• Tidak ada hasil yang ditemukan

Early Warning System Krisis Utang di Indonesia: Pendekatan Business Cycle Theory

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Early Warning System Krisis Utang di Indonesia: Pendekatan Business Cycle Theory"

Copied!
397
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program pembangunan yang direncanakan. Oleh karena itu, kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget deficit, yakni kondisi dimana jumlah anggaran belanja lebih besar daripada pendapatannya. Adapun besarnya defisit anggaran yang dialami Indonesia selama kurun waktu 13 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Sumber: Bank Indonesia, 2011 diolah

Gambar 1.1. Besarnya Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode 1998 hingga 2009 (dalam miliar rupiah)

(2)

hingga mencapai angka defisit anggaran sebesar 40.485 miliar rupiah pada tahun 2001. Defisit anggaran yang begitu besar di tahun 2001 tersebut merupakan dampak akibat krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Pada periode tahun 2002 hingga 2008, besarnya defisit anggaran berfluktuasi hingga mencapai angka tertinggi di tahun 2011. Defisit anggaran pada tahun tersebut mencapai angka 124.656 miliar rupiah.

Besarnya defisit anggaran yang terjadi ditutupi baik dari pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri dengan proporsi tertentu. Adapun besarnya porsi pembiayaan dalam maupun luar negeri untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.2 berikut.

Sumber : Bank Indonesia Indonesia, 2011, diolah

Gambar 1.2 Proporsi Sumber Pembiayaan Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara Periode Tahun 2011

(3)

program restrukturisasi, dana penerbitan obligasi negara, dan pinjaman luar negeri.

Dari beberapa sumber pembiayaan yang ada, porsi terbesar untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi berasal dari obligasi negara yakni sebesar 74 persen. Dana penerbitan obligasi baru digunakan secara efektif dan menjadi instrumen utama pembiayaan APBN sejak tahun 2005. Hal ini menunjukan betapa pentingnya dana penerbitan obligasi pemerintah sebagai andalan demi terlaksananya kebijakan ekspansi fiskal dengan pola deficit budget yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia selama ini.

Proporsi pembiayaan defisit anggaran yang sebagian besar berasal dari dana penerbitan obligasi pada akhirnya menyebabkan pemerintah memutuskan untuk meningkatkan penawaran obligasi di pasar sekuritas secara terus menerus. Dana dari penerbitan obligasi ini kemudian digunakan untuk beberapa hal, di antaranya adalah refinancing utang lama yang jatuh tempo dan refinancing dilakukan dengan utang baru yang mempunyai term dan condition yang lebih baik.

(4)

Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah

Gambar 1.3 Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Domestik yang Dimiliki Bukan Penduduk (Asing) Periode Tahun 2006 Hingga 2011

(dalam Juta Dollar)

Gambar 1.3 menunjukkan bahwa kepemilikan asing terhadap SBN menunjukkan trend yang terus meningkat selama periode Agustus 2004 hingga Agustus 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pemerintah semakin kuat terhadap pihak asing dalam hal memperoleh pendanaan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Porsi kepemilikan asing terhadap SBN yang terus meningkat perlu diwaspadai sebab hal tersebut berdampak pada jumlah utang luar negeri pemerintah yang semakin besar. Apabila penerbitan SBN dan kepemilikan asing terhadap SBN tersebut tidak dibatasi, maka kondisi ini akan memicu semakin besarnya jumlah utang luar negeri pemerintah sehingga tidak menutup kemungkinan, di masa mendatang, pemerintah akan terjerat krisis utang yang akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

(5)

berasal dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral maupun SBN yang dimiliki oleh asing. Pembiayaan dari luar negeri yang semakin meningkat berdampak pula semakin besarnya posisi utang luar negeri pemerintah. Secara keseluruhan, posisi utang luar negeri pemerintah juga mengindikasikan adanya potensi krisis utang yang mungkin melanda Indonesia di waktu mendatang. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1.4.

Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah

Gambar 1.4Posisi Utang Luar Negeri Indonesia PemerintahPer Triwulan Keempat Periode 1999 Hingga 2010(dalam juta USD)

(6)

keuangan pemerintah apabila terjadi guncangan (shock) sebagai dampak ketidakpastian lingkungan perekonomian global yang terjadi saat ini. Jika ketergantungan yang semakin kuat tersebut terus terjadi dalam periode waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan bila di masa yang akan datang pemerintah akan terjerat krisis utang seperti yang dialami negara-negara Uni Eropa saat ini.

Utang luar negeri Indonesia selain dimiliki oleh sektor publik, juga dimiliki oleh sektor swasta. Sektor swasta yang memiliki utang luar negeri ini mencakup sektor lembaga keuangan (bank dan nonbank) serta sektor bukan lembaga keuangan. Adapun posisi utang luar sektor swasta dapat dilihat pada Gambar 1.5.

Sumber : Bank Indonesia, 2011,diolah

Gambar 1.5 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Sektor Swasta Per Kuartal Keempat Periode 1999 hingga 2010 (dalam juta USD)

(7)

mencakup pinjaman, utang dagang, serta surat utang yang diterbitkan luar negeri dan dalam negeri yang dimiliki bukan oleh penduduk. Apabila jumlah utang luar negeri sektor swasta terus meningkat dari waktu ke waktu tanpa diiringi peningkatan produktivitas sektor riil dalam negeri, maka pada jangka panjang sektor swasta akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran kembali utang-utang tersebut yang akan berdampak pada terjadinya guncangan perekonomian.

(8)

Penggunaaan utang luar negeri yang dialokasikan untuk kegiatan yang tidak produktif tanpa pengawasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya krisis utang seperti yang saat ini melanda negara-negara di kawasan Uni Eropa (European Union/EU). Krisis utang yang berdampak sistemik tersebut diawali dengan kondisi gagal bayar yang dialami negara Yunani. Hal ini disebabkan karena ketiadaan pengawasan yang ketat dalam alokasi penggunaan utang luar negeri di negara tersebut. Defisit APBN Yunani mencapai 13,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam Maastricht Treaty (Undang-Undang Dasar anggota Uni Eropa), yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN maksimum 3 persen dari PDB nya. Defisit APBN yang dialami Yunani tersebut selanjutnya dibiayai dari dari dana yang bersumber dari penerbitan obligasi oleh pemerintah sehingga menyebabkan utang luar negeri Yunani terus terakumulasi mencapai 172 persen dari PDB per Juni 2011. Nilai ini melebihi batas ketentuan yang tercantum dalam Maastricht Treaty yang menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa harus memiliki total utang luar negeri maksimum 60 persen dari PDB nya (Quéré, Bénassy dan Boone, 2010).

(9)

mengalami jatuh tempo pada periode bulan Mei tahun 2010, pemerintah Yunani mengalami kesulitan likuiditas sehingga terjadi kondisi gagal bayar yang dialami negara tersebut. Kondisi krisis utang yang dialami Yunani tersebut memicu terjadinya krisis perbankan di kawasan Uni Eropa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pemegang obligasi Yunani adalah bank-bank di negara-negara Uni Eropa. Dengan demikian, krisis utang Yunani berdampak luas dan sistemik terhadap perekonomian negara-negara lain di kawasan Uni Eropa. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memutuskan melakukan bail out dengan menggelontorkan dana sebesar 14.5 miliar Euro dalam rangka melakukan pembayaran atas obligasi-obligasi pemerintah Yunani yang jatuh tempo tersebut. Jumlah itu masih akan ditambah dengan komitmen dari IMF dan tambahan dana talangan dari Uni Eropa untuk membayar utang-utang jatuh tempo lainnya (Arghyrou dan Tsoukalas, 2010).

