DI PULAU SERAM, MALUKU
SAMIN BOTANRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul
“Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku” adalah merupakan disertasi hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain yang digunakan dalam penulisan disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Desember 2010
Samin Botanri
NRP. G361060031
ABSTRACT
SAMIN BOTANRI. Spatial Distribution, Autecology, and Biodiversity of Sagoo (Metroxylon spp.) in Seram Island, Maluku. Under supervision of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM, and LILIK BUDI PRASETYO.
Sago palm (Metroxylon spp.) is a tropical plant. Its area distribution in Indonesia is the largest in the world, covering 50-60 % of world’s Sago area. It is multifunction plant, however, it is still under utilized. Ecologicaly, sago palm well adapted on fresh water or peat swamp, riverine zone, surrounding water or swamp forests. Unfortunately, there is no any valid information on its area distribution. Moreover, regarding species diversity of Sago is also unclear. Based on the above facts, it is an urgent need to know its ecological aspect, spatial distribution and species diversity. The research was conducted in March to November 2009 at the Seram Island, Maluku. Spatial distribution was developed by Supervised classification of Landsat TM coupled with ground survey to collect Ground Control Points (GCPs) for accuracy assessment. Further field survey was done to collect autecological data. Isozyme analysis was also conducted to identify species diversity. Output supervised classification of Landsat-5TM image in 2007, showed that potential area of sago palm at the Seram Island was 18.239,8 ha. Characteristic of the habitat was distributed in the lowland (elevation lessthan 250 m asl), flat area, around river, near from beach, and on alluvium soil (sediment). Population structure of sago palm in the nature community follows young growth pattern, in wich rate seedling mortality was about 76,82 %. Regarding the species, M. rumphii Mart. species is the most dominant vegetation which cover 43,3 % of habitat. As adaptation strategy in swampy condition, sago palm form roots which was vertically directed to reach water surface. In sago palm community there was negative interspecific association indicated by Jaccard index less than 0,2. Abiotic component significant effected growth and sago fluor production. The variable that most have significantly effect to growth and sago flour production were micro temperature, micro relative humidity, bulk density, soil acidity, and salinity. The potential clump population at the Seram Island was about 3,2 million clump or approximately of about 1,5 million trunk of trees. M. rumphii Mart. and M. sylvestre Mart. species were the most potential with production capacity of about 566,04 kg starch/trunk and 560,68 kg starch/trunk, respectively. Genetic analysis by isozyme proved that initially known five species of Sago in the Seram Island was actualy only two species, namely Metroxylon rumphii Mart. (concist of M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum
Mart, and M. microcanthum Mart.), and Metroxylon sagu Rottb.
Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM, dan LILIK BUDI PRASETYO.
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan palem wilayah tropika basah. Luas potensinya di Indonesia adalah yang terbesar di dunia sekitar 50-60%, memiliki multifungsi bagi masyarakat tetapi pemanfatannya masih kurang. Secara ekologi tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Kisaran habitat tumbuhnya cukup lebar, mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, di dataran rendah, dan pesisir pantai. Pada habitat beragam itu tumbuh berbagai spesies sagu. Di Maluku terdapat lima spesies, yaitu :
Metroxylon rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M. microcanthum Mart., dan M. sagu Rottb. Data potensi komoditas ini di berbagai daerah sangat variatif, antara sumber satu dengan yang lain. Berapa besar potensi sagu di P. Seram tidak diketahui secara pasti, kemudian studi mengenai ekologi sagu selama ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk memahami preferensi ekologi dan mengetahui luas potensi sebarannya. Disisi lain masih terdapat perbedaan persepsi mengenai jumlah spesies sagu, sehingga perlu dilakukan klarifikasi.
Hasil klasifikasi terbimbing data citra Landsat-5TM tahun 2007 menunjukkan bahwa potensi luas areal sagu di P. Seram Maluku sebesar 18.239,8
ha. Potensi tersebut tersebar di dataran rendah ketinggian ≤250 m dpl, kemiringan
lereng datar-curam, dekat pinggir kiri-kanan sungai, dekat pesisir pantai sering berbatasan dengan nipah, pada tanah-tanah aluvium (Entisols dan Inceptisols).
Secara umum struktur populasi sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti pola pertumbuhan muda yaitu populasi dengan jumlah individu paling banyak pada fase semai, berkurang secara drastis pada fase berikutnya. Jumlah individu fase semai yang berhasil tumbuh ke fase berikutnya hanya 23,18 %, atau mengalami kematian sekitar 76,82 %. Tinginya tingkat kematian dapat disebabkan karena : 1) sifat pertumbuhan anakan sagu, 2) terjadi persainggan di antara masing-masing individu dalam rumpunnya, 3) rentan terhadap pH rendah, dan 4) mengalami toxic karena konsentrasi Fe dan Al sangat tinggi.
Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa spesies sagu menguasai sebagian besar areal lahan habitat dalam komunitas alaminya. Dengan bertambahnya fase pertumbuhan, dominasi spesies sagu ikut meningkat. Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada tipe vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Berdasarkan jumlah individu masing-masing spesies sagu, ditemukan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu paling banyak (99,93 ind/ha) dan INP paling tinggi (129,35 %). Data ini memberikan petunjuk bahwa M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki kerapatan, dominasi, dan frekwensi yang melampaui spesies lain. Secara ekologi merupakan spesies dominan dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %.
rawa-rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat yang kedua dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi tiga tipe yaitu : 1) habitat tergenang air payau yaitu habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan dengan vegetasi nipah (mangrove), 2) habitat tergenang temporer oleh air hujan yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan, dan 3) habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat yang mengalami genangan pada periode waktu relatif lama, biasanya lebih dari satu bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram, tidak semuanya dapat tumbuh pada setiap habitat. Spesies sagu yang dapat tumbuh dan berkembang pada semua tipe habitat adalah M. rumphii Mart., M. longispinum
Mart., dan M. sylvestre Mart. Dua spesies sagu yang lain yakni M. microcanthum
Mart. dan M. sagu Rottb. tumbuh pada habitat terbatas. M. microcanthum Mart. hanya ditemukan tumbuh pada habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies M. sagu Rottb. ditemukan tumbuh di dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Dari tiga spesies sagu yang disebutkan pada bagian awal, M. rumphii Mart. memiliki kemampuan berinteraksi yang sangat kuat. Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasinya, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. memiliki kemampuan adaptasi yang luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga spesies sagu yang lain daya adaptasinya sedang (meso tolerance).
Tiga dari empat tipe habitat sagu termasuk kategori tergenang. Habitat tergenang identik dengan kondisi tereduksi, artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen. Pada sisi lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan oksigen untuk respirasi. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, sistem perakaran sagu mengalami modifikasi arah pergerakan. Biasanya muncul akar berukuran kecil dalam jumlah banyak dengan arah gerakan menuju permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas (oxytropisme).
