• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PERMINTAAN DAGING SAPI DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP KEBIJAKAN IMPOR

WASI NURSALAMAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Wasi Nursalamah

(4)

ABSTRAK

WASI NURSALAMAH. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.

Kisruh impor daging sapi pada November 2012 mengakibatkan naiknya harga daging sapi di pasaran sehingga perlu adanya penanganan khusus agar harga daging sapi stabil. Penelitian ini dilakukan untuk menganalis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan daging sapi di Indonesia dan peran substitusi, serta implikasinya terhadap kebijakan. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data deret waktu periode 1982-2011. Analisis dilakukan dengan pendekatan ekonometrika, pendugaan model menggunakan metode Regresi Komponen Utama (RKU). Hasil analisis menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 71.7 persen, dan nilai elastisitas dari masing-masing variabel yang diuji relatif kecil terhadap permintaan daging sapi menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi tidak tergantikan. Permintaan daging sapi terus mengalami peningkatan setiap tahunnya walaupun harga daging sapi yang relatif mahal. Formulasi kebijakan meliputi stabilisasi harga, penambahan persediaan pada saat hari besar keagamaan, impor dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan persediaan daging sapi nasional, dan menjamin ketersediaan pangan substitusi daging sapi seperti ketersediaan daging ayam dan telur, serta meningkatkan produksi daging sapi dalam jangka panjang.

Kata kunci: konsumsi daging sapi, peran substitusi, implikasi kebijakan

ABSTRACT

WASI NURSALAMAH. Analysis of Factors Affecting Beef Demand and Implikcation of The Import Policy. Supervised by MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.

Chaotic imported beef in November 2012, resulting in a rise in the price of beef in the market so that the need for special handling so that beef prices. This research was conducted to analyze the factors that affect the demand for beef in Indonesia and the role of substitution, and the implications of policy import. This study uses secondary data the period 1982-2011. Analyses were performed with the econometric approach, estimation models using Principal Component Regression (RKU). The results show the coefficient of determination (R2) of 71.7 percent, and the elasticity of each of the variables tested small relative to the demand for beef show that beef consumption is not replaceable. Beef demand continues to increase every year even though the price of beef is relatively expensive. Formulations stabilization policy covering the prices of additional supplies at the time of the great religious, imports done merely to meet national shortage of supplies beef and ensure the availability of food -substitutions beef as the availability of chicken meat and eggs, and increases the production of beef in the long run.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PERMINTAAN DAGING SAPI DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP KEBIJAKAN IMPOR

WASI NURSALAMAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor

Nama : Wasi Nursalamah NIM : H14090054

Disetujui oleh

Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah konsumsi daging sapi, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor.

Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis, D.T Supardjan dan Kapiyah atas segala doa,

dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga serta kakak-kakak dan keponakan atas doa, perhatian dan motivasi kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala masukannya yang membangun serta kepercayaan dan kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini. 3. Ibu Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah banyak

memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.

4. Ibu Dewi Ulfah Wardani, M.Si. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang memberikan banyak masukan mengenai penyusunan yang baik.

5. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat berharga dan segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Pola Konsumsi 5

Teori Permintaan 6

Elastisitas 8

Krisis Moneter 9

Swasembada Pangan 10

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis 12

METODE 13

Jenis dan Sumber Data 13

Metode Analisis 13

Model Penelitian 14

Definisi Operasional 14

Prosedur Analisis Data 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Gambaran Umum 17

Model Penduga Konsumsi Daging Sapi 20

Pembahasan 27

Implikasi Kebijakan 29

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

(10)

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 33

(11)

DAFTAR TABEL

1 Indikator utama ekonomi Indonesia tahun 1990-1997 10 2 Penduga parameter model konsumsi daging sapi 21 3 Hasil estimasi menggunakan regresi komponen utama 22

4 Kandungan gizi beberapa jenis bahan makanan 27

DAFTAR GAMBAR

1 Konsumsi rata-rata konsumsi per kapita daging sapi, daging ayam ras,

dan telur ayam ras tahun 2007-2011 1

2 Harga rata-rata per kilogram daging sapi, daging ayam, dan telur tahun

2006-2011 2

3 Kerangka pemikiran 12

4 Konsumsi nasional daging sapi di Indonesia tahun 1982-2011 17 5 Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di Indonesia tahun 1982-2011 18

6 Jumlah penduduk di Indonesia tahun 1982-2011 19

7 Harga daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras di Indonesia

tahun 1982-2011 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Terminologi elastisitas 3

2 Elastisitas harga dan perubahan pembelanjaan konsumen 4

3 Koefisien korelasi antar peubah variabel 5

4 Hasil estimasi menggunakan model OLS 6

5 Tahapan mengatasi masalah multikolinearitas menggunakan RKUError! Bookmark not define

6 Uji kenormalan 42

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Salah satu kebutuhan pangan yaitu kebutuhan protein hewani. Protein hewani dibutuhkan tubuh untuk tumbuh kembang serta nilai gizi yang ada dalam protein hewani sangat baik dan tidak dapat digantikan oleh sumber pangan lain. Oleh sebab itu, kebutuhan protein harus terpenuhi dalam konsumsi pangan sehari-hari.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam bentuk kalori dan protein. Angka kecukupan kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kalori dan 52 gram protein (BPS 2012).

Sumber protein hewani terbagi atas tiga golongan yaitu golongan rendah lemak, lemak sedang dan lemak tinggi. Daging sapi termasuk dalam golongan lemak sedang, kandungan gizi yang terkandung dalam dalam daging sapi lemak sedang untuk setiap 35 gram mengandung 75 Kkal, 7 gram protein, dan 5 gram lemak (Almatsier 2004).

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa salah satu permasalahan penting konsumsi pangan di Indonesia ialah rendahnya konsumsi pangan protein hewani seperti daging (BPS 2012). Daging sebagai sumber protein hewani masih dianggap sebagai barang mewah bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Harga sumber protein hewani, khususnya daging relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan harga sumber protein nabati. Sumber protein hewani meliputi ikan, daging, telur dan susu. Sedangkan sumber protein hewani meliputi kacang-kacangan dan serealia.

Sumber: Data Susenas Badan Pusat Statistik, 2007-2011 (data diolah)

Gambar 1 Konsumsi rata-rata per kapita daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras tahun 2007-2011

0

2007 2008 2009 2010 2011

(14)

2

Terlihat dari Gambar 1, konsumsi rata-rata per kapita setahun daging sapi hanya sebanyak 0.3 hingga 0.4 kilogram per tahunnya. Kondisi ini jauh dibawah konsumsi telur ayam ras yang konsumsinya mencapai 6 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi rata-rata per kapita daging ayam masih sekita 3 kilogram per tahunnya. Hal ini berarti konsumsi per kapita per tahun daging sapi hanya sebesar satu per delapan konsumsi daging ayam ras dan satu per enam belas konsumsi telur ayam. Tingkat konsumsi daging sapi per kapita per tahun masih sangat rendah.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan pendidikan yang semakin baik di Indonesia, maka permintaan dan kebutuhan konsumsi atas komoditas daging sapi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan trend yang meningkat. Walaupun tingkat konsumsi per kapita masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi daging ayam.

Faktor lain yang menyebabkan tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia masih rendah adalah harga daging sapi yang relatif mahal. Harga daging sapi pada tahun 2012 rata-rata Rp 76 925 per kilogram, terbilang mahal bagi sebagian penduduk Indonesia yang berpendapatan rendah. Harga daging ayam sebesar Rp 25 320 pada tahun 2012. Sehingga, tingkat konsumsi daging ayam lebih tinggi daripada tingkat konsumsi daging sapi.

Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (data diolah)

Gambar 2 Harga rata-rata per kilogram daging sapi, ayam ras, dan telur ayam ras Periode 2006 hingga 2011

Harga daging sapi yang disajikan pada Gambar 2 diatas, memperlihatkan

trend harga yang meningkat dari tahun 2006 hingga tahun 2011. Harga daging sapi pada tahun 2006 sebesar Rp 45 952 per kilogramnya dan pada tahun 2011 naik menjadi Rp 69 725 per kilogram. Harga daging ayam dan harga telur juga mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Harga yang relatif mahal itu menyebabkan konsumsi daging sapi terbesar adalah pada saat hari besar keagaaman seperti Lebaran dan Natal. Pada saat

2006 2007 2008 2009 2010 2011

(15)

3 tersebut, konsumsi daging sapi meningkat secara signifikan. Konsumsi daging sapi pada saat hari besar keagamaan dipengaruhi oleh faktor budaya dan kebiasaan yang sudah turun temurun setiap tahunnya.