(10)

Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh negara-negara di kawasan Uni Eropa, maka sumber pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dalam jumlah yang besar perlu diantisipasi sedini mungkin. Suatu sistem deteksi dini perlu untuk dibangun agar pemerintah dapat memperkirakan periode waktu kemungkinan terjadinya krisis utang secara tepat. Hal ini penting bagi pemerintah sehingga dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang bersifat antisipatif. Dengan adanya impelementasi kebijakan-kebijakan ekonomi secara tepat, maka diharapkan krisis utang dapat diantisipasi dengan baik sehingga mengurangi kemungkinan dampak sistemik yang terjadi secara meluas akibat krisis utang tersebut.

(11)

memberi tekanan pada nilai tukar. Depresiasi rupiah akan memberikan tekanan terhadap inflasi melalui pass through effect, sehingga akan mengurangi dampak positif depresiasi rupiah terhadap transaksi berjalan (current account). Padahal, peningkatan surplus transaksi berjalan sangat diperlukan untuk menutupi kewajiban pembayaran utang luar negeri. Dengan demikian, jelas bahwa risiko yang ditimbulkan akibat ketidakmampuan pembayaran utang luar negeri akan berimplikasi negatif pada aspek moneter berupa tekanan terhadap nilai tukar dan mengancam stabilitas makroekonomi secara keseluruhan yang bahkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

(12)

1.2 Permasalahan

Kondisi APBN Indonesia selalu mengalami defisit sehingga membutuhkan pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut. Sejak tahun 2005, sumber utama pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut berasal dari penerbitan obligasi. Dari waktu ke waktu, porsi kepemilikan obligasi semakin besar dikuasai oleh pihak asing. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa salah satu sumber pembiayaan APBN utama adalah utang luar negeri. Bila kondisi ini terus berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, maka utang luar negeri pemerintah akan terakumulasi dalam jumlah yang besar.

(13)

Berdasarkan uraian di atas, maka penting artinya bagi Indonesia untuk memiliki suatu sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Apa saja indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia?

2. Bagaimana rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning system krisis utang di Indonesia?

3. Apa saja kebijakan yang diperlukan dalam rangka menghindari dan menanggulangi terjadinya krisis utang di Indonesia ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk menentukan indikator-indikator yang dapat menjadi Coincident, Leading dan Lagging Indicators terjadinya krisis utang luar negeri di Indonesia

2. Untuk menentukan rancang bangun dan mekanisme bekerjanya early warning system krisis utang di Indonesia

(14)

1.4 Manfaat

Secara khusus, manfaat yang dapat diperoleh melalui skripsi yang membahas penyusunan sistem deteksi dini krisis utang di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Manfaat bagi penulis, yakni dapat mengembangkan pemahaman dan

kemampuan dalam menganalisis fenomena ekonomi, khususnya dalam hal ini krisis utang yang mungkin melanda Indonesia pada periode waktu mendatang. 2. Manfaat bagi pengambil kebijakan, yakni dapat dengan segera merancang dan

mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang tepat dalam rangka memperkuat perekonomian dari sisi fiskal. Pemerintah diharapkan secara tepat dapat menggunakan sistem deteksi dini ini untuk memprediksi kemungkinan terjadinya krisis utang di masa mendatang. Langkah kebijakan pemerintah yang tepat waktu dan sasaran sangat penting untuk dilakukan untuk mengantisipasi krisis utang di Indonesia.

1.5 Ruang Lingkup

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Konsep dan Teori

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada waktu mendatang dengan didasarkan pada berbagai teori dan konsep ekonomi yang berkaitan satu sama lain. Teori dan konsep yang mendasari penelitian ini sangat terkait dengan variabel utang pemerintah dan variabel-variabel makroekonomi lainnya yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemahaman terhadap berbagai konsep dan teori terkait dengan utang pemerintah merupakan hal yang penting karena menjadi dasar dalam penetapan masalah yang dibahas dalam penelitian. Selain itu, penggunaan konsep dan teori yang tepat juga sangat berperan dalam upaya memperoleh validitas dan reabilitas data yang tinggi dalam penelitian yang dilakukan. Adapun teori dan konsep ekonomi terkait dengan utang luar negeri yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada sub bab selanjutnya berikut ini.

2.1.1 Teori Siklus Bisnis

(16)

dihindari. Begitu guncangan terjadi, GDP, kesempatan kerja, dan variabel-variabel makroekonomi lain akan berfluktuasi.

Guncangan yang terjadi pada suatu variabel makroekonomi tertentu berdampak pula pada terjadinya perubahan dalam defisit anggaran pemerintah. Hal tersebut terjadi secara otomatis untuk menanggapi perekonomian yang berfluktuasi. Sebagai ilustrasi, ketika perekonomian mengalami resesi, pendapatan akan turun, sehingga kemampuan seseorang untuk membayar pajak menjadi berkurang. Tingkat laba yang diperoleh juga menurun, sehingga perusahaan membayar lebih sedikit pajak pendapatan. Kondisi resesi ini juga berdampak pada semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang bergantung pada bantuan pemerintah, sehingga pengeluaran pemerintah juga mengalami peningkatan secara signifikan.

2.1.2 Model Early Warning System (EWS)

Model Early Warning System (EWS) merupakan suatu model yang digunakan untuk mengantisipasi apakah dan kapan suatu negara dipengaruhi oleh krisis dan ketidakstabilan ekonomi. Model ini dibangun terkait dengan siklus perekonomian khususnya pada saat krisis keuangan yang terjadi seperti di Eropa (1992-1993), Turki (1994), Amerika Latin (1994-1995) dan Asia (1997-1998). EWS pada siklus perekonomian sangat penting bagi pemerintah serta sektor riil dalam kerangka perencanaan dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan.

Menurut Nasution (2007), pendekatan metode untuk model EWS dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

(17)

2. Business cycle analysis

Kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, di antaranya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1. Kelebihan Masing-Masing Model Early Warning System

Sumber : InterCafe (2007)

ekonomi dan diestimasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonometrika

Data tersedia lebih cepat (timeliness) dan high frequency (monthly basis).

Berdasarkan model dapat dilakukan simulasi dengan berbagai skenario

Tidak ada hubungan fungsional antara leading dengan coincident index maupun reference series, sehingga tidak diperlukan proyeksi atau pengasumsian nilai variable bebas.

Model dapat menjelaskan hubungan antar variabel secara kuantitatif

(18)

Tabel 2.2. Kekurangan Masing-Masing Model Early Warning System Macroeconometric Model &Time Series

Model

Business cycle analysis (Composite Leading & Coincident Indicators) Pembentukan model dengan frekuensi tinggi

seringkali sulit karena keterbatasan data

Komponen pembentuk indeks dipilih berdasarkan judgment, studi literatur serta statistical test. Sehingga, beberapa ahli mengatakan metode ini atheoritical.

Untuk membuat proyeksi nilai-nilai variabel eksogen harus terlebih dahulu diprediksi/diasumsikan. Kesalahan dalam prediksi ini akan terbawa secara kumulatif dalam proyeksi nilai variabel endogen.

Tidak dapat digunakan untuk mebuat simulasi dengan berbagai skenario serta tidak dapat menunjukkan variabel ekonomi dalam bentuk persamaan matematika.

Sumber : InterCafe (2007)

2.1.3 Definisi Business Cycle

(19)

Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), siklus bisnis mengacu pada kegiatan ekonomi secara agregat yang titik utamanya yaitu menyatukan pergerakan dari banyak variabel ekonomi atau proses pada banyak siklusnya tersebut. Beberapa ada yang menjadi lead dan ada yang menjadi lag. Mereka cenderung untuk selalu bergerak bersama sehingga tidak bisa dihilangkan menjadi single aggregate.