Hasil analisis Varians Ratio (VR) menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan) terjadi asosiasi spesies dalam komunitas sagu dengan nilai VR sebesar 0,83. Nilai VR < 1 mengandung makna bahwa asosiasi antara spesies bersifat negatif. Hasil analisis chi-square spesies berpasangan menunjukkan bahwa terdapat asosiasi interspesifik dengan nilai chi-square berkisar antara 4,35– 21,03, dan indeks Jaccard rataan 0,14. Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lain.
demikian pula sebaliknya. Komponen abiotis yang paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah faktor kualitas air rawa (10,0 %). Sedangkan faktor tanah merupakan komponen abiotis yang paling bepengaruh terhadap produksi pati sagu, sebesar 60,9 %. Parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing adalah temperatur mikro dan kelembaban mikro. Parameter tanah yang paling berpengruh adalah bulk density dan kemasaman tanah (pH KCl). Dilain fihak salinitas merupakan parameter kualitas air rawa yang paling berpengaruh, baik terhadap pertumbuhan maupun produksi pati sagu.
Di P. Seram Maluku terdapat potensi rumpun sagu sebanyak 3,22 juta rumpun sagu dengan jumlah fase pohon sebanyak 1,47 juta batang. Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu diperoleh bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki potensi produksi paling tinggi. Potensi produksi pati sagu M. rumphii Mart. rata-rata mencapai 566,04 kg/batang dan M. sylvestre
Mart. 560,68 kg/batang. Sedangkan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb. rata-rata hanya mencapai 245,21 dan 237,22 kg/batang. Hasil analisis isozim menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram Maluku mengelompok membentuk dua pola pita enzim (zimogram). Kelompok pertama M. rumphii
Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. microcanthum Mart., menyatu kedalam spesies M. rumphii Mart., sedangkan kelompok kedua spesies
M. sagu Rottb.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DI PULAU SERAM, MALUKU
SAMIN BOTANRI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
N a m a
N R P
Program Studi :
:
:
Ir. Samin Botanri, MP.
G 361060031
Biologi
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota
Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Dra. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc.
2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Achmad M. Satari, M.Sc.
disertasi dengan judul “Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku”, dapat penulis selesaikan sebagaimana mestinya. Dengan rampungnya disertasi ini, penulis berkenan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungannya, baik moril maupun materil, masing-masing kepada :
1. Ayahanda (almarhum) dan Ibunda yang telah membesarkan dan menyekolahkan penulis sejak Pendidikan Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. 2. Istri dan anak-anak saya dengan kesabaran yang tulus dan ikhlas, senantiasa
ditinggal untuk keperluan studi pendidikan doktor di IPB Bogor.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M,Sc., Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan dorongan sejak penyusunan proposal penelitian tahun 2007 sampai penyusunan disertasi ini.
4. Rektor Univ. Darussalam Ambon (Prof. Ismael Tahir) dan Koordinator KOPERTIS Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi ke IPB.
5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI atas bantuan beasiswa BPPS kepada penulis selama 3 tahun.
6. Pimpinan IPB dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah bersedia menerima penulis studi S3 di IPB, dan dukungan hibah penelitian doktor pada tahun 2009.
7. Pimpinan Fakultas dan Ketua Program Studi Biologi FMIPA IPB (Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA), seluruh staf administrasi dalam lingkup IPB yang telah memberikan pelayanan yang baik untuk kelancaran administrasi studi penulis di IPB.
8. Bapak-Ibu mertua yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan studi penulis; Kakak-adik & kakak-adik ipar yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.
9. Para sahabat, kerabat, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada penulis sejak awal sampai akhir studi pendidikan doktor di IPB.
Dalam melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini, seandainya terdapat kepribadian/sikap, tutur kata, maupun perbuatan penulis, kurang atau tidak berkenan, dari lubuk hati yang sangat dalam, penulis berkenan memohon maaf yang sebesar-besarnya. Segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak, kiranya tercatat sebagai ibadah dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan ummat manusia. Insya Allah, Amin.
Bogor, Desember 2010
September 1962 sebagai anak keempat dari 7 bersaudara, dari orang tua, ayah La Tara Botanri (almarhum) dan ibu Wa Amun. Menikah pada tahun 1988 dengan Marwan Yani Kamsurya, SP. MP. dan dikaruniai 4 orang anak yaitu : Tina Amnah Ningsih B (21 tahun), Adnan Affan Akbar B. (19 tahun), Affif Rizqy B (12 tahun) dan Harry Algifary Alfayed B (Adith 6 tahun). Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah Pertama diselesaikan di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Sekolah Lanjutan Atas diselesaikan di SMA Negeri 3 Kota Ambon tahun 1982. Sejak kecil berdomisili di Ambon, antara tahun 1997-2003 berdomisili di Malang Jawa Timur. Kemudian tahun 2003 sampai sekarang berdomisili kembali di Ambon.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, lulus tahun 1988. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Tanah & Air Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dan menamatkan pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program Studi Biologi Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis pertama kali bekerja pada proyek penelitian tanaman umbian, kerjasama Universitas Pattimura dengan USAID-FAO selama 3 tahun, antara tahun 1986-1988. Selain itu bertugas sebagai asisten dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Pada tahun 1989 diangkat menjadi pegawai negeri sipil sebagai dosen Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang/Makassar, dipekerjakan pada Universitas Darussalam Ambon. Pada tahun 1991 terjadi pemekaran Kopertis, dan sejak tahun 1994 penulis dialihkan ke Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat, dipekerjakan pada Perguruan Tinggi yang sama. Jabatan dosen lektor kepala diperoleh pada tahun 2003 dalam bidang ilmu tanaman.
Disertasi ini penulis persembahkan kepada :
Istri : Marwan Yani Kamsurya, SP. M.P. dan anak-anak saya : Tina Amnah Ningsih B, Adnan Affan Akbar B, Affif Rizqy B, dan
Harry Algifary Alfayed B (Adith) atas doa, dedikasi, dan kesabaran yang tulus & ikhlas kepada penulis dalam menempuh
3.4.3.2. Biodiversitas spesies ... 3.4.3.3. Biodiversitas genetik ...
53 54
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ...
4.1.1. Distribusi sagu pada berbagai elevasi ………... 4.1.2. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan ………... 4.1.3. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan ………..
4.1.4. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah ………. 4.1.5. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai ……… 4.2. Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ...
4.2.1. Struktur populasi ……….
4.2.2. Kelimpahan ... 4.2.3. Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan mekanisme pembentukan
rumpun ………
4.2.4. Sifat morfologi sagu ……….
4.2.5. Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu ……… 4.2.6. Mekanisme adaptasi sagu ………... 4.2.7. Karakteristik habitat sagu di P. Seram ……….
