• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kualitas Protein Secara Biologi Pada Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Tepung Kecambah Kedelai (Glycine max L. Merrill)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kualitas Protein Secara Biologi Pada Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Tepung Kecambah Kedelai (Glycine max L. Merrill)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KUALITAS PROTEIN SECARA BIOLOGI PADA TEPUNG CAMPURAN BERAS-PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. Awak) YANG DIVARIASIKAN DENGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

DAN TEPUNG KECAMBAH KEDELAI (Glycine max L. Merrill)

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 091000032 ISNATUR RAHMI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS KUALITAS PROTEIN SECARA BIOLOGI PADA TEPUNG CAMPURAN BERAS-PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. Awak) YANG DIVARIASIKAN DENGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

DAN TEPUNG KECAMBAH KEDELAI (Glycine max L. Merrill)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

NIM.091000032 ISNATUR RAHMI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Kualitas protein merupakan syarat penting dalam pembuatan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pembuatan MP-ASI yang berkualitas memenuhi >70% kualitas kasein.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk menganalisis kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang divariasikan dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kecambah kedelai (Glycine max L. Merrill). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 taraf perlakuan yaitu tepung protein whey, tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai (TPLK) dan tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo (TPL). Kualitas protein diketahui dengan menghitung nilai Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) dari hewan percobaan yaitu mencit jantan lepas sapih (Usia 23 hari) sebanyak 18 ekor.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selama Oktober-Desember 2013. Selanjutnya dilakukan analisis kadar nitrogen feses dan urin mencit di Balai Riset Standardisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk perhitungan nilai BV dan NPU.

Kualitas protein berdasarkan nilai PER pada TPLK dan TPL yaitu : 1,28 dan 0,94. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada nilai PER menunjukkan bahwa pemberian ransum TPLK dan TPL tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan mencit. Kualitas protein berdasarkan nilai BV pada TPLK dan TPL yaitu 17,33% dan 14,47 %. Sedangkan nilai NPU pada TPLK dan TPL masing-masing sebesar 18,53% dan 16,22%. Berdasarkan nilai PER, BV dan NPU yang diperoleh menunjukkan bahwa TPLK dan TPL belum memenuhi standard MP-ASI sesuai dengan 224/Menkes/SK/II/2007.

Disarankan pembuatan tepung TPLK dan TPL sebaiknya dilakukan dengan pengolahan yang sekaligus sehingga mengurangi proses pengeringan berulang yang menyebabkan kerusakan pada kandungan gizi khusunya protein. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan hewan uji tikus untuk melihat perbedaan pertambahan berat badan dan PER yang diperoleh.

(5)

ABSTRACT

Protein quality is an important requirement in the manufacture of complementary feeding. Standard of complementary feeding quality was >70% casein quality.

This experimental research aims to analyze the protein quality of the flour mixture rice-banana ‘Awak’ ripe (Musa paradisiaca var. Awak) that varied with African catfish (Clarias gariepinus) and soybean sprouts (Glycine max L.Merrill). This research used a Completely Randomized Design with three treatments were: whey protein powder, banana ‘Awak’ ripe flour mixture African catfish and soybean sprouts (TPLK) and the mixture of banana ‘Awak’ ripe flour and african catfish (TPL). Protein quality was calculating the value of Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV) and Net Protein Utilization (NPU) of 18 male mices, 23 days old. This research was conducted in the Laboratory of Food Nutrition of Public Health Faculty, University of North Sumatera during October to December 2013. Further, analysis of feces and urine’s nitrogen of mice in Industry Standardization Research Center Medan (BARISTAND).

Protein quality of TPLK and TPL from PER value were: 1.28 and 0.94. The results of analysis of variance (ANOVA) showed the PER value of TPLK and TPL doesn’t give a significantly different effect of the mice’s growth. The BV value were 17.33% and 14.47%, and the NPU value were 18.53% and 16.22%. Based on PER, BV and NPU values showed that TPLK and TPL hasn’t met the standard of complementary feeding appropriate 224/Menkes/SK/II/2007.

It’s suggested, making TPLK and TPL flour should be done at a time so reduce the drying process repeatedly that damage the nutritional content especially protein. Besides, need further research using rats to see the difference weight gain and PER value.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Isnatur Rahmi

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 30 April 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Gurilla No. 10 B Medan Perjuangan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1997-2003 : Madrasah Ibtidaiyah Negeri Medan Tembung 2. 2003-2006 : Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan 3. 2006-2009 : Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, kemudahan, dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kualitas Protein Secara Biologi Pada Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Tepung Kecambah Kedelai (Glycine max L. Merrill)”, guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua Orang tua tercinta, Ayahanda H. Ishak Hamzah dan Ibunda Hj. Nur’aini Husein, atas kasih sayang, bimbingan, dukungan, nasehat dan do’a sepenuh hati. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memotivasi penulis dari awal masa perkuliahan sampai dengan penulisan skripsi ini.

