• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kejadian Flat Foot dengan Obesitas pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kejadian Flat Foot dengan Obesitas pada Anak"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 2

(3)

Lampiran 3

(4)

Lampiran 4

Lembar Penjelasan

Dengan hormat,

Saya, Lavenia, adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2012. Saat ini saya sedang mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Kejadian Flat Foot dengan Obesitas pada Anak”.

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan proses belajar mengajar pada blok Community Research Programme.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian kaki rata (flat foot) dengan obesitas pada anak. Untuk keperluan tersebut, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengizinkan kaki Anak Bapak/Ibu diberi tinta pada telapak kaki dan dicetak di atas kertas untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Jika Bapak/Ibu bersedia, silahkan menandatangani persetujuan ini sebagai bukti kesukarelawan Bapak/Ibu.

Identitas pribadi Anak Bapak/Ibu sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang diperoleh hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Bapak/Ibu dapat bertanya langsung kepada peneliti. Atas perhatian dan kesediaaan Bapak/Ibu untuk mengizinkan Anak Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima kasih.

Medan, 2015

Peneliti,

(5)

Lampiran 5

Lembar Persetujuan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini selaku orang tua dari, nama :

kelas : jenis kelamin :

telah benar-benar paham atas penjelasan yang disampaikan oleh peneliti mengenai penelitian ini yang berjudul “Hubungan Kejadian Flat Foot dengan Obesitas pada

Anak”. Oleh karena itu saya menyatakan BERSEDIA mengizinkan anak saya untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.

Demikianlah, persetujuan ini saya sampaikan dengan sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Medan, 2015

Hormat Saya,

(6)

Lampiran 6

Lembar Pengisian Data Sampel

Nama :

Tanggal lahir :

Berat badan : ………… kg

Tinggi Badan : ………… m Status Gizi :

Riwayat cedera kaki : Ya / Tidak Bentuk kaki :

(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

Lampiran 8

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.24.

(13)

Lampiran 9

(14)

Lampiran 10

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Consumer Education Committee of The American College of Foot and Ankle Surgeon. 2005. Pediatric Flatfoot. USA: American College of Foot and Ankle Surgeon.

Drake, Richard L.; Wayne Vogl; and Adam W. L. Mitchell. 2010. Lower Limb. In: Gray’s Anatomy for Students.

Flier, Jeffrey S. and Eleftheria Maratos Flier. Biology Of Obesity In: Fauci,

Anthony S et al. 2008. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill, 462-468.

Global Childhood Obesity Update. 2010. Childhood Obesity.

Grech, Victor. 2007. Childhood Obesity: A Critical Maltese Health Issue. In:

Journal of The Malta College Of Pharmacy Practice. Malta: Pediatric Department St Luke’s Hospital, 14-17.

Jimenez-Ormeno, E et al. 2013. Foot Morphology in Normal-Weight, Overweight,

and Obese Schoolchildren. Spain: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Krebs, Nancy F. and Laura E. Primak. Normal Childhood Nutrition and Its

Disorders In: Hay, William W. et al. 2009. Current Diagnosis and Treatment

Pedatrics. USA: McGraw-Hill, 268-293.

Lendra, Made Dodi dan Totok Budi Santoso. 2009. Beda Pengaruh Kondisi Kaki

Rata dan Kaki dengan Arkus Normal terhadap Keseimbangan Statis pada

Anak Usia 8-12 Tahun di Kelurahan Karangasem, Surakarta. Dalam: Jurnal

Fisioterapi Vol. 9 No. 2. Oktober 2009. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah.

Mickle, Karen J. Overweight and Obese Preschool Children: Are Their Feet Fat

or Fat?. University of Wollongong, NSW, Australia

Nelson, Waldo E. et al. Obesitas. Dalam: Wahab, A. Samik. 2012. Ilmu

Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol. 3. Jakarta: EGC, 214-218.

(16)

Pambudy, Indra Maharddhika dan Rini Sekartini. Tumbuh Kembang. Dalam: Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, 133-153.

Priantono, Dimas dan Titis Prawitasari. Obesitas. Dalam: Tanto, Chris. 2014.

Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, 126-128.

Riset Kesehatan Dasar. 2010. K.K.R. Indonesia, Editor. 2010, Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2011. Faktor Resiko Obesitas pada Anak 5-15 Tahun di

Indonesia. Dalam: Makara, Kesehatan, Vol. 15. No. 1. Juni 2011. Depok:

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 37-43.

Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 2014. Dasar-dasar Metodologi

Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto.

Snell, Richard S. Membrum Inferius. Dalam: Sugiharto, Liliana. 2006. Anatomi

Klinik untuk Mahasiswa Ed. 6. Jakarta: EGC, 551-683.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Thompson, George H. and Peter V. Scoles. Gangguan Tulang dan Sendi. Dalam: Wahab, A. Samik. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol. 3. Jakarta: EGC, 2328-2349.

Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care). Jakarta. Wardanie, Seteriyo. 2013. Prevalensi Kelainan Bentuk Kaki (Flat Foot) pada

Anak Usia 6-12 Tahun di Kota Surakarta. Surakarta: Fakultas Ilmu

(17)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dibahas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Defenisi Operasional 3.2.1 Obesitas

 Defenisi operasional : Obesitas adalah akumulasi jaringan lemak di bawah kulit yang berlebihan dan terdapat di seluruh tubuh. Sering dihubungkan dengan overweight (kelebihan berat badan), walaupun tidak terlalu identik, oleh karena obesitas memiliki ciri-ciri tersendiri.

 Alat ukur : Kurva CDC  Cara pengukuran :

Dengan mengukur tinggi badan anak dan melakukan penimbangan terhadap berat badan anak, lalu melakukan perhitungan indeks massa tubuh anak (IMT).

 Tinggi badan diukur dengan alat ukur staturmeter dengan satuan ukuran m (meter).

 Berat badan diukur dengan alat ukur timbangan digital dengan satuan ukuran kg (kilogram).

 Perhitungan IMT dengan menggunakan rumus IMT = Berat badan

(tinggi badan)2

Dengan satuan meter / kilogram2 (m/kg2)

Kemudian melakukan plotting pada kurva CDC. Plotting dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(18)

 Tentukan usia anak pada aksis horizontal. Saat melakukan plotting berat badan-panjang badan, temukan panjang badan pada aksis horizontal. Tarik garis membentuk garis vertical lurus dari titik tersebut.

 Gunakan tabel yang sesuai dengan parameter yang sedang diukur (berat badan, panjang/tinggi badan, IMT) dan temukan ukuran yang sesuai yang didapatkan dari pengukuran anak pada garis vertical. Tari garis horizontal lurus hingga berpotongan dengan garis vertical yang sebelumnya telah dibuat.

 Tandai titik dimana dua garis berpotongan (Indra Maharddhika, Rini Sekartini, 2014).

 Hasil pengukuran :

Tabel 3.1 Interpretasi Kurva CDC (IMT – Usia) Persentil Status Nutrisi

>97 Overweight

>85 - <97 Risk of overweight

<5 Underweight

Skala pengukuran : nominal

3.2.2 Pes Planus Fleksibel (flexible flat foot)

Definisi operasional : Flat foot adalah kelainan kompleks yang sering terjadi dan sering ditemui dengan gejala dengan derajat deformitas dan disabilitas yang bermacam–macam, ada beberapa tipe kaki datar yang semuanya dilihat dari keadaan arkus yang hilang baik sebagian maupun keseluruhan (Kaye, 2004; Naylor, 1999).

