• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negative Externalities and Optimal Extraction of Iron Sand Mining at Tasikmalaya Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Negative Externalities and Optimal Extraction of Iron Sand Mining at Tasikmalaya Regency"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

EKS

STERNA

OPTIM

DI

ALITAS N

MAL PEN

I KABUP

NEGATIF

NAMBAN

ZUL

SEKOL INSTITU

PATEN T

F DAN LA

NGAN PA

L IKMAR

LAH PASC UT PERTA

BOGO 2012

TASIKMA

AJU EKS

ASIR BE

EDWARD

CASARJAN ANIAN BOG

OR 2

ALAYA

STRAKSI

SI

D

NA GOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Eksternalitas Negatif dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

EDWARD. Negative Externalities and Optimal Extraction of Iron Sand Mining at Tasikmalaya Regency. Under direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI and ZUZY ANNA

Exhaustible resources get special attention in the economics literature. Rapid demand is responsible for unsustainable extraction of iron sand mining at Tasikmalaya Regengcy. Iron sand mining effects at the stream river mining resulted in channel degradation and erosion increased turbidity, stream bank erosion and sedimentation of riffle areas. All these changes adversely affect fish and other aquatic organisms either directly by damage to organisms or through habitat degradation or indirectly through disruption of food web. This situation has implification to fisherman income because of decreasing fish production at Tasikmalaya Regency. Further, effects on disturbing road function at overloaded truck hauling which increase the travel time and fuel consumption. This study is an attempt to estimate the negative externalities and also estimate Pigouvian tax and path of optimal extraction iron sand mining along Tasikmalaya Regency. The total of negative externality in area of sand mining per 5 years Rp 3.674.811.431,9. It is suggested to impose a Pigouvian tax of Rp 9.579 on each sand tonnage truck load in order to compensate the fisherman and road user for loss incurred due to iron sand mining. This paper also tests Hotelling’s prediction that level of extraction period for a iron sand mining with and without negative externalities was included at cost function. The result are, the optimality with negative externalities period extraction 28 years and optimality without externalities 27 years.

(6)
(7)

RINGKASAN

ZUL IKMAR EDWARD. Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan ZUZY ANNA

Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Mekanisasi peralatan telah menyebabkan skala penambangan semakin menjadi besar.Hal ini menyebabkan kegiatan penambangan menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Dalam industri pertambangan, pengorbanan yang diperhitungkan seringkali belum mencakup biaya oportunitas, termasuk di dalamnya biaya kerusakan lingkungan. Jawa Barat merupakan provinsi dengan cadangan sumberdaya tambang pasir besi cukup besar di Indonesia. Potensi ini tentunya akan menarik minat banyak investor untuk melakukan eksploitasi pasir besi yang akan sangat bermanfaat untuk kepentingan perusahaan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Kegiatan eksploitasi ini ternyata juga berdampak pada kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Proses pengangkutan pasir besi menuju pelabuhan Cilacap Jawa Tengah yang melintasi jalanan umum menyebabkan rusaknya akses jalan mencapai puluhan kilometer. Kondisi ini menyebabkan terjadinya percepatan kerusakan jalan umum yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan tetapi juga oleh masyarakat umum. Pada bagian hulu dengan adanya penambangan pasir besi ini juga telah menurunkan pendapatan nelayan tangkap dengan perubahan jumlah tangkapan setiap tahunnya. Proses pencucian dan pemurnian pasir besi ini menyebabkan peningkatan kadar bahan berbahaya diperairan pantai dan sungai. Nilai kerugian ekonomi yang ditanggung oleh pihak diluar perusahaan penambangan pasir besi tersebut belum terkuantifikasi dengan baik, sehingga dibutuhkan penelitian berapa nilai kerugian (eksternalitas negatif) yang ditimbulkan aktivitas penambangan pasir besi.

(8)

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini disebabkan karena potensi cadangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya telah dieksploitasi cukup besar, namun proses penambangannya masih banyak menimbulkan masalah lingkungan (eksternalitas negatif). Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-April 2012.Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Responden yang diamati yaitu nelayan, masyarakat pengguna jalan dengan kendaraan roda 2 dan 4. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Kondisi perikanan tangkap di Kecamatan Cipatujah pada tahun 2007 2011 menunjukkan fluktuasi. Beberapa spesies yang ditangkap dengan alat tangkap tertentu mengalami penurunan produktivitas. Hasil perhitungan nilai kerugian ekonomi menggunakan pendekatan perubahan produktivitas didapatkan total kerugian sebesar Rp. 305 juta. Eksternalitas negatif yang berhubungan gangguan fungsi jalan ruas Cipatujah-Kalapagenep difokuskan terhadap kehilangan waktu tempuh dan peningkatan konsumsi BBM kendaraan bermotor. Nilai kerusakan jalan ini menimbulkan kerugian ekonomi bagi pengguna jalan sebesar Rp.3,36 milyar. Total nilai kerusakan jalan ditambah dengan penurunan produktivitas perikanan adalah Rp. 3,67 milyar.

Penggabungan nilai eksternalitas kedalam biaya produksi penambangan pasir besi menghasilkan umur laju ekstraksi selama 28 tahun. Periode ini lebih lama dibandingkan dengan umur laju ekstraksi tanpa mempertimbangkan biaya eksternalitas yaitu selama 27 tahun. Jika dibandingkan dengan laju ekstraksi aktual, menunjukkan hasil optimasi memiliki volume ekstraksi yang lebih berlanjut (sustainable), serta lebih merata sepanjang periode dengan kecenderungan volume ekstraksi menurun terhadap jumlah cadangan.

Hasil perhitungan kerugian terhadap dua aspek yaitu sarana dan prasarana jalan dan kerugian disektor perikanan dijadikan sebagai proxy nilai pajak lingkungan.Nilai besaran pajak lingkungan yang harus dibayarkan untuk setiap tonase pasir besi sebesar Rp. 9.579. Selama ini, pajak tersebut tidak dihitung sebagai biaya produksi perusahaan, sehingga menjadi bagian tanggungan yang harus diterima oleh masyarakat pengguna jalan dan nelayan.

(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

EKSTERNALITAS NEGATIF DAN LAJU EKSTRAKSI

OPTIMAL PENAMBANGAN PASIR BESI

DI KABUPATEN TASIKMALAYA

ZUL IKMAR EDWARD

Tesis

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya

Nama : Zul Ikmar Edward

NRP : H351100051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Dra. Zuzy Anna, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini adalah Eksternalitas Negatif dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi Di Kabupaten Tasikmalaya.

Terimakasih penulis ucapkan kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan.

2. Dr. Dra. Zuzy Anna M.Si, anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan serta akses dalam penelitian ini.

3. Ibu, kakak, istri dan seluruh keluarga penulis yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini atas semua doa dan bantuan lainnya.

4. Seluruh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu di Dinas Perikanan Kabupaten Tasikmalaya, UPTD Dinas Pertambangan Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat Kecamatan Cipatujah dan lainnya yang tidak sempat disebutkan disini.

5. Teman-teman ESL, ESK, EPN angkatan 2010.

6. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini disadari atau tidak disadari.

7. Teman-teman dan adik-adik di Perguruan Merpati Putih yang luar biasa dengan selalu penuh kerendahatian, kesederhanaan dan keikhlasan, tapi penuh nyali. Sungguh menginspirasi.

Terakhir, penulis juga mohon maaf jika ada pihak-pihak yang merasa terbebani dan terganggu dengan proses pembuatan dan hasil tugas akhir ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kebaikan yang benar, amin.