(8)

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, member saran dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan bimbingan, serta kritik dan saran yang membangun bagi penulis. 6. Ibu Fitri Ardiani, SKM, MPH selaku Dosen Penguji yang telah banyak

memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis.

7. Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM, Ph.D, selaku Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah mendukung dan memotivasi penulis selama ini.

8. Bang Marihot Oloan Samosir, ST, selaku staf Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah banyak membantu penulis saat proses penelitian serta penyelesaian administrasi penelitian.

9. Para Dosen dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat.

10. Bapak Al Hamra selaku Kepala Laboratorium MMH, Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan (BARISTAND), yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di Laboratorium tersebut.

(9)

12. Sahabat tersayang, Widya Annisa yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu, memberikan arahan, serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

13. Kawan-kawan seperjuangan dari awal di FKM USU 2009, Adelina Irmayani, Defi Wahyuningsih, Suliyanti, Rahmawati Hsb, Shafratul Husna, dan Mbak Nur Aswat yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

14. Keluarga Besar di Laboratorium Pangan dan Gizi FKM USU, Kak Epi, Bang Sehat, Kak Dewi, Kak Yunita Hrp, Masria S, Nurmaida, Audiary, Dinda dan Vella yang saling memberikan dukungan dan kehangatan kebersamaan selama penelitian di Laboratorium..

15. Teman seperjuangan di UKMI Ad-Dakwah USU, UKMI FKM USU dan Pertamina Foundation Schoolars, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan semangat serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Amiin.

Medan, Maret 2014

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

(11)

3.4.1. Tahapan Pertama ... 39

3.6.1. Pengukuran Parameter Uji Kualitas Protein ... 48

3.7. Analisis dan Pengolahan Data ... 49

3.8. Definisi Operasional ... 51

BAB VI HASIL PENELITIAN ... 53

4.1. Karakteristik Tepung Beras-Pisang Awak Masak yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo dan Tepung Kecambah Kedelai ... 53

4.2. Kandungan Zat Gizi pada Tepung Beras-Pisang Awak Masak yang Divariasikan dengan Ikan Lele Dumbo dan Tepung Kecambah Kedelai ... 54

4.3. Karakteristik Hewan Percobaan ... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Komposisi Gizi dalam 100 gram MP-ASI Bubuk Instan ... 12

Tabel 2.2. Kandungan Gizi Pisang Awak dan Tepung Campuran Beras-Pisang Awak Masak ... 17

Tabel 2.3. Kandungan Gizi Daging Ikan Lele Dumbo per 100 gram ... 21

Tabel 2.4. Susunan Asam Amino Esensial Ikan Lele ... 21

Tabel 2.5. Komposisi Zat Gizi Kedelai ... 23

Tabel 2.6. Komposisi Zat Gizi Berbagai Jenis Kecambah dalam 100 gram Bahan ... 25

Tabel 2.7. Komposisi Asam Amino Kecambah Kedelai Dibandingkan Kedelai Kering dan Tempe dalam 100 gram Bahan ... 27

Tabel 2.8. Pola Kebutuhan Asam Amino Esensial yang Disarankan dalam Diet Menurut Kelompok Umur ... 29

Tabel 2.9. Hasil Analisis Kandungan Asam Amino Pada Tepung TPLK dan TPL dalam Komposisi 100 gram Bahan ... 30

Tabel 3.1. Pengkodean Perlakuan Berdasarkan Jenis Ransum yang Diberikan ... 42

Tabel 3.2. Komposisi Ransum untuk Penetapan PER in vivo ... 42

Tabel 3.3. Komposisi Ransum untuk Perlakuan (per 100 gram Ransum) ... 43

Tabel 3.4. Pengelompokan Hewan Percobaan Berdasarkan Perlakuan ... 48

Tabel 3.5. Daftar Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap ... 49

Tabel 4.1. Kandungan Proksimat Tepung TP, TPLK dan TPL per 100 gram Bahan ... 54

Tabel 4.2. Nilai PER kelompok Mencit Berdasarkan Perlakuan yang Diberikan ... 56

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Pisang Awak Masak (Musa paradisiaca var. Awak) ... 14

Gambar 2.2. (a) Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus), (b) Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 19

Gambar 2.3. Kacang Kedelai (Glycine max L. Merrill) ... 22

Gambar 2.4. Kecambah Kedelai ... 24

Gambar 2.5 Mencit Jantan (Mus muscullus) ... 32

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 36

Gambar 3.1. Skema Rancangan Acak Lengkap Penelitian ... 38

Gambar 3.2. Skema Pembuatan Ransum P1, P2 dan P3 ... 46

Gambar 4.1. Karakteristik Tepung TP, TPLK dan TPL ... 53

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 2. Surat Selesai Penelitian

Lampiran 3. Hasil Analisa Nitrogen Feses dan Urin Mencit

Lampiran 4. Pertumbuhan Berat Badan Mencit selama 28 Hari Pengamatan Lampiran 5. Konsumsi Ransum Mencit Selama 28 Hari Pengamatan

Lampiran 6. Konsumsi Protein Ransum yang Diberikan Selama 28 Hari Pengamatan per 100 gram Ransum

