ABSTRACT
ISSANTIA RETNO SULISTIAWATI Women Participation Level and Its Effect toward the Economic Independency of Women Participant in National Community Empowerment Program (PNPM) Independent City under Supervision of TITIK SUMARTI
This study is focusing on Women Participation Level and Its Effect toward the Economic Independency of Women Participant in National Community Empowerment Program (PNPM) Independent City which is one factor that affecting the women participant economic independency of PNPM Independent City. The aims of this study are 1) analyze the participation of women in PNPM Independent City program, 2) analyze which driving factors that most affecting toward the participation level of women in PNPM Independent City, 3) analyze how far is the participation level of women affecting toward the women economic independency in PNPM Independent City program. Respondents are women which are the participant of PNPM Independent City program with total of 60 persons. Respondent are chosen by simple random sampling. Quantitative data processed with Cross Tabulation method and supported by Rank Spearman Correlation Test. Based on the data processing result, it can be conclude that the women participation level of PNPM program participant is categorized in low level. From four factors that affecting participation, there are no one that affecting factor toward the participation level. Women participants refuse to participate in the mentoring and evaluation program of PNPM because they only want to participate in circulating funds program to gain extra salary. PNPM Independent City Program in Semplak is done quite well and can be said as successful. However, in the reality, the participation level is not affecting the economic independency level of women participant, because the low and high participation level is both having a high independency. Based on the study result, there are some recommendations for the PNPM Independent City program which are; improve the information accessibility and mentoring toward women participants; improve the participation of participants; rearrange the program success indicator which is more measureable and appropriate with the early purpose of the program which is to improve the women participants economic condition.
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera
dituntaskan. Kemiskinan juga merupakan persoalan multidimensional yang tidak
saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Secara
harfiyah, kemiskinan berasal dari kata miskin yang berarti “tidak berharta benda.”
Secara lebih luas kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok yang dengan
kondisi tersebut akan menimbulkan permasalahan sosial yang lain. Konsep
tentang kemiskinan sangat beragam mulai dari sekedar ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya
kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukan aspek
sosial dan moral. Kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan
dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh
suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
tereksploitasi (kemiskinan struktural) (Bapenas,2010).
Data yang didapat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa
jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Data terakhir memperlihatkan jumlah penduduk miskin pada bulan April 2011
mencapai angka 32.02 juta jiwa dan sebesar 12,49 persen di perkotaan. Jumlah
penduduk miskin yang terus bertambah ini merupakan akibat dari gagalnya
program pembangunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketidakberhasilan program pembangunan
dapat dilihat dari sifat program pembangunan yang masih top down dan
sentralistik sehingga program pembangunan tidak cocok diterapkan di berbagai
daerah.
Program pengembangan masyarakat berciri bottom-up, termasuk program
rumahtangga miskin itu sendiri. Dua karakteristik utama yang menentukan,
menurut BPS (2008) adalah karakteristik demografi dan lapangan pekerjaan.
(Tabel 1.1)
Tabel 1.1 Tabel Karakteristik Kepala Rumah Tangga Menurut Kategori Miskin di Indonesia tahun 2008
Karateristik Rumahtangga Miskin Tidak Miskin
Rata-rata jumlah anggota rumahtangga
- Perkotaan
- Perdesaan
- Perkotaan + Perdesaan
4,70 4,61 4,64 3,86 3,74 3,79 Persentase wanita sebagai kepala rumahtangga
- Perkotaan
- Perdesaan
- Perkotaan + Perdesaan
14,18 12,30 12,91 14,15 13,03 13,52 Rata-rata usia kepala rumahtangga
- Perkotaan
- Perdesaan
- Perkotaan + Perdesaan
48,57 47,86 48,09 45,47 47,44 46,51 Sumber : BPS (2008)
Fenomena perempuan sebagai kepala rumahtangga miskin cukup besar di
perkotaan (14,18 persen) dan memiliki tantangan untuk bekerja nafkah sekaligus
mengurus rumahtangga. Sementara dari lapangan pekerjaan kepala rumah tangga,
belum dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, maupun formal dan informal.
Data menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan utama yang mendominasi di
perkotaan adalah lainnya (44,72 persen).
Tabel 1.2 Tabel Karakteristik Kepala Rumahtangga Menurut Lapangan Pekerjaan di Indonesia Tahun 2008
Karateristik Rumahtangga Tidak Bekerja
Pertanian Industri Lainnya Rumah tangga miskin
- Perkotaan - Perdesaan - Perkotaan+Perdesaan 14,71 8,67 10,62 30,02 68,99 56,35 10,55 5,09 6,86 44,72 17,26 26,16 Rumahtangga tidak miskin
- Perkotaan
- Perdesaan
- Perkotaan +Perdesaan
15,36 7,91 11,1 9,39 55,2 35,06 12,19 5,97 8,7 63,07 30,92 45,05 Sumber : BPS (2008)
Catatan : Lainnya mencakup pertambangan, listik, gas dan air minum, konstruksi, perdagangan rumah makan dan akomodasi, transportasi,keuangan dan jasa.
Salah satu program pembangunan pemerintah yang bertujuan untuk
mengentaskan kemiskinan di perkotaan adalah Program Nasional Pemberdayaan
Mandiri Perkotaan. Salah satu daerah yang menerima program tersebut adalah
Kota Bogor. Salah satu syarat agar program dapat berhasil dan berkelanjutan
komunitas miskin itu sendiri (laki-laki maupun perempuan). Beberapa
program/kegiatan di kota Bogor ditujukan khusus untuk perempuan miskin. Oleh
karena itu partisipasi perempuan dalam program tersebut menjadi sangat penting.
Dari data partisipasi perempuan yang didapat dari bagian program PNPMMandiri
Perkotaan menunjukan tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM
Mandiri Perkotaan di kota Bogor beragam. Persentase partisipasi perempuan
terendah terdapat di Kelurahan Menteng, Kecamatan Kemang sebesar 18,73
persen, sedangkan untuk persentase partisipasi perempuan yang dilihat dari
jumlah peserta PNPM 2011 tertinggi terdapat di wilayah Kelurahan Semplak,
Kecamatan Kemang sebesar 45,71 persen. Kelurahan Semplak, Kecamatan
Kemang terletak di wilayah bagian Barat Kota Bogor dahulunya merupakan
bagian dari wilayah Kabupaten Bogor yang kemudian pada tahun 1995 menjadi
bagian dari wilayah Kota Bogor. Kelurahan ini merupakan perbatasan dengan
Kabupaten Bogor dimana warganya masih memiliki sosio-budaya pedesaan.
Partisipasi perempuan merupakan bagian integral dari partisipasi
masyarakat. Perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai
subjek pembangunan. Dalam kedudukannya sebagai subjek pembangunan,
perempuan tentunya memiliki posisi dan peran yang sama untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat (baik laki-laki maupun perempuan),
khususnya golongan miskin itu sendiri, sangat diperlukan dalam upaya
pengentasan kemiskinan, salah satunya melalui program PNPM Perkotaan. Oleh
karena itulah, berdasarkan data partisipasi perempuan tersebut peneliti tertarik
untuk mengkaji lebih jauh mengenai faktor-faktor yang menentukan tingkat
partisipasi perempuan di wilayah Kelurahan Semplak dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan program PNPM Mandiri Perkotaan, khususnya di tingkat
keberdayaan ekonomi perempuan peserta program yang mencangkup akses dan
1.2. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, berikut adalah rumusan
masalah dari penelitian ini :
1. Bagaimana tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri
Perkotaan?
