• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model for sustainable dam development planning: case study of jatigede dam development

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model for sustainable dam development planning: case study of jatigede dam development"

Copied!
446
0
0

Teks penuh

(1)

PADA SUBSTRAT BUATAN DI KEDALAMAN PERAIRAN

DAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK BERBEDA

MAJARIANA KRISANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi berjudul Produktivitas Larva

Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Perairan dan Kandungan

Bahan Organik Berbeda adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Majariana Krisanti

(4)
(5)

MAJARIANA KRISANTI. Chironomidae Larvae Productivity on Artificial

Substrates Positioned at Different Water Depth and Organic Content. Under

Direction of D. DJOKOSETIYANTO, YUSLI WARDIATNO, and ISMUDI

MUCHSIN.

Chironomids larva plays important role in aquatic food webs. Substrates

were important factor for chironomids larvae. Artificial substrates were means as

tools to gain information about chironomids larva by reducing physical variation

such as substrate types, water depth, and light penetration. The research was

conduct to gather information about secondary productivity of chironomids

larvae. Artificial substrates were positioned in cage culture and non-cage culture

sites at Lido Lake, West-Java. Chironomids larva specimens were collected every

day for 30 days in order to gather larvae dimensions (head capsule width and

length, total body length and width). Research also conduct under laboratory

condition using egg mass collected from Lido Lake which reared in a given

organic content (0 mg/L, 0.5 mg/L, and 1.0 mg/L). Higher organic added in

laboratory study was caused the

Chironomus

larvae spend less time in third instar

and gain fourth instar faster (P<0,05), also emerge faster than the lower organic

added. As for chironomids larvae found on artificial substrates (

Polypedilum

),

the instar development and growth was faster at cage culture site than at non-cage

culture site (P<0,05). Growth rate of chironomids larvae was affected by organic

content as seen in laboratory and artificial substrates (P<0,05).

Polypedilum

productivity was higher at cage culture site than non-cage culture site. The COD

value that represented as all type of organic was give significant effect for

chironomids larvae (P<0,05) at cage culture site.

(6)
(7)

MAJARIANA KRISANTI. Produktivitas Larva Chironomidae pada Substrat

Buatan di Kedalaman Perairan dan Kandungan Bahan Organik Berbeda.

Dibimbing oleh D. DJOKOSETIYANTO, YUSLI WARDIATNO, dan

ISMUDI MUCHSIN.

Larva chironomida merupakan organisme yang memiliki peran penting

bagi rantai makanan dan tingkart trofik level di suatu ekosistem perairan. Faktor

yang turut berperan dalam perkembangan populasi larva chironomida adalah

substrat tempat menempelnya. Penggunaan substrat buatan untuk mendapatkan

data larva chironomida dimaksudkan untuk meminimalisasi bentuk variasi fisik,

seperti jenis substrat, kedalaman, dan penetrasi cahaya. Alat ini juga dapat

digunakan karena tidak merusak habitat asli dari organisme yang hidup di

kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi

mengenai dinamika komunitas dan produktivitas sekunder dari larva chironomida

dalam suatu ekosistem perairan. Dengan demikian informasi ini dapat digunakan

sebagai acuan dalam pemanfaatan larva chironomida.

Substrat buatan diletakkan di Danau Lido di lokasi yang terdapat Karamba

Jaring Apung (KJA) dan yang tidak terdapat KJA (Non-KJA). Penelitian juga

dilaksanakan di laboratorium pada Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan,

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan

IPB. Substrat buatan yang digunakan terbuat dari bahan kasa nyamuk yang

berbahan nilon dengan mata jaring 2 mm, dibentuk persegi dengan ukuran 15x15

cm

2

menggunakan bingkai kawat, tiga buah substrat buatan digabungkan

menggunakan bingkai dari bambu dengan ukuran 45x30 cm

2

untuk menjadi

rangkaian substrat buatan. Substrat ini disusun berselang-seling antara kedalaman

1 m dan 2 m untuk memberi peluang yang sama terhadap penempelan larva

chironomida serta terakumulasinya bahan organik baik dalam bentuk detritus

maupun bahan organik hidup seperti alga atau hewan air lain (COD, AFDM, dan

klorofil-a).

Penelitian yang dilakukan di laboratorium dilaksanakan menggunakan

wadah plastik berukuran 34x26x7 cm

3

sebagai tempat hidup larva chironomida

yang menjadi objek penelitian. Larva chironomida yang ditumbuhkan di

laboratorium diambil dalam bentuk massa telur yang berasal dari Danau Lido.

Massa telur ditetaskan pada cawan petri yang berbeda lalu dilakukan pengamatan

selama lebih kurang 24 jam pertama sejak telur diambil dari alam dengan

frekuensi pengamatan setiap 4 jam dengan kamera yang dihubungkan dengan

mikroskop. Setelah telur menetas menjadi larva, larva kemudian dipindahkan ke

wadah plastik pemeliharaan berukuran 34x26x7 cm

3

yang diisi air Danau Lido

setinggi 4 cm. Setiap wadah diberi tambahan bahan organik berupa kotoran kuda

sebagai perlakuan penambahan bahan organik (0 mg/L; 0.5 mg/L; dan 1,0 mg/L).

(8)

hari sekali selama 21 hari. Sampel chironomida dibuat preparat permanen untuk

membantu dalam proses identifikasi dan pengukuran dimensi kkepala dan tubuh.

Identifikasi dilakukan dengan acuan Eppler (2001). Data yang diperoleh

dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabulasi dan grafik serta analisis statistik

menggunakan

cluster analysis

(

K-means

),

Discriminant Analysis

, Analisis

Produktivitas sekunder Non-Kohort menggunakan modifikasi metode

instantaneous growth rate method

.

Larva chironomida yang ditemukan di lokasi Non-KJA memiliki jumlah

taksa dan kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi KJA. Akan

tetapi di lokasi KJA terlihat adanya penurunan jumlah taksa dan kepadatan yang

menyolok seiring dengan meningkatnya kedalaman. Secara statistik kandungan

oksigen terlarut memiliki perbedaan yang nyata antar kedalaman di lokasi KJA

(P<0,05), sedangkan di lokasi Non-KJA tidak berbeda nyata (P>0,05). Akan

tetapi terdapat perbedaan yang nyata pada kandungan oksigen terlarut antara

lokasi KJA dengan Non-KJA di kedalaman yang sama dengan oksigen terlarut di

lokasi KJA lebih kecil dibandingkan lokasi Non KJA. (P<0,05). Adapun nilai

BOD dan COD tidak berbeda nyata baik antar kedalaman maupun antar lokasi

(P>0,05). Mengingat kisaran kandungan oksigen lokasi KJA di kedalaman 3,5 m

dan 5 m yang rendah bahkan tidak ada (0 mg/L) di kedalaman 5 m, maka

kedalaman 2 m sebagai posisi untuk melakukan kajian pada penelitian lanjutan

dari perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida.

Pada percobaan di laboratorium, massa telur yang dipelihara adalah dari

Genus

Chironomus

. Diperoleh informasi bahwa telur yang diambil dari Danau

Lido menetas setelah 17 jam sejak pengambilan massa telur. Waktu capaian

instar untuk perlakuan 0 mg/l adalah 7 hari dan hanya mencapai instar I. Waktu

capaian instar untuk perlakuan 0,5 mg/L dan 1,0 mg/L berturut-turut dari instar

I-IV adalah 4, 2, 13, dan 2 hari serta 4, 2, 10, dan 5 hari. Bahan organik terutama

mempengaruhi lama waktu larva menjadi instar III (P<0,05). Penambahan bahan

organik yang lebih tinggi menyebabkan larva

Chironomus

lebih cepat mencapai

instar IV, namun jangka waktu untuk instar IV menjadi lebih lama.