(15)

ABSTRAK

Kualitas protein merupakan syarat penting dalam pembuatan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pembuatan MP-ASI yang berkualitas memenuhi >70% kualitas kasein.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk menganalisis kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang divariasikan dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kecambah kedelai (Glycine max L. Merrill). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 taraf perlakuan yaitu tepung protein whey, tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai (TPLK) dan tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo (TPL). Kualitas protein diketahui dengan menghitung nilai Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) dari hewan percobaan yaitu mencit jantan lepas sapih (Usia 23 hari) sebanyak 18 ekor.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selama Oktober-Desember 2013. Selanjutnya dilakukan analisis kadar nitrogen feses dan urin mencit di Balai Riset Standardisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk perhitungan nilai BV dan NPU.

Kualitas protein berdasarkan nilai PER pada TPLK dan TPL yaitu : 1,28 dan 0,94. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada nilai PER menunjukkan bahwa pemberian ransum TPLK dan TPL tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan mencit. Kualitas protein berdasarkan nilai BV pada TPLK dan TPL yaitu 17,33% dan 14,47 %. Sedangkan nilai NPU pada TPLK dan TPL masing-masing sebesar 18,53% dan 16,22%. Berdasarkan nilai PER, BV dan NPU yang diperoleh menunjukkan bahwa TPLK dan TPL belum memenuhi standard MP-ASI sesuai dengan 224/Menkes/SK/II/2007.

Disarankan pembuatan tepung TPLK dan TPL sebaiknya dilakukan dengan pengolahan yang sekaligus sehingga mengurangi proses pengeringan berulang yang menyebabkan kerusakan pada kandungan gizi khusunya protein. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan hewan uji tikus untuk melihat perbedaan pertambahan berat badan dan PER yang diperoleh.

(16)

ABSTRACT

Protein quality is an important requirement in the manufacture of complementary feeding. Standard of complementary feeding quality was >70% casein quality.

This experimental research aims to analyze the protein quality of the flour mixture rice-banana ‘Awak’ ripe (Musa paradisiaca var. Awak) that varied with African catfish (Clarias gariepinus) and soybean sprouts (Glycine max L.Merrill). This research used a Completely Randomized Design with three treatments were: whey protein powder, banana ‘Awak’ ripe flour mixture African catfish and soybean sprouts (TPLK) and the mixture of banana ‘Awak’ ripe flour and african catfish (TPL). Protein quality was calculating the value of Protein Efficiency Ratio (PER), Biological Value (BV) and Net Protein Utilization (NPU) of 18 male mices, 23 days old. This research was conducted in the Laboratory of Food Nutrition of Public Health Faculty, University of North Sumatera during October to December 2013. Further, analysis of feces and urine’s nitrogen of mice in Industry Standardization Research Center Medan (BARISTAND).

Protein quality of TPLK and TPL from PER value were: 1.28 and 0.94. The results of analysis of variance (ANOVA) showed the PER value of TPLK and TPL doesn’t give a significantly different effect of the mice’s growth. The BV value were 17.33% and 14.47%, and the NPU value were 18.53% and 16.22%. Based on PER, BV and NPU values showed that TPLK and TPL hasn’t met the standard of complementary feeding appropriate 224/Menkes/SK/II/2007.

It’s suggested, making TPLK and TPL flour should be done at a time so reduce the drying process repeatedly that damage the nutritional content especially protein. Besides, need further research using rats to see the difference weight gain and PER value.

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Status gizi yang baik pada masa bayi dapat dipenuhi dengan pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan pertama bayi. Hal ini dikarenakan ASI adalah makanan bergizi dan berenergi tinggi yang mudah untuk diterima bayi. ASI memiliki kandungan yang dapat membantu penyerapan gizi. ASI merupakan zat gizi yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi yang penting untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai berusia enam bulan.

Namun pasca 6 bulan, pemberian ASI saja tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan makanan bayi. Pemberian ASI saja pada usia pasca 6 bulan hanya akan memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan bayi. Sedangkan yang 30-40% harus dipenuhi dari makanan pendamping atau makanan tambahan. Sementara itu, pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat dalam kualitas dan kuantitasnya dapat menyebabkan bayi menderita gizi kurang (Indiarti, 2008).

(18)

kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Depkes RI, 2010), prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur) pada anak balita di Indonesia sebesar 17,9 persen sedangkan anak balita gizi lebih sebesar 12,2 persen. Prevalensi balita pendek dan sangat pendek juga masih tinggi yaitu sebesar 18,0 persen dan 18,5 persen.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi tersebut dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan, dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit degeneratif pada usia tua. Keseluruhan hal tersebut akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa.

(19)

ASI eksklusif serta MP-ASI dan intervensi gizi sensitif yaitu kegiatan diluar sektor kesehatan (Laksono, 2012)

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; (1) memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, (2) memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, (3) memberikan MP-ASI sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan (4) meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.

