• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis keterkaitan sektor unggulan dan alokasi anggaran untuk penguatan kinerja pembangunan daerah di provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis keterkaitan sektor unggulan dan alokasi anggaran untuk penguatan kinerja pembangunan daerah di provinsi Jawa Timur"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN

ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA

PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR

M. IRFAN SURYAWARDANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005

M. Irfan Suryawardana

(3)

MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM, NADRATUZZAMAN HOSEN, dan AFFENDI ANWAR.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara sentralistik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah memberikan konsekuensi logis perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sumber-sumber pendapatan yang terbatas baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Perimbangan menuntut pemerintah daerah melakukan prioritas di dalam melaksanakan pembangunan.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian di Jawa Timur yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan, (2) menganalisis keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir, (3) mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan pada kabupaten/kota di Jawa Timur, dan (4) menganalisis apakah alokasi belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota di Jawa Timur sudah terkait dengan sektor unggulan.

Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur adalah sektor industri kertas dan barang cetakan; tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki; kacang-kacang lainnya (sub sektor tanaman bahan makanan); restoran; dan bangunan. Prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan tersebut akan menggerakkan roda perekonomian Jawa Timur secara simultan terhadap sektor-sektor lainnya. Hal ini disebabkan karena sektor-sektor-sektor-sektor tersebut mempunyai keterkaitan sektoral serta angka pengganda yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.

Dalam struktur perekonomian di Jawa Timur, sektor hulu tidak mempunyai keterkaitan dengan sektor hilir. Sektor hilir mempunyai korelasi yang searah dan nyata dengan angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda surplus usaha, dan angka pengganda PDRB. Sedangkan sektor hulu tidak terkait sama sekali dengan variabel-variabel tersebut.

Secara spasial, lokasi sektor unggulan berada pada daerah-daerah yang cenderung berbasis sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan mulai melemahnya daya saing daerah-daerah yang sebelumnya merupakan pusat kegiatan sektor industri seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

(4)

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN

DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA

PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR

MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur

Nama : Mohamad Irfan Suryawardana

NRP : A. 253040044

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Dr. M. Nadratuzzaman Hosen Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc

(6)

Kupersembahkan karya ini kepada

Ayahnda Drs. Kgs. Ibrahim Nungtjik dan Ibunda Sri Astuti

Mertua yang Ananda hormati

Ayahnda M. Tahan dan Ibunda Huzaimah

Istriku tercinta Irawati dan kedua anakku yang tersayang

Raihana Rizka Suryawardani dan

Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 ini ialah sektor unggulan kaitannya dengan pola alokasi anggaran, dengan judul Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr, Bapak Dr. M. Nadratuzzaman Hosen, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis juga sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah XV Ditjen Perbendaharaan Surabaya atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2004 atas segala bantuan dan kritiknya, serta langkah-langkah penuh keceriaan dan kenangan di kampus IPB yang tak akan terlupakan, penulis mengucapkan terima kasih. Tak lupa, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri, anak-anakku tersayang, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2005

(8)

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 6 Pebruari 1974 dari ayah Drs. Kgs. Ibrahim Nungtjik dan ibu Sri Astuti. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Irawati pada tahun 1999, penulis mendapatkan dua putri yang bernama Raihana Rizka Suryawardani (6 tahun) dan Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani (4 tahun).

Sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas diselesaikan penulis di kota kelahirannya Malang. Pendidikan Diploma III ditempuh pada Program Diploma III Keuangan-Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Spesialisasi Anggaran, lulus tahun 1995. Sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Terbuka yang ditamatkan pada tahun 2001.

Pada tahun 2004, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.

(9)

Halaman

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Penelitian Sebelumnya ... 8

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

Pembatasan Masalah ... 10

TINJAUAN PUSTAKA Sektor Unggulan ... 10

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan ... 11

Perencanaan dan Keuangan Daerah ………. 14

Sumber Pendapatan Daerah ……….. 18

Metode Input Output ... 23

BAHAN DAN METODE Kerangka Umum Penelitian ………. 26

Kerangka Pendekatan Analisis……….. 30

Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 36

Jenis dan Sumber Data ………. 36

Metode Analisis………. 38

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis ………. 52

Iklim………. ………. 54

Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ………. 55

SEKTOR UNGGULAN DI PROPINSI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur... 57

Nilai Tambah Bruto dan Total Output Sektoral ... 60

Struktur Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen ... 63

Transaksi Internal, Transaksi Eksternal, dan Input Primer ... 65

Keterkaitan Antar Sektor... 67

(10)

Sektor Unggulan Jawa Timur ... 87

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir ... 90

Tipologi Sektor-Sektor Perekonomian di Jawa Timur ... 93

LOKASI SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 96

Kesenjangan Antarwilayah ... 99

Indeks Pembangunan Manusia dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Timur... 104

Indentifikasi Kabupaten/Kota Lokasi Sektor Unggulan Provinsi ... 108

KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN TERHADAP SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 116

Keterkaitan Antara Anggaran Belanja Pembangunan dan Sektor Unggulan ... 120

Kelembagaan dalam Penyusunan APBD ... 126

SIMPULAN ... 129

IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 139

(11)

Halaman

1. Sumber dan besar dana bagi hasil ... 20

2. Klasifikasi sektoral data PDRB harga konstan tahun 2000 dan 2003 serta data Tabel I-O updating tahun 2003 ... 33

3. Sektor-sektor dalam Tabel I-O Jawa Timur updating tahun2003 ... 37

4. Kabupaten/kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur ... 52

5. Jumlah penduduk Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003... 55

6. Distribusi PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku tahun 1999 s.d 2003 ... 57

7. Pertumbuhan riil sektor ekonomi tahun 1999 s.d 2003... 59

8. Sepuluh sektor dengan PDRB terbesar di Jawa Timur tahun 2003... 61

9. Sepuluh sektor dengan total output terbesar di Jawa Timur tahun 2003 ... 63

10. Struktur PDRB menurut komponen pendapatan tahun 2003 ... 63

11. Transaksi internal, transaksi eksternal, dan input primer sektoral... 66

12. Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke belakang (DBL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (DIBL)... 68

13. Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke depan (DFL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (DIFL)... 70

14. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda output terbesar... 76

15. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pendapatan terbesar... 77

16. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pajak terbesar ... 77

17. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda PDRBterbesar ... 79

18. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda tenaga kerja terbesar ... 81