2. Faktor pendorong manakah yang paling berpengaruh terhadap tingkat
partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan ?
3. Sejauhmana tingkat partisipasi perempuan berpengaruh terhadap tingkat
keberdayaan ekonomi perempuan dalam program PNPM Mandiri
Perkotaan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Menganalisis tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri
Perkotaan.
2. Menganalisis faktor pendorong manakah yang paling berpengaruh terhadap
tingkat partisipasi perempuan dalam program PNPM Mandiri Perkotaan.
3. Menganalisis sejauhmana tingkat partisipasi perempuan berpengaruh
terhadap tingkat keberdayaan ekonomi perempuan dalam program PNPM
Mandiri Perkotaan.
1.4. Kegunaan Penelitian;
Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai lapisan dan pihak-pihak terkait,
yaitu:
1. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memberikan
pengetahuan mengenai peranan mereka dalam pembangunan, sehingga bisa
ikut berpartisipasi dalam setiap tahap pelaksanaan, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pemanfaatan hasil.
2. Bagi perguruan tingggi, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
salah satu wujud Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian dan
3. Bagi pemerintah, Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
perencanaan program-program selanjutnya, serta memberikan kesempatan
II.
PENDEKATAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemiskinan
Kemiskinan dapat dikelompokkan ke dalam kemiskinan struktural,
kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural merupakan
kemiskinan yang disebabkan karena kondisi struktur sosial yang ada dalam suatu
masyarakat tidak dapat memberikan kesempatan untuk menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia. Kemiskinan kultural merupakan
kemiskinan yang disebabkan karena faktor budaya yang ada pada masyarakat,
seperti malas, pola hidup kosumtif, sulit dalam mengorganisasi diri, dan
sebagainya. Sedangkan kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh faktor alam,dimana kondisi sumber daya alam yang ada pada suatu daerah
tidak mendukung untuk kegiatan ekonomi produktif, melainkan secara alamiah
rusak karena faktor alam maupun faktor manusia.
Pada wilayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat
miskin adalah tidak memiliki akses dalam pemanfaatan sarana dan prasarana
dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman
yang jauh dibawah standar kelayakan dan mata pencaharian yang tidak menentu.
Pada kasus kemiskinan dalam PNPM Mandiri Perkotaan, kemiskinan termasuk
dalam kemiskinan struktural yang bersifat multidimensional yaitu;
1. Dimensi politik dapat dilihat dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi
yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin,
sehingga mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta
berdampak pada tidak ada akses pada sumber daya dan informasi.
2. Dimensi sosial berkaitan dengan internalisasi budaya kemiskinan yang
berpengaruh pada kualitas hidup manusia dan etos kerja serta masyarakat
3. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan lebih tampak dalam bentuk rendahnya
penghasilan sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
mereka sampai pada batas hidup yang layak.
4. Dimensi aset ditandai oleh rendahnya kepemilikan masyarakat miskin terhadap
modal serta kualitas sumber daya manusia, peralatan kerja dan perumahan.
(Sulistyowati,2002)
2.1.2 Pengembangan Masyarakat dan Partisipasi
Menurut Ambadar (2008), pengembangan masyarakat adalah salah satu
pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit
kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dalam memberikan pelayanan sosial. Bagi perusahaan, pengembangan masyarakat
merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar
aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya. Hal ini disebabkan dalam
pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan bersama
antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas, dan
keberlanjutan.
Menurut Nasdian (2006) komunitas adalah suatu wilayah kehidupan sosial
yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Aktivitas suatu
komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota
komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana semua usaha swadaya masyarakat
diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan taraf
hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri,
serta pembentukan pelayanan teknis, sifat berswadaya dan kegotongroyongan
sehingga proses pembangunan berjalan efektif.
Peran serta masyarakat selama ini hanya dilihat dalam konteks yang sempit,
yaitu manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya
pembangunan. Pada kondisi ini, partisipasi masyarakat hanya sebatas biaya
pembangunan. Melihat kondisi ini, partisipasi masyarakat hanya sebatas pada
implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya
memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian, 2006). Payne (1979) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh
daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang harus ia
lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan
pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui
peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia
miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
2.1.2.1 Definisi Partisipasi
Terdapat banyak definisi mengenai partisipasi diantaranya adalah sebagai
berikut (Masril,2011):
1. Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan
emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya
untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan
serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Davis dalam
Sastropoetro, 1988:13).
2. Partisipasi masyarakat adalah berbagai kegiatan orang seorang, kelompok atau
badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah
masyarakat, untuk berminat dan bergerak di penyelenggaraan penataan ruang
(UU 24/1992).
3. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat sesuai dengan hak dan
kewajibannya sebagai subyek dan obyek pembangunan; keterlibatan dalam
tahap pembangunan ini dimulai sejak tahap perencanaan sampai dengan
pengawasan berikut segala hak dan tanggung jawabnya (Kamus Tata
Ruang,1998:79).
Sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat
merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan
hakikat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat
sebagai pemegang kedaulatan. Partisipasi masyarakat sangat erat kaitannya
dengan kekuatan atau hak masyarakat, terutama dalam pengambilan keputusan
dalam tahap identifikasi masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan
masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat
merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan
dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan
serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai
proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan
dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek
tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga,
timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat
dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat dirasakan
bahwa merekapun mempunyai hak untuk turut memberikan saran dalam
menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan
konsep man-centreddevelopment (suatu pembangunan yang dipusatkan pada
kepentingan manusia), yaitu jenis pembangunan yang lebih diarahkan demi
perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri.
2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai
suatu kejadian nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang mendukungnya, yaitu:
1. Adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang
disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi.
2. Adanya kemauan, yaitu adanya sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan
minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa
manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut.
3. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya
bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran,
tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya (Slamet, 1994).
Faktor-faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah
jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian.
Faktor internal berasal dari individu itu sendiri. Secara teoritis, tingkah laku
1. Jenis Kelamin; partisipasi yang diberikan oleh seorang pria dan wanita dalam
pembangunan adalah berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem pelapisan
sosial yang terbentuk dalam masyarakat, yang membedakan kedudukan dan
derajat antara pria dan wanita. Perbedaan kedudukan dan derajat ini, akan
menimbulkan perbedaan-perbedaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita.
Di dalam sistem pelapisan atas dasar seksualitas ini, golongan pria memiliki
sejumlah hak istimewa dibandingkan golongan wanita. Dengan demikian maka
kecenderungannya, kelompok pria akan lebih banyak ikut berpartisipasi.
2. Usia; perbedaan usia juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat.
Dalam masyarakat terdapat pembedaan kedudukan dan derajat atas dasar
senioritas, sehingga akan memunculkan golongan tua dan golongan muda,
yang berbeda-beda dalam hal-hal tertentu, misalnya menyalurkan pendapat dan
mengambil keputusan. Usia berpengaruh pada keaktifan seseorang untuk
berpartisipasi. Dalam hal ini golongan tua yang dianggap lebih berpengalaman
atau senior, akan lebih banyak memberikan pendapat dan dalam hal
menetapkan keputusan.