 Alat ukur : Klasifikasi Plantar footprint (Denis, 1974 dalam artikel Antonio et all, 1999)

Cara pengukuran : dengan menggunakan Plantar Footprint (cetakan kaki bagian plantar). Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan penggunakan tinta dimana kaki diberi tinta dan diminta untuk menginjakkan kaki pada kertas sehingga didapatkan cetakan kaki. Kondisi kaki dengan arkus

(19)

normal tidak meninggalkan banyak jejak ketika telapak kaki di tempelkan dipermukaan kertas, kondisi kaki yang tidak memiliki arkus meninggalkan jejak lebih lebar.

Hasil pengukuran : diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan kaki datar :  Derajat 1 : Dimana tumpuan pada tepi lateral bagian tengah kaki

lebih dari setengah dari tumpuan metatarsal, bila ditarik garis antara ujung dalam metatarsal dengan ujung dalam tumit maka arkus tampak hanya sedikit dibandingkan dengan bagian yang menapak.

 Derajat 2 : Dimana tumpuan sama antara daerah tengah dan

forefoot, bila ditarik garis antara ujung dalam metatarsal dengan

ujung dalam tumit maka tidak tampak arkus atau tumpuan bagian tengah kaki sejajar garis.

 Derajat 3: Dimana tumpuan pada daerah tengah pada kaki lebih besar dibandingkan lebar tumpuan pada metatarsal, bila ditarik garis antara ujung dalam metatarsal dengan ujung dalam tumit maka bagian tengah kaki yang menapak lebih lebar dibanding garis.

Gambar 3.2 Derajat flat foot

Sumber : Antonia et al,1999 dalam artikel Lendra, M.D., Santoso, T.B, 2009  Skala pengukuran : nominal

3.3 Hipotesa

Hipotesa penelitian ini adalah diduga terdapat hubungan antara kejadian

(20)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik dengan pendekatan

cross sectional study (studi potong lintang).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SD Sutomo 2 Medan selama bulan Maret sampai Desember tahun 2015.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah siswa SD. Populasi terjangkau penelitian ini adalah siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah subjek yang diambil dari populasi terjangkau yang berada di lingkungan SD Sutomo 2 Medan selama penelitian berlangsung serta memenuhi kriteria inklusi serta tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah: 1. Kriteria inklusi:

a. Siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan.

b. Telah mengalami obesitas minimal sejak 1 tahun yang lalu.

c. Ada persetujuan orangtua atas keikutsertaan anak dalam penelitian 2. Kriteria eksklusi:

(21)

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling yaitu melibatkan seluruh siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan yang berjumlah 249 orang untuk dijadikan sampel penelitian.

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data dengan melakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat badan, dan melakukan analisa pada hasil tinta kaki anak.

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari bagian administrasi SD Sutomo 2 Medan meliputi jumlah siswa SD Sutomo 2 Medan dan data berat badan dan tinggi badan yang diperoleh dari kartu imunisasi siswa SD Sutomo 2 Medan.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data 4.5.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)

editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data; (2) coding,

data yang terkumpul dikoreksi, kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer; (3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program computer; (4) cleaning data, pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data; (5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis; dan (6) analisis data.

4.5.2. Analisis Data

(22)
(23)

BAB 5 SD Sutomo 2 Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas 4 SD Sutomo 2 Medan. Dari 249 siswa SD Sutomo 2 Medan seluruhnya yang menjadi responden, didapatkan total subjek penelitian adalah 188 siswa sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah ini.

Tabel 5.1. Karakteristik Responden Penelitian

No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%) 1 Kelas

(24)

dengan persentase 20.7%. Persentase responden dari kelas IV-2 dan IV-3 adalah 19.7% dan persentase responden dari kelas IV-5 adalah 19.1%. Persentase responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki, yakni 57.4%, sedangkan persentase responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 42.6%. Persentase responden dengan status gizi non obesitas lebih banyak dibandingkan responden dengan status obesitas yakni 73.9%, sedangan persentase responden dengan status obesitas adalah 26.1%. Persentase responden dengan morfologi kaki non flat foot lebih banyak dibandingkan responden dengan morfologi kaki flat foot yakni 62.8%, sedangkan responden dengan morfolgi kaki flat foot sebesar 37.2%.

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi kejadian flat foot berdasarkan karakteristik responden

No Karakteristik Responden Non Flat Foot Flat Foot Total

n % n % (100%)

Berdasarkan tabel 5.2, persentase responden yang terbanyak mengalami

flat foot berdasarkan kelasnya yaitu kelas IV-1 sebesar 46.2%, sedangkan yang

paling sedikit mengalami flat foot adalah kelas IV-5 dengan persentase 25.0%. Persentase responden perempuan yang mengalami flat foot lebih banyak daripada responden laki-laki yang mengalami flat foot yaitu sebesar 43.5%.

(25)

5.1.3. Hasil Analisis Data

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi flat foot berdasarkan status gizi siswa kelas IV SD Sutomo 2 Medan

Variabel Flat foot Non flat foot PR p-value

n % N %

Obesitas 41 83.7% 8 16.3% 4.01 .000

Normal 29 20.9% 110 79.1%

Tabel 5.3 menunjukkan hasil analisis untuk melihat hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak. Untuk itu didapatkan p-value sebesar 0.000 (<0.05), yang memiliki makna bahwa terdapat hubungan antara kejadian

flat foot dengan obesitas pada anak kelas IV SD Sutomo 2 Medan.

Kemungkinan untuk terjadi flat foot pada anak yang obesitas lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mengalami obesitas (PR=4.01, 95%CI).

5.2. Pembahasan

Pes planus hipermobil atau disebut juga flat foot merupakan kejadian lazim pada neonatus dan anak belajar jalan. Namun pada anak yang lebih tua atau pada orang dewasa perlu diperhatikan untuk mencari penyebabnya. Hal ini terjadi karena kelemahan pada kompleks ligamentum kaki sehingga dapat terjadinya ruptur ligamentum longitudinal sehingga arkus longitudinal mediale tidak tampak pada saat pembebanan atau pada saat berdiri. Kaki rata hipermobil atau kaki pronasi merupakan sumber kecemasan bagi orang tua dikarenakan dapat menyebabkan cedera pada kaki anak.

Pada penelitian ini, terbukti pada 188 responden yang terdiri dari 49 anak (26.1%) yang mengalami obesitas dan 139 anak (73.9%) yang tidak mengalami obesitas menunjukkan bahwa obesitas mempengaruhi kejadian flat foot pada anak kelas IV SD Sutomo 2 Medan (p<0.05) yaitu obesitas dapat menjadi salah satu faktor resiko flat foot pada anak. (Victor Grech, 2007)

(26)

disebabkan karena obesitas membuat tekanan pada lekungan telapak kaki meningkat secara luar biasa (Tonysetiobudi, 2015).