Pola konsumsi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, gaya hidup, status sosial keluarga, pengaruh lingkungan, dan pendapatan. Pendapatan merupakan salah satu faktor terpenting yang menentukan pola konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin meningkat, dan semakin meningkat pula aksesbilitas terhadap pangan yang berkualitas lebih baik.

Perubahan pola konsumsi penduduk merupakan indikator penting dalam proses pembangunan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah perubahan pendapatan. Rendahnya pendapatan diikuti dengan menurunnya daya beli penduduk secara langsung akan berimplikasi pada sektor lain khususnya sektor produksi, distribusi, dan perdagangan.

Jumlah produksi daging sapi domestik belum mampu memenuhi semua kebutuhan konsumsi dalam negeri. Perlu adanya impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Impor dilakukan agar terjadi keseimbangan antara jumlah penawaran dan permintaan daging sapi dalam negeri. Impor yang dilakukan seharusnya hanya untuk memenuhi kekurangan daging sapi domestik. Sehinga jumlah impor disesuaikan dengan penawaran dan permintaan daging sapi domestik.

Perumusan Masalah

Jumlah permintaan dan penawaran daging sapi di pasar terjadi ketidakseimbangan. Kekurangan supply daging sapi yang terjadi pada Nopember 2012 lalu, menyebabkan harga daging sapi meningkat menjadi Rp 98 000 hingga Rp 105 000 per kilogram. Tingginya harga sapi menyebabkan daya beli masyarakat semakin menurun, secara langsung berpengaruh pada tingkat konsumsinya. Harga yang tinggi ini menyebabkan masalah dilematis yang harus dihadapi yaitu pertama, membiarkan harga daging sapi tetap tinggi agar peternak merasakan dampak positif dari tingginya harga daging sapi tersebut. Kedua, menurunkan harga daging sapi karena tingginya harga daging sapi menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat sehingga konsumsi per kapita daging sapi Indonesia tetap rendah sekitar 2.1 kilogram per kapita per tahun. Faktor-faktor apa yang dapat memengaruhi permintaan daging sapi?

(16)

4

Program swasembada daging sapi (PSDS) yang dicanangkan oleh pemerintah dengan cara menurunkan jumlah impor daging sapi nasional secara bertahap. PSDS dilakukan seiring dengan rencana ASEAN Free Trade Area

(AFTA) yang akan dimulai pada tahun 2015. Untuk menguatkan usaha ternak dalam negeri agar pada saat AFTA tahun 2015 diberlakukan tidak kalah saing dengan produk ternak dari luar negeri. Rencana program swasembada daging sapi ini menyebabkan jumlah sapi dan daging sapi yang di impor turun. Impor yang diperbolehkan sebesar 15 persen dari kebutuhan daging sapi secara nasional atau sekitar 80 000 ton setara dengan daging. Jumlah itu sebanyak 32 000 ton dalam bentuk daging, dalam bentuk sapi bakalan sebanyak 26 700 ekor setara dengan 48 000 ton daging (Harian Detik 2013).

Target pemerintah yang ingin mencapai swasembada daging sapi yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2010 ternyata targetnya mundur menjadi tahun 2014. Mengutip kata-kata dari Profesor Bungaran Saragih yang mengatakan

bahwa “Pemerintah menjerat dirinya sendiri dengan janji yang tidak mungkin dan tidak perlu swasembada daging sapi 2010”. Daging sapi bukanlah komoditi

strategis seperti beras, gula, kedelai, dan jagung. Program swasembada daging sapi dinilai kurang tepat, karena program swasembada daging sapi berarti tidak mengimpor sapi dan daging sapi. Hal itu tidaklah mungkin karena keterbatasan bibit sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Saragih 2010). Kebijakan yang bagaimana yang cocok diterapkan terkait dengan daging sapi?

Dampak yang terjadi yaitu kelangkaan jumlah supply daging sapi di pasar. Kelangkaan daging sapi menyebabkan kenaikan harga daging sapi sejak Nopember 2012 lalu diduga karena adanya kartel pada komoditas daging sapi. Peranan kartel ini menyebabkan harga daging sapi meningkat hingga Rp 98 000 hingga Rp 105 000 per kilogram. Pelaku kartel importir daging sapi ini menyebabkan kelangkaan daging sapi di pasar sehingga harganya menjadi mahal. Kasus kuota impor daging sapi tidak hanya membuat harga daging sapi yang tinggi di pasar. Kisruh daging sapi yang terjadi menjadi semakin melebar, menjadi kasus korupsi yang melibatkan petinggi salah satu partai di Indonesia. Selain itu, modus pencucian uang dengan memberikannya kepada sejumlah wanita.

Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang dijelaskan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan daging sapi di Indonesia

2. Menganalisis peran substitusi permintaan daging sapi di Indonesia

3. Merumuskan implikasi kebijakan terhadap permintaan daging sapi di Indonesia

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

5 Data yang digunakan mencakup data konsumsi daging sapi, harga daging sapi, harga daging ayam, harga telur, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk Indonesia. Data yang dianalisis berupa data tahunan dari tahn 1982 hingga tahun 2011. Untuk menganalisis besarnya konsumsi daging sapi, maka dianalisis pula besarnya respon (elastisitas). Kemudian menganalisis implikasi kebijakan yang terhadap impor daging sapi di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Konsumsi Rumah Tangga

Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga secara garis besar terbagi atas pengeluaran konsumsi untuk bahan pangan dan non-pangan. Pengeluaran konsumsi pangan menurut pencacahan Badan Pusat Statistik (BPS) terdiri atas padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, konsumsi makanan jadi, serta tembakau dan sirih. Sedangkan konsumsi non-pangan terdiri atas pengeluaran konsumsi untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa, pakaian, alas kaki, tutup kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan pesta dan upacara (BPS 2012).

Besarnya pengeluaran konsumsi dapat dilihat melalui besarnya nilai

Marginal Propensity to Consume (MPC). Semakin besar nilai MPC suatu rumah tangga berarti semakin besar proposi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Sehingga jumlah pendapatan yang disimpan atau ditabung menjadi lebih sedikit. Nilai MPC juga menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Semakin besar nilai MPC berarti semakin tidak sejahtera, karena dari total pendapatan yang diterima, sebagaian besar porsi pengeluaran digunakan untuk konsumsi (Lipsey 1995).

Penelitian Priyanto (2003) menyatakan bahwa pola konsumsi penduduk Indonesia bergeser dari konsumsi sumber protein nabati ke sumber protein hewani. Pergeseran pola konsumsi ini salah satunya dipengaruhi oleh pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang meningkat. Pendapatan yang meningkat mengindikasikan meningkatnya daya beli, sehingga pola konsumsi berubah untuk mengkonsumsi sumber protein hewani, salah satunya dengan mengkonsumsi daging sapi.

(18)

6

Teori Permintaan

Hukum permintaan yang dinyatakan dalam cara yang paling sederhana yaitu

“Jika harga tinggi maka jumlah barang yang diminta akan semakin sedikit dengan

asusmsi ceteris paribus, sebaliknya jika harga rendah maka jumlah barang yang diminta akan semakin banyak dengan asumsi ceteris paribus”. Konsekuensi dari hukum permintaan yang berlaku ialah (1) kenaikan harga menyebabkan konsumen mencari barang lain yang digunakan sebagai pengganti (substitusi atau komplemen), sedangkan kebalikannya, apabila terjadi penurunan harga maka jumlah permintaan barang tersebut akan meningkat, dan (2) kenaikan harga akan membuat pendapatan riil seseorang menjadi berkurang, sehingga jumlah barang yang dapat dibeli akan menurun.

