• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Dan Politik (Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi di Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perempuan Dan Politik (Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi di Sumatera Utara)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PEREMPUAN DAN POLITIK

(Studi Tentang Kelompok Pendukung dan Penentang

Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi di Sumatera Utara)

D

I

S

U

S

U

N

o l e h :

Nama

: Nur Heffina

Nim : 050906040

Departemen : Ilmu Politik

Dosen Pembimbing : Muryanto Amin, S.Sos, M.Si

Dosen Pembaca

: Dra. Evi Novida Ginting, M.SP

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Persoalan perempuan dan politik telah menjadi isu global di Negara-negara maju dan berkembang khususnya di Indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep demokrasi menjadi satu hal yang diidam-idamkan namun sekaligus menjadi mimpi buruk bagi mereka. Persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politik yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik, sehingga mendominasi kultur masyarakat Indonesia. Dimana gerakan feminisme pada hakikatnya merupakan proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi. Karena yang menjadi tujuan gerakan feminisme adalah menciptakan hubungan antara sesama manusia yang lebih baik dan adil. Hal ini disebabkan bahwa demokrasilah yang memungkinkan masyarakat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama dengan prinsip kesamaan dan keadilan. besarnya masalah perempuan dalam politik menjadi hal yang sangat mendasar yang perlu mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah, sama seperti masalah Undang-Undang pornografi dan pornoaksi yang tidak kunjung usai permasalahannya. Undang-Undang pornografi dan pornoaksi adalah salah satu kebijakan pemerintah yang dinilai cukup kontroversial karena banyak mendapat masalah di tengah-tengah masyarakat. Adapun pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan yang mendukung dengan diberlakukannya Undang-Undang pornografi ini dengan alasan senjata yang paling ampuh dalam memberantas pornografi adalah Undang-Undang pornografi. Namun pihak Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara menolak mentah-mentah dengan adanya Undang-Undang Pornografi ini. Mereka meminta Undang-Undang pornografi dan pornoaksi tersebut direvisi ulang dengan alasan pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Pornografi ini sangat bias gender dan bersifat multitafsir.

Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data berbentuk wawancara terhadap kelompok-kelompok yang mendukung dan menentang supaya mengetahui bagaimana tanggapan kelompok yang mendukung dan menentang Undang-Undang Pornografi tersebut.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tanggapan dari kelompok yang mendukung Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi ini untuk melindungi kaum perempuan dari tindakan kriminalitas seksual serta untuk menjaga moral warga Negara Indonesia. Sedangkan kelompok yang menentang Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi ini, menyatakan bahwa Undang-Undang ini bersifat multitafsir dan tidak ada jaminan apapun yang mampu mengurangi tingkat kriminalitas seksual di Indonesia terutama di Medan (Sumatera Utara).

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAKSI ii

DAFTAR ISI iii

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 8

D. Manfaat Penelitian 8

E. Kerangka Teori 9

E.1. Analisis Gender dan Sex 9

E.2. Gerakan Feminisme 17

E.2.1. Aliran Feminisme Liberal 21 E.2.2. Aliran Feminisme Radikal 23

F. Defenisi Konsep 25

G. Metode Penelitian 30

G.1.1. Jenis Penelitian 30 G.1.2. Lokasi Penelitian 31 G.1.3. Teknik Pengumpulan Data 31 G.1.4. Teknik Analisis Data 32 G.1.5. Sistematika Penulisan 32

BAB II : PROSES PENETAPAN UNDANG-UNDANG ANTI

PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI 34

A. Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi 34 A.1. Defenisi Pornografi dan Pornoaksi 36 B. Dinamika Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi 43

C. Aksi Dukungan dan Penolakan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi di Sumatera Utara 46

BAB III : TANGGAPAN KELOMPOKPENDUKUNG DAN

PENENTANG

UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI 51

(4)

A.1. Persepsi dari Kelompok Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan Tentang Keadian dan Kesetaraan Perempuan 52

A.2. Persepsi dariKelompok Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara Tentang

Kesetaraan dan Keadilan Perempuan 55

B. Tanggapan Kelompok Pendukung dan Penentang Tentang Isi

Pasal Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi 59

C. Tanggapan Kelompok Pendukung dan Penentang Tentang Peran Negara Dalam menangani Masalah Undang-Undang Pornografi 63 D. Prilaku Antara Kelompok Pendukung dan Penentang Undang-

Undang Pornografi dan Pornoaksi

E. Klasifikasi Kelompok Pendukung dan Penentang Undang-Undang Pornografi 74

BAB IV : PENUTUP 81

A.1. Kesimpulan 81

DAFTAR PUSTAKA

(5)

ABSTRAK

Persoalan perempuan dan politik telah menjadi isu global di Negara-negara maju dan berkembang khususnya di Indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep demokrasi menjadi satu hal yang diidam-idamkan namun sekaligus menjadi mimpi buruk bagi mereka. Persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politik yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik, sehingga mendominasi kultur masyarakat Indonesia. Dimana gerakan feminisme pada hakikatnya merupakan proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi. Karena yang menjadi tujuan gerakan feminisme adalah menciptakan hubungan antara sesama manusia yang lebih baik dan adil. Hal ini disebabkan bahwa demokrasilah yang memungkinkan masyarakat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama dengan prinsip kesamaan dan keadilan. besarnya masalah perempuan dalam politik menjadi hal yang sangat mendasar yang perlu mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah, sama seperti masalah Undang-Undang pornografi dan pornoaksi yang tidak kunjung usai permasalahannya. Undang-Undang pornografi dan pornoaksi adalah salah satu kebijakan pemerintah yang dinilai cukup kontroversial karena banyak mendapat masalah di tengah-tengah masyarakat. Adapun pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan yang mendukung dengan diberlakukannya Undang-Undang pornografi ini dengan alasan senjata yang paling ampuh dalam memberantas pornografi adalah Undang-Undang pornografi. Namun pihak Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara menolak mentah-mentah dengan adanya Undang-Undang Pornografi ini. Mereka meminta Undang-Undang pornografi dan pornoaksi tersebut direvisi ulang dengan alasan pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Pornografi ini sangat bias gender dan bersifat multitafsir.

Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data berbentuk wawancara terhadap kelompok-kelompok yang mendukung dan menentang supaya mengetahui bagaimana tanggapan kelompok yang mendukung dan menentang Undang-Undang Pornografi tersebut.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tanggapan dari kelompok yang mendukung Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi ini untuk melindungi kaum perempuan dari tindakan kriminalitas seksual serta untuk menjaga moral warga Negara Indonesia. Sedangkan kelompok yang menentang Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi ini, menyatakan bahwa Undang-Undang ini bersifat multitafsir dan tidak ada jaminan apapun yang mampu mengurangi tingkat kriminalitas seksual di Indonesia terutama di Medan (Sumatera Utara).