4.2.8. Interaksi dengan komponen biotis ………
4.2.9. Interaksi dengan komponen abiotis ………
Halaman
1 Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu ... 21
2 Perkiraan potensi sagu dunia ... 23
3 Perkiraan potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia dari berbagai sumber ... 23
4 Luas areal tumbuhan sagu di Indonesia ... 24
5 Matrix kontingensi untuk evaluasi akurasi ……… 34
6 Fase pertumbuhan sagu ...……... 40
7 Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N unit sampling ………... 46
8 Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan …. 48 9 Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku ... 55
10 Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku .. 60
11 Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P. Seram, Maluku ……….. 61
12 Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku 63 13 Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku 65 14 Distribuusi sagu pada berbagai jarak dari sungai ...………… 69
15 Kelimpahan Metroxylon spp di P. Seram, Maluku ...……….. 76
16 Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda di P. Seram, Maluku .……….... 88
17 Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ...…….. 96
20 Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku ……… 104
21 Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku ……… 105
22 Sifat air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku ... 107
23 Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan penyusun utama komunitas sagu P. Seram,
Maluku ...………. 109
24 Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim ………. 112
25 Eigenvector komponen utama variabel iklim...……… 113
26 Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram,
Maluku ………... 115
27 Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah ………. 119
28 Eigenvector komponen utama variabel tanah ..……….. 120
29 Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram,
Maluku ………. 122
30 Eigenvalues matriks korelasi faktor kualitas air rawa ……….. 128
31 Eigenvector komponen utama variabel kualitas air rawa …..… 129
32 Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P.
Seram, Maluku ………...…... 130
33 Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ………... 133
34 Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda ... 135
35 Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku ...…… 137
36 Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P.
Seram ………. 139
37 Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa
1 Sketsa kerangka pemikiran ...……… 7
2 Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku ...……. 31
3 Bagan alur penelitian distribusi spasial ………... 33
4 Prosedur penelitan autekologi ……….. 36
5 Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu, (b) II Sawai, dan (c) III Werinama ……….. 38
6 Penempatan unit contoh ...……… 39
7 Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat .………. 41
8 Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu ...………. 52
9 Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku …… 57
10 Distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram, Maluku ... 59
11 Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram, Maluku ………... 62
12 Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku .. 64
13 Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku … 67
14 Distribusi sagu pada jarak dari sungai di P. Seram, Maluku .…… 68
15 Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku ...………. 71
16 Anakan sagu tuni yang tumbuh menggantung ... 72
17 Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan …. 75 18 NJD spesies sagu dan non-sagu di P. Seram, Maluku ……… 77
19 Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome ….……... 79
20 Pertumbuhan anakan sagu melalui biji ………. 82
23 Diagram ringkasan adaptasi jenis sagu pada berbagai tipe habitat 92
24 Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang ….. 94
25 Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku ……… 98
26 Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku ……….. 99
27 Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku ……… 101
28 Ulat sagu, biasanya ditemukan pada bagian empulur yang tidak
diolah ……… 112
29 Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku.. 114
30 Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku . 120
31 Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P.
Seram, Maluku ………. 129
32 Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b)
Asam Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER) ………… 142
33 Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918
1 Producer’s Accuracy ...………. 34
2 User’s Accuracy ………....……. 34
3 Overall Accuracy ………... 35
4 Rumus menghitung luas tutupan tajuk ………... 37
5 Rumus menghitung temperatur mikro harian ………... 43
6 Rumus menghitung kelembaban udara relatif harian ... 43
7 Rumus menghitung kerapatan mutlak .……….. 45
8 Rumus menghitung kerapatan relatif ………...………. 45
9 Rumus menghitung frekwensi mutlak ………..…… 45
10 Rumus menghitung frekwensi relatif ...………. 45
11 Rumus menghitung dominasi mutlak ……… 45
12 Rumus menghitung dominasi relatif ………. 45
13 Rumus menghitung Indeks Nilai Penting (INP) ………. 45
14 Rumus menghitung Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) ……...…… 45
15 Rumus menghitung varians sampel total ...………... 47
16 Pendugaan varians jumlah spesies total ...…….. 47
17 Rumus menghitung Variance Ratio………..…. 47
18 Rumus menghitung Chi-square……….. 47
19 Rumus menghitung Indeks Jaccard(JI) ……….….……... 48
20 Model Regresi Komponen Utama ……….… 50
21 Transformasi variabel bebas menjadi variabel baku Z ...………. 51
24 Rumus menghitung Indeks Keanekaragaman Spesies
(Shannon-Wiener H’) ……….. 54
25 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor iklim di P.
Seram, Maluku ………... 115
26 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor iklim
terhadap pertumbuhan sagu ……….. 116
27 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor iklim
terhadap produksi pati sagu ……….. 116
28 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor tanah di P.
Seram, Maluku ………... 122
29 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor tanah
terhadap pertumbuhan sagu ……….. 123
30 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor tanah
terhadap produksi pati sagu ……….. 123
31 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa
di P. Seram, Maluku ………. 130
32 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor kualitas
air rawa terhadap pertumbuhan sagu ……… 131
33 Persamaan Regresi Komponen Uama pengaruh faktor kualitas air
Halaman
1 Peta penggunaan lahan di P. Seram, Maluku ..……… 156
2 Peta kesesuaian elevasi habitat sagu di P. Seram, Maluku .……. 157
3 Peta kesesuaian kemiringan habitat sagu di P. Seram, Maluku … 158
4 Peta kesesuaian sistem lahan habitat sagu di P. Seram, Maluku .. 159
5 Peta kesesuaian tanah habitat sagu di P. Seram, Maluku ……… 160
6 Populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ……….. 161
7 Hasil analisis vegetasi pada tiga wilayah sampel di P. Seram,
Maluku ………... 163
8 Tipe habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ……….. 166
9 Intensitas sinaran surya rataan harian di bawah tegakan tanaman
sagu di P. Seram, Maluku (lux = lumen/m2) ………..………….. 168
10 Temperatur rataan harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P.
Seram, Maluku ……….. 171
11 Curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Kairatu Kab. SBB
dan Amahai Kab. MT P. Seram, Maluku ……….. 173
12 Kelembaban udara relatif rataan harian di bawah tegakan
tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku (%) ………... 174
13 Sifat kimia tanah dalam habitat tumbuhan sagu di P. seram,
Maluku ……… 176
14 Sifat fisika tanah dalam habitat sagu di P. seram, Maluku ………. 178
15 Sifat kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku … 179
16 Spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram,
Maluku ………. 180
17 Hasil uji Chi-Square untuk pengujian asosiasi interspesifik
………
1.1. Latar belakang
Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di
dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua
New Guinea (PNG), Malaysia dan Thailand. Flach (1983) dan Budianto (2003)
menyebutkan bahwa luas areal hutan sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, yang
tersebar di Indonesia lebih kurang 1,1 juta hektar atau sekitar 51,3 %, bahkan
Suryana (2007) memperkirakan luasan yang lebih besar sekitar 60 % dari luas
areal sagu dunia. Kebanyakan potensi luasan tumbuhan sagu nasional terdapat di
wilayah Indonesia Timur terutama Papua dan Maluku mencapai 96 %, sisanya
tersebar di daerah lain seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau. Walaupun
potensi sagu nasional sangat besar, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal
ini ditandai dengan banyak tumbuhan sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen
dan akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah, diperkirakan hanya
sekitar 15-20 %.
Sagu (Metroxylon spp.) sebagai salah satu tumbuhan palem yang tumbuh
di daerah tropik basah, memiliki multifungsi dalam kehidupan masyarakat.