Faktor-faktor yang memengaruhi besarnya permintaan yaitu (1) pendapatan riil, (2) selera dan preferensi, (3) harga barang yang berkaitan (barang substitusi dan atau komplemen), (4) perubahan dalam dugaan tentang harga relatif di masa depan, dan (5) jumlah penduduk (Miller 1993).

Besarnya permintaan terhadap komoditi tertentu juga disebabkan oleh sifat dari komoditi tersebut. Apabila komoditi tersebut adalah barang normal, maka dengan meningkatnya pendapatan maka permintaan konsumsi terhadap barang tersebut akan meningkat. Sedangkan, apabila barang tersebut merupakan barang inferior, maka dengan meningkatnya pendapatan menyebabkan barang tersebut cenderung ditinggalkan dan diganti dengan barang lain. Barang giffen merupakan barang yang efek pendapatannya lebih besar jika dibandingkan dengan efek substitusinya. Efek totalnya menjadi positif, sehingga peningkatan harga akan tetap meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut.

Secara umum fungsi permintaan dapat dinyatakan sebagai berikut:

...(2.1)

Dimana:

Q : Jumlah komoditas yang dikonsumsi Y Tingkat pendapatan

: Harga komoditas itu sendiri

: Harga komoditas substitusi atau komplemen S : Selera

U : Faktor-faktor lainnya

(19)

7 menimbulkan turunnya impor daging sapi tetapi tidak menurunkan impor sapi bakalan.

Kondisi krisis moneter berdampak terhadap menurunnya perkembangan usaha feedloter dan berdampak pada pemotongan sapi lokal secara berlebihan. Dummy krisis moneter digunakan karena krisis moneter akan menurunkan konsumsi daging sapi nasional. Hal ini terjadi karena menurunnya daya beli masyarakat akibat depresiasi rupiah yang berdampak pada meningkatnya harga. Kriris moneter juga berdampak pada meningkatnya proporsi jumlah penduduk miskin dan mengakibatkan kesenjangan sosial. Terjadinya depresiasi rupiah menyebabkan harga daging sapi menjadi semakin mahal karena pasokan daging impor yang berkurang sedangkan permintaan daging sapi cenderung tetap, dengan asumsi konsumen adalah golongan menengah dan menengah ke atas.

Konsumsi daging nasional dipengaruhi dan responsif terhadap laju peningkatan populasi penduduk. Produk substitusi yaitu daging ayam bersifat kompetitif terhadap daging sapi. Faktor pendapatan bersifat negatif terhadap konsumsi daging sapi, yaitu kenaikan pendapatan per kapita maka akan menurunkan konsumsi daging sapi. Faktor krisis dan harga daging domestik berdampak pada penurunan konsumsi daging sapi nasional. Konsumsi daging sapi nasional dalam penelitian ini menggunakan faktor-faktor harga riil daging sapi domestik, harga riil daging ayam, pendapatan per kapita, populasi penduduk, dummy krisis, dan lag konsumsi daging sapi nasional.

Hadiwijoyo (2009) mengenai analisis permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia menyatakan bahwa permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga daging domestik, harga ikan, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk. Dari hasil uji ekonometrika menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) didapatkan hasil bahwa harga daging domestik bersifat negatif terhadap permintaan daging sapi, sesuai teori permintaan bahwa harga barang itu sendiri bersifat negatif terhadap permintaannya. Apabila terjadi kenaikan harga daging sapi maka permintaan daging sapi akan mengalami penurunan. Dengan nilai elasisitas kurang dari satu, maka harga terhadap permintaan daging sapi bersifat inelastis. Sedangkan variabel lain seperti harga ikan, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk bertanda positif terhadap permintan daging sapi. nilai elastisitas harga ikan dan pendapatan per kapita terhadap permintaan daging sapi bersifat inelastis dengan nilai elastisitas masing-masing 0.195 dan 0.42.

Ilham (2001) menyatakan bahwa permintaan daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi harga ikan, dan respon terhadap perubahan harga daging. Dikatakan bahwa daging sapi masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Keputusan untuk mengonsumsi daging sapi tidak hanya ditentukan oleh harga dan pendapatan, faktor kualitatif lain seperti tingkat pendidikan dan aksesbilitas terhadap fasilitas sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap banyaknya permintaan daging sapi di Indonesia.

(20)

8

harga kentang. Efek pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan efek substitusinya. Sekalipun efek substitusi dapat mengurangi konsumsi, tetapi kenaikan harga kentang akan tetap meningkatkan konsumsi kentang. Efek pendapatan yang kuat ini membuat keseluruhan dari kenaikan harga kentang bersifat positif. Hal ini yang dikenal sebagai Paradoks Giffen (Nicholson 1991).

Elastisitas

Elastisitas merupakan besaran yang menunjukkan derajat kepekaan suatu barang yang diukur dari perubahan suatu variabel yang diakibatkan oleh perubahan variabel lain. Secara umum elastisitas dinyatakan sebagai berikut:

⁄ ⁄

...(2.2)

1) Elastisitas harga permintaan

Elastisitas harga terhadap permintaan merupakan sebuah konsep yang menghubungkan perubahan kuantitas pembelian atau permintaan optimal atas suatu komoditi dengan perubahan harga relatifnya. Koefisien elastisitas harga permintaan adalah perubahan persentase kuantitas yang diminta atas suatu barang dibagi dengan perubahan harga atas barang tersebut.

...(2.3)

2) Elastisitas Pendapatan Pemintaan

Elastisitas pendapatan permintaan merupakan konsep terhadap besarnya perubahan jumlah barang yang diminta terhadap besarnya pendapatan. Secara umum dinyatakan sebagai berikut:

...(2.4)

3) Elastisitas Harga Silang

Elastisitas harga silang didefinisikan sebagai berikut:

(21)

9 Apabila nilai elastisitas silang lebih besar dari nol (฀ ) artinya antara barang X dan barang Y merupakan barang substitusi. Sedangkan, bila nilai elastisitas silang kurang dari nol (฀ ) artinya barang X dan barang Y merupakan barang komplemen.

Penelitian yang dilakukan oleh Hadiwijoyo (2009) memperlihatkan besarnya nilai elastisitas harga ikan terhadap permintaan daging sapi domestik sebesar -0.39. Artinya, bahwa permintaan daging sapi bersifat inelastis terhadap perubahan harga ikan. Perubahan jumlah yang permintaan daging sapi lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase perubahan harga ikan. Faktor lain yang diteliti oleh Hadiwijoyo (2009) yaitu pendapatan per kapita dan jumlah penduduk juga bersifat inelastis, dengan nilai elatisitanya masing-masing sebesar 0.195 dan 0.42.

Pada penelitian Priyanto (2003), nilai elastisitas dari faktor-faktor yang diteliti terhadap konsumsi daging sapi nasional yaitu harga riil daging sapi 0.5882; harga riil daging ayam 0.2340; pendapatan per kapita 0.2030; populasi penduduk 0.0431. Nilai elastisitas daring masing-masing variabel bernilai kurang dari satu, artinya elastisitasnya bersifat inelastis. Maka perubahan jumlah yang diminta untuk konsumsi daging sapi nasional lebih kecil jika dibandingkan dengan masing-masing variabel yang diteliti.

Penelitian Ilham (2001) yang membahas mengenai permintaan daging sapi nilai elastisitas harga daging sapi terhadap permintaan daging sapi sebesar -1.0546 pada jangka pendek dan -1.3851 pada jangka panjang. Nilai elastisitas produk substitusinya, yaitu harga ikan terhadap permintaan daging sapi sebesar 0.569 pada jangka pendek dan 0.7380 pada jangka panjang.

Krisis Moneter

Sebelum terjadi krisis moneter pada tahun 1998, fundamental ekonomi Indonesia dinilai cukup kuat. Dinilai dari pertumbuhan ekonomi yang meningkat, laju inflasi yang terkendali, pengangguran yang menurun, surplus neraca pembayaran walaupun neraca berjalan defisit tetapi masih terkendali, cadangan devisa yang cukup banyak, dan realisasi anggaran pemerintah yang menunjukkan sedikit surplus.