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan perempuan dan politik telah menjadi isu global, baik di negara maju

maupun di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Persoalan dimana bagi

perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat diidam-idamkan namun

sekaligus menjadi mimpi buruk. Demokrasi yang diwariskan oleh tradisi Yunani,

jelas tidak mengikutkan perempuan dalam politik.1

Jika dicermati, keyakinan bahwa persoalan-persoalan akan terselesaikan

manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politik yang Persoalan ini disebabkan

masyarakat yang telah dibentuk oleh budayanya masing-masing yang menekankan

bahwa kedudukan perempuan berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik

merupakan sesuatu yang berkenaan dengan kekuasaan dari sejak dahulu dalam bidang

yang selalu dikaitkan dengan dunia laki-laki yang menimbulkan suatu persepsi atau

anggapan bahwa dunia politik tidak mungkin tabu untuk dimasuki oleh perempuan.

Suatu kenyataan yang aneh bahwa, sekarang di dunia terdapat sesuatu

keyakinan dalam sistem sosial yang menyebut dirinya “demokratis” dimana banyak

Negara mengklaim bahwa basis dari pemerintahannya adalah demokrasi. G. Roskin

menyatakan dalam bukunya Political Science: an introduction menyatakan defenisi

demokrasi adalah menghargai kebebasan hak dan kewajiban warga negaranya, baik

dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, tanpa membeda-bedakan agama, ras, suku

dan jenis kelamin, tetapi dalam persoalan perempuan sebagai warga negara tidaklah

sebebas laki-laki dalam segala bidang.

1

(7)

sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik. Sehingga mendominasi

kultur masyarakat Indonesia dimana gerakan feminisme pada hakikatnya merupakan

proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi.2

Hingga saat ini belum ditemukan rumusan yang jelas mengenai apa yang

sebenarnya menjadi inti dari persoalan dari perempuan. Kemiskinan, kekerasan

(violence), ketidakadilan dan diskriminasi disebut sebagai persoalan krusial yang

dialami oleh kaum perempuan dari masa ke masa hingga muncul semacam prejudice

disebagian kalangan perempuan, bahwa perempuan pada zaman apapun memang

tidak pernah diuntungkan.

Karena, yang

menjadi tujuan gerakan feminisme adalah menciptakan hubungan antara sesama

manusia secara fundamental baru yang lebih baik dan adil, hal tersebut hanya

mungkin dapat dicapai melalui cara demokratisasi. Hal ini disebabkan bahwa

demokrasilah yang memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi

dan aksi bersama, dengan prinsip kesamaan dan keadilan. Sehingga dapat dipahami

mengapa para “pejuang perempuan” senantiasa intens terlibat dalam barisan pejuang

demokrasi. Bahkan para pejuang perempuan Indonesia memasukkan agenda

demokratisasi sebagai salah satu agenda pejuang mereka.

3

2

Michael G. Roskin, Political Science : an introduction, A. Viacom Company: Prentice Hall Upper Saddle River New Jersey, 1997, hal. 82.

3

Najwa Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, CV. Idea Pustaka Utama: Bogor, 2003, hal. 25.

Padahal dalam tatanan kehidupan umat manusia yang

didominasi laki-laki atas kaum perempuan sudah menjadi akar sejarah yang panjang,

dalam tatanan itu perempuan ditempatkan sebagai the second human being (manusia

kelas kedua) yang berada dibawah superioritas laki-laki yang membawa implikasi

(8)

untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, perempuan hanya ditempatkan di ranah

domestik saja, sedangkan laki-laki berada di ranah publik.4

Selama ini politik dan perilaku politik dipandang sebagai aktivitas maskulin

(laki-laki). Dimana pada ranah ini diperlukan suatu keberanian, kemandirian,

kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif.

5

Budaya Patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi laki-laki

berdampak negatif bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi

politik terutama untuk memegang jabatan politik. Perempuan tidak didukung, bahkan

dalam banyak hal malah dihambat untuk mengambil peran aktif di ruang publik. Karakteristik ini dianggap tidak

dimiliki oleh kaum perempuan karena adanya suatu anggapan bahwa perempuan

dalam menghadapi suatu persoalan lebih mementingkan perasaan dari pada

rasionalitasnya. Anggapan seperti ini terus berkembang di tengah-tengah kehidupan

masyarakat Indonesia, sehingga perempuan sulit sekali untuk terjun ke ranah publik

terutama terjun ke arena politik dan sudah sejak lama perempuan dikucilkan dari

arena politik. Praktek ini berkaitan dengan isu pemisahan peran perempuan sebagai

pengurus rumah tangga (sebagai istri dan ibu) dengan peran laki-laki sebagai kepala

rumah tangga dan pencari nafkah.

6

4

Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005, hal. 7.

5

Siti Musdah dn Anik Farida, op.cit., hal.1.

6

Budaya Patriarki adalah sebagai sebuah system otoritas yang berdasarkan kekuasaan laki-laki, sistem yang mengejewantah melalui institusi-istitusi sosial, politik, ekonomi, Patriarki

menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan berlanjut pada dominasi laki-laki dalam sebuah lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki didefenisikan bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat,

pemerintahan, militer, pendidikan, industri, agama dan sebagainya. Budaya patriarki adalah tatanan nilai-nilai yang dianut dan dikukuhi suatu masyarakat yang timpang, yakni berdasarkan konsep superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa disbanding perempuan.

Sebaliknya, perempuan diharapkan untuk menggunakan kemampuannya di

lingkungan rumah tangga (domestik) yang dianggap sebagai ruang privat. Bahkan

(9)

masyarakat Indonesia yang mengakibatkan perempuan harus mengatasi praktek

diskriminasi dan ”buta gender” (gender blind) dalam bidang apapun.7

”Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak: (a) untuk memilih dan dipilih; (b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan disemua tingkat; (c) untuk berprestasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintahan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara”.