19. Hasil PCA terhadap variabel-variabel penentu sektor unggulan ... 87

20. Lima sektor unggulan di Jawa Timur ... 88

21. Keterkaitan sektor hulu dan sektor hilir... 90

22. Kelompok sektor-sektor perekonomian menurut analisis gerombol ... 95

23. PDRB kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan harga berlaku ... 97

24. Peranan sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota berdasarkan PDRB harga berlaku tahun 2003 ... 98

25. Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2004 ……… 100

26. Perkembangan angka IPM tahun 1999 dan 2002 s.d. 2004... 104

27. Angka IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2004 ... 105

28. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2000 s.d 2004... 106

29. Jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Jawa Timur ... 107

30. Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur... 113

31. Rekapitulasi sumber-sumber pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur ... 116

32. Rekapitulasi Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Jawa Timur ... 117

33. Rekapitulasi dana perimbangan kabupaten/kota di Jawa Timur ... 119

34. Alokasi belanja rutin dan pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur ... 121

(12)

37. Hasil PCA keterkaitan antara belanja APBD kabupaten/kota

terhadap perekonomian di Jawa Timur ... 125

(13)

Halaman

1. Sumber-sumber pendapatan daerah tahun 2001 s.d. 2003 kabupaten/kota

di Provinsi Jawa Timur ... 5

2. Alokasi belanja rutin dan pembangunan tahun 2001 s.d 2003 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur... 6

3. Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004 ……… 17

4. Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBN dan APBD sesuai UU 17/2004……… 17

5. Sumber-sumber pendanaan daerah ... 19

6. Struktur dasar Tabel Input Output ... 25

7. Kerangka umum penelitian ……….. 29

8. Bagan alir analisis penentuan sektor unggulan dan hubungan keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir ... 31

9. Bagan alir indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur ... 34

10. Bagan alir pendekatan analisis keterkaitan alokasi belanja pembangunan terhadap sektor unggulan ... 36

11. Bagan alir updating Tabel Input Output... 39

12. Bagan alir penentuan sektor unggulan ... 47

13. Peta administratif Jawa Timur ... 54

14. Peta kepadatan penduduk tahun 2003 ... 55

15. Pohon industri kertas ... 71

16. Pohon industri kimia hasil pertanian ... 72

17. Derajat kepekaan dan daya penyebaran sektoral ... 74

18. Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda output... 78

19. Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda surplus usaha ... 79

20. Hubungan angka pengganda PDRB dan angka pengganda output... . 80

21. Hierarki pemasaran dan pengolahan produk pertanian ... 86

22. Grafik hasil analisis peubah-peubah tipologi sektoral ... 94

23. Basis perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur ... 99

24. Perkembangan Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003….. 100

25. Perbandingan absolut perekonomian antardaerah di Jawa Timur ... 102

26. Hasil LQ dan differential shift sektor kertas dan barang cetakan... 109

27. Hasil LQ dan differential shift sektor tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki ... 110

28. Hasil LQ dan differential shift sektor bangunan dan konstruksi... 111

29. Hasil LQ dan differential shift sub sektor tanaman bahan makanan... 111

30. Hasil LQ dan differential shift sektor restoran... 112

31. Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur ... 115

32. Lokasi sub sektor tanaman bahan makanan ... 115

33. Strategi pemerintah daerah di dalam pembangunan ekonomi kaitannya dengan sektor unggulan ... 134

(14)

Halaman

1. Pendugaan koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 dengan

metode RAS ... 139

2. Tabel input output Jawa Timur updating 2003 44 sektor ... 147

3. Koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 ... 155

4. Invers matriks leontief Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 ... 159

5. Nilai keterkaitan dan angka pengganda per sektor ... 163

6. Skor per sektor hasil pembobotan ... 166

7. Nilai location quotient dan differential shift sektor unggulan pada kabupaten/kota di Jawa Timur ... 169

8. Data tenaga kerja Jawa Timur ... 170

(15)

Latar Belakang

Semenjak 1 Januari 2000, Indonesia telah memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan landasan pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Era otonomi, bagi sebagian daerah merupakan kesempatan untuk bisa melaksanakan pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan secara sentralistik dan mengabaikan karakteristik daerah. Sedangkan bagi sebagian daerah lainnya, otonomi daerah merupakan suatu ‘beban’ yang mau tidak mau harus mereka terima dari Pusat daripada sebagai peluang pemberdayaan lokal (LIPI 2000).

Pandangan beberapa daerah yang merasakan pelaksanaan otonomi daerah ini merupakan suatu beban disebabkan karena adanya kesadaran di kalangan elit dan masyarakat daerah setempat akan minimnya sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), dan sumber-sumber pendapatan untuk pembangunan. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah selain kurangnya sumber daya yang tersedia tersebut, hal lain yang dihadapi adalah masalah kesenjangan antarwilayah, pengangguran, dan daya beli masyarakat yang masih lemah akibat krisis ekonomi yang lalu belum pulih benar.

(16)

daerah, perhatian dan fokus pemerintah kepada sektor unggulan akan memberikan dampak kepada sektor-sektor perekonomian lainnya secara simultan.

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan karena berkaitan dengan tujuan pemerintah itu sendiri untuk menyejahterakan masyarakatnya. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang saling terkait satu sama lainnya dan merupakan satu kesatuan, sehingga output dari perencanaan adalah penganggaran.

Proses perencanaan sampai dengan penganggaran yang baik pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan pembangunan daerah itu sendiri, antara lain menyejahterakan masyarakat, mengurangi ketergantungan fiskal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan berbagai macam keterbatasan sumber-sumber pendapatan untuk melaksanakan pembangunan, maka perlu dikembangkan suatu sistem anggaran yang mengarah pada sektor unggulan.

Berangkat dari berbagai hal di atas, maka karya tulis ini mencoba menganalisis pola alokasi anggaran belanja pembangunan daerah setelah berlakunya otonomi daerah di Jawa Timur dan keterkaitannya dengan sektor unggulan sebagai upaya meningkatkan dan memperkuat perekonomian daerah sehingga pada akhirnya kinerja pembangunan daerah meningkat.

Perumusan Masalah

(17)

mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan yang diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik itu investasi pemerintah maupun swasta.

Hirschman dalam Todaro (1989), menyatakan bahwa untuk negara (daerah) yang berkembang, pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (imbalanced growth) namun dilakukan dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan memberi implikasi ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) terhadap sektor-sektor lainnya. Sedangkan menurut Miyarto et al. (1993), dalam pembangunan ekonomi sektoral, prioritas hendaknya diberikan kepada sektor-sektor yang mempunyai daya penyebaran dan derajat kepekaan tinggi. Pembangunan pada sektor-sektor tersebut akan memberikan efek multiplier yang relatif besar bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk menentukan prioritas pembangunan berdasarkan sektor unggulan menurut Nazara (1997), metode yang bisa digunakan adalah analisis keterkaitan antarsektor. Sektor dengan keterkaitan paling tinggi berarti memiliki potensi menghasilkan output produksi yang tinggi pula.