2.1.4 Tahapan Business Cycle

Definisi klasik business cycle oleh NBER memiliki dua fase, yaitu ekspansi dan kontraksi. Berakhirnya ekspansi dan dimulainya kontraksi dalam titik puncak (peak) sebagai waktu yang menandai tingkat yang tertinggi (kulminasi) dari penurunan secara umum kegiatan perekonomian. Berakhirnya kontraksi dan dimulainya ekspansi dalam titik trough (lembah) sebagai waktu yang menandai tingkat tertinggi dari peningkatannya. Dalam siklus perekonomian, terdapat empat tahapan business cycle, yaitu :

1. Masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat yang cepat dan diiringi rendahnya tingkat output dan pengangguran yang tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah

2. Masa pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang diiringi peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran

(20)

dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi)

4. Masa resesi (recession), yaitu suatu masa dimana permintaan agregat menurun yang mengakibatkan penurunan kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal.Seiring dengan hal ini, maka akan muncul masa depresi.

2.1.5 Business Cycle Indicators

Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Indikator ekonomi mempunyai dampak besar terhadap pasar, bagaimana mengetahui, menginterpretasi dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi.

(21)

Coincident, Leading dan Lagging Indicators yang dihasilkan dari pendekatan business cycle memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing. Adapun penjelasan mengenai ketiga indikator tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Coincident Indicators

Coincident Indicators memiliki ketepatan waktu dengan variabel reference yang menunjukkan business cycle-nya. Bila dilihat dari pergerakan siklusnya, Coincident Indicators bergerak seiring dengan variabel reference. Keduanya secara grafis bergerak bersamaan, bila siklus variabel reference berada di titik puncak, maka siklus dari Coincident Indicators berada di titik puncak pula, begitu juga sebaliknya.

2. Leading Indicators

Time series yang dipilih cenderung bergerak lebih dulu dari variabel reference dan Leading Indicators-nya juga mencapai perputaran pergantian poin terlebih dahulu terhadap posisi business cycle (puncak dan lembah). Oleh karena itu, Leading Indicators ini cikal bakal dari early warning system.

Series-nya lebih sensitif dan volatile daripada Coincident Indicators, serta banyak dari mereka yang memiliki trend yang sangat lemah. Leading Indicators jarang kehilangan banyak resesi tapi indikator tersebur memiliki lebih banyak fluktuasi daripada Coincident Indicators.

3. Lagging Indicators

(22)

reference. Oleh karena itu, Lagging Indicators kurang berpengaruh dalam pembagunan early warning system. Hal ini disebabkan karena pergerakan indikator ini hanya memprediksi dampak penyebaran akibat terjadinya suatu fenoma ekonomi yang menjadi fokus penelitian.

Coincident, Leading dan Lagging Indicators merupakan instrumen yang penting dalam pembangunan suatu early warning system. Dalam upaya mendapatkan kemungkinan sinyal-sinyal yang benar dan lebih kuat dalam mengurangi kesalahan, maka perlu disusun suatu indeks gabungan. Composite Index lebih baik daripada Individual Index, karena dalam business cycle tidak ada pembuktian dari rantai tunggal dalam menjawab permasalahan yang terjadi , yaitu gejala-gejala resesi atau ekspansi. Dengan adanya Composite Index, maka kemampuan prediksi potensial dalam Leading Indicators akan semakin optimal.

2.1.6 Leading Economic Indicators dan Peramalan Aktivitas Ekonomi

Penyusunan Leading Economic Indicators (LEI) pertama kali dirintis pada tahun 1920-an oleh Badan Statistik Amerika, yang dikenal dengan Bureau of Economic Research (NBER). Pada saat itu, ilmu ekonometrika masih belum berkembang, sehingga metode penyusunan LEI pun lebih bersifat analisis deskriptif. Selain itu, karena keterbatasan dalam penyusunannya, LEI hanya disajikan dalam bentuk tabel angka-angka statistik. Pada masa itu, terdapat LEI saja dan belum memiliki composite index.

(23)

berbagai teori ekonomi yang relevan untuk menyusun suatu EWS yang lebih akurat. Salah satu teori ekonomi yang kini mulai banyak dikaitkan dengan LEI untuk keperluan pembangunan EWS adalah teori siklus bisnis (business cycle).

Pembentukan LEI dengan pendekatan siklus bisnis mulai banyak dikembangkan didasarkan atas perhatian pada shock yang banyak terjadi berasal dari faktor internal maupun eksternal. Shock tersebut menyebabkan terjadinya fluktuasi (volatilitas) dalam perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan mengakibatkan naik atau turunnya aktivitas perekonomian. Perilaku naik turunnya (rebounds dan declines, atau recoveries dan recessions) perekonomian seringkali berulang pada masa-masa sesudahnya dan membentuk suatu siklus. Karena sifatnya yang terus berulang, maka adanya deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah mapupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan di bidang ekonomi serta pengambilan keputusan bisnis.

(24)

maupun reference series. Lagging Indicators adalah variabel yang mengikuti (lag) pergerakan Coincident maupun Leading Indicators. Dari ketiga indikator tersebut, Leading Indicators mendapatkan perhatian khusus karena fungsinya yang mampu memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara keseluruhan.

Sejak awal perkembangannya, analisis business cycle ini terutama penyusunan Leading Indicators sangat populer dalam mendeteksi siklus perekonomian. Penyusunan Leading Indicators memerlukan data dengan frekuensi yang tinggi, umumnya berupa data bulanan dengan frekuensi dan time series yang panjang. Oleh karena itu, penggunaannya masih sangat terbatas untuk penelitian yang dilakukan di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data di negara berkembang pada umumnya masih belum terdokumentasi dengan baik.

2.2 Penelitian Terdahulu

(25)

pembangunan ekonomi dan sejarah negara tersebut (Cantor& Packer, 1996; Lee, 1993).

Pada penelitian lebih lanjut, mulai dikembangkan early warning system (EWS) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sinyal yang dapat mendeteksi kesulitan pembayaran kembali utang suatu negara (debt repayment). Hampir semua literatur studi menyatakan bahwa EWS yang dibentuk pada suatu penelitian tertentu dapat digunakan untuk mendeteksi krisis utang pada suatu negara dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Waktu yang lebih panjang memang berdampak pada lebih sedikit kegagalan, karena semakin panjang waktu signaling, semakin panjang pula waktu untuk mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghindari terjadinya krisis utang (Berg & Pattillo 1999; Kamin, 1999; Kumar et al., 2003).

Bussière and Fratzscher (2002) menunjukkan metode penentuan panjang waktu yang optimal dalam sinyal peringatan dini. Dalam upaya untuk menaksir kecukupan dari suatu EWS, kemungkinan prakiraan biasanya ditransformasikan ke dalam peramalan dan dibandingkan denan indikator EWS yit. Untuk tujuan

tersebut, pembuat keputusan harus menggunakan suatu cut-off atau probabilitas threshold λ yang konsisten dengan besarnya kehilangan fungsi yang terjadi.

(26)

pembuat keputusan (dirumuskan dalam bentuk loss function dan risk-aversion parameter) yang digabungkan ke dalam pengujian optimal dari classifier dan penilaian dari peramalan sampel. Kedua, penelitian ini berupaya menginvestigasi kombinasi peramalan yang dilakukan. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah logit M dan logit R, K-Clustering, serta pendekatan ketiga menggunakan kombinasi keduanya (menginvestigasi tentang forecast combining). Pokok permasalahan pada fungsi objektif dan kombinasi peramalan masih kurang dibahas dalam berbagai literatur, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada kedua hal tersebut.

Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi pembuat keputusan mempengaruhi pemilihan dari metodologi peramalan dan pengujian optimalnya. LOGIT-M menunjukkan non-parametric (clustering) dan judgmental (LOGIT-R) classifier dengan menghasilkan false alarms yang lebih sedikit. Lebih lanjut, ditemukan bahwa dua classifier menguasai LOGIT-M dalam kehilangan kegagalan yang lebih sedikit.