Bagian empulur dari batang sagu dapat menghasilkan atau diambil pati sebagai
bahan pangan utama bagi sebagian masyarakat Papua dan Maluku serta beberapa
daerah lain di Indonesia Bagian Timur. Pemanfaatan tepung sagu atau aci sagu
sebagai sumber karbohidrat di beberapa daerah terutama di pedesaan Papua dan
Maluku telah berlangsung lama. Namun sekitar 15-20 tahun terakhir terjadi
perubahan pola konsumsi yang beralih ke beras. Perubahan ini berimplikasi pada
pemanfaatan tepung sagu sebagai bahan pangan yang semakin berkurang bahkan
terabaikan, pada sisi lain kebutuhan bahan pangan beras cenderung meningkat.
Peran pati sagu tidak hanya dapat digunakan sebagai bahan pangan, dengan
perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan baku berbagai
jenis industri makanan, industri kayu lapis, berpeluang sebagai salah satu sumber
bahan baku bio-etanol. Di PNG, telah dilakukan serangkaian penelitian tentang
produksi bioetanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan dari pengolahan satu
kilogram pati kering menghasilkan bioetanol sebanyak 0,56 liter (Flach 1983).
Ampas sagu kering yang merupakan limbah dalam proses ekstraksi pati sagu
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organik (Bintoro 2000).
Dalam penanganan tumbuhan sagu dijumpai data luas areal dan potensi
produksi yang sangat beragam antar penulis dan lembaga yang terkait dengan
komoditas tersebut (Suryana 2007). Sebagai contoh di Maluku berdasarkan
laporan Darmoyuwono (1984) dan Universitas Pattimura (1992 dalam Mulyanto
dan Suwardi 2000) disebutkan bahwa luas areal tumbuhan sagu di Maluku
masing-masing sekitar 30.100 dan 47.600 hektar. Sedangkan menurut
Louhenapessy (1993) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar 26.410
hektar.
Luas potensi sagu yang variatif ini dapat dikarenakan metode penetapan
yang berbeda, populasi sagu yang sifatnya dinamis sehingga secara temporal bisa
bertambah atau sebaliknya mengalami pengurangan karena kondisi lingkungan
yang tidak mendukung seperti kekeringan atau terjadi kebakaran lahan karena
fenomena alam atau sengaja dibakar. Selain itu dapat dikarenakan adanya
aktifitas masyarakat yang melakukan pengembangan sagu melalui kegiatan
penanaman atau bahkan sebaliknya melakukan perubahan peruntukkan
penggunaan lahan menjadi non-sagu.
Data potensi yang tersebar di Maluku, belum ditunjukkan secara pasti
sebarannya pada setiap wilayah, padahal dapat dilakukan dengan menggunakan
data citra satelit. Disisi lain penentuan distribusi spasial luas areal tumbuhan sagu
dengan menggunakan citra satelit masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk
mendapatkan data distribusi sagu yang akurat perlu dilakukan dengan
memanfaatkan data citra satelit sehingga dapat dipetakan penyebaran spasialnya.
Salah satu citra satelit yang tersedia dan memiliki resolusi cukup tinggi adalah
citra Landsat-5 TM multispektral dengan resolusi spasial 30 m x 30 m. Dengan
menggunakan citra satelit ini dapat dilakukan pemetaan distribusi spasial
tumbuhan sagu.
Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar
atau hutan-hutan rawa. Suryana (2007) menyebutkan bahwa tumbuhan sagu
mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah rawa-rawa dan lahan marginal
yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan
tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman konservasi.
Tumbuhan sagu yang tumbuh disekitar mata air dapat berperan dalam melindungi
dan melestarikan kelangsungan sumber mata air.
Tumbuhan sagu memiliki kisaran kondisi pertumbuhan yang relatif luas,
mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, yang penting kandungan
lengas tanah terjamin cukup tinggi (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Pada kondisi habitat tersebut tumbuh dan berkembang berbagai jenis sagu.
Louhenapessy (2006) mengemukakan bahwa di kepulauan Provinsi Maluku
terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart. (sagu tuni), 2) M.
sagu Rottb. (molat), 3) M. sylvestre Mart. (ihur), 4) M. longispinum Mart.
(makanaru), dan 5) M. microcanthum Mart. (duri rotan). Hal ini memberikan
gambaran bahwa terdapat keanekaragaman (biodiversitas) spesies sagu di
Provinsi Maluku yang berinteraksi dengan kondisi habitatnya.
1.2. Perumusan masalah
Kisaran habitat tumbuh sagu cukup lebar, mulai dari lahan tergenang
sampai dengan lahan kering, dari dataran rendah di pinggir pantai sampai dataran
tinggi. Pada kisaran tersebut tumbuh berbagai spesies sagu. Secara umum semua
spesies memiliki kesamaan habitat tumbuh, tetapi dapat pula setiap spesies,
menghendaki habitat yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk
memahami autekologi tumbuhan sagu yang menyangkut pola interaksi antara
tumbuhan sagu dengan parameter kualitas lingkungan, penilaian kondisi populasi
yang meliputi struktur populasi, kerapatan, coverage, asosiasi, pertumbuhan dan
perkembangbiakan, penentuan preferensi ekologi seperti karakteristik habitat, tipe
habitat, interaksi spesies dengan tipe habitat, dan mekanisme adaptasi sagu.
Selain itu yang penting untuk dipelajari juga adalah pengaruh kualitas tanah, air,
dan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi sagu sebagai wujud interaksi
Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, iklim mikro, dan
spesies vegetasi dalam habitat itu. Ciri spesies dan genetik masing-masing
tumbuhan sagu ditunjukkan oleh sifat genetik setiap spesies. Oleh karena itu
perlu dilakukan analisis genetik untuk dapat membedakan secara tegas
biodiversitas pada tingkat spesies dan genetik terhadap tumbuhan sagu yang
tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku. Dalam kaitan
tersebut, maka permasalahan yang menjadi kajian penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pola distribusi spasial tumbuhan sagu dalam wilayah P. Seram,
Maluku?
2. Bagaimana sifat populasi berbagai spesies sagu di P. Seram?
3. Bagaimana karakteristik habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku?
4. Apakah semua spesies sagu dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai tipe
habitat, ataukah setiap spesies lebih mendominasi tipe habitat tertentu?
5. Bagaimana interaksi antara tumbuhan sagu dengan tipe habitatnya, dan
bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap pertumbuhan dan
produksinya?
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Melakukan analisis untuk mengetahui penyebaran spasial tumbuhan sagu
dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku.
2. Mengungkapkan struktur populasi, melakukan analisis vegetasi, dan asosiasi
spesies dalam komunitas sagu alami di P. Seram.
3. Mengungkapkan karakteristik habitat, serta adaptasi tumbuhan sagu pada
berbagai kondisi habitat.
4. Melakukan analisis untuk menjelaskan interaksi faktor lingkungan dengan
pertumbuhan dan produksi pati sagu.
5. Melakukan klarifikasi spesies sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram,
1.4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu peta penyebaran
spasial dan luas potensi areal sagu di P. Seram sehingga dapat dijadikan sebagai
informasi penting dalam upaya pemanfaatan dan pengembangan sagu dimasa
yang akan datang. Dalam kaitan dengan eksploitasi dan pengembangan sagu,
selain dapat memanfaatkan potensi sagu yang tumbuh secara alami, maka
informasi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam usaha pengembangan sagu
melalui kegiatan budidaya. Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi secara tegas terhadap konsistensi
biodiversitas spesies sagu.