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Hassan Daneshmandi (2009) di Iran pada 1180 siswa yang terdiri dari 726 siswa laki-laki dan 454 siswa perempuan, dikatakan bahwa terdapat hubungan antara flat foot dengan anak yang mengalami overweight dan obesitas. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Seteriyo Wardanie (2013) di Surakarta pada 1089 responden yang terdiri dari 299 responden dengan flat foot dan 790 responden yang tidak mengalami flat foot, didapatkan bahwa persentase responden yang terbanyak mengalami flat foot adalah responden dengan indeks massa tubuh gemuk dan sangat gemuk.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karen J. Mickle pada 95 anak dari 10 sekolah yang dipilih secara acak di New South Wales, Australia. Dalam penelitian Karen J. Mickle yang dianalisis dengan menggunakan

independent t-test, didapati bahwa anak yang mengalami obesitas atau overweight

memiliki tinggi arkus yang lebih rendah daripada yang dimiliki oleh anak normal (p= 0.04). pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa anak dengan obesitas atau

overweight akan memberikan tekanan yang lebih besar pada arkus longitudinal

medial yang berhubungan dengan semakin rendahnya arkus longitudinal medial tersebut.

Flat foot juga dapat ditemukan pada anak yang tidak obesitas seperti pada

penelitian ini didapati sekitar 20.4%. Hal ini bisa disebabkan oleh perubahan posisi tulang atau adanya jaringan ikat atau tulang yang menghubungkan 2 tulang.

(27)

Namun hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shay Tenenbaum (2013) pada 825.946 responden remaja yang terdiri dari 467.412 responden laki-laki dan 358.552 responden perempuan di Amerika. Pada penelitian ini didapati bahwa prevalensi anak laki-laki yang mengalami flat foot sebesar 16.2% dan perempuan sebesar 11.6% dari total keseluruhan 14.2% (12.4% dengan mild flat foot dan 3.8% dengan severe flat foot pada laki-laki, 9.3% dengan mild flat foot dan 2.4% dengan severe flat foot pada perempuan).

(28)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan mengenai hubungan kejadian flat foot dengan obesitas pada siswa kelas IV SD Sutomo 2 Medan sebagai berikut :

1. Jumlah responden yang mengalami obesitas adalah 26.1%. 2. Jumlah responden yang mengalami flat foot adalah 37.2%.

3. Jumlah responden perempuan yang mengalami flat foot lebih banyak daripada responden laki-laki yaitu sebesar 43.5%.

4. Distribusi frekuensi kejadian flat foot pada responden berdasarkan status gizi yang mengalami obesitas adalah 41 orang (83.7%). Distribusi frekuensi kejadian flat foot pada responden yang tidak mengalami obesitas adalah 29 orang (20.9%).

5. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian

flat foot dengan obesitas pada responden (p<0.05). Sehingga dari analisis

bivariat, obesitas merupakan faktor resiko terhadap kejadian flat foot.

6.2. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain

1. Bagi Masyarakat

Flat foot merupakan kejadian dimana arkus longitudinal mediale yang

seharusnya terbentuk di bagian dalam telapak kaki tidak terbentuk. Kejadian ini dapat dikarenakan kelemahan dari ligament atau akibat penumpukan lemak. Salah satu faktor resiko terjadinya flat foot adalah obesitas yang berkepanjangan. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat dapat mengontrol berat badan sehingga tidak terjadi obesitas maupun

(29)

2. Bagi Sekolah

Flat foot merupakan hal yang lazim terjadi pada anak yang mengalami

kegemukan atau obesitas. Oleh karena itu, sekolah sebaiknya memberi keringanan dan keleluasaan bagi peneliti dalam melakukan penelitian, agar data yang didapat lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengambilan data dari responden menggunakan cara perhitungan IMT (Indeks Masa Tubuh) menggunakan tinggi badan dan berat badan, melakukan cetakan kaki dengan tinta dan persetujuan dari orang tua, dan identitas responden dalam penelitian dirahasiakan, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran mengenai identitas responden dalam publikasi penelitian. Berkaitan dengan kejadian flat foot, sekolah sebaiknya lebih memperhatikan faktor risiko flat foot yang dapat terjadi pada anak SD, sehingga resiko cedera kibat flat foot dapat di minimalkan.

3. Bagi Petugas Kesehatan

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penentuan status gizi

Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang

badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang

digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan

grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia

0-5 tahun karena mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek

penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang

mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun

digunakan grafik CDC 2000 dengan pertimbangan grafik WHO 2007 tidak memiliki

grafik BB/TB dan data dari WHO 2007 merupakan smoothing NCHS 1981

(Moersintowarti B. Narendra, 2010)

2.1.1 Kurva WHO

Pada kurva WHO, digunakan penyimpangan 2 SD (standar deviasi) untuk mendefinisikan penyimpangan dalam pertumbuhan. Angka 0 menunjukkan tinggi badan atau berat badan rerata dari anak-anak untuk usianya.

Pertumbuhan merupaan keadaan yang dinamis, sehingga untuk mendefinisikan gangguan pertumbuhan diperlukan lebih dari satu kali pengamatan. Penting juga untuk melihat proporsi tinggi badan dengan berat badan seorang anak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakakn kurva pertumbuhan yang dikeluarkan oleh WHO atau CDC sesuai dengan usia anak.

Cara untuk melakukan plotting dari kurva WHO adalah sebagai berikut. 1. Ukur tinggi badan dengan cara yang sesuai usia anak.

2. Lakukan plotting usia (dalam minggu, bulan atau tahun) yang telah lengkap pada garis vertical.

(31)

4. Apabila sudah didapatkan dua titik dari dua atau lebih kunjungan, maka dua titik yang saling berdekatan harus dihubungkan untuk mempermudah membaca tren pertumbuhan anak.

Plotting kurva berat badan-usia.

1. Timbang berat badan anak dengan cara yang sesuai usia.

2. Lakukan plotting usia (dalam minggu, bulan, atau tahun) yang telah lengkap pada garis vertikal.

3. Lakukan plotting berat badan pada garis horizontal atau pada ruang antar garis untuk menunjukkan pengukuran berat badan hingga ketelitian 0,1 kg. 4. Apabila sudah didapatkan dua titik dari dua atau lebih kunjungan, maka dua titik yang saling berdekatan harus dihubungkan untuk mempermudah membaca tren pertumbuhan anak.

Plotting kurva berat badan-panjang/tinggi badan.

1. Lakukan plotting panjang atau tinggi badan pada garis vertikal.

2. Plot berat badan seteliti mungkin dengan ketelitian hingga 0,1 kg dengan memanfaatkan garis horizontal yang ada atau garis antar ruang.

3. Saat dua titik dari dua kunjungan yang berbeda, maka dihubungkan keduanya untuk memperhatikan tren pertumbuhan anak.

Plotting indeks massa tubuh-usia. IMT dilakukan hingga satu decimal di belakang koma.

(32)

Setelah dilakukan plotting, dapat dilakukan interpretasi data untuk kurva

Tabel diadaptasi dari World Health Organization Training Course on Child Growth Assessment; c interpreting growth indicator 2008. World Health Organization. Tersedia di http://www.who.int/childgrowth/training

= merupakan nilai normal

Catatan :

(33)

(contoh: anak dari kedua orang tua yang pendek dan berukuran tubuh tinggi).

2. Anak yang berat untuk usianya jatuh pada rentang ini mungkin memiliki gangguan pertumbuhan namun sebaiknya gangguan ini lebih dalam dikaji dengan bantuan kurva berat badan-panjang badan atau IMT-usia.

3. Titik yang diplot diatas 1 menunjukkan resiko. Tren kearah garis skor Z 2 merupakan resiko.

4. Mungkin saja anak yang stunted jadi overweight.

5. Ini disebut sebagai very low weight dalam modul pelatihan IMCI (Intergrated Management of Childhood Illness. In-service training WHO,

Geneva,1997).

(Indra Maharddhika, Rini Sekartini, 2014).