Kandungan COD di lokasi KJA sampai hari ke-15 lebih tinggi

dibandingkan dengan lokasi Non-KJA, sedangkan pada hari ke-22 nilai COD di

lokasi Non-KJA lebih tinggi daripada di lokasi KJA. Secara umum, pada

kedalaman 1 m di lokasi KJA memiliki kandungan AFDM lebih tinggi daripada

kedalaman 2 m (P<0,05); sebaliknya di lokasi Non KJA kedalaman 2 m memiliki

kandungan AFDM yang lebih tinggi daripada kedalaman 1 m. Kandungan

klorofil-a pada lokasi Non-KJA lebih tinggi daripada KJA, hal ini dikarenakan

tingkat kecerahan lokasi Non-KJA lebih tinggi sehingga memungkinkan

organisme autotrof untuk berfotosintesis lebih besar.

Larva chironomida yang ditemukan di substrat buatan adalah Genus

Polypedilum

. Perkembangan instar secara umum lebih cepat pada lokasi KJA

dibandingkan dengan lokasi Non KJA. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan

makanan pada lokasi KJA lebih banyak dibandingkan lokasi Non KJA. Secara

umum ukuran kapsul kepala larva

Polypedilum

yang ditemukan di substrat buatan

(9)

kepala yang besar.

Pada kegiatan penelitian di laboratorium terhadap larva

Chironomus

yang

mendapat perlakuan bahan organik berbeda pertumbuhan larva dapat dilihat dari

perubahan ukuran panjang total tubuh selama percobaan. Selain untuk perlakuan

bahan organik 0 mg/L, perlakuan 0,5 mg/L dan 1,0 mg/L memperlihatkan pola

pertumbuhan berbentuk sigmoid pada larva

Chironomus

yang dipelihara di

laboratorium R

2

= 0,6505 dan 0,6735. Secara umum laju pertumbuhan larva

Polypedilum

di KJA lebih cepat dibandingkan Non-KJA (P<0,05). Laju

pertumbuhan juga meningkat dari instar I sampai ke instar III, akan tetapi pada

instar IV laju pertumbuhannya lebih kecil. Fenomena ini terjadi untuk kedua

lokasi KJA maupun Non-KJA.

Penghitungan nilai produktivitas larva

Chironomus

dilakukan

menggunakan teknik kohort dengan metode jumlah-penambahan (

increment-summation method

). Penghitungan hanya dilakukan pada perlakuan penambahan

bahan organik 0,5 mg/L dan 1,0 mg/L. berat rata-rata individu pada perlakuan 0,5

mg/L kurang dari berat rata-rata individu pada perlakuan bahan organik 1,0 mg/L.

Biomassa rata-rata pada perlakuan 0,5 mg/l adalah 0,45 gram/m

2

, sedangkan pada

perlakuan 1,0 mg/L sebesar 0,62 gram/m

2

. Produktivitas larva

Chironomus

pada

perlakuan 0,5 mg/L dan 1,0 mg/L berturut-turut adalah 1,861 gram/m

2

/tahun dan

3,08 gram/m

2

/tahun. Rasio P/B kohort dan rasio P/B tahunan untuk perlakuan 0,5

mg/L serta 1,0 mg/L adalah 2,4 dan 42,4 serta 2,9 dan 50,2.

Metode yang digunakan untuk menghitung produktivitas larva

Polypedilum

mengikuti teknik Non-Kohort dengan menggunakan metode

frekuensi-ukuran (

size-frequency method

) (Benke & Huryn 2007). Biomassa

rata-rata pada lokasi KJA 1 dan 2 m adalah 2,4188 gram/m

2

dan 1,4396 gram/m

2

;

sedangkan pada lokasi Non-KJA 1 dan 2 m adalah 0,3740 gram/m

2

dan 0,5794

gram/m

2

. Produktivitas larva

Polypedilum

pada lokasi KJA 1 dan 2 m serta

Non-KJA 1 dan 2 m berturut-turut adalah 9,8927 gram/m

2

/bulan, 5,5420

gram/m

2

/bulan, 1,9037 gram/m

2

/bulan, dan 0,5794 gram/m

2

/bulan. Rasio P/B

kohort dan rasio P/B tahunan untuk setiap lokasi dan kedalaman adalah

berturut-turut 4,1; 3,8; 5,1; dan 4,8 serta 49,1; 46,2; 61,1; dan 57,2.

Berdasarkan analisis regresi berganda terhadap larva

Polypedilum

di lokasi

KJA diperoleh persamaan regresi:

Polypedilum

= 2,557 + 0,020 COD -

3,266AFDM - 11,768Chl-a. Berdasarkan persamaan regresi berganda tersebut,

dapat dilihat bahwa larva

Polypedilum

lebih dipengaruhi oleh nilai COD dengan

R

2

=99%. Untuk lokasi Non-KJA, tidak dapat dilakukan persamaan regresi

berganda, sehingga digunakan regresi sederhana antara larva

Polypedilum

dengan

masing-masing tipe bahan organik. Tidak terdapat hubungan antara larva dengan

COD dan AFDM, akan tetapi terdapat keeratan hubungan antara larva

Polypedilum

dengan kandungan klorofil-a meskipun hanya dengan R

2

= 79,4%.

(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak

merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

PADA SUBSTRAT BUATAN DI KEDALAMAN PERAIRAN

DAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK BERBEDA

MAJARIANA KRISANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bambang Widigdo

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc.

(15)

Kedalaman Perairan dan Kandungan Bahan Organik Berbeda

Nama

: Majariana Krisanti

NIM

: C 161050041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA

Ketua

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin

Anggota

Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perairan

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(16)
(17)

Penulis melakukan penelitian dengan topik Produktivitas Larva

Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Perairan dan Kandungan

Bahan Organik Berbeda diawali bulan Maret 2010 hingga Agustus 2011.

Disertasi ini disusun sebagai pemaparan kegiatan selama pelaksanaan penelitian

serta pemikiran terhadap berbagai fenomena yang terkait kegiatan penelitian.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat program Doktor pada Program Studi

Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada: Dosen komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto,

DEA, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, yang

telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian

dan penyusunan Disertasi. Dosen Penguji Tamu pada Sidang Ujian Tertutup, Dr.

Ir. Bambang Widigdo dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi serta Dosen Penguji

Tamu pada Sidang Ujian Terbuka, Prof. Dr. Ir. Woro Anggraitoningsih N. dan Dr.

Ir. Ario Damar, M.Si., yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat

berarti untuk penyempurnaan Disertasi ini. Kementerian Pendidikan Nasional

yang telah memberi kesempatan dan beasiswa untuk melanjutkan studi S

3

. Prof.

Dr. Ir. Enang Harris, MS selaku Ketua Program Studi yang telah memberi

kesempatan dan dorongan untuk menyelesaikan studi. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi

untuk diskusi, saran, dan motivasi yang diberikan. Keluarga tercinta Bapak,

Suami (alm. Mhd. Yudha Bakti), Anak-anak (Shafira Chairunnisa dan Latifah

Dewi Mayangsari), Adik-

adik, dan seluruh Keluarga Besar Sjamsoe atas do’a,

kasih sayang, dan motivasi yang diberikan. Staf pada Program Studi Ilmu

Perairan serta seluruh staf dan karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya

Perairan, FPIK-IPB yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta

penulisan Disertasi ini. Pimpinan, Pak Afandi, dan saudara Yudi selaku staf

Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar-KKP di Cijeruk yang telah

menyediakan sarana KJA di Danau Lido dan bantuan di lapangan. Saudara

Herman Sukmana, Rachmawaty Syarief, Dinda Fitriyanti, Hendry Arif Favian,

Desnita, Ade Willy Surtini, Siti Anindita Farhani, Ayu Ervinia, dan Arif

Nurcahyanto atas bantuan dan kerjasama selama penelitian dan pengolahan data.