1.5. Kerangka pemikiran
Dalam beberapa tahun terakhir, kajian tentang tumbuhan sagu cukup
banyak dilakukan. Kebanyakan kajian yang dilakukan berkaitan dengan aspek
budidaya (Jong 2005, Novarianto 2003, Bintoro 2008, dan Rostiwati et al. 2008),
identifikasi jenis berdasarkan penampakan fenotipe (Miftahorrachman dan
Novarianto 2003, Barahima 2005), dan fungsi atau pemanfaatan pati untuk
berbagai keperluan (Gumbira Sa’id 1993, Barlina dan Karouw 2003, Ishizaki 2007). Kajian mengenai aspek ekologi sagu masih sangat terbatas.
Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) melakukan kajian tentang persyaratan
lahan bagi tumbuhan sagu. Dalam uraiannya substansi ekologi tumbuhan sagu
belum tersentuh secara menyeluruh. Pada sisi lain hasil penelitian tentang
distribusi spasial tumbuhan sagu belum pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Dalam kaitan itu, maka dapat dilakukan koreksi data spasial sagu
menggunakan teknologi yang lebih maju dan memiliki akurasi tinggi yakni
dengan memanfaatkan data citra satelit melalui Sistem Informasi Geografis (GIS).
Melalui proses analisis dapat menghasilkan informasi baru berupa data spasial
dalam bentuk patch (cluster) tumbuhan sagu.
Secara umum sagu tumbuh pada habitat yang berair atau tergenang air,
pada pinggir-pinggir sungai, sekitar sumber-sumber air, tetapi dapat pula setiap
tergenang secara temporer, atau tergenang permanen. Louhenapessy (1993) telah
melakukan studi tentang potensi produksi tumbuhan sagu pada berbagai jenis
tanah. Kajian ini masih bersifat makro, artinya setiap spesies sagu dipersepsikan
tumbuh pada berbagai tipe habitat, padahal perbedaan spesies senantiasa
menghendaki kondisi habitat tumbuh yang lebih spesifik. Dalam kaitan itu, maka
perlu dilakukan suatu studi autekologi, sehingga dapat diungkapkan secara
spesifik preferensi ekologi masing-masing spesies sagu seperti karakterisitk
habitat, struktur populasi, kepadatan, coverage, pertumbuhan, perkembangbiakan,
mekanisme adaptasi, dan sifat-sifat lahan seperti tanah, air, dan iklim mikro.
Dalam melakukan kajian tentang habitat tumbuhan sagu, maka diperlukan
informasi tentang berbagai parameter lingkungan. Parameter lingkungan yang
dimaksud meliputi faktor iklim, tanah, air, dan vegetasi lain yang tumbuh dalam
komunitas sagu. Faktor iklim yang berperanan dalam pertumbuhan dan
perkembangan sagu berupa curah hujan, temperatur, kelembaban, dan sinaran
surya. Faktor tanah meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi, sedangkan faktor air
yaitu berupa pH, salinitas, unsur hara terlarut, dan sebagainya. Secara alami
tumbuhan sagu dalam habitatnya, tumbuh bersama-sama atau berasosiasi dengan
jenis vegetasi yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari interaksi antara berbagai
faktor pertumbuhan dengan tumbuhan sagu itu sendiri
Beberapa ahli, antara lain Louhenapessy (2006), Bintoro (2008), dan
Rostiwati et al. (2008) menyebutkan bahwa di Provinsi Maluku tumbuh dan
berkembang lima spesies sagu. Sedangkan berdasarkan klasifikasi sagu yang
dilakukan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) di Maluku hanya terdapat dua
spesies. Oleh karena itu diperlukan suatu studi agar dapat dilakukan klarifikasi
mengenai jumlah spesies sagu. Sketsa kerangka pemikiran penelitian tersaji dalam
Gambar 1.
1.6. Hipotesis
Dalam penelitian ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
1. Penyebaran spasial tumbuhan sagu di P. Seram berupa klaster-klaster sagu,
banyak terdapat pada lahan datar di dataran rendah yang tergenang secara
2. Terdapat asosiasi di antara spesies vegetasi dalam komunitas sagu alami di P.
Seram.
3. Setiap spesies sagu memiliki daya adaptasi yang berbeda pada setiap tipe
habitat.
4. Dalam pertumbuhan dan perkembangan sagu di dalam habitatnya terdapat
interaksi antara sagu dengan parameter lingkungan.
Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air payau; TPN = tergenang permanen
1.7. Kebaruan (Novelty)
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa aspek sebagai kebaruan
(Novelty) dari penelitian ini yaitu :
1. Membuat peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram Maluku,
menggunakan citra Landsat-5TM.
2. Mengungkapkan pola pertumbuhan sagu dalam komunitas sagu alami yang
mengikuti pola pertumbuhan muda.
3. Mengungkapkan mekanisme adaptasi sagu pada kondisi tergenang (tereduksi)
melalui perubahan arah pertumbuhan akar sebagai gerakan dalam mencari
oksigen (oxytropisme).
4. Mengungkapkan mekanisme pembentukan rumpun sagu dalam komunitas sagu
alami.
5. Ditemukan terdapat spesies sagu yang memiliki daya adaptasi luas (eury
tolerance), sedang (meso tolerance), dan sempit (steno tolerance).
6. Menggunakan metode analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan
pengaruh faktor abiotis terhadap populasi rumpun dan produksi pati sagu.
7. Melakukan klarifikasi jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku,
2.1. Autekologi
Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian
individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan
perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan dimana spesies
atau individu itu hidup (Odum 1994). Autekologi mempelajari tentang sifat dan
kelakuan spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka.
Penekanan autekologi terkait dengan siklus hidup, distribusi individu spesies pada
kondisi alaminya, adaptasi, perbedaan populasi, dan lain-lain. Kajian autekologi
penting untuk menjelaskan struktur dan dinamika suatu komunitas. Kajian
autekologi merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga pemahaman terhadap
spesies pada suatu komunitas adalah penting, dikarenakan pengetahun tersebut
digunakan sebagai dasar untuk memahami masalah vegetasi secara keseluruhan.
Berbagai aspek kajian dalam autekologi pada individu setiap spesies
menyangkut identifikasi tumbuhan, asosiasi spesies tumbuhan, distribusi dan
manfaat tumbuhan, morfologi tumbuhan, sitogenetik spesies tumbuhan, fisiologi
tumbuhan dan kompleksitas lingkungan. Selain itu autekologi juga mengkaji
aspek fenologi seperti perkecambahan, gugurnya daun, produksi buah, produksi
biji, pembungaan, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan perbedaan musim selama
setahun, maka aspek biotik dan abiotik merupakan parameter yang harus
dikuantifikasi pada fase pertumbuhan yang berbeda dengan interval waktu yang
teratur. Kompleksitas faktor lingkungan menyebabkan terjadinya variasi
pengaruh terhadap setiap fase dalam siklus hidup tumbuhan. Dalam kajian lebih
lanjut dijelaskan korelasi fenologi dengan variasi perubahan lingkungan.