Untuk keperluan pembentukan early warning system yang akurat, maka dalam penelitian ini dilakukan pemilihan variabel-variabel yang dianggap sesuai. Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan pada pendekatan LOGIT-M dan K-clustering sehingga diperoleh sepuluh variabel terpilih. Adapun variabel yang terpilih tersebut adalah sebagai berikut.

(27)

2. rasio total utang luar negeri terhadap GDP, rasio official debt terhadap total debt, dan rasio kredit IMF terhadap ekspor (menjadi sinyal bagi aktivitas external credit exposure)

3. credit to private sector/GDP, pertumbuhan GDP, volatilitas pertumbuhan GDP, dan nilai tukar riil (menjadi sinyal untuk menggambarkan kondisi domestik)

4. trade/GDP (menjadi sinyal mata rantai perekonomian global)

(28)

Tabel 2.3 Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi pertumbuhan impor yang berlebihan dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat memperburuk neraca perdagangan, dan dalam sejarah sangat berkaitan dengan terjadinya krisis keuangan dibanyak negara. Kelemahan eksternal dan nilai tukar yang terlampau kuat dapat juga menyebabkan kerawanan sektor perbankan seperti kehilangan daya kompetisi di pasar eksternal yang dapat menimbulkan krisis keuangan, kegagalan bisnis, dan penurunan kualitas pinjaman. Akhirnya, krisis perbankan dapat menyebabkan krisis keuangan.

NERACA KEUANGAN

Simpanan di BIS/cadangan devisa Perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dengan Amerika

Kewajiban asing atau harta pihak asing di sektor perbankan

Dengan terjadinya globalisasi dan integrasi sektor keuangan, masalah neraca keuangan dapat membuat suatu negara menjadi mudah terkena guncangan. Perwujudan masalah neraca keuangan dapat berupa penurunan cadangan devisa, hutang luar negeri jangka pendek yang berlebihan, jatuh tempo pinjaman dan keridakseimbangan nilai tukar, pelarian modal ke luar negeri

SEKTOR KEUANGAN -Deposito/M2

-Kredit dalam negeri/GDP

-Perbedaan tingkat suku bunga deposito

Krisis keuangan dan perbankan berkaitan erat dengan terjadinya pertumbuhan kredit yang sangat cepat terkait dengan kebijakan ekspansi moneter di banyak negara, sementara terjadinya penyusutan deposito perbankan, tingginya tingkat suku bunga dalam negeri, dan besarnya tingkat suku bunga deposito sering merupakan suatu gambaran terjadinya kesulitan dan masalah di sektor perbankan

SEKTOR RIIL

-Indeks Harga Konsumen -Indeks Pembangunan Industri

(29)

-Indeks Harga Saham Gabungan keuangan.

Terjadinya defisit yang besar pada APBN, dapat memicu memburuknya posisi neraca keuangan yang akhirnya dapat menekan nilai tukar. harga minyak dunia merupakan suatu pertanda bahaya bagi neraca keuangan dan dapat menyebabkan terjadinya krisis di dalam negeri. Tingginya tingkat suku bunga dunia sering menjadi penyebab terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk beberapa negara Asia Timur, terjadinya penurunan nilai tukar Yen Jepang terhadap Dollar Amerika dapat menyebabkan nilai tukar mata uang

(30)

Tabel 2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Indikator Interpretasi CC BC DC Referensi

External Sector (Current Account)

(31)
(32)
(33)

Rasio utang Rasio ini biasanya terbit di tahap awal krisis perbankan. Ini mungkin bahwa krisis

(34)

Rasio

(35)

GDP Per

(36)

Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan berbagai pendefinisian berbeda atas interpretasi kondisi krisis utang yang melanda suatu negara. Secara khusus, suatu negara dikategorikan sedang mengalami krisis utang bila negara tersebut melakukan perjanjan penjadwalan ulang pembayaran utang atau negosiasi (debt rescheduling agreement or negotiation). Ada beberapa penelitian yang menggunakan kombinasi dari beberapa definisi krisis utang, dan ada juga penelitian yang menggunakan suatu peristiwa atau pengukuran tertentu dari debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Berg and Sachs (1988), Lee (1991), Balkan (1992), Lanoie and Lemarbre (1996), and Marchesi (2003), mendefinisikan krisis utang hanya menggunakan konsep debt rescheduling yang dilakukan suatu negara. Penggunaan konsep debt rescheduling ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi secara tepat kapan periode waktu suatu negara tertentu melakukan penjadwalan ulang atas pembayaran utang luar negerinya.

(37)

Tabel 2.5 Periode Waktu Pelaksanaan Debt Rescheduling Atas Pembayaran Utang Luar Negeri Indonesia

Periode Waktu Debt Rescheduling

Desember 1966 Pembayaran utang publik dan

non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi

Oktober 1967 Pembayaran utang publik dan

non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi

Oktober 1968 Pembayaran utang publik dan

non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi

April 1970 Pembayaran utang publik dan

non-publik dijadwal ulang pada tingkat pasar yang sesuai dengan profil pembayaran kembali berdasarkan hasil negosiasi

Juni 1998 Kerangka kesepakatan untuk

melakukan restrukturisasi atas utang swasta sebesar 80,23 miliar USD.

September 1998 Jatuh Tempo Utang dari 6Agustus 1998

hingga 31 Maret 2000

April 2000 Pembayaran utang non-publik dan

publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai

April 2002 Pembayaran utang non-publik dan

publik dijadwal ulang kembali pada tingkat pasar yang sesuai

(38)

2.3 Kerangka Pemikiran

Berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia menimbulkan adanya kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut di antaranya adalah adanya kecenderungan

Penelitian ini menekankan pada upaya pembentukan suatu sistem deteksi dini yang dapat mengukur kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia secara tepat. Dalam upaya pembentukan alat deteksi dini tersebut, digunakan pendekatan leading economic indicators (LEI). Pendekatan tersebut digunakan berdasarkan suatu pemikiran bahwa pada suatu perekonomian global, variabel-variabel ekonomi saling trekait satu sama lain. Dengan demikian, bila terjadi suatu shock (guncangan) pada salah satu variabel, maka hal tersebut akan berpengaruh pada variabel lain. Shock tersebut dapat berupa guncangan internal maupun eksternal.yang berdampak pada fluktuasi ekonomi. Adanya fluktuasi yang terjadi kemungkinan memiliki pola berulang sehingga dapat membentuk suatu siklus yang disebut dengan siklus bisnis (business cycle).

(39)

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran Fenomena yang terjadi :

•Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan eksternal (utang luar negeri) untuk menutupi defisit anggaran

•Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor publik (pemerintah)

• Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor swasta

MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN TERJADINYA KRISIS

UTANG DI INDONESIA PADA PERIODE WAKTU MENDATANG

Pembangunan early warning system (EWS) dengan pendekatan business cycle analysis

Dapat dibentuk Coincident Debt Index, Leading Debt Index dan Lagging Debt Index Teori Ricardian

Tentang Utang Teori Siklus

Bisnis

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan deret waktu bulanan. Data tersebut akan dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, IMF dan sumber-sumber publikasi lainnya. Adapun jumlah variabel makroekonomi yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 111 variabel, sebagaimana yang terlampir pada Lampiran 1.

3.2 Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode analisis siklus bisnis (business cycle analysis). Dalam prosesnya, pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan Eviews 6.

Penyusunan leading indicator merupakan adopsi dari analisis business cycle yang dibangun untuk mendeteksi siklus perekonomian. Hal yang mendasari analisis business cycle adalah bahwa shock (guncangan) yang berasal dari internal maupun eksternal menyebabkan volatilitas (fluktuasi) aktifitas perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut akan membentuk suatu siklus (business cycle) perekonomian dimana pergerakan naik dan turunnya aktivitas perekonomian tersebut berada dalam level absolut.