3. Tingkat Pendidikan; demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan. Salah
satu karakteristik partisan dalam pembangunan partisipatif adalah tingkat
pengetahuan masyarakat tentang usahausaha partisipasi yang diberikan
masyarakat dalam pembangunan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Semakin tinggi latar belakang
pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang
pembangunan dan bentuk serta tata cara partisipasi yang dapat diberikan.
Faktor pendidikan dianggap penting karena dengan melalui pendidikan yang
diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dengan orang luar, dan cepat
tanggap terhadap inovasi.
4. Tingkat Penghasilan; tingkat penghasilan juga mempengaruhi partisipasi
masyarakat. Penduduk yang lebih kaya kebanyakan membayar pengeluaran
tunai dan jarang melakukan kerja fisik sendiri. Sementara penduduk yang
berpenghasilan pas-pasan akan cenderung berpartisipasi dalam hal tenaga.
Besarnya tingkat penghasilan akan memberi peluang lebih besar bagi
kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat hanya akan
bersedia untuk mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai
akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka
5. Mata Pencaharian; mata pencaharian ini akan berkaitan dengan tingkat
penghasilan seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mata
pencaharian dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Hal ini disebabkan karena pekerjaan akan berpengaruh terhadap waktu luang
seseorang untuk terlibatdalam pembangunan, misalnya dalam hal menghadiri
pertemuan, kerja bakti dan sebagainya.
2.1.2.3 Tingkat Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah sebuah proses yang menyediakan individu
suatu kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan publik dan
merupakan komponen dalam proses keputusan yang demokratis. Partisipasi
masyarakat merupakan arti sederhana dari kekuasaan masyarakat (citizen power).
Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang memperbolehkan
masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses ekonomi dan
politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana masyarakat miskin
ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi, tujuan dan
kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan program-program,
dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak dan perlindungan-perlindungan
diberikan. Arnstein (1995) menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu
pola bertingkat (ladder patern). Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat
dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat
rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi
masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi masyarakat di atas
bisa dijelaskan sebagai berikut.
1. Manipulasi (Manipulation); pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di
tingkat yang sangat rendah. Bukan hanya tidak berdaya, akan tetapi pemegang
atau untuk merekayasa dukungan mereka. Partisipasi masyarakat dijadikan
kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan. Praktek pada tingkatan
ini biasanya adalah program-program pembaharuan desa. Masyarakat diundang
untuk terlibat dalam komite atau badan penasehat dan sub-sub komitenya. Pemegang kekuasaan memanipulasi fungsi komite dengan “pengumpulan informasi”, “hubungan masyarakat” dan “dukungan.”Dengan melibatkan masyarakat di dalam komite, pemegang kekuasaan mengklain bahwa program
sangat dibutuhkan dan didukung. Pada kenyataannya, hal ini merupakan alas
an utama kegagalan dari program-program pembaharuan pedesaan di berbagai
daerah.
2. Terapi (Therapy); untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat
penyakit. Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk
menyembuhkan “penyakit” masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit
masyarakat terjadi sejak distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi
(kaya dan miskin) tidak pernah seimbang.
3. Pemberian Informasi (Informing); tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini
merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan tokenism. Kita dapat
melihat dua karakteristik yang bercampur. Pertama, pemberian informasi
mengenai hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat adalah
langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Kedua, pemberian informasi
ini terjadi hanya merupakan informasi satu arah (tentunya dari aparat
pemerintah kepada masyarakat). Akan tetapi tidak ada umpan balik (feedback)
dari masyarakat. Alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah
adalah media massa, pamflet, poster, dan respon untuk bertanya.
4. Konsultasi (Consultation); konsultasi dan mengundang pendapat-pendapat
masyarakat merupakan langkah selanjutnya setelah pemberian informasi.
Arnstein menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi langkah yang sah
menuju tingkat partisipasi penuh. Namun, komunikasi dua arah ini sifatnya
tetap buatan (artificial) karena tidak ada jaminan perhatian-perhatian
masyarakat dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan. Metode yang
biasanya digunakan pada konsultasi masyarakat adalah survai mengenai
tetap menjadi sebuah ritual yang semu. Masyarakat pada umumnya hanya
menerima gambaran statistik, dan partisipasi merupakan suatu penekanan pada
berapa jumlah orang yang datang pada pertemuan, membawa pulang
brosur-brosur, atau menjawab sebuah kuesioner.
5. Penentraman (Placation); strategi penentraman menempatkan sangat sedikit
masyarakat pada badan-badan urusan masyarakat atau pada badan-badan
pemerintah. Pada umumnya mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan.
Dengan demikian, masyarakat dapat dengan mudah dikalahkan dalam
pemilihan atau ditipu. Dengan kata lain, mereka membiarkan masyarakat untuk
memberikan saran-saran atau rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan
tetap berhak untuk menentukan legitimasi atau fisibilitas dari saran-saran
tersebut. Ada dua tingkatan dimana masyarakat ditentramkan: (1) kualitas pada
bantuan teknis yang mereka miliki dalam membicarakan prioritas mereka; (2)
tambahan dimana masyarakat diatur untuk menekan prioritas tersebut.
6. Kemitraan (Partnership); pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat
memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan
tawar menawar pada tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka
yang tidak memiliki kekuasaan. Kedua pemeran tersebut sepakat untuk
membagi tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan melalui
badan kerjasama, komite-komite perencanaan, dan mekanisme untuk
memecahkan kebuntuan masalah. Beberapa kondisi untuk membuat kemitraan
menjadi efektif adalah: (1) adanya sebuah dasar kekuatan yang terorganisir di
dalam masyarakat di mana pemimpin pemimpinnya akuntabel; (2) pada saat
kelompok memiliki sumber daya keuangan untuk membayar pemimpinnya,
diberikan honor yang masuk akan atas usaha-usaha mereka; (3) ketika
kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa dan mempekerjakan teknisi,
pengacara, dan manajer (community organizer) mereka sendiri.
7. Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power); pada tingkat ini, masyarakat
memegang kekuasaan yang signifikan untuk menentukan program-progam
pembangunan. Untuk memecahkan perbedaan-perbedaan, pemegang
kekuasaan perlu untuk memulai proses tawar menawar dibandingkan dengan
8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control); pada tingkat tertinggi ini,
partisipasi masyarakat berada di tingkat yang maksimum. Pengawasan
masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat meminta dengan mudah
tingkat kekuasaan (atau pengawasan) yang menjamin partisipan dan penduduk
dapat menjalankan sebuah program atau suatu lembaga akan berkuasa penuh
baik dalam aspek kebijakan maupun dan dimungkinkan untuk menegosiasikan
kondisi pada saat di mana pihak luar bisa menggantikan mereka.