Tetapi pada

saat ini, di mana zaman telah berubah hampir semua negara maju maupun

berkembang di dunia telah mulai memberikan hak-hak politik pada warga negara

perempuannya, meskipun proses pemberian hak tersebut tidak sama realisasinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa PBB juga telah berperan dalam proses perkembangan

kedudukan perempuan yaitu dengan membentuk badan The United Nations

Committee on the status of Women, di mana PBB menyarankan kepada anggotanya agar membentuk Undang-Undang yang menjamin persamaan hak perempuan dan

laki-laki. Dan pada tanggal 18 Desember 1979, PBB mengeluarkan deklarasi yaitu

”Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan”. Dalam

Pasal 7, menyatakan:

8

Besarnya polemik yang dihadapi oleh perempuan disegala aspek pengambilan

keputusan dan produk kebijakan yang menyuarakan aspirasi perempuan. Karena

permasalahan keterwakilan, kuota 30% diberlakukan. Sebagaimana ditetapkan dalam

Undang-Undang Pemilu Pasal 65 ayat 1 menyebutkan: ”setiap Partai Politik Peserta

Pemilu dapat mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

7

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, penerbit buku Kompas: Jakarta, 2005, hal. 236.

8

(10)

Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan

sekurang-kurangnya 30%.9

Besarnya masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi hal yang

sangat mendasar dan mendesak yang perlu mendapatkan penanganan yang serius dari

pihak pemerintah, sama seperti masalah Penerapan Undang-Undang Anti Pornografi

dan Pornoaksi (UU APP) yang tidak kunjung usai permasalahannya, Undang-Undang

Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya saat masih berbentuk Rancangan bernama

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, atau yang sering

Namun penjatahan yang diyakini membuka jalan bagi perempuan secara

optimal di dunia politik tidaklah memberikan penyelesaian. Karena ketika daftar

caleg disusun oleh peserta pemilu, banyak kalangan peserta Pemilu kurang serius

meningkatkan keterwakilan perempuan. Caleg-caleg tidak ditempatkan di ”nomor

jadi” sehingga kesempatan perempuan untuk dapat memperjuangkan

kepentingan-kepentingan kaumnya terhambat adanya peraturan yang menetapkan kuota

perempuan sebesar 30% dari caleg-caleg partai politik tidak menjamin bahwa akan

ada 30% perempuan dalam parlemen, karena peraturan yang ada hanya mewajibkan

partai politik untuk menyertakan perempuan sebagai caleg. Tetapi bila dilihat

peraturan pemilu yang masih semi distrik yang artinya nomor urut caleg masih

menjadi acuan, maka keikutsertaan perempuan hanya sekedar memenuhi ketentuan,

para perempuan tersebut tidak menempati nomor urut jadi, dan disamping itu tidak

ada hukuman apa pun bila partai politik tidak memenuhi kuota yang telah ditentukan.

Walaupun pemerintah telah memberikan hak politik kepada perempuan yang diatur

dalam Undang-Undang, namun pada dasarnya keterwakilan perempuan masih saja

menjadi suatu persoalan besar.

9

(11)

disingkat (RUU APP) adalah suatu Rancangan produk hukum yang diusulkan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 14 Februari 2006. Rancangan

Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan

itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.

Pada rancangan kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus hingga

tersisa 82 pasal dan 8 bab. Diantara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah

pasal mengenai sanksi pidana dan pembentukan anti pornografi dan pornoaksi.

Pornogafi pada rancangan pertama didefenisikan sebagai ”substansi dalam media atau

alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang

mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan erotika” sementara pornoaksi adalah

”perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan dan erotika dimuka umum”. Karena

defenisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan defenisi pornografi

yang berasal dari bahasa yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau

tulisan) sehingga secara harfiah berarti tulisan atau gambar tentang pelacur”.

Pornoaksi adalah ”upaya mengambil polemik mengenai Rancangan Undang-Undang

Anti Pornografi dan Pornoaksi yang nyaris tidak produktif. Ruang dan energi

berwacana yang diumbar masih fokus pada relativitas kebebasan berekspresi, etika

dan moral. Wacana tersebut belum memasuki wilayah yang substansi perlindungan

Pornografi pada anak dan perempuan. Lalu mengabaikan urgensi kriminalisasi

perbuatan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan

Pornoaksi. Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, Undang-Undang ini

banyak mendapatkan masalah dari masyarakat.10

10

http://republika.co.id.

Karena Undang-Undang Anti

Pornografi dan Pornoaksi ini sangat berperan penting untuk masyarakat terutama

(12)

menjadi korban pelecehan seksual oleh kaum laki-laki. Untuk memahami dan

mengetahui masalah Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini, penulis

ingin meneliti mengenai persoalan tersebut.

B. Perumusan Masalah

Setelah adanya Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dibuat

oleh Panitia Khusus (PANSUS) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diketuai oleh

Balkan Kaplele dari Fraksi Demokrat. Undang-Undang Pornografi tersebut banyak

mendapatkan masalah yang terjadi diberbagai daerah khususnya di Medan beberapa

tahun belakangan ini. Seperti maraknya demonstrasi yang menolak dengan adanya

Undang-Undang Pornografi dan ada sebagian masyarakat yang mendukung dengan

adanya Undang-Undang Pornografi. Maka sebaiknya Undang-Undang ini

benar-benar dilaksanakan karena untuk mencegah dan mengurangi korban pelecehan

seksual. Kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Medan mengatakan dibuatnya

Undang-Undang Pornografi ini untuk menyelamatkan rakyat dari praktek Pornografi

dan Pornoaksi, Undang –Undang Pornoaksi ini juga untuk mengangkat harkat dan

martabat kaum perempuan, kemudian Undang-Undang tersebut dibentuk untuk

mencegah kegiatan eksploitasi yang selama ini dilakukan terhadap kaum perempuan.

Hal ini tidak bisa dibicarakan dan harus dicegah kalau tidak bangsa ini akan menjadi

hancur dan tidak bermoral.

Namun berbeda dengan pihak Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Sumatera Utara dan Forum Masyarakat Sipil Sumatera Utara, mereka

menentang dengan adanya Undang-Undang Pornografi karena menurut mereka

dengan adanya Undang-Undang Pornografi tersebut akan menganggu keharmonisan

masyarakat di Medan. Mereka menganggap Undang-Undang Pornografi ini adalah

(13)

Mereka keberatan dengan Undang-Undang Pornografi yang dianggap merendahkan

kaum perempuan dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual dimata Hukum.

Sampai pihak Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara

mengajak masyarakat supaya ikut dengan mereka dalam gabungan orang-orang yang

melakukan penolakan dengan adanya Undang-Undang Pornografi tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan

adalah sebagai berikut:

1. Mengapa Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Utara mendukung

Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi?