Teman-teman seperjuangan (AIR 2005: Bu Sriati, Pak Fadli, dan Bu Jusri) untuk

semangat dan kekompakan yang diberikan. Semua pihak yang tidak bisa

disebutkan namanya satu-persatu yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Semoga Laporan disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 31 Oktober 1969 sebagai anak

sulung dari tiga bersaudara pasangan Sukotjo Adisukresno dan Djuwita

Chairunnisa (almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, IPB, lulus tahun 1993. Penulis

melanjutkan ke jenjang S

2

di Program Studi Ilmu Perairan pada Program

Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dan tamat pada tahun 2003.

Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada program studi yang

sama dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2005. Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional

Indonesia dalam bentuk BPPS.

Penulis bekerja sebagai Staf Pendidik di Deparemen Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB sejak tahun

1995. Penulis menjadi anggota Asosiasi Peneliti dan Pemerhati Lingkungan

Perairan Indonesia. Artikel berjudul Studi populasi larva

Polypedilum

(Insekta:

(20)
(21)

xxi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

GLOSARIUM ... xxix

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...

1

1.2. Perumusan Masalah ...

4

1.3. Tujuan dan Manfaat ...

5

1.4. Hipotesis ...

5

1.5. Kerangka Pemikiran ...

5

1.6. Nilai Kebaruan (

Novelty

) ...

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Chironomidae ...

9

2.1.1. Perkembangan hidup chironomida ...

9

2.1.2. Pertumbuhan larva chironomida ... 11

2.2. Produktivitas Sekunder ... 13

2.3. Substrat Buatan ... 15

2.4. Lingkungan perairan yang mempengaruhi chironomida ... 17

2.4.1. Kedalaman... 17

2.4.2. Suhu ... 17

2.4.3. Oksigen terlarut ... 18

2.4.4. Bahan organik ... 18

2.4.5. Nilai pH ... 19

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.3. Metode dan Rancangaan Penelitian ... 22

3.4. Tahapan Penelitian ... 22

3.4.1. Penentuan letak substrat berdasarkan kedalaman dari

permukaan air ... 23

3.4.2. Penelusuran capaian instar larva chironomida ... 25

3.4.3. Perkembangan bahan organik pada substrat buatan... 26

3.4.4. Perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida ... 27

3.4.5. Penentuan produktivitas larva chironomida ... 29

3.5. Analisis Sampel ... 30

3.5.1. Spesimen larva chironomida ... 30

3.5.2. Analisis bahan organik ... 31

3.6. Analisis Data ... 32

3.6.1. Analisis penentuan letak substrat berdasarkan kedalaman

dari permukaan air... 32

(22)

3.6.3. Analisis perkembangan bahan organik pada substrat buatan 33

3.6.4. Analisis perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida 34

3.6.5. Produktivitas larva chironomida ... 37

3.6.6. Keterkaitan antara larva chironomida dengan bahan organik 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil ... 41

4.1.1. Penentuan letak substrat berdasarkan kedalaman dari

permukaan air ... 41

4.1.2. Penelusuran capaian instar larva chironomida ... 45

4.1.3. Perkembangan bahan organik pada substrat buatan ... 53

4.1.4. Perkembangan larva chironomida ... 59

4.1.5. Pertumbuhan larva chironomida ... 68

4.1.6. Produktivitas larva chironomida ... 74

4.1.7. Hubungan bahan organik dengan larva chironomida ... 76

4.2. Pembahasan ... 77

5. KESIMPULAN DAN SARAN

(23)

xxiii

Halaman

1.

Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter

fisika-kimia perairan ...

24

2.

Karakteristik ukuran larva

Chironomus

sp. berdasarkan instar

(

Sumber: Dettinger-Klemm 2003). ...

35

3.

Jenis-jenis larva chironomida yang ditemukan di lokasi penelitian

beserta kisaran jumlah individu yang ditemukan di setiap

kedalaman ... 42

4.

Kisaran nilai hasil pengukuran kualitas air di lokasi KJA dan

Non-KJA di ketiga posisi kedalaman substrat buatan ...

44

5.

Karakteristik ukuran larva

dan waktu capaian instar

C. calligraphus

(

Sumber: Zilli

et al.

2001) ...

52

6.

Karakteristik ukuran larva

dan waktu capaian instar berdasarkan

hasil penelitian ...

52

7.

Tabel sidik ragam rancangan faktorial

in time

RAL yang

memperlihatkan interaksi kedalaman dan lokasi penempatan

substrat buatan ...

58

8.

Ukuran instar larva

Polypedilum

berdasarkan

cluster analysis

...

61

9.

Fungsi diskriminan instar

Polypedilum

hasil pengamatan

di Danau Lido ...

61

10.

Ukuran instar larva

Polypedilum

berdasarkan

Discriminant

Analysis

...

62

11.

Nilai produktivitas larva

Chironomus

menggunakan metode

jumlah penambahan (

increment-summation method

) pada

penambahan bahan organik 0,5 mg/L dan 1,0 mg/L ...

75

12.

Nilai produktivitas larva

Polypedilum

pada substrat buatan

di lokasi KJA (K) dan Non-KJA (N) di kedalaman

1 m dan 2 m ...

75

13 Perbandingan Nilai Produktivitas, Biomassa, dan rasio P/B

beberapa jenis chironomida di berbagai ekosistem sungai

(24)
(25)

xxv

Halaman

1.

Kerangka pemikiran produktivitas Chironomidae pada substrat

buatan di kedalaman perairan dan kandungan bahan organik

berbeda ...

7

2.

Gambar siklus hidup

Chironomus riparius

. Telur dan larva instar

pertama umumnya planktonik, sementara instar-instar yang lebih

tua bermigrasi ke sedimen sebagai benthos, dan dewasa hidup

di udara (Sumber: modifikasi Charles

et al.

2004) ...

10

3.

Bentuk larva chironomida (Sumber: Hilsenhoff 2001). ...

11

4.

Kohort hipotetik dari serangga sungai yang menggambarkan

pertumbuhan individu dalam massa (W) dan kematian/mortalitas

individu (N) (Sumber: modi

kasi Benke 1984

in

Benke & Huryn 2007) ...

14

5.

Peta lokasi dan peletakan substrat buatan di Danau Lido. I, lokasi

Karamba Jaring Apung (KJA); II, lokasi tanpa Karamba Jaring Apung

(Non-KJA). (Sumber: pengukuran koordinat di lapangan dan peta

Bakosurtanal 2000) ...

21

6.

Posisi substrat buatan di dalam air untuk penentuan letak substrat

sebagai habitat larva chironomida ...

24

7.

Rangkaian substrat buatan dan cara penempatannya di danau ...

28

8.

Batas pengukuran dimensi morfologi larva chironomida. A, kepala;

B, seluruh tubuh; a, panjang kapsul kepala; b, lebar kapsul kepala;

c, panjang total tubuh; dan d, lebar tubuh ...

31

9.

Jumlah taksa dan kepadatan (individu/m

2

) larva chironomida

dari setiap kedalaman (berturut-turut dari atas 2 m, 3,5 m, dan 5 m)

di kedua lokasi penempatan substrat buatan dari setiap waktu

pengambilan contoh ...

43

10.

Massa telur (a) dan butiran telur (b)

Chironomus

yang diambil dari

Danau Lido ...

46

11.