(22)

10

Tabel 1 Indikator utama ekonomi Indonesia tahun 1990-1997

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 Cadangan devisa akhir

tahun (US$ juta)

Sumber: Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, World Bank

Krisis moneter yang berawal dari krisis di Thailand kemudian menyebar ke beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Krisis moneter ini menyebabkan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan utang luar negeri yang jatuh tempo beserta bunga pinjamannya. Nilai rupiah yang terdepresiasi menyebabkan utang luar negeri Indonesia semakin besar jika dirupiahkan. Cadangan devisa yang semakin sedikit menyebabkan Indonesia semakin terpuruk. Pinjaman yang diajukan pemerintah kepada IMF tertunda pencairan dananya karena Indonesia dinilai tidak melakukan 50 butir kesepakatan yang diajukan IMF.

Selain kodisi tersebut, krisis moneter 1998 diperparah oleh kondisi dalam negeri yang tidak kondusif. Dituntutnya Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya, serta tuntutan adanya reformasi. Demo besar-besaran terjadi di beberapa kota di Indonesia untuk menggulingkan era orde baru. Kerusuhan besar terjadi dimana-mana menuntut adanya perubahan yang lebih baik.

Swasembada Pangan

(23)

11

Kerangka Pikir Ilmiah

Permintaan daging sapi di Indonesia diproksi dengan besarnya konsumsi daging sapi di Indonesia. Belum mampunya Indonesia memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan Indonesia harus mengimpor sapi dan daging sapi. Akan tetapi, kebijakan pemerintah yang mencanangkan kemandirian pangan dengan menerapkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) menimbulkan masalah. Konsekuensi dari PSDS ini ialah pemerintah secara kontinu menurunkan jumlah sapi dan daging sapi impor.

Belum mampunya Indonesia menyediakan kebutuhan domestiknya mengakibatkan kelangkaan suplai daging sapi di pasar. Kelangkaan suplai daging sapi ini menyebabkan harga daging sapi yang mahal. Harga yang mahal ini dapat menurunkan daya beli masyarakat yang relatif berpenghasilan rendah. Selain karena PSDS, kelangkaan suplai daging sapi diduga karena adanya peranan kartel dan unsur politis.

Suatu kebijakan dikatakan berhasil apabila tujuan dari diberlakukannya kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai rencana. Tujuan dari kebijakan PSDS ialah menyejahterakan peternak lokal dengan proteksi impor yang dilakukan oleh pemerintah serta mengurangi ketergantungan daging impor. Apabila kebijakan tersebut dapat menyejahterakan peternak lokal, maka kebijakan tersebut dapat dikatakan berhasil.

Pemerintah juga tidak boleh melupakan kepentingan masyarakat sebagai konsumen daging sapi. Jika untuk menyejahterakan peternak lokal membuat harga daging sapi mahal, diluar kemampuan daya beli konsumen, maka kebijakan tersebut patut dipertanyakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka pemerintah dikatakan gagal dalam menerapkan kebijakan. Pemerintah harus menyeimbangkan antara kepentingan peternak lokal dan kebutuhan konsumen.

Daging sapi yang disuplai dapat mencukupi kebutuhan pasar dengan harga yang terjangkau. Pemerintah juga harus memperhatikan ketersediaan produk substitusi, karena pada saat daya beli masyarakat menurun terhadap produk daging sapi maka akan beralih mengonsumsi produk substitusinya. Produk substitusi yang dianalisis dalam penelitian ini ialah daging ayam dan telur.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya permintaan daging sapi dan besarnya peranan barang substitusi maka dilakukan analisis ekonometrika menggunakan regresi linear berganda. Analisis menggunakan regresi linear berganda ternyata terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas. Pelanggaran asumsi multikolinearitas mengakibatkan hasil yang tidak valid dan menghasilkan penduga koefisien regresi yang tidak stabil. Untuk mengatasi masalah multikolinearitas, maka dalam penelitian ini menggunakan Regresi Komponen Utama (RKU).

(24)

12

Gambar 3 Kerangka pemikiran

Hipotesis

1. Pola konsumsi daging sapi diduga dipengaruhi oleh tingkatan pendapatan, harga daging sapi, harga produk substitusinya, dan jumlah penduduk.

Permintaan daging sapi nasional Kebutuhan untuk

memenuhi sumber protein

hewani

Suplai daging sapi domestik Suplai daging sapi impor

Kebijakan swasembada daging sapi sehingga menurunkan kuota impor daging sapi

Terjadi kelangkaan suplai daging sapi di pasar

Harga daging sapi menjadi mahal

Produksi daging sapi yang masih bertumpu pada usaha peternakan rakyat

Data statistik mengenai jumlah populasi sapi menjadi kurang akurat

Terjadi gap antara jumlah populasi sapi dan sapi yang siap potong

Harga daging sapi Harga barang substitusi Jumlah penduduk Pendapatan

Perlu adanya kebijakan yang relevan

 Melakukan substitusi ke konsumsi daging ayam dan telur atau tetap melakukan impor daging sapi untuk memenuhi permintaan domestik  Sejauh mana peran substitusi sebagai buffer penyuplai kebutuhan protein

hewani Siapa

(25)

13 2. GDP per kapita diduga bertanda positif terhadap konsumsi daging sapi, apabila GDP per kapita naik maka diduga porsi pengeluaran untuk konsumsi daging sapi akan meningkat.

3. Jumlah penduduk diduga bertanda positif terhadap konsumsi daging sapi, semakin banyak jumlah penduduk Indonesia maka diduga akan meningkatkan konsumsi daging sapi.

4. Konsumsi daging sapi diduga bertanda negatif terhadap harga daging sapi. Artinya, apabila terjadi kenaikan harga daging sapi maka konsumsi daging sapi akan menurun.

5. Konsumsi daging sapi diduga bertanda positif terhadap harga substitusi (harga daging ayam ras, harga telur ayam ras). Artinya, apabila terjadi penurunan harga substitusinya maka konsumsi daging sapi akan mengalami penurunan.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari institusi terkait dengan judul penelitian. Data didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Sistem Informasi Departemen Pertanian (Pusdatin Deptan), dan Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjen Peternakan), serta literatur lain yang mendukung penelitian ini.

Data yang digunakan berupa data deret waktu (time series) dari tahun 1982 hingga 2011. Data yang dimaksud meliputi data konsumsi daging sapi nasional, harga daging sapi (HDS), harga daging ayam ras (HDA), harga telur ayam ras (HT), jumlah populasi penduduk Indonesia (JPI), dan pendapatan perkapita nasional (PND). Data kemudian diolah menggunakan software Minitab 15 dan program Microsoft Excel 2010.

Penelitian mengenai “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan

Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor” di Indonesia,

dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2013.

Metode Analisis

Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode regresi linear berganda atau ordinary least square (OLS). Metode ini dikemukakan oleh Francis Galton yang mengatakan bahwa analisis regresi diartikan sebagai suatu analisis tentang ketergantungan suatu variabel terhadap variabel lain (yaitu variabel bebas). Estimasi atau prediksi dari nilai rata-rata variabel tergantung dengan diketahuinya nilai variabel bebas (Lains 2003).

(26)

14

berbias, dan dapat diestimasi. Atau dikenal dengan best, linear, unbaised, estimator (BLUE). Penaksir OLS mempunyai sifat:

1. dan merupakan penaksir linear; dalam hal ini kedua penaksir tersebut merupakan fungsi linear dari variabel acak .

2. Kedua penaksir tersebut tidak bias; dalam hal ini, dan

. Oleh karena itu, dalam penerapan yang dilakukan secara berulang-ulang, secara rata-rata dan akan tepat dan sama dengan masing-masing nilai dan .

3. ̂ ; dalam hal ini, varians kesalahan dari penaksir OLS tidak bias. Dalam penerapan yang dilakukan secara berulang-ulang, secara nilai taksiran dari varians kesalahan akan tepat sama dengan nilai varians yang sebenarnya.

4. merupakan penaksir yang efisien; dalam hal ini, lebih kecil daripada varians penaksir tak bias linear lainnya untuk , dan

lebih kecil daripada varians penaksir tak bias linear lainnya untuk . Oleh karena itu, kita akan mampu menaksir dan yang sebenarnya secara lebih tepat jika kita menggunakan OLS daripada metode lainnya yang juga memberikan penaksir tak bias linear dari parameter yang sebenarnya.