Pemberian MP-ASI lokal memiliki beberapa dampak positif, antara lain; ibu lebih memahami dan lebih terampil dalam membuat MP-ASI dari bahan pangan lokal sesuai dengan kebiasaan dan sosial budaya setempat, sehingga ibu dapat melanjutkan pemberian MP-ASI lokal secara mandiri. (DepKes RI, 2006)

Makanan pendamping ASI pertama sebaiknya adalah golongan beras dan serelia, karena berdaya alergi rendah. Secara berangsur-angsur dapat dikombinasikan dengan buah, sayur, dan sumber protein (tahu, tempe, ikan, daging sapi, daging ayam, hati ayam, dan kacang-kacangan). Sebagian masyarakat kita memanfaatkan buah pisang diantaranya pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) sebagai MP-ASI karena rasanya yang manis dan tekstur yang lembut sehingga mudah diterima oleh bayi.

(20)

Secara empiris, pemberian pisang awak masak yang dikerok baik langsung diberikan maupun dicampur dengan nasi sebagai MP-ASI telah lama dilakukan oleh sebagian masyarakat khususnya di Aceh.

Berdasarkan hal tersebut, pembuatan MP-ASI untuk memenuhi gizi bayi dapat dilakukan dengan mengombinasikan pisang awak masak yang umumnya kaya akan vitamin, karbohidrat, serat, energi, dan mineral namun sedikit mengandung protein dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kedelai (Glycine max L. Merrill) sebagai penyumbang protein untuk memenuhi gizi tumbuh kembang bayi selanjutnya.

Kombinasi antara kacang-kacangan dan serelia juga akan menghasilkan suatu pola komposisi asam amino esensial yang lebih mendekati pola standar bila dibandingkan dengan pola konsumsi asam amino esensial bahan makanan tersebut secara sendiri-sendiri (Nursanyoto, 1992) dikarenakan protein kacang-kacangan umumnya kaya akan lisin, leusin, dan isoelusin, tetapi terbatas dalam hal metionin

dan sistin. Hal ini menyebabkan protein sering dikombinasikan dengan serelia, karena kaya akan metionin dan sistin tetapi miskin lisin (Astawan, 2008).

Pembuatan tepung beras-campuran pisang awak masak yang dikombinasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai sebagai MP-ASI dapat lebih mudah dibentuk dan disajikan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak.

(21)

mudah dicerna menunjukan besarnya jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan tubuh karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi, 1989).

Dengan demikian, penulis tertarik untuk menganalisis kualitas protein secara biologi pada campuran tepung beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai, dikarenakan manfaat yang dihasilkan dari nilai gizi yang terkandung pada ketiga pangan tersebut dalam pemenuhan gizi penting pada bayi dan balita usia 6-24 bulan. Selain itu, pemanfaatan pangan lokal juga bisa meningkatkan kelestarian terhadap budaya dan kecintaan produk dalam negeri.

Untuk mengetahui mutu biologi protein tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai dapat menggunakan beberapa indikator yaitu: Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Utilization (NPU) dan Biological Value (BV). Penentuan kualitas protein melalui indikator-indikator tersebut berdasarkan pengukuran aktivitas protein pada tubuh mencit jantan (Mus musculus) yang memiliki kemiripan fisiologis dan anatomis dengan manusia.

1.2. Rumusan Masalah

(22)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak (Musa paradisiaca var. Awak) yang divariasikan dengan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan kecambah kedelai (Glycine max L. Merrill).

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kualitas protein tepung campuran beras-pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai (TPLK).

2. Untuk mengetahui kualitas protein tepung campuran beras-pisang awak masak dengan ikan lele dumbo (TPL).

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai makanan lokal sebagai MP-ASI yang mudah disajikan.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Bayi

Makanan bayi dan anak usia 6-24 bulan adalah terdiri dari Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) (Depkes RI, 2006). ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI dapat diberikan kepada bayi sampai 6 bulan. Hanya dengan mengonsumsi ASI, seorang bayi dapat tumbuh kembang dengan baik. Susunan ASI tiap 100 ml mengandung 60-65 kalori, 1-1,2 gr protein, 2,5-3,5 gr lemak dan Rasio protein per kalori 7,7 % (Waluyo, 2010).

WHO telah menetapkan bahwa ASI harus tetap diberikan eksklusif sampai 6 bulan dan MP-ASI harus mulai diberikan pada usia ini. Kebijakan ini juga telah disetujui di Inggris yang juga merekomendasikan agar makanan selain susu tidak diperkenalkan sebelum usia 4 bulan (Barasi, 2009).

2.1.1. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

Makanan Pendamping Air Susu Ibu adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI.

Kandungan gizi adalah jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus ada di dalam MP-ASI lokal setiap hari yaitu sebesar 250 Kalori, 6-8 gram protein untuk bayi usia 6 – 12 bulan dan 450 Kalori, 12 - 15 gram protein untuk anak usia 12 - 24 bulan.

(24)

yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein. Kebutuhan gizi bayi usia 12 – 24 bulan adalah sekitar 850 Kalori dan 20 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 Kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein.