Sebagian besar perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur berbasis pada sektor pertanian. Selama ini, daerah-daerah dengan basis perekonomian pertanian indentik dengan ketertinggalan dalam pembangunan perekonomian. Keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian (hulu) dan sektor industri (hilir) dalam struktur perekonomian wilayah merupakan pondasi yang kuat dalam perkembangan perekonomian, hal ini disebabkan karena proses produksi yang terjadi banyak menggunakan bahan-bahan lokal sehingga tingkat ketergantungan dari luar daerah atau luar negeri relatif kecil. Pemanfaatan sumber daya lokal yang besar pada akhirnya akan meningkatkan nilai tambah yang tercipta. Struktur keterkaitan yang lemah antara sektor hulu dan sektor hilir menyebabkan potensi kebocoran wilayah yang terjadi akan besar.

(18)

hubungan fungsional yang terjadi antarwilayah bukannya saling memperkuat namun akan saling melemahkan. Terkait dengan sektor-sektor unggulan di Jawa Timur, perlu dilakukan indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan tersebut pada kabupaten/kota di Jawa Timur. Dengan mengetahui lokasi-lokasi sektor unggulan, diharapkan arahan pengembangan sektor unggulan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, dapat lebih terfokus tanpa mengabaikan struktur perekonomian pada kabupaten/kota tersebut selama ini. Selain itu, kesenjangan wilayah yang terjadi selama ini dapat semakin dikurangi.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan ini memberikan konsekuensi logis kepada perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 jo. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, diatur sumber-sumber pendapatan bagi daerah dalam rangka pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Prinsip di dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Secara ekonomi, desentralisasi itu sendiri tentu akan mengubah pola alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, khususnya barang-barang publik. Jika pada sistem sentralisasi, alokasi dan distribusi barang-barang publik didominasi oleh pemerintah pusat, maka dengan adanya desentralisasi atau otonomi fungsi alokasi dan distribusi tersebut banyak beralih kepada daerah kabupaten/kota. Ini berarti nasib kesejahteraan masyarakat sejak adanya otonomi akan lebih banyak bergantung kepada pemerintah kabupaten/kota.

(19)

Yang menjadi persoalan di dalam pengalokasian anggaran selain tidak berimbangnya alokasi antara belanja rutin dan pembangunan adalah ketepatan di dalam mengalokasikan anggaran itu sendiri terhadap sektor-sektor yang seharusnya mendapatkan prioritas. Ketidaktepatan di dalam alokasi anggaran akan menyebabkan inefisiensi dan kemubaziran, sehingga tujuan pembangunan yang diharapkan tidak tercapai. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam pengalokasian anggaran yang lebih menitikberatkan kepada belanja pembangunan atau investasi akan menciptakan nilai tambah di dalam perekonomian wilayah.

2.49

11.01 10.14

7.62 87.89

76.13 75.90

1.85 3.68 4.67

0.14 0.01 0.03

9.18 9.27

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

2001 2002 2003

Tahun

SISA ANGGARAN TAHUN LALU PENDAPATAN ASLI DAERAH

DANA PERIMBANGAN PENERIMAAN LAINNYA

PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH %

Sumber : BPS Jawa Timur (2004).

Gambar 1 Sumber-sumber pendapatan daerah tahun 2001 s.d. 2003 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur.

(20)

kabupaten/kota di Jawa Timur sebesar 87.89%, tahun 2002 sebesar 76.13%, dan pada tahun 2003 turun kembali menjadi 75.90%. Penurunan dana perimbangan ini ternyata tidak diimbangi oleh kenaikan yang cukup besar pada sumber-sumber pendapatan lainnya, terutama Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana di tunjukkan pada Gambar 1.

Belanja Rutin dan Pembangunan

69.00% 72.88% 77.12%

31.00% 27.12% 22.88%

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

2001 2002 2003

Tahun

TOTAL PENGELUARAN BELANJA PEMBANGUNAN TOTAL PENGELUARAN BELANJA RUTIN

%

Sumber : BPS Jawa Timur (2004).

Gambar 2 Alokasi belanja rutin dan pembangunan tahun 2001 s.d 2003 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

(21)

dan jasa itu tentu merupakan peluang untuk melakukan suplai atau melakukan kegiatan produksi bagi para pengusaha.

Masalah ekonomi bagi masyarakat bukan hanya soal kelancaran alokasi tetapi juga soal distribusi, maka setiap bentuk dan arah alokasi belanja pemerintah tentu punya nilai tersendiri. Jika alokasi anggaran lebih banyak untuk anggaran belanja rutin birokrasi dan belanja para pejabat publik, maka aspek keadilannya menjadi kecil. Jika alokasi APBD untuk belanja pembangunan atau belanja investasi lebih besar, maka kepentingan publik lebih banyak yang terlayani.

Kepentingan publik di sini bukan sekedar peningkatan pelayanan publik tetapi juga termasuk peningkatan kapasitas ekonomi daerah secara keseluruhan. Berbeda dengan bentuk alokasi yang didominasi oleh belanja rutin, alokasi yang lebih besar kepada kebutuhan pembangunan lebih menjanjikan peningkatan nilai tambah bagi berbagai sektor perekonomian. Ketidaktepatan alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor perekonomian terutama pada sektor unggulan menyebabkan alokasi belanja yang telah dilakukan menjadi tidak efisien dan efektif yang pada akhirnya menimbulkan kemubaziran Dengan alokasi belanja pembangunan yang tepat, baik jumlah maupun sektornya, akan memberikan efek yang positif bagi pemerintah daerah sehingga kinerja pembangunan daerah lebih meningkat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan ditemukan jawabannya, yaitu :

1. Sektor-sektor apa saja yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur

2. Bagaimana pola keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir dalam perekonomian wilayah di Jawa Timur

3. Indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan di Jawa Timur

(22)

Penelitian Sebelumnya

Tanpa mengabaikan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Jawa Timur mengenai sektor unggulan, penelitian ini berusaha untuk melanjutkan dan lebih mempertajam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga dapat diketahui sektor unggulan yang lebih detail lagi.

Penelitian sebelumnya mengenai penentuan sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada tahun 2001 dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kondisi perekonomian di wilayah Provinsi Jawa Timur secara umum dipengaruhi oleh sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Namun, secara umum sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di wilayah Jawa Timur.

Amir dan Nazara (2005), juga melakukan penelitian serupa dengan menggunakan metode analisis I-O pada Provinsi Jawa Timur, dalam penelitiannya Amir dan Nazara menyatakan bahwa sektor perekonomian yang merupakan sektor unggulan adalah sektor industri lainnya, sektor industri makanan, minuman, dan tembakau, sektor restoran dan hotel, sektor bangunan, serta sektor pengilangan minyak. Namun di dalam penelitian ini tidak secara rinci disebutkan jenis industri yang merupakan unggulan karena penelitian hanya dilakukan terhadap 18 sektor besar. Sektor industri dalam penelitian tersebut dibagi dua, yaitu industri makanan, minuman, dan tembakau serta sektor industri lainnya.

(23)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur.