Bogor, September 2012

(16)
(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Kegiatan Penambangan Pasir Besi ... 9

2.2 Eksternalitas ... 13

2.3 Jenis-Jenis Eksternalitas ... 14

2.4 Solusi Eksternalitas ... 17

2.5Teori Pemanfaatan Sumberdaya Secara Optimal ... 17

2.6 Pajak Sebagai Instrumen Ekonomi Pengelolaan ... 21

2.7 Tinjauan Penelitian Sejenis Terdahulu ... 23

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

IV. METODE PENELITIAN ... 29

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 29

4.3 Metode Pengumpulan Data ... 29

4.4 Analisis Data ... 32

4.4.1 Pola Ekstraksi Aktual ... 32

4.4.2 Analisia Kerusakan Lingkungan ... 32

4.4.3 Analisa Tingkat Ekstraksi Optimal Pasir Besi Dengan dan Tanpa Adanya Eksternalits Negatif ... 34

4.4.4 Analisis Tingkat Pajak Lingkungan ... 35

4.5 Batasan dan Pengukuran ... 36

4.6 Asumsi Penelitian ... 36

V. GAMBARAN UMUM ... 39

5.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 39

5.2 Sosio Demografi Wilayah Penelitian ... 41

5.3 Gambaran Umum Kegiatan Penambangan Kecamatan Cipatujah ... 42

(18)

VI. POLA EKSTRAKSI AKTUAL DAN ANALISA EKONOMI

PENAMBANGAN PASIR BESI ... 51

6.1 Pola Ekstraksi Aktual Pasir Besi Kabupaten Tasikmalaya ... 51

6.2 Analisis Ekonomi Penambangan Pasir Besi ... 60

VII. EKSTERNALITAS, LAJU EKSTRAKSI OPTIMAL DAN PAJAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN PASIR BESI ... 65

7.1 Penurunan Produksi PerikananTangkap ... 65

7.2 Kerugian Akibat Kerusakan Jalan ... 73

7.3 Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi ... 83

7.4 Solusi Eksternalitas Dengan Nilai Pajak Lingkungan ... 88

7.5 Implementasi Pajak Lingkungan ... 93

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 95

8.1 Simpulan ... 95

8.2 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tabulasi perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu ... 26

2. Rincian Sampel Informan ... 30

3. Matriks Rencana Penelitian... 31

4. Panjang Kerusakan Kondisi Jalan Ruas Cipatujah Kalapagenep 2011 41 5. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Cipatujah ... 42

6. Jenis Kelamin, Pendidikan Responden ... 48

7. Tingkat Umur Responden ... 49

8. Jenis Pekerjaan Responden Pengguna Jalan ... 49

9. Klasifikasi Pendapatan Responden Dalam Rupiah ... 50

10.Karakteristik Responden Nelayan ... 50

11.Hasil Pengukuran Beberapa Variabel Kualitas Air ... 57

12.Volume Angkut Pasir Besi Per Ritase ... 59

13.Rincian Biaya Penambangan Pasir Besi ... 61

14.Perkembangan Harga & Penerimaan dari Penambangan Pasir Besi ... 62

15.Sumber Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tasikmalaya Menurut Lapangan Usaha ... 65

16.Jenis Alat Tangkap Nelayan Kecamatan Cipatujah ... 67

17.Jumlah Produksi Perikanan Tangkap TPI Pamayang Sari ... 69

18.Kehilangan Produktivitas Perikanan Peralat Tangkap ... 73

19.Kondisi Jalan Menurut Responden ... 74

20.Penyebab Kerusakan Jalan Menurut Responden ... 75

21.Statistik Kinerja Jalan dan Pendapatan Responden ... 76

22.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Waktu Tempuh Kendaraan Roda 2 ... 78

23.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Waktu Tempuh Kendaraan Roda 4 ... 80

24.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Konsumsi BBM Kendaraan Roda 2 ... 81

25.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Konsumsi BBM Kendaraan Roda 4 ... 82

26.Kerugian Kerusakan Jalan Akibat Penambangan Pasir Besi ... 82

(20)
(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Eksternalitas Negatif Pada Penambangan Pasir Besi ... 14

2. Eksternalitas Negatif Dengan Pajak ... 22

3. Kerangka Penelitian Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi ... 28

4. Peta Lokasi Kabupaten Tasikmalaya ... 40

5. Proses Penambangan Pasir Besi Yang Menyebabkan Eksternalitas 54 6. Ilustrasi Kondisi Gumuk Pasir Penambangan Pasir Besi Kabupaten Tasikmalaya ... 55

7. Proses Pemurnian Pasir Besi ... 58

8. Jalan Rusak di Cipatujah ... 59

9. Truk Pengangkut Pasir Besi ... 59

10.Suasana Pelelangan di TPI Pamayangsari ... 67

11.Alat Tangkap Gillnet ... 68

12.Perahu Ukuran 1 GT ... 68

13.Jumlah Produksi Perikanan Tangkap TPI Pamayangsari... 69

14.Perkembangan Produksi Alat Tangkap Jaring ... 70

15.Perkembangan Produksi Alat Tangkap Pancing ... 71

16.Perkembangan Produksi Alat Tangkap Gillnet ... 72

17.Laju Ekstraksi Optimal Pasir Besi Dengan dan Tanpa Eksternalitas .. 87

18.Kurva Eksternalitas penambangan terhadap jumlah produksi ... 88

19.Kurva Total Biaya Penambangan Besi Terhadap Jumlah Produksi ... 89

20.Kurva Total Penerimaan Terhadap Jumlah Produksi... 90

(22)
(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Perusahaan pasir besi yang beroperasi di Kecamatan Cipatujah ... 103 2. Harga ikan perjenis di TPI Pamayangsari ... 103 3. Jumlah produksi ikan dan alat tangkap yang digunakan ... 104 4. Perubahan produktivitas alat tangkap ... 104 5. Biaya produksi penambangan pasir besi ... 105 6. Total penerimaan penjualan pasir besi ... 105 7. Hasil regresi biaya variabel penambangan dengan jumlah produksi

(24)

BABI PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi

telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar

ekstraksi relatif tidak berubah, namun yang berubah adalah skala kegiatannya.

Mekanisasi peralatan penambangan telah menyebabkan skala penambangan

menjadisemakin besar. Perkembangan teknologi pertambangan menyebabkan

ekstraksi bahan tambang menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan

dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang

menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting

(Bapedal2001). Penambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan,

yaitu sebagai sumber kemakmuran, sekaligus perusak lingkungan yang sangat

potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor

ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak

lingkungan, terutama penambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah pola

iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang

disingkirkan.

Pertumbuhan industri yang cukup tinggi di Indonesia disatu sisi memberikan

kontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui penerimaan negara berupa

pajak, royalti dan pungutan lainnya. Disisi lain indikasi terjadi peningkatan

kebutuhan bahan baku mineral logam dimasa mendatang sehingga mendorong

eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah oleh

sistem otonomi daerah yang berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah

(PAD). Implikasinya kewenangan daerah dalam memberikan izin dalam

penambangan relatif lebih mudah dengan semangat peningkatan PAD, sehingga

ekstraksi sumberdaya tambang menjadi tidak terkendali. Hal ini justru

menimbulkan masalah yang sangat memprihatinkan dimana eksploitasi yang

berlebihan justru menjadi bumerang yang menyebabkan peningkatan

kesejahteraan bersifat semu, artinya secara riil dengan semakin meningkatnya

(25)

nyata, bahkan lingkungan disekitar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi rusak

dan tercemar.

Pada industri pertambangan, pengorbanan yang diperhitungkan seringkali

belum mencakup biaya oportunitas, termasuk di dalamnya biaya kerusakan

lingkungan. Beberapa dampak negatif akibat penambangan menyebabkan

kerusakan lahan perkebunan dan pertanian, dan terbukanya kawasan hutan. Dalam

jangka panjang, penambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis

yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya, serta mencemari tanah, air

maupun udara. Pencemaran lainnya dapat berupa debu, gas beracun, bunyi,

kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir yang menyebabkan berkurang

dan lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati sehingga mengganggu mata

pencaharian nelayan. Air tambang asam yang beracun jika dialirkan ke sungai

yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut,

serta menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan, selain itu

sarana dan prasarana seperti jalan juga dapat rusak berat pada saat pengangkutan

bahan tambang (Noviana 2011).

Salah satu penambangan mineral yang sangat penting adalah penambangan

bahan dasar pembuatan besi, seperti pasir besi dan biji besi. Keberadaan pasir besi

di Indonesia cukup melimpah. Cadangan pasir besi dalam bentuk biji Indonesia

sekitar 1.014 milyar ton (Ishlah2009). Cadangan ini tersebar di beberapa provinsi

diantaranya Provinsi Jawa Barat sekitar 59 juta ton (BKPM 2010). Potensi ini

masih perlu dibuktikan agar cadangan yang tersedia terukur dengan jelas.

Umumnya semua lokasi penambangan pasir besi yang ada di Indonesia dilakukan

eksploitasi secara terbuka (open pit mining) dan berada pada wilayah pesisir

pantai (Miswanto et al.2008).