(41)

negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (debt to GDP ratio). Varibel ekonomi ini digunakan sebagai reference series karena mampu memberikan penilaian tepat atas tingkat solvabilitas suatu negara, sehingga dapat menggambarkan tingkat indebtness suatu negara.

Adapun nilai threshold variabel ekonomi debt to GDP ratio yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya krisis utang mengacu pada ketentuan dari salah satu lembaga keuangan internasional, yaitu IMF (International Monetary Fund). IMF menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan menghadapi beban utang yang tinggi bila variabel ekonomi debt to GDP ratio mencapai nilai yang lebih tinggi dari 60 persen.

(42)

3.2.1 Tahapan Penyusunan Leading Economic Indicators

Secara umum, tahapan-tahapan untuk membangun Leading Indicators dengan analisis business cycle adalah sebagai berikut.

1. Pengumpulan Data Sekunder

Adapun tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data sekunder yang dipelukan dari berbagai sumber. Idealnya, jumlah data-data yang diperlukan dapat mencapai ratusan variabel. Variabel-variabel tersebut diperkirakan dapat menjadi kandidat komponen leading, coincident dan lagging index. Data yang dikumpulkan sebaiknya memiliki periode yang panjang dengan frekuensi tinggi (data bulanan) agar dapat diperoleh hasil yang baik. Kriteria pemilihan variabel harus dilihat dari aspek ekonomi dan perilaku data secara statistika.

2. Disagregasi Data

Tahap kedua adalah melakukan disagregasi data dengan menggunakan metode Qubic Splines atau dapat pula digunakan metode interpolasi lainnya. Hal ini dilakukan apabila data yang tersedia memiliki frekuensi observasi tahunan atau kuartalan untuk disesuaikan menjadi data bulanan.

3. Mengisolir Pengaruh Musiman

(43)

selain faktor musim yang tetap, juga ada faktor yang bergerak seperti Idul Fitri dan Tahun Baru Imlek.

4. Pemilihan Kandidat Variabel Coincident , Leading dan LaggingIndicators

Tahap keempat adalah pemilihan kandidat variabel Coincident, Leading dan Lagging Indicators. Ada beberapa metode yang digunakan untuk memilih suat variabel menjadi kandidat Leading Indicators, yaitu dengan pendekatan grafis, uji granger causality, dan uji cross-correlation. Oleh karena Leading Indicators bergerak mendahului reference series, maka kandidat Leading Indicators secara visual melalui grafis seharusnya bergerak mendahului reference series.

(44)

5. Penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI)

Tahap kelima adalah penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) dengan basis indicators yang diperoleh dari tahap keempat dengan cara menggabungkan (compose) variabel-variabel kandidat. Akan tetapi, karena amplitudo dari masing-masing variabel atau series bisa jadi berbeda-beda, maka penyusunan indeks tanpa terlebih dahulu dilakukan standardisasi data bisa mengakibatkan terjadinya distorsi pada index yang terbentuk. Untuk menghindari distorsi tersebut, perlu dilakukan normalisasi terhadap semua komponen siklikal yang diturunkan dari variabel-variabel kandidat serta reference series. Pada prinsipnya, proses standardisasi diarahkan agar semua variabel kandidat memiliki mean 100 serta varian yang sama.

Proses penggabungan (compose) variabel-variabel kandidat untuk mendapatkan Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI) terbaik dilakukan dengan cara trial-error. Indikator baiknya Coincident Debt Index didasarkan pada persamaan pergerakannya dengan variabel reference, sementara untuk LDI didasarkan pada kemampuannya untuk memprediksi CI dan Reference Series.

(45)

Indonesia secara agregat. Sementara Coincident Debt Index dapat memberikan gambaran tentang kondisi beban utang Indonesia yang terjadi saat ini.

3.2.2 Metode Penyusunan Early Warning Indicators

Metode-metode yang digunakan dalam proses penyusunan Early Warning Indicators dapat dijelaskan seperti berikut ini.

1. Metode Cubic-Spline

Data sekunder yang dipublikasi umumnya memiliki frekuensi release yang tahunan. Dalam penyusunan Leading Indicator, data yang digunakan umumnya berupa data bulanan. Apabila data yang tersedia memiliki frekuensi kuartalan, maka perlu dilakukan disagregasi menjadi bulanan, sehingga diperlukan metode khusus yang dapat memberikan hasil optimal, salah satunya adalah metode Cubic-Spline.

2. X12-ARIMA

Fluktuasi data yang bersifat musiman dan periodik sepanjang waktu seringkali mengganggu pergerakan siklikal. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dihilangkan terlebih dahulu. Metode X-12 ARIMA adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk de-seasonality data. Penelitian ini menggunakan X-12 ARIMA karena sifatnya yang lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Menurut pandangan Jackson dan Leonard (2001), penyesuaian musiman (seasonal adjustment) dari sebuah series didasarkan pada asumsi bahwa fluktuasi-fluktuasi musiman dapat diukur dari series awal (xt, t=1,2,...,n) dan dipisahkan

(46)

irregular (It). Komponen musiman atau seasonal (St) dapat didefinisikan sebagai

variasi dalam setahun yang berulang secara konstan dari tahun ke tahun. Ct

mengukur variasi variabel menuju faktor siklus jangka panjang, siklus bisnis, dan faktor-faktor jangka panjang lainnya. Dt adalah variasi yang ditunjukkan pada

komposisi dari kalender. Sebagai tambahan, It adalah variasi residual. Banyak

variabel makroekonomi yang time series mempunyai bentuk hubungn multiplicative (xt=CtDtSt) dan lainnya berbentuk additivr (xt=Ct+Dt+St+It).

Sebuah time series yang disesuaikan secara musiman hanya terdiri atas trend cycle dan komposisi irregular.

X-12 ARIMA merupakan sebuah model yang dapat digunakan untuk mendekomposisi sebuah time series baik dengan asumsi additive ataupun multiplicative untuk memperoleh komponen-komponen Ct, Dt, St, ataupun It.

Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) umumnya digunakan untuk seasonal time series. Model ARIMA dengan asumsi multiplicative seasonal times series, xt dapat dituliskan menjadi :

ø(B)Φ(Bs)(1-B)d (1-Bs)D xt= θ (B)Ө (Bs)a

t

dimana :

B adalah operator lag (Bxt=xt-1)

s adalah periode musiman,

ø(B) = (1 - ø1B -...- øpBp) adalah operator non seasonal autoregressive (AR),

Φ(B) = (1 - Φ1Bs -...- ΦPBPs) adalah operator seasonal AR,

θ(B) = (1 - ø1B -...- øqBq) adalah operator non seasonal moving average (MA),

Φ(Bs) = (1 - Φ1Bs -...- ΦQBQs) adalah opeartor seasonal moving average

(47)

ats i.i.d dengan rata-rata nol dan varian σ2.(1 B)d (1 Bs)D mengimplikasikan

perbedaan non seasonal orde ke-d dan perbedaan seasonal orde ke-D. Jika d=D=0 (tidak ada perbedaan), maka pada umunya dilakukan perhitungan kembali xt pada

persamaan di atas dengan mengurangkannya terhadap rata-ratanya, yaitu : dengan xt-μ dimana μ = E[xt].

3. Cross Correlation

Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menentukan apakah variabel-variabel ekonomi dan keuangan lainnya, jika dikorelasi silangkan dengan reference series akan menjadi Leading Indicators, Coincident Indicators, atau Lagging Indicators. Jika ternyata ada beberapa variabel yang dapat dijadikan Leading Indicators, maka bisa dibentuk Composite Leading Indicators (CLI). Korelasi silang (cross correlation) antara dua variabel, katakan x dan y dapat dihitung :

dan

Periode waktu yang digunakan untuk menguji korelasi adalah 12 periode atau selama satu tahun dengan data bulanan. Untuk dapat dijadikan sebagai indicators

……….. (3.2)

(48)

maka nilai rxy yang dicari adalah nilai yang paling tinggi selama periode

pengujian.