Model Penelitian

Keterangan:

Konsumsi daging sapi nasional (Ton)

Harga rata-rata daging sapi nasional (Rupiah per Kg)

Harga rata-rata daging ayam ras nasional (Rupiah per Kg) HT Harga rata-rata telur ayam ras nasional (Rupiah per Kg) GDP GDP nasional (Rupiah)

Dummy krisis

Jumlah penduduk Indonesia (Jiwa)

Dummy krisis moneter (0 untuk sebelum tahun 1998; 1 untuk setelah tahun 1998)

parameter yang akan diuji

Error term

Elastisitas harga dan elastisitas pendapatan pada model tersebut adalah sebagai berikut:

Definisi Operasional

(27)

15 negeri maupun yang berasal dari impor. Satuan konsumsi daging sapi adalah ton.

2. Harga daging sapi merupakan harga rata-rata nasional daging sapi. Satuan harga daging sapi adalah rupiah.

3. Harga daging ayam merupakan harga rata-rata nasional daging ayam ras atau broiler. Terpilihnya daging ayam ras karena daging ayam ras yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Satuan harga daging ayam adalah rupiah.

4. Harga telur merupakan harga rata-rata nasional telur ayam ras. Terpilihnya telur ayam ras karena telur ayam ras merupakan produk yang umum digunakan oleh penduduk Indonesia untuk dikonsumsi. Satuan harga telur adalah rupiah.

5. Pendapatan merupakan pendapatan yang berasal dari produk domestik bruto (PDB) nasional Indonesia. Karena PDB nasional menggambarkan pendapatan nasional yang mewakili semua sektor. Satuan dari pendapatan adalah rupiah. 6. Jumlah penduduk Indonesia merupakan total penduduk Indonesia dari semua

provinsi di Indonesia. Satuan dari jumlah penduduk adalah jiwa.

Prosedur Analisis Data

Pengujian Statistik

Uji Koefisien Determinan ( )

Koefisien determinasi ( ) digunakan untuk mengukur ukuran kesesuaian

(goodness of fit) secara keseluruhan dari suatu model. menunjukkan besarnya kecocokan antara garis regresi yang ditaksir terhadap nilai Y yang sebenarnya (Gujarati 2007). dihitung untuk menjelaskan berapa persen keragaman Y dapat dijelaskan oleh model tersebut. Nilai berkisar dari nol sampai satu ( 0 ≤ ≤ 1 ). Sehingga garis regresi yang mendekati satu dapat meramalkan Y mendekati sempurna. Sedangkan jika bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara X dan Y atau model yang terbentuk tidak tepat untuk meramalkan Y.

Uji F

Uji F digunakan untuk menguji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersama-sama. Jika model signifikan dapat menjelaskan atau memprediksi keragaman variabel dependent (Y). Pengujian ini menggunakan hipotesa sebagai berikut:

H0 : b1=b2=....=bn=0

H1: minimal ada satu b yang ≠ 0

Apabila dengan asumsi tolak H0 berarti variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependen, begitu juga dengan sebaliknya. Tolak H0 jika Fhit > Fα (k,n-k-1) dengan kata lain paling tidak terdapat satu variabel independen yang signifikan dan berpengaruh terhadap variabel dependen secara statistik. Terima H0 jika Fhit < Fα (k,n-k-1) dengan kata lain tidak ada satu pun variabel independen yang signifikan dan berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

(28)

16

Uji-t digunakan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Y). Tolak H0 jika | thitung | > ttabel, artinya, secara statistik sudah dapat membuktikan bahwa variabel X berpengaruh nyata terhadap Y. Sebaliknya, apabila terima H0 jika | thitung | < ttabel, artinya, secara statistik belum dapat membuktikan bahwa variabel X berpengaruh nyata terhadap Y.

Uji Ekonometrika

Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat error term terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini dapat dilihat melalui Jarque-Bera Test (J-B) atau melihat plot sisaan yang pengujiannya pada error term yang harus terdistribusi secara normal. Kriteria uji yang digunakan adalah:

a. Jika nilai probabilitas pada (J-B) > taraf nyata α, maka error term dalam model yang digunakan terdistribusi secara normal.

b. Jika nilai probabilitas pada (J-B) < taraf nyata α, maka error term dalam model yang digunakan tidak terdistribusi secara normal.

Multikoliniearitas

Multikoliniearitas menunjukan adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua varibael yang menjelaskan dari model regresi. Indikasi adanya multikoliniearitas adalah sebagai berikut:

1. Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan.

2. R-squared-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada yang nyata.

3. Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (rij tinggi).

4. R2 lebih kecil dari rij2 menunjukkan adanya masalah multikoliniearitas. 5. Nilai VIF lebih besar dari sepuluh.

Multikolinearitas dapat diatasi dengan cara: 1) membuang peubah bebas yang mempunyai multikolinearitas tinggi terhadap peubah bebas lainnya, 2) menambah data pengamatan, 3) menggunakan regresi komponen utama (RKU).

Autokorelasi

Autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel. Autokorelasi juga bisa melihat adanya korelasi error masa yang lalu dan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan di software Minitab dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (Uji-DW). Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai DW statistiknya dengan nilai DW tabelnya.

Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi jika asumsi dasar metode OLS berbentuk

( ) untuk i = j tidak terpenuhi. Dengan dilanggarnya asumsi

(29)

17 beberapa variabel independen terabaikan dan tidak masuk ke dalam model (Lains 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Konsumsi

Konsumsi daging sapi di Indonesia sejak tahun 1982 hingga tahun 2011 memiliki trend yang positif. Tingkat konsumsi daging sapi cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya walaupun berfluktuasi. Pada tahun 1985 terjadi peningkatan konsumsi yang signifikan dari tahun sebelumnya, konsumsinya mencapai 243 417 ton. Meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1984, yaitu sebesar 127 865 ton.

Sumber: Direktorat Jenderal Perternakan (Ditjen Peternakan)

Gambar 4 Konsumsi nasional daging sapi di Indonesia tahun 1982-2011 Meningkatnya jumlah konsumsi daging sapi di Indonesia selain karena faktor meningkatnya pendapatan dan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia tetapi juga faktor gaya hidup dan meningkatnya kesadaran gizi. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, daging memiliki nilai gizi yang baik untuk tubuh yang tidak didapatkan dari sumber protein nabati.

Menurut Setiabudi et al., ada beberapa hal yang memengaruhi pola konsumsi produk peternakan, yaitu 1) tingkat perbedaan karakteristik individu yang meliputi tingkat pendapatan, pengalaman, gaya hidup, dan komunitas pergaulan, 2) pengaruh eksternal yang meliputi status sosial keluarga didalam masyarakat, latar belakang budaya dan kebiasaan, 3) pengaruh lingkungan, 4) komersialisasi dalam bentuk kampanye atau promosi iklan, serta 5) pengaruh

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000

1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011

K

o

n

su

m

si

N

asi

o

n

al

(To

n

)

(30)

18

image yang melekat pada poduk makanan itu sendiri, yaitu kebersihan, kesehatan, penampilan, kandungan gizi, harga, kemudahan diperoleh.

Produk Domestik Bruto (PDB)

PDB yang digunakan pada data ini karena PDB nasional merupakan generalisasi pendapatan nasional. Pendapatan cenderung secara konstan mengalami peningkatan sehingga memiliki trend yang meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi, PDB mengalami penurunan pada tahun 1998 karena pada tahun tersebut Indonesia sedang mengalami krisis moneter sehingga memengaruhi besarnya PDB.

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2012

Gambar 5 Produk domestik bruto (PDB) Indonesia Tahun 1982-2011 PDB yang cenderung meningkat setiap tahunnya memiliki arti bahwa meningkatkan daya beli masyarakat terhadap suatu produk, termasuk juga produk daging sapi. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka daya belinya akan meningkat untuk membeli daging sapi. Sehingga, permintaan daging sapi akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan.