2. Menganalisis pola keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir dalam perekonomian wilayah di Jawa Timur.

3. Mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur 4. Menganalisis kebijakan alokasi belanja pembangunan pada APBD

kabupaten/kota apakah sudah terkait dengan sektor-sektor unggulan.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran tentang kondisi dan peran sektor-sektor perekonomian dalam pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur dan faktor-faktor pendukungnya serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan di dalam membangun keterkaitan antarsektor dalam kerangka pengembangan wilayah serta pengalokasian anggaran pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur.

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah di dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, serta penulisan diharapkan dapat lebih terfokus. Pembatasan permasalahan dilakukan pada beberapa hal sebagai berikut : 1. Di dalam menganalisis dan menentukan sektor unggulan, penelitian dilakukan

dengan lebih memfokuskan kepada aspek ekonomi dari masing-masing sektor perekonomian. Tanpa mengabaikan aspek-aspek lainnya seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan maka pembahasan pada aspek-aspek tersebut akan dilakukan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek perekonomian.

(24)

Sektor Unggulan

Perencanaan pembangunan wilayah dari sudut pandang aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang selanjutnya diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Berbagai keterbatasan sumber daya dan sumber pendanaan yang dimiliki oleh suatu daerah menuntut kejelian pemerintah daerah untuk menentukan suatu skala prioritas pembangunan. Tidak mungkin bagi suatu daerah untuk membiayai semua sektor secara bersama-sama karena keterbatasan sumber pendanaan. Untuk itu perlu ditetapkan suatu sektor unggulan (leading sector) dimana sektor ini diharapkan dapat menggerakkan sektor-sektor lainnya.

Dalam analisis input output menurut Arief (1993), kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan (leading sector) adalah sektor-sektor yang :

a. mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya

b. menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan permintaan akhir yang relatif tinggi pula

c. mampu menghasilkan penerimaan devisa yang relatif tinggi d. mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang relatif tinggi

(25)

Di sisi lain, menurut Saefulhakim (2004a), skala prioritas di dalam pembangunan diperlukan atas pemahaman bahwa: (a) setiap sektor mempunyai sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional); (b) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (c) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan, dan sosial yang ada.

Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam konsep pengembangan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keserasian antarsektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antarsektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antarsektor baik ke depan maupun ke belakang, dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumber daya (Anwar dan Hadi 1996).

Untuk mengetahui prioritas pembangunan sektoral yang mengarah pada sektor unggulan, maka perlu diketahui dampak antarsektor dalam perekonomian. Dampak keterkaitan antarsektor akan memberikan gambaran yang jelas mengenai sektor-sektor yang mempunyai peranan besar, baik bagi sektornya sendiri maupun sektor lainnya (Miyarto et al. 1993). Dengan demikian kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan perekonomian wilayah akan lebih diprioritaskan pada sektor tersebut.

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan

Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda, namun dalam pengertian yang sederhana, perencanaan adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan (Kelly dan Becker 2000) dalam Rustiadi et al.

(26)

hampir selalu terdapat dua unsur penting, yakni (1) unsur hal yang ingin dicapai dan (2) unsur cara untuk mencapainya.

Pada tingkat daerah, regional, atau wilayah, khususnya pada perencanaan ekonomi regional, para pelaksana dan pengambil keputusan menghadapi tantangan bagaimana caranya agar perekonomian wilayah tersebut dapat mencapai keadaan yang lebih baik di masa mendatang dibandingkan dengan keadaan sekarang. Pada daerah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Alasan yang mendasari pembangunan tidak seimbang adalah :

1. secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang 2. untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia

3. pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks)

atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.

Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan di negara atau daerah berkembang karena daerah-daerah tersebut juga menghadapi masalah kekurangan sumber daya.

(27)

produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah yang diperoleh melalui industri. Perubahan tersebut juga akan terjadi pada pengembangan dari aspek sosial seperti peningkatan kualitas prasarana dan sarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan.

Selanjutnya Sutriadi menyatakan bahwa dalam prakteknya teori pengembangan wilayah telah melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah

a. Teori Neo Klasik, Arthur Lewis berpendapat bahwa tingkat pendapatan suatu wilayah tidak akan berbeda jauh dibandingkan dengan wilayah lainnya mengingat aliran kapital akan selalu berpindah sesuai dengan mekanisme

demand dan supply.

b. Teori Economic Base, pada dasarnya aktivitas yang terdapat di dalam suatu wilayah terbagi menjadi dua, yaitu sektor basis (aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor) dan sektor non basis/servis (aktivitas ekonomi yang melayani sektor basis). Perkembangan wilayah akan sangat tergantung dari fungsi aktivitas basis yang dimilikinya.

c. Teori Pentahapan Wilayah, diperkenalkan oleh Rostow yang berpendapat bahwa perkembangan wilayah harus melalui lima fase, yaitu subsistensi, spesialisasi lokal, perdagangan antarwilayah, industrialisasi, dan spesialisasi industri tersier.

d. Teori Pertumbuhan Wilayah Tidak Seimbang (Imbalanced Growth), dikemukakan oleh Myrdal yang beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam pengembangan wilayah, yakni backwash effect (proses pengurasan sumber daya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect (gaya yang ditimbulkan oleh wilayah yang maju untuk mendorong pengembangan wilayah belakang atau hinterland).

(28)

perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage).

Sedangkan konsep lainnya beranggapan bahwa pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam ’wilayah’ itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut.

Pada intinya, pengembangan wilayah bertujuan untuk (1) mendayagunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, (2) mengurangi kesenjangan antarwilayah, (3) pembangunan berkelanjutan dengan tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan, dan (4) mempertahankan atau meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi regional. Namun dalam mencapai tujuan ini, tidak semua tujuan dapat dicapai secara bersama-sama karena adanya keterbatasan-keterbatasan, oleh karena itu tujuan pengembangan wilayah hanya difokuskan pada satu tujuan tanpa mengabaikan tujuan yang lainnya.

Perencanaan dan Keuangan Daerah

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen yamg mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur dengan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah juga didukung oleh peran kelembagaan. Kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Dalam pengertian ekonomi, kelembagaan sebagai organisasi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga-harga tetapi oleh mekanisme kewenangan administrasi.

(29)

berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka pemerintah daerah harus didukung oleh dengan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi di bidang administrasi antara lain berkenaan dengan transfer personal pegawai termasuk penggajiannya yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa prinsip money follow function

belum berjalan dengan efektif karena pelimpahan personil pegawai pemerintah pusat ke pemerintah daerah diikuti oleh penggajian yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga keuangan pemerintah daerah menjadi berat dengan kewajiban membayar gaji pegawai negeri. Lebih lanjut Lewis (2001) dalam Landiyanto (2005), menyatakan bahwa hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU ) yang menjadi sumber penerimaan terbesar dalam pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga anggaran pembangunan menjadi kecil.