Tabel 2.1 Matriks Tangga Partisipasi Arnstein, 1969
Tangga/Tingkatan Partisipasi Hakikat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1.Manipulasi (Manipulation) Permainan oleh pemerintah
Tidak ada partisipasi (Non-Participant) 2.Terapi (Therapy) Sekedar agar masyarakat
tidak marah/mengobati 3.Pemberitahuan (Information) Sekedar pemberitahuan searah/sosialisasi Tokenisme/sekedar
justifikasi agar masyarakat mengiyakan (Degree of Tokenism)
4.Konsultasi (Consultation) Masyarakat didengar, tapi tidak selalu dipakai sarannya
5.Penentraman (Placation) Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan
6.Kemitraan (Partnership) Timbal-balik dinegosiasikan
Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat
(Degree of Citizen Power) 7. Pendelegasian Kekuasaan
(Delegated power)
Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian/seluruh program)
8. Kontrol Masyarakat (Citizen control)
Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat
Sumber: Suciati, 2006
2.1.3 Partisipasi dan Pemberdayaan Perempuan
Angka kemiskinan di dunia menunjukan bahwa 2/3 perempuan di dunia
termasuk kategori miskin. Perempuan masih menjadi pihak yang dirugikan oleh
kemiskinan dan dipinggirkan oleh proses pembangunan. Dalam bidang
pendidikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal masih lebih
banyak diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Di Indonesia 65 persen
ibu, merupakan angka terbesar di Asia yaitu 375 per 100.00 kelahiran.
(Masril,2011)
Untuk pembangunan keterlibatan perempuan, masih banyak di sektor
domestik dibandingkan dalam sektor publik. Perempuan, terutama di kalangan
miskin seringkali menjadi penerima informasi kedua karena tidak pernah terlibat
dalam rembug-rembug yang diselengarakan untuk memecahkan permasalahan
masyarakat. Memang dibeberapa tempat kehadiran perempuan dalam penentuan
keputusan terjadi walaupun jumlahnya relatif kecil, akan tetapi seringkali
suaranya kalah dengan suara laki-laki yang jumlahnya cukup besar, bahkan
kadang-kadang mereka hanya ikut hadir tetapi tidak bisa memberikan suaranya.
Padahal rembug-rembug yang dilakukan warga merupakan asset yang besar
sebagai modal sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses memecahkan
persoalan kehidupan mereka. Menjadi strategis melibatkan perempuan dalam
proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
monitoring dan evaluasi, karena:
1. Penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang merdeka yang berhak
untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya.
2. Ada pemecahan masalah-masalah; termasuk masalah kemiskinan yang
menyangkut perempuan akan lebih tepat apabila dibicarakan bersama dengan
perempuan karena merekalah yang betul-betul merasakan masalah dan
kebutuhannya. Keputusan yang diambil hanya oleh kaum laki-laki seringkali hanya berhubungan dengan „dunia laki-laki‟ dan tidak mempunyai sensitivitas kepada masalah perempuan. Bila memikirkan masalah perempuanpun
seringkali dasarnya tidak kuat karena mereka tidak mengalami masalahnya.
3. Memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan tanggung
jawab sosialnya sebagai manusia.
4. Potensi yang besar yang dipunyai oleh perempuan, akan sangat berarti apabila
digunakan bukan hanya sektor domestik akan tetapi juga dalam sektor publik
sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
5. Keterlibatan dalam semua proses pembagunan memberikan kesempatan untuk
Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan
setara, sehingga ada jaminan terbukannya seluruh akses baik bagi laki-laki
maupun perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat,
karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi
laki-laki dan perempuan sehinggga akan saling melengkapi sesuai dengan potensi
yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataanya
perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan.
Makin banyak pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena
mensubordinsaikan perempuan. Selama ini bukan pembangunan untuk perempuan
akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan
perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai
subjek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan.
Proses pembangunan, seperti yang didefinisikan oleh sebagaian besar
agen-agen pembanguanan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai
peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi
penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka
agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk
sampai definisi ini, proses pembangunan perempuan harus mengkombinasikan
konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan dimana
perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan.
Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki
pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat
utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan
perempuan. Menurut Sudirja (2007), terdapat lima tingkat kesetaraan perempuan
agar perempuan terlibat dalam proses pembangunan, yaitu :
1. Kesejahteraan; perempuan lebih dianggap sebagai penerima pasif
kesejahteraan. Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat
kesejahteraan yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan dengan indikator
keadaan gizi, angka kematian dan lain sebagainya. Pemberdayaan perempuasn
tidak terjadi secara murni pada tingkat kesejahteraan ini karena tindakan untuk
sumber daya harus meningkat dan ini berarti perempuan maju ke tahap
berikutnya.
2. Akses; tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya
pembatasan akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam
masyarakat, seperti tanah, kredit, lapangan kerja dan pelayanan. Mengatasi
kesenjangan gender berarti akan meningkatkan akses perempuan sehingga
setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti perempuan disadarkan akan
situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan
mendorong untuk berjuang mendapatkan haknya , termasuk memperoleh akses
yang setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah
tangga komunitas dan masyarakat.
3. Kesadaran Kritis; tingkat kesadaran ini akan meningkatkan kesadaran
perempuan bahwa masalah-masalah mereka tidak bersal dari ketidakmampuan
pribadi mereka, melainkan karena ditundukan oleh sistem sosial diskriminasi
yang sudah terinstitusi di dalam diri perempuan. Kesadaran ini akan
membangkitkan kemampuan perempuan untuk menganalisis masyarakat secara kritis dan mengenai semua hal yang dianggap perlu “normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tidak bisa diubah jika menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ni
merupakan elemen ideologis yang sangat penting dalam proses pemberdayaan,
yang menyediakan basis konseptual untuk penggalangan kekuatan menuju
keadilan dan kesetaraan perempuan.
4. Partisipasi; konsep partisipasi disini diartikan bahwa perempuan setara
terhadap laki-laki untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan.
Kesetaraan dalam tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuasn
dalam proses pengambilan keputusan.Dalam sebuah proyek pembangunan,
partisipasi dapat berarti bahwa perempuan perempuan diwakili oleh perempuan
dalam proses penilaian kebutuhan, identifikasi masalah, perencanaan proyek, manajemen, penerapan dan evaluasi. “Kesetaraan dalam partisipasi” juga berarti melibatkan perempuan dari komunitas dampingan dalam proses
pengambilan keputusan dikomunitasnya. Kesetaraan dalam partisipasi ini tidak
meningkatnya jumlah perempuan yang duduk dalam institusi-institusi yang
berhak mengambil keputusan. Meningkatnya jumlah perempuan dalam
posisi-posisi penting dalam komuitasnya merupakan hasil pemberdayaan sekaligus
menjadi sumbangan potensial bagi peningkatan upaya pemberdayaan
perempuan.
5. Kontrol; partisipasi perempuan yang meningkat pada proses pengambilan
keputusan akan berdampak pada akses dan distribusi keuntungan yang adil
bagi perempuan jika partisipasi tersebut diikuti dengan kontrol yang meningkat
pula atas faktor-faktor produksi. Kesetaraan dalam hal kontrol berarti sebuah
keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dimana tidak ada
satu pihak pun berada di bawah dominasi yang lainnya. Ini berarti perempuan
mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki untuk mempengaruhi masa
depan mereka dan masa depan masyarakat mereka. Hanya dengan memiliki
kontrol inilah perempuan dapat meningkatkan aksesnya terhadap sumberdaya
dan karenannya akan mensejahterakan diri dan anak-anaknya. Kesetaraan
dalam partisipasi dan kontrol merupakan persyaratan yang diperlukan jika kita
mau membuat kemajuan pada kesetaraan gender dalam hal kesejahteraan.