2.1.2 Kurva CDC

Kurva CDC digunakan dengan cara yang hampir sama.

Plotting dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Tentukan usia anak pada aksis horizontal. Saat melakukan plotting berat badan-panjang badan, temukan panjang badan pada aksis horizontal. Tarik garis membentuk garis vertikal lurus dari titik tersebut.

2. Gunakan tabel yang sesuai dengan parameter yang sedang diukur (berat badan, panjang/tinggi badan, IMT) dan temukan ukuran yang sesuai yang didapatkan dari pengukuran anak pada garis vertikal. Tarik garis horizontal lurus hingga berpotongan dengan garis vertikal yang sebelumnya telah dibuat.

3. Tandai titik dimana dua garis berpotongan (Indra Maharddhika, Rini Sekartini, 2014).

(34)

Tabel 2.2 Interpretasi Kurva CDC

Indeks Antropometrik Persentil Status Nutrisi

IMT-Usia >97 Overweight

>85 - <97 Risk of overweight

<5 Underweight

Berat badan-panjang/tinggi badan

>95 Overweight

<5 Underweight

Tinggi/panjang badan-usia <5 Short stature

(Indra Maharddhika, Rini Sekartini, 2014).

2.2 Obesitas

2.2.1 Defenisi Obesitas

Obesitas adalah akumulasi jaringan lemak di bawah kulit yang berlebihan

dan terdapat di seluruh tubuh. Sering dihubungkan dengan overweight (kelebihan berat badan), walaupun tidak terlalu identik, oleh karena obesitas memiliki ciri-ciri tersendiri (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Obesitas adalah kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan

adipose secara berlebihan, sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat badan ideal, yang mungkin dapat disebabkan oleh peningkatan massa otot seperti pada atlet binaraga (Dimas Priantono, Titis Prawitasari, 2014).

Obesitas adalah keadaan dimana terdapat jaringan lemak berlebihan.

(35)

2.2.2 Etiologi Obesitas

Obesitas biasanya disebabkan oleh kelebihan masukan makanan bukannya dari kelebihan makanan (overeating) yang masif. Simpanan lemak tubuh bertambah ketika masukan energi melebihi pengeluaran, dan keadaan ini biasanya terjadi bila ada keseimbangan energi yang sedikit positif selama masa yang lama. Anak gemuk tidak makan secara berbeda atau lebih banyak makan junk food atau tepung daripada sebayanya. Pengeluaran energi total selama latihan fisi anak gemuk terkontrol bertambah, tetapi bila dikoreksi menurut kenaikan massa tubuh adalah ekuivalen dengan energy total anak tidak gemuk (nonobese). Angka metabolic istirahat juga sama bila disesuaikan dengan massa tubuh yang aktif secara metabolik (Waldo E. Nelson, 2012).

Masukan energi yang berlebihan terdapat pada keadaan sebagai berikut: 1. Gangguan emosional

Dalam hal ini makanan merupakan pengganti untuk mencapai kepuasan dalam memperoleh kasih saying, ketenangan dan ketentraman jiwa yang tidak diperoleh penderita.

2. Kelainan pada otak hipotalamus atau hipofisis yang mengakibatkan gangguan terhadap ‘pusat rasa kenyang’.

3. Kelebihan insulin (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Penggunaan kalori yang kurang dapat terjadi pada:

1. Merendahnya nilai untu metabolism basal, specific dynamic action dan energy expenditure untuk berbagai kegiatan jasmani.

2. Endokrinopati misalnya hipotiroidea, sindrom adrenogenital dan\sebagainya.

3. Aktivitas jasmani kurang

(36)

Faktor penyebab obesitas lainnya adalah kekurangan aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Aktivitas fisik yang dilakukan sejak masa anak sampain lansia akan mempengaruhi kesehatan seumur hidup. Penyebab obesitas dinilai sebagai multikausal dan sangat multidimensional karena tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, tetapi juga sering terdapat pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Obesitas dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetik (Ratu Ayu Dewi Sartika, 2011).

2.2.3 Faktor resiko obesitas

Faktor resiko untuk terjadinya obesitas bersifat multipel yaitu adanya hubungan yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Riwayat keluarga juga merupakan faktor resiko yang juga menentukan. Jika salah satu orang tua obesitas, maka odds ratio untuk terjadi obesitas pada saat dewasa adalah 3 kali, tetapi jika kedua orang tua obesitas, maka odds ratio untuk terjadi obesitas saat dewasa adalah 10 kali (Nancy F. Krebs, MD, MS, Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2009).

Faktor lingkungan yang memungkinkan seseorang untuk melakukan intervensi makan. Konsumsi makanan yang manis secara berlebihan, porsi yang besar, konsumsi makanan cepat saji secara rutin dan aktivitas yang kurang memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk terjadi kelebihan berat badan (Nancy F. Krebs, MD, MS, Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2009).

2.2.4 Patogenesis obesitas

(37)

2.2.5 Gejala klinis obesitas

Obesitas dapat menjadi jelas pada setiap umur, tetapi obesitas tampak paling sering pada usia 1 tahun pertama, pada usia 5-6 tahun dan selama remaja. Anak yang obesitasnya karena masukan kalori tinggi secara berlebihan biasanya tidak hanya lebih berat daripada yang lain di kelompoknya sendiri tetapi juga lebih tinggi, dan umur tulang lebih tua (Waldo E. Nelson, 2012).

Bentuk tubuh, penampilan, dan raut muka penderita obesitas: 1. Raut muka

Hidung dan mulut tampak relative kecil dengan dagu yang berbentu ganda 2. Dada dan payudara

Bentuk payudara mirip dengan payudara yang telah tumbuh. Pada anak pria keadaan demikian menimbulkan perasaan yang kurang menyenangkan.

3. Abdomen

Membuncit dan menggantung serupa dengan bentuk bandul lonceng (pendulum). Kadang-kadang terdapat stria putih atau ungu.

4. Genitalia luar

Pada pria penis seakan-akan terpendam dalam jaringan lemak mons pubis, sehingga tampak kecil dari bagian yang tersembul keluar.

5. Anggota badan

Lengan atas dan paha tampak besar, terutama pada bagian proksimal. Tangan relatif kecil dengan jari-jari yang berbentuk runcing. Terdapat kelainan berupa koksa vara dengan genu valgum pada tungkai.

6. Kelainan emosi

(38)

2.2.6 Diagnosa obesitas

Pakar Committee of Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent

Preventive Service (suatu kelompok penasehat pada Biro Kesehatan Ibu dan

Anak, American Academy of Pediatrics and American Medical Association) telah mereomendasikan penggunaan IMT untuk penentuan populasi obesitas dan kelebihan berat badan. Dua kategori telah ditentukan:

1. Remaja dengan IMT pada persentil ke 95 atau lebih menurut umur dan kelamin atau yang IMT nya lebih daripada 30 (mana saja yang lebih kecil) harus dianggap kelebihan berat dan dirujuk untuk evaluasi medik yang menentukan.

2. Remaja dengan IMT nya pada persentil ke 85 atau lebih tetapi kurang daripada persentil ke 95 atau sama dengan 30 (mana saja yang lebih kecil) harus dirujuk ke tingkat skrining kedua (Waldo E. Nelson, 2012).

Tujuan tingkat skrining kedua meliputi lima area resiko kesehatan sebagai berikut:

1. Riwayat keluarga, yaitu riwayat keluarge penyakit kardiovaskular positif, kadar kolesterol total orangtua naik (atau riwayat tidak diketahui), riwayat keluarga diabetes mellitus positif, atau riwayat keluarga obesitas orang tua positif

2. Tekanan darah, yaitu kenaikan tekanan darah dengan menggunakan metode dan kriteria Second Task Force on Blood Pressure Control in

Children.