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), sistem perencanaan pembangunan di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap perencanaan pembangunan, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, perencanaan yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional.

(30)

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, perencanaan pembangunan lebih terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, perencanaan pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan detail pelaksanaannya. Tahapan ini sudah dipolakan dalam bentuk tahunan.

Perkembangan otonomi daerah bukan berarti harus memisahkan antara konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat melainkan tetap harus berjalan seiring dan harmonis. Perbedaannya adalah, dengan berlakunya otonomi daerah, pembangunan yang dulunya cenderung lebih sentralistik dan menempatkan daerah sebagai bawahan pusat telah berubah dengan lebih menempatkan daerah sebagai partner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Sebelum UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berlaku, perencanaan pembangunan selama ini mengacu kepada GBHN yang ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris. Bagi daerah perencanaan yang akan dilaksanakan tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Pola Dasar (POLDAS) yang mengacu kepada GBHN yang telah ditetapkan. Selanjutnya POLDAS akan dirinci lebih lanjut di dalam Propeda yang mempunyai dimensi waktu lima tahun dan Renstra yang berlaku selama 1 tahun. Pelaksanaaan operasional lebih lanjut dirinci di dalam APBD yang ditetapkan tiap-tiap tahun oleh gubernur/bupati/walikota atas persetujuan DPRD provinsi/kabupaten/kota.

(31)

UUD 1945 POLDAS POLDAS GBHN PUSAT KABUPATEN/KOTA PROPINSI PROPENAS PROPEDA PROPEDA RENSTRA DEPT/LEMBAGA REPETA / APBN

RENSTRA (Daerah/Dinas)

RENSTRA (Daerah/Dinas) APBD PROP.

[image:31.595.116.511.344.599.2]

APBD Kab/ Kota Sumber : Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 3 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004.

RPJP NASIONAL RPJM NASIONAL Pedoman RKP RENSTRA

KL RENJA KL

Dijabarkan Pedoman Diacu Pedoman RJA-KL Pedoman RAPBN Pedoman RINCIAN APBN APBN RPJP DAERAH RPJM DAERAH Pedoman RKP DAERAH Dijabarkan RAPBD Pedoman APBD RENSTRA

KL RENJA KL

Pedoman Pedoman RJA-KL Pedoman RINCIAN APBN Diacu Diacu Diperhatikan P E M E RI NT AH PU SA T PE M E R IN T AH DA E R A H Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 Tahun Rencana Pembangunan Tahunan 1 Tahun

UU 25 TAHUN 2004 - SPPN UU 17 TAHUN 2004 - KN

Sumber : UU 17 Tahun 2004 dan 25 Tahun 2004.

Gambar 4 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBD dan APBD sesuai UU 17/2004.

(32)

pembangunan 25 tahun mendatang sehingga terjadi kesinambungan antarpimpinan. Hal ini juga berlaku di dalam pemilihan kepada daerah, karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) mengacu kepada RPJP Nasional.

Sumber Pendapatan Daerah

Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati /walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan azas desentralisasi.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN. Terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah.

(33)

secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Pengelolaan Daerah Yg Dipisahkan

Lain-Lain PAD Yang Sah Da n a B a g i Ha s il D a na A lok a s i U m u m D a na A lok a s i K hu s us Pemerintah

Pemerintah Daerah Lain Lembaga Keuangan Bank

Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat H ib a h Ya n g Be ra s a l Da ri Pe m e ri n ta h a n As in g D a n a D a ru ra t Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dana Perimbangan Pinjaman Daerah

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

SUMBER SUMBER PENDANAAN DAERAH

PBB BPHTB PPh Psl 25, Psl 29, Psl 21

Kehutanan Pertambangan Umum

Perikanan Pertambangan Minyak Bumi

Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Panas Bumi

Digunakan Untuk Mendanai Kegiatan Khusus di Luar DAU

[image:33.595.113.516.142.462.2]

Sumber : Dimodifikasi dari Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 5 Sumber-sumber pendanaan daerah.

Dari empat komponen sumber pendanaan bagi pemerintah daerah sebagaimana Gambar 5, sumber pendanaan yang berasal dari dana perimbangan masih merupakan komponen yang paling besar dibandingkan dengan sumber-sumber pendanaan yang lainnya. Hal ini bisa diartikan bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di dalam memperoleh dana bagi pelaksanaan pembangunan.

(34)

sudah dibagihasilkan. Opsi yang berkembang menurut Sidiq (2002) adalah ’piggy backing’ atau opsen, yaitu penetapan tambahan atas pajak pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh pemerintah daerah sendiri.

Dana Bagi Hasil

[image:34.595.117.500.353.655.2]

Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

Tabel 1 Sumber dan besar dana bagi hasil

1 PBB Total Penerimaan 10% 16,2% 64,8% - 81% Upah Pungut 9 persen

Bagian pusat dikembalikan lg ke daerah 2 BPHTB Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% Bagian pusat

dikembalikan lg ke daerah 3 PPh Psl. Total Penerimaan 80% 12% 8% - 20%

21, 25, 29 4 Kehutanan

-IHPH Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% -PSDH Total Penerimaan 20% 16% 32% 32% 80% -Reboisasi Total Penerimaan 60% - 40% - 40% 5 Pertambangan Umum

- Iuran Tetap Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% - Royalti Total Penerimaan 20% 16% 32% 32% 80%

6 Perikanan Total Penerimaan 20% - 80% - 80% Dibagi merata kepada seluruh kab/kota 7 Pertambangan Minyak Penerimaan dlm 85% 3% 6% 6% 15%

Bumi wilayah setelah dikurangi pajak

8 Pertambangan Gas Penerimaan dlm 70% 6% 12% 12% 30% Bumi wilayah setelah

dikurangi pajak

9 Pertambangan Panas 20% 16% 32% 32% 80% Bumi

No Jenis Dasar Bagi Hasil Pusat Jumlah Keterangan Daerah

Daerah Bukan Penghasil Kabupaten/Kota

Penghasil Propinsi

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004.

Dana Alokasi Umum

(35)

Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar.

Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

(36)

menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Musgrave (1984), menyatakan dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (1) perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

TPD PAD

, (2) perbandingan antara bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan

daerah ⎟

⎠ ⎞ ⎜

⎝ ⎛

TPD BHPBP

, dan (3) perbandingan antara sumbangan pemerintah pusat

terhadap total penerimaan daerah ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

TPD Sum

.

Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah, dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah, menurut Halim (2001), dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap: (1) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap total pengeluaran daerah, (2) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap pengeluaran rutin, (3) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total pengeluaran pemerintah, serta (4) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap pengeluaran rutin daerah.

(37)

Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut (Landiyanto 2005).