Mengacu pada konsep tersebut, maka tingkat keberhasilan program dilihat
dari sejauhmana tercapai tingkat keberdayaan perempuan yang diukur dari tingkat
akses dan kontrol perempuan dalam program tersebut. Hal ini juga merujuk dari
Soeharto (2005), tentang indikator pemberdayaan ekonomi
Tabel 2.2 Matriks Keberdayaan Ekonomi (Suharto, 2005)
Jenis Hubungan Kekuasaan Kemampuan Ekonomi Kekuasaan di dalam:
Meningkatknya kesadaran dan keinginan untuk berubah
Evaluasi positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya Keinginan ekonomi yang setara
Keinginan memiliki kesamaan hak terhadap sumber yang ada pada rumahtangga dan masyarakat
Kekuasaan untuk:
Meningkatnya kemampuan individu untuk berubah. Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses.
Akses terhadap pelayanan keuangan mikro Akses terhadap pendapatan
Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumahtangga
Akses terhadap pasar
Kekuasaan atas:
Perubahan pada hambatan- hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumahtangga, masyarakat dan makro.
Kekuasaan atau tindakan individu untuk mengahadapi hambatan-hambatan tersebut.
Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya
Kontrol atas aset produktif dan kepemilikan keluarga Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga
Tindakan individu menghadapi diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar
Kekuasaan dengan:
Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk menghadapi hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumahtangga, masyarakat dan makro
Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern
Mampu memberi gaji terhadap orang lain
Tindakan bersama menghadapi diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah), pasar dan diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro Sumber: Suharto, 2005
2.1.4 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM –MP)
Pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama
ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat.
Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun
organisasi masyarakat warga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan
kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta
kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial,
ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman. Penguatan
kelembagaan masyarakat yang dimaksud terutama juga dititikberatkan pada upaya penguatan perannya sebagai motor penggerak dalam „melembagakan' dan „membudayakan' kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan (nilai-nilai dan prinsip-prinsip di PNPM-MP), sebagai (nilai-nilai-(nilai-nilai utama yang melandasi
aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat. Melalui
kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat
yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya antara lain
diharapkan juga dapat tercipta lingkungan kota dengan perumahan yang lebih
masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Kepada kelembagaan masyarakat tersebut yang dibangun oleh dan untuk
masyarakat, selanjutnya dipercaya mengelola dana abadi PNPM-MP secara
partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan,
yang diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui rembug warga, baik dalam
bentuk pinjaman bergulir maupun dana waqaf bagi stimulan atas keswadayaan
masyarakat untuk kegiatan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, misalnya
perbaikan prasarana serta sarana dasar perumahan dan permukiman.
Model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk
penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan
struktural, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial, dan
ekonomi, serta dalam jangka panjang mampu menyediakan aset yang lebih baik
bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatannya, meningkatkan
kualitas perumahan dan permukiman meraka maupun menyuarakan aspirasinya
dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, maka
dilakukan proses pemberdayaan masyarakat, yakni dengan kegiatan
pendampingan intensif di tiap kelurahan sasaran. Melalui pendekatan
kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke masyarakat
kelurahan sasaran, PNPM-MP cukup mampu mendorong dan memperkuat
partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam
penanggulangan kemiskinan. Artinya, Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai “gerakan masyarakat”, yakni; dari, oleh dan untuk masyarakat. (Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan
2.1.4.1 Tujuan PNPM-MP
1. Memperbaiki sarana dan prasarana dasar perumahan dan pemukiman
masyarakat miskin di perkotaan.
2. Mengenalkan dan membangun upaya-upaya peningkatan pendapatan secara
mandiri dan berkelanjutan untuk masyarakat miskin di perkotaan, baik
masyarakat yang telah lama miskin, masyarakat yang pendapatannya
menjadi tidak berarti karena inflasi, maupun masyarakat yang kehilangan
sumber nafkah karena krisis ekonomi.
3. Tercipta organisasi masyarakat warga yang memiliki pola kepemimpinan
kolektif yang representatif, akseptabel, inklusif, tanggap, dan akuntabel
yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin perkotaan
dan memperkuat suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik.
4. Memperkuat agen-agen lokal (pemerintah, dunia usaha, dan kelompok
peduli) untuk membantu masyarakat miskin.
2.1.4.2 Sasaran PNPM-MP
Kelompok sasaran program PNPM Mandiri perkotaan adalah warga
masyarakat miskin perkotaan, sesuai dengan rumusan kriteria kemiskinan
setempat yang disepakati oleh warga, termasuk di dalamnya adalah masyarakat
yang telah lama miskin, masyarakat yang penghasilannya merosot dan tidak
berarti akibat inflasi serta masyarakat yang kehilangan sumber nafkah karena
krisis ekonomi.
2.2 Kerangka Pemikiran
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan
(PNPM-MP) merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam
penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan
pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok
peduli setempat, sehingga dapat terbangun "Gerakan Kemandirian
Program ini memiliki tujuan yaitu: (1) memperbaiki sarana dan prasarana
dasar perumahan dan pemukiman masyarakat miskin di perkotaan, (2)
mengenalkan dan membangun upaya-upaya peningkatan pendapatan secara
mandiri dan berkelanjutan untuk masyarakat miskin di perkotaan, (3) tercipta
organisasi masyarakat warga yang memiliki pola kepemimpinan kolektif yang
representatif, akseptabel, inklusif, tanggap, dan akuntabel yang mampu
memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin perkotaan dan memperkuat
suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan kebijakan publik dan (4) memperkuat agen-agen lokal (pemerintah, dunia
usaha, dan kelompok peduli) untuk membantu masyarakat miskin.
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam setiap kegiatan di dalam
PNPM-MP tersebut. Salah satu program (kegiatan) PNPM-MP yang sasarannya
ditujukan pada perempuan miskin adalah program dana bergulir. Partisipasi
perempuan peserta program dana bergulir dipengaruhi oleh faktor tingkat
kemauan, kemampuan, dan kesempatan peserta program. Tingkat kemauan
peserta program meliputi persepsi dan sikap peserta terhadap program dan
motivasi peserta untuk terlibat dalam program. Tingkat kemampuan peserta
program meliputi tingkat pendidikan dan pendapatan peserta. Tingkat kesempatan
peserta program meliputi tingkat keterdedahan informasi peserta dan tingkat
pendampingan yang diterima peserta dari pihak perusahaan. Serta mencakup
faktor demografi: usia dan status perkawinan.
Partisipasi perempuan diukur dari tingkat partisipasi Arnstein, yaitu:
manupulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penentraman, kemitraan,
pendelegasian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Selanjutnya digolongkan
menjadi tiga tingkat partisipasi: rendah, sedang, dan tinggi. Partisipasi perempuan dalam program ini berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan ekonomi
perempuan peserta program, mencakup: akses dan kontrol terhadap sumberdaya
dan manfaat program. Akses mencakup: Akses terhadap pelayanan keuangan
mikro, Akses terhadap pendapatan, Akses terhadap aset-aset produktif dan
kepemilikan rumahtangga, Akses terhadap pasar, Penurunan beban dalam
pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak. Serta kontrol mencakup: Kontrol
kontrol atas aset produktif dan kepemilikan keluarga, kontrol atas alokasi tenaga
kerja keluarga. (Gambar 1)
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
:mempengaruhi - - - : variabel yang diteliti
Tingkat Keberdayaan Ekonomi Perempuan
Akses : Akses terhadap pelayanan keuangan mikro, Akses terhadap pendapatan, Akses terhadap pasar, Penurunan beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak
Kontrol : Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya, Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga.