Parameter yang dipelajari antara lain meliputi pembungaan, penyerbukan,
pembuahan, produksi biji, viabilitas biji, dormansi, kapasitas reproduktif,
pertumbuhan anakan, dan pertumbuhan vegetatif (Shukla and Chandel 1982
dalam Djufri 2006).
Uraian lebih lanjut tentang autekologi oleh Barbour et al. (1987)
dikemukakan bahwa autekologi merupakan bagian yang besar dari ekologi
atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
sub bagian autekologi meliputi demokologi (spesiasi), ekologi populasi dan
demografi (ukuran populasi), ekologi fisiologi (ekofisiologi) dan genekologi
(genetika). Para ahli autekologi telah mencoba menjelaskan terjadinya distribusi
spesies tertentu, sifat fenologis, fisiologis, morfologis, perilaku, dan sifat genetik
yang tampak pada habitat tertentu. Autekologiawan telah berusaha untuk
menjelaskan pengaruh lingkungan pada level populasi, organismik,
suborganismik, dan kemudian menyusun suatu ringkasan sebagai pola adaptasi
spesies agar tetap hidup (survive) dalam habitatnya.
2.2. Biodiversitas tumbuhan sagu
Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan semua kehidupan di
atas bumi, yang mencakup tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme, serta
berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi
yang menjadi tempat hidupnya. Keanekaragaman hayati memiliki tiga tingkatan
(Kartono 2008), yakni : a) keanekaragaman genetik, yang merujuk pada berbagai
informasi genetik yang terkandung di dalam setiap makhluk hidup secara
individu, b) keanekaragaman spesies, yang menjelaskan tentang jumlah spesies
makhluk hidup dalam suatu ruang tertentu, dan c) keanekaragaman ekosistem,
yakni keragaman habitat, komunitas hayati, serta proses-proses ekologis yang
terjadi di dalam suatu ekosistem tertentu. Keaneragaman genetik dan ekosistem
seringkali dapat diterangkan oleh keanekaragaman spesies karena dalam setiap
spesies terkandung berbagai informasi genetik dan tiap spesies memiliki
kebutuhan dasar yang berbeda terutama habitat.
Primack et al. (1998) mengemukakan bahwa biodiversitas pada tingkat
spesies mencakup seluruh organisme di bumi, dari bakteri dan protista melalui
dunia tumbuhan, hewan dan jamur. Pada skala yang lebih kecil mencakup variasi
genetik dalam spesies, di antara populasi yang terpisah secara geografik dan di
antara individu di dalam suatu populasi. Keanekaragaman hayati juga meliputi
variasi di dalam komunitas biologi (dimana spesies hidup) dan ekosistem (dimana
Dalam upaya memahami keanekaragaman suatu spesies dapat dirunut dari
sistem klasifikasinya. Berdasarkan sistem klasifikasi tumbuhan yang dikeluarkan
FAO (2007) tumbuhan sagu diklasifikasikan dengan susunan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan vascular)
Superdivision : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Division : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Class : Liliopsida (monokotil)
Subclass : Archidae
Ordor : Arecales
Family : Arecaceae
Genus : MetroxylonRottb.
Species : 1. Metroxylon amicarum (H. Wendl.) Becc.
2. Metroxylon elatum Mart.
3. Metroxylon paulcoxii McClatcey
4. Metroxylon rumphii (Willd.) Mart.
5. Metroxylon sagu Rottb.
6. Metroxylon salomonense (Warb.) Becc.
7. Metroxylon vitiense (H. Wendl.) H. wendl.ex Hook.f.
8. Metroxylon warburgii Becc.
Tumbuhan sagu menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) membagi
genus Metroxylon menjadi dua kelompok. Tumbuhan sagu memiliki jumlah row
sisik kulit buah sebanyak 18 dimasukkan ke dalam kelompok Eumetroxylon.
Sedangkan apabila jumlah row sisik kulit buah berjumlah antara 24-29 termasuk
dalam kelompok Coelococcus. Kelompok pertama Eumetroxylon memiliki dua
spesies yaitu : Metroxylon sagu Rottb. dan Metroxylon rumphii Mart. Sedangkan
kelompok kedua : Coelococcus, terdiri dari 7 spesies yaitu : M. squarosum Becc.,
M. warburgii Heim., M. upoluense Becc., M. vitiense Benth et Hook, M.
amicarum Becc., M. salomonense Becc., dan M. bougainvillense Becc.
Menurut Heyne (1950 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993)
yang termasuk dalam genus Metroxylon. Tumbuhan sagu sejati ini dipisahkan
atas dua kelompok berdasarkan ada-tidaknya duri pada tangkai daun. Kelompok
pertama adalah yang berduri meliputi M. rumphii Mart., merupakan spesies
utama dalam kelompok ini. Spesies lainnya adalah M. longispinum Mart., M.
microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart. Sedangkan kelompok yang tidak
berduri adalah M. sagu Rottb., sebagai jenis utama yang mempunyai berbagai
forma.
Klasifikasi tumbuhan sagu dilakukan pula oleh Rauwerdink (1986 dalam
Barahima 2005) yang dilakukan berdasarkan ciri-ciri berduri atau tidak, berumpun
atau tidak, dan jumlah sisik yang menutupi buah. Berdasarkan kriteria tersebut,
maka tumbuhan sagu (genus Metroxylon) dibagi atas 5 spesies yaitu 1). M. sagu
Rottb. yaitu tumbuhan sagu yang membentuk rumpun, berduri atau tidak, dan
buahnya mempunyai 18 sisik yang membujur, 2). M. amicarum Becc, 3). M.
vitiense Benth et Hook, 4). M. salomonense Becc, dan 5). M. warburgii Heim
yaitu jenis sagu yang tidak berduri dan buahnya ditutupi 24-28 sisik longitudinal.
Wilayah penyebaran kelima spesies ini oleh Rauwerdink (1986 dalam Flach
1997) meliputi kepulauan Malaya, New Hebrides, Fiji, Carolines, dan kepulauan
Salomon. Dikemukakan juga bahwa Metroxylon rumphii sinonim dengan M.
squarrosum. Sedangkan M. bougainvillense dari Bougainville sinonim dengan
M. salomonense dari kepulauan Salomon.
McClatchey et al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu
genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum
(H.Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M.
salomonense (Warburg) Beccari, 5). M. vitiense (H. Wendland) H. Wendland ex
Bentham & Hooker f., dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Wilayah penyebaran
jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia, dan beberapa pulau di
Micronesia dan Polynesia. Berdasarkan peta penyebaran sagu di dunia yang
dibuatnya, tampak bahwa di Indonesia, PNG, dan sebagian kepulauan Filipina
2.3.Ciri-ciri morfologi tumbuhan sagu a. Ciri umum
Tumbuhan sagu memiliki jenis akar serabut, pada awal pertumbuhan
tumbuh akar primer dan dalam pertumbuhan lanjutannya tumbuh dan berkembang
akar-akar sekunder. Nitta el al (2002 dalam Barahima 2005) membagi sistem
perakaran tumbuhan sagu atas dua tipe yaitu : 1) tipe besar yang memiliki
diameter sekitar 6-11 mm, dan 2) tipe kecil dengan ukuran diameter antara 4-6
mm. Tipe akar besar sebagai akar adventif melekat langsung pada bagian luar
epidermal, berukuran besar, dan tumbuh vertikal ke bawah. Tipe akar kecil
berupa akar lateral, merupakan percabangan dari akar besar, ukurannya lebih kecil
dan tumbuh atau menyebar secara lateral.