Metode Input Output

Pendekatan analisis input output merupakan kerangka komprehensif untuk menganalisis wilayah. Pendekatan ini mampu menggambarkan beragam sifat hubungan di antara sektor-sektor industri dan di antara sektor-sektor industri dengan komponen ekonomi lainnya (Isard 1972). Penerapan kerangka input output dalam perekonomian dikembangkan oleh Wasilly Leontief pada tahun 1930-an. Glasson (1977), juga menyatakan bahwa tabel input output memberikan gambaran yang komprehensif dan sistematis mengenai perekonomian regional dan dapat diperkirakan jika tersedia sumber-sumber yang diperlukan.

Berbagai perkembangan telah dialami oleh alat analisis ini. Input output akhirnya bukan menjadi alat analisis dalam bidang ilmu ekonomi pembangunan tetapi menjadi salah satu pionir alat analisis pada bidang ilmu ekonomi perencanaan. Kemampuan alat analisis ini untuk melihat sektor demi sektor dalam perekonomian hingga tingkat yang sangat rinci membuat alat analisis ini cocok bagi proses perencanaan pembangunan (Nazara 1997).

Berbagai manfaat atau kegunaan analisis input output menurut Tarigan (2004), antara lain :

1. menggambarkan keterkaitan antarsektor sehinga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah.

2. dapat digunakan untuk mengetahui daya menarik (backward linkage) dan daya mendorong (forward linkage) dari setiap sektor sehingga mudah menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah.

(38)

4. sebagai salah satu alat analisis yang penting dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah karena bisa melihat permasalahan secara komprehensif. 5. dapat digunakan sebagai bahan menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal

dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.

Tabel input output pada hakekatnya merupakan suatu sistem pencatatan transaksi, maka dalam proses penyusunannya digunakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan tabel input output adalah 1. Homogenitas, yaitu asumsi bahwa satu sektor hanya akan menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antaroutput dan sektor yang berbeda.

2. Proporsionalitas, yaitu kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan oleh sektor tersebut.

3. Aditivitas, asumsi bahwa jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Asumsi ini sekaligus menegaskan bahwa pengaruh yang timbul dari luar sistem input output diabaikan.

Suatu contoh sederhana dari tabel I-O seperti terlihat pada Gambar 6. Kuadran pertama, menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektor-sektor lainnya untuk melakukan kegiatan produksi. Kuadran ini menunjukkan distribusi dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu sektor untuk digunakan kembali sebagai bahan baku di dalam melakukan proses produksi sektor lainnya. Kuadran pertama ini juga sering disebut sebagai permintaan antara.

(39)

permintaan akhir. Informasi dalam kuadran keempat ini sering diabaikan di dalam melakukan analisis pada tabel I-O. Informasi secara rinci mengenai kuadran keempat ini secara rinci disajikan dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE).

Permintaan Internal Wilayah

Permintaan Antara Permintaan Akhir

Permintaan Eksternal

Wilayah

Total Output

1 2 … J … n C G I E

1 X11 … … X1j … X1n C1 G1 I1 E1 X1

2 X21 … … X2j … X2n C2 G2 I2 E2 X2

: … … … …

i … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi

: … … … …

Inpu

t An

tara

n Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn

W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W

T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T

Inpu

t In

tern

al

Wilay

ah

Nilai Tamba

h

S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S

Input Eksternal

Wilayah

M M1 … … Mj … Mn CM GM IM - M

Total Input X1 … … Xj … Xn C G I E X

[image:39.595.113.513.168.454.2]

Sumber : Modul Permodelan (Saefulhakim 2004a).

Gambar 6 Struktur dasar Tabel Input Output. Keterangan :

i,j : Sektor ekonomi: i=1,2,..,n; j=1,2,..,n

Xij : Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j

Xi : Total output sektor i; Xj : total input sektor j; untuk sektor yang sama (i=j),

total output sama dengan total intput (Xi=Xj)

Ci : Permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i

Gi : Permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap

output sektor i

Ii : Permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i;

output sektor i yang menjadi barang modal

Ei : Ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke luar

wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i Yi : Total permintaan akhir terhadap output sektor i (Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)

Wj : Pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j

yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j

Tj : Pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah

(40)

Sj : Surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha

Mj : Impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli dari

luar wilayah.

Secara umum, total output yang dihasilkan dari suatu sektor (Xi) merupakan

total dari permintaan antara sektor (i) dengan total permintaan akhir sektor (i) tersebut juga. Demikian halnya dengan total input sektor tertentu (Xj) hasilnya

diperoleh dari total input antara suatu sektor (j) ditambah dengan nilai tambah yang diperoleh serta permintaan terhadap sektor (j) tersebut dari luar negeri. Total output suatu sektor sama dengan total input sektor tersebut juga.

Secara matematis, persamaan total output (Xi) dapat diperoleh sebagai

berikut :

n + =

j

ij Fi Xi

X untuk i = 1,2,3, ..., dst ...(1)

Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Fi : banyaknya permintaan akhir terhadap sektor i

Xi : total output sektor i

Sedangkan total input sektor j (Xj), diperoleh dengan pendekatan matematis

sebagai berikut :

n + + =

i

ij Vj Mj Xj

X untuk j = 1,2,3, ..., dst ... (2)

Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Vj : banyaknya input primer dari sektor j

Mj : total impor produksi sektor j

Xj : total input sektor j

Dengan menggunakan persamaan pertama dan kedua, maka dapat diperoleh hubungan antara Tabel I-O dengan Produk Domestik Regional Bruto sebagai berikut, dimana total output sama dengan total input sebagai berikut :

Xi = Xj ... (3)

n + +

i

ij Vj Mj

X =

+ ... (4)

n

j

ij Fi

X

n +

i

Mj

Vj =

... (5)

n

j

(41)

n i

Vj = Fi Mj ... (6)

n

j

Sehingga total permintaan akhir dikurangi dengan total impor sama dengan nilai tambah bruto (PDRB). Atas dasar persamaan di atas ini maka dapat dilakukan

(42)

Kerangka Umum Penelitian

Wilayah yang berkembang dengan baik ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar

sektor dalam perekonomian, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa

antar sektor yang berlangsung secara dinamis. Pendekatan pembangunan secara sektoral

dilakukan dengan jalan menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian satu per satu

untuk dilihat peluang dan potensinya. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus

melihat keterkaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya

dilakukan dengan menggunakan metode analisis Input Output.

Dengan menggunakan metode analisis tersebut, maka dapat ditetapkan berbagai

sektor yang merupakan sektor unggulan dengan berbagai kriteria yang telah ditetapkan,

sehingga pada akhirnya dapat ditetapkan skala prioritas tentang sektor apa yang perlu

dikembangkan di wilayah tersebut berdasarkan sasaran yang ingin dicapai. Selain itu,

pemahaman tentang struktur perekonomian wilayah sangat diperlukan dalam rangka

mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam pembangunan wilayah

Pengetahuan tentang karakteristik perekonomian wilayah dan sektor-sektor yang menjadi

unggulan pada wilayah tersebut akan memudahkan didalam menentukan prioritas

pembangunan dan pengalokasian anggaran dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan.