Jawa Barat merupakan provinsi dengan cadangan pasir besi cukup besar di

Indonesia, dengan cadangan terbukti sebesar hingga 59 juta ton yang tersebar di

beberapa kabupaten. Potensi ini tentunya akan menarik minat banyak investor

untuk melakukan eksploitasi pasir besi yang akan sangat bermanfaat untuk

meningkatkan pendapatan asli daerah. Disisi lain, eksploitasi pasir besi jika tidak

terkelola dengan baik dapat menjadi bumerang terhadap kerusakan lingkungan

(26)

       

oleh masyarakat adalah meningkatnya kerusakan jalan akibat pengangkutan hasil

tambang melalui jalan umum.

Kerusakan jalan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh hampir

seluruh negara di dunia. Kerusakan jalan ini disebabkan oleh banyak faktor, salah

satunya disebabkan oleh beban muatan kendaraan yang melintas overcapacity.

Kemampuan jalan sebesar (muatan sumbu terberat) MST 8 ton dan MST 10 ton,

dilalui oleh kendaraan dengan MST hingga 20 ton. Pada tahun 2010 Kerusakan

jalan di Indosesia terbesar berada pada jalan kabupaten/kota. Jumlah total panjang

jalan 288.185 km,sekitar 31,14% jalan rusak ringan, kondisi baik hanya 22,46%

nya dan sisanya rusak cukup berat. Jalan provinsi dengan panjang total 48.681 km

kondisinya baik hanya sekitar 5,85%, sedangkan dari 39.310 km jalan nasional

sebanyak 13,34% dalam kondisi rusak ringan, dan 49,67% dalam kondisi baik

serta sisanya rusak berat.1 Ini termasuk jalan strategis seperti jalur Lintas Timur

Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Diperkirakan ongkos sosial dan ekonomi yang

ditanggung masyarakat pengguna jalan sekitar 200 triliun rupiah per tahun,

sangat besar apabila dibandingkan dengan investasi pemerintah yang 3-6 triliun

rupiah pertahun (Widjonarko 2007).

Kawasan pesisir merupakan daerah pengembangan perekonomian yang

dapat mengalami degradasi serta penurunan produktivitas. Degradasi dapat

disebabkan oleh adanya abrasi pantai, pencemaran dan perusakan hutan pantai.

Abrasi ini selain dipicu oleh naiknya muka air laut juga disebabkan penambangan

pasir didaerah pesisir. Indonesia dengan 17.508 pulau mempunyai panjang garis

pantai 95.000 km dan 20% garis pantai di Indonesia mengalami kerusakan akibat

abrasi yang mengalami peningkatan setiap tahun (pu.go.id 2010). Diantara banyak

kegiatan yang mengakibatkan penurunan kualitas pesisir adalah penambangan

bahan galian C (pasir pantai), penebangan liar hutan pantai, tekanan gelombang

pada saat pasang yang mengakibatkan abrasi pantai (Sumartin 2011).

Beberapa pantai mengalami pencemaran yang cukup parah akibat berbagai

kegiatan yang dilakukan dipesisirnya. Kasus yang terjadi di daerah Balikpapan,

dimana pada tahun 2004 tercemar oleh limbah minyak. Contoh lain adalah kasus

 

1

Seperti yang dinyatakan dalam judul “Sebagian Besar Jalan di Indonesia Kondisi Rusak”, 

(27)

       

yang terjadi di sekitar Teluk Jakarta. Berbagai jenis limbah dan ribuan ton sampah

yang mengalir melalui 13 kali di Jakarta berdampak pada kerusakan pantai Taman

Nasional Kepulauan Seribu. Pada tahun 2006, kerusakan terumbu karang dan

ekosistem Taman Nasional itu diperkirakan mencapai 75 km. Kerusakan itu salah

satunya berdampak terhadap hasil perikanan tangkap (Sumartin 2011). Hal serupa

juga dapat terjadi pada penambangan pasir besi didaerah pantai, proses

penambangan dan pencucian pasir besi akan mencemari perairan dan menurunkan

kualitas air bagi kehidupan hewan air serta rusaknya terumbu karang.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan umum yang terjadi di pantai Selatan Jawa Barat adalah

terjadinya, abrasi, akresi, intrusi air laut, kerusakan mangrove dan terumbu

karang, serta alih fungsi lahan untuk kegiatan penambangan pasir besi.

Penambangan ini juga didorong oleh cadangan pasir besi yang cukup tinggi di

Jawa barat, dan posisi geografis lebih dekat dengan jalur pemasaran pelabuhan

Cilacap. Tercatat 25 perusahaan penambangan pasir besi, baik berskala menengah

maupun kecil yang memiliki izin. Keberadaan perusahaan tersebut menyebabkan

terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya pasir besi di Kabupaten

Tasikmalaya. Besarnya eksploitasi saat ini tentunya akan mengurangi ketersediaan

pasir besi pada masa mendatang.

Eksploitasi yang berlebihan juga menyebabkan kerusakan dan pencemaran

lingkungan. Proses pengangkutan pasir besi menuju pelabuhan Cilacap Jawa

Tengah yang melintasi jalanan umum menyebabkan rusaknya akses jalan hingga

puluhan kilometer. Berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten

Tasikmalaya, panjang jalan kabupaten yang kondisinya rusak sepanjang 421,8

kilometer atau 32,3 persen dari total panjang jalan kabupaten sepanjang 1.303,3

kilometer yang beberapa ruas diantaranya dijadikan ruas jalan pengangkutan pasir

besi.2 Kondisi ini menyebabkan terjadinya percepatan kerusakan jalan umum

yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan tetapi juga oleh

masyarakat umum. Kerugian bisa berupa semakin lamanya waktu tempuh dan

 

2

Seperti yang dinyatakan dalam judul “32 Persen Jalan Tasikmalaya Rusak”, 

www.KOMPAS.com, Januari 2012  

(28)

peningkatan konsumsi bahan bakar minyak kendaraan. Pengangkutan menuju

Cilacap yang melewati jalur Tasik Selatan yaitu ruas Cipatujah - Cikalong -

Cimerak - Cilacap menempuh jarak sekitar 150 Km. Jarak tersebut harus

ditempuh 6 - 7 jam, padahal kondisi jalan pantura dengan jarak yang sama dapat

ditempuh dengan waktu 3 jam. Pada dasarnya pengangkutan melalui jalan umum

sangat sulit dihindari, namun kondisi berupa kerusakan jalan seperti berlubang,

retak akibat kegiatan pengangkutan seharusnya dapat dibebankan kepada

perusahaan penambangan pasir besi. Beban pemeliharaan jalan tidak harus

diserahkan pada pemerintah yang tidak selalu memiliki dana yang cukup untuk

melakukan pemeliharaan jalan.

Pada bagian hulu dengan adanya penambangan pasir besijuga telah

menurunkan pendapatan nelayan tangkap karena perubahan jumlah tangkapan

setiap tahunnya yang cenderung menurun. Proses pencucian dilakukan hanya

beberapa meter dari bibir pantai dan sempadan. Proses ini dilanjutkandengan

segregasi biji dari pasir melalui proses fisika dengan menggunakan magnetic

separator. Proses segregasi untuk pemurnian pasir besi ini menyebabkan

peningkatan kadar sulfur didaerah pantai dan sungai, ini terjadi karena air

buangan dalam proses pemisahan langsung dibuang tanpa perlakuan apapun.

Kadar sulfur tersebut membuat air laut dipantai menjadi asam sehingga dapat

merusak terumbu karang. Penggunaan pelumas dan bahan bakar untuk peralatan

mesin dan bengkel ditepi pantai juga menyebabkan pencemaran perairan disekitar

pesisir pantai Kabupaten Tasikmalaya. Pencemaran oleh limbah pencucian pasir

besi ini telah menuai protes berupa demonstrasi oleh masyarakat nelayan di

Kabupaten Tasikmalaya.

Aspek fisik lingkungan yang diabaikan membuat perusahaan pemegang izin

eksploitasi dapat menekan biaya produksi menjadi sangat rendah sehingga

mendorong eksploitasi berlebihan, ditambah lagi dengan relatif mudahnya izin

penambangan dari tangan bupati di era otonomi daerah ini. Merujuk pada

Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan dimana setiap kegiatan usaha harus melakukan pelestarian

lingkungan, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat wajib melakukan

(29)

       

Kabupaten Tasikmalaya sebagai pemangku kepentingan mengeluarkan

moratorium untuk memberikan waktu penelaahan mendalam mengenai

penambangan pasir besi3. Berapa nilai kerugian ekonomi yang disebabkan oleh

kerusakan jalan (eksternalitas) dan turunnya produksi perikanan oleh kegiatan

penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya belum dikuantifikasi dengan

baik. Oleh sebab itu diperlukan perhitungan nilai eksternalitas negatif

menggunakan instrumen ekonomi lingkungan yang tepat dan nantinya dapat

diterapkan dalam bentuk kebijakan fiskal berupa penetapan jumlah pajak

terhadap setiap output pasir besi. Hal ini bertujuan agar rente dari penambangan

dapat menginternalkan eksternalitas negatif dalam bentuk pajak lingkungan.

Diharapkan dengan telah dihitungnya eksternalitas negatif tersebut dapat

ditentukan estimasi semua biaya yang harus dikeluarkan untuk kompensasi

gangguan fungsi jalan dan menurunnya pendapatan nelayan, agar masyarakat

yang terkena dampak negatif akibat penambangan pasir besi tidak merasa

dirugikan. Penghitungan nilai eksternalitas ini akan memperkecil nilai rente

penambangan pasir besi karena meningkatnya biaya produksi yang harus

ditanggung oleh perusahaan akibat internalisasi ekstenalitas negatif dalam bentuk

pajak.

Sebagaimana setiap produk mineral pada umumnya, pasir besi mempunyai

karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan mineral lain, yaitu ketersediaannya

terbatas dan akan habis (exhaustible resource) serta tidak dapat diperbaharui lagi

(non-renewable resource). Kabupaten Tasikmalaya dengan potensi pasir besi

cukup besar dapat kehilangan potensi penerimaan manfaat optimal untuk

kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan penduduk juga akan menurun akibat

kerusakan lingkungan. Memperhatikan kondisi ini maka dibutuhkan penilaian

yang tepat terhadap besaran nilai tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh

penambangan pasir besi, sehingga dapat ditentukan tingkat pajak yang harus

diberlakukan terhadap perusahaan penambangan pasir besi. Pada tahap

selanjutnya ditambahkan dengan biaya pengambilan yang merupakan opportunity

 

3

Seperti yang dinyatakan dalam judul “Gubernur Keluarkan Surat Edaran Moratorium Pasir  Besi”,www.antarajawabarat.com, Januari 2011 

(30)

costdari pengambilan pasir besi saat ini,agar dapat diperkirakan alokasi

penambangan pasir besi yang paling optimal.

Dari uraian diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaiman pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi?

2. Berapa nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat penambangan

pasir besi ?

3. Berapa tingkat ekstraksi optimal dengan dan tanpa mempertimbangkan

eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi?

4. Berapa nilai pajak akibat eksternalitas negatif yang muncul dari usaha

penambangan pasir besi?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas dapat dirinci tujuan penelitian sebagai

berikut :

1. Mengkaji pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi.

2. Mengestimasi nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat

penambangan pasir besi akibat pengangkutan pasir besi.

3. Menentukan laju ekstraksi optimal dengan dan tanpa eksternalitas negatif, yang

paling menguntungkan dari usaha penambangan pasir besi.

4. Mengestimasi nilai pajak yang harus dibayarkan pada setiap output pasir besi

dengan mempertimbangkan eksternalitas negatifnya.

Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai

pengelolaan dan pemanfaatan bidang penambangan terutama pasir besi sehingga dapat

memaksimalkan pendapatan asli daerah dan meminimalkan kerugian. Untuk

penambang akan sangat bermanfaat dalam rangka mencegah tuntutan pidana karena

pengelolaan penambangan yang merugikan lingkungan hidup, sedangkan bagi

masyarakat Tasikmalaya implementasi penelitian ini akan meningkatkan

kesejahteraan dalam pemanfaatan pasir besi.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang penelitian adalah menganalisis eksploitasi penambangan pasir besi

di wilayah pesisir Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini dilakukan untuk

(31)

dampak-dampak yang merugikan. Dalam penelitian ini diharapkan pembangunan

ekonomi berbasis lingkungan dapat berjalan dengan baik, sehingga pemanfaatan

sumberdaya tidak pulih dapat memberikan hasil optimal. Analisis sumberdaya

pasir besi dilakukan dengan valuasi ekonomi eksternalitas negatif untuk

mengetahui hubungan interaksi antara perikanan, gangguan fungsi jalan dan

penambangan. Dalam penelitian ini dampak eksternalitas negatif difokuskan pada

tiga bagian dampak yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi

masyarakat, pertama dampak kerusakan jalan pada proses pengangkutan yang

melalui jalan umum terhadap kehilangan waktu kerja, kedua dampak peningkatan

konsumsi bahan bakar bagi pengguna kendaraan bermotor, ketiga terpengaruhnya

produksi perikanan disekitar pantai dekat penambangan pasir besi, ketiga dampak

ini dipilih karena merupakan dampak yang paling dominan pada penambangan

pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya dengan menganggap faktor lain bersifat

tetap.

Dasar hukum pajak lingkungan adalah undang – undang nomor 32 tahun

2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pajak disini

dimaksudkan beban tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan penambangan

untuk setiap satu-satuan output yang dihasilkan. Pada penentuan laju ekstraksi

optimal, modelHotelling digunakan untuk mengetahui tingkat ekstraksi optimal

(Q*), tingkat keuntungan maksimal ( *) dan pada tahun berapa cadangan akan

habis (T*) yang kemudian dibandingkan dengan lama izin konsesi rata- rata

penambangan pasir besi pada pasar bersaing secara sempurna. Dalam model

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegiatan Penambangan Pasir Besi 2.1.1 Sumberdaya Pasir Besi

Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini. Karakter dari

endapan besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali

ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya. Kadang besi terdapat

sebagai kandungan logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai

ekonomis tinggi. Endapan besi yang ekonomis umumnya berupa Magnetite,

Hematite, Limonite dan Siderite. Kadang kala dapat berupa mineral: Pyrite,

Pyrhotite, Marcasite, dan Chamosite. Pasir besi sebagai salah satu bahan baku

utama dalam industri baja dan industri alat berat lainnya di Indonesia,

keberadaannya akhir-akhir ini memiliki peranan yang sangat penting. Permintaan

dari berbagai pihak meningkat cukup tajam. Berdasarkan kejadiannya endapan

besi dapat dikelompokan menjadi tiga jenis. Pertama endapan besi primer, terjadi

karena proses hidrotermal, kedua endapan besi laterit terbentuk akibat proses

pelapukan, dan ketiga endapan pasir besi terbentuk karena proses rombakan dan

sedimentasi secara kimia dan fisika. Beberapa jenis mineral-mineral biji besi,

magnetit adalah mineral dengan kandungan Fe paling tinggi, tetapi terdapat dalam

jumlah kecil, sementara hematit merupakan mineral biji utama yang dibutuhkan

dalam industri besi(Bambang 2007).

2.1.2 Proses Penambangan Pasir Besi

Pasir besi merupakan mineral yang mengendap di sekitar pantai, rawa dan

muara sungai, endapannya terdapat pada permukaan sampai ke kedalaman 15

meter. Proses pengambilan pasir besi dilakukan dengan cara membongkar dan

mengangkut endapan ke alat pemisah yang bersifat magnet untuk memisahkan

pasir besi dari komponen ikutan non logam seperti pasir, tanah dan batuan. Proses

pemisahan ini biasa disebut pekerja tambang sebagai processing magnet

separator. Magnet separator berkerja memurnikan pasir besi berdasarkan sifat

logam yang dimiliki. Bahan galian yang di masukan ke dalam processing akan

terpisah menjadi 4 bagian, batu coral, air bersama pasir dan tanah ke 3 bagian ini

(33)

       

magnet akan diambil dan selanjutnya dengan eskalator lalu ditimbun ke

penyimpanan atau gudang. Dari gudang pasir besi (stockpile) akan diangkut ke

loading area di pelabuhan untuk selanjut dibawa ke tempat pembeli.

2.1.3 DampakNegatif Penambangan Pasir Besi

Dalam pandangan fisik aktivitas ekstraksi mineral logam ini terlihat

sederhana, tapi tidak demikian dengan daya rusak sesungguhannya. Kerusakan

lingkungan yang diakibatkan ekstraksi pasir besi dapat dikelompokan menjadi 2

golongan, pertama kehancuran fisik, kerusakan pada fisik lingkungan yang dapat

langsung terlihat terbagi menjadi beberapa bentuk kehancuran berdasarkan

tahapan aktivitas ekstraksi4:

a. Pengerukan Bahan Galian

Endapan pasir besi ini terdapat pada sekitar tepian pulau di sekitar muara

sungai, rawa dan sempadan pantai, proses pengerukan akan membuat kawasan

lindung sempadan pantai yang biasanya dalam bentuk hutan mangrove dan

cemara akan terbabat habis. Masyarakat yang melihat kondisi pantai ketika

tambang beroperasi atau pasca tambang tanpa melihat kondisi pulau sebelum

tambang beroperasi, tidak akan dapat melihat perubahan ekstrem yang terjadi

pada kawasan ini. Berbeda dengan pandangan mata kepala masyarakat di sekitar

tambang yang dapat membandingkan perubahan pantai sebelum dan sesudah

tambang beroperasi. Masyarakat yang melihat dengan dua kondisi berbeda ini

akan menyadari bahwa sebenarnya proses pengerukan kawasan terluar pulau ini

telah menyebabkan pengurangan yang luar biasa terhadap luas pulau tempat

tambang pasir besi beroperasi. Pengerukan pasir besi selain memangkas bagian

terluas pulau, secara fisik juga merubah bentang alam kawasan rawa dan hutan

mangrove serta habitat dan tempat pemijahan ikan, kepiting dan udang.

b. Pemisahan Pasir Besi

Pemisahaan pasir besi yang menggunakan sistem magnetik yang boros air,

untuk memisahkan 50.000 m3 pasir besi dibutuhkan air sebanyak 20.000 m3.

Untuk memenuhi kebutuhan air ini, perusahaan akan membendung muara sungai

 

4 

Seperti yang dinyatakan dalam judul “ Pencemaran Lingkungan Akibat Aktifitas Pertambangan Dan UUD Tentang Pencemaran”. 2011. www.rahmatbkhant.blogspot.com 

(34)

dan mengalihkan aliran sungai menuju lokasi proccesing melalui pipa besar atau

menggunakan pompa. Proses pembendungan sungai ini akan menyebabkan luapan

air menggenangi kawasan pertanian, pemukiman dan sentra aktivitas warga

lainnya.

Dampak lainnya akibat pembendungan ini adalah kerusakan ekosistem yang

tidak kasat mata tetapi akan terasa oleh nelayan sekitar. Pemusnahan masal

terhadap kekayaan biodiversity yang siklus sidupnya tergolong katadromus, yaitu

jenis ikan dan arthopoda yang siklus regenerasinya membutuhkan 2 ekosistem.

Ekosistem air tawar dan ekosistem air laut, seperti ikan sidat yang akan mati

setelah bertelur di gugusan terumbu karang dalam laut, dan setelah menetas

anakannya akan melanjutkan siklus hidup induknya untuk tumbuh dan hidup di

ekosistem sungai. Pembendungan sungai akan membuat jenis katadromus ini

tidak bisa kembali ke sungai untuk memijah.

Pada proses pemurnian pasir besi, bahan yang terambil adalah dalam bentuk

butiran pasir besi dan titanium, juga silicon dan magnesium. Jumlah limbah

sebagai buangan sisa-sisa pemurnian yang dibuang tergantung dari berapa kadar

pasir besi di wilayah endapan yang diambil. Misalnya wilayah Pesisir Barat

Bengkulu, dari setiap 50.000 meter persegi pasir besi, akan membuang limbah

padat dalam bentuk lumpur pasir dan koral sebanyak 126.000 m3.

Deposit pasir besi dan mineral lain yang digali merupakan sedimentasi dari

proses geomorfologi jutaan tahun yang lalu, pembongkaran endapan ini akan

mengakibatkan stabilitas ikatan komponen kimia yang mengendap terlepas.

Proses pengambilan pasir besi oleh magnet separator tidak sepenuhnya dapat

mengambil semua pasir besi dan mineral logam lain. Senyawa kimia yang

dibongkar dan terikut dalam prosesing dan bukan berunsur logam, akan terlepas

bebas ke air dan lingkungan tempat pembuangan limbah. Ikan yang hidup

disungai dan pantai sekitar pembuangan limbah ini biasanya akan mati serentak

dalam jumlah yang besar, kalaupun ada yang tersisa ikannya ditemukan dalam

kondisi kudisan yang memiliki benjolan disekitar badannya. Kementerian

lingkungan hidup RI sudah mencoba mengeleminir resiko dari proses ini dengan

mengeluarkan permen LH no 21 tahun 2010 tentang ambang batas mutu air

(35)

keselamatan ekosistem sekitar kegiatan penambangan, karena tidak menjangkau

identifikasi berbagai jenis komponen kimia yang dilepas,selain itu peraturan ini

lebih bersifat pengaturan prosedural fisik.

c. Pengangkutan Pasir Besi

Dalam pengangkutan hasil produksi menuju konsumen, pengangkutan pasir

besi biasanya pemanfaatan infrastruktur umum seperti jalan. Pengangkutan

dilakukan menggunakan truk – truk pasir berbobot tinggi dan cenderung melebihi

kapasitas angkut dan daya dukung jalan. Hal ini menyebabkan kerusakan jalan

tidak dapat dihindarkan, akibatnya berdampak pada terganggunya fungsi jalan

sebagai barang publik dalam melayani masyarakat pengguna jalan.

Jaringan jalan raya merupakan prasarana transportasi darat yang memegang

peranan sangatpenting dalam sektor perhubungan, terutama untuk kesinambungan

distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat diperlukan untuk

menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya kebutuhan

sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Selain

pertumbuhan ekonomi, transportasi jalan juga sering menimbulkan permasalahan

dibidang pemeliharaannya. Kenaikan volume kendaraan (trailer, truk, bus, and

kendaraan lainnya) yang melebihi kapasitas daya angkutnya juga merupakan salah

satu faktor yang menyebabkan jalan relatif cepat rusak sebelum mencapai umur

pelayanan jalan yang telah direncanakan. Peningkatan arus lalu lintas kendaraan

khususnya kendaraan berat, yang pada umumnya mengangkut bahan mentah

seperti kayu dan sawit (yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan industri)

sangat berpengaruh besar terjadinya kerusakan jalan. Terlepas dari mutu

komponen perkerasan dan pelaksanaan pekerjaan yang mungkin kurang baik,

faktor lain yang sangat berpengaruh dan menentukan umur perkerasan jalan

adalah perbedaan antara beban rencana as kendaraan dengan beban aktual yang

melewati jalan tersebut (Mudjiatko 2006).

UNESCAP (2005) menyoroti pentingnya infrastruktur jalan dalam

perekonomian wilayah, jalan sebagai salah satu komponen infrastruktur

berpengaruh secara signifikan terhadap iklim investasi. Jalan merupakan

penghubung antara kegiatan produksi dan distribusi, sehingga ketersediaan

(36)

2.2 Eksternalitas

Masalah lingkungan banyak disebabkan oleh kegagalan pasar dan tidak

adanya hak kepemilikan. Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan

apa yang disebut eksternalitas. Eksternalitas diartikan sebagai setiap pengaruh

samping dari produksi atau konsumsi yang dirasakan oleh pihak ketiga di luar

pasar. Menurut teori ekonomi mikro harga merupakan mekanisme sinyal penting

dalam proses pasar. Harga keseimbangan menunjukkan nilai marjinal yang

diberikan oleh konsumen dari pemakaian barang dan biaya marjinal yang harus

ditanggung oleh perusahaan dalam memproduksikan barang dimaksud. Dalam

keadaan biasa, teori ini dapat memprediksi realitas pasar dengan baik. Namun

terdapat banyak keadaan di mana harga gagal merefleksikan semua manfaat dan

biaya yang terkait dengan transaksi pasar. Kegagalan pasar ini muncul ketika

pihak ketiga dipengaruhi oleh produksi atau konsumsi satu barang. Apabila

pengaruh kepada pihak ketiga ini mengakibatkan timbulnya biaya, maka pengaruh

ini disebut eksternalitas negatif, sedangkan pengaruh kepada pihak ketiga yang

bermanfaat disebut eksternalitas positif (Mangkoesoebroto 1993).

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu

eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat

ataubiaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut.

Eksternalitas ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya

social berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya

pembangunan ekonomi (Randal 1987). Masalah utamanya adalah siapa yang

harus menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus ditanggung oleh

pihak yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau pemerintah. Para

ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian harus dikenai

kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan membayar pajak sebesar

kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar dipindahkan keluar daerah

yang mengalami pencemaran (Suparmoko 1997).

Secara grafis terjadinya eksternalitas dapat dilihat pada Gambar1, dimana

produksi optimum akan didapatkan pada saat polusi telah diperhitungkan sebagai

(37)

Putri et al. (2010) membagi eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak

yang dimunculkannya serta interaksi agen ekonomi. Eksternalitas berdasarkan

interaksi agen ekonomi misalnya adalah sebagai berikut:

jumlah produksi berdasarkan harga pasar. Dengan kondisi ini tidak ada pihak

yang dirugikan dalam sebuah aktivitas penambangan.

2.3 Jenis – Jenis Eksternalitas

Eksternalitas lingkungan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya

terhadap individu dan wilayah. Pencemaran lingkungan atau kerusakan

lingkungan dapat dikelompokkan sebagai eksternalitas daerah/lokal seperti terjadi

kerusakan air danau, kerusakan tanah, dan polusi udara. Polusi di daerah menjadi

kesulitan bagi penduduk daerah tersebut jika memiliki dua karakteristik,

yaitunon-rivalry and non-exclusion. Adapun polusi dari sungai besar dan

kerusakan ekosistem gunung mungkin akan mempengaruhi sejumlah wilayah.

Emisi gas rumah kaca merupakan masalah penduduk dunia tanpa memperhatikan

dari mana polusi berasal, emisi menyeluruh berdampak kepada semua orang di

dunia dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelompokkan eksternalitas penting

berkenaan dengan masalah otoritas mana yang akan membawahi masalah polusi

dan atau kerusakan tersebut (Sankar 2008).

Gambar 1 Eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi Sumber :Disesuaikan dengan Kahn (1998)

a. Dampak Produsen Terhadap Produsen Lain

Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap

produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau

penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Contoh dampak atau efek yang

(38)

sardine menghasilkan limbah produk yang dimasukkan ke dalam aliran sungai,

sehingga produsen ikan yang menggunakan air dari aliran sungai tersebut akan

dirugikan karena produksinya akan menurun.

b. Dampak Produsen Terhadap Konsumen

Suatu produsen dikatakan mempunyai dampak terhadap konsumen, jika

aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen).

Contoh kategori dampak ini adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi

polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena

pertambangan, serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan

konsumen atau masyarakat luas. Misalnya adalah dampak penciuman (bau) dari

produsen pembuat ikan asin terhadap masyarakat sekitar, atau polusi udara dari

produsen pengasapan ikan kepada masyarakat sekitar.

c. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain

Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas

seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas

konsumen yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen

yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat

pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap

rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.

d. Dampak Konsumen Terhadap Produsen

Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen

mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu.

Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumah tangga terbuang ke aliran

sungai dan mencemarinya sehingga menganggu perusahaan tertentu yang

memanfaatkan air seperti nelayan atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.

Soemarno (2008) membagi eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak

yang dimunculkannya adalah sebagai berikut:

a. Eksternalitas Pecuniary

Eksternalitas pecuniary atau eksternalitas istimewa terjadi karena perubahan

harga dari beberapa input maupun output. Dengan kata lain, eksternalitas ini

terjadi manakala aktivitas ekonomi seseorang mempengaruhi kondisi finansial

(39)

sesuatu barang, seseorang biasanya akan mempertimbangkan kebutuhannya

sendiri akan barang tersebut, harganya, dan situasi anggarannya. Jarang sekali,

dan umumnya hanya dalam kasus monopsoni saja, individu mempertimbangkan

bahwa keputusannya untuk membeli barang/jasa dapat berkontribusi terhadap

peningkatan kebutuhan produk tersebut dan oleh karena itu menyebabkan

harganya meningkat. Biasanya, pengabaian ini dibenarkan, karena pembelian

individual atas suatu komoditi merupakan fraksi yang demikian kecilnya dari total

jumlah barang yang dijual, sehingga keputusan individu mempunyai dampak yang

dapat diabaikan terhadap harga. Bagaimanapun keputusan individual

mempengaruhi harga, bukan hanya seseorang, tetapi juga semua pembeli lainnya,

akan mengakibatkan penurunan atau kenaikan harga. Perubahan harga, yang

disebabkan oleh keputusan-keputusan individu, disebut sebagai eksternalitas

istimewa. Kalau keputusan individu menyebabkan harga naik (kasus yang

lazimnya berhubungan dengan peningkatan kebutuhan) maka fenomenanya

merupakan suatu eksternal disekonomi yang pecuniary bagi konsumen lainnya.

Apabila keputusan individu menyebabkan harga turun (seperti yang dilukiskan

dengan keputusan untuk menggabungkan kelompok perjalanan travel yang masih

belum mencapai kapasitas penuh) fenomenanya disebut eksternal ekonomi yang

pecuniary bagi konsumen lainnyaefisien.

Secara simetri, eksternalitas dis-ekonomi yang pecuniar bagi konsumen

merupakan eksternalitas yang pecuniar bagi produsen dan eksternalitas ekonomis

yang pecuniar bagi konsumen akan merupakan eksternalitas dis-ekonomi bagi

produsen. Hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa eksternalitas pecuniar,

apakah ekonomis atau disekonomis, tidak menimbulkan problem bagi ekonomi

pasar. Berubahnya kebutuhan menyebabkan harga naik atau turun fluktuasi ini

menyediakan pertanda esensial bagi tempat-pasar untuk merotasikan barang dan

jasa secara efisien (Soemarno 2008).

b. Eksternalitas banyak arah (Multidirectional externality)

Ekstenalitas banyak arah adalah eksternalitas yang disebabkan oleh suatu/

(40)

2.4 Solusi Eksternalitas

Fauzi (2010) mengemukakan model dasar untuk membangun prinsip

kebijakan ekonomi dalam memecahkan masalah eksternalitas. Ia mengemukakan

contoh hubungan ekonomi antara perusahaan penambang emas dengan usaha

perikanan. Meski tidak ada hubungan keputusan ekonomi dari dua unit usaha

tersebut, namun keduanya menjadi terkait karena adanya sungai sebagai barang

publik. Penambang emas tersebut membuang limbahnya berupa zat merkuri ke

dalam sungai yang menjadi sumber mata pencaharian. Pada dasarnya Fauzi (2010)

menyatakan untuk meredam eksternalitas negatif, tidak terkecuali dalam

kegiatan penambangan terdapat tiga alternatif kebijakan yang dapat digunakan :

internalisasi, perpajakan dan memfungsikan pasar.

Nicholson (1999) menjelaskan dua pemecahan tradisional terhadap

eksternalitas. Yaitu perpajakan dan internalisasi biaya. Dalam menggunakan

perpajakan sebagai penyelesaian eksternalitas, Nicholson (1999) berpendapat

bahwa pemerintah dapat mengenakan pajak cukai yang sesuai terhadap

perusahaan yang menghasilkan disekonomi eksternal. Pajak ini dapat dianggap

keluaran atau produk yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan menjadi berkurang.

Pemecahan klasik terhadap masalah eksternalitas ini pertama kali diajukan oleh

A.C. Pigou pada dasawarsa 1920-an. Walaupun telah sedikit dimodifikasi, solusi

ini tetap merupakan jawaban standar untuk masalah eksternalitas yang dibuat oleh

ahli ekonomi. Masalah utama bagi regulator adalah mendapatkan informasi

empiris yang memadai sehingga pajak yang tepat dapat dikenakan secara

langsung kepada perusahaan yang menyebabkan polusi. Pemecahan tradisional

kedua adalah internalisasi, merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak

yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam

satu unit usaha.

2.5 Teori Pemanfaatan Sumberdaya Secara Optimal

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar pengambilan sumberdaya

alam yang tidak dapat diperbaharui menjadi lebih optimal. Syarat pertama yang

harus dipenuhi adalah terdapatnya pasar persaingan sempurna dengan tercapai

(41)

marginalnya. Pada kasus sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui,

efisiensi optimum akan dicapai apabila harga barang sumberdaya sama dengan

biaya marginal ditambah biaya alternatif. Biaya alternatif adalah kelebihan nilai

yang bersedia dibayarkan oleh konsumen dengan nilai lebih besar daripada biaya

marginal untuk menghasilkan barang sumberdaya tersebut. Biaya alternatif ini

juga disebut manfaat sosial bersih, rent, atau royalty. Syarat kedua dari

pengambilan sumberdaya secara optimal menyangkut tingkah laku dari biaya

alternatif atau royalty itu sepanjang waktu. Biaya alternatif harus selalu meningkat

sebesar tingkat bunga yang berlaku dari waktu kewaktu, atau dengan kata lain bila

royalty itu dinyatakan dengan nilai sekarang (present value), maka ia tidak akan

berubah sepanjang waktu. Syarat terakhir adalah ekstraksi sumberdaya alam tidak

dapat diperbaharui sangat tergantung pada kendala stok yang terbatas. Sebagai

dasar dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak terbaharui yang optimal adalah

model Hotelling yang dikembangkan oleh Harold Hotelling pada 1931 (Fauzi

2010).

Tujuan perusahaan dalam pemanfaatan sumber daya minerba adalah

memaksimumkan keuntungan.Tujuan ini dicapai dengan memilih tingkat

ekstraksi optimal selama masa izin. Jika ada komponen biaya yang dapat dihindari

atau dapat dibebankan kepada pihak lain, maka tanpa regulasi yang efektif

komponen biaya tersebut tidak akan ditanggung oleh perusahaan. Hal seperti ini

dapat menghasilkan kondisi dimana pemanfaatan sumber daya minerba

menguntungkan secara nansial tetapi merugikan secara ekonomi. Untuk

sederhananya, jika present value dari penjualan hasil tambang adalah S dan

present value dari biaya eksplorasi, eksploitasi, dan reklamasi adalah C, maka

present value dari pemanfaatan sumber daya minerba adalah

W = S –C

Jika W > 0, maka pemanfaatan sumber daya minerba secara nansial layak atau

menguntungkan bagi pelakunya.Tetapi apakah hal ini juga menguntungkan secara

sosial masih perlu dikaji lebih jauh karena biaya yang diperhitungkan masih

belum tentu mencakup seluruh biaya yang ditimbulkan oleh pemanfaatan sumber

daya minerba tersebut. Seperti umum terjadi, pemanfaatan sumber daya minerba

(42)

Pemerintah sebagai wakil rakyat mempunyai kewajiban untuk memperhitungkan

biaya lingkungan dari setiap keputusannya (Soemarno 2008).

2.5.1 Teori Optimasi Sumberdaya Tidak Terbarukan

Pada tahun 1970-an adalah suatu periode intensif, dimana kekhawatiran

publik terhadap kelangkaan sumberdaya alam. Dipicu dari laporan klub roma

mengenai “limits to growth” oleh Deniss Meadows. Ia memprediksi konsekuensi

katastropik pada awal abad 21 kecuali jika pertumbuhan ekonomi ditunda,

ditambah lagi kondisi menjelang tahun 1973 dengan adanya embargo minyak

yang akhirnya menyebabkan krisis. Pada saat itu para ekonom bersiap untuk

menerapkan kerangka kerja yang dimulai oleh Hotelling tahun 1931(Gaudet

2007).

Cadangan sumberdaya alam adalah sama dengan cadangan kapital fisik

yang merupakan aset bagi pemiliknya. Dalam ekonomi pasar, nilai dari aset ini,

seperti beberapa aset modal sangat bergantung kepada tingkat pengembalian hasil

yang dapat diperoleh pemiliknya. Secara khas, tingkat pengembalian dari aset

kapital dapat diuraikan pada tiga komponen :

1. Komponen pertama disebabkan oleh aliran dari produk yang dihasilkan oleh

marginal unit dari aset. Ini disebut tingkat dari marginal produktivitas atau

tingkat dividen.

2. Komponen kedua disebabkan oleh fakta bahwa karakteristik aset fisik dapat

berubah sepanjang waktu.

3. Komponen ketiga adalah tingkat dimana nilai pasar aset dapat berubah

sepanjang waktu. Nilai ini mungkin saja negatif, sepanjang nilai ini lebih dari

komponen positif lainnya terhadap tingkat pengembalian.

Agar pasar aset berada dalam keadaan equilibrium, tingkat pengembalian

harus sama dengan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh pemilik

sumberdaya jika aset tersebut diinvestasikan ditempat lain. Pada contoh aset fisik

seperti bangunan, mesin dan peralatan, komponen pertama yang digunakan adalah

produk marginal yang diturunkan dari penggunaan setiap masukan dalam proses

produksi. Komponen kedua berasal dari depresiasi fisik aset, yang akan

mengurangi tingkat pengembalian. Komponen ketiga, adalah pendapatan modal

(43)

Seandainya sekarang aset adalah sumberdaya tidak terbarukan, seperti

deposit mineral atau cadangan minyak dalam tanah. Beberapa aset tidak dapat

diproduksi kembali, dimana jumlah cadangan sekarang tidak dapat meningkat

sepanjang waktu. Keputusan menahan aset tersebut tidak akan mendapatkan hasil

selama aset tersebut berada dalam tanah, yang berarti tidak produktif, berbeda

dengan mesin atau peralatan, yang dapat menghasilkan aliran jasa.

Oleh sebab itu komponen pertama identik dengan nilai nol. Seperti

komponen kedua, dimana tidak ada padanan yang tepat pada kasus cadangan

sumberdaya, dalam artian kekacauan tidak akan terjadi dari menahan aset didalam

tanah. Ini sebabnyalebih baik menahan marginal unit dari aset yang ditempatkan

dalam tanah daripada mengekstraksi untuk menjaga kualitas merata dari cadangan

yang tersisa dari keadaan memburuk. Komponen kedua ini mencatat tingkat

pengembalian yang lebih positif, daripada negatif. Jika p (t) adalah harga sekarang

dimana sumberdaya dapat berada dalam pasar segera setelah diekstraksi dan c(t)

adalah biaya marginal ekstraksi sumberdaya pada tahun t, maka nilai marginal

dalam tanah seharusnya:

π (t) = p (t) − c(t),

yang mewakili harga aset dari sumberdaya. Jika tingkat bunga adalah r, dan aset

keseimbangan pasar mensyaratkan:

Ini adalah rumus Hotelling yang terkenal, yang menyatakan bahwa harga

bersih dari sumberdaya alam-harga aset sumberdaya alam-harus naik sama dengan

tingkat bunga. Jika biaya marginal dari ekstraksi sumberdaya bebas dari tingkat

ekstraksi dan tidak berubah sepanjang waktu, dan hal ini menghasilkan prediksi

sebagai perilaku dari nilai pasar sepanjang wakt , yaitu: u

Jika fungsi diatas benar-benar dapat mewakili kenyataan, kita dapat mengamati

harga sumberdaya tidak terbarukan akan meningkat sesuai tingkat bunga sebagai

bagian dari biaya dalam harga yang semakin kecil dan semakin kecil sepanjang

(44)

2.6 Pajak Sebagai Instrumen Ekonomi Pengelolaan

Pajak merupakan salah satu instrumen ekonomi pengelolaan lingkungan,

namun bukan instrumen untuk melegalisasi pencemaran atau perusakan

lingkungan. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen yang berbasis

pasar diantara berbagai instrumen yang tersedia. Di Indonesia, pajak lingkungan

telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup. Sayangnya implementasi belum banyak dilakukan sehingga

pengelolaan lingkungan di Indonesia lebih mengutamakan pendekatan

command-and-control (Suedomo 2009). Ketika pajak digunakan sebagai alat internalisasi

eksternalitas akan membuat pemerintah kehilangan ketegasan dihadapan

masyarakat. Ini disebabkan kehidupan yang tenang tanpa ada gangguan dari

adanya eksternalitas negatif adalah hak setiap orang, sementara bagi pasar hal ini

adalah peluang untuk melakukan lobi dan transaksi. Analisis cost-benefit menjadi

penting dalam hal ini, menimbang mana yang lebih penting antara tujuan dari tiap

aspek yang dibahas dengan opportunity cost yang harus dikeluarkan. Misalkan

antara kesehatan/lingkungan dengan sisi perkembangan ekonomi dan

kesejahteraan materi masyarakat. Mekanisme Pajak Pigovian bisa menjadi

alternatif karena memang dianggap mampu menekan laju peningkatan biaya sosial

dimasa depan sementara mekanisme pengendalian langsung bisa diterapkan jika

memang sumber penerimaan negeri sudah tangguh dan mandiri (Eirik dan Ronnie

1999).