MP-ASI sebaiknya berasal dari bahan lokal yaitu MP-ASI yang diolah di rumah tangga atau di Posyandu, terbuat dari bahan makanan yang tersedia setempat, mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh masyarakat, dan memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi bayi (Depkes RI, 2006).

Pemberian MP-ASI penting untuk memenuhi kebutuhan bayi 6 bulan keatas. Beberapa alasan pentingnya diperkenalkan MP-ASI sebagai makanan tambahan bayi adalah: (1) penyedian lebih banyak energi dan nutrien agar kebutuhan pertumbuhan terpenuhi, (2) penyedian zat besi, karena cadangan yang disuplai sewaktu lahir telah menyusut, (3) stimulasi perkembangan: gerakan tangan ke mulut, perkembangan wajah dan rongga mulut bersifat esensial bagi kemampuan berbicara, (4) agar anak mampu mencerna, mengabsorbsi, dan mengekspresikan makanan lain, (5) perkembangan keterampilan sosial, makan bersama keluarga, dan (6) agar anak memperoleh kemampuan membedakan rasa (Barasi,2009).

(25)

sejak dalam kandungan (pertumbuhan gizi yang terhambat), pemberian MP-ASI terlalu dini atau terlambat, tidak cukup mengandung energi dan zat gizi terutama mineral, dan tidak berhasil memberikan ASI eksklusif (Waluyo, 2010)

Perkenalan MP-ASI yang terlalu dini juga dapat meningkatkan reaksi alergi karena belum sempurnanya saluran cerna, dan mungkin berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi dada serta obesitas. Sedangkan jika perkenalan dilakukan terlambat, fase perkembangan kemampuan mengunyah akan terlewatkan sehingga terjadi kegagalan pertumbuhan akibat tidak terpenuhinya gizi.

Suplemen tetes vitamin yang mengandung vitamin A, C, dan D direkomendasikan untuk semua anak dibawah usia 2 tahun di Inggris. Anak yang mengikuti persentil pertumbuhannya dan menyukai berbagai jenis makanan adalah indikator yang baik untuk keberhasilan penyapihan (Barasi, 2009).

2.1.2. Pola Pemberian MP-ASI Menurut Umur

Pemberian MP-ASI baik jenis, porsi, dan frekuensinya tergantung dari usia dan kemampuan bayi. Sulistyoningsih (2011) menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian MP-ASI agar kebutuhan gizi bayi terpenuhi dengan baik yaitu:

1. Memberikan ASI terlebih dahulu kemudian memberikan MP-ASI

2. Makanan padat atau MP-ASI pertama harus bertekstur sangat halus dan licin 3. Bubur nasi diberikan 3 kali sehari dengan porsi disesuaikan menurut umur. Bayi

(26)

9 sendok makan, bayi usia 10 bulan sebanyak 10 sendok makan, dan bayi usia 11 bulan sebanyak 11 sendok makan.

4. Berikan makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, berupa biskuit, pisang, bubur kacang hijau, nagasari, ataupun sari buah manis yang disaring. 5. Bubur saring hanya boleh diberikan jika bayi telah tumbuh gigi, sedangkan

makanan yang dicincang diberikan setelah bayi pandai mengunyah.

6. Setiap kali makan perkenalkan satu jenis makanan apa saja dalam jumlah kecil. Jika bayi alergi terhadap jenis makanan tertentu maka hentikan pemberian.

7. Tambahkan telur ayam/ikan/tahu/tempe/daging sapi/wortel/bayam/santan/minyak pada MP-ASI

8. Memperkenalkan sayuran dan buah yang rendah serat seperti bayam, wortel, tomat, jeruk, pisang, pepaya, alpukat, dan pir.

9. Makanan sebaiknya tidak dicampur karena bayi harus mempelajari perbedaan tekstur dan rasa makanan.

10. Makanan padat jangan dimasukkan kedalam botol susu atau membuat lubang dot lebih besar sehingga mengesankan seperti bayi menyusu

11. Bayi dapat diajari makanan dan minum sendiri dengan sendok dan cangkir 12. Tetap berikan ASI sampai anak berusia 2 tahun.

2.1.3. Bahan Dasar MP-ASI

(27)

kadar air maksimal 14,5%, kadar abu 1,83%, kadar lemak 2,09%, protein 7% - 14,45%, pati 78,74%, karbohidrat 82,35% dan serat kasar 1,92%.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu sebagai bahan dasar pembuatan MP-ASI bubur bayi maka diperlukan komoditi lain yang bisa dipakai sebagai alternatif. Menurut SK Menkes (2007), MP-ASI bubuk instan terbuat dari campuran beras. Untuk mengoptimalkan kandungan gizi pada bubur bayi sesuai dengan SK Menkes (Tabel 2.1.), maka perlu ditambahkan bahan penyusun lain seperti pisang yang merupakan salah satu dari tiga rasa yang disukai oleh bayi.