Jumlah Penduduk

Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki penduduk yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa. Jumlah penduduk yang sangat banyak ini turut meningkatkan permintaan daging sapi. Setiap tahunnya jumlah penduduk meningkat, berarti permintaan daging sapi setiap tahunnya juga ikut meningkat.

Saat ini konsumsi daging sapi per kapita sebanyak 2.1 kilogram per kapita per tahun maka kebutuhan daging sapi sebanyak 525 000 ton. Dan jika jumlah penduduk meningkat, maka jumlah permintaan daging sapi juga akan meningkat. Konsumsi per kapita akan meningkat seiring dengan perubahan pendapatan,

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000

PD

B

(

R

u

p

iah

)

(31)

19 kesadaran mengonsumsi daging sapi, selera, dan sebagainya sehingga permintaan daging sapi juga akan meningkat.

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2012

Gambar 6 Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 1982-2011

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 243 juta jiwa meningkat tajam dari tahun 1982 yang berjumlah 158 juta jiwa. Berarti sejak tahun 1982 hingga tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia bertambah sekitar 85 juta jiwa. Pertambahan penduduk di Indonesia akan meningkatkan tingkat konsumsi, baik konsumsi makanan maupun bukan makanan. Semakin banyak jumlah penduduk, maka permintaan untuk konsumsi akan bertambah. Begitu juga untuk konsumsi daging sapi, setiap tahunnya mengalami peningkatan. Rata-rata perubahan konsumsi daging sapi 5.48 persen sedangkan rata-rata perubahan penduduk Indonesia 1.56 persen. Laju pertumbuhan tingkat konsumsi daging sapi lebih besar jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk.

Harga

Harga merupakan faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan rumah tangga untuk membeli suatu barang. Dalam penelitian ini, harga daging sapi, dan harga daging ayam, dan harga telur memiliki pengaruh terhadap konsumsi daging sapi. Respon dari perubahan harga (elastisitas) akan berpengaruh pada jumlah permintaan daging sapi. Harga yang semakin elastis maka perubahan yang jumlah permintaannya akan lebih besar daripada perubahan harganya.

Harga bersifat relatif, tergantung dari pendapatan seseorang. Bagi sebagian orang yang memiliki pendapatan tinggi,maka kenaikan harga daging sapi tidak akan memengaruhi pembelian daging sapi. Bagi yang berpendapatan relatif rendah, maka kenaikan harga daging sapi akan sangat memengaruhi konsumsi daging sapi. Mengurangi konsumsi daging sapi atau membeli produk substitusinya (seperti daging ayam dan telur) merupakan pilihannya. Atau bahkan

0 50000000 100000000 150000000 200000000 250000000 300000000

Ju

m

lah

Pe

n

d

u

d

u

k

(ji

wa)

(32)

20

untuk yang berpendapatan sangat rendah terpaksa hanya bisa mengonsumsi sumber protein nabati saja.

Sumber: Direktorat Jenderal Perternakan dan BPS, 2012 (data diolah)

Gambar 7 Harga rata-rata daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras per kilogram per tahun di Indonesia Tahun 1982-2011

Harga masing-masing komoditi mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan terjadi cukup signifikan pasca adanya krisis moneter pada tahun 1998. Dapat dilihat dari Gambar 7, kenaikan yang signifikan terjadi pada harga daging sapi. Persentase kenaikan harga sejak tahun 1982 hingga 2011 yaitu daging sapi sebesar 12.79 persen, daging ayam sebesar 10.97 persen, dan telur sebesar 10.72 persen. Pada masa sebelum terjadi krisis, kenaikan harga daging sapi, daging ayam, dan telur berturut-turut adalah 10.88 pesen, 7.28 persen, dan 7.26 persen. Sedangkan, pasca adanya krisis ekonomi tahun 1998, persentase kenaikan harga daging sapi, daging ayam, dan telur berturut-turut adalah 14.71 persen, 14.65 persen, dan 14.18 persen.

Model Penduga Konsumsi Daging Sapi

Model ekonometrika dalam penelitian ini menggunakan model regresi linear berganda (Ordinary Least Square/OLS) pada software Minitab 16 dan

Microsoft Excel 2010. Untuk memenuhi asusmsi-asusmsi pada model ekonometrika, maka dilakukakan uji terhadap model tersebut. Uji yang dilakukan uji kriteria statistik yang meliputi uji koefisien determinasi (R2), uji F, dan uji-t. Uji kriteria ekonometrika yang meliputi uji normalitas, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas. Kemudian uji kriteria ekonomi yang disesuaikan dengan teori ekonomi yang berlaku serta uji elastisitas.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000

R

u

p

iah

p

r k

il

o

g

ram

Tahun

HDS

HDA

(33)

21 Tabel 2 Penduga parameter model konsumsi daging sapi

Variabel Koefisien SE Koefisien T P VIF

Pendugaan mengunakan metode regresi linear berganda ternyata menghasilkan penduga yang melanggar salah satu asumsi, yaitu terjadi masalah multikolinearitas. Terlihat bahwa nilai VIF lebih besar dari sepuluh untuk seluruh variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Nilai VIF bervariasi di tiap variabel yang diteliti, nilai VIF yang tertinggi yaitu pada variabel jumlah penduduk Indonesia sebesar 283.359 dan yang terendah yaitu variabel dummy krisis moneter sebesar 39.369.

Multikolinearitas terjadi akibat adanya korelasi yang tinggi diantara peubah bebasnya. Multikolinearitas menyebabkan koefisien-koefisien regresi dugaan memiliki ragam yang sangat besar, implikasi statistik yang didefinisikan sebagai rasio antara koefisien regresi dan simpangan bakunya menjadi lebih kecil yang berakibat pada pengujian koefisien akan cenderung menerima H0 sehingga koefisien-koefisien regresi tidak nyata, yang pada akhirnya seingkali persamaan regresi yang dihasilkan menjadi misleading.

Salah satu cara mendeteksi multikolinearitas adalah dengan faktor inflasi ragam Variance Inflation Factor (VIF), yaitu pengukuran multikolinearitas untuk peubah bebas ke-i. VIF adalah suatu faktor yang mengukur seberapa besar kenaikan ragam dari koefisien penduga regresi dibandingkan dengan peubah bebas orthogonal jika dihubungkan secara linear. Nilai VIF akan semakin besar jika terdapat korelasi yang semakin besar diantara peubah-peubah bebas. VIF yang lebih besar dari sepuluh bisa digunakan sebagai petunjuk adanya kolinearitas. Hubungan antara VIF dan kolinearitas adalah

.

(34)

22

Analisis komponen utama pada dasarnya mentransformasikan peubah-peubah bebas yang berkorelasi menjadi peubah-peubah-peubah-peubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi. Analisis ini bertujuan untuk menyederhanakan peubah-peubah yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi diantara peubah melalui transformasi peubah asal ke peubah baru (komponen utama) yang tidak berkorelasi.

Reduksi ini dilakukan terhadap komponen utama yang mempunyai akar ciri terkeci atau akar ciri yang nilainya kurang dari satu. Dengan teknk ini peubah yang cukup banyak akan diganti dengan peubah yang jumlahnya lebih sedkit tanpa diiringi dengan hilangnya obyektifitas analisis. Secara teori, jika semua komponen utama tetap dalam model regresi, maka yang terjadi hanyalah ransformasi berupa rotasi peubah bebas, sehingga koefisien regresi tidak berubah.

Apabila peubah yang diamati mempunyai satuan pengukuran berbeda, perlu dibakukan. Dalam hal ini komponen utama diturunkan dari matriks korelasi R. Matriks peragam sigma digunakan apabila semua peubah yang diamati, diukur dalam satuan pengukuran yang sama. Ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam analisis regresi komponen utama adalah 1) membakukan peubah bebas asal yaitu X menjadi Z, 2) mencari akar ciri dan vektor ciri matriks R, 3) menentukan persamaan komponen utama dari vektor ciri, 4) meregresikan peubah respon Y terhadap skor komponen utama W, dan 5) transformasi balik (Lampiran 5).