Larva

Chironomus

(A, seluruh tubuh; B, kepala dari arah ventral)

serta Pupa

Chironomus

(C. Pupa dengan isi, D. Pupa kosong/

exuviae

) (Sumber: Dokumentasi pribadi) ...

46

12.

Nilai kandungan COD (mg/L) di wadah pemeliharaan

Chironomus

selama 21 hari penelitian ...

47

13.

Nilai kandungan oksigen terlarut (mg/L) di wadah pemeliharaan

(26)

14.

Tahap perkembangan larva

Chironomus

berdasarkan lebar kapsul

kepala (mm) dan panjang total tubuh (mm) pada penambahan

bahan organik 0 mg/L (a); 0,5 mg/L (b); dan 1,0 mg/L (c) ...

51

15.

Grafik nilai COD pada substrat buatan di kedalaman 1 m dan 2 m

di lokasi KJA dan Non-KJA ...

54

16.

Grafik nilai AFDM pada substrat buatan di kedalaman 1 m dan 2 m

di lokasi KJA dan Non-KJA ...

55

17.

Grafik nilai kandungan klorofil-a (mg/l) pada substrat buatan

di kedalaman 1 m (hitam) dan 2 m (arsir) di lokasi KJA (kiri) dan

Non-KJA (kanan) ...

56

18.

Grafik nilai Indeks Autotrofik pada substrat buatan di kedalaman

1 m (hitam) dan 2 m (arsir) di lokasi KJA (kiri) dan

Non-KJA (kanan). ...

57

19.

Larva

Polypedilum

. (a) seluruh tubuh dari lateral; dan (b) bagian

ventral kepala memperlihatkan bentuk gigi mentum yang menjadi

penciri genus (Sumber: Dokumentasi pribadi) ...

59

20.

Tahap perkembangan instar larva

Polypedilum

di lokasi KJA

kedalaman 1 m (a) dan 2 m (b), FD 1 memisahkan antara instar I

dan II, FD 2 antara instar II dan III, dan FD 3 antara

instar III dan IV ...

63

21.

Tahap perkembangan instar larva

Polypedilum

di lokasi Non-KJA

kedalaman 1 m (a) dan 2 m (b), FD 1 memisahkan antara

instar I dan II, FD 2 antara instar II dan III, dan FD 3 antara

instar III dan IV ...

65

22.

Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar kapsul

kepala

Polypedilum

lokasi KJA pada substrat buatan yang

dilindungi jaring di kedalaman 1 m (a) dan 2 m (b) ...

67

23.

Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar kapsul

kepala

Polypedilum

lokasi Non-KJA pada substrat buatan

yang dilindungi jaring di kedalaman 1m (a) dan 2 m (b). ...

68

24.

Sebaran nilai panjang total tubuh (mm) larva

Chironomus

setiap

hari pada penambahan bahan organik 0 mg/L (a); 0,5 mg/ L(b);

dan 1,0 mg/L(c) ...

70

25.

Grafik pola hubungan panjang-berat larva

Polypedilum

pada

substrat buatan berturut-turut dari atas ke bawah pada instar 1

sampai dengan instar 4 di lokasi KJA (kiri) dan Non-KJA

(kanan) ...

72

26.

Grafik pola hubungan panjang-berat larva

Polypedilum

pada

substrat buatan yang dilindungi jaring berturut-turut dari atas

ke bawah pada instar 1 sampai dengan instar 4 di lokasi KJA (kiri)

(27)

xxvii

Halaman

1.

Foto lokasi peletakan substrat buatan ...

99

2.

Posisi peletakan rangkaian substrat buatan di Danau lido ...

100

3.

Analisis ragam terhadap suhu air di lokasi KJA dan Non KJA

Danau Lido pada kedalaman 2 m, 3,5 m, dan 5 m ...

101

4.

Analisis ragam untuk melihat pengaruh perlakuan bahan organik

terhadap nilai COD terlarut pada kegiatan kajian capaian instar ....

104

5.

Analisis ragam untuk melihat pengaruh perlakuan bahan organik

terhadap nilai oksigen terlarut pada kegiatan kajian capaian instar .

106

6.

Nilai rata-rata parameter kualitas air pendukung pada tahap

penelitian penentuan capaian instar larva

Chironomus

...

108

7.

Penentuan waktu capaian instar larva

Chironomus

mengacu pada

Zilli

et al.

(2001) ...

110

8.

Uji BNT bagi waktu capaian instar antar perlakuan bahan organik

111

9.

Uji t dan analisis ragam terhadap penumpukan bahan organik

(COD) pada substrat buatan di lokasi KJA dan Non KJA

Danau Lido pada kedalaman 1 m dan 2 m ...

112

10.

Uji t dan analisis ragam terhadap penumpukan bahan organik

(AFDM) pada substrat buatan di lokasi KJA dan Non KJA

Danau Lido pada kedalaman 1 m dan 2 m ...

115

11.

Uji t dan analisis ragam terhadap penumpukan bahan organik

(klorofil-a) pada substrat buatan di lokasi KJA dan Non KJA

Danau Lido pada kedalaman 1 m dan 2 m ...

117

12.

Gambar rangkaian substrat buatan yang diberi pelindung jaring

dengan ukuran mata jaring 0,5 cm ...

119

13.

Genus larva chironomida yang ditemukan tiap lokasi peletakan

substrat buatan ...

120

14.

Uji-t bagi nilai b pada masing-masing instar di substrat buatan

tanpa jaring (lokasi KJA dan Non KJA) ...

121

15.

Uji t bagi nilai b pada masing-masing instar di substrat buatan

(28)

16.

Tahap penghitungan Produktivitas Sekunder dan P/B rasio Teknik

Kohort menggunakan metode jumlah-penambahan (increment-

summation method) larva Chironomus dengan perlakuan

penambahan bahan organik 0,5 mg/L ...

126

17.

Tahap penghitungan Produktivitas Sekunder dan P/B rasio Teknik

Kohort menggunakan metode jumlah-penambahan (increment-

summation method) larva Chironomus dengan perlakuan

penambahan bahan organik 1,0 mg/L ...

127

18.

Tahap penghitungan Produktivitas Sekunder dan P/B rasio

Non-kohort menggunakan metode frekuensi-ukuran

(size frequency method) larva Polypedilum di lokasi KJA

kedalaman 1 m. ...

128

19.

Tahap penghitungan Produktivitas Sekunder dan P/B rasio

Non-kohort menggunakan metode frekuensi-ukuran (size-frequency

method) larva Polypedilum di lokasi KJA kedalaman 2 m ...

129

20.

Tahap penghitungan Produktivitas Sekunder dan P/B rasio

Non-kohort menggunakan metode frekuensi-ukuran (size-frequency

method) larva Polypedilum di lokasi Non-KJA kedalaman 1 m ...

130

21.

Tahap penghitungan Produktivitas Sekunder dan P/B rasio

Non-kohort menggunakan metode frekuensi-ukuran (size-frequency

method) larva Polypedilum di lokasi Non-KJA kedalaman 2 m ...

131

22.

Analisis regresi linear berganda untuk melihat pengaruh

ketersediaan berbagai jenis bahan organik terhadap keberadaan

jumlah larva instar III di lokasi KJA ...

132

23.

Analisis regresi polinomial untuk melihat pengaruh klorofil-a

(29)

xxix

Instar

: Periode atau stadia antar pergantian kulit (molt) pada serangga

selama stadia nimfa atau larva dalam daur hidupnya; instar

biasanya diberi bernomor, larva instar satu adalah stadia

setelah menetas dari telur sampai pergantian kulit pertama.