2. Mengapa komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara

mengajukan penolakan terhadap penetapan Undang-Undang Anti Pornografi

dan Pornoaksi

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Utara dalam

mendukung penetapan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

2. Untuk mengetahui alasan penolakan komisi A Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Sumatera Utara terhadap penetapan Undang-Undang Anti Pornografi

dan Pornoaksi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

tentang undang-undang anti pornografi dan pornoaksi dan penelitian yang

dilakukan, diharapkan dapat menambah pendidikan politik bagi masyarakat

(14)

2. Secara praktis, berguna bagi masyarakat khususnya kaum perempuan sebagai

bahan masukan dan informasi yang memberikan hal positif dalam menyuarakan

aspirasi dan kepentingan perempuan di Indonesia terutama di Sumatera Utara.

E. Kerangka Teori

E.1. Analisis Gender dan Sex

Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori gender sebagai alat

analisis sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan

disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai

tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan beragama, serta kebijakan dan

perencanaan pembangunan. Kata Gender sendiri berasal dari bahasa atau kata Inggris

yang berarti suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan

perempuan seharusnya berprilaku.

Secara estimologis, gender berasal dari bahasa latin (Italy) yaitu Genus yang

berarti tipe atau jenis. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses

pada budaya yang menciptakan perbedaan gender. Gender dapat diartikan sebagai

perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan perempuan yang

tidak berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang

dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas.11

Perbedaan krusial antara seks dan gender adalah kalau gender secara umum

digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi

sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi fisik dan anatomi

biologis. Istilah seks (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “Jenis Kelamin”) lebih

11

(15)

banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang, meliputi komposisi kimia

dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.

Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis

antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi

sosial gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa

dinamikanya, namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk

diperdebatkan. Gender juga dapat menjadi komoditas politik, pengalaman sejarah

menunjukkan pemerintah kolonial, pengabar injil berkulit putih serta pengusaha telah

membawa konsep gender dari struktur sosial mereka mencoba mengintroduksikannya

pada masyarakat pribumi. Kegiatan ini menyebabkan dampak yang merusak bagi

posisi dan kedudukan kaum perempuan pribumi yang berujung pada hilangnya hak,

akses terhadap pekerjaan, kedudukan dan pengambilan keputusan dilingkungan

Negara maupun keluarga. Terkadang penguasa kolonial juga menggunakan konsep

gender untuk kepentingan ekonomi mereka, semisal untuk mempertahankan akses

mereka terhadap tenaga kerja perempuan.

Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai

konsekuensi wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan

memang berbeda. Untuk merubah prilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini

merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu

sosial menunjukkan bahwa laki-laki dan prempuan berbeda tidak hanya sekedar

akibat dari perbedaan biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial

(16)

Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu:

1. Teori Nurture

Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah

hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang

berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan

laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki-laki selalu lebih superior dibandingkan

perempuan.

2. Teori Nature

Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang

harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran

dan tugas diantara keduanya. Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan,

tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara

kodrat alamiah.

3. Teori Keseimbangan

Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori yang berusaha

memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan

keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan namun menuntut

perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya.12

Dalam pengertian identitas gender adalah defenisi seseorang tentang dirinya,

khususnya dirinya sebagai perempuan dan berbagai karakteristik perilakunya

yang ia kembangkan sebagai hasil proses sosialisasi13

Sesuai dengan defenisi diatas, konsep gender tampak berlaku fleksibel,

berbeda-beda dalam ruang dan waktu dan bisa diubah. Identitas gender diperoleh

melalui proses belajar, proses sosialisasi dan melalui kebudayaan masyarakat yang

12

Saparinah, dan Soemarti P, Identitas Gender dan Peranan Gender, Dalam buku Kajian Wanita Dalam Pembangunan oleh T.O. Ihromi (Penyunting) hal. 70.

13

(17)

bersangkutan. Karena tidak heran apabila identitas gender telah memberi label

tentang jenis pekerjaan yang boleh atau layak dan tidak boleh atau tidak layak

dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Sebagai contoh pembagian kerja seksual

dirumah tangga yang berlaku umum paling tidak ditingkat ideology tugas perempuan

adalah mengurus rumah tangga dan tugas laki-laki adalah mencari nafkah.

Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap

laki-laki dan perempuan. Misalnya: Perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik,

emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan

perkasa. Ciri-iri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada

laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.

Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari

tempat ke tempat yang lain.

Hilary M. Lips dan S.A. Shield, membedakan teori strukturalis dan teori

fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis

lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja

dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya

laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi

reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki

memegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender

ditentukan oleh jenis kelamin (sex).

Hilary Lips, membedakan kata sex sebagai (ciri-ciri biologis, fisik tertentu,

jenis kelamin biologis) Sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang

(18)

seorang perempuan. Gender lebih mendekatkan arti jenis kelamin dari sudut pandang

sosial. 14

Fredrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan

ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis) akan

tetapi merupakan divine creation. Engles memandang masyarakat primitif lebih

bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal dengan adanya surplus penghasilan.

mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal dengan adanya pemilikan

secara pribadi.

The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995)

menyatakan, gender adalah pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang

digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis

kelamin tertentu.

Illch (1998) menyatakan, gender merupakan salah satu diantara tiga jenis kata

sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan jenis

kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan

diperlukan ketika kata-kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda

dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin,

feminin, dan netral.

15

Oakley (1972) menyatakan dalam Sex, Gender and Society memberi makna

gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis jenis kelamin (sex)

merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan Universal

berbeda. Sementara Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan

perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau

14

Op.Cit.,hal. 4.

15

(19)

bahkan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui

proses sosial dan budaya yang panjang.

Caplan (1987) menyatakan dalam The Cultural Construction of Sexuality

menegaskan bahwa perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan selain secara

biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural . Oleh

karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari

kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.

Perbedaan gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender

(gender role) sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah, atau tidak perlu digugat.

Kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bias

hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai

perawat, pengasuh dan pendidikan anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak

perlu digugat. Persoalannya adalah ternyata peran gender tradisional perempuan

dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki. Selain itu ternyata peran gender

melahirkan masalah yang perlu digugat, yakni “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh

peran gender dan perbedaan gender tersebut.

Manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah

sebagai berikut:

1. Terjadinya marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan.

Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan yang disebabkan oleh

ketidakadilan gender, yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah

marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya banyak

perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin, akibat dari program pertanian

(20)

2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang umumnya pada kaum

perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan

dibuat tanpa “menganggap penting” kaum perempuan. Misalnya, anggapan

“karena perempuan toh nantinya akan ke dapur, mengapa harus sekolah

tinggi-tinggi”.

3. Pelabelan negative (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama kaum

perempuan dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai

ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang

dilabelkan pada kaum perempuan yang akibatnya membatasi, menyulitkan,

memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.

4. Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan,

karena perbedaan gender. Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti

pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus

seperti pelecehan (seksual harassment) dan penciptaan ketergantungan.

5. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak

perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama

(burden). Dengan kata lain “peran gender” perempuan yang menjaga dan

memelihara kerapian tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan

keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya

keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menjadikan

rasa bersalah bagi perempuan yang tidak melakukannya, sementara bagi kaum

laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak tradisi

dilarang untuk berpartisipasi.

Kesemua manifestasi ketidakadilan gender tersebut di atas adalah saling

(21)

“tersosialisasi” baik kaum lelaki maupun perempuan secara mantap, yang lambat laun

baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran

gender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan

sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak lagi dapat dirasakan

adanya sesuatu yang salah. Analisis gender di atas memberi perangkat teoritik untuk

memahami sistem ketidakadilan gender. Kedua jenis kelamin baik pria maupun

perempuan, bisa menjadi korban dari ketidakadilan gender tersebut.

Namun karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah

kaum perempuan, seolah-olah analisis gender hanya menjadi alat perjuangan kaum

perempuan. Analisis gender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk

menjelaskan sistem ketidakadilan.16

lebih lanjut, analisis gender ini memungkinkan gerakan feminisme

memfokuskan pada relasi (struktur) gender serta keluar dari pemikiran yang

memfokuskan pada ”perempuan”. dengan demikian, yang menjadi agenda utama

setiap usaha perubahan sosial tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis atau

merubah kondisi kaum perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis

kaum perempuan, yakni memperjuangkan posisi kaum perempuan, termasuk konter Tanpa analisis gender gerakan feminisme akan

menjadi reduksionisme, yang lebih memusatkan perhatian perubahan sosial bagi

kaum perempuan belaka. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok

persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, baik laki-laki maupun

perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan

gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan

gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melnggengkan

penindasan gender.

16

(22)

hegemoni dan konter discourse terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam

keyakinan baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki.17

Gerakan feminisme, kata feminisme dipelopori pertama kali oleh aktivis

sosialis utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. kemudian pergerakan Center

Eropa feminisme ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya

publikasi dari John Stuart Mill, yaitu The Subjection of Woman (1869). Pada awalnya

gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pengekangan

terhadap kebebasan kaum perempuan. Dimana feminisme merupakan suatu gerakan

politik di beberapa negara barat yang memiliki perempuan sebagai fokus

perhatiannya. Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran

bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu,

harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut.

Dalam teori ini yang

dianggap sesuai dengan teori gender adalah teori gerakan feminisme.

E.2. Gerakan Feminisme

18

Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan

dalam semua bidang dengan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam

masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan,

pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang

apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang

berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah

dan kaum perempuan di rumah (domestik). Inti dari pandangan feminisme adalah:

17

Ibid.

18

(23)

bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang

menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki.19

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang

cendrung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dari latar belakang

demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan

tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi Revolusi sosial

Sejarah lahirnya gerakan feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat

dilacak dalam sejarah kelahirannya. Dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang

dipelopori oleh Lady Mary Wortley dan Marquis De Condorcep. Perkumpulan

masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middlesburg, sebuah

kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke 19 feminisme lahir

menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian, pada awalnya gerakan ini

memang diperlukan pada masa itu dimana ada masa-masa pemasungan terhadap

kebebasan perempuan. Suasana demikian diperparah dengan adanya

fundamenatalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum

perempuan. Sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak

dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya

sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang

sudah “merdeka”. Biasanya mereka itu dari kalangan wanita karir yang sukses, punya

prestasi, punya background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang

atas nama semua perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara

dengan laki-laki atau perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami

perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis

di abad ke XVIII yang kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia.

19

(24)

dan politik, perhatian terhadap kaum-kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792

Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Women

yang isinya dapat meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada

tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak

kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki

dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu

yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang

pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya:

Gender Inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan

perempuan dari: rasisme, stereotype, seksisme, penindasan perempuan, dan

phalogosentrisme.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, di tandai dengan lahirnya

Negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa, lahirnya Feminisme Gelombang

kedua pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan

selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.

Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminisme Perancis seperti

Helena Cixous dan Julia Kristeva bersama dengan kelahiran dekonstruksionis,

Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang

banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan White

Anglo-Amerika-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu.

Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat

dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara spesifik, banyak feminisme-individualis kulit putih, meskipun tidak

(25)

Meliputi Afrika, Asia, da Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah

terjadi pretense universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial,

agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik

dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa

penelitian feminisme barat yang menjebak perempuan sebagai objek.

Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “All

Women”. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme

masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari

tanah jajahan sebagai subjek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih

mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di

rumah-rumah kulit putih.

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki

politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum

PD-II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi

laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-Negara terjajah dipimpin oleh elit

nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah

laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya.

Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat

bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga menjadi

objek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, dan relasi sosial.

Dalam gerakan feminisme ini ada beberapa aliran feminisme yang berkaitan, yaitu

(26)

E.2.1 Aliran Feminisme Liberal

Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft

(1759-1799) dalam tulisan “The Vindication of The Right of Woman” dan John

Stuart Mill dalam tulisannya “The Subjection of Women”, kemudian Betty Frei dan

dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”. Mereka

menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat

sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik.20

20

Siti Hidayati Amal, Beberapa Perspektif Feminisme Dalam Menganalisis Permasalahan Perempuan, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1995, hal. 86.

“Masyarakat

beranggapan bahwa perempuan dipengaruhi oleh kondisi alamiah yang dimilikinya,

karena kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibanding laki-laki.

Oleh karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan

publik. Anggapan inilah yang disangkal oleh feminisme liberal. Menurut mereka,

manusia, perempuan atau laki-laki diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama

dan harus pula mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya.

Menurut perspektif ini, jika leluasa berperan diluar rumah, perempuan pun akan dapat

mengembangkan dirinya secara optimal. Jadi, bukan kondisi alamiah perempuan

yang menyebabkan mereka kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik

seperti laki-laki, melainkan persepsi masyarakatlah yang menentukan bagaimana

seorang laki-laki dan perempuan berfikir, bertindak, dan berperasaan agar perempuan

dapat berkembang seperti laki-laki. Perempuan harus berpendidikan sama seperti

laki-laki. Dalam tradisi feminisme liberal, penindasan perempuan dikenal sebagai

kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara

pemecahan untuk merubahnya, yaitu menambah kesempatan bagi perempuan

(27)

Perubahan-perubahan sosial tersebut menyediakan argumen-argumen politik

maupun moral untuk gagasan-gagasan mengenai kemajuan, kontrak, sifat dasar dan

alasan yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Akar teori

feminisme liberal ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional, oleh sebab

itu asumsi dasar dari feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan

(freedom) dan kesetaraan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara

dunia privat dan publik. Perempuan adalah makhluk rasional kemampuannya sama

dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki .

Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan

laki-laki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan

dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat

tercapainya kesetaran dan keadilan dalam berbagai bidang. Melalui suatu perdebatan

terbentuklah teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan ”persamaan

dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya,

kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang

berkepentingan dalam menggambarkan posisi ideologi telah memetakan pencarian

persamaan kedalam bentuk-bentuk feminisme liberal atau sosialis dan mencari

perbedaan ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural.21

Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya

feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki

kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan

(equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.

Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara

rasional. Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing

21

(28)

didunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan

laki-laki. Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan

pendapatan (ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi

pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan (equality)

haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki.

Wolf memaparkan isu persamaan (equality) hak antara laki-laki dan perempuan serta

perluasan hak-hak individu. keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan

program pembangunan yang populer disebut women in development. Intinya ialah

semua aksi pergerakan perempuan dilakukan sedikit demi sedikit tanpa mengganggu

status quo kekuasaan. Pada akhirnya laki-laki harus dipaksa memberikan tempat pada

perempuan dalam segala kehidupan. Dengan menekankan bahwa untuk mengatasi

rintangan sosial yang dihadapi perempuan diperlukan campur tangan pemerintah.

Karena aliran feminisme liberal memandang sampai sekarang campur tangan

pemerintah masih kurang peduli dengan masalah perempuan tersebut. Selain aliran

feminisme liberal, ada salah satu aliran yang harus diperhatikan dalam gerakan

feminisme yaitu aliran feminisme radikal.

E.2.2 Aliran Feminisme Radikal

Feminisme radikal ini muncul pertama kali sejak pertengahan tahun 1970an

dimana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan” pada

sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial

berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan

kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap

perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Gerakan

ini sesuai dengan namanya yang “radikal” aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa

(29)

merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu,

feminisme radikal mempersalahkan antara lain tumbuh serta hak-hak reproduksi,

seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi

privat-publik. “The Personal is Political” menjadi gagasan yang mampu menjangkau

permasalahan perempuan sampai pada ranah privat, masalah yang dianggap paling

tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black

propaganda) banyak ditunjukkan kepada feminisme radikal. Pada hal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia memiliki

UU RI No. 23 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT).22

Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin

mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini

analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem Teori feminisme radikal ini menganut paham sosialis dan tokoh dari paham

sosialis ini adalah Marxis, menurut Marx “tidak ada sosialisme tanpa pembebasan

perempuan. Tidak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”. Aliran ini

mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan

berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik

dominasi atas perempuan. Feminisme radikal sosial menggunakan analisis kelas dan

gender untuk memahami penindasan perempuan. Kapitalisme dan patriarki adalah

dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh N. Fraser di Amerika

Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara

karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran

sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran perempuan. Agenda untuk

meneranginya adalah menghapus kapitalisme dari sistem patriarki.

22

(30)

ketidakadilan, ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan.

Dalam membahas teori tentang kesetaraan (equality), banyak orang yang mempelajari

teori gender dan politik dari persfektif kesetaraan (equality) sangat meyakini bahwa

gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain

tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada

umumnya dipahami berbeda dalam lingkungan politik.23

Selain kesetaraan (equality), keadilan (justice) pada dasarnya juga

menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai

gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan.

Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah

muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai perspektif, etika keadilan

adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Adapun ide dasar dari

feminisme adalah kesetaraan (equality), kedudukan laki-laki dan perempuan yang

dibangun atas dasar kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) hak-hak antara kaum

laki-laki dan kaum perempuan.

24

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau

persamaan (equality) dan keadilan (justice) hak dengan pria. Jadi gerakan feminisme

adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam

masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada

”masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan

ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada

dasarnya perempuan adalah makluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan

F. Defenisi Konsep

23

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal.116.

24

(31)

laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Adapun konsep

persamaan (equality) dan keadilan (justice) adalah:

1. Persamaan (Equality).

Persamaan adalah suatu konsep yang menunjukkan bahwa semua manusia

”sama” dimata hukum. Persamaan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara

memiliki hak yang ”sama” untuk mendapatkan perlakuan yang adil terutama

persamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara. Persamaan

dan perbedaan keduanya istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam

hak-hak mereka sendiri, persamaan dan perbedaan telah menggambarkan perbedaan dan

perspektif yang bersaing dalam teori feminis.

Jika seseorang memperluas kerangka analisa ideologi dan geografis dengan

perspektif kronologis, maka seseorang dapat melukiskan jalur teori feminis

sehubungan dengan persamaan dan perbedaan sebagaimana dimulai dengan

persamaan (equality), peralihan pada perbedaan, kemudian pergerakan terhadap

resolusi dikotomi. Beberapa komentator telah memilih melambangkan tahapan

feminisme ini sebagai feminisme gelombang-gelombang.

1. Gelombang pertama, yang di tandai oleh komitmen terhadap persamaan (equality).

2. Gelombang kedua, oleh komitmen terhadap perbedaan. 3. Gelombang ketiga, komitmen terhadap keragaman.

Orang lain melihat pergerakan dari persamaan ke perbedaan sebagai internal

terhadap feminisme gelombang kedua. Misalnya, Nancy Fraser menganggap bahwa

perubahan terjadi dalam pergerakan wanita Amerika Serikat pada akhir era 1970an.

Karena setiap cerita kronologis ini menggangap sesuatu dari perasaan dalam

(32)

dalam kerangka normatif tertentu. Memungkinkan juga untuk mengkarakterisasikan

sifat dinamis dari perdebatan persamaan dan perbedaan.25

25

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal. 117.

Memetakan perdebatan persamaan dan perbedaan dari perspektif usaha-usaha

saat ini untuk bergerak ”melebihi” persamaan dan perbedaan. Pelaksanaan yang

berlebihan inilah yang secara lebih jelas mengkarakteristikan momen saat ini terhadap

teorisasi gender. Status perspektif keragaman ketiga adalah kompleks tidak

dimaksudkan untuk meliputi semua upaya yang dilakukan untuk mlebihi alat untuk

mensistensikan perspektif persamaan dan perbedaan. Lebih dipahami sebagai

negosiasi kompleks dari pola dasar yang ada dari pada artikulasi dari pola dasar yang

baru.