Kriteria pemilihan kandidat leading pada uji cross correlation (korelasi silang) adalah dengan melihat korelasi tinggi pada lag yang cukup jauh. Pemilihan kandidat lagging berdasarkan korelasi tertinggi pada lead yang cukup jauh. Sementara itu, penetuan kandidat coincident dilakukan dengan melihat korelasi tertinggi pada lead dan lag nol.

4. Granger Causality Test

(49)

kemungkinan arah kausalitas yang terjadi antara dua variabel, yakni variabel reference dan variabel tertentu yang diuji (misalnya variabel X), yaitu :

1.) Variabel reference menyebabkan (granger cause) variabel X 2.) Variabel X menyebabkan (granger cause) variabel reference

3.) Variabel reference dan variabel X memiliki hubungan timbal balik yang terjadi apabila variabel reference menyebabkan variabel X dan pada saat yang bersamaan variabel X juga menyebabkan variabel reference .

Dengan menggunakan Granger Causality Test, maka dapat diketahui apakah antara X dan Y memiliki hubungan kausalitas dan bagaimana arah kausalitas di antara kedua variabel tersebut. Nilai probabilitas (P value) yang dihasilkan menentukan signifikansi arah hubungan kausalitas antar variabel. Ketentuan yang secara konvensional disepakati adalah jika probabilitas lebih kecil dari 5 persen, maka dikatakan terjadi kausalitas yang signifikan.

Kriteria kandidat leading pada granger causality ini adalah adanya hubungan kausalitas satu arah pada lag cukup jauh yang menunjukkan bahwa variabel X menyebabkan (granger cause) variabel reference. Sementara itu, kriteria kandidat lagging didasarkan pada adanya hubugan kausalitas satu arah pada lag cukup jauh yang menunjukkan bahwa variabel reference menyebabkan (granger cause) variabel X. Adapun pemilihan kandidat Coincident Indicators dilihat dari adanya hubungan kausalitas dua arah dengan lag di sekitar nol.

5. Metode Penyusunan Composite Coincident Debt Index (CDI) dan Leading Debt Index (LDI)

(50)

langkah selanjutnya adalah menyusun composite CI dan LI dengan prosedur sebagai berikut :

Untuk setiap variabel, lakukan perhitungan :

1. Hitung perubahan persentase simetris month-on-month (MoM) untuk setiap variabel atau komponen dengan rumus :

xt = 200* (Xt-Xt-1)/(Xt-Xt-1) ...(3.4)

dimana Xt adalah nilai observasi komponen X pada waktu t. Jika satuan

pengukuran untuk komponen X berupa presentasi (seperti suku bunga), maka month-on-month dihitung dengan formula :

xt = (Xt-Xt-1)...(3.5)

2. Lakukan adjustement terhadap MoM change dari setiap komponen. Hal ini dimaksudkan untuk menyamakan volatilitas MoM change dari semua komponen. Adjustement tersebut dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

a) Hitung standard deviation MoM change dari setiap komponen

(misalkan = σx)

b) Hitung inverse dari σx (misalkan wx= 1/σx)

c) Jumlahkan semua wx (misalkan = k)

d) Hitung faktor standarisasi (weight) untuk setiap komponen dengan rumus:

rx = (1/k)*wx ...(3.6)

Adjustment terhadap MoM change dari setiap komponen dihitung dengan rumus :

(51)

3. Jumlahkan MoM change yang telah di-adjust (langkah 2); misalkan = it

4. Lakukan adjustment terhadap it untuk menyamakan volatilitas dengan

reference series; untuk Coincident Economic Indicator (CEI) menggunakan reference series yakni debt to GDP, serta untuk Leading Economic Indicator (LEI) dan Lagging Economic Indicator menggunakan reference series CEI atau reference series debt to GDP.

5. Hitung angka preliminary leading dan Coincident Debt Index dengan menetapkan nilai indeks awal sama dengan 100. Nilai indeks berikutnya dihitung dengan menggunakan rumus :

It = It-1 * (200 + it) / (200-it) ...(3.8)

Kombinasi variabel yang menghasilkan composite CI dan LI terbaik diperoleh dengan cara trial and error. Ukuran kebaikan CI didasarkan pada kesamaan pergerakannya dengan debt to GDP (reference series), sementara untuk LI didasarkan pada kemampuannya memprediksi pergerakan CI.

6. Penentuan Turning Point Coincident, Leading dan Lagging Debt Index

dengan Metode Bry Boschan Procedure

Setelah proses seleksi selesai dilakukan, maka selanjutnya variabel-variabel yang menjadi kandidat Coincident, Leading dan Lagging Indicators akan melalui suatu proses perhitungan sehingga dihasilkan suatu indeks bagi masing-masing indikator tersebut.

(52)

ekspansi ke kontraksi atau sebaliknya. Penentuan turning points ini penting untuk menyusun kronologi siklus bisnis di Indonesia.

Adapun metode yang digunakan untuk melakukan penentuan turning point tersebut adalah metode Bry Boschan Procedure. Metode ini telah dikembangkan sejak lama oleh NBER dan masih digunakan secara luas hingga saat ini.

Secara visual, grafik Leading Debt Index bergerak mendahului Coincident Debt Index dengan selang waktu tertentu. Selang waktu Leading Debt Index bergerak mendahului Coincident Debt Index tersebut dapat ditentukan secara akurat dengan menghitung rata-rata perbedaan antar titik puncak dan lembah dari kedua indeks tersebut. Perbedaan rata-rata selang waktu Leading Debt Index mendahului Coincident Debt Index selanjutnya ditetapkan sebagai jangka waktu kemungkinan terjadinya krisis utang setelah munculnya sinyal pada system deteksi dini yang telah dibuat. Dengan demikian, pihak pengambil kebijakan memiliki waktu dalam periode tertentu untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang penting dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya krisis utang.

(53)

demikian, pihak pengambil kebijakan memiliki waktu dalam periode tertentu untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang penting dalam rangka menghindari dampak penyebaran secara luas terhadap perekonomian secara agregat akibat terjadinya krisis utang yang tidak dapat terhindarkan lagi.

Pengujian secara grafis dengan metode Bry Boschan Procedure ini diawali dengan penentuan titik puncak (peak) dan lembah (trough) pada grafik dari masing-masing indeks yang telah dihasilkan. Penentuan titik puncak (peak) dan lembah (trough) tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat langkah ini akan memudahkan penentuan selang waktu perbedaan antara Coincident Debt Index dengan Leading Debt Index dan Lagging Debt Index. Titik puncak suatu indeks ditentukan pada periode tertentu dimana indeks tersebut mencapai nilai tertinggi, sedangkan titik lembah suatu indeks ditentukan pada periode tertentu dimana indeks tersebut mencapai nilai terendah. Suatu indeks tertentu dikatakan memiliki satu siklus bila pada rentang periode tertentu memiliki satu titik puncak dan satu titik lembah.

(54)
(55)

Gambar 3.1 Alur Penyusunan Komponen Early Warning System

1. Disagregasi data (Cubic Splines)

Generating

Kandidat Leading Indicators Kandidat LaggingIndicators

Kandidat Coincident Indicators

Coincident Debt Index Leading Debt Index Lagging Debt Index

Penyusunan

Composite Index

Metode Indeksasi

Metode X-12 ARIMA Metode X-12 ARIMA

Metode X-12 ARIMA

Penentuan Turning Point dan Perbedaan Selang Waktu Antara Coincident Debt Index dengan Leading Debt

(56)

3.3Definisi Operasional

Adapun beberapa definisi operasional yang penting untuk dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Utang luar negeri Indonesia adalah posisi kewajiban aktual penduduk Indonesia kepada bukan penduduk pada suatu waktu, tidak termasuk kontinjen, yang membutuhkan pembayaran kembali bunga dan/atau pokok pada waktu yang akan datang.