3. Kadar kolesterol total, yaitu kenaikan lebih daripada 5,2 mmol/L atau 200 mg/dL

4. Tambahan kenaikan tahunan dalam IMT besar, yaitu kenaikan melebihi dua unit IMT tahun sebelumnya

(39)

Jika satu atau lebih dari lima area tersebut positif, maka penderita harus mendapat evaluasi medik yang teliti untuk memikirkan keadaan patologis medik primer seperti terdaftar pada diagnosa banding (Waldo E. Nelson,2012).

2.2.7 Diagnosa Banding Obesitas

(40)

2.2.8 Komplikasi obesitas

Bayi dan anak gemuk mempunyai resiko cukup tinggi untuk menjadi orang dewasa gemuk. Kenaikan resiko ini dihubungkan dengan keparahan obesitas anak yang lebih besar, interval waktu menurun sampai umur dewasa dan jumlah anggota keluarga yang gemuk lebih besar. Ada hubungan antara obesitas masa anak dan faktor resiko kardiovasular. Pada penelitian Muscatine, anak gemuk mempunyai kadar lipoprotein kolesterol densitas-tinggi sangat lebih rendah, kadar trigliserida lebih tinggi dan tekanan darah sitolik lebih tinggi, walaupun tidak ada perbedaan dengan kisaran normal untuk kolesterol total, kolesterol lipoprotein densitas rendah, apolipoprotein A1, apolipoprotein B, atau tekanan darah sistolik (Waldo E. Nelson,2012).

Obesitas pada masa kanak-kanak memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap kesehatan. Dampak yang segera terjadi diantaranya:

1. Anak obese cenderung memiliki faktor resiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular, seperti peningkatan kolesterol darah dan tekanan darah. Pada sampel di populasi usia 15-17 tahun, 70% remaja

obese setidaknya memiliki satu faktor resiko penyakit kardiovaskular.

2. Remaja obese lebih beresiko jatuh dalam keadaan prediabetes, suatu kondisi yang menunjukkan risiko tinggi penyakit diabetes mellitus.

3. Anak dan remaja obese memiliki risiko lebih tinggi untuk masalah tulang dan persendian, sleep apnea, masalah sosial dan psikologi seperti stigmatisasi dan kepercayaan diri yang rendah (Nancy F. Krebs, MD, MS, Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2008).

Dampak jangka panjang obesitan diantaranya :

1. Anak dan remaja obese sangat mungkin menjadi dewasa obese dan oleh karena itu, menjadi lebih beresiko untuk menderita masalah kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes melitus tipe 2, stroke, beberapa jenis kanker dan osteoarthritis.

2. Overweight dan obesitas berkaitan dengan peningkatan resiko berbagai

(41)

tiroid, ovarium, serviks, prostat, dan lainnya (Nancy F. Krebs, MD, MS, Laura E. Primak, RD, CNSD, CSP, 2008).

Tabel 2.4 Komplikasi obesitas masa anak yang dilaporkan

Kardiovaskuler

Penyakit Blount dan epifisis kaput femoris terlepas Pseudotumor serebri

Paru-paru

Sindrom Pickwickian Kelainan uji fungsi paru

Komorbiditas yang bersifat non kardiovaskular dan non malignan yang berhubungan dengan obesitas pada anak termasuk:

1. Sleep Apnea

2. Masalah ortopedik, yaitu tibia vara, gune valgum, flat kneecap

pressure/pain, flat foot, spondilolysthesis, scoliosis dan osteoarthritis

3. Masalah kulit, yaitu infeksi jamur dan acanthosis nigricans 4. Hepatic steatosis, reflus gastro-esofagus, sirosis hepatis

5. hipertensi intracranial yang bersifat benign (pseudotumor cerebri) dapat menyebabkan kebutaan

(42)

2.3 Anatomi kaki

Terdapat tiga kelompok tulang pada kaki, yaitu:

 Delapan buah tulang tarsal (ossa tarsalia), yang memberi bentuk pada bagian mata kaki

 Metatarsal (ossa metatarsalia I-V), yang merupakan tulang dari metatarsus  Palanges (phalanges), yang membentuk bagian jari kaki, setiap jari kaki terdiri dari tiga buah tulang palanges kecuali ibu jari kaki yang hanya terdiri dari dua buah tulang palanges.

Gambar 2.1 Tulang Kaki

(43)

2.3.1 Ossa Tarsalia

Ossa tarsalia terdiri atas os calcaneus, os talus, os naviculare, os cuboideum, dan tiga buah ossa cuneiforme. Hanya os talus yang bersendi dengan tibia dan fibula pada articulation talucruralis (sendi pergelangan kaki).

2.3.1.1 Os Calcaneus

Os calcaneus adalah tulang terbesar dari kaki dan membentuk tumit yang menonjol. Tulang ini ke atas bersendi dengan talus dan di depan dengan os cuboideum. Calcaneus mempunyai enam facies (permukaan) gambar 2.2.

Facies anterior kecil dan membentuk facies articularis yang bersendi

dengan os cuboideum.

Facies posterior membentuk tonjolan tumit dan merupakan tempat

pelekatan dari tendon calcaneus (tendon Achilles).

Facies superior didominasi oleh dua facies articulares untuk talus, yang

dipisahkan oleh alur kasar, yaitu sulcus calcanei.

Facies inferior mempunyai tuberculum anterior pada garis tengah, dan

tuberculum mediale yang besar serta tuberculum laterale yang lebih kecil pada pertemuan antara facies inferior dan facies posterior.

Facies medialis mempunyai sebuah tonjolan yang besar berbentuk kerang,

disebut sustentaculum tali, yang membantu menyokong os talus.

Facies lateralis hampir rata. Pada bagian anteriornya terdapat peninggian

kecil yang disebut tuberculum perineum, yang memisahkan tendo-tendo dari m. peroneus longus dan m. peroneus brevis.

2.3.1.2 Os Talus

(44)

2.3.1.3 Os Naviculare

Tuberositas ossis navicularis dapat dilihat dan dipalpasi pada pinggir medial kaki lebih kurang 1 inci di depan dan bawah malleolus medialis; serta memberikan tempat perlekatan untuk bagian utama tendo m. tibialis posterior. Dapat dilihat pada gambar 2.2.

2.3.1.4 Os Cuboideum

Terdapat alur yang dalam pada aspek inferiornya sebagai tempat untuk tendo m. peroneus longus. Dapat dilihat pada gambar 2.2.

2.3.1.5 Os Cuneiforme

Ketiga tulang-tulang kecil berbentuk baji ini bersendi di proksimal dengan os naviculare dan di distal dengan ketiga ossa metatarsalia yang pertama. Bentuk bajinya berperan penting dalam membentuk dan mempertahankan lengkung transversal kaki.

Gambar 2.2 Ossa calcaneus, talus, naviculare, dan cuboideum

(45)

2.3.2 Ossa Metatarsal dan Phalanges

Ossa metatarsalis dan phalanges menyerupai ossa metacarpalia dan phalanges pada tangan, dan masing-masing mempunyai caput di distal, corpus dan basis di proksimal. Kelima ossa metatarsalia diberi nomor dari sisi medial ke lateral.