Pisang juga memiliki aroma khas yang harum dan mempunyai kandungan gizi sangat baik, antara lain menyediakan energi dari karbohidrat cukup tinggi dibandingkan buah-buahan lain. Pisang mengandung vitamin dan mineral seperti vitamin C, B kompleks, B6, serotonin, kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium.

Pemanfaatan buah pisang selama ini belum optimal masih terbatas sebagai buah konsumsi segar dan produk olahan tradisional baik dari buah masih mentah maupun dari buah yang sudah masak. Hal ini perlu diantisipasi adalah lonjakan produksi pada saat panen raya di sentra-sentra produksi pisang sedangkan serapan pasar yang tidak berimbang menyebabkan banyaknya buah yang terbuang. Pisang terutama yang sudah masak, dapat sebagai penyedia energi dalam makanan dan minuman (Ardhianditto, 2013).

(28)

tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu MP-ASI yang disajikan (Mervina, 2009).

Tabel 2.1. Komposisi Gizi dalam 100 gram MP-ASI Bubuk Instan

No. Zat Gizi Satuan Kadar

1 Energi kkal 400 – 440

2 Protein (kualitas protein tidak kurang

dari 70% kualitas kasein) g 15 – 22

3 Lemak (kadar asam linoleat minimal 300 mg per 100 kkal atau 1,4 gram per

(29)

(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat, pisang disebut dengan Cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang.

Kedudukan tanaman pisang dalam sistematika (taksonomi) botani adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiacal L. Jenis pisang dibagi menjadi empat, yaitu:

1) Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var Sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, cavendish, barangan dan mas.

2) Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu M. paradisiaca forma typical atau disebut juga M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok.

3) Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan klutuk.

(30)

2.2.1. Pisang Awak (Musa paradisiaca var. Awak)

Berdasarkan jenis-jenis pisang yang diuraikan diatas, pisang awak termasuk pada jenis pisang yang pertama yaitu pisang yang dapat dikonsumsi langsung maupun diolah terlebih dahulu. Pisang jenis ini memiliki panjang sekitar 15 cm dengan diameter 3,7 cm. dalam satu tandan, jumlah sisir ada 18 yang masing-masing terdiri 11 buah. Bentuk buah lurus dengan pangkal bulat. Warna daging buah putih kekuningan dengan kulit yang tebalnya 0,3 cm. Lamanya buah masak dari saat berbunga adalah 5 bulan (Supriyadi dkk, 2008).

Gambar 2.1. Pisang Awak Masak (Musa Paradisiaca var. Awak) Pemberian pisang awak sebagai MP-ASI di daerah Aceh sudah menjadi hal yang umum dilakukan secara turun temurun. Pemberian pisang bisa dilakukan baik langsung diberikan kepada bayi dengan mengorek bagian dagingnya memakai sendok maupun dicampur dengan bubur/nasi tim yang dihaluskan.

(31)

vitaminnya. Beberapa vitamin tersebut yaitu vitamin A sebesar 8 mg (126 IU), vitamin C sebesar 9 mg, vitamin B1 sebesar 0,05 mg, vitamin B2 sebesar 0,1 mg, niasin sebesar 0,5 mg, asam folat sebesar 19 mg, vitamin B6 sebesar 0,58 mg, dan asam pantotenat sebesar 0,26 mg (Jumirah dkk, 2011).

Tradisi pemberian pisang awak masak sebagai MP-ASI tersebut sangat menarik sebagai upaya melestarikan budaya pemberian MP-ASI menggunakan pangan lokal.

2.2.2. Tepung Pisang Awak Masak

Pisang adalah buah yang sangat bergizi yang merupakan sumber vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Pisang dijadikan buah meja, sale pisang, pure pisang dan tepung pisang (Prihatman, 2000). Pisang sebagai salah satu tanaman buah-buahan mempunyai potensi besar diolah menjadi tepung sebagai subtitusi tepung beras. Tepung pisang merupakan produk yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat (17,2-38%) (Kurniawan, 2009).

(32)

lebih tinggi dibandingkan pisang mentah. Namun, selama ini pembuatan tepung pisang secara umum diperoleh dari pisang tua yang belum masak atau masih mentah.

Keuntungan dari tepung pisang yang dibuat dari pisang masak yaitu kandungan gula yang tinggi, cocok untuk bahan dasar produk makanan yang memerlukan kelarutan, kemanisan, dan kandungan energi yang tinggi seperti makanan untuk bayi (Jumirah dkk, 2011).