Batang tumbuhan sagu terbentuk setelah masa russet berakhir yaitu
setelah berumur sekitar 3-4 tahun, dan kemudian membesar dan memanjang
dalam waktu sekitar 54 bulan (Flach 2005 dalam Barahima 2005). Batang sagu
berbentuk silinder atau bulat memanjang dengan diameter sekitar 50-60 cm,
bahkan dapat mencapai 80-90 cm. Pada umumnya diameter batang bagian bawah
lebih besar dibandingkan dengan diameter batang bagian atas. Tumbuhan sagu
memiliki batang tertinggi apabila telah sampai pada umur panen yakni 11 tahun
atau lebih. Pada masa itu tinggi pohon sagu telah mencapai 13-16 m, tetapi ada
pula yang dapat mencapai 20 m dengan bobot sekitar satu ton (Haryanto dan
Pangloli 1992). Variasi tinggi batang sagu sangat tergantung pada jenis dan
pengaruh kondisi lingkungan tumbuh. Pada kondisi lingkungan tumbuh yang
baik, dalam arti tanahnya subur, kandungan air cukup, maka batang sagu
memiliki ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang
kurang baik. Batang tumbuhan sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang
keras berupa lapisan epidermal, dan bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat-serat dan pati.
Tumbuhan sagu memiliki sistem daun menyirip yang tumbuh pada tangkai
daun. Pada bagian tajuk terdapat sekitar 6-15 rangkaian daun (ental) dan pada
setiap rangkaian terdapat pelepah daun, tangkai daun, dan kurang lebih 20 pasang
helai daun dengan panjang antara 60-80 cm. Flach dan Schuiling (1991 dalam
antara 6-24 ental, panjang setiap ental sekitar 5-8 meter dengan jumlah 100-190
anak daun. Flach (1983) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat
dengan penyinaran yang baik pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang
panjangnya sekitar 5-7 meter. Dalam setiap tangkai daun terdapat sekitar 50
pasang daun dengan panjang bervariasi antara 60-180 cm, dan lebar sekitar 5 cm.
Sagu yang masih muda memiliki tangkai daun yang lebih sedikit jumlahnya yaitu
sekitar 12-15 tangkai. Pada setiap bulan terbentuk tangkai daun, dan
diperkirakan umur tangkai daun sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah
menua. Daun muda umumnya berwarna hijau muda, kemudian dengan bertambah
waktu secara berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, selanjutnya berubah
lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila daun telah tua. Tangkai daun yang
telah tua tersebut akan terlepas dengan sendirinya dari batang, dan meninggalkan
bekas pada kulit batang.
Tumbuhan sagu mulai berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10-15
tahun. Kisaran pembungaan ini sangat tergantung pada jenis atau spesies sagu
dan kondisi pertumbuhannya. Fase pembungaan diawali dengan munculnya daun
bendera, yaitu daun yang ukurannya lebih pendek dari daun-daun sebelumnya.
Munculnya bunga merupakan indikator bahwa sagu tersebut telah mendekati akhir
daur pertumbuhannya. Setelah buahnya mengering diikuti dengan kematian
(Braulech 1953 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Malai bunga menyerupai
tanduk rusa yang terdiri atas cabang utama, sekunder, dan tersier. Pada cabang
tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan
mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina mekar. Dengan demikian
tumbuhan sagu melakukan penyerbukan silang (cross polination). Oleh karena
itu apabila tumbuhan sagu tumbuh secara soliter, maka jarang yang berhasil
membentuk buah.
Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur, tetapi hanya satu
yang keluar membentuk kecambah, sedangkan dua induk terluar lainnya bersifat
rudimenter, sedangkan benang sari bunga jantan berjumlah enam helai (Anonim
1979 dalam Barahima 2005). Jumlah struktur bunga sekitar 15-25 cabang utama,
dengan panjang 2-3 meter, cabang sekunder terdapat 15-22 cabang, dan cabang
buah salak dan mengandung biji yang fertil. Waktu antara mulai muncul bunga
sampai fase pembentukan buah diperkirakan sekitar 2 tahun (Haryanto dan
Pangloli 1992).
Pembentukan buah dan biji dari antesis sampai buah terakhir gugur
memerlukan waktu sekitar 19-23 bulan. Jumlah buah yang dihasilkan per pohon
sagu sekitar 2.174-6.675 buah (Jong 2005). Buah sagu terdiri atas exocarp,
mesocarp, endocarp, sarcotesta, testa, endosperm, dan embrio. Exocarp bersisik
dan di dalamnya terdapat daging buah yang disebut mesocarp dan tempurung biji
yang disebut sarkotesta. Di dalam sarkotesta terdapat endosperm yang berfungsi
sebagai cadangan makanan bagi embrio.
b. Ciri-ciri beberapa jenis sagu
Di Indonesia terdapat lima spesies tumbuhan sagu yang telah diidentifikasi
ciri-cirinya (Haryanto dan Pangloli 1992). Spesies sagu tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Metroxylon rumphii Martius (sagu tuni)
Tinggi batang berkisar dari 10-15 meter, bahkan dapat mencapai 18 meter
atau lebih. Memiliki tebal kulit sekitar 2-3 cm. Kulit pada bagian pangkal
lebih tebal dibandingkan dengan ketebalan kulit pada bagian tengah dan
bagian ujung. Diameter pada pangkal sampai ujung batang hampir sama,
kecuali pada bagian dasar pangkal karena perakarannya yang dangkal.
Daun berwarna hijau tua, panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 5-7 meter.
Tangkai daun berduri pada bagian pangkal sampai ujung, duri terdapat pula
pada pinggir daun. Duri pada tangkai daun berukuran 1-4 cm, pada stadia
anakan durinya sangat banyak dan rapat. Setiap tangkai daun terdiri dari
100-200 anak daun yang panjangnya 80-120 cm dan lebar 5-10 cm.
Memiliki sistem perakaran yang dangkal dan banyak terubusnya.
Berat batang pada umur panen lebih dari satu ton. Empulurnya lunak dan
sedikit mengandung serat sehingga mudah ditokok. Kadar empulur
Tepung berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan
170-500 kg tepung kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli
1992). Spesies ini merupakan sagu paling besar ukurannya dibandingkan
dengan jenis lainnya.
2. Metroxylon sagu Rottboell (sagu molat)
Tinggi batang berkisar dari 10-14 meter, diameter sekitar 40-60 cm, berat
batang dapat mencapai 1,2 ton atau lebih.