Tabel 3 Hasil estimasi menggunakan regresi komponen utama

Variabel Koefisien Varians t-hitung t-tabel Ket HDS

Keterangan: signifikan pada taraf nyata 5%

Setelah menggunakan regresi komponen utama, maka hasil estimasi pendugaan model menjadi baik. Nilai koefisien determinasi (R2) 71.7 persen dan nilai Adjusted R2 sebesar 70.7 persen. Artinya, sebesar 71.7 persen konsumsi daging sapi di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel dalam model penduga. Sedangkan, sebesar 28.3 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang berada diluar model penduga. Misalnya dipengaruhi oleh selera dan gaya hidup yang tidak dapat dijabarkan secara kuantitatif.

(35)

23 penduduk, dan dummy krisis moneter berpengaruh signifikan terhadap konsumsi daging sapi di Indonesia.

Uji ekonomerika digunakan untuk mengetahui apabila terjadi pelanggaran asumsi dalam model yang digunakan. Uji tersebut meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.

Uji normalitas yang dilakukan pada data model penduga konsumsi daging sapi menunjukkan tidak terjadi pelanggaran asumsi normalitas. Nilai-p sebesar 0.091 lebih besar dari nilai alpha 5 persen, sehingga terima H0 artinya residual menyebar secara normal (Lampiran 6).

Uji Homoskedastisitas yang dilakukan pada data model konsumsi daging sapi tidak menunjukkan adanya pelanggaran asumsi ekonometrika. Setelah melakukan uji, hasil yang didapatkan menunjukkan nilai-p sebesar 0.308 yang bebrati nilai-p lebih besar dibandingkan dengan nilai alpha 5 persen, sehingga terima H0 yang brarti data bersifat homoskedastisitas (Lampiran 7).

Uji multikolinearitas yang dilakukan menujukkan adanya pelanggaran asumsi ekonometrika pada data. Dapat dilihat dari nilai VIF, variabel harga daging sapi, harga daging ayam, harga telur, dan pendapatan nilai VIF-nya lebih besar dari sepuluh (Tabel 1). Hanya variabel jumlah penduduk yang nilai VIF-nya lebih kecil dari sepuluh. Sehingga perlu dilakukan regresi komponen utama untuk menghilangkan multikolinearitas pada model (Lampiran 4).

Uji ekonomi digunakan untuk menyesuaikan model penduga dengan teori ekonomi yang berlaku. Uji ekonomi ini diberlakukan untuk setiap variabel independen terhadap variabel dependennya. Hubungannya dijelaskan berupa tanda positif atau negatif tergantung dari hubungan masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya.

Harga Daging Sapi (HDS)

Pada Tabel 3, diketahui bahwa tanda untuk variabel harga daging sapi (HDS) terhadap konsumsi daging sapi positif. Hal ini tidak bersesuaian dengan teori ekonomi yang berlaku, bahwa harga barang X akan berpengaruh negatif terhadap tingkat konsumsinya. Seharusnya, bila terjadi kenaikan harga daging sapi maka akan menyebabkan konsumsi daging sapi menurun. Pada penelitian ini hal tersebut tidak berlaku, diketahui dari data diatas bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia pada tahun 1982 hingga tahun 2011 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sehingga nilai korelasi antara harga daging sapi dan konsumsinya sebesar 0.846.

Nilai koefisien HDS terhadap konsumsi daging sapi sebesar 0.036. Sehingga, apabila terjadi kenaikan HDS sebesar 10 persen maka akan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi sebesar 0.36 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Nilai koefisien sebesar 0.036 (0<Ep<1) artinya HDS bersifat inelastis. Dengan kata lain, jumlah yang diminta untuk konsumsi daging sapi akan lebih kecil dibandingkan dengan persentase perubahan harga daging sapi (lampiran 1).

(36)

24

memengaruhi permintaan karena hal tersebut merupakan tradisi penduduk Indonesia.

Menurut Ilham dalam tulisannya yang dimuat dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner tahun 2001 mengatakan bahwa harga daging sapi berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap konsumi daging sapi. Nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar -1.05 dan -1.39. Nilai elastisitasnya mendekati satu, sehingga disimpulkan bahwa daging sapi masih merupakan barang mewah bagi sebagian masyarakat Indonesia yang dikonsumsi hanya pada waktu-waktu tertentu saja.

Dalam penelitian ini hubungan antara konsumsi dan harga daging sapi bernilai positif, berlawanan dengan teori ekonomi yang berlaku. Ekonom Inggris yang bernama Robert Giffen mengamati suatu paradoks yang terjadi di Irlandia pada abad ke 19. Giffen mengamati fenomena harga kentang yang meningkat di Irlandia, tetapi konsumsi kentang di sana meningkat. Padahal sebagaimana teori permintaan yang dikemukakan oleh berbagai ekonom menyatakan bahwa jika harga barang X meningkat maka permintaan terhadap barang X akan menurun. Hasil dari fenomena ini dapat dijelaskan dengan melihat efek pendapatan terhadap perbahan harga kentang. Efek pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan efek substitusinya. Sekalipun efek substitusi dapat mengurangi konsumsi, tetapi kenaikan harga kentang akan tetap meningkatkan konsumsi kentang. Efek pendapatan yang kuat ini membuat keseluruhan dari kenaikan harga kentang bersifat positif. Hal ini yang dikenal sebagai Paradoks Giffen.

Serupa dengan hasil penelitian ini, harga daging sapi yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya tetap membuat konsumsi daging sapi mengalami peningkatan. koefisien harga daging sapi terhadap konsumsi daging sapi bertanda posiitif, artinya kenaikan harga daging sapi akan tetap meningkatkan konsumsi daging sapi. Daging sapi merupakan barang giffen, sehingga efek pendapatan lebih besar daripada efek substitusinya.

Selain itu, fenomena konsumsi daging sapi di Indonesia diduga karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian besar masyarakat. Mulai sadarnya terhadap nilai gizi yang dikandung dalam daging sapi yang tidak dimiliki oleh sumber protein lainnya pun berpengaruh. Kebutuhan untuk acara-acara kegamaan atau perayaan pesta turut mendorong tingkat permintaan daging sapi untuk di konsumsi. Sehingga kenaikan harga daging sapi tidak mempengaruhi jumlah konsumsinya, atau dengan kata lain jumlah konsumsi berpengaruh relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan harga.

Munculnya berbagai macam produk olahan yang terbuat dari daging sapi semakin banyak ditemui di pasar, seperti kornet, abon sapi, sosis, dan makanan makanan yang disajikan di restoran dengan berbagai menu olahan daging sapi. Hal tersebut turut mendorong jumlah permintaan daging sapi setiap tahunnya.

Harga Daging Ayam Ras (HDA)

(37)

25 Dengan kata lain, jumlah yang diminta untuk konsumsi daging sapi akan lebih kecil dibandingkan dengan persentase perubahan harga daging sapi (lampiran 1).

Daging sapi dan daging ayam merupakan barang substitusi. Keduanya memiliki persaingan yang sangat kompetitif di pasar. Menurut penelitian Priyanto (2003), bahwa daging sapi dan daging ayam merupakan kriteria barang kompetitif. Sehingga, konsumen cenderung akan mengonsumsi komoditas daging tersebut dengan pertimbangan harga.

Nilai koefisien variabel harga daging ayam ras (HDA) berdasarkan tabel diatas positif terhadap konsumsi daging sapi. Hal ini bersesuaian dengan teori ekonomi, bahwa harga barang substitusi (harga daging ayam ras) berpengaruh positif terhadap besarnya konsumsi daging sapi.

Harga Telur Ayam Ras (HT)

Nilai koefisien HT terhadap konsumsi daging sapi sebesar 0.045. Sehingga, apabila terjadi kenaikan HT sebesar 10 persen maka akan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi sebesar 0.45 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Nilai elastisitas sebesar 0.45 (0<Ep<1) artinya HT bersifat inelastis. Dengan kata lain, jumlah yang diminta untuk konsumsi daging sapi akan lebih kecil dibandingkan dengan persentase perubahan harga daging sapi (lampiran 1).

Nilai koefisien variabel harga telur ayam ras (HT) berdasarkan tabel diatas positif terhadap konsumsi daging sapi. Hal ini bersesuaian dengan teori ekonomi, bahwa harga barang substitusi (harga telur ayam ras) berpengaruh positif terhadap besarnya konsumsi daging sapi.