2.2.3. Pembuatan Campuran Tepung Beras-Pisang Awak Masak

Pembuatan tepung pisang awak masak akan lebih mudah jika dicampurkan dengan beras giling (tepung beras). Proses pembuatan tepung pisang awak masak mengacu pada penelitian Jumirah dkk (2011) dilakukan dengan cara berikut:

1. Pembuatan adonan pisang awak: a. Pemilihan pisang awak masak

b. Mengambil bagian daging pisang (tanpa kulit dan biji) dengan pisau stainless steel.

c. Menghaluskan daging pisang dengan blender

d. Menimbang sejumlah yang diperlukan (masing-masing 100 gram)

e. Menimbang sejumlah tepung beras yang diperlukan setelah diayak terlebih dahulu (10 gram, 15 gram…dst hingga 60 gram)

(33)

2. Pengeringan adonan dengan tahapan:

a. Memindahakan pasta ke talam yang dialasi kertas roti, dengan cara granulasi sederhana, buat merata dan tidak terlalu tebal agar mudah dikeringkan

b. Masukkan ke oven, atur suhu sekitar 55oC sampai 60oC. Panaskan hingga mengering (24 jam)

c. Timbang hasil pengeringan (setelah didinginkan hingga suhu kamar)

3. Penggilingan tepung pisang awak dengan blender, kemudian dilanjutkan dengan pengayakan Mesh 60 hingga diperoleh tepung pisang awak yang halus. Masukkan ke dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.

Tabel 2.2. Kandungan Gizi Pisang Awak dan Campuran Tepung Beras-Pisang Awak Masak

Kandungan Gizi Pisang Awak

masak F40 F50 F60

-F40: Formula yang dibuat dari pisang awak masak 100 gram + tepung beras 40 gram.

-F50: Formula yang dibuat dari pisang awak masak 100 gram + tepung beras 50 gram.

(34)

2.3. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan Lele (Clarias) adalah marga (genus) ikan yang hidup di air tawar. Ikan ini mempunyai ciri-ciri khas dengan tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang serta memiliki sejenis kumis yang panjang, mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Ikan ini sebenarnya terdiri atas berbagai jenis (spesies).

Sedikitnya terdapat 55 spesies (jenis) ikan lele di seluruh dunia. Jenis ikan yang digunakan adalah lele lokal yang merupakan lele asli di perairan umum Indonesia. Lele lokal sudah dibudidayakan sejak tahun 1975 di Blitar, Jawa Timur. Daging lele lokal sangat gurih dan renyah karena tidak mengandung banyak lemak. Morfologi ikan lele adalah bagian kepalanya pipih ke bawah (depressed), bagian tengahnya membulat dan bagian belakang pipih ke samping (compressed) serta dilindungi oleh lempengan keras berupa tulang kepala.

Sejak tahun 1986 telah diimpor jenis lele baru dari Taiwan. Lele ini kemudian diperoleh dengan sebutan “ Lele Dumbo“ atau bahasa ilmiahnya disebut Clarias fuscus. Menurut keterangan importirnya, lele dumbo merupakan hasil kawin silang antara betina lele Clarias fuscus yang asli taiwan dengan pejantan Clarias mossambicus (dengan nama sinonim Clarias gariepinus) yang berasal dari Afrika dan pertumbuhannya tergolong cepat (Djatmiko, 1986 dalam Siregar R. dkk, 2011) .

Ikan lele menurut klasifikasi berdasarkan taksonomi yang dikemukakan oleh Weber de Beaufort digolongkan sebagai berikut:

Filum : Chordata, yaitu binatang bertulang belakang.

(35)

Subkelas : Teleostei, yaitu ikan yang bertulang keras.

Ordo : Ostariophysi, yaitu ikan yang di dalam rongga perut sebelah atasnya memiliki tulang sebagai alat perlengkapan keseimbangan yang disebut tulang weber (weberian oscicle).

Subordo : Siluroidaea, yaitu ikan yang bentuk tubuhnya memanjang berkulit licin (tidak bersisik).

Famili : Clariidae, yaitu suatu kelompok ikan yang mempunyai ciri khas bentuk kepalanya pipih dengan lempeng tulang keras sebagai batok kepala. Selain itu, ciri khas lainnya adalah bersungut (kumis) sebanyak 4 pasang, sirip dadanya terdapat patil dan mempunyai alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga ingsang. Alat pernapasan tersebut memungkinkan ikan lele mengambil oksigen langsung dari udara.

Spesies : Clarias batrachus (ikan lele lokal)

Clarias gariepinus (hibrida)(ikan lele dumbo)

Sumber: Siregar R.dkk (2011)

(a) (b)

(36)

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor telah meneliti mengenai penamaan spesies lele dumbo secara ilmiah, yaitu keadaan morfologi, warna tubuh, ukuran perbandingan panjang batok kepala dibanding panjang badan dan sifat-sifat lainnya.

Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing-masing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya.

Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri. Disimpulkan bahwa lele dumbo tidak mirip dengan Clarias fuscus, tetapi lebih mirip C. mossambicus dari Afrika, yang memiliki panjang batok kepala 1/5 bagian dari badannya (Suyanto, 2007).

(37)

Sebagai salah satu sumber protein hewani, ikan lele juga mengandung zat gizi lainnya (Tabel 2.3.). Selain itu, protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial (Tabel 2.4) dalam jumlah yang cukup untuk melengkapi asam amino dari campuran tepung beras dan pisang awak dalam pembuatan MP-ASI.

Tabel 2.3. Kandungan Gizi Daging Ikan Lele Dumbo per 100 gram.