Tangkai daun tidak berduri, ujung daun panjang meruncing. Letak daun
berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 meter, panjang lembaran daun
sekitar 1,5 meter dan lebar kira-kira 7 cm.
Memiliki bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan.
Empulur lunak dan berwarna putih, sehingga acinya berwarna putih. Berat
empulur sekitar 80 % dari berat batang, kandungan aci sekitar 18 %. Setiap
pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg aci
kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
3. Metroxylon sylvestre Martius (sagu ihur)
Tinggi batang berkisar dari 12-16 meter, bahkan dapat mencapai 20 meter.
Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton. Tebal kulit
berkisar 1-3 cm.
Panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 4-6 meter. Daun berwarna hijau tua,
memiliki tulang daun yang lunak, dan ujungnya membengkok ke bawah.
Pada sekitar pelepah dan sepanjang tangkai daun terdapat duri dengan
panjang sekitar 1-5 cm.
Empulur agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna
kemerah-merahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan pula.
Berat empulur sekitar 18 % dari berat batang dengan kandungan aci sekitar
17-18 %. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering
(BPPT 1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
4. Metroxylon longispinum Martius (sagu makanaru)
Tinggi batang sekitar 12-15 meter, diameter sekitar 50 cm. Berat batang
sekitar satu ton dan kandungan empulur mencapai 80 % dari berat batang
Tangkai daun pendek berkisar antara 4-6 cm dan berduri banyak. Anak
daun kecil-kecil dengan panjang sekitar 80-120 cm. Pinggir daun penuh
duri.
Kandungan aci sagu dalam empulur sekitar 200 kg per pohon, dan rasanya
kurang enak.
5. Metroxylon microcanthum Martius (sagu duri rotan)
Tinggi batang sekitar 8 meter dengan diameter sekitar 40 cm.
Produksi aci dalam setiap pohon hampir sama dengan M. sylvestre Mart.
(Soerjono dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Empulur tidak cepat mengalami fermentasi atau pengasaman, sehingga tidak
cepat busuk setelah dipanen.
2.4. Habitat dan ekologi tumbuhan sagu
Daerah penyebaran tumbuhan sagu terdapat di Pasifik Selatan, Melanesia,
Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Pada umumnya tumbuh pada
lahan-lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika
berlangsung musim hujan, dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Deinum
(1984 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993) menyebutkan bahwa
habitat asli tumbuhan sagu adalah tepian parit dan sungai yang becek, tanah
berlumpur, akan tetapi secara berkala mengering. Lahan sekitar parit pada
umumnya berupa lahan kering, sedangkan pada pinggiran sungai, kebanyakan
tergenang air atau relatif basah, meskipun ada pula yang kering. Flach (1983)
menyebutkan bahwa habitat tumbuh yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah
daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan
bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Apabila akar
nafas terendam air secara terus menerus akan menghambat pertumbuhan, dan
dengan sendirinya menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam
pokok batangnya.
Tempat tumbuh sagu terdapat di tanah yang lembab, di sepanjang tepi
sungai, di sekitar danau dan tanah berawa (Atmawidjaja 1992). Tumbuhan sagu
dijumpai juga di tempat dimana terdapat pohon nipah di muara sungai. Tanah
gambut pertumbuhan sagu cukup merana. Pada jalur transisi antara hutan sagu
dan hutan tropika basah, dimana sesekali digenangi air, sagu tumbuh dengan baik.
Tumbuhan sagu dapat pula tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi
sagu yang tumbuh pada kondisi tanah yang demikian biasanya menunjukkan
berbagai gejala defisiensi terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh
berkurangnya jumlah daun dan umur sagu yang lebih panjang mencapai 15-17
tahun (Fach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Apabila dilihat dari kemungkinan hidup tumbuhan sagu berdasarkan
kisaran keadaan hidrologi, maka Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993)
menyatakan bahwa kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sangat lebar. Sagu
dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang, sampai kondisi lahan yang tidak
tergenang asalkan kondisi kadar air tanah (lengas tanah) terjamin cukup tinggi.
Kondisi kadar air yang tinggi ini dapat disebabkan oleh genangan berkala, daya
tahan menyimpan air banyak, misalnya karena mengandung bahan organik
banyak, maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap, pertumbuhan sagu
pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan
pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat, jumlah pohon masak tebang per
hektar sedikit dan produksi pati per pohon rendah. Pertumbuhan dan produksi
tampak cukup baik pada lahan dengan genangan berkala atau yang tidak
tergenang.
Di daerah rawa pantai dengan kadar garam (salinitas) tinggi tumbuhan
sagu masih dapat tumbuh, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi
perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Secara
alamiah di daerah rawa pasang surut zone sagu berada di belakang zone nipah
yang lebih tenggelam (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Maluku,
menurut Louhenapessy (1993) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : 1).
Kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan
tumbuhan payau lainnya, 2). Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun
bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan penggenangan tetap maupun
keadaan pasang surut, dan 4). Kondisi yang tidak tergenang tetapi mempunyai
kandungan air tanah yang cukup.
Tumbuhan sagu dapat tumbuh di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu
terutama ditanam di tanah gambut (Flach and Schuiling 1988 dalam
Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Di daerah Arandai Bintuni Irian Jaya,
sagu ditemukan tumbuh pada tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 4.5 meter
dengan hasil panen mencapai 425 kg per pohon (Notohadiprawiro dan
Louhenapessy 1993). Sagu juga dapat tumbuh dan berproduksi baik di tanah
pasiran, asal mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkaitan dengan
penyediaan air, di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah
memiliki produksi tepung sagu yang rendah.
Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh baik secara alamiah pada tanah
liat yang berawa, kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan
mangrove atau nipah. Selain itu tumbuhan sagu dapat tumbuh pada tanah
vulkanik, latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial, hidromorfik kelabu
dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al. 1984 dalam Haryanto dan Pangloli
1992).
Tumbuhan sagu pada umumnya tumbuh baik di tropis pada daerah yang
terletak antara 10oLS-15oLU, dan antara 90o-180oBT, pada ketinggian antara
0-700 meter di atas permukaan laut (dpl). Pertumbuhan sagu terbaik terdapat pada
ketinggian mencapai 400 dpl, pada ketinggian tempat yang lebih besar
pertumbuhan terhambat dan produksinya rendah (Bintoro 1999 dalam Barahima
2005).
Dalam pertumbuhan sagu diperlukan suhu minimal 15oC, dan
pertumbuhan terbaik berlangsung pada suhu sekitar 25oC dengan kelembaban
relatif sekitar 90% dan intensitas sekurang-kurangnya 900 J/cm/hari (Flach 1980;
Flach et al. 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Berdasarkan
klasifikasi ragam curah hujan oleh Schmidt & Ferguson, daerah pertumbuhan
sagu terdapat dalam kawasan ragam A (luar biasa basah-sangat basah) dan B
(sangat basah-basah). Curah hujan rata-rata tahunan yang diperlukan sekitar
2.500 - 3.500 mm, dan jumlah hari hujan tahunan rata-rata antara 142 - 209 hari