Anggaran bagi suatu pemerintahan merupakan rencana kerja yang akan

dilaksanakan pada satu tahun ke depan dan disajikan dalam bentuk angka-angka.

Angka-angka pada sisi penerimaan mencerminkan rencana pendapatan serta sumber-sumber

untuk mendapatkannya, sedangkan angka-angka pada sisi pengeluaran mencerminkan

program kerja pemerintahan maupun pembangunan yang akan dilaksanakan.

Keterbatasan dana sebagai sumber pembiayaan dalam melaksanakan pembangunan

merupakan alasan ditetapkannya suatu skala prioritas di dalam pembangunan. Penetapan

prioritas dalam suatu pembangunan di daerah berarti merupakan suatu pilihan untuk

melaksanakan rencana kerja dengan tujuan bahwa rencana kerja tersebut mempunyai

(43)

Oleh karenanya, di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat

strategis/unggulan akibat besarnya sumbangan yang diberikan di dalam perekonomian

wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya. Pembangunan spasial akan

mengarah ke desentralisasi sistem pusat kegiatan dari yang tadinya berpusat pada

kota-kota besar akan lebih tersebar ke arah pembangunan kota-kota-kota-kota kecil di wilayah perdesaan

sebagai pusat kegiatan di luar usaha tani dan jasa-jasa pelayanan.

Kondisi Daerah

- amanat otonomi daerah - keragaman sektoral dan regional

- keterbatasan PAD dan sumber pembiayaan lainnya

SKENARIO KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Sektor-Sektor Dalam Perekonomian

Sumber Daya Alam

Sumber Daya Sosial

Keterbatasan Dana Pembangunan

Pembangunan Wilayah Yang Berkelanjutan

- pertumbuhan - pemerataan - keberlanjutan

Alokasi Anggaran Efektif & Efisien Sumber Daya

Manusia

Peningkatan Kinerja Pemerintah

Daerah Keterbatasan Sumber Daya

Prioritas Pembangunan Sumber Daya

[image:43.612.92.507.215.687.2]

Buatan

(44)

Secara ekonomis, suatu kegiatan dapat dikatakan telah dilaksanakan secara efisien

apabila untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dilaksanakan dengan biaya yang

seminal mungkin. Keterkaitan antara alokasi anggaran belanja dengan pemahaman atas

karakteristik perekonomian wilayah dan sektor unggulan akan memberi manfaat yang

besar dalam penyusunan rencana pengeluaran pemerintah. Alokasi anggaran belanja yang

terkait dengan sektor unggulan akan memberi dampak terhadap sektor-sektor lainnya.

Atau dapat dikatakan, dengan melakukan pembiayaan terhadap suatu sektor tertentu

maka sektor lainnya akan menerima manfaat juga.

Perencanaan pembangunan wilayah yang disusun secara komprehensif pada

akhirnya akan meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga hasil-hasil yang

diharapkan dapat tercapai. Dalam pembangunan perekonomian daerah, setiap kebijakan

dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah pasti akan

mendasarkan diri dari kekhasan yang menjadi ciri daerah yang bersangkutan, dimana

kegiatan tersebut ditujukan bagi terciptanya peningkatan -- baik jumlah maupun jenis --

kesempatan kerja bagi masyarakatnya, pertumbuhan perekonomian wilayah yang stabil,

dan peningkatan pendapatan per kapita.

Kerangka Pendekatan Analisis

Gambar tujuh sampai dengan sepuluh merupakan pola-pola pendekatan analisis,

sumber data, dan tahapan-tahapan yang dilakukan di dalam menentukan sektor unggulan

di Jawa Timur dan keterkaitannya dengan alokasi anggaran belanja. Dengan memahami

pola-pola pendekatan analisis dan tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan diharapkan

dapat dilakukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

1. Penentuan sektor unggulan serta keterkaitan antara sektor hulu dan hilir dalam perekonomian wilayah Jawa Timur

Untuk menentukan sektor unggulan pada perekonomian Jawa Timur, maka

dilakukan analisis Input Output (I-O) terhadap sektor-sektor perekonomian di Jawa

(45)

dengan menggunakan Metode RAS. Metode RAS, pertama kali dikembangkan oleh

Prof. Richard Stone dari Cambridge University, Inggris (BPS 2000).

1

[image:45.612.87.481.137.676.2]

Bagan Alir Pendekatan Analisis

Tabel I-O Jatim 2003 44 Sektor Sumber Data :

- Tabel I-O Jawa Timur Tahun 2003 (Updating) - Data Base Tenaga Kerja

Analisis Input Output Analisis

Koefisien Input (aij) Elemen Invers Matrik Leontief (bij)

Keterkaitan Antar Sektor : DBL, FBL,

DIBL, FIBL

Dampak Multiplier : IM, PDRB-M, TM

Hasil

Kriteria Sektor Unggulan

Resume Keterkaitan Antar Sektor & Dampak Multiplier

Sektor Unggulan Prop Jatim

Principal Component Analysis

Factor Score Factor Loading

Karakteristik Keterkaitan Sektor

Hilir Hulu & Dampak Multiplier

Mengetahui Sektor Unggulan dan Keterkaitan Sektor Hulu & Hilir Pada Perekonomian Jawa

Timur

TUJUAN

Analisis

Keterkaitan Analisis Multiplier

Analisis Sektor Unggulan

2 Data Tenaga

Kerja

(46)

Analisis yang dilakukan terhadap tabel I-O updating tahun 2003 adalah analisis keterkaitan dan angka pengganda sektoral. Hasil dari perhitungan terhadap Tabel I-O

updating 2003 Jawa Timur menghasilkan koefisien teknis (matriks A) dan invers matriks leontief (matriks B) yang selanjutnya diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai

keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier). Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan metode I-O, akan didapatkan nilai total dari keterkaitan langsung

dan tidak langsung baik ke depan maupun ke belakang sektoral. Sedangkan dari hasil

analisis terhadap angka pengganda (multiplier) diperoleh nilai angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda surplus usaha, angka pengganda

PDRB, angka pengganda tenaga kerja, dan angka pengganda impor sektoral.

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan menggunakan data-data dari hasil

analisis terhadap tabel I-O updating Jawa Timur tahun 2003, dapat ditentukan sektor-sektor yang merupakan sektor-sektor unggulan di Jawa Timur. Gambaran mengenai struktur

perekonomian di Jawa Timur terutama mengenai keterkaitan antara sektor hulu dan hilir

diperoleh dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) terhadap data-data yang telah diperoleh dari hasil analisis keterkaitan dan angka pengganda

sektoral. Hasil dari analisis PCA juga memberikan gambaran mengenai keterkaitan sektor

hulu maupun sektor hilir terhadap variabel-variabel angka pengganda gaji dan upah,

angka pengganda surplus usaha, angka pengganda pajak, angka pengganda penyusutan,

angka pengganda PDRB, serta angka pengganda impor sektoral. Pendekatan analisis

yang dilakukan untuk mencapai tujuan pertama dan kedua, secara grafis seperti terlihat

pada Gambar 8.

2. Indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur

Data yang digunakan di dalam menentukan lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa

Timur adalah data PDRB Harga Konstan Tahun 1993 kabupaten/kota di Jawa timur

dengan mengambil sampel dua titik tahun, yaitu tahun 2000 dan 2003. Jumlah sektor

yang digunakan pada PDRB tersebut di atas berjumlah 41 sektor, berbeda dengan jumlah

sektor pada tabel I-O yang berjumlah 44 sektor. Perbedaan ini disebabkan terjadi karena

adanya beberapa sektor pada data PDRB yang tidak dirinci lebih detail sedangkan pada

(47)

beberapa sektor yang dirinci lebih lanjut. Secara umum klasifikasi yang digunakan tidak

mempengaruhi hasil perhitungan untuk indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa

Timur. Perbedaaan klasifikasi yang digunakan secara lebih jelas seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Klasifikasi sektoral data PDRB harga konstan tahun 2000 dan 2003 serta data Tabel I-O updating tahun 2003

1 Tanaman Bahan Makanan 1 Padi

2 Jagung 3 Ketela Pohon 4 Kedelai 5 Sayur-sayuran 6 Buah-Buahan 7 Umbi-Umbian 8 Kacang Tanah 9 Kacang-Kacang Lainnya

2 Tanaman Perkebunan 10 Tebu

11 Tembakau

12 Tanaman Perekebunan Lainnya

3 Peternakan 13 Peternakan

4 Kehutanan 14 Kehutanan

5 Perikanan 15 Perikanan

6 Pertambangan Migas 16 Pertambangan Migas 7 Pertambangan Non Migas 17 Pertambangan Non Migas

8 Penggalian 18 Penggalian

9 Makanan, Minuman dan Tembakau 19 Makanan, Minuman, dan Tembakau 10 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 20 Telstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki 11 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 21 Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 12 Kertas dan Barang Cetakan 22 Kertas dan Barang Cetakan

13 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 23 Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet 28 Pengilangan Minyak

14 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 24 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 15 Logam Dasar Besi dan Baja 25 Logam Dasar Besi dan Baja

16 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 26 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan

17 Barang Lainnya 27 Barang Lainnya

18 Listrik 29 Listrik, Gas, dan Air Bersih

19 Gas 20 Air Bersih

21 Bangunan dan Konstruksi 30 Bangunan dan Konstruksi

22 Perdagangan 31 Perdagangan

23 Hotel 32 Hotel

24 Restoran 33 Restoran

25 Angkutan Rel 34 Angkutan Rel

26 Angkutan Jalan Raya 35 Angkutan Jalan Raya

27 Angkutan Laut 36 Angkutan Laut

28 Angkutan Penyeberangan 37 Angkutan Penyeberangan

29 Angkutan Udara 38 Angkutan Udara

30 Jasa Penunjang Angkutan 39 Jasa Penunjang Angkutan 31 Pos dan Telekomunikasi 40 Pos dan Telekomunikasi 32 Jasa Penunjang Telekomunikasi 41 Jasa Penunjang Telekomunikasi 33 Bank 42 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 34 Lembaga Keuangan Bukan Bank

35 Jasa Penunjang Keuangan 36 Sewa Bangunan 37 Jasa Perusahaan

38 Pemerintahan Umum 43 Pemerintahan Umum 39 Jasa Sosial Kemasyarakatan 44 Jasa-Jasa 40 Jasa Hiburan dan Kebudayaan

41 Jasa Perorangan dan RT

DATA PADA PDRB HARGA KONSTAN TAHUN 2000

DAN 2003 DATA PADA TABEL I-O UPDATING 2003 JAWA TIMUR

Kode

Sektor Sektor

Kode

(48)

Analisis yang digunakan untuk indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur

adalah metode Locational Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Sektor-sektor yang dianalisis dengan menggunakan kedua metode tersebut adalah sektor-sektor yang

yang merupakan sektor unggulan dari hasil analisis terhadap Tabel I-O updating 2003 Jawa Timur. Dari analisis LQ, dapat diketahui pemusatan-pemusatan aktivitas sektor

unggulan Provinsi Jawa Timur pada kabupaten/kota yang ditandai dengan nilai LQ > 1.

Dari hasil analisis SSA dapat diperoleh data mengenai differential shift (DS) yang menggambarkan bahwa sektor-sektor unggulan mempunyai daya saing atau tingkat

kompetitif yang bagus pada kabupaten/kota tertentu di Jawa timur. Indikator yang

digunakan adalah nilai DS ≥ 0.

Bagan Alir Pendekatan Analisis

Sumber Data : Publikasi PDRB Jatim Harga Konstan 1993 Tahun 2000 dan 2003

Analisis

Hasil TUJUAN

PDRB Harga Konstan Kab / Kota Jatim 2003

Location Quotient

LQ ij > 1

Sektor Unggulan Prop Jatim

Lokasi-Lokasi Sektor Unggulan di Jawa Timur

2

3

<

Gambar

Gambar 3  Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004.
Gambar 5  Sumber-sumber pendanaan daerah.
Tabel 1  Sumber dan besar dana bagi hasil
Gambar 6  Struktur dasar Tabel Input Output.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Biaya tenaga kerja langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan tenaga langsung selama proses produksi. Dalam perhitungan biaya kebutuhan tenaga kerja ini akan

Gambar 3.8 Sarana Olahraga yang terdapat di Kelurahan Gebang Putih Sumber : Data primer berupa hasil survei, 2015. 3.1.7 RTH (Ruang

Mampu menulis karangan, dengan pikiran sendiri dalam berbagai ragam bahasa dan jenis karangan sesuai kaidah bahasa. 9.1 Menulis desposisi (menjelaskan cara

Pada bab ini dibahas mengenai dasar-dasar teori yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa data-data yang telah diperoleh dari pelaksanan penelitian ini, teori yang di

Pada model SIR, individu yang awalnya berpotensi tidak terinfeksi akan menjadi individu rentan terinfeksi jika ia ada dalam suatu populasi tertutup yang didalamnya

diharapkan tersebut, maka kajian dalam kegiatan perkuliahan ini membahas berbagai jenis media pembelajaran fisika yang relevan dengan tuntutan Standar Nasional

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 12 perlakuan dan tiga ulangan. Kesimpulan menunjukkan bahwa 1) Penampilan pertumbuhan dan hasil tanaman

Selama periode tahun 2003-2015, tutupan lahan di Kabupaten Tapanuli Utara mengalami perubahan tutupan lahan paling dominan adalah perubahan lahan pertanian lahan kering campur