Ossa metatarsal pertama besar dan kuat dan berperan penting dalam menyokong berat badan. Pada aspek inferior caput terdapat alur dari ossa sesamoidea medial dan lateral yang terdapat di dalam tendo dari m. fleksor hallucis brevis.

Ossa metatarsal kelima mempunyai tuberculum yang menonjol pada basisnya, yang dengan mudah dapat diraba sepanjang pinggir lateral kaki. Tuberculum ini merupakan tempat perlekatan tendo dari m. peroneus brevis.

Masing-masing jari kaki mempunyai tiga phalanges, kecuali ibu jari kaki yang hanya mempunyai dua phalanges. Gambar 2.1.

2.4 Tulang-Tulang Arcus

Pemeriksaan pada kaki yang berartikulasi atau foto lateral kaki, akan dapat dilihat tulang-tulang yang membentuk arcus pedis.

Arcus Longitudinalis Medialis. Arcus ini dibentuk oleh calcaneus, talus,

os naviculare, ketiga os cuneiform dan ketiga os metatarsalia yang pertama.

Arcus Longitudinalis Lateralis. Arcus ini dibentuk oleh calcaneus,

cuboideum, dan ossa metatarsalia keempat dan kelima.

Arcus Transversus. Arcus ini dibentuk oleh basis metatarsi dan os

(46)

Gambar 2.3 Tulang-tulang yang menyusun arcus longitudinalis medialis, arcus

longitudinalis lateralis, dan arcus transverses pedis dextra. Sumber : Richard S. Snell, 2006

Memepertahankan arcus longitudinalis medialis

1. Bentuk-bentuk tulang. Sustentaculum tali mempertahankan talus;

permukaan proksimal os naviculare yang cekung bersendi dengan caput tali yang bulat; permukaan proksimal os cuneiform mediale yang sedikit cekung bersendi dengan os naviculare. Caput tali yang bulat merupakan

(47)

2. Pinggir-pinggir bawah tulang diikat menjadi satu oleh

ligamentum plantaris, yang lebih besar dan lebih kuat dari ligamentum-ligamentum dorsalis. Ligamentum yang paling penting adalah ligamentum-ligamentum calcaneonaviculare. Perluasan tendinosa dari insersio m. tibialis posterior mempunyai peran penting dalam hal ini.

3. Yang mengikat kedua ujung arcus menjadi satu adalah aponeurosis

plantaris, bagian medial m. fleksor digitorum brevis, m. abductor hallucis, m. fleksor hallucis longus, bagian medial m. fleksor digitorum longus dan m. fleksor hallucis bervis.

4. Yang menggantung arcus dari atas adalah m. tibialis anterior dan

posterior serta ligamentum mediale sendi pergelangan kaki (Richard S. Snell, 2006).

2.5 Kaki Sebagai Unit Fungsional

2.5.1 Kaki sebagai penyokong berat badan dan pengungkit

(48)

2.5.2 Arcus pedis

Struktur yang bersegmen hanya dapat menyokong berat badan bila dibangun dalam bentuk lengkung. Kaki mempunyai tiga lengkung yang telah ada sejak lahir: arcus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis, arcus

longitudinalis lateralis, dan arcus transverses (gambar 2.4). Pada anak-anak

kecil, kaki tampak ceper karena banyak lemak subcutan pada telapak kaki. (Richard S. Snell, 2006)

Pada pemeriksaan jejak kaki basah seseorang yang sedang berdiri pada lantai, akan terlihat bahwa tumit, margo lateralis kaki, bantalan bagian bawah caput matetarsal, dan bantalan phalanges distalis berkontak dengan tanah (gambar 2.3). Pinggir medial kaki, dari tumit sampai caput metatarsal pertama melengkung di atas tanah, karena adanya arcus longitudinalis medialis yang penting. Tekanan di ata tanah oleh margo lateralis kaki paling besar pada tumit dan caput metatarsal kelima dan paling kecil di antara kedua daerah ini, karena adanya arcus longitudinalis lateralis yang letaknya rendah. Arcus transverses dibentuk oleh basis kelima as metatarsal, cuboideum, dan cuneiforme. Bagian ini sebenarnya hanya setengah lengkung, dengan basisnya pada pinggir lateral kaki dan puncaknya pada bagian medial kaki. Kaki dapat dianggap sebagai setengah kubah, sehingga bila kedua margo medialis kaki diletakkan bersama, terbentuklah kubah yang lengkap (Richard S. Snell, 2006).

(49)

Gambar 2.4 Anatomi Permukaan Kaki

Sumber : George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012

2.6 Gangguan pada Kaki

Gangguan pada kaki pediatrik yang paling lazim adalah:

1. Metatarsus adduktus kongenital : masalah yang lazim pada bayi dan anak kecil. Kelainan ini juga dikenal sebagai varus metatarsus jika kaki depan tersupinasi serta adduksi.

2. Kaki kalkaneovalgus : temuan yang relative sering pada bayi baru lahir dan merupakan akibat posisi dalam uterus.Kaki tampak hiperdorsifleksi dengan abduksi kaki depan dan bertambahnya valgus tumit.

3. Talipes equinovarus (kaki pekuk) : deformitas bukan hanya pada kaki tetapi seluruh tungkai bawah dan dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: congenital, teratologis dank arena posisi.

4. Talus vertikal kongenital : deformitas kaki yang tidak lazim dengan penyebab yang serupa dengan deformitas kaki talipes equinovarus.

(50)

6. Penggabungan tarsus : dikenal juga sebagai kaki rata spastic peroneus, merupakan gangguan kaki yang relative sering yang ditandai dengan deformitas datar yang menimbulkan nyeri dan kaku, spasme otot peroneus tetapi tanpa spastisitas yang sebenarnya. Kelainan ini menggambarkan fusi atau kegagalan kongenital segmentasi antara dua atau lebih tulang tarsus. 7. Kaki kavus : kaki dengan kelebihan arkus longitudinal medial yang

disertai dengan varus kaki belakang dan kadang-kadang adduksi kaki depan.

8. Osteokondriosis : proses patologis yang melibatkan infark, revaskularisasi, resorpsi, dan penggantian tulang yang terkena.

9. Luka tembus kaki

(George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012)

2.7 Pes Planus Hipermobil (flat foot) 2.7.1 Defenisi Flat Foot

Kaki rata hipermobil atau kaki pronasi merupakan sumber kecemasan bagi orang tua. Pada umumnya, anak tidak menunjukkan gejala dan tidak mempunyai keterbatasan fungsi. Kaki rata lazim pada neonates dan anak belajar jalan karena kelemahan pada kompleks tulang-ligamentum kaki dan lemak pada daerah arkus longitudinal mediale. Anak ini biasanya mengalami perbaikan yang berarti pada usia 6 tahun. Pada anak yang lebih tua, kaki rata fleksibel biasanya akibat kelemahan ligamentum secara menyeluruh, suatu eadaan autosom dominan. Hampir semua ana dan remaja dengan kaki rata yang fleksibel tidak mengalami gangguan (George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012).

2.7.2 Manifestasi Klinis Flat Foot

(51)

subtalus akan normal atau sedikit meningkat. Kehilangan gerakan subtalus menunjukkan kaki datar yang kaku. Penyebab yang lazim meliputi kontraktur tendon Achilles, koalisi tarsus, kelainan neuromuscular (palsi serebral) dan kelainan familial (George H. Thompson, Peter V. Scoles, 2012).

2.7.3 Evaluasi Radiologis Flat Foot

(52)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sekarang ini, prevalensi anak dengan overweight dan obesitas semakin meningkat. Overweight dan obesitas yang keduanya didefinisikan sebagai kelebihan berat badan, secara umum merupakan keadaan kegemukan dengan perbedaan tingkatan yaitu kelebihan berat badan tingkat ringan (overweight) dan tingkat berat (obesitas) yang dibedakan sesuai dengan kriteria kegemukan berdasarkan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) atau disebut juga body mass

index (BMI).

Dalam 30 tahun terakhir ini, angka prevalensi atau kejadian obesitas di seluruh dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Badan kesehatan dunia,

World of Health Organization (WHO) mengindikasikan bahwa sekitar 1,7juta

anak-anak (dibawah 18 tahun) mengalami kelebihan berat badan dan di beberapa negara, angka anak yang mengalami obesitas meningkat hingga tiga kali lipat sejak tahun 1980 (WHO, 2012).

Prevalensi obesitas anak usia 5 – 12 tahun di Perancis tahun 2004 sebesar 20,55%, di Inggris obesitas anak usia 2 – 10 tahun tahun 2005 sebesar 17,3% (Global Childhood Obesity Update, 2010). Secara nasional masalah kegemukan pada anak umur 6 – 12 tahun masih tinggi yaitu 9,2% atau masih di atas 5%. Jawa Tengah termasuk salah satu dari 11 provinsi yang memiliki prevalensi kegemukan di atas prevalensi nasional, selain Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010).

(53)

Gangguan ortopedi yang berhubungan dengan overweight dan obesitas adalah nyeri dan ketidaknyamanan pada kaki, lutut, pinggul, dan tulang belakang. Obesitas juga dapat meningkatkan resiko fraktur dan gangguan tumbuh kembang. Obesitas juga dapat mengurangi fleksibilitas dan kesulitan dalam berjalan dan berlari yang diakibatkan karena perubahan struktur kaki. Kelainan struktur kaki yang paling sering ditemukan adalah pes planus (flat foot). Peningkatan berat badan menyebabkan perubahan struktur dari arkus plantaris dengan perubahan struktur tulang dan ligament penyokongnya dan menyebabkan arkus longitudinalis medial collapse yang dapat menyebabkan masalah pada saat dewasa (Ester et al, 2013).

Pes planus (flat foot) adalah suatu kelainan pada kaki dimana lengkungan kaki sebelah dalam (arcus longitudinalis medial) tidak terbentuk atau menghilang saat berdiri (Harjanto, 2009). Menurut Evans (2008), jumlah populasi anak di dunia yang mengalami flat foot sekitar 20% hingga 30% anak. Prevalensi anak dengan kelainan bentuk kaki di Taiwan pada tahun 2006, dari 18.006 anak usia 6 sampai 12 tahun, yang mengalami kaki datar sekitar 2499 anak atau 13,88% (Li-wei chou et al, 2006). Menurut Pande Ketut (2012), hasil survey yang dilakukan di SDN Coblong Bandung diperoleh 6 dari 33 siswa (18%) memiliki kecenderungan flat foot.

Berdasarkan hasil analisa deskriptif dari total sampel 1089 siswa di Surakarta didapatkan prevalensi 299 siswa mengalami flat foot dan 790 siswa memiliki arkus normal (Seteriyo Wardanie, 2013).

(54)

dan overweight. Pes planus (flat foot) terbentuk pada saat menumpu berat tubuh tetapi arkus dapat terlihat kembali ketika anak melakukan ekstensi jari kaki pertama atau ketika anak sedang berdiri dengan ujung kakinya (Pfeiffer et al, 2007).

Kaki anak bertumbuh secara konstan sehingga mengubah bentuk dan strukturnya. Morfologi dan perkembangan fungsional kaki dipengaruhi oleh faktor internal (jenis kelamin, genetik, dan usia) dan faktor eksternal (penggunaan sepatu dan aktifitas fisik). Dikarenakan kaki anak belum berkembang secara sempurna, pengaruh dari sepatu dapat menjaga agar kaki anak berkembang dengan normal dan dapat juga menyebabkan masalah dan kelainan pada anak maupun pada dewasa. Beberapa pakar berpendapat bahwa pemakaian sepatu yang tepat yaitu sepatu yang fleksibel dan ukuran yang tepat dengan kaki anak dapat mempengaruhi fungsi dan kenyamanan kaki (Ester et al, 2013).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kejadian flat foot dengan obesitas pada anak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

Apakah terdapat hubungan antara kejadian flatfoot dengan obesitas pada anak?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kejadian flatfoot dengan obesitas pada SD Sutomo 2 Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian atau insiden pes planus (flat foot).

(55)

3. Mengetahui hubungan kejadian flatfoot dengan obesitas pada anak kelas 4 SD Sutomo 2 Medan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Orang Tua

1. Memberikan pengetahuan tentang pes planus (flat foot) yang sering terjadi pada anak-anak obesitas.

2. Dapat memilih bentuk sepatu yang tepat untuk anak agar dapat mencegah nyeri pada kaki anak.

1.4.2 Bagi Peneliti

(56)

ABSTRAK

Latar Belakang. Flat foot adalah hal yang lazim terjadi dan tidak menimbulkan gejala

yang bermakna pada neonatus, anak dibawah 5 tahun ataupun pada anak yang sedang belajar berjalan. Namun apabila terjadi pada anak yang lebih besar dapat menyebabkan nyeri bahkan cedera pada kaki anak. Salah satu faktor resiko flat foot adalah obesitas dan prevalensi obesitas pada anak setiap tahunnya juga selalu meningkat. Walaupun demikian, penelitian mengenai data dan hubungan antara flat foot dengan obesitas masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi obesitas dan flat foot pada anak serta untuk mengetahui hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada siswa SD Sutomo 2 Medan.

Metode. Penelitian cross-sectional dilakukan terhadap 188 responden yang ditentukan

dengan cara total sampling serta melalui kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan untuk melihat hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak. Analisis data menggunakan chi square.

Hasil. Dari 188 responden, dapat dilihat bahwa flat foot lebih banyak terjadi pada

responden perempuan dengan persentase 57.4% dibandingkan responden laki-laki dengan persentase 42.6%. Pada penelitian ini, didapati jumlah responden flat foot berjumlah 70 anak (37.2%) dengan persentase 58.6% mengalami obesitas dan 41.4% tidak mengalami obesitas.

Kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak (p=0.000).

(57)

ABSTRACT

Introduction. Flat foot is usually occurs and do not cause symptoms in under 5 years old

children. But if occur in older children can cause pain even injury in children’s foot. One of flat foot’s risk factor is obesity. Although the prevalence of obesity is increasing every year, research of relationship between obesity and flat foot is still limited. The purpose of this research were to detect prevalence of obesity and flat foot, also to detect the relationship between obesity and flat foot in Sutomo 2 primary student.

Methods. A cross-sectionals was done to determine the relationship between obesity and

flat foot in children among 188 students of utomo 2 primary school. The samples was taken using total sampling then followed by inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed using chi-square.

Results. Out of 188 respondents, could be seen that prevalence of flat foot was happened

more in girl respondents with 57.4% than in in boy respondents with 42.6%. in this research, found that respondent with flat foot were 70 children (37.2%) by 58.6% with obesity and 41.4% without obesity.

Conclusion. From this research can be concluded that there was a significant relationship

between flat foot and obesity in children (p=0.000).

(58)

HUBUNGAN KEJADIAN FLAT FOOT

DENGAN OBESITAS

PADA ANAK

Oleh:

LAVENIA

120100080

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(59)

HUBUNGAN KEJADIAN FLAT FOOT

DENGAN OBESITAS

PADA ANAK

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

LAVENIA

120100080

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(60)
(61)

ABSTRAK

Latar Belakang. Flat foot adalah hal yang lazim terjadi dan tidak menimbulkan gejala

yang bermakna pada neonatus, anak dibawah 5 tahun ataupun pada anak yang sedang belajar berjalan. Namun apabila terjadi pada anak yang lebih besar dapat menyebabkan nyeri bahkan cedera pada kaki anak. Salah satu faktor resiko flat foot adalah obesitas dan prevalensi obesitas pada anak setiap tahunnya juga selalu meningkat. Walaupun demikian, penelitian mengenai data dan hubungan antara flat foot dengan obesitas masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi obesitas dan flat foot pada anak serta untuk mengetahui hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada siswa SD Sutomo 2 Medan.

Metode. Penelitian cross-sectional dilakukan terhadap 188 responden yang ditentukan

dengan cara total sampling serta melalui kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan untuk melihat hubungan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak. Analisis data menggunakan chi square.

Hasil. Dari 188 responden, dapat dilihat bahwa flat foot lebih banyak terjadi pada

responden perempuan dengan persentase 57.4% dibandingkan responden laki-laki dengan persentase 42.6%. Pada penelitian ini, didapati jumlah responden flat foot berjumlah 70 anak (37.2%) dengan persentase 58.6% mengalami obesitas dan 41.4% tidak mengalami obesitas.

Kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kejadian flat foot dengan obesitas pada anak (p=0.000).

(62)

ABSTRACT

Introduction. Flat foot is usually occurs and do not cause symptoms in under 5 years old

children. But if occur in older children can cause pain even injury in children’s foot. One of flat foot’s risk factor is obesity. Although the prevalence of obesity is increasing every year, research of relationship between obesity and flat foot is still limited. The purpose of this research were to detect prevalence of obesity and flat foot, also to detect the relationship between obesity and flat foot in Sutomo 2 primary student.

Methods. A cross-sectionals was done to determine the relationship between obesity and

flat foot in children among 188 students of utomo 2 primary school. The samples was taken using total sampling then followed by inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed using chi-square.

Results. Out of 188 respondents, could be seen that prevalence of flat foot was happened

more in girl respondents with 57.4% than in in boy respondents with 42.6%. in this research, found that respondent with flat foot were 70 children (37.2%) by 58.6% with obesity and 41.4% without obesity.

Conclusion. From this research can be concluded that there was a significant relationship

between flat foot and obesity in children (p=0.000).

(63)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis hasil penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan

dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ”Hubungan Kejadian Flat Foot dengan Obesitas pada Anak”.

Dalam penyelesaian karya tulis hasil penelitian ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Megasari Sitorus, M.Kes, Sp.PA, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak dr. Johny Marpaung, M.Ked(OG), Sp.OG, selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Bapak dr. Pandiaman Pandia, Sp.P(K), selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

(64)

6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.

7. Bapak Frans seda, S.E, selaku Kepala Sekolah SD Sutomo 2 Medan yang telah membantu kelancaran dan terlaksananya penelitian ini.

8. Seluruh staf administrasi SD Sutomo 2 Medan yang telah membantu kelancaran dan terlaksananya penelitian ini.

9. Seluruh responden siswa SD kelas IV tahun 2015 yang telah banyak berjasa secara sukarela meluangkan waktunya mengisi kuesioner sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

10.Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.

11.Teman peneliti, Michael yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, saran, kritik, dukungan materi dan moril dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

12.Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2012 yang telah memberi saran, kritik, dukungan moril dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis hasil penelitian ini.

Medan, Desember 2015

(65)

DAFTAR ISI

2.2.4.Patogenesis Obesitas ... 11

2.2.5.Gejala Klinis Obesitas ... 12

(66)

2.2.7.Diagnosa Banding Obesitas ... 14

2.3.2.Ossa Metatarsal dan Phalanges ... 20

2.4.Tulang-Tulang Arcus ... 20

2.5.Kaki sebagai Unit Fungsional ... 22

2.5.1.Kaki sebagai penyokong berat badan dan pengungkit .... 22

2.5.2.Arcus pedis ... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 27

3.1.Kerangka Konsep Penelitian ... 27

3.2.Defenisi Operasional ... 27

4.3.Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

(67)

4.3.2.Sampel ... 30

4.4.Metode Pengumpulan Data ... 31

4.4.1.Data primer ... 31

4,4,2,Data sekunder ... 31

4.5.Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 31

4.5.1.Pengolahan data ... 31

4.5.2.Analisa data ... 31

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1.Hasil Penelitian ... 33

5.1.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 33

5.1.2.Deskripsi Karakteristik Responden ... 33

5.1.3.Hasil Analisi Data... 35

5.2.Pembahasan ... 35

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

6.1.Kesimpulan ... 38

6.2.Saran ... 38

(68)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Interpretasi kurva WHO ... 7

2.2 Interpretasi kurva CDC ... 9

2.3 Diagnosa banding obesitas ... 14

2.4 Komplikasi obesitas masa anak yang dilapporkan ... 16

3.1 Interpretasi kurva CDC (IMT-Usia) ... 28

5.1 Karakteristik Responden Penelitian ... 33

5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian flat foot berdasarkan karakteristik responden ... 34

(69)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Tulang kaki ... 17

2.2 Ossa calcaneus, talus, naviculare, dan cuboideum ... 19

2.3 Tulang-tulang yang menyusun arkus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis lateralis dan arcus transversus pedis dekstra ... 21

2.4 Anatomi permukaan kaki ... 24

3.1 Kerangka konsep penelitian ... 27

(70)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Kurva CDC IMT-Usia (Laki-Laki)

LAMPIRAN 3 Kurva CDC IMT-Usia (Perempuan)

LAMPIRAN 4 Lembar Penjelasan

LAMPIRAN 5 Lembar Persetujuan

LAMPIRAN 6 Lembar Pengisian Data Sampel

LAMPIRAN 7 Data Induk

LAMPIRAN 8 Hasil Output SPSS

LAMPIRAN 9 Persetujuan Komisi Etik

Gambar

Tabel 3.1 Interpretasi Kurva CDC (IMT – Usia) Persentil  Status Nutrisi
Gambar 3.2 Derajat flat foot Sumber : Antonia et al,1999 dalam artikel Lendra, M.D., Santoso, T.B, 2009
Tabel 5.1. Karakteristik Responden Penelitian
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi kejadian flat foot berdasarkan karakteristik responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi seseorang khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Rumus perhitungan

Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang..

Judul Skripsi : Hubungan Indeks Massa Tubuh yang Tinggi (Obesitas) dengan Kejadian Flat feet pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta Tahun

6 Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dilakukan terhadap responden SD dan SMP yang kemudian dihubungan dengan usia menarche responden maka

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Chi square diperoleh nilai p &gt; 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara berat badan lahir

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa, dan dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi

Indeks massa tubuh IMT merupakan cara sederhana untuk memantau status gizi yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.1 Indeks massa tubuh merupakan hasil perhitungan

Indeks massa tubuh responden diukur dengan cara berat badan kg dibagi tinggi badan m2; hasil ukur Normal, jika IMT 18,5 – 25,0 kg/m2, atau Tidak Normal apabila IMT < 18,5 kg/m2 dan IMT