Orang-orang yang mendekati teori gender dan politik dari perspektif

persamaan sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan secara politik

atau tidak berhubungan, kenyataan bahwa pria dan wanita pada umumnya berbeda.

Alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam

lingkungan politik. Proyek pemerintahan apapun yang benar-benar melaksanakan

prinsip-prinsip persamaan liberal harus melebihi anggapan sexist tentang perbedaan

Gender yang telah meneliti perbedaan tehadap wanita, untuk memberikan kepada

wanita hak-hak yang sama dengan pria dan untuk memungkinkan wanita

berpartisipasi seperti halnya pria dalam lingkungan publik. Perbedaan gender

dipasang sebagai sebuah manifestasi seksisme, sebagai penciptaan yang digunakan

untuk menasionalisasikan persamaan antara pria dan wanita. Anggapan yang luas

bahwa wanita tidak rasional sepenuhnya digunakan secara berulang kali sebagai

(33)

Gagasan bahwa wanita tidak dapat memiliki kemampuan rasional, abstrak,

yang menguniversalisasikan bentuk pemikiran yang dibutuhkan untuk terlibat dalam

arena penelitian dan politik publik perlu ditemui dengan penegasan kesamaan wanita

dengan pria. Sebagaimana yang dijelaskan Fraser, dari perspektif persamaan, maka

perbedaan gender terlihat tidak memungkinkan untuk lepas dari seksisme.

Tugas-tugas politik selanjutnya akan lebih jelas, tujuan feminisme adalah untuk melepaskan

belenggu ”perbedaan” dan membentuk persamaan yang membawa pria dan wanita

dibawah sebuah ukuran umum. Dari perspektif persamaan tersebut.26

Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Dari

perspektif pertama para ahli teori tidak mengecam etika keadilan itu sendiri. Mereka

menganggap bahwa tingkatan aplikasinya harus diperluas hingga meliputi

bentuk-bentuk hubungan sosial dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa ini adalah

bentuk pemikiran moral dan bentuk yang khusus bagi pria. Ada bentuk lain yang

diambil dari dalam pendekatan kedua adalah pemikiran moral yang disebut etika 2. Keadilan (Justice)

Mengenai keadilan (justice) dalam literatur gender, dalam teori politik

disamakan dengan ”etika keadilan”. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang

lebih tepat dan memungkinkan. Menurut pandangan tidak dari manapun dan oleh

karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika

keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga,

etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan

spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses

pengenderaan identitas sosial.

26

(34)

kepedulian yang harus juga dikenal, Bahkan dikatakan bahwa wanita lebih

memungkinkan mengadopsi etika kepedulian ini dibandingkan pria, bahwa hak

istimewa yang diberikan pada etika keadilan adalah untuk suara moral yang berbeda

dari para wanita. Dengan kata lain ini adalah strategi universal.27

27

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal.141.

Berbeda dengan konsepsi yang dibedakan gender kedua tentang pemikiran

moral, para ahli teori gender yang mendekati perdebatan ini dari perspektif ketiga

adalah penting dari pergerakan ke bentuk-bentuk pemikiran moral yang terbagi dan

untuk menyelenggarakan antitesisnya dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa

etika keadilan adalah bukan salah satu dari dua bentuk pemikiran moral yang

memungkinkan tentang bentuk universal tunggal dari pemikiran moral. Oleh karena

itu, model keadilan dari pemikiran moral tidak hanya berbeda dengan model

kepedulian ini. Dengan mengetahui bahwa model kepedulian hanya ada dalam

hubungan sebagai pengingat model keadilan, maka adopsi setiap model bekerja untuk

mengabadikan dualisme hirarki dari perdebatan moral yang dihasilkan oleh etika

keadilan yang merupakan strategi pergantian.

Untuk memahami sepenuhnya isu-isu dalam politik secara khusus sebagai

lawan dari perdebatan dan relevansinya dengan politik secara khusus sebagai lawan

dari perdebatan moral, terlebih dahulu harus mempertimbangkan etika keadilan dan

etika kepedulian. Selanjutnya kita akan merenungkan dua isu tambahan yang telah

menjadi pusat pada perdebatan keadilan dan kepedulian sifat hubungan antara dua

etika dan dua gender. Ini menyebabkan pertimbangan dari beberapa strategi yang

berbeda yang diadopsi untuk melebihi dikotomi keadilan dan kepedulian. Apa yang

telah muncul dalam teori feminis akan dilambangkan sebagai perspektif ”etika

(35)

Immanuel Kant, dengan jelas memperdebatkan kerangka historis, universal

untuk mendasarkan klaim-klaim moral. Kant berusaha menjelaskan dan membentuk

dasar objektif dari moralitas. Dia menolak semua usaha untuk mendasarkan moralitas

pada pengalaman dan bekerja untuk membentuk eksistensi dari hukum moral dasar,

universal, objektif untuk semua sifat rasional. Yang mengkarakteristikan imperialitas

sebagai konsepsi pemikiran moral yang menganggap bahwa agar agen melepaskan

egoisme, dan mencapai objektivisme, dia harus mengadopsi sudut pandang universal

yang sama untuk semua agen rasional. Penekanan terhadap pelepasan dari konteks,

sebagaimana dengan rasionalisme, dipandang sebagai alat yang mempertinggi

kekhususan emosional yang menarik dan pencapaian sudut pandang universal.28

28

Judith Squires, Ibid, hal. 143.

G. Metode Penelitian

G.1.1. Jenis Penelitian

Penyusunan skripsi ini menggunakan jenis metode penelitian deskriptif yang

merupakan metode penelitian yang memaparkan secara sistematis mengenai gerakan

feminisme, dalam menghasilkan kebijakan, serta peran masyarakat dalam

menanggapi permasalahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pada

dasarnya metode ini menggambarkan fenomena dan bukan menguji teori. Dengan

menggunakan metode deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada masalah atau

fenomena yang diteliti yaitu Penulis menafsirkan data dan informasi yang berhasil

dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh gambaran yang faktual dan akurat

(36)

G.1.2. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah maka penulis

melakukan penelitian di Kantor Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan

yang berlokasi di Jalan. Nusantara Medan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Sumatera Utara. yang berlokasi di Jalan.Benteng Raya Medan.

G.1.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan, penulis

menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan

informasi melalui buku-buku, media massa dan sumber-sumber lainnya yang

relevan dengan substansi masalah dalam penulisan skripsi.

