan untuk
masalah peneliti. Kesimpulan diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara
keseluruhan dari bab-bab terdahulu, sedangkan saran yang digunakan untuk
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI
IKLAN
H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen
1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menegaskan bahwa “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum itu meliputi
segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh
atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku
pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen
yaitu dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandiriannya
melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan,
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. 17
Peranan undang-undang perlindungan konsumen diperlukan karena
lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha. Tujuan hukum
perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan
kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga mendorong pelaku
17
usaha untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun, semua
tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat
diterapkan secara konsekuen.
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, dipergunakan berbagai istilah
yang dapat memberi makna berbeda-beda sehingga membawa akibat hukum yang
berbeda pula. Pentingnya mengemukakan berbagai istilah dalam hukum
perlindungan konsumen karena dengan pengertian istilah ini sangat menentukan
tanggung gugat pelaku usaha. Disamping itu, juga dikemukakan tentang
hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen karena dapat menuntut
ganti kerugian kepada pelaku usaha dengan mengetahui hubungan hukum antara
keduanya serta menentukan alasan penuntutan jika konsumen dirugikan akibat
penggunaan suatu produk.18
Secara harfiah konsumen adalah “orang yang memerlukan,
membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau yang membutuhkan. Adapun
istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa
Belanda yaitu consument”.19
Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, istilah konsumen
sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 UUPK yang
menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Kepentingan
18
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm 16.
19
konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa adalah agar
barang/jasa konsumen yang mereka peroleh bermanfaat bagi
kesehatan/keselamatan tubuh, keamaan jiwa dan harta benda, diri, keluarga
dan/atau rumah tangganya.
Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut konsumen berarti
setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah orang
sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim
disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechts person).
Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah “orang alami bukan
badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan
barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau
manusia”.20
Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan yang lain tidak
sama. Sebagai contoh, di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu
(orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir.
Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat
bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga pemakai, bahkan korban yang bukan
pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pembeli. Sedangkan di
Eropa, pengertian konsumen bersumber dari product liability directive
(selanjutnya disebut directive) sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan hukum perlindungan konsumen.
20
Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak
yang menderita kerugian karena kematian/cidera atau kerugian berupa kerusakan
benda selain produk yang cacat. 21
Berbeda pula dengan kelompok masyarakat pelaku usaha. Kepentingan
mereka dalam penggunaan suatu produk adalah untuk membuat produk lain atau
memperdagangkannya, baik berupa barang atau jasa yang merupakan bidang
usaha atau profesi mereka (bisnis). Perlindungan yang diperlukan oleh pihak
pelaku usaha agar dalam menjalankan bisnis dapat bersaing secara wajar, jujur
serta terhindar dari praktek bisnis yang menghambat usaha mereka.
Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.
Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha
memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk
kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas,
tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara
atau pengusaha.22
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak
menggunakan istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha.
Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan bahwa
“ pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
21
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung : Nusa Media, 2008), hlm 9.
22
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena
meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian
pelaku usaha dalam UUPK memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha
dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi
sebagai pelaku usaha adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil
bahan baku; pembuat suku cadang (setiap orang yang menampakkan dirinya
sebagai pelaku usaha dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal
tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk
tertentu); importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan,
disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi
perdagangan.23
Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan
konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan.
Hubungan tersebut terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai
tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain. Pelaku
usaha sangat membutuhkan dan bergantung pada dukungan konsumen sebagai
pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat
terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan konsumen
sangat tergantung pada hasil produksi pelaku usaha.24 Saling ketergantungan
karena kebutuhan tersebut dapat saling menciptakan hubungan yang terus
23
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 8.
24
menerus dan berkesinambungan, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan
kebutuhannya yang tidak terputus. Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen
yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi di pemasaran dan
penawaran. Pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut
menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang telah diyakini dapat memberikan arahan dalam
implementasinya ditingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa “perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum”.
Penjelasan Pasal 2 UUPK menguraikan perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan
dalam pembangunan nasional yaitu :25
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
25
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:
a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; c. Asas kepastian hukum.
Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang
dikelompokkan kedalam asas manfaat karena merupakan bagian dari manfaat
penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping
kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keseimbangan yang
dikelompokkan kedalam asas keadilan adalah keadilan bagi kepentingan
masing-masing pihak yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Keseimbangan
perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari
adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para
pihak.26
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu:
26
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 UUPK ini merupakan misi pembangunan nasional sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya karena tujuan perlindungan konsumen
merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di
bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan
konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan kedalam tiga tujuan hukum
secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam
rumusan huruf c dan e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat
terlihat dalam rumusan huruf a, b, dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan
untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.27
3. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak hanya
mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun dapat dilihat bahwa
27
hak yang diberikan kepada konsumen (Pasal 4 UUPK) lebih banyak dibandingkan
dengan hak pelaku usaha (Pasal 6 UUPK), dan kewajiban pelaku usaha (Pasal 7
UUPK) lebih banyak dari kewajiban konsumen (Pasal 5 UUPK).
Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan
oleh Presiden Amerika Serikat yaitu John F.Kennedy, yang disampaikan dalam
Kongres Gabungan Negara-negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak
konsumen itu meliputi: 28
a. Hak untuk memperoleh keamanan; b. Hak memilih;
c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar.
Kemudian, pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh
John F.Kennedy, dimasukkan dalam program konsumen European Economic
Community (EEC) yang meliputi :29
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi; c. Hak untuk memperoleh ganti rugi; d. Hak atas penerangan;
e. Hak untuk didengar.
Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus
memenuhi 3 (tiga) syarat yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia,
diakui oleh masyarakat, serta dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.30 Jika
tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak konsumen itu bukanlah hak
yang sempurna, tetapi merupakan hak yang semu. Ketiga persyaratan ini
28
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hlm 58.
29
Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm 49. 30
umumnya telah dipenuhi oleh negara-negara yang menganut Common Law dan
Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Continental yang
menganut sistem hukum Code Civil, khususnya Belanda, karena adanya kaidah
hukum perlindungan konsumen dapat menjamin anggota masyarakat dengan
adanya kesadaran hukum.31
Permasalahan yang dihadapi konsumen di negara Indonesia, dialami
juga oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar
bagaimana memilih barang, tetapi menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik
itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya
perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai
hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman
dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang sesuai.
Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dalam Pasal 4, menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen yaitu :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
31
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen tersebut, terlihat bahwa kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan
utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya
tidak memberikan kenyamanan atau membahayakan keselamatan konsumen jelas
tidak layak diedarkan dalam masyarakat. Untuk menjamin bahwa suatu barang
dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak
membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk
memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan
informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang
merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,
perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.32
Dalam kaitannya dengan hak konsumen atas informasi yang jujur dan
benar, memberi informasi yang benar mengenai produk akan membantu
konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab dalam
memenuhi kebutuhannya. Melalui informasi yang benar dan lengkap maka
konsumen dapat menentukan atau memilih produk untuk kebutuhannya.
Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang
keliru atas produk yang dikonsumsi. Informasi ini dapat disampaikan dengan
berbagai cara, seperti menginformasikan secara lisan kepada konsumen melalui
32
iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk (komposisi,
cara pemakaian, selain batas waktu kadaluwarsa).33
Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang dapat
bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya adalah jika
ditemukan tindakan yang tidak adil terhadap diri konsumen, maka konsumen
dapat bertindak dengan memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain,
konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya
telah dilanggar oleh pelaku usaha.34
Sebagai konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus
diperhatikan. Dalam Pasal 5 UUPK dinyatakan kewajiban konsumen sebagai
berikut :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Beberapa kewajiban ini juga diperuntukkan sebagai balance dari hak-hak
yang telah diperoleh konsumen. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat
memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum
bagi dirinya. Adapun sejumlah kewajiban tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :35
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri. Konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan
33
Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm 103. 34
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2008), hlm 22.
35
barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya. Dengan pengaturan kewajiban ini, pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa sangat
diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan;
c. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha merupakan suatu hal yang sudah biasa dan semestinya demikian;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika terdapat keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan dengan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku.
Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari
hak dan kewajiban pelaku usaha. Adanya hak dan kewajiban tersebut
dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi para pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, para pelaku usaha
diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK, yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Hak-hak lain pelaku usaha juga dapat ditemukan antara lain pada
faktor-faktor yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk
yaitu apabila produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan, cacat timbul di
kemudian hari, cacat timbul setelah produk berada diluar kontrol pelaku usaha,
barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi, cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.36
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa
pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa
yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang
berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang
biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada
barang yang serupa maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.
Menyangkut hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d
sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak yang berhubungan dengan
pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) / pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui
hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan
kepentingan pelaku usaha. Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang
36
disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti
upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.37
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah
disebutkan, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan
tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Begitu
pentingnya beritikad baik sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua
belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan khusus yang dikuasai oleh
itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua
37
belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang
wajar dari pihak lain.
Masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban
untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak
lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh
perhatian yang cukup dalam menutupi kontrak yang berkaitan dengan itikad baik
tersebut. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sedangkan bagi
konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa. Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku
usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,
sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik
dimulai sejak barang diproduksi sampai pada tahap penjualan.38
Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang diproduksi
oleh pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen kemungkinan untuk dapat
merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku
usaha.
Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan disebabkan
38
karena informasi disamping merupakan hak konsumen juga karena ketiadaan
informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat