EKS
STERNA
OPTIM
DI
ALITAS N
MAL PEN
I KABUP
NEGATIF
NAMBAN
ZUL
SEKOL INSTITU
PATEN T
F DAN LA
NGAN PA
L IKMAR
LAH PASC UT PERTA
BOGO 2012
TASIKMA
AJU EKS
ASIR BE
EDWARD
CASARJAN ANIAN BOG
OR 2
ALAYA
STRAKSI
SI
D
NA GOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Eksternalitas Negatif dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
ABSTRACT
EDWARD. Negative Externalities and Optimal Extraction of Iron Sand Mining at Tasikmalaya Regency. Under direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI and ZUZY ANNA
Exhaustible resources get special attention in the economics literature. Rapid demand is responsible for unsustainable extraction of iron sand mining at Tasikmalaya Regengcy. Iron sand mining effects at the stream river mining resulted in channel degradation and erosion increased turbidity, stream bank erosion and sedimentation of riffle areas. All these changes adversely affect fish and other aquatic organisms either directly by damage to organisms or through habitat degradation or indirectly through disruption of food web. This situation has implification to fisherman income because of decreasing fish production at Tasikmalaya Regency. Further, effects on disturbing road function at overloaded truck hauling which increase the travel time and fuel consumption. This study is an attempt to estimate the negative externalities and also estimate Pigouvian tax and path of optimal extraction iron sand mining along Tasikmalaya Regency. The total of negative externality in area of sand mining per 5 years Rp 3.674.811.431,9. It is suggested to impose a Pigouvian tax of Rp 9.579 on each sand tonnage truck load in order to compensate the fisherman and road user for loss incurred due to iron sand mining. This paper also tests Hotelling’s prediction that level of extraction period for a iron sand mining with and without negative externalities was included at cost function. The result are, the optimality with negative externalities period extraction 28 years and optimality without externalities 27 years.
RINGKASAN
ZUL IKMAR EDWARD. Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan ZUZY ANNA
Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Mekanisasi peralatan telah menyebabkan skala penambangan semakin menjadi besar.Hal ini menyebabkan kegiatan penambangan menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Dalam industri pertambangan, pengorbanan yang diperhitungkan seringkali belum mencakup biaya oportunitas, termasuk di dalamnya biaya kerusakan lingkungan. Jawa Barat merupakan provinsi dengan cadangan sumberdaya tambang pasir besi cukup besar di Indonesia. Potensi ini tentunya akan menarik minat banyak investor untuk melakukan eksploitasi pasir besi yang akan sangat bermanfaat untuk kepentingan perusahaan dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Kegiatan eksploitasi ini ternyata juga berdampak pada kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Proses pengangkutan pasir besi menuju pelabuhan Cilacap Jawa Tengah yang melintasi jalanan umum menyebabkan rusaknya akses jalan mencapai puluhan kilometer. Kondisi ini menyebabkan terjadinya percepatan kerusakan jalan umum yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan tetapi juga oleh masyarakat umum. Pada bagian hulu dengan adanya penambangan pasir besi ini juga telah menurunkan pendapatan nelayan tangkap dengan perubahan jumlah tangkapan setiap tahunnya. Proses pencucian dan pemurnian pasir besi ini menyebabkan peningkatan kadar bahan berbahaya diperairan pantai dan sungai. Nilai kerugian ekonomi yang ditanggung oleh pihak diluar perusahaan penambangan pasir besi tersebut belum terkuantifikasi dengan baik, sehingga dibutuhkan penelitian berapa nilai kerugian (eksternalitas negatif) yang ditimbulkan aktivitas penambangan pasir besi.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini disebabkan karena potensi cadangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya telah dieksploitasi cukup besar, namun proses penambangannya masih banyak menimbulkan masalah lingkungan (eksternalitas negatif). Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-April 2012.Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Responden yang diamati yaitu nelayan, masyarakat pengguna jalan dengan kendaraan roda 2 dan 4. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Kondisi perikanan tangkap di Kecamatan Cipatujah pada tahun 2007 2011 menunjukkan fluktuasi. Beberapa spesies yang ditangkap dengan alat tangkap tertentu mengalami penurunan produktivitas. Hasil perhitungan nilai kerugian ekonomi menggunakan pendekatan perubahan produktivitas didapatkan total kerugian sebesar Rp. 305 juta. Eksternalitas negatif yang berhubungan gangguan fungsi jalan ruas Cipatujah-Kalapagenep difokuskan terhadap kehilangan waktu tempuh dan peningkatan konsumsi BBM kendaraan bermotor. Nilai kerusakan jalan ini menimbulkan kerugian ekonomi bagi pengguna jalan sebesar Rp.3,36 milyar. Total nilai kerusakan jalan ditambah dengan penurunan produktivitas perikanan adalah Rp. 3,67 milyar.
Penggabungan nilai eksternalitas kedalam biaya produksi penambangan pasir besi menghasilkan umur laju ekstraksi selama 28 tahun. Periode ini lebih lama dibandingkan dengan umur laju ekstraksi tanpa mempertimbangkan biaya eksternalitas yaitu selama 27 tahun. Jika dibandingkan dengan laju ekstraksi aktual, menunjukkan hasil optimasi memiliki volume ekstraksi yang lebih berlanjut (sustainable), serta lebih merata sepanjang periode dengan kecenderungan volume ekstraksi menurun terhadap jumlah cadangan.
Hasil perhitungan kerugian terhadap dua aspek yaitu sarana dan prasarana jalan dan kerugian disektor perikanan dijadikan sebagai proxy nilai pajak lingkungan.Nilai besaran pajak lingkungan yang harus dibayarkan untuk setiap tonase pasir besi sebesar Rp. 9.579. Selama ini, pajak tersebut tidak dihitung sebagai biaya produksi perusahaan, sehingga menjadi bagian tanggungan yang harus diterima oleh masyarakat pengguna jalan dan nelayan.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
EKSTERNALITAS NEGATIF DAN LAJU EKSTRAKSI
OPTIMAL PENAMBANGAN PASIR BESI
DI KABUPATEN TASIKMALAYA
ZUL IKMAR EDWARD
Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya
Nama : Zul Ikmar Edward
NRP : H351100051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Dra. Zuzy Anna, M.Si Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini adalah Eksternalitas Negatif dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi Di Kabupaten Tasikmalaya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan.
2. Dr. Dra. Zuzy Anna M.Si, anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan serta akses dalam penelitian ini.
3. Ibu, kakak, istri dan seluruh keluarga penulis yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini atas semua doa dan bantuan lainnya.
4. Seluruh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu di Dinas Perikanan Kabupaten Tasikmalaya, UPTD Dinas Pertambangan Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat Kecamatan Cipatujah dan lainnya yang tidak sempat disebutkan disini.
5. Teman-teman ESL, ESK, EPN angkatan 2010.
6. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini disadari atau tidak disadari.
7. Teman-teman dan adik-adik di Perguruan Merpati Putih yang luar biasa dengan selalu penuh kerendahatian, kesederhanaan dan keikhlasan, tapi penuh nyali. Sungguh menginspirasi.
Terakhir, penulis juga mohon maaf jika ada pihak-pihak yang merasa terbebani dan terganggu dengan proses pembuatan dan hasil tugas akhir ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kebaikan yang benar, amin.
Bogor, September 2012
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Kegiatan Penambangan Pasir Besi ... 9
2.2 Eksternalitas ... 13
2.3 Jenis-Jenis Eksternalitas ... 14
2.4 Solusi Eksternalitas ... 17
2.5Teori Pemanfaatan Sumberdaya Secara Optimal ... 17
2.6 Pajak Sebagai Instrumen Ekonomi Pengelolaan ... 21
2.7 Tinjauan Penelitian Sejenis Terdahulu ... 23
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27
IV. METODE PENELITIAN ... 29
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 29
4.3 Metode Pengumpulan Data ... 29
4.4 Analisis Data ... 32
4.4.1 Pola Ekstraksi Aktual ... 32
4.4.2 Analisia Kerusakan Lingkungan ... 32
4.4.3 Analisa Tingkat Ekstraksi Optimal Pasir Besi Dengan dan Tanpa Adanya Eksternalits Negatif ... 34
4.4.4 Analisis Tingkat Pajak Lingkungan ... 35
4.5 Batasan dan Pengukuran ... 36
4.6 Asumsi Penelitian ... 36
V. GAMBARAN UMUM ... 39
5.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 39
5.2 Sosio Demografi Wilayah Penelitian ... 41
5.3 Gambaran Umum Kegiatan Penambangan Kecamatan Cipatujah ... 42
VI. POLA EKSTRAKSI AKTUAL DAN ANALISA EKONOMI
PENAMBANGAN PASIR BESI ... 51
6.1 Pola Ekstraksi Aktual Pasir Besi Kabupaten Tasikmalaya ... 51
6.2 Analisis Ekonomi Penambangan Pasir Besi ... 60
VII. EKSTERNALITAS, LAJU EKSTRAKSI OPTIMAL DAN PAJAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN PASIR BESI ... 65
7.1 Penurunan Produksi PerikananTangkap ... 65
7.2 Kerugian Akibat Kerusakan Jalan ... 73
7.3 Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi ... 83
7.4 Solusi Eksternalitas Dengan Nilai Pajak Lingkungan ... 88
7.5 Implementasi Pajak Lingkungan ... 93
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 95
8.1 Simpulan ... 95
8.2 Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabulasi perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu ... 26
2. Rincian Sampel Informan ... 30
3. Matriks Rencana Penelitian... 31
4. Panjang Kerusakan Kondisi Jalan Ruas Cipatujah Kalapagenep 2011 41 5. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Cipatujah ... 42
6. Jenis Kelamin, Pendidikan Responden ... 48
7. Tingkat Umur Responden ... 49
8. Jenis Pekerjaan Responden Pengguna Jalan ... 49
9. Klasifikasi Pendapatan Responden Dalam Rupiah ... 50
10.Karakteristik Responden Nelayan ... 50
11.Hasil Pengukuran Beberapa Variabel Kualitas Air ... 57
12.Volume Angkut Pasir Besi Per Ritase ... 59
13.Rincian Biaya Penambangan Pasir Besi ... 61
14.Perkembangan Harga & Penerimaan dari Penambangan Pasir Besi ... 62
15.Sumber Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tasikmalaya Menurut Lapangan Usaha ... 65
16.Jenis Alat Tangkap Nelayan Kecamatan Cipatujah ... 67
17.Jumlah Produksi Perikanan Tangkap TPI Pamayang Sari ... 69
18.Kehilangan Produktivitas Perikanan Peralat Tangkap ... 73
19.Kondisi Jalan Menurut Responden ... 74
20.Penyebab Kerusakan Jalan Menurut Responden ... 75
21.Statistik Kinerja Jalan dan Pendapatan Responden ... 76
22.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Waktu Tempuh Kendaraan Roda 2 ... 78
23.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Waktu Tempuh Kendaraan Roda 4 ... 80
24.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Konsumsi BBM Kendaraan Roda 2 ... 81
25.Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Konsumsi BBM Kendaraan Roda 4 ... 82
26.Kerugian Kerusakan Jalan Akibat Penambangan Pasir Besi ... 82
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Eksternalitas Negatif Pada Penambangan Pasir Besi ... 14
2. Eksternalitas Negatif Dengan Pajak ... 22
3. Kerangka Penelitian Eksternalitas Negatif Dan Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi ... 28
4. Peta Lokasi Kabupaten Tasikmalaya ... 40
5. Proses Penambangan Pasir Besi Yang Menyebabkan Eksternalitas 54 6. Ilustrasi Kondisi Gumuk Pasir Penambangan Pasir Besi Kabupaten Tasikmalaya ... 55
7. Proses Pemurnian Pasir Besi ... 58
8. Jalan Rusak di Cipatujah ... 59
9. Truk Pengangkut Pasir Besi ... 59
10.Suasana Pelelangan di TPI Pamayangsari ... 67
11.Alat Tangkap Gillnet ... 68
12.Perahu Ukuran 1 GT ... 68
13.Jumlah Produksi Perikanan Tangkap TPI Pamayangsari... 69
14.Perkembangan Produksi Alat Tangkap Jaring ... 70
15.Perkembangan Produksi Alat Tangkap Pancing ... 71
16.Perkembangan Produksi Alat Tangkap Gillnet ... 72
17.Laju Ekstraksi Optimal Pasir Besi Dengan dan Tanpa Eksternalitas .. 87
18.Kurva Eksternalitas penambangan terhadap jumlah produksi ... 88
19.Kurva Total Biaya Penambangan Besi Terhadap Jumlah Produksi ... 89
20.Kurva Total Penerimaan Terhadap Jumlah Produksi... 90
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Perusahaan pasir besi yang beroperasi di Kecamatan Cipatujah ... 103 2. Harga ikan perjenis di TPI Pamayangsari ... 103 3. Jumlah produksi ikan dan alat tangkap yang digunakan ... 104 4. Perubahan produktivitas alat tangkap ... 104 5. Biaya produksi penambangan pasir besi ... 105 6. Total penerimaan penjualan pasir besi ... 105 7. Hasil regresi biaya variabel penambangan dengan jumlah produksi
BABI PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan penambangan untuk mengambil bahan galian dari lapisan bumi
telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar
ekstraksi relatif tidak berubah, namun yang berubah adalah skala kegiatannya.
Mekanisasi peralatan penambangan telah menyebabkan skala penambangan
menjadisemakin besar. Perkembangan teknologi pertambangan menyebabkan
ekstraksi bahan tambang menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan
dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang
menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting
(Bapedal2001). Penambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan,
yaitu sebagai sumber kemakmuran, sekaligus perusak lingkungan yang sangat
potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor
ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak
lingkungan, terutama penambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah pola
iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang
disingkirkan.
Pertumbuhan industri yang cukup tinggi di Indonesia disatu sisi memberikan
kontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui penerimaan negara berupa
pajak, royalti dan pungutan lainnya. Disisi lain indikasi terjadi peningkatan
kebutuhan bahan baku mineral logam dimasa mendatang sehingga mendorong
eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah oleh
sistem otonomi daerah yang berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD). Implikasinya kewenangan daerah dalam memberikan izin dalam
penambangan relatif lebih mudah dengan semangat peningkatan PAD, sehingga
ekstraksi sumberdaya tambang menjadi tidak terkendali. Hal ini justru
menimbulkan masalah yang sangat memprihatinkan dimana eksploitasi yang
berlebihan justru menjadi bumerang yang menyebabkan peningkatan
kesejahteraan bersifat semu, artinya secara riil dengan semakin meningkatnya
nyata, bahkan lingkungan disekitar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi rusak
dan tercemar.
Pada industri pertambangan, pengorbanan yang diperhitungkan seringkali
belum mencakup biaya oportunitas, termasuk di dalamnya biaya kerusakan
lingkungan. Beberapa dampak negatif akibat penambangan menyebabkan
kerusakan lahan perkebunan dan pertanian, dan terbukanya kawasan hutan. Dalam
jangka panjang, penambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis
yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya, serta mencemari tanah, air
maupun udara. Pencemaran lainnya dapat berupa debu, gas beracun, bunyi,
kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir yang menyebabkan berkurang
dan lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati sehingga mengganggu mata
pencaharian nelayan. Air tambang asam yang beracun jika dialirkan ke sungai
yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut,
serta menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan, selain itu
sarana dan prasarana seperti jalan juga dapat rusak berat pada saat pengangkutan
bahan tambang (Noviana 2011).
Salah satu penambangan mineral yang sangat penting adalah penambangan
bahan dasar pembuatan besi, seperti pasir besi dan biji besi. Keberadaan pasir besi
di Indonesia cukup melimpah. Cadangan pasir besi dalam bentuk biji Indonesia
sekitar 1.014 milyar ton (Ishlah2009). Cadangan ini tersebar di beberapa provinsi
diantaranya Provinsi Jawa Barat sekitar 59 juta ton (BKPM 2010). Potensi ini
masih perlu dibuktikan agar cadangan yang tersedia terukur dengan jelas.
Umumnya semua lokasi penambangan pasir besi yang ada di Indonesia dilakukan
eksploitasi secara terbuka (open pit mining) dan berada pada wilayah pesisir
pantai (Miswanto et al.2008).
Jawa Barat merupakan provinsi dengan cadangan pasir besi cukup besar di
Indonesia, dengan cadangan terbukti sebesar hingga 59 juta ton yang tersebar di
beberapa kabupaten. Potensi ini tentunya akan menarik minat banyak investor
untuk melakukan eksploitasi pasir besi yang akan sangat bermanfaat untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah. Disisi lain, eksploitasi pasir besi jika tidak
terkelola dengan baik dapat menjadi bumerang terhadap kerusakan lingkungan
oleh masyarakat adalah meningkatnya kerusakan jalan akibat pengangkutan hasil
tambang melalui jalan umum.
Kerusakan jalan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh hampir
seluruh negara di dunia. Kerusakan jalan ini disebabkan oleh banyak faktor, salah
satunya disebabkan oleh beban muatan kendaraan yang melintas overcapacity.
Kemampuan jalan sebesar (muatan sumbu terberat) MST 8 ton dan MST 10 ton,
dilalui oleh kendaraan dengan MST hingga 20 ton. Pada tahun 2010 Kerusakan
jalan di Indosesia terbesar berada pada jalan kabupaten/kota. Jumlah total panjang
jalan 288.185 km,sekitar 31,14% jalan rusak ringan, kondisi baik hanya 22,46%
nya dan sisanya rusak cukup berat. Jalan provinsi dengan panjang total 48.681 km
kondisinya baik hanya sekitar 5,85%, sedangkan dari 39.310 km jalan nasional
sebanyak 13,34% dalam kondisi rusak ringan, dan 49,67% dalam kondisi baik
serta sisanya rusak berat.1 Ini termasuk jalan strategis seperti jalur Lintas Timur
Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Diperkirakan ongkos sosial dan ekonomi yang
ditanggung masyarakat pengguna jalan sekitar 200 triliun rupiah per tahun,
sangat besar apabila dibandingkan dengan investasi pemerintah yang 3-6 triliun
rupiah pertahun (Widjonarko 2007).
Kawasan pesisir merupakan daerah pengembangan perekonomian yang
dapat mengalami degradasi serta penurunan produktivitas. Degradasi dapat
disebabkan oleh adanya abrasi pantai, pencemaran dan perusakan hutan pantai.
Abrasi ini selain dipicu oleh naiknya muka air laut juga disebabkan penambangan
pasir didaerah pesisir. Indonesia dengan 17.508 pulau mempunyai panjang garis
pantai 95.000 km dan 20% garis pantai di Indonesia mengalami kerusakan akibat
abrasi yang mengalami peningkatan setiap tahun (pu.go.id 2010). Diantara banyak
kegiatan yang mengakibatkan penurunan kualitas pesisir adalah penambangan
bahan galian C (pasir pantai), penebangan liar hutan pantai, tekanan gelombang
pada saat pasang yang mengakibatkan abrasi pantai (Sumartin 2011).
Beberapa pantai mengalami pencemaran yang cukup parah akibat berbagai
kegiatan yang dilakukan dipesisirnya. Kasus yang terjadi di daerah Balikpapan,
dimana pada tahun 2004 tercemar oleh limbah minyak. Contoh lain adalah kasus
1
Seperti yang dinyatakan dalam judul “Sebagian Besar Jalan di Indonesia Kondisi Rusak”,
yang terjadi di sekitar Teluk Jakarta. Berbagai jenis limbah dan ribuan ton sampah
yang mengalir melalui 13 kali di Jakarta berdampak pada kerusakan pantai Taman
Nasional Kepulauan Seribu. Pada tahun 2006, kerusakan terumbu karang dan
ekosistem Taman Nasional itu diperkirakan mencapai 75 km. Kerusakan itu salah
satunya berdampak terhadap hasil perikanan tangkap (Sumartin 2011). Hal serupa
juga dapat terjadi pada penambangan pasir besi didaerah pantai, proses
penambangan dan pencucian pasir besi akan mencemari perairan dan menurunkan
kualitas air bagi kehidupan hewan air serta rusaknya terumbu karang.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan umum yang terjadi di pantai Selatan Jawa Barat adalah
terjadinya, abrasi, akresi, intrusi air laut, kerusakan mangrove dan terumbu
karang, serta alih fungsi lahan untuk kegiatan penambangan pasir besi.
Penambangan ini juga didorong oleh cadangan pasir besi yang cukup tinggi di
Jawa barat, dan posisi geografis lebih dekat dengan jalur pemasaran pelabuhan
Cilacap. Tercatat 25 perusahaan penambangan pasir besi, baik berskala menengah
maupun kecil yang memiliki izin. Keberadaan perusahaan tersebut menyebabkan
terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya pasir besi di Kabupaten
Tasikmalaya. Besarnya eksploitasi saat ini tentunya akan mengurangi ketersediaan
pasir besi pada masa mendatang.
Eksploitasi yang berlebihan juga menyebabkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Proses pengangkutan pasir besi menuju pelabuhan Cilacap Jawa
Tengah yang melintasi jalanan umum menyebabkan rusaknya akses jalan hingga
puluhan kilometer. Berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten
Tasikmalaya, panjang jalan kabupaten yang kondisinya rusak sepanjang 421,8
kilometer atau 32,3 persen dari total panjang jalan kabupaten sepanjang 1.303,3
kilometer yang beberapa ruas diantaranya dijadikan ruas jalan pengangkutan pasir
besi.2 Kondisi ini menyebabkan terjadinya percepatan kerusakan jalan umum
yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan tetapi juga oleh
masyarakat umum. Kerugian bisa berupa semakin lamanya waktu tempuh dan
2
Seperti yang dinyatakan dalam judul “32 Persen Jalan Tasikmalaya Rusak”,
www.KOMPAS.com, Januari 2012
peningkatan konsumsi bahan bakar minyak kendaraan. Pengangkutan menuju
Cilacap yang melewati jalur Tasik Selatan yaitu ruas Cipatujah - Cikalong -
Cimerak - Cilacap menempuh jarak sekitar 150 Km. Jarak tersebut harus
ditempuh 6 - 7 jam, padahal kondisi jalan pantura dengan jarak yang sama dapat
ditempuh dengan waktu 3 jam. Pada dasarnya pengangkutan melalui jalan umum
sangat sulit dihindari, namun kondisi berupa kerusakan jalan seperti berlubang,
retak akibat kegiatan pengangkutan seharusnya dapat dibebankan kepada
perusahaan penambangan pasir besi. Beban pemeliharaan jalan tidak harus
diserahkan pada pemerintah yang tidak selalu memiliki dana yang cukup untuk
melakukan pemeliharaan jalan.
Pada bagian hulu dengan adanya penambangan pasir besijuga telah
menurunkan pendapatan nelayan tangkap karena perubahan jumlah tangkapan
setiap tahunnya yang cenderung menurun. Proses pencucian dilakukan hanya
beberapa meter dari bibir pantai dan sempadan. Proses ini dilanjutkandengan
segregasi biji dari pasir melalui proses fisika dengan menggunakan magnetic
separator. Proses segregasi untuk pemurnian pasir besi ini menyebabkan
peningkatan kadar sulfur didaerah pantai dan sungai, ini terjadi karena air
buangan dalam proses pemisahan langsung dibuang tanpa perlakuan apapun.
Kadar sulfur tersebut membuat air laut dipantai menjadi asam sehingga dapat
merusak terumbu karang. Penggunaan pelumas dan bahan bakar untuk peralatan
mesin dan bengkel ditepi pantai juga menyebabkan pencemaran perairan disekitar
pesisir pantai Kabupaten Tasikmalaya. Pencemaran oleh limbah pencucian pasir
besi ini telah menuai protes berupa demonstrasi oleh masyarakat nelayan di
Kabupaten Tasikmalaya.
Aspek fisik lingkungan yang diabaikan membuat perusahaan pemegang izin
eksploitasi dapat menekan biaya produksi menjadi sangat rendah sehingga
mendorong eksploitasi berlebihan, ditambah lagi dengan relatif mudahnya izin
penambangan dari tangan bupati di era otonomi daerah ini. Merujuk pada
Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan dimana setiap kegiatan usaha harus melakukan pelestarian
lingkungan, maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat wajib melakukan
Kabupaten Tasikmalaya sebagai pemangku kepentingan mengeluarkan
moratorium untuk memberikan waktu penelaahan mendalam mengenai
penambangan pasir besi3. Berapa nilai kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
kerusakan jalan (eksternalitas) dan turunnya produksi perikanan oleh kegiatan
penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya belum dikuantifikasi dengan
baik. Oleh sebab itu diperlukan perhitungan nilai eksternalitas negatif
menggunakan instrumen ekonomi lingkungan yang tepat dan nantinya dapat
diterapkan dalam bentuk kebijakan fiskal berupa penetapan jumlah pajak
terhadap setiap output pasir besi. Hal ini bertujuan agar rente dari penambangan
dapat menginternalkan eksternalitas negatif dalam bentuk pajak lingkungan.
Diharapkan dengan telah dihitungnya eksternalitas negatif tersebut dapat
ditentukan estimasi semua biaya yang harus dikeluarkan untuk kompensasi
gangguan fungsi jalan dan menurunnya pendapatan nelayan, agar masyarakat
yang terkena dampak negatif akibat penambangan pasir besi tidak merasa
dirugikan. Penghitungan nilai eksternalitas ini akan memperkecil nilai rente
penambangan pasir besi karena meningkatnya biaya produksi yang harus
ditanggung oleh perusahaan akibat internalisasi ekstenalitas negatif dalam bentuk
pajak.
Sebagaimana setiap produk mineral pada umumnya, pasir besi mempunyai
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan mineral lain, yaitu ketersediaannya
terbatas dan akan habis (exhaustible resource) serta tidak dapat diperbaharui lagi
(non-renewable resource). Kabupaten Tasikmalaya dengan potensi pasir besi
cukup besar dapat kehilangan potensi penerimaan manfaat optimal untuk
kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan penduduk juga akan menurun akibat
kerusakan lingkungan. Memperhatikan kondisi ini maka dibutuhkan penilaian
yang tepat terhadap besaran nilai tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
penambangan pasir besi, sehingga dapat ditentukan tingkat pajak yang harus
diberlakukan terhadap perusahaan penambangan pasir besi. Pada tahap
selanjutnya ditambahkan dengan biaya pengambilan yang merupakan opportunity
3
Seperti yang dinyatakan dalam judul “Gubernur Keluarkan Surat Edaran Moratorium Pasir Besi”,www.antarajawabarat.com, Januari 2011
costdari pengambilan pasir besi saat ini,agar dapat diperkirakan alokasi
penambangan pasir besi yang paling optimal.
Dari uraian diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaiman pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi?
2. Berapa nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat penambangan
pasir besi ?
3. Berapa tingkat ekstraksi optimal dengan dan tanpa mempertimbangkan
eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi?
4. Berapa nilai pajak akibat eksternalitas negatif yang muncul dari usaha
penambangan pasir besi?
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas dapat dirinci tujuan penelitian sebagai
berikut :
1. Mengkaji pola ekstraksi dan biaya produksi aktual penambangan pasir besi.
2. Mengestimasi nilai kerusakan jalan dan pendapatan nelayan akibat
penambangan pasir besi akibat pengangkutan pasir besi.
3. Menentukan laju ekstraksi optimal dengan dan tanpa eksternalitas negatif, yang
paling menguntungkan dari usaha penambangan pasir besi.
4. Mengestimasi nilai pajak yang harus dibayarkan pada setiap output pasir besi
dengan mempertimbangkan eksternalitas negatifnya.
Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
pengelolaan dan pemanfaatan bidang penambangan terutama pasir besi sehingga dapat
memaksimalkan pendapatan asli daerah dan meminimalkan kerugian. Untuk
penambang akan sangat bermanfaat dalam rangka mencegah tuntutan pidana karena
pengelolaan penambangan yang merugikan lingkungan hidup, sedangkan bagi
masyarakat Tasikmalaya implementasi penelitian ini akan meningkatkan
kesejahteraan dalam pemanfaatan pasir besi.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang penelitian adalah menganalisis eksploitasi penambangan pasir besi
di wilayah pesisir Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini dilakukan untuk
dampak-dampak yang merugikan. Dalam penelitian ini diharapkan pembangunan
ekonomi berbasis lingkungan dapat berjalan dengan baik, sehingga pemanfaatan
sumberdaya tidak pulih dapat memberikan hasil optimal. Analisis sumberdaya
pasir besi dilakukan dengan valuasi ekonomi eksternalitas negatif untuk
mengetahui hubungan interaksi antara perikanan, gangguan fungsi jalan dan
penambangan. Dalam penelitian ini dampak eksternalitas negatif difokuskan pada
tiga bagian dampak yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, pertama dampak kerusakan jalan pada proses pengangkutan yang
melalui jalan umum terhadap kehilangan waktu kerja, kedua dampak peningkatan
konsumsi bahan bakar bagi pengguna kendaraan bermotor, ketiga terpengaruhnya
produksi perikanan disekitar pantai dekat penambangan pasir besi, ketiga dampak
ini dipilih karena merupakan dampak yang paling dominan pada penambangan
pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya dengan menganggap faktor lain bersifat
tetap.
Dasar hukum pajak lingkungan adalah undang – undang nomor 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pajak disini
dimaksudkan beban tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan penambangan
untuk setiap satu-satuan output yang dihasilkan. Pada penentuan laju ekstraksi
optimal, modelHotelling digunakan untuk mengetahui tingkat ekstraksi optimal
(Q*), tingkat keuntungan maksimal ( *) dan pada tahun berapa cadangan akan
habis (T*) yang kemudian dibandingkan dengan lama izin konsesi rata- rata
penambangan pasir besi pada pasar bersaing secara sempurna. Dalam model
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kegiatan Penambangan Pasir Besi 2.1.1 Sumberdaya Pasir Besi
Besi merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi ini. Karakter dari
endapan besi ini bisa berupa endapan logam yang berdiri sendiri namun seringkali
ditemukan berasosiasi dengan mineral logam lainnya. Kadang besi terdapat
sebagai kandungan logam tanah (residual), namun jarang yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Endapan besi yang ekonomis umumnya berupa Magnetite,
Hematite, Limonite dan Siderite. Kadang kala dapat berupa mineral: Pyrite,
Pyrhotite, Marcasite, dan Chamosite. Pasir besi sebagai salah satu bahan baku
utama dalam industri baja dan industri alat berat lainnya di Indonesia,
keberadaannya akhir-akhir ini memiliki peranan yang sangat penting. Permintaan
dari berbagai pihak meningkat cukup tajam. Berdasarkan kejadiannya endapan
besi dapat dikelompokan menjadi tiga jenis. Pertama endapan besi primer, terjadi
karena proses hidrotermal, kedua endapan besi laterit terbentuk akibat proses
pelapukan, dan ketiga endapan pasir besi terbentuk karena proses rombakan dan
sedimentasi secara kimia dan fisika. Beberapa jenis mineral-mineral biji besi,
magnetit adalah mineral dengan kandungan Fe paling tinggi, tetapi terdapat dalam
jumlah kecil, sementara hematit merupakan mineral biji utama yang dibutuhkan
dalam industri besi(Bambang 2007).
2.1.2 Proses Penambangan Pasir Besi
Pasir besi merupakan mineral yang mengendap di sekitar pantai, rawa dan
muara sungai, endapannya terdapat pada permukaan sampai ke kedalaman 15
meter. Proses pengambilan pasir besi dilakukan dengan cara membongkar dan
mengangkut endapan ke alat pemisah yang bersifat magnet untuk memisahkan
pasir besi dari komponen ikutan non logam seperti pasir, tanah dan batuan. Proses
pemisahan ini biasa disebut pekerja tambang sebagai processing magnet
separator. Magnet separator berkerja memurnikan pasir besi berdasarkan sifat
logam yang dimiliki. Bahan galian yang di masukan ke dalam processing akan
terpisah menjadi 4 bagian, batu coral, air bersama pasir dan tanah ke 3 bagian ini
magnet akan diambil dan selanjutnya dengan eskalator lalu ditimbun ke
penyimpanan atau gudang. Dari gudang pasir besi (stockpile) akan diangkut ke
loading area di pelabuhan untuk selanjut dibawa ke tempat pembeli.
2.1.3 DampakNegatif Penambangan Pasir Besi
Dalam pandangan fisik aktivitas ekstraksi mineral logam ini terlihat
sederhana, tapi tidak demikian dengan daya rusak sesungguhannya. Kerusakan
lingkungan yang diakibatkan ekstraksi pasir besi dapat dikelompokan menjadi 2
golongan, pertama kehancuran fisik, kerusakan pada fisik lingkungan yang dapat
langsung terlihat terbagi menjadi beberapa bentuk kehancuran berdasarkan
tahapan aktivitas ekstraksi4:
a. Pengerukan Bahan Galian
Endapan pasir besi ini terdapat pada sekitar tepian pulau di sekitar muara
sungai, rawa dan sempadan pantai, proses pengerukan akan membuat kawasan
lindung sempadan pantai yang biasanya dalam bentuk hutan mangrove dan
cemara akan terbabat habis. Masyarakat yang melihat kondisi pantai ketika
tambang beroperasi atau pasca tambang tanpa melihat kondisi pulau sebelum
tambang beroperasi, tidak akan dapat melihat perubahan ekstrem yang terjadi
pada kawasan ini. Berbeda dengan pandangan mata kepala masyarakat di sekitar
tambang yang dapat membandingkan perubahan pantai sebelum dan sesudah
tambang beroperasi. Masyarakat yang melihat dengan dua kondisi berbeda ini
akan menyadari bahwa sebenarnya proses pengerukan kawasan terluar pulau ini
telah menyebabkan pengurangan yang luar biasa terhadap luas pulau tempat
tambang pasir besi beroperasi. Pengerukan pasir besi selain memangkas bagian
terluas pulau, secara fisik juga merubah bentang alam kawasan rawa dan hutan
mangrove serta habitat dan tempat pemijahan ikan, kepiting dan udang.
b. Pemisahan Pasir Besi
Pemisahaan pasir besi yang menggunakan sistem magnetik yang boros air,
untuk memisahkan 50.000 m3 pasir besi dibutuhkan air sebanyak 20.000 m3.
Untuk memenuhi kebutuhan air ini, perusahaan akan membendung muara sungai
4
Seperti yang dinyatakan dalam judul “ Pencemaran Lingkungan Akibat Aktifitas Pertambangan Dan UUD Tentang Pencemaran”. 2011. www.rahmatbkhant.blogspot.com
dan mengalihkan aliran sungai menuju lokasi proccesing melalui pipa besar atau
menggunakan pompa. Proses pembendungan sungai ini akan menyebabkan luapan
air menggenangi kawasan pertanian, pemukiman dan sentra aktivitas warga
lainnya.
Dampak lainnya akibat pembendungan ini adalah kerusakan ekosistem yang
tidak kasat mata tetapi akan terasa oleh nelayan sekitar. Pemusnahan masal
terhadap kekayaan biodiversity yang siklus sidupnya tergolong katadromus, yaitu
jenis ikan dan arthopoda yang siklus regenerasinya membutuhkan 2 ekosistem.
Ekosistem air tawar dan ekosistem air laut, seperti ikan sidat yang akan mati
setelah bertelur di gugusan terumbu karang dalam laut, dan setelah menetas
anakannya akan melanjutkan siklus hidup induknya untuk tumbuh dan hidup di
ekosistem sungai. Pembendungan sungai akan membuat jenis katadromus ini
tidak bisa kembali ke sungai untuk memijah.
Pada proses pemurnian pasir besi, bahan yang terambil adalah dalam bentuk
butiran pasir besi dan titanium, juga silicon dan magnesium. Jumlah limbah
sebagai buangan sisa-sisa pemurnian yang dibuang tergantung dari berapa kadar
pasir besi di wilayah endapan yang diambil. Misalnya wilayah Pesisir Barat
Bengkulu, dari setiap 50.000 meter persegi pasir besi, akan membuang limbah
padat dalam bentuk lumpur pasir dan koral sebanyak 126.000 m3.
Deposit pasir besi dan mineral lain yang digali merupakan sedimentasi dari
proses geomorfologi jutaan tahun yang lalu, pembongkaran endapan ini akan
mengakibatkan stabilitas ikatan komponen kimia yang mengendap terlepas.
Proses pengambilan pasir besi oleh magnet separator tidak sepenuhnya dapat
mengambil semua pasir besi dan mineral logam lain. Senyawa kimia yang
dibongkar dan terikut dalam prosesing dan bukan berunsur logam, akan terlepas
bebas ke air dan lingkungan tempat pembuangan limbah. Ikan yang hidup
disungai dan pantai sekitar pembuangan limbah ini biasanya akan mati serentak
dalam jumlah yang besar, kalaupun ada yang tersisa ikannya ditemukan dalam
kondisi kudisan yang memiliki benjolan disekitar badannya. Kementerian
lingkungan hidup RI sudah mencoba mengeleminir resiko dari proses ini dengan
mengeluarkan permen LH no 21 tahun 2010 tentang ambang batas mutu air
keselamatan ekosistem sekitar kegiatan penambangan, karena tidak menjangkau
identifikasi berbagai jenis komponen kimia yang dilepas,selain itu peraturan ini
lebih bersifat pengaturan prosedural fisik.
c. Pengangkutan Pasir Besi
Dalam pengangkutan hasil produksi menuju konsumen, pengangkutan pasir
besi biasanya pemanfaatan infrastruktur umum seperti jalan. Pengangkutan
dilakukan menggunakan truk – truk pasir berbobot tinggi dan cenderung melebihi
kapasitas angkut dan daya dukung jalan. Hal ini menyebabkan kerusakan jalan
tidak dapat dihindarkan, akibatnya berdampak pada terganggunya fungsi jalan
sebagai barang publik dalam melayani masyarakat pengguna jalan.
Jaringan jalan raya merupakan prasarana transportasi darat yang memegang
peranan sangatpenting dalam sektor perhubungan, terutama untuk kesinambungan
distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat diperlukan untuk
menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya kebutuhan
sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Selain
pertumbuhan ekonomi, transportasi jalan juga sering menimbulkan permasalahan
dibidang pemeliharaannya. Kenaikan volume kendaraan (trailer, truk, bus, and
kendaraan lainnya) yang melebihi kapasitas daya angkutnya juga merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan jalan relatif cepat rusak sebelum mencapai umur
pelayanan jalan yang telah direncanakan. Peningkatan arus lalu lintas kendaraan
khususnya kendaraan berat, yang pada umumnya mengangkut bahan mentah
seperti kayu dan sawit (yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan industri)
sangat berpengaruh besar terjadinya kerusakan jalan. Terlepas dari mutu
komponen perkerasan dan pelaksanaan pekerjaan yang mungkin kurang baik,
faktor lain yang sangat berpengaruh dan menentukan umur perkerasan jalan
adalah perbedaan antara beban rencana as kendaraan dengan beban aktual yang
melewati jalan tersebut (Mudjiatko 2006).
UNESCAP (2005) menyoroti pentingnya infrastruktur jalan dalam
perekonomian wilayah, jalan sebagai salah satu komponen infrastruktur
berpengaruh secara signifikan terhadap iklim investasi. Jalan merupakan
penghubung antara kegiatan produksi dan distribusi, sehingga ketersediaan
2.2 Eksternalitas
Masalah lingkungan banyak disebabkan oleh kegagalan pasar dan tidak
adanya hak kepemilikan. Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan
apa yang disebut eksternalitas. Eksternalitas diartikan sebagai setiap pengaruh
samping dari produksi atau konsumsi yang dirasakan oleh pihak ketiga di luar
pasar. Menurut teori ekonomi mikro harga merupakan mekanisme sinyal penting
dalam proses pasar. Harga keseimbangan menunjukkan nilai marjinal yang
diberikan oleh konsumen dari pemakaian barang dan biaya marjinal yang harus
ditanggung oleh perusahaan dalam memproduksikan barang dimaksud. Dalam
keadaan biasa, teori ini dapat memprediksi realitas pasar dengan baik. Namun
terdapat banyak keadaan di mana harga gagal merefleksikan semua manfaat dan
biaya yang terkait dengan transaksi pasar. Kegagalan pasar ini muncul ketika
pihak ketiga dipengaruhi oleh produksi atau konsumsi satu barang. Apabila
pengaruh kepada pihak ketiga ini mengakibatkan timbulnya biaya, maka pengaruh
ini disebut eksternalitas negatif, sedangkan pengaruh kepada pihak ketiga yang
bermanfaat disebut eksternalitas positif (Mangkoesoebroto 1993).
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu
eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat
ataubiaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut.
Eksternalitas ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya
social berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya
pembangunan ekonomi (Randal 1987). Masalah utamanya adalah siapa yang
harus menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus ditanggung oleh
pihak yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau pemerintah. Para
ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian harus dikenai
kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan membayar pajak sebesar
kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar dipindahkan keluar daerah
yang mengalami pencemaran (Suparmoko 1997).
Secara grafis terjadinya eksternalitas dapat dilihat pada Gambar1, dimana
produksi optimum akan didapatkan pada saat polusi telah diperhitungkan sebagai
Putri et al. (2010) membagi eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak
yang dimunculkannya serta interaksi agen ekonomi. Eksternalitas berdasarkan
interaksi agen ekonomi misalnya adalah sebagai berikut:
jumlah produksi berdasarkan harga pasar. Dengan kondisi ini tidak ada pihak
yang dirugikan dalam sebuah aktivitas penambangan.
2.3 Jenis – Jenis Eksternalitas
Eksternalitas lingkungan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya
terhadap individu dan wilayah. Pencemaran lingkungan atau kerusakan
lingkungan dapat dikelompokkan sebagai eksternalitas daerah/lokal seperti terjadi
kerusakan air danau, kerusakan tanah, dan polusi udara. Polusi di daerah menjadi
kesulitan bagi penduduk daerah tersebut jika memiliki dua karakteristik,
yaitunon-rivalry and non-exclusion. Adapun polusi dari sungai besar dan
kerusakan ekosistem gunung mungkin akan mempengaruhi sejumlah wilayah.
Emisi gas rumah kaca merupakan masalah penduduk dunia tanpa memperhatikan
dari mana polusi berasal, emisi menyeluruh berdampak kepada semua orang di
dunia dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelompokkan eksternalitas penting
berkenaan dengan masalah otoritas mana yang akan membawahi masalah polusi
dan atau kerusakan tersebut (Sankar 2008).
Gambar 1 Eksternalitas negatif pada penambangan pasir besi Sumber :Disesuaikan dengan Kahn (1998)
a. Dampak Produsen Terhadap Produsen Lain
Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap
produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau
penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Contoh dampak atau efek yang
sardine menghasilkan limbah produk yang dimasukkan ke dalam aliran sungai,
sehingga produsen ikan yang menggunakan air dari aliran sungai tersebut akan
dirugikan karena produksinya akan menurun.
b. Dampak Produsen Terhadap Konsumen
Suatu produsen dikatakan mempunyai dampak terhadap konsumen, jika
aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen).
Contoh kategori dampak ini adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi
polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena
pertambangan, serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan
konsumen atau masyarakat luas. Misalnya adalah dampak penciuman (bau) dari
produsen pembuat ikan asin terhadap masyarakat sekitar, atau polusi udara dari
produsen pengasapan ikan kepada masyarakat sekitar.
c. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain
Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas
seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas
konsumen yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen
yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat
pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap
rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.
d. Dampak Konsumen Terhadap Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen
mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu.
Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumah tangga terbuang ke aliran
sungai dan mencemarinya sehingga menganggu perusahaan tertentu yang
memanfaatkan air seperti nelayan atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
Soemarno (2008) membagi eksternalitas berdasarkan sebab dan dampak
yang dimunculkannya adalah sebagai berikut:
a. Eksternalitas Pecuniary
Eksternalitas pecuniary atau eksternalitas istimewa terjadi karena perubahan
harga dari beberapa input maupun output. Dengan kata lain, eksternalitas ini
terjadi manakala aktivitas ekonomi seseorang mempengaruhi kondisi finansial
sesuatu barang, seseorang biasanya akan mempertimbangkan kebutuhannya
sendiri akan barang tersebut, harganya, dan situasi anggarannya. Jarang sekali,
dan umumnya hanya dalam kasus monopsoni saja, individu mempertimbangkan
bahwa keputusannya untuk membeli barang/jasa dapat berkontribusi terhadap
peningkatan kebutuhan produk tersebut dan oleh karena itu menyebabkan
harganya meningkat. Biasanya, pengabaian ini dibenarkan, karena pembelian
individual atas suatu komoditi merupakan fraksi yang demikian kecilnya dari total
jumlah barang yang dijual, sehingga keputusan individu mempunyai dampak yang
dapat diabaikan terhadap harga. Bagaimanapun keputusan individual
mempengaruhi harga, bukan hanya seseorang, tetapi juga semua pembeli lainnya,
akan mengakibatkan penurunan atau kenaikan harga. Perubahan harga, yang
disebabkan oleh keputusan-keputusan individu, disebut sebagai eksternalitas
istimewa. Kalau keputusan individu menyebabkan harga naik (kasus yang
lazimnya berhubungan dengan peningkatan kebutuhan) maka fenomenanya
merupakan suatu eksternal disekonomi yang pecuniary bagi konsumen lainnya.
Apabila keputusan individu menyebabkan harga turun (seperti yang dilukiskan
dengan keputusan untuk menggabungkan kelompok perjalanan travel yang masih
belum mencapai kapasitas penuh) fenomenanya disebut eksternal ekonomi yang
pecuniary bagi konsumen lainnyaefisien.
Secara simetri, eksternalitas dis-ekonomi yang pecuniar bagi konsumen
merupakan eksternalitas yang pecuniar bagi produsen dan eksternalitas ekonomis
yang pecuniar bagi konsumen akan merupakan eksternalitas dis-ekonomi bagi
produsen. Hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa eksternalitas pecuniar,
apakah ekonomis atau disekonomis, tidak menimbulkan problem bagi ekonomi
pasar. Berubahnya kebutuhan menyebabkan harga naik atau turun fluktuasi ini
menyediakan pertanda esensial bagi tempat-pasar untuk merotasikan barang dan
jasa secara efisien (Soemarno 2008).
b. Eksternalitas banyak arah (Multidirectional externality)
Ekstenalitas banyak arah adalah eksternalitas yang disebabkan oleh suatu/
2.4 Solusi Eksternalitas
Fauzi (2010) mengemukakan model dasar untuk membangun prinsip
kebijakan ekonomi dalam memecahkan masalah eksternalitas. Ia mengemukakan
contoh hubungan ekonomi antara perusahaan penambang emas dengan usaha
perikanan. Meski tidak ada hubungan keputusan ekonomi dari dua unit usaha
tersebut, namun keduanya menjadi terkait karena adanya sungai sebagai barang
publik. Penambang emas tersebut membuang limbahnya berupa zat merkuri ke
dalam sungai yang menjadi sumber mata pencaharian. Pada dasarnya Fauzi (2010)
menyatakan untuk meredam eksternalitas negatif, tidak terkecuali dalam
kegiatan penambangan terdapat tiga alternatif kebijakan yang dapat digunakan :
internalisasi, perpajakan dan memfungsikan pasar.
Nicholson (1999) menjelaskan dua pemecahan tradisional terhadap
eksternalitas. Yaitu perpajakan dan internalisasi biaya. Dalam menggunakan
perpajakan sebagai penyelesaian eksternalitas, Nicholson (1999) berpendapat
bahwa pemerintah dapat mengenakan pajak cukai yang sesuai terhadap
perusahaan yang menghasilkan disekonomi eksternal. Pajak ini dapat dianggap
keluaran atau produk yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan menjadi berkurang.
Pemecahan klasik terhadap masalah eksternalitas ini pertama kali diajukan oleh
A.C. Pigou pada dasawarsa 1920-an. Walaupun telah sedikit dimodifikasi, solusi
ini tetap merupakan jawaban standar untuk masalah eksternalitas yang dibuat oleh
ahli ekonomi. Masalah utama bagi regulator adalah mendapatkan informasi
empiris yang memadai sehingga pajak yang tepat dapat dikenakan secara
langsung kepada perusahaan yang menyebabkan polusi. Pemecahan tradisional
kedua adalah internalisasi, merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak
yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam
satu unit usaha.
2.5 Teori Pemanfaatan Sumberdaya Secara Optimal
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar pengambilan sumberdaya
alam yang tidak dapat diperbaharui menjadi lebih optimal. Syarat pertama yang
harus dipenuhi adalah terdapatnya pasar persaingan sempurna dengan tercapai
marginalnya. Pada kasus sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui,
efisiensi optimum akan dicapai apabila harga barang sumberdaya sama dengan
biaya marginal ditambah biaya alternatif. Biaya alternatif adalah kelebihan nilai
yang bersedia dibayarkan oleh konsumen dengan nilai lebih besar daripada biaya
marginal untuk menghasilkan barang sumberdaya tersebut. Biaya alternatif ini
juga disebut manfaat sosial bersih, rent, atau royalty. Syarat kedua dari
pengambilan sumberdaya secara optimal menyangkut tingkah laku dari biaya
alternatif atau royalty itu sepanjang waktu. Biaya alternatif harus selalu meningkat
sebesar tingkat bunga yang berlaku dari waktu kewaktu, atau dengan kata lain bila
royalty itu dinyatakan dengan nilai sekarang (present value), maka ia tidak akan
berubah sepanjang waktu. Syarat terakhir adalah ekstraksi sumberdaya alam tidak
dapat diperbaharui sangat tergantung pada kendala stok yang terbatas. Sebagai
dasar dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak terbaharui yang optimal adalah
model Hotelling yang dikembangkan oleh Harold Hotelling pada 1931 (Fauzi
2010).
Tujuan perusahaan dalam pemanfaatan sumber daya minerba adalah
memaksimumkan keuntungan.Tujuan ini dicapai dengan memilih tingkat
ekstraksi optimal selama masa izin. Jika ada komponen biaya yang dapat dihindari
atau dapat dibebankan kepada pihak lain, maka tanpa regulasi yang efektif
komponen biaya tersebut tidak akan ditanggung oleh perusahaan. Hal seperti ini
dapat menghasilkan kondisi dimana pemanfaatan sumber daya minerba
menguntungkan secara finansial tetapi merugikan secara ekonomi. Untuk
sederhananya, jika present value dari penjualan hasil tambang adalah S dan
present value dari biaya eksplorasi, eksploitasi, dan reklamasi adalah C, maka
present value dari pemanfaatan sumber daya minerba adalah
W = S –C
Jika W > 0, maka pemanfaatan sumber daya minerba secara finansial layak atau
menguntungkan bagi pelakunya.Tetapi apakah hal ini juga menguntungkan secara
sosial masih perlu dikaji lebih jauh karena biaya yang diperhitungkan masih
belum tentu mencakup seluruh biaya yang ditimbulkan oleh pemanfaatan sumber
daya minerba tersebut. Seperti umum terjadi, pemanfaatan sumber daya minerba
Pemerintah sebagai wakil rakyat mempunyai kewajiban untuk memperhitungkan
biaya lingkungan dari setiap keputusannya (Soemarno 2008).
2.5.1 Teori Optimasi Sumberdaya Tidak Terbarukan
Pada tahun 1970-an adalah suatu periode intensif, dimana kekhawatiran
publik terhadap kelangkaan sumberdaya alam. Dipicu dari laporan klub roma
mengenai “limits to growth” oleh Deniss Meadows. Ia memprediksi konsekuensi
katastropik pada awal abad 21 kecuali jika pertumbuhan ekonomi ditunda,
ditambah lagi kondisi menjelang tahun 1973 dengan adanya embargo minyak
yang akhirnya menyebabkan krisis. Pada saat itu para ekonom bersiap untuk
menerapkan kerangka kerja yang dimulai oleh Hotelling tahun 1931(Gaudet
2007).
Cadangan sumberdaya alam adalah sama dengan cadangan kapital fisik
yang merupakan aset bagi pemiliknya. Dalam ekonomi pasar, nilai dari aset ini,
seperti beberapa aset modal sangat bergantung kepada tingkat pengembalian hasil
yang dapat diperoleh pemiliknya. Secara khas, tingkat pengembalian dari aset
kapital dapat diuraikan pada tiga komponen :
1. Komponen pertama disebabkan oleh aliran dari produk yang dihasilkan oleh
marginal unit dari aset. Ini disebut tingkat dari marginal produktivitas atau
tingkat dividen.
2. Komponen kedua disebabkan oleh fakta bahwa karakteristik aset fisik dapat
berubah sepanjang waktu.
3. Komponen ketiga adalah tingkat dimana nilai pasar aset dapat berubah
sepanjang waktu. Nilai ini mungkin saja negatif, sepanjang nilai ini lebih dari
komponen positif lainnya terhadap tingkat pengembalian.
Agar pasar aset berada dalam keadaan equilibrium, tingkat pengembalian
harus sama dengan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh pemilik
sumberdaya jika aset tersebut diinvestasikan ditempat lain. Pada contoh aset fisik
seperti bangunan, mesin dan peralatan, komponen pertama yang digunakan adalah
produk marginal yang diturunkan dari penggunaan setiap masukan dalam proses
produksi. Komponen kedua berasal dari depresiasi fisik aset, yang akan
mengurangi tingkat pengembalian. Komponen ketiga, adalah pendapatan modal
Seandainya sekarang aset adalah sumberdaya tidak terbarukan, seperti
deposit mineral atau cadangan minyak dalam tanah. Beberapa aset tidak dapat
diproduksi kembali, dimana jumlah cadangan sekarang tidak dapat meningkat
sepanjang waktu. Keputusan menahan aset tersebut tidak akan mendapatkan hasil
selama aset tersebut berada dalam tanah, yang berarti tidak produktif, berbeda
dengan mesin atau peralatan, yang dapat menghasilkan aliran jasa.
Oleh sebab itu komponen pertama identik dengan nilai nol. Seperti
komponen kedua, dimana tidak ada padanan yang tepat pada kasus cadangan
sumberdaya, dalam artian kekacauan tidak akan terjadi dari menahan aset didalam
tanah. Ini sebabnyalebih baik menahan marginal unit dari aset yang ditempatkan
dalam tanah daripada mengekstraksi untuk menjaga kualitas merata dari cadangan
yang tersisa dari keadaan memburuk. Komponen kedua ini mencatat tingkat
pengembalian yang lebih positif, daripada negatif. Jika p (t) adalah harga sekarang
dimana sumberdaya dapat berada dalam pasar segera setelah diekstraksi dan c(t)
adalah biaya marginal ekstraksi sumberdaya pada tahun t, maka nilai marginal
dalam tanah seharusnya:
π (t) = p (t) − c(t),
yang mewakili harga aset dari sumberdaya. Jika tingkat bunga adalah r, dan aset
keseimbangan pasar mensyaratkan:
Ini adalah rumus Hotelling yang terkenal, yang menyatakan bahwa harga
bersih dari sumberdaya alam-harga aset sumberdaya alam-harus naik sama dengan
tingkat bunga. Jika biaya marginal dari ekstraksi sumberdaya bebas dari tingkat
ekstraksi dan tidak berubah sepanjang waktu, dan hal ini menghasilkan prediksi
sebagai perilaku dari nilai pasar sepanjang wakt , yaitu: u
Jika fungsi diatas benar-benar dapat mewakili kenyataan, kita dapat mengamati
harga sumberdaya tidak terbarukan akan meningkat sesuai tingkat bunga sebagai
bagian dari biaya dalam harga yang semakin kecil dan semakin kecil sepanjang
2.6 Pajak Sebagai Instrumen Ekonomi Pengelolaan
Pajak merupakan salah satu instrumen ekonomi pengelolaan lingkungan,
namun bukan instrumen untuk melegalisasi pencemaran atau perusakan
lingkungan. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen yang berbasis
pasar diantara berbagai instrumen yang tersedia. Di Indonesia, pajak lingkungan
telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup. Sayangnya implementasi belum banyak dilakukan sehingga
pengelolaan lingkungan di Indonesia lebih mengutamakan pendekatan
command-and-control (Suedomo 2009). Ketika pajak digunakan sebagai alat internalisasi
eksternalitas akan membuat pemerintah kehilangan ketegasan dihadapan
masyarakat. Ini disebabkan kehidupan yang tenang tanpa ada gangguan dari
adanya eksternalitas negatif adalah hak setiap orang, sementara bagi pasar hal ini
adalah peluang untuk melakukan lobi dan transaksi. Analisis cost-benefit menjadi
penting dalam hal ini, menimbang mana yang lebih penting antara tujuan dari tiap
aspek yang dibahas dengan opportunity cost yang harus dikeluarkan. Misalkan
antara kesehatan/lingkungan dengan sisi perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan materi masyarakat. Mekanisme Pajak Pigovian bisa menjadi
alternatif karena memang dianggap mampu menekan laju peningkatan biaya sosial
dimasa depan sementara mekanisme pengendalian langsung bisa diterapkan jika
memang sumber penerimaan negeri sudah tangguh dan mandiri (Eirik dan Ronnie
1999).
Pajak pada bads akan memberi insentif kepada pembangkit dampak negatif
untuk mencari dan menggunakan teknologi yang dapat mengurangi dampak
negatif pada lingkungan. Kelemahan utama Pajak Pigou pada barang adalah
bahwa pajak ini hanya dapat dikenakan ketika proses produksi tambang masih
berjalan, padahal dampak lingkungan dapat berlangsung meskipun tambang telah
berhenti. Oleh karena itu, pajak Pigou hanya menangkap kerugian lingkungan
yang terjadi selama proses penambangan berlangsung (Suedomo 2009).
Para ahli menyarankan untuk menerapkan pajak terhadap pencemaran dan
kerusakan, agar tercapai kualitas lingkungan yang diharapkan. Nilai pajak harus
sesuai dengan tingkat optimal sosial degradasi (dan tidak mengeliminasi polusi
Pencemar akan berfikir untuk mengurangi kewajiban pajak mereka,
sehingga biaya kerusakan lingkungan dibebankan kepada masyarakat. Ilustrasi
dapat dilihat pada Gambar 2 dan diasumsikan biaya pencemaran telah ditentukan.
Analisis ini membutuhkan informasi substansial mengenai prosedur pengurangan
(abatement) dan teknologi yang dipakai. Marginal damage cost (S) adalah
representasi dari beban yang ditanggung oleh masyarakat. Marginal control cost
(MC’) adalah atribut yang dilakukan pencemar untuk mengurangi pencemaran.
Pada jumlah produksi yang optimumdengan mempertimbangkan pajak tingkat
produksi akan berkurang menuju keseimbangan jumlah produksi baru yang lebih
kecil, karena biaya produksi mengalami peningkatan dengan penetapan pajak
sejumlah tertentu.
tepat untuk mengatasi masalah lingkungan, karena akan mengubah prilaku
pencemar secara tidak langsung untuk menaati peraturan pengelolaan limbahnya.
Akibatnya jumlah output perusahaan tidak lagi pada tingkat yang mengeluarkan
eksternalitas terlalu tinggi, dibandingkan output yang ada dipasar (market
equilibrium). Solusi berbasis insentif diusulkan oleh Pigou, yang menyarankan
pemberlakuan pajak pada entitas yang membuat eksternalitas (Kahn 1998).
Pengendalian produksi dengan sistem pajak merupakan perilaku respon terhadap
adanya eksternalitas. Pengendalian produksi dilakukan dengan memperhitungkan
biaya lingkungan dan menerapkan kepastian hak. Pengaturan produksi seharusnya
dirumuskan, ditetapkan dan diimplementasikan secara bersama-sama oleh para
pihak. Situasi ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya komitmen untuk
tidak melakukan eksploitasi berlebihan (Suhaeri 2005).
Kebijakan pemerintah menetapkan tax, sebagai unit yang dibebankan
terhadap polusi yang dibuat pencemar, menyebabkan pencemar akan mengurangi
emisi dengan mengurangi jumlah produksi mereka dari x1 ke x2. Dana yang
dipungut dari pajak tersebut, dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki
kondisi lingkungan. Pajak pencemaran ini berdasarkan atas prinsip pembayaran
oleh pencemar (Kahn 1998).
2.7 Tinjauan Penelitian Sejenis Terdahulu
Penelitian mengenai eksternalitas dan laju ekstraksi optimal pada
sumberdaya pertambangan pasir besi masih jarang ditemukan.Beberapa penelitian
mengenai eksternalitas memang pernah dilakukan oleh peneliti–peneliti
sebelumnya. Syaefuddin (2010) menghitung dampak pengangkutan batu bara
melalui jalur sungai di Sungai Barito Kalimantan Selatan. Pengangkutan batubara
melalui sungai menggunakan perahu tongkang melalui jalur Sungai Barito di
wilayah Kabupaten Batola, ditengarai merusak ekosistem perairan, menimbulkan
masalah sosial ekonomi dan pencemaran lingkungan serta memperparah abrasi di
perairan sungai tersebut. Penelitian ini menggunakan metode valuasi ekonomi
Damage Cost Analysis. Dalam penelitian ini dampak yang ditimbulkan oleh
adanya tansportasi tongkang batubara yaitu penurunan jumlah tangkapan nelayan
jaring insang hanyut yang berakibat pada penurunan pendapatan nelayan. Jumlah
keramba dan KJA dari tahun 2007 sampai 2008 mengalami penurunan yang
drastis. Jumlah Produksi keramba turun sebesar 86 % dan produksi KJA turun
sebesar 73%. Kecelakaan berdampak pada besarnya kerugian material, seperti
kerusakan dermaga dan perahu.
Kerugian immaterial agak sulit dihitung, karena terkait dengan emosi dan
perasaan manusia. Kerugian immaterial terutama terkait dengan kehilangan jiwa.
Dalam penelitian ini kehilangan jiwa, dampak berupa perasaan kehilangan,
tertekan,sedih dan sebagainya tidak dinilai karena masih sulit diterapkan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Barito Kuala tahun
2009, diperoleh jumlah keluar masuk tongkang batubara menunjukkan bahwa
total batubara yang diangkut/keluar selama tahun 2009, baik melalui Rute
Banjarmasin-Kelanis maupun Banjarmasin-Teweh sebesar 36.344.000 ton.
pengangkutan batubara adalah Rp. 5.516.800.000. Nilai total tersebut terdiri dari
kerugian pada sektor perikanan Rp. 5.335.800.000 dan kerugian karena
kecelakaan Rp. 181.000.000. Nilai ini dikaitkan dengan jumlah batubara yang
diangkut, yang jumlahnya mencapai 36.344.000 ton per tahun maka dapat
ditetapkan nilai kompensasi sebesar Rp. 152 (seratus lima puluh dua rupiah) per
ton batubara.
Noviana (2011) meneliti tentang dampak penambangan pasir besi di
Kabupaten Kaur Sumatera Selatan. Tujuannya mengidentifikasi semua dampak
penambangan pasir besi. Diantaranya menyebabkan menurunnya kualitas udara,
disebabkan mobilisasi alat berat pada tahap pra konstruksi yang meningkatkan
kadar debu dan kebisingan di areal tambang dan pemukiman masyarakat di jalan
Way Hawang Sukamenanti. Kondisi wilayah penambangan yang merupakan
perairan Sungai Air Numan (Danau Kembar) dengan luasan awal 16,02 hektar dan
daratan seluas 163,34 hektar. Kegiatan penggalian akan memperluas bentuk dan
struktur danau hingga meluas kira – kira menjadi sebesar 28 hektar. Hal ini sangat
membahayakan warga, karena debit air juga akan mengalami perubahan struktur,
sehingga ancaman terhadap kekeringan dan banjir meningkat. Aktifitas
penambangan juga akan mempengaruhi struktur pantai Way Hawang. Ancaman
akan meningkat khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar serta
tinggi, yang akan membuat bentuk pantai berubah. Kegiatan penambangan juga
dipastikan akan menurunkan kualitas air tanah (sumur) dan kualitas air permukaan
Danau Kembar serta Air Way Hawang.
Pengolahan pasir besi membutuhkan banyak air untuk diolah di Magnetic
Separator. Dalam proses pengolahan, selain menghasilkan pasir besi juga
menghasilkan limbah. Demikian juga dengan kegiatan perawatan alat berat
tambang pasir besi dipastikan menghasilkan sisa-sisa pelumas dan oli bekas. Sisa
oli bekas ini yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari danau kembar dan
sumur warga, serta air laut di lingkungan tambang. Pada tahap pengangkutan hasil
pemurnian pasir besi, rute jalur angkut perusahaan meliputi jalan Raya Desa
Sukamenanti, Desa Way Hawang hingga Pelabuhan Linau. Jalan ini merupakan
jalan negara dengan spesifikasi III A atau dapat dilalui kendaraan dengan muatan