Kapsul kepala : Bagian kepala pada beberapa jenis serangga, keras seperti

cangkang karena dilindungi kitin

Kitin

: Polisakarida nitrogenus (

Nitrogenous polysaccharide

) dengan

formula (C

8

H

13

O

5

N)

n

yang kaku dan keras; tidak larut dalam

air, alcohol, alkali, asam-asam pelarut, dan cairan digestif dari

kebanyakan hewan

Larva

: Istilah untuk stadia muda dari hewan yang hidup bebas, aktif,

dengan bentuk morfologi tidak mirip hewan dewasa; tumbuh

menjadi dewasa melalui metamorfosis sempurna.

(30)
(31)

1.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang

Salah satu kelompok serangga perairan yang dijumpai di perairan tergenang

adalah larva chironomida. Larva chironomida merupakan organisme yang

memiliki peran penting bagi rantai makanan dan tingkart trofik level di suatu

ekosistem perairan. Larva chironomida memiliki peranan penting dalam rantai

makanan di ekosistem perairan sebagai makanan bagi ikan (Pinder 1986; Batzer

1998; Kakareko 2002; Lobinske

et al

. 2002; Kamler

et al

. 2008) dan organisme

avertebrata lainnya (Pinder 1986).

Famili Chironomidae atau yang sering disebut

non-biting midges

merupakan serangga air dengan larva yang hidup pada berbagai tipe habitat

perairan dan tersebar di seluruh dunia. Larva serangga air ini dapat ditemukan

pada berbagai tipe perairan tawar, baik mengalir maupun tergenang, sampai ke

perairan bersalinitas (Bervoets

et al

. 1995; Bidwell & Gorrie 2006) bahkan

sebagai bentuk adaptasi, ada yang hidup di darat (Delettre 1995; Frouz 1999;

Delettre 2000; Delettre 2005). Epler (2001) menyatakan bahwa larva

chironomida merupakan komunitas yang biasanya ditemukan melimpah pada

perairan tawar, baik dalam jumlah spesies maupun jumlah individu. Hal ini

diperkuat oleh pernyataan Frouz

et al

. (2003) dan Zilli

et al

. (2008) yang

menyatakan bahwa larva chironomida merupakan komponen penting pada

ekosistem perairan karena populasi yang melimpah dan peran sertanya dalam

rantai makanan pada eksosistem perairan sebagai makanan bagi makroavertebrata

yang lebih besar dan ikan.

Larva chironomida membutuhkan lingkungan perairan yang tepat agar dapat

tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa jenis di antaranya mempunyai

kemampuan toleransi terhadap penurunan kandungan oksigen (Pinder 1986),

peningkatan kandungan bahan organik (Arimoro

et al

. 2007), bahkan peningkatan

kandungan logam berat (Groenendijk

et al

. 1998; Bhattacharya

et al

. 2005; Dias

et al

. 2008; Gillis & Wood 2008). Perubahan-perubahan pada parameter kualitas

(32)

lingkungan tersebut juga dapat berpengaruh terhadap pola penyebaran komunitas

larva chironomida (Pinder 1986; Gardarsson

et al

. 2004; Arimoro

et al

. 2007;

Davanso & Henry 2007; García & Suárez 2007). Kondisi lingkungan juga dapat

berpengaruh terhadap kondisi morfologi larva chironomida berupa perubahan

bentuk kepala (Jeyasingham & Ling 1997), gigi (Madden

et al

. 1992; Servia

et al

.

1998), atau antena (Servia

et al

. 1998; Bhattacharya

et al.

2005).

Larva chironomida hidup dengan memanfaatkan bahan organik terlarut

(Pinder 1986), algae perifitik (Goldfinch & Carman 2000; Tarkowska-Kukuryk &

Mieczan 2008), bahkan organisme lain yang lebih kecil ukurannya

(Tarkowska-Kukuryk & Mieczan 2008) sebagai bahan makanannya. Cara makan larva

chironomida ada yang bersifat detrivor (memakan organisme atau algae yang

sudah mati), grazer (memakan algae dan fitoplankton), dan beberapa ada yang

bersifat predator (memangsa avertebrata lain yang lebih kecil) (Pinder 1986).

Faktor yang turut berperan dalam perkembangan populasi larva chironomida

adalah substrat tempat menempelnya. Berbagai jenis benda yang tenggelam di

dalam air dapat menjadi substrat bagi larva chironomida, di antaranya batu,

sedimen halus, kayu tenggelam, dan tumbuhan air; bahkan ada yang epizoik atau

menempel pada hewan lain (Pinder 1986). Kebanyakan larva chironomida hidup

membentuk tabung pada substrat (Pennak 1978; McCafferty 1981; Pinder 1986).

Substrat bagi larva chironomida berperan sebagai rumah dan tempat berlindung

dari kondisi lingkungan yang tidak nyaman (Pennak 1978; Halpern

et al

.2002).

Komposisi larva chironomida sangat tergantung pada tipe dan keberadaan

substrat sebagai habitat hidupnya. Substrat buatan merupakan suatu alat yang

digunakan sebagai tempat atau habitat suatu organisme (Taylor & Kovats 1995).

Substrat buatan dapat digunakan untuk melihat proses kolonisasi dan suksesi pada

chironomida. Tipe dan posisi kedalaman substrat mempengaruhi kepadatan

populasi dan perkembangan larva chironomida. Keragaman kondisi perairan di

setiap kedalaman juga akan mempengaruhi distribusi larva chironomida pada

setiap kedalaman (Ward 1992).

(33)

merusak habitat asli dari organisme yang hidup di kawasan tersebut. Selain itu

penelitian mengenai dinamika (jumlah dan ukuran) larva chironomida sangat

jarang dilakukan di Indonesia.

Berbagai penelitian lain di danau yang mengkuantifikasi makroavertebrata

menggunakan alat pengambil contoh benthos yang konvensional hanya

menemukan larva chironomida dalam jumlah yang sedikit (Sudarso 2008 dan

Lukman

et al.

2008) dan tidak ditemukan pada kedalaman di mana kondisi

oksigen rendah (Heinis & Davids 1993). Penggunaan alat konvensional seperti

grab dalam penelitian yang mengkaji komunitas bentik memberikan data larva

chironomida yang minim bahkan tidak ditemukan adanya larva chironomida.

Dalam perkembangannya, untuk mengkuantifikasi larva chironomida

dengan menggunakan alat pengambilan contoh benthos yang konvensional,

seperti grab, pada kondisi tertentu kurang efektif sehingga digunakan substrat

buatan untuk mengakomodasi dari pemecahan masalah tersebut. Sudarso

et al.

(2002) dalam penelitiannya menggunakan substrat buatan dapat menjelaskan

terjadinya kolonisasi makroavertebrata termasuk larva chironomida dalam

kaitannya dengan pencemaran bahan organik. Hal ini berkaitan dengan

kandungan oksigen terlarut yang seringkali rendah di dasar perairan pada lokasi

yang tercemar bahan organik.

Rendahnya nilai kandungan oksigen di dasar perairan pada lokasi yang

mendapat masukan bahan organik berlebih, seperti di daerah karamba jaring

apung (KJA), tidak memberikan peluang yang banyak bagi larva chironomida

untuk dapat bertahan hidup. Oleh sebab itu, substrat buatan digunakan untuk

mendapatkan dan melihat kolonisasi larva chironomida pada kedalaman tertentu

berkaitan dengan dinamika perkembangan dan kelimpahan organisme tersebut.

(34)

produktivitas larva chironomida di berbagai kedalaman perairan dan waktu

tertentu pada substrat buatan belum pernah dilakukan.

1.2.

Perumusan Masalah

Kualitas air merupakan faktor yang sangat penting bagi larva chironomida.