2. Data Primer

Dalam hal ini untuk mendapatkan data harus melakukan penelitian lapangan

yang didasarkan pada peninjauan langsung dengan objek yang akan diteliti.

Untuk memperoleh data-data yang akurat dilakukan dengan teknik wawancara

mendalam, yaitu dengan adanya proses tanya jawab secara langsung antara

penulis yang ditujukan kepada para informan di lokasi penelitian, informan

dalam penelitian ini yaitu Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Sumatera Utara, Ketua yang menangani masalah perempuan untuk

menanggapi masalah Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, Ketua

Umum Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Utara dan anggota Majelis

(37)

menananggapi masalah Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

tersebut, dengan menggunakan panduan dan pedoman wawancara yang baik.

G.1.4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data dan informasi yang terkumpul kemudian disusun

dan dijabarkan dengan cara menjelaskan fenomena yang akan ditentukan dalam

proses pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membatasi penemuan hingga

menjadi data yang teratur dan tersusun. Dari data yang telah teratur dan tersusun

kemudian dianalisis secara sistematis. Analisis penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif, jenis analisis ini banyak digunakan dalam jenis penelitian

deskriptif, yaitu suatu metode yang lebih didasarkan pada pemberian gambaran yang

terperinci yang mengutamakan penghayatan dan berusaha memahami suatu peristiwa

dalam situasi tertentu menurut pandangan peneliti. Data yang diperoleh dari daftar

pertanyaan yang dijabarkan kepada responden ditampilkan dalam bentuk uraian lalu

dianalisis, setelah dianalisis maka dapat ditarik suatu kesimpulan terhadap hasil

penelitian yang telah dianalisis.

G.1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, maka penulisan skripsi ini akan dijabarkan

dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan

(38)

BAB II : PROSES PENETAPAN UNDANG-UNDANG ANTI

PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI SUMATERA UTARA

Bab ini akan menguraikan tentang proses pembuatan

Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi secara umum dan

memberikan gambaran masalah yang terjadi setelah adanya

Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tersebut.

BAB III : TANGGAPAN KELOMPOK PENDUKUNG DAN PENEN

TANG UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI DAN PORNO

AKSI.

Pada bab ini akan dijabarkan secara garis besar bagaimana

tanggapan dari masyarakat secara umum. Kemudian tanggapan dan

pandangan Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tentang kebebasan dan keadilan perempuan. Kemudian

bagaimana pandangan mereka tentang peran negara dalam mengatasi

permasalahan perempuan dalam Undang-Undang Anti Pornografi

dan Pornoaksi.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi

kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada

bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang mungkin berguna bagi

(39)

BAB II

PROSES PENETAPAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI

DAN PORNOAKSI

A. Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk Rancangan

bernama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, disingkat

menjadi RUU APP, kemudian menjadi UU Pornografi) adalah suatu produk hukum

berbentuk Undang-Undang yang mengatur mengenai pornografi. Undang-Undang ini

disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) pada tanggal 30 Oktober 2008. Pembahasan akan Rancangan Undang-Undang

Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah dimulai sejak tahun 1997 diajukan pada tanggal

14 Februari 2006 yang berisi 11 bab dan 93 pasal. Pornografi dalam rancangan

pertama didefenisikan sebagai “Substansi dalam media atau alat komunikasi yang

dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,

kecabulan dan erotika” sementara pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi

seksual, kecabulan dan erotika dimuka umum”.29

Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa

82 pasal dan 8 bab. Diantara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah

pembentukan Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional. Selain itu, rancangan

kedua juga mengubah defenisi pornografi dan pornoaksi. Karena defenisi ini

dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan defenisi pornografi yang

berasal dari bahasa Yunani, yaitu Porne (pelacur) dan Graphos (gambar atau tulisan)

yang secara harfiah berarti “tulisan atau gambar tentang pelacur”. Definisi pornografi

29

(40)

pada draft ini adalah “upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan

atau mempertontonkan pornografi”.

Dalam draft yang dikirimkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada

Presiden pada 24 Agustus 2007, Rancangan Undang-Undang ini tinggal terdiri dari

10 bab dan 52 pasal. Judul Rancangan Undang-Undang ini pun diubah sehingga

menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi. Ketentuan mengenai

pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama,

Menteri Komunikasi dan Informatika, Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan

Menteri Negara Pemberdaaan Perempuan untuk membahas rancangan

undang-undang ini bersama Panitia Khusus (PANSUS) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam draft final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September

2008, Rancangan Undang-Undang Pornografi tinggal terdiri dari 8 Bab dan 44 Pasal.

Pada Rancangan Undang-Undang Pornografi, defenisi pornografi disebutkan

dalam pasal 1 adalah: “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia

dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,

animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain

melalui berbagai bentuk media komunikasi dan pertunjukkan dimuka umum yang

dapat membangkitkan hasrat seksual dan melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam

masyarakat”. Defenisi ini menggabungkan Pornografi dan Pornoaksi pada Rancangan

Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya, dengan memasukkan

“gerak tubuh” kedalam defenisi pornografi.

Rancangan terakhir Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi ini masih

Referensi

Dokumen terkait

Di Indonesia, perkembangan riset dan konservasi raptor migran berkembang sejak tahun 2000an dimana saat ini berbagai individu dan lembaga telah mengembangkan pengamatan atau

Tata kelola OPZ dalam Persepsi Penyumbang ZIS di Wilayah Purwokerto 2017 Tata kelola OPZ dalam persepsi penyumbang Persentase Mempunyai laporan keuangan rutin

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian yang dilakukan sebanyak 167 orang responden yang terdiri dari 15 mata pelajaran pada hasil belajar siswa semester ganjil tahun

Efek kedalaman atau perbedaan tinggi bisa dilakukan dengan cara meletakkan objek yang dimanipulasi sehingga memiliki kedalaman atau menjadi mempunyai nilai pada

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di simpang Sudirman-Yos Sudarso dengan tinjauan pendekat Yos Sudarso diperoleh hasil bahwa arus jenuh dengan metode MKJI 1997

Perusahaan ini mulai didirikan pada tahun 2004 sebagai anak usaha dari Jatis Solutions, Jatis Ecom memiliki visi untuk menjadi yang terdepan diantara perusahaan-perusahaan

Gagasan dan proses perancangan Plaza Bacaan di Manado menggandeng tema “Atmospheres: Parameter Desain Peter Zumthor dalam Arsitektur” sebagai pendekatan dalam merancang,

Selanjutnya diberikan definisi fungsi semikontinu, yang akan digunakan dalam mendefinisikan kelas fungsi