2. Utang luar negeri pemerintah adalah utang yang dimiliki oleh pemerintah pusat, terdiri dari utang bilateral atau multilateral, fasilitas kredit ekspor (FKE), utang komersial, dan leasing, termasuk pula Surat Berharga Negara (SBN) (yang diterbitkan di luar maupun di dalam negeri) yang dimiliki oleh bukan penduduk. SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SUN terdiri dari Obligasi Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka waktu sampai dengan 12 bulan. SBSN terdiri SBSN jangka panjang (Ijarah Fixed Rate/IFR) dan Global Sukuk.

3. Utang luar negeri bank sentral adalah utang yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka mendukung neraca pembayran dan cadangan devisa. Termasuk dalam utang luar negeri Bank Indonesia adalah kewajiban dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki oleh bukan penduduk serta simpanan (deposits) bukan penduduk di Bank Indonesia.

(57)

5. Belanja Negara adalah seluruh pengeluaran negara berupa belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah.

6. Surplus adalah selisih yang dihasilkan dari pendapatan negara dan hibah yang lebih besar dari belanja negara.

7. Defisit adalah selisih yang dihasilkan dari pendapatan negara dan hibah yang lebih rendah dari belanja negara.

8. Total Pembiayaan adalah pembiayaan yang dapat diterima/dibentuk untuk menutupi defisit yang terjadi/membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pembiayaan mencakup transaksi penjualan asset negara, penerimaan pinjaman pemerintah dari luar negeri dan dalam negeri, dan rekening-rekening pemerintah.

9. Balance of Payment (BoP) atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) adalah catatan transaksi ekonomu yang terjadi antara penduduk dengan bukan penduduk Indonesia pada suatu periode waktu tertentu.

10.Transaksi berjalan mencakup ekspor dan impor barang, jasa, pendapatan, serta transfer berjalan. Transaksi finansial meliputi investasi langsung, investasi portofolio, derivatif finansial, dan investasi lainnya di luar cadangan devisa dan kredit/pinjaman IMF yang disajikan sebagai komponen sendiri.

11.Transaksi ekspor dan impor barang masing-masing dikelompokkan atsa ransaksi ekspor dan impor migas dan nonmigas.

(58)

ketidakseimbangan neraca pembayaran, melakukan intervensi pasar, dalam rangka memelihara kestabilan nilai tukar, dan/atau tujuan lainnya (antara lain menjaga ketahan perekonomian daan nilai tukar serta sebagai bantalan terhadap net kewajiban Indonesia).

13.Hak Tarik Khusus (Special Drawing Rights – SDR) merupakan cadangan devisa internasional yang diciptakan oleh IMF untuk menambah cadangan devisA negara anggota dan secara periodik dialokasikan kepada anggota secara proporsional sesuai dengan kuotanya. Walaupun tidak memiliki jangka waktu jatuh tempo, anggota IMF yang menerima alokasi SDR tersebut memiliki kewajiban untuk embayar kembali saat keluar dari keanggotaan IMF.

14.Debt Service Payment adalah jumlah pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri, termasuk fee.

15.Debt Service Ratio adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara.

16.Debt to Export Ratio adalah rasio total utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara.

(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Utang Luar Negeri Indonesia

Dilihat dari sisi komposisi dan distribusinya, posisi utang luar negeri Indonesia secara nominal terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini perlu diwaspadai karena pertumbuhan utang luar negeri yang tidak terkendali dapat berdampak buruk dan memicu terjadinya krisis utang di Indonesia. Sejauh ini, mulai tahun 2001 hingga kini, kemampuan dalam melakukan pembayaran utang luar negeri (solvabilitas) Indonesia menunjukkan kondisi yang terus membaik. Hal ini dapat dilihat dari indikator debt to GDP yang menunjukkan trend terus menurun dari tahun 2001 hingga kini.

Selain mengacu kepada debt to GDP, penilaian solvabilitas Indonesia juga dapat dilihat dari indikator debt to export. Ukuran ini dihitung dari rasio posisi utang luar negeri secara keseluruhan terhadap penerimaan ekspor yang diperoleh suatu negara. Dari tahun 2006 hingga 2011 saat ini, debt to export Indonesia menunjukkan trend yang mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada

(60)

Sumber : Bank Indonesia, 2011

Gambar 4.1 Debt To Export Indonesia Periode Tahun 2006 Hingga 2011

(61)

solvabilitas sehingga mampu menyelesaikan berbagai kewajiban terkait pembayaran kembali utang luar negeri Indonesia sesuai tenggat waktu (grace period) yang disepakati sebelumnya.

Meskipun solvabilitas Indonesia dinilai baik dan tidak berpotensi mengalami krisis utang yang ditandai dengan kondisi gagal bayar, namun posisi utang luar negeri yang terus meningkat tetap saja menimbulkan beban tersendiri bagi negara akibat beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunganya dari tahun ke tahun. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai beban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan bunga yang harus ditanggung suatu negara adalah nilai debt service ratio (DSR). Nilai ini merupakan rasio besarnya pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor suatu negara. Adapun nilai DSR Indonesia selama periode tahun 2006 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Sumber : Bank Indonesia, 2011

(62)

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai DSR Indonesia memiliki trend yang cenderung menurun selama periode tahun 2006 hingga 2011, meskipun nilai DSR ini sempat mengalami kenaikan di tahun 2009 menjadi 23,2 persen. Nilai DSR merefleksikan beban penerimaan ekspor yang harus dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Suatu negara dianggap memiliki profil utang luar negeri yang aman apabila nilai DSR nya berada di bawah 25 persen. Dengan demikian, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri sempat memberikan beban yang besar terhadap penerimaan ekspor Indonesia pada tahun 2006 karena DSR di tahun tersebut mencapai 25 persen.

Kondisi DSR Indonesiadapat dikatakan cukup rawan karena nilainya yang hampir mendekati batas aman 25 persen. Hal ini terjadi sebagai dampak akumulasi total utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga memberikan tekanan yang besar terhadap penerimaan ekspor Indonesia. Padahal, jika posisi utang luar negeri Indonesia terkendali, maka potensi penerimaan ekspor Indonesia dapat dialokasikan untuk mendukung pembangunan ekonomi di dalam negeri demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara luas.

(63)

Tabel 4.1 Nilai Net Resource Flow Indonesia Periode Tahun 2006-2011

2006 28.677.000.000 38.933.100.000 -10.256.100.000

2007 33.267.000.000 36.652.160.000 -3.385.160.000

2008 46.149.000.000 44.926.000.000 1.223.000.000

2009 47.344.000.000 41.380.000.000 5.964.000.000

2010 53.626.000.000 54.347.000.000 -721.000.000

2011 95.312.000.000 63.592.000.000 31.720.000.000

Sumber : Bank Indonesia, 2011, diolah

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2006 hingga 2011, nilai NRF Indonesia bervariasi. Pada tahun 2008, 2009, 2011, NRF Indonesia menunjukkan nilai yang positif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa total penarikan utang luar negeri baru lebih besar dibandingkan pembayaran cicilan pokok dan bunganya sehingga likuiditas dalam perekonomian dalam negeri cenderung positif. Hal inilah yang menyebabkan pada periode tersebut posisi utang luar negeri Indonesia mengalami trend yang terus meningkat.