Keberhasilan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perkotaan (PNPM-MP)
Faktor-faktor Pendorong Partisipasi Tingkat Kemauan
Persepsi terhadap manfaat program Sikap terhadap program
Motivasi untuk terlibat dalam program Tingkat Kemampuan
Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Tingkat Kesempatan
Tingkat keterdedahan informasi Tingkat pendampingan yang diterima Faktor Demografi
Usia
Status Perkawinan
Tingkat Partisipasi Perempuan Manipulasi Terapi
2.3 Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara tingkat kemauan perempuan dalam program
PNPM Mandiri Perkotaan dengan tingkat partisipasi.
2. Terdapat hubungan antara tingkat kemampuan perempuan dalam
program PNPM Mandiri Perkotaan dengan tingkat partisipasi
3. Terdapat hubungan antara tingkat kesempatan perempuan dalam program
PNPM Perkotaan dengan tingkat partisipasi.
4. Terdapat hubungan antara tingkat partisipasi perempuan dalam program
PNPM dengan tingkat keberdayaan ekonominya.
2.4 Definisi Operasional
Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini
mengenai faktor pendorong partisipasi dan tingkat partisipasi untuk mengukur
sejauh mana partisipasi peserta program dan pengaruhnya terhadap tingkat
keberhasilan program terkait dengan penanggulangan kemiskinan.
A. Faktor pendorong partisipasi adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
responden sehingga untuk turut serta dalam program, diantaranya:
1. Tingkat kemauan adalah keinginan responden untuk berpartisipasi dalam
program. Tingkat kemauan diukur melalui akumulasi skor dari aspek
psikologis individu, meliputi persepsi dan sikap responden terhadap
program. Sedangkan motivasi untuk berpartisipasi digunakan untuk melihat
alasan keterlibatan komunitas dalam program.
a. Persepsi terhadap manfaat program adalah pemberian makna oleh
responden terhadap manfaat program dengan mengenali dan memahami
stimulus yang diterima responden. Responden diberikan pernyataan
dengan pilihan dibuat berjenjang mulai dari yang terrendah sampai
tertinggi, yaitu sangat tidak setuju (skor 1), tidak setuju (skor 2), setuju
(skor 3), sampai sangat setuju (skor 4). Pengukurannya akan
dikategorikan menjadi tidak bermanfaat, bermanfaat, dan sangat
b. Sikap terhadap program adalah pernyataan evaluatif yang
mengindikasikan kecenderungan responden dalam menanggapi program,
berupa penerimaan atau penolakan. Responden diberikan pernyataan
dengan pilihan dibuat berjenjang mulai dari yang terrendah sampai
tertinggi, yaitu sangat tidak setuju (skor 1), tidak setuju (skor 2), setuju
(skor 3), sampai sangat setuju (skor 4). Pengukurannya akan
dikategorikan menjadi positif, netral, dan negatif dengan mengakumulasi
jumlah skor persepsi.
c. Motivasi adalah dorongan dari dalam diri responden untuk terlibat dalam
program. Motivasi mencakup faktor-faktor yang melatarbelakangi
responden untuk berpartisipasi dalam program. Responden diberikan
pernyataan dengan pilihan dibuat berjenjang mulai dari yang terrendah
sampai tertinggi, yaitu sangat tidak setuju (skor 1), tidak setuju (skor 2),
setuju (skor 3), sampai sangat setuju (skor 4). Pengukurannya akan
dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi dengan mengakumulasi
jumlah skor motivasi.
Penilaian terhadap tingkat kemauan yaitu dengan mengakumulasi jumlah
skor persepsi, sikap, dan motivasi dan dikategorikan menjadi rendah,
sedang, dan tinggi.
Penentuan selang skor tingkat kemauan menurut rumus sebagai
berikut:
2. Tingkat kemampuan adalah daya yang dimiliki responden sehingga sanggup
berpartisipasi dalam program karena adanya pengetahuan, pendapatan, dan
lokasi tempat tinggal yang berada di Kelurahan Semplak, Kabupaten
Kemang, Kota Bogor.
a. Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang penuh
ditamatkan oleh responden. Pengukurannya akan dikategorikan menjadi
b. Tingkat pendapatan adalah besarnya penghasilan responden dalam
waktu satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah. Pengukurannya akan
dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.
Penilaian terhadap tingkat kemampuan yaitu dengan mengakumulasi
jumlah skor pendidikan dan pendapatan dan dikategorikan menjadi
rendah, sedang, dan tinggi.
3. Tingkat kesempatan adalah faktor luar yang berasal dari lingkungan yang
mempengaruhi responden sehingga mempunyai peluang untuk
berpartisipasi dalam program meliputi tingkat keterdedahan informasi dan
tingkat pendampingan yang diterima responden.
a. Tingkat keterdedahan informasi adalah besarnya informasi mengenai
program yang diterima responden. Responden diberikan pernyataan
dengan pilihan jawaban “tidak” (skor 1) dan “ya” (skor 2).
Pengukurannya akan dikategorikan menjadi rendah dan tinggi dengan
mengakumulasi jumlah skor keterdedahan informasi.
b. Tingkat pendampingan yang diterima adalah frekuensi pendampingan
pelaksana program yang diterima responden dalam pelaksanaan
program. Responden diberikan pernyataan dengan pilihan jawaban “tidak” (skor 1) dan “ya” (skor 2). Pengukurannya akan dikategorikan menjadi rendah dan tinggi dengan mengakumulasi jumlah skor
pendampingan. Penilaian terhadap tingkat kesempatan yaitu dengan
mengakumulasi jumlah skor keterdedahan informasi dan
pendampingan yang diterima dan dikategorikan menjadi rendah,
sedang, dan tinggi.
Penentuan selang skor tingkat kemauan menurut rumus sebagai
B.Tingkat partisipasi adalah tingkat keterlibatan responden dalam tahapan
program.
1. Tingkat manipulasi dinyatakan sebagai bentuk partisipasi yang tidak
menuntut responden untuk terlibat banyak dalam suatu kegiatan dan
pihak perusahaan yang aktif karena ingin kepentingannya tercapai
melalui program.
2. Tingkat terapi, sudah terjadi kegiatan dengar pendapat antara responden
dengan perusahaan, namun pendapat dari responden tidak akan
mempengaruhi kebijakan program.
3. Tingkat pemberitahuan, komunikasi sudah banyak terjadi namun hanya
satu arah dan sifatnya sosialisasi dari perusahaan kepada responden.
4. Tingkat konsultasi, responden diberikan pendampingan dan konsultasi
sehingga terjadi komunikasi dua arah dimana wakil dari responden dapat
menyampaikan pandangannya dan aspirasi akan didengar, namun belum
ada jaminan aspirasi tersebut akan dilaksanakan.