Terdapat faktor pada kualitas air yang dapat menjadi penentu pertumbuhan dan

perkembangan hidupnya, antara lain suhu, kandungan oksigen, dan kedalaman

perairan. Sebagai kelompok organisme yang hidup di substrat dasar perairan,

kedalaman perairan akan berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup organisme

tersebut.

Larva chironomida merupakan larva serangga air yang di dalam ekosistem

perairan memiliki peran sebagai perantara organisme autotrof dengan organisme

heterotrof pada tingkat trofik lebih tinggi. Banyak jenis larva chironomida yang

memanfaatkan algae sebagai makanannya. Selain itu, ada juga jenis-jenis larva

chironomida yang memanfaatkan bahan organik sebagai makanan. Selanjutnya

larva chironomida ini akan menjadi makanan bagi hewan-hewan pada tingkat

trofik yang lebih tinggi.

Kondisi suatu perairan yang kaya bahan organik dapat menjadi pendukung

pertumbuhan dan perkembangan larva chironomida. Dengan demikian bila larva

chironomida dapat ditumbuhkan di suatu perairan yang kaya bahan organik,

diharapkan dapat dilakukan pengkajian mengenai produktivitas sekunder dari

larva chironomida. Selain itu perairan yang akan kaya bahan organik dapat

dimanfaatkan untuk pertumbuhan larva chironomida.

(35)

menjadi sarana dalam mengkaji pengaruh posisi kedalaman dan kandungan bahan

organik berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva chironomida.

1.3.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1)

Membuat pola perkembangan penumpukan bahan organik yang

terdapat pada substrat buatan.

2)

Membedakan perkembangan chironomida pada substrat buatan yang

diletakkan pada kedalaman perairan dan kandungan bahan organik

berbeda.

3)

Membandingkan pola pertumbuhan chironomida pada substrat buatan

yang diletakkan pada kedalaman perairan dan kandungan bahan

organik berbeda.

4)

Menentukan produktivitas larva chironomida terkait bahan organik.

5)

Menghubungkan keterkaitan antara produktivitas larva chironomida

dengan bahan organik.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai

dinamika komunitas dan produktivitas sekunder dari larva chironomida dalam

suatu ekosistem perairan. Dengan demikian informasi ini dapat digunakan

sebagai acuan dalam pemanfaatan larva chironomida.

1.4.

Hipotesis

Jika substrat buatan diletakkan pada kedalaman dan kandungan bahan

organik yang memadai, maka substrat tersebut dapat menjadi habitat dan penyedia

makanan bagi larva chironomida serta akan terbentuk lingkungan yang akan

mampu mendukung pertumbuhan populasi chironomida, sehingga produktivitas

sekunder chironomida dapat dipelajari.

1.5.

Kerangka Pemikiran

(36)

Kedalaman perairan akan mempengaruhi ketersediaan oksigen yang dibutuhkan

bagi kelangsungan hidup larva chironomida. Bahan organik, baik dalam bentuk

detritus maupun mikroalga, pada jumlah yang sesuai dapat menjadi sumber

makanan bagi beberapa jenis larva chironomida.

Dinamika komunitas larva chironomida sangat tergantung pada substrat

sebagai habitatnya. Pemanfaatan bahan organik oleh larva chironomida akan

lebih mudah diteliti jika disediakan suatu substrat buatan bagi chironomida.

Substrat buatan ini diharapakan dapat menjadi tempat tinggal dan tempat untuk

memperoleh makanan sehingga mendukung pertumbuhan dan perkembangan

larva chironomida. Dengan demikian terjadi dinamika komunitas dan biomassa

dari larva chironomida yang pada akhirnya dapat mendukung produktivitas larva

chironomida. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.6.

Nilai kebaruan (

novelty

)

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan dalam dua aspek, yaitu aspek

keilmuan dan aspek metode. Nilai kebaruan dari aspek keilmuan terutama terkait

dengan informasi biologi larva chironomida di daerah tropis. Hal ini

dimungkinkan karena informasi mengenai waktu capaian setiap instar pada larva

dari Famili Chironomidae kebanyakan berasal dari daerah subtropis (Pinder 1986;

Frouz

et al.

2002). Terdapat tiga nilai kebaruan dari aspek keilmuan, pertama

(37)

-+

Bahan Organik (Detritus)

Bahan Organik (Mikroalga)

Kedalaman Perairan

Suhu, pH, Oksigen

terlarut, Bahan

Organik terlarut

Substrat Buatan

-Substrat tempat

tinggal dan

mendapatkan

makanan bagi

Larva

Chironomidae

Produktivitas

Larva Chironomidae pada

kedalaman perairan dan

level bahan organik

berbeda

Dinamika

Kelimpahan dan

Biomassa Larva

Chironomidae

Kedalaman

Vs

Bahan organik

Kedalaman

Vs

Larva Chironomidae

+

Gambar 1. Kerangka pemikiran produktivitas Chironomidae pada substrat buatan di kedalaman perairan dan kandungan bahan organik

(38)
(39)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Chironomidae

Chironomidae merupakan salah satu famili dari serangga Ordo Diptera.

Serangga dari ordo Diptera memiliki nama yang berasal dari jumlah sayap (

ptera

)

pada hewan dewasa yang hanya dua (Di-), bukan empat seperti kebanyakan

serangga lainnya (McCafferty 1981). Sebagai serangga air, Diptera sangat banyak

ditemukan pada berbagai tipe perairan. Larva chironomida dapat ditemukan di

daerah litoral maupun profundal perairan tergenang (Hershey & Lamberti 2001).

Kebanyakan larva chironomida hidup meliang di dasar substrat, beberapa

membentuk tabung pada substrat (Pennak 1978; McCafferty 1981; Pinder 1986).

Tidak seperti larva nyamuk yang hidup terutama dekat permukaan air, larva

chironomida hidup di dasar atau di atas tumbuhan air dan objek yang tenggelam.

Beberapa spesies yang hidup di danau umumnya larva yang berenang bebas,

bahkan beberapa spesies yang hidup sebagai benthos memiliki larva yang

berenang bebas pada instar awal.

2.1.1.

Perkembangan hidup chironomida

Chironomida seperti semua Diptera yang memiliki metamorfosis sempurna,

memiliki empat stadia hidup, yaitu telur, larva, kepompong, dan dewasa (Pennak

1978; McCafferty 1981). Biasanya, setelah proses pemijahan, hewan betina

meletakkan massa telur di permukaan air yang akan tenggelam ke dasar perairan,

dan selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva (Ciborowski 2002).

Siklus hidup sejak dari telur hingga dewasa berkisar antara kurang dari satu

minggu hingga lebih dari satu tahun, tergantung dari spesies dan musim. Pada

Gambar 2 diilustrasikan siklus

Chironomus riparius

sebagai contoh siklus hidup

dari Famili Chironomidae. Menurut Hilsenhoff (2001) siklus hidup

Chironomidae bervariasi untuk setiap spesies, dari

univoltine

(satu generasi dalam

(40)

Gambar 2. Gambar siklus hidup

Chironomus riparius

. Telur dan larva instar

pertama umumnya planktonik, sementara instar-instar yang lebih tua

bermigrasi ke sedimen sebagai benthos, dan dewasa hidup di udara.

(Sumber: modifikasi Charles

et al.

2004).

Chironomidae dewasa melakukan perkawinan di udara dalam bentuk

gerombolan, akan tetapi beberapa spesies melakukan perkawinan di tanah. Telur

terdapat dalam kantung-kantung bergelatin yang merupakan pelindung massa

telur yang kompleks, yang diletakkan di air. Massa telur dapat tenggelam ke

dasar perairan atau melekat dengan tali jangkar gelatin di tumbuhan atau substrat

tenggelam. Beberapa spesies meletakkan telur yang mengapung di permukaan air

seperti massa gelatin. Setiap massa telur, tergantung spesiesnya, memiliki kurang

dari 100 sampai dengan 2000 butir telur. Telur biasanya menetas setelah 24

sampai 36 jam (Hershey & Lamberti 2001).