Pendapatan (GDP)

Nilai koefisien GDP terhadap konsumsi daging sapi sebesar 0.096. Sehingga, apabila terjadi kenaikan pendapatan sebesar 10 persen maka akan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi sebesar 0.96 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Nilai koefisien sebesar 0.096 (0<Ep<1) artinya GDP bersifat inelastis. Dengan kata lain, jumlah yang diminta untuk konsumsi daging sapi akan lebih kecil dibandingkan dengan persentase perubahan pendapatan (lampiran 1). Dalam penelitian Hadiwijoyo (2009), bahwa permintaan daging sapi inelastis terhadap perubahan pendapatan dengan nilai elastisitas sebesar 0.42.

Nilai koefisien variabel pendapatan (PND) berdasarkan tabel diatas positif terhadap konsumsi daging sapi. Hal ini bersesuaian dengan teori ekonomi yang berlaku, bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap konsumsi daging sapi. Seiring dengan meningkatnya pendapatan maka konsumsi terhadap suatu barang (konsumsi daging sapi) akan meningkat dengan asumsi ceteris paribus.

(38)

26

Jumlah Penduduk Indonesia (JPI)

Nilai elastisitas JPI terhadap konsumsi daging sapi sebesar 0.307. Sehingga, apabila terjadi kenaikan JPI sebesar 10 persen maka akan terjadi peningkatan konsumsi daging sapi sebesar 3.07 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Nilai koefisien sebesar 0.307 (0<Ep<1) artinya JPI bersifat inelastis. Berarti jumlah yang diminta berubah dengan persentase yang lebih kecil daripada perubahan jumlah penduduk (inelastis).

Nilai koefisien variabel jumlah penduduk Indonesia (JPI) berdasarkan tabel diatas positif terhadap konsumsi daging sapi. Hal ini bersesuaian dengan teori ekonomi yang berlaku, bahwa banyaknya penduduk berpengaruh positif terhadap konsumsi daging sapi. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka konsumsi terhadap suatu barang (konsumsi daging sapi) akan meningkat dengan asumsi ceteris paribus.

Jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2011 mencapai 243 juta jiwa, jika rata-rata konsumsi daging sapi 2.1 kilogram per kapita per tahun maka total konsumsi yang dibutuhkan mencapai 510 300 ton daging sapi. Jika laju pertumbuhan penduduk per tahun semakin meningkat maka jumlah permintaan daging sapi akan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sehingga, hubungan antara jumlah penduduk dan konsumsi daging sapi sapi bertanda positif.

Dummy Krisis Moneter

Nilai koefisien dummy krisis moneter terhadap konsumsi daging sapi sebesar 0.073. Artinya, rata-rata perbedaan jumlah konsumsi daging sapi antara sebelum krisis moneter dan setelah krisis moneter tahun 1998 sebesar 0.073, dengan asumsi ceteris paribus. Dapat dikatakan bahwa perbedaan konsumsi daging sapi pada periode sebelum dan setelah krisis moneter berpengaruh sangat kecil terhadap perubahan permintaan daging sapi. Permintaan daging sapi cenderung meningkat secara konstan setiap tahunnya.

Variabel dummy krisis moneter pada penelitian ini bertanda positif, yang berarti jumlah konsumsi daging sapi sebelum krisis moneter dan setelah krisis moneter mengalami peningkatan. Hal ini terkait dengan paradoks giffen yang terjadi pada harga daging sapi dan jumlah konsumsi daging sapi. peningkatan harga yang terjadi pasca krisis moneter tidak terlalau berpengaruh pada jumlah konsumsi daging sapi.

(39)

27

Pembahasan

Kisruh perdagangan daging sapi yang seperti benang kusut, mulai dari kelangkaan daging sapi yang menjadikan harganya menjadi mahal hingga kasus ini melebar ke ranah politik, korupsi kuota impor daging sapi. Kisruh ini terkait dengan program sawasembada daging sapi yang dicanangkan oleh pemerintah. Harga daging sapi yang cukup mahal mengindikasikan bahwa terjadi pelanggaran. Undang-undang pangan mengatakan bahwa pangan harus tesedia dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia. Termasuk juga untuk produk daging sapi, harga daging sapi yang mencapai Rp 95 000 – Rp 110 000 per kilogram dinilai sangat mahal. Sebagian kalangan menilai impor diperlukan untuk menekan harga daging sapi domestik dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Tetapi, sebagian kalangan lain berpendapat bahwa tidak perlu impor karena populasi sapi di Indonesia masih mencukupi.

Padahal ada banyak sumber protein hewani ataupun sumber protein nabati yang dapat di konsumsi. Mahalnya harga daging sapi seharusnya dapat meningkatkan konsumsi sumber protein lainnya. Kebutuhan protein untuk mencukupi asupan gizi yang dibutuhkan tubuh, sehingga tidak perlu lagi membesarkan masalah mahalnya daging sapi dan kebijakan swasembada daging sapi yang belum terealisasi.

Protein hewani didapat dari konsumsi ikan, daging, telur, dan susu. Akan tetapi, harga pangan sumber protein ini relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan harga pangan sumber protein nabati. Pangan sumber protein masih didominasi oleh konsumsi sumber protein nabati daripada konsumsi sumber protein hewani. Sehingga tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan negara lain.

Tabel 4 Kandungan gizi beberapa jenis bahan makanan

Bahan Protein Lemak Karbohidrat Kalori Vitamin Mineral

Daging ayam 18.2 25.0 0 302 A, B1 Ca, P, Fe

Daging sapi 18.8 14.0 0 207 A, B1 Ca, P, Fe

Bandeng 20.0 4.8 0 129 A, B1 Ca, P, Fe

Ikan asin 42.0 1.5 0 193 B1 Ca, P, Fe

Ikan mas 16.0 2.0 0 86 A, B1 Ca, P, Fe

Kerang 8.0 1.1 3.6 59 A, B1 Ca, P, Fe

Teri 16.0 1.0 0 77 A, B1 Ca, P, Fe

Udang 21.0 0.2 0.1 91 A, B1 Ca, P, Fe

Telur ayam 12.8 11.5 0.7 162 A,B1 Ca, P, Fe

Telur bebek 13.1 14.3 0.8 189 A, B1 Ca, P, Fe

Tahu 7.8 4.6 1.6 68 B1 Ca, P, Fe

Tempe 18.3 4.0 12.7 149 A, B1 Ca, P, Fe

Sumber : Universitas Terbuka

Gambar

Gambar 1  Konsumsi rata-rata per kapita daging sapi, daging ayam ras, dan telur
Tabel 1  Indikator utama ekonomi Indonesia tahun 1990-1997
Gambar 3  Kerangka pemikiran
Gambar 5  Produk domestik bruto (PDB) Indonesia Tahun 1982-2011
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pemberdayaan sebagai proses ataupun sebagai tujuan pada dasarnya akan memunculkan keberanian pada individu ataupun kelompok. Kondisi semula yang cenderung hanya menerima

Umumnya, penerapan SNI bagi pelaku industri bahan baku plastik dan produk plastik tidak menjadi persoalan, terkecuali pada industri pengemasan plastik yang sebagian

Dengan kegiatan membaca tentang hak sebagai warga negara, siswa dapat menjelaskan hak sebagai warga negara Indonesia dengan tepat dipandu melalui Group Whats Apps,

Dari hasil buku dan beberapa skripsi di atas, dapat diketahui yang menjadi perbandingan dengan penelitian saya adalah perkembangan fisik Kota dari tahun 1993-2018,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar HbA1c tinggi sebagai Faktor Risiko Neuropati Diabetik Perifer pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Sanglah

http://lpse.kuansing.go.id oleh para peserta lelang dan Pokja Konstruksi ULP Kabupaten Kuantan Singingi Tahun Anggaran 2014, dimulai pukul 09.00 WIB sampai dengan

Contour plot (A) kekerasan tablet, (B) keseragaman bobot tablet, (C) kerapuhan tablet, (D) waktu hancur tablet metode petridisk, (E) daya hancur tablet oleh responden dan

“Model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII semester II SMP N 5 Semarang pokok bahasan bangun