5. Tingkat penenangan, dalam komunikasi sudah ada negosiasi antara pihak
yang terlibat, dicirikan dengan pemberian insentif kepada responden
tetapi sebatas untuk meredam keinginan responden menolak program.
6. Tingkat kemitraan, dimana responden dan perusahaan bersama
stakeholder lainnya bertindak sebagai mitra sejajar sehingga dapat
mewujudkan keputusan bersama melalui negosiasi.
7. Tingkat pendelegasian, perusahaan sudah memberikan kewenangan
kepada responden untuk mengelola program mulai dari perencanaan,
implementasi, dan monitoring terhadap program tetapi tetap dipantau
oleh perusahaan.
8. Tingkat kontrol masyarakat, sudah terbentuk independensi dari
responden untuk mengelola program tanpa intervensi dari perusahaan.
9. Responden diberikan pertanyaan dengan pilihan jawaban tidak (skor 1)
dan ya (skor 2). Pengukurannya akan dikategorikan menjadi rendah
(tidak ada partisipasi), sedang (tokenisme), dan tinggi (kontrol pada
Penentuan selang skor tingkat kemauan menurut rumus sebagai berikut:
C.Tingkat keberdayaan ekonomi perempuan sebagai indikator keberhasilan
program pemberdayaan ekonomi yang mencangkup akses terhadap
keuangan mikro, Akses terhadap pendapatan, Akses terhadap aset-aset
produktif dan kepemilikan rumahtangga, Akses terhadap pasar, Penurunan
beban dalam pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak. Serta kontrol
yang mencakup: Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta
keuntungan yang dihasilkannya, Kontrol atas aset produktif dan
kepemilikan keluarga, Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga.
1. Akses yang mencangkup akses terhadap keuangan mikro adalah
responden dapat memperoleh pinjaman modal dari bank atau lembaga
keuangan sejenis.
2. Akses terhadap pendapatan adalah pendapatan yang responden peroleh
dari usaha yang dijalankan yang modalnya berasal dari program.
3. Akses terhadap pasar adalah responden dapat menjual barang yang
diusahakan
4. Penurunan beban dalam pekerjaan domestik adalah pengurangan
intensitas pekerjaan rumah responden setelah penerimaan program
5. Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang
dihasilkan adalah responden dapat menggunakan pinjaman modal dari
program untuk membuka usaha dan mengembangkannya serta mampu
mengembalikan dana pinjaman secara teratur dan tepat waktu.
6. Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga teratur dan tepat waktu adalah
responden dapat mengontrol dan membagi alokasi waktu dalam bekerja
dalam rumah tangga secara teratur dan tepat waktu.
7. Responden diberikan pertanyaan dengan pilihan jawaban tidak (skor 1)
dan ya (skor 2). Pengukurannya akan dikategorikan menjadi rendah,
sedang, dan tinggi.
III.
PENDEKATAN LAPANG
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode survai.
Pendekatan kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode survai, yaitu dengan menggunakan pertanyaan terstruktur
atau sistematis yang sama kepada banyak orang (kuesioner), untuk kemudian
seluruh jawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah dan dianalisis.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Semplak Kota Bogor yang berada di
Jalan Raya Semplak RT 01/04 Nomor 90. Penelitian dilakukan mulai bulan
Desember 2011 sampai dengan Februari Tahun 2012.
3.3 Teknik Penentuan Responden
Pengambilan sampel untuk menentukan jumlah perempuan peserta dalam
program ini dilakukan secara acak sederhana. Populasi adalah seluruh perempuan
peserta di kelurahan Semplak, dan kerangka sampling (sub populasi) adalah
perempuan peserta program PNPM-MP. Kerangka sampling adalah perempuan
peserta program PNPM Mandiri Perkotaan yang berjumlah sebanyak 362 orang di
Kelurahan Semplak. Berhubung kerangka sampling besar (jumlahnya lebih dari
100 orang) maka digunakan rumus Slovin terlebih dahulu, sehingga didapat
jumlah kerangka sampling sebesar 190 orang. Dari kerangka sampling 190 orang
tersebut kemudian dipilih secara acak sederhana sebanyak 60 orang. Hal ini
Gambar 2. Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur dan menggunakan
kuesioner yang disebarluaskan, kemudian diisi oleh responden dan panduan
wawancara untuk informan. Data yang didapat dari penelitian survai ini
mencakup karakteristik individu, faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
responden yaitu kemauan, kemampuan, dan kesempatan, tingkat partisipasi serta
tingkat keberdayaan ekonomi masyarakat perempuan peserta program.
Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in depth interview)
kepada informan dengan menggunakan panduan pertanyaan. Data deskriptif
berupa kutipan langsung kata-kata atau tulisan dari informan juga memungkinkan
untuk digunakan. Informan yang dimaksud ialah ibu Zubaidah yaitu ketua
pengurus sekretariat BKM PNPM Mandiri Perkotaan di Semplak.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
dokumen-dokumen tertulis yang berupa dokumen-dokumen resmi dari PNPM Perkotaan di Kelurahan
Semplak seperti profil PNPM Perkotaan, sejarah berdirinya PNPM Perkotaan,
Struktur Organisasi pengurus PNPM Perkotaan. Berkaitan dengan macam data
yang diperlukan tersebut, teknik pengumpulan data yang dilakukan di lapangan
adalah dengan wawancara, kuesioner, observasi langsung di lapangan, dan
dokumentasi.
Kota Bogor Total 362 Perempuan Peserta di Kelurahan
Semplak (kerangka sampling)
Penentuan perempuan peserta : Rumus Slovin
kerangka sampling : 190 orang
Secarasimple random sampling
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan Tabulasi Silang didukung
dengan Uji Korelasi Rank Spearman untuk mengukur tingkat kemauan, tingkat
kemampuan dan kesempatan dan hubungannya dengan tingkat partisipasi, serta
mengukur hubungan antara tingkat partisipasi dengan tingkat keberdayaan
ekonomi. Tabel Frekuensi digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik sosial
ekonomi masyarakat, tingkat kemauan, kemampuan, kesempatan, tingkat
partisipasi dan tingkat keberdayaan ekonomi. Pengujian ini menggunakan
program komputer SPSS 16.0 for Windows dan Microsoft Excel 2007. Data
kualitatif berupa hasil wawancara dengan responden dan informan dianalisis
IV.
PETA SOSIAL KOMUNITAS DAN PROGRAM PNPM
MANDIRI PERKOTAAN DI KELURAHAN SEMPLAK
4.1. Kondisi Geografis di Kelurahan Semplak
Kelurahan Semplak adalah suatu kelurahan di Kecamatan Bogor Barat Kota
Bogor. Semplak memiliki nama lain “Semflagh” yang berasal dari bahasa
Belanda yang memiliki sejarah bahwa batas wilayah kekuatan militer Belanda
dengan ciri batas adalah Tugu yang terletak di ATS dan di depan Kantor
Kecamatan tepatnya di Gang Mesjid Al-Amin. Batas wilayah kelurahan Semplak
adalah sebagai berikut, sebelah Utara Kelurahan Atang Sanjaya, sebelah Selatan
dengan Kelurahan Cilendek Barat, sebelah Barat dengan Kelurahan Bubulak dan
sebelah Timur dengan Kelurahan Curug Mekar. Kelurahan Semplak secara
administrasi terbagi atas 10 Rukun Warga (RW) dan 37 Rukun Tetangga (RT)
dengan luas wilayah mencapai 90,051 Ha. Dari luas wilayah tersebut merupaka
wilayah pemukiman penduduk dan fasilitas umum.