(64)

NRF yang negatif akibat pembayaran cicilan pokok dan bunga yang lebih besar dibandingkan penarikan utang luar negeri baru hanya menyebabkan likuiditas dalam perekonomian menjadi negatif. Hal ini perlu diwaspadai karena kurangnya likuiditas dalam negeri akan berpengaruh buruk terhadap prospek investasi sehingga penciptaan output nasional akan mengalami penurunan.

Pengelolaan utang luar negeri Indonesia saat ini masih begitu buruk. Hal ini disebabkan karena pengelolaan tersebut masih belum dilakukan secara terpusat. Institusi yang mencatat pelaporan penerimaan utang luar negeri tersebut adalah Bank Indonesia. Sementara itu, alokasi penggunaan utang luar negeri tersebut direncanakan dan dilaksanakan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Adapun institusi yang bertanggung jawab dalam melakukan pembayaran kembali cicilan pokok dan bunga utang luar negeri tersebut adalah Kementerian Keuangan. Pengelolaan utang luar negeri yang dilakukan secara tidak terpusat ini menyebabkan penilaian efisiensi atas alokasi penggunaannya tidak dapat terukur dengan baik. Besarnya imbal hasil (rate of return) yang diperoleh dari penggunaan sumber pembiayaan utang luar negeri iu tidak dapat diketahui secara akurat. Oleh karena itu, penyelewengan penggunaan utang luar negeri tersebut sangat berpotensi untuk terjadi sehingga hanya menimbulkan kerugian dan menambah beban pembayarannya.

(65)

negeri. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya penilaian untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan utang luar negeri dalam mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa sejauh ini profil utang luar negeri Indonesia masih menunjukkan kondisi yang aman. Namun, seiring dengan semakin besarnya beban pembayaran cicilan pokok dan bunganya, maka utang luar negeri tersebut berpotensi menimbulkan polemik bagi perekonomian Indonesia secara agregat. Dengan demikian, pada periode mendatang potensi terjadinya krisis utang di Indonesia sangatlah besar sehingga perlu dibangun suatu early warning system yang mampu memprediksi kemungkinan terjadinya krisis tersebut secara akurat.

4.2 Penyusunan Early Warning System

(66)

4.2.1 Identifikasi Variabel-variabel yang Menjadi Kandidat Coincident,

Leading, dan Lagging Indicator

Leading Debt Index merupakan instrumen terpenting dalam pembangunan early warning system krisis utang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pergerakan indeks ini memiliki kemampuan dalam memprediksi kondisi beban utang luar negeri yang dialami oleh Indonesia pada periode waktu mendatang. Oleh karena itu, dalam pembangunan early warning system ini, penyusunan Leading Debt Index menjadi salah satu perhatian utama di samping coincident dan Lagging Debt Index.

Dalam rangka menyusun Coincident, Leading dan Lagging Debt Index, maka penentuan variabel-variabel yang menjadi kandidat Coincident, Leading, dan Lagging Indicator menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena Coincident, Leading dan Lagging Debt Index yang terbentuk disusun oleh kandidat-kandidat tersebut dengan bobot tertentu.Oleh karena itu, proses seleksi untuk memperoleh variabel-variabel yang menjadi kandidat tersebut perlu dilakukan secara cermat dan akurat.

(67)

4.2.1.1Identifikasi Variabel-variabel yang Menjadi Kandidat Coincident Indicator

Coincident Indicator (CI) adalah indikator siklus bisnis yang pergerakannya seiring dengan variabel yang menjadi acuan (reference series). Indikator ini dapat memberikan gambaran tentang situasi ekonomi saat ini (current economic situation). Kandidat CI diperoleh dengan bantuan peralatan statistik berupa analisis korelasi silang (cross correlation) dan granger causality. Berdasarkan analisis korelasi silang, kandidat CI diperoleh dengan melihat korelasi paling tinggi pada lag dan lead nol. Meskipun demikian, suatu variabel dapat dipertimbangkan untuk diklasifikasikan sebagai kandidat Coincident Indicator jika hasil uji korelasi silang yang dilakukan menunjukkan adanya nilai korelasi tertinggi pada lead atau lag dengan ukuran kurang dari enam. Adapun kriteria Coincident Indicators berdasarkan uji granger causality adalah dengan melihat hubungan kausalitas dua arah yang signifikan dari variabel-variabel yang diuji dengan variabel acuan debt to GDP pada lag yang cukup jauh. Tingkat signifikansi yang disepakati adalah nilai probabilitasnya harus lebih kecil dari 0,05 (alpha = 5 persen).

(68)

1. Variabel Suku Bunga Pinjaman Modal Kerja (Rupiah) Dari Bank Asing dan Campuran (Kode : Var38)

Variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran merupakan salah satu variabel yang menjadi kandidat Coincident Indicator. Hal ini didasarkan pada hasil seleksi melalui dua tahap pengujian statistik yang dilakukan, yakni uji cross correlation dan granger causality. Adapun hasil seleksi melalui ketiga tahap pengujian tersebut dapat disimak pada uraian berikut ini.

a. Uji Korelasi Silang (Cross Correlation Test)

Uji korelasi silang secara statistik juga dilakukan terhadap variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran. Berdasarkan hasil uji korelasi silang, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena memiliki korelasi paling tinggi pada lag 1 terhadap reference variabel debt to GDP dimana ukuran lag tersebut kurang dari 6. Adapun hasil uji korelasi silang antara variabel reference series (debt to GDP) dengan variabel suku bunga suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dapat dilihat pada Lampiran 2.

(69)

Indicator. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji cross correlation yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dapat dikategorikan sebagai kandidat Coincident Indicator krisis utang di Indonesia.

b. Uji Granger Causality (Granger Causality Test)

Selain dengan menggunakan cross correlation test, uji secara statistik juga dilakukan dengan menggunakan granger causality test terhadap variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran. Berdasarkan hasil uji granger causality, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini terseleksi sebagai kandidat Coincident Indicators karena menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah signifikan yang mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara variabel suku bunga pinjaman modal kerja (rupiah) dari Bank Asing dan Campuran dengan variabel acuan, yakni rasio posisi utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (debt to GDP). Pengujian Granger Causality dilakukan dengan menggunakan beberapa spesifikasi lag, yakni lag 1, 3, 6, dan 12. Adapun hasil uji granger causality tersebut dapat disimak pada

Lampiran 5.

Gambar

Gambar 1.3 Posisi Surat Berharga Negara (SBN) Domestik yang Dimiliki
Tabel 2.1. Kelebihan Masing-Masing Model Early Warning System
Tabel 2.3 Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi
Tabel 2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model krisis yang sesuai untuk mendeteksi krisis keuangan di Indonesia berdasarkan indikator harga minyak

Maryetta Monalisa: Dampak Aliran Modal Asing, Utang Luar Negeri, dan Perdagangan Internasional..., 2006... Maryetta Monalisa: Dampak Aliran Modal Asing, Utang Luar Negeri,

Default atau kondisi gagal bayar yang dialami suatu negara akan menyebabkan kerugian dalam seluruh sistem. Sehingga negara tersebut meningkatkan dananya untuk

Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, Edisi 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Pembangunan EkonomidanUtang

Penyebab kedua adalah latar belakang ekonomi spesifik dari negara yang bersangkutan, seperti krisis utang luar negeri tahun 1982 yang disebabkan oleh

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan kausalitas antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi serta mengidentifikasi bagaimana arah dan pengaruh antara

Akhirnya, untuk kelanjutan pembangunan Indonesia yang lebih baik, sekali lagi pemerintah harus menghentikan utang baru, luar negeri maupun dalam negeri.. Terhadap

Pengaruh Utang Luar Negeri terhadap Pertumbuhan Ekonomi PDB Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, utang luar negeri ULN berpengaruh positif dan signifikan terhadap