(41)

Gambar 3. Bentuk larva chironomida (Sumber: Hilsenhoff 2001).

2.1.2.

Pertumbuhan larva chironomida

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu

waktu. Pada serangga pertumbuhan bersifat diskontinyu, terutama karena ada

bagian tubuh yang tersusun dari sklerotin, kutikula yang kaku membatasi

pembesaran tubuh. Dalam memperbesar tubuh, serangga harus melakukan

molting, yaitu pembentukan secara periodik kutikula baru yang lebih besar untuk

menggantikan kutikula yang lama. Oleh karena itu, pada ruas dan anggota tubuh

yang memiliki sklerit, peningkatan ukuran tubuh terbatas pada periode postmolt

sesaat setelah molting, sebelum kutikula menjadi kaku dan mengeras (Gullan &

Cranston 2005).

Kajian mengenai perkembangan serangga melibatkan dua komponen

pertumbuhan. Yang pertama adalah pertambahan karena molting, yaitu

pertambahan ukuran yang terjadi antara satu instar denga instar yang lain.

Umumnya peningkatan ukuran dihitung sebagai peningkatan dimensi tunggal

(misalnya panjang atau lebar) dari bagian tubuh yang bersklerotin. Pertambahan

bobot tidak dapat digunakan sebagai acuan pengukuran karena dapat memberikan

informasi yang keliru akibat adanya keragaman makanan dan lingkungan

perairan. Komponen kedua adalah periode intermolting, dikenal sebagai stadium

atau capaian instar, yang didefinisikan sebagai waktu antara dua molting yang

berurutan. Besarnya pertambahan molting dan periode intermolting dipengaruhi

oleh ketersediaan makanan, suhu, kepadatan larva, dan kerusakan fisik (hilangnya

anggota tubuh), dan dapat berbeda antara individu jantan dan betina pada spesies

yang sama (Pinder 1986).

(42)

fitoplankton, dan beberapa ada yang bersifat predator atau memangsa avertebrata

lain yang lebih kecil (Pinder 1986). Jenis herbivor dan detritivor memakan

dengan cara

grazing

partikel halus di atas substrat, beberapa

filter feeder

yang

melengkapi dirinya dengan jaring untuk menyaring air yang dialirkan melalui

tabungnya. Kebanyakan larva yang bersifat predator hidup bebas, akan tetapi

kebanyakan spesies memiliki tabung yang terbuat dari partikel substrat halus yang

direkatkan oleh sekresi air liurnya (Hilsenhoff 2001).

Larva Chironomida pada setiap habitat memiliki pola adaptasi yang berbeda

pula, khususnya terhadap suhu dan oksigen (McCafferty 1981; Pinder 1986;

Frouz

et al.

2003). Banyak spesies larva Chironomidae yang tahan terhadap

kandungan oksigen yang rendah. Hal ini berkaitan dengan darahnya yang

mengandung hemoglobin.

Beberapa jenis membuat tabung yang menjulang di atas substrat dalam

rangka mempertahankan konsentrasi oksigen lebih dari 7 mg/L di bukaan tabung

(Pinder 1986). Akan tetapi, kelimpahan larva Chironomida juga menunjukkan

korelasi yang negatif terkait keberadaan oksigen. Diduga kondisi ini sebagai

korelasi yang positif dengan kandungan bahan organik (Pinder 1986). Dengan

demikian, chironomida seringkali menjadi salah satu organisme yang menjadi

indikator kondisi perairan. Larva dari salah satu jenis chironomida sangat sensitif

terhadap perubahan lingkungan dan bentuk polusi, sementara chironomida jenis

lainnya merupakan jenis yang toleran terhadap perubahan kondisi perairan.

Larva chironomida membantu membongkar sedimen organik, yaitu dengan

membersihkan air dan memecahkan bahan-bahan yang membusuk. Chironomida

memiliki peran penting dalam jala makanan di perairan. Larva chironomida

memiliki peranan penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan sebagai

makanan bagi ikan (Pinder 1986; Batzer 1998; Kakareko 2002; Lobinske

et al

.

2002; Kamler

et al

. 2008) dan organisme avertebrata lainnya (Pinder 1986). Di

(43)

bahwa banyak larva spesies Chironomidae yang cenderung menyukai kedalaman

tertentu dari perairan. Beberapa jenis cenderung berpindah posisi kedalaman

seiring dengan perkembangan siklus hidupnya.

2.2.

Produktivitas Sekunder

Produktivitas sekunder adalah pembentukan biomassa heterotrofik

sepanjang waktu (Downing & Rigler 1984; Benke & Huryn 2007) atau laju

pembentukan biomassa baru oleh organisme konsumer. Produktivitas sekunder

tahunan, misalnya, adalah jumlah semua biomassa yang diproduksi suatu populasi

selama satu tahun. Termasuk juga sisa produksi di akhir tahun dan semua

kehilangan produksi selama periode ini. Kehilangan tersebut termasuk karena

kematian (karena penyakit, parasitisme, kanibalisme, predasi), kehilangan

cadangan jaringan (molting, kelaparan), dan emigrasi. Laju produksi sekunder

juga dapat diartikan sebagai jumlah jaringan tubuh yang bertambah dari

avertebrata air tawar per unit waktu per unit area (Clarke 1946; Waters &

Crawford 1973

in

Downing &Rigler 1984).

(44)

yang relatif konstan sekitar 5 (dengan rentang nilai biasanya antara 3 sampai 8).

Karena dihitung selama suatu periode waktu yang bervariasi (yaitu selama daur

hidupnya), lebih merupakan suatu rasio (tidak memiliki satuan) daripada suatu

nilai mutlak.

Saat suatu kohort tumbuh seiring waktu, terjadi penurunan jumlah individu

(N), yang disebabkan oleh kematian, dan peningkatan massa individu (W), terkait

dengan pertumbuhan. Hal ini dijelaskan melalui pendekatan populasi serangga

sungai pada Gambar 4. Selang produksi (waktu antara dua pengambilan contoh)

dapat dihitung dari data lapangan menggunakan metode jumlah-peningkatan

(

increment-summation method

) sebagai hasil dari kepadatan rata-rata antara dua

pengambilan contoh dan penambahan massa individu ∆W (N×∆W).

Gambar 4. Kohort hipotetik dari serangga sungai yang menggambarkan

pertumbuhan individu dalam massa (W) dan kematian/mortalitas

individu (N). (Sumber:

modifikasi Benke 1984

in

Benke & Huryn

2007).

Asumsi yang digunakan adalah hanya ada satu generasi setiap tahun,

sehingga produksi tahunan dapat dihitug sebagai jumlah dari seluruh perkiraan

selang, ditambah biomassa awal, yang memenuhi persamaan:

∑ ̅

(1)

(45)

Pendugaan produksi pada populasi yang tidak dapat ditelusuri sebagai satu

kohort dari data di lapangan harus dilakukan menggunakan metode Non-kohort.

Metode ini memerlukan pendekatan bebas dari waktu pertubuhan atau laju

pertubuhan biomassa. Pada metode frekuensi-ukuran (

size-frequency method

),

digunakan asumsi bahwa distribusi frekuensi-ukuran distribusi yang ditentukan

dari sampel selama setahun mendekati kurva kematian bagi kohort rata-rata

(Hynes and Colemen 1968, Hamilton 1969, Benke 1979

in

Benke & Huryn 2007).