Kelurahan Semplak sesuai letak geografisnya digolongkan sebagai daratan
dengan ketingian tanah dan permukaan laut 235 Meter, keadaan suhu udara
rata-rata 29˚ C – 30˚C, dengan banyaknya curah hujan sekita 3000/4000 mm/tahun.
Tidak dijumpai lagi adanya aktifitas pertanian seperti berladang dan bercocok
tanam karena wilayahnya merepakan pemukiman yang padat penduduk.
Kelurahan Semplak berada di wilayah Barat Kota Bogor, dimana jarak
tempuh ke pusat pemerintahan Kecamatan sejauh 0,5 Km. Sedangan jarak dari
Kantor Walikota 6 Km, jarak dari Ibukota Provinsi 120 Km dan jarak dari ibukota
Negara 60 Km. Dengan kondisi tersebut Kelurahan Semplak dapat dicapai dengan
berbagai jenis alat transportasi darat, berupa kendaraan roda dua dan roda empat.
Sarana transportasi menuju ke lokasi sangat mudah. Hal ini bisa dilihat dengan
adanya sarana transportasi yang sangat banyak dan bahkan melayani 24 jam
nonstop, seperti : Angkutan umum dan ojek.
Kelurahan Semplak secara administratif terbagi dalam 10 RW dan 37 RT.
Pembagian wilayah administratif tersebut secara tidak langsung juga membagi
View) dan di daerah RW 3 (kavling) serta perkampungan. Luas wilayah kelurahan
Semplak adalah 90,051 Ha. Pemanfaatan wilayah tersebut banyak digunakan
untuk pemukiman dan perumahan. Terdapat pula bangunan-bangunan seperti
perkantoran,sekolah, pertokoan, kuburan dan tempat peribadatan.
Perubahan fungsi peruntukan lahan yang semula lahan pertanian ke
pemukiman menyebabkan masyarakatnya juga berpindah dari pekerja sawah ke
jasa lainnya. Lebih dari setengah luas wilayah di Kelurahan Semplak telah
digunakan untuk pemukiman penduduk.
4.2. Kependudukan di Kelurahan Semplak
Jumlah penduduk Kelurahan Semplak sampai bulan Januari 2012 sebanyak
10.589 jiwa terdiri dari 4.718 orang laki – laki dan 5.971 orang perempuan,
dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.775 KK dan jumlah Anggota
Keluarga Miskin 300 Jiwa yaitu sebesar 10,81 persen dari jumlah penduduk.
Sesuai dengan kondisi alokasi dana PNPM Mandiri Perkotaan sebesar Rp.
250.000.000,-
Kriteria keluarga miskin yang akan mendapatkan dana bantuan dari PNPM
adalah masyarakat yang tergolong kurang mampu. Data awal masyarakat miskin
tersebut sebagai acuan dari kader atau relawan untuk melakukan cross check ke
masyarakat dan selanjutnya hasil pemetaan swadaya yang dijadikan data final
untuk menentukan masyarakat miskin yang akan mendapatkan bantuan PNPM.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan tentang penentuan rumah
tangga miskin menyimpulkan bahwa ciri – ciri rumah tangga miskin ditentukan
oleh beberapa indikator sebagai berikut :
1. Ciri tempat tinggal, dilihat dari luas lantai per kapita, jenis lantai, air minum/
ketersediaan air bersih , dan jenis jamban.
2. Kepemilikan aset; aset produktif seperti sawah, kebun, ternak,ojek, angkutan
umum, perahu dan sebagainya, sedangkan aset tidak produktif seperti televisi,
radio, perhiasan, mebel, sepeda, kendaraan bermotor bukan usaha.
3. Aspek pangan, adanya variasi konsumsi lauk pauk, seperti daging, ikan, telur
4. Aspek sandang, pernah memiliki minimal satu stel pakaian dalam satu tahun.
5. Kegiatan sosial, pernah hadir dalam kegiatan arisan, rapat di tingkat RT,
Rapat sekolah/BP3, undangan perkawinan dalam tiga bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik (1990) juga memberikan alternatif untuk mengukur
garis kemiskinan dengan cara menentukan standar kecukupan kalori per kapita per
hari 2.100 kalori yang harus dipenuhi setiap orang dalam sehari – hari. Nilai
rupiah per kalori diperoleh dari membagi nilai pengeluaran untuk makanan
dengan banyaknya kalori yang dikonsumsi oleh masing – masing kelompok
pengeluaran. Seseorang dikatakan sangat miskin apabila pendapatannya hanya
mampu memenuhi kebutuhan 2.100 kalori. Diangap miskin apabila
pendapatannya selain mampu memenuhi kebutuhan kalorinya tetapi juga
minimum kebutuhan pokok lainnya. Kebutuhan minimum di luar makanan
mencakup kebutuhan minimum untuk kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian
dan kebutuhan minimum untuk sarana memasak dan angkutan.
Sasaran penerima bantuan PNPM adalah semua warga miskin di Kelurahan
yang bersangkutan berhak menggunakan dana BLM melalui sistem pinjaman dan
hibah. Untruk menjalin dana BLM dapat menjangkau kelompok sasaran yang
tepat, maka kriteria miskin disusun dan disepakati bersama oleh warga melalui
mekanisme pemetaan swadaya secara partisipatif.
Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Golongan Umur di Kelurahan Semplak Tahun 2011.
Dari tabel 4.1 menunjukan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan
Semplak tergolong penduduk yang termasuk kedalam golongan umur produktif
menengah ( 20 – 44 tahun) yaitu sebesar 44,14 persen. Sedangkan penduduk
paling sedikit adalah di golongan tidak produktif yaitu sebesar 9,24 persen.
Sedangkan dari struktur umur dapat diketahui kelompok umur produktif dan
kelompok umur non produktif yang selanjutnya dapat diketahui besarnya rasio
No Golongan Umur Jumlah Persentase(%)
1. 0-9 1723 16,27%
2. 10-19 1838 17,36%
3. 20-44 4674 44,14%
4. 45-54 1376 12,99%
5. >60 978 9,24%
beban tanggungan kelompok umur tidak produktif. Kelompok umur tidak
produktif adalah kelompok umur yang berumur 0-9 tahun dan diatas 65 tahun. Di
kelurahan Semplak, penduduk yang berusia 0-9 tahun sebanyak 1723 orang dan
kelompok penduduk yang berumur lebih dari 65 tahun sebanyak 978 orang,
sehingga rasio beban tanggungan di Kelurahan Semplak adalah 25,50 persen
artinya setiap 100 orang penduduk umur produktif di kelurahan Semplak
menanggung sebanyak 26 orang penduduk non produktif.
Jumlah penduduk menurut mobilitas/mutasi penduduk digambarkan seperti
tabel dibawah ini :
Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Mobilitas/Mutasi Penduduk di Kelurahan Semplak Tahun 2011.
No Perubahan Jumlah Persentase
(%) Laki-laki Perempuan
1 Lahir 37 28 17,06%
2 Meninggal Dunia 15 16 8,14%
3 Penduduk Mas