Pajak pada bads akan memberi insentif kepada pembangkit dampak negatif

untuk mencari dan menggunakan teknologi yang dapat mengurangi dampak

negatif pada lingkungan. Kelemahan utama Pajak Pigou pada barang adalah

bahwa pajak ini hanya dapat dikenakan ketika proses produksi tambang masih

berjalan, padahal dampak lingkungan dapat berlangsung meskipun tambang telah

berhenti. Oleh karena itu, pajak Pigou hanya menangkap kerugian lingkungan

yang terjadi selama proses penambangan berlangsung (Suedomo 2009).

Para ahli menyarankan untuk menerapkan pajak terhadap pencemaran dan

kerusakan, agar tercapai kualitas lingkungan yang diharapkan. Nilai pajak harus

sesuai dengan tingkat optimal sosial degradasi (dan tidak mengeliminasi polusi

(45)

Pencemar akan berfikir untuk mengurangi kewajiban pajak mereka,

sehingga biaya kerusakan lingkungan dibebankan kepada masyarakat. Ilustrasi

dapat dilihat pada Gambar 2 dan diasumsikan biaya pencemaran telah ditentukan.

Analisis ini membutuhkan informasi substansial mengenai prosedur pengurangan

(abatement) dan teknologi yang dipakai. Marginal damage cost (S) adalah

representasi dari beban yang ditanggung oleh masyarakat. Marginal control cost

(MC’) adalah atribut yang dilakukan pencemar untuk mengurangi pencemaran.

Pada jumlah produksi yang optimumdengan mempertimbangkan pajak tingkat

produksi akan berkurang menuju keseimbangan jumlah produksi baru yang lebih

kecil, karena biaya produksi mengalami peningkatan dengan penetapan pajak

sejumlah tertentu.

tepat untuk mengatasi masalah lingkungan, karena akan mengubah prilaku

pencemar secara tidak langsung untuk menaati peraturan pengelolaan limbahnya.

Akibatnya jumlah output perusahaan tidak lagi pada tingkat yang mengeluarkan

eksternalitas terlalu tinggi, dibandingkan output yang ada dipasar (market

equilibrium). Solusi berbasis insentif diusulkan oleh Pigou, yang menyarankan

pemberlakuan pajak pada entitas yang membuat eksternalitas (Kahn 1998).

Pengendalian produksi dengan sistem pajak merupakan perilaku respon terhadap

adanya eksternalitas. Pengendalian produksi dilakukan dengan memperhitungkan

biaya lingkungan dan menerapkan kepastian hak. Pengaturan produksi seharusnya

dirumuskan, ditetapkan dan diimplementasikan secara bersama-sama oleh para

pihak. Situasi ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya komitmen untuk

tidak melakukan eksploitasi berlebihan (Suhaeri 2005).

(46)

Kebijakan pemerintah menetapkan tax, sebagai unit yang dibebankan

terhadap polusi yang dibuat pencemar, menyebabkan pencemar akan mengurangi

emisi dengan mengurangi jumlah produksi mereka dari x1 ke x2. Dana yang

dipungut dari pajak tersebut, dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki

kondisi lingkungan. Pajak pencemaran ini berdasarkan atas prinsip pembayaran

oleh pencemar (Kahn 1998).

2.7 Tinjauan Penelitian Sejenis Terdahulu

Penelitian mengenai eksternalitas dan laju ekstraksi optimal pada

sumberdaya pertambangan pasir besi masih jarang ditemukan.Beberapa penelitian

mengenai eksternalitas memang pernah dilakukan oleh peneliti–peneliti

sebelumnya. Syaefuddin (2010) menghitung dampak pengangkutan batu bara

melalui jalur sungai di Sungai Barito Kalimantan Selatan. Pengangkutan batubara

melalui sungai menggunakan perahu tongkang melalui jalur Sungai Barito di

wilayah Kabupaten Batola, ditengarai merusak ekosistem perairan, menimbulkan

masalah sosial ekonomi dan pencemaran lingkungan serta memperparah abrasi di

perairan sungai tersebut. Penelitian ini menggunakan metode valuasi ekonomi

Damage Cost Analysis. Dalam penelitian ini dampak yang ditimbulkan oleh

adanya tansportasi tongkang batubara yaitu penurunan jumlah tangkapan nelayan

jaring insang hanyut yang berakibat pada penurunan pendapatan nelayan. Jumlah

keramba dan KJA dari tahun 2007 sampai 2008 mengalami penurunan yang

drastis. Jumlah Produksi keramba turun sebesar 86 % dan produksi KJA turun

sebesar 73%. Kecelakaan berdampak pada besarnya kerugian material, seperti

kerusakan dermaga dan perahu.

Kerugian immaterial agak sulit dihitung, karena terkait dengan emosi dan

perasaan manusia. Kerugian immaterial terutama terkait dengan kehilangan jiwa.

Dalam penelitian ini kehilangan jiwa, dampak berupa perasaan kehilangan,

tertekan,sedih dan sebagainya tidak dinilai karena masih sulit diterapkan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Barito Kuala tahun

2009, diperoleh jumlah keluar masuk tongkang batubara menunjukkan bahwa

total batubara yang diangkut/keluar selama tahun 2009, baik melalui Rute

Banjarmasin-Kelanis maupun Banjarmasin-Teweh sebesar 36.344.000 ton.

(47)

pengangkutan batubara adalah Rp. 5.516.800.000. Nilai total tersebut terdiri dari

kerugian pada sektor perikanan Rp. 5.335.800.000 dan kerugian karena

kecelakaan Rp. 181.000.000. Nilai ini dikaitkan dengan jumlah batubara yang

diangkut, yang jumlahnya mencapai 36.344.000 ton per tahun maka dapat

ditetapkan nilai kompensasi sebesar Rp. 152 (seratus lima puluh dua rupiah) per

ton batubara.

Noviana (2011) meneliti tentang dampak penambangan pasir besi di

Kabupaten Kaur Sumatera Selatan. Tujuannya mengidentifikasi semua dampak

penambangan pasir besi. Diantaranya menyebabkan menurunnya kualitas udara,

disebabkan mobilisasi alat berat pada tahap pra konstruksi yang meningkatkan

kadar debu dan kebisingan di areal tambang dan pemukiman masyarakat di jalan

Way Hawang Sukamenanti. Kondisi wilayah penambangan yang merupakan

perairan Sungai Air Numan (Danau Kembar) dengan luasan awal 16,02 hektar dan

daratan seluas 163,34 hektar. Kegiatan penggalian akan memperluas bentuk dan

struktur danau hingga meluas kira – kira menjadi sebesar 28 hektar. Hal ini sangat

membahayakan warga, karena debit air juga akan mengalami perubahan struktur,

sehingga ancaman terhadap kekeringan dan banjir meningkat. Aktifitas

penambangan juga akan mempengaruhi struktur pantai Way Hawang. Ancaman

akan meningkat khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar serta

tinggi, yang akan membuat bentuk pantai berubah. Kegiatan penambangan juga

dipastikan akan menurunkan kualitas air tanah (sumur) dan kualitas air permukaan

Danau Kembar serta Air Way Hawang.

Pengolahan pasir besi membutuhkan banyak air untuk diolah di Magnetic

Separator. Dalam proses pengolahan, selain menghasilkan pasir besi juga

menghasilkan limbah. Demikian juga dengan kegiatan perawatan alat berat

tambang pasir besi dipastikan menghasilkan sisa-sisa pelumas dan oli bekas. Sisa

oli bekas ini yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari danau kembar dan

sumur warga, serta air laut di lingkungan tambang. Pada tahap pengangkutan hasil

pemurnian pasir besi, rute jalur angkut perusahaan meliputi jalan Raya Desa

Sukamenanti, Desa Way Hawang hingga Pelabuhan Linau. Jalan ini merupakan

jalan negara dengan spesifikasi III A atau dapat dilalui kendaraan dengan muatan

Gambar

Tabel 1Tabulasi Perbedaan Penelitian Ini Dengan Penelitian Terdahulu
Gambar 3 Kerangka Penelitian Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal
Tabel 3 Matriks Penelitian
Gambar 5 Proses penambangan pasir besi yang menyebabkan eksternalitas
+7

Referensi

Dokumen terkait