Dengan demikian pada metode ini penurunan jumlah individu dari satu ukuran ke

ukuran berikutnya harus dikalikan dengan rata-rata biomassa antara dua selang

ukuran. Hal ini dilakukan karena diasumsikan terdapat perkembangan total

dalam satu tahun dan terdapat kohort dengan jumlah yang sama selama satu tahun

saat ukuran dikelompokkan. Kohort P/B memiliki nilai yang sama dengan jumlah

kolom biomassa (rata-rata biomassa tahunan) dibagi dengan jumlah kolom

terakhir (produksi diasumsikan dalam satu tahun (Benke & Huryn 2007).

2.3.

Substrat Buatan

Substrat bagi Chironomidae merupakan tempat untuk beristirahat,

mendapatkan makanan, bereproduksi dan pertumbuhan (misalnya sebagai tempat

menempel kepompong), maupun tempat berlindung dari predator dan kondisi fisik

yang tidak nyaman (Hershey & Lamberti 2001). Substrat buatan merupakan

sarana yang dibuat dari material alami maupun buatan dengan berbagai komposisi

dan konfigurasi, yang ditempatkan dalam air pada kedalaman tertentu selama

periode pemaparan, untuk kolonisasi komunitas makroavertebrata (Eaton

et

al.

1995; WDNR 1998; Klemm

et al.

1990

in

Saliu & Ovuorie 2007). Substrat

buatan merupakan manipulasi atau imitasi dari karakteristik substrat alami (Allan

1995

in

Saliu & Ovuorie 2007). Seperti halnya pada substrat alami yang

tenggelam (misalnya ranting kayu), kolonisasi utama pada substrat buatan

dilakukan oleh larva serangga air, diikuti oleh crustacea, coelenterata, bryozoan,

cacing, gastropoda, dan moluska (Eaton

et al.

1995, Taylor & Kovats 1995).

Kegunaan substrat buatan adalah untuk mendapatkan sampel populasi

hewan avertebrata bentik, mengingat bahwa habitat organisme tidak

memungkinkan bagi suatu alat sampling kuantitatif seperti

grabs, dredges, nets,

(46)

1982

in

Saliu & Ovuorie 2007). Substrat buatan untuk mendapatkan sampel

makroavertebrata juga diyakini memberikan nilai keragaman yang lebih rendah

dikarenakan substrat buatan memiliki bentuk habitat yang seragam untuk proses

kolonisasi.

Taylor & Kovats (1995) menyebutkan keuntungan utama dalam

penggunaan substrat buatan untuk mendapatkan data makroavertebrata adalah

untuk meminimalisasi bentuk variasi fisik seperti jenis substrat, kedalaman, dan

penetrasi cahaya. Alat ini juga dapat digunakan karena tidak menggangu

keberadaan organisme asli di kawasan tersebut. Substrat buatan baik digunakan

untuk mendapatkan data mengenai populasi makroavertebrata ketika alat

konvensional tidak efisien dan tidak efektif untuk digunakan, khususnya pada

perairan yang memiliki karakteristik sebagai berikut.

1.

Sifat badan air yang memiliki kedalaman tinggi dan keruh.

2.

Sifat substrat yang tidak stabil berupa pasir dan lumpur.

3.

Sifat dasar perairan yang berupa bebatuan besar dan keras.

4.

Sifat badan air yang memiliki arus yang kencang.

Melalui substrat buatan, habitat yang tidak cocok untuk organisme benthik

dapat diatasi dengan menyeragamkan bentuk dasar dari habitat yang dapat

diletakkan pada area mana pun sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Asumsi

mengenai hal ini adalah bahwa komposisi dari organisme yang mengalami

kolonisasi di substrat buatan dapat digunakan untuk menduga dampak dari

kegiatan antropogenik dan merupakan hal yang sama saat menggunakan alat

grab

(Hellawell 1978

in

Saliu & Ovuorie 2007). Flannagan & Rosenberg (1982)

membagi substrat buatan menjadi 8 tipe sebagai berikut.

1.

Kontainer berisi macam-macam substrat (

containers filled with various

substrates

);

2.

Multiplate (atau

multiple-plate

)

samplers

;

3

Papan, panel, ubin;

4.

Batu bata dan balok;

5.

Lembaran plastik,

polyethylene

dan kain, tali temali;

6.

Substrat implant;

7.

Substrat organik alami; dan

(47)

2.4.

Lingkungan perairan yang mempengaruhi chironomida

2.4.1.

Kedalaman

Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika perairan yang berkaitan

erat dengan intensitas cahaya matahari, tekanan, dan suhu di dalam kolom

perairan. Semakin dalam perairan, semakin berkurang intensitas cahaya matahari

yang masuk. Semakin besar kedalaman, semakin besar tekanan air. Tekanan

pada air berpengaruh terhadap proses osmosis dalam tubuh organisme sehingga

organisme akan berusaha agar tekanan osmosis lingkungan sesuai dengan keadaan

tubuh dan proses osmoregulasi dalam tubuh organisme. Hal ini berpengaruh

terhadap pola penyebaran organisme, khususnya makroavertebrata pada kolom

perairan dengan kedalaman yang berbeda (Pinder 1986; Wetzel 2001).

Kedalaman juga dapat berpengaruh terhadap stratifikasi suhu dalam kolom

perairan berkenaan dengan panas yang diterima pada setiap kolom perairan. Hal

ini disebabkan oleh semakin besarnya gaya yang bekerja pada lapisan yang lebih

dalam. Kedalaman merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang

berhubungan dengan banyaknya air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan

dan berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan.

2.4.2.

Suhu

Suhu merupakan parameter penting dalam perairan dan berpengaruh secara

langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di perairan. Suhu suatu

perairan dipengaruhi oleh musim, lintang

(latitude)

, ketinggian dari permukaan

laut (

altitude

), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta

kedalaman badan air. Perubahan suhu berperan terhadap proses fisika, kimia, dan

biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi

ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas,

reaksi kimia, evaporasi, dan volatilitas. Peningkatan suhu juga menyebabkan

terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Wetzel 2001).

Gambar

Tabel sidik ragam  rancangan faktorial in time RAL yang
Gambar 1. Kerangka pemikiran produktivitas Chironomidae pada substrat buatan di kedalaman perairan dan kandungan bahan organik
Gambar 2. Gambar siklus hidup  Chironomus riparius.  Telur dan larva instar
Gambar 3.  Bentuk larva chironomida (Sumber: Hilsenhoff  2001).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan itu, kami mengharapkan partisipasi perguruan tinggi yang Bapak/Ibu pimpin dengan mendaftarkan dan mengirimkan 1 (satu) tim terbaik dari hasil seleksi

Bahwa dalam penyusunan RKPD Tahun 2015 harus mempedomani isi RPJMD, maka berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang

Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai

Persegi Panjang Merupakan bangun datar yang memiliki 4 sisi yang tidak sama panjang.1. HItunglah jumlah segitiga, persegi dan persegi panjang pada gambar di

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kehidupan dan

Diantara variabel Debt to Equity Ratio (DER) dan Total Asset Turnover (TAT) mana yang paling dominan mempengaruhi Return on Equity (ROE) pada perusahaan manufaktur

Surat Pernyataan Kadinkes Kab/Kota tentang kesanggupan memenuhi biaya pemeliharaan dan operasional bersumber APBD. Pernyataan Kadinkes tentang ketersediaan SDM (dokter dan bidan)

Penguasaan pengetahuan keterampilan mengajar kelompok kecil dan mengajar perseorangan pada mahasiswa yang meliputi hakikat pengajaran dan peran guru dalam mengajar kelompok