Komponen Jumlah Sumber: Mudjiman, 1984 dalam Siregar, R. dkk ,2011) Tabel 2.4. Susunan Asam Amino Esensial Ikan Lele

Asam Amino Protein (%) Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008

2.4. Kacang Kedelai (Glycine Max L. Merrill)

Kacang kedelai (Glycine Max L. Merrill), telah dikenal masyarakat sebagai tanaman yang bermultifungsi. Secara taksonomi, tanaman kedelai yang termasuk

(38)

Nama ilmiah : Glycine max L. Merrill

Spesies : Max Genus : Glycine Sub family : Papilionoideae Famili : Leguminosae Ordo : Polypetaes

Gambar 2.3. Kacang kedelai (Glycine max L. Merrill)

Kedelai ini merupakan komoditas pangan jenis kacang-kacangan ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung yang berperan sebagai sumber protein nabati yang memiliki arti penting dalam peningkatan gizi masyarakat (Kusdiarjo, 2002).

(39)

membutuhkan banyak suplai gizi, maka genistein memblokade suplai gizi tersebut (Kusumo, 2010)

Komposisi zat gizi pada ekstrak jernih kedelai dapat dlihat pada tabel 2.5. berikut ini.

Tabel 2.5. Komposisi Zat Gizi Kedelai

Komponen Kandungan dalam 100 g Ekstrak

Jernih Kedelai Asam Lemak tidak jenuh Ganda (PUFA)

Asam lemak jenuh

Protein umumnya menyumbang 10-12% dari energi, kecuali jika makanan pokok yang dikonsumsi mengandung hanya sedikit protein, seperti ubi kayu atau

plantain (semacam pisang berwarna hijau) (Barasi, 2009).

(40)

dinobatkan sebagai sumber protein ideal bagi penganut pola makan vegetarian, karena konsumsi kedelai juga berfungsi memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak juga penting untuk pertumbuhan tubuh sebagaimana didapatkan dari protein hewani.

Sebagai pengganti sumber protein hewani, protein di dalam kedelai dapat dikonsumsi dalam berbagai cara. Selain dikonsumsi dalam bentuk aslinya, kedelai juga biasa dinikmati dalam berbagai jenis produk olahannya, seperti tahu, tempe, kembang tahu, kecap, dan sebagainya. Produk susu dari kedelai juga tidak asing lagi ditemukan di pasar swalayan maupun industri-industri rumahan. Kedelai juga dijadikan bahan baku pembuatan daging nabati serta bahan tambahan pada beraneka produk dari daging seperti sosis, kornet, nugget, dan sebagainya.

2.4.1. Kecambah Kedelai

Perkecambahan (germinasi) merupakan suatu proses keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga yang disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke bagian vegetatif (sumbu pertumbuhan embrio atau lembaga). Biji kacang hijau, kacang tunggak, atau kedelai yang dikecambahkan umumnya disebut tauge atau kecambah.

(41)

Tauge atau kecambah dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah maupun setelah dimasak. Tujuan pemasakan agar adalah agar zat gizi yang ada pada kecambah dapat tersedia sesuai selera. Namun, ahli gizi menyarankan untuk mengonsumsi kecambah dalam keadaan mentah sebagai salad, karedok atau jus karena dalam kondisi tersebut, masih terkandung zat yang berguna bagi peremajaan tubuh.

Selama proses perkecambahan, bahan makanan cadangan diubah menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna tubuh. Proses perkecambahan juga meningkatkan jumlah protein dan vitamin, sedangkan kadar lemaknya mengalami penurunan (Astawan, 2008).

Jika diperlukan, kecambah dapat ditumis atau dikukus sebentar saja, atau memasukkan tauge sesaat sebelum masakan diangkat agar kadar vitamin C dan enzim yang rusak tidak lebih dari 20% akibat proses pemanasan (Kusumo, 2010). Nilai gizi berbagai jenis kecambah disajikan pada tabel 2.6. dibawah ini.

Tabel 2.6. Komposisi Zat Gizi Berbagai Jenis Kecambah dalam 100 g Bahan

Zat gizi Jenis kecambah

Kacang Hijau Kacang Kedelai Kacang Tunggak Energi (kkal) 23.00 67.00 35.00

(42)

Manfaat kesehatan dari kandungan gizi kedelai dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi ketika kedelai dikecambahkan. Menurut Cahyadi (2007), pada saat berkecambah terjadi proses hidrolisis karbohidrat dan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna. Kedelai dalam bentuk kering yang dikecambahkan mengalami peningkatan kadar protein.

Selain itu, pengecambahan melipatgandakan jumlah vitamin A sebanyak 300 persen dan vitamin C hingga 500-600 persen. Vitamin C yang awalnya tidak terdapat pada kedelai, ternyata mulai terbentuk pada hari pertama berkecambah hingga mencapai 12 mg per 100 gram kecambah setelah 48 jam. Demikian juga dengan vitamin E, mengalami peningkatan dari 24-230 mg per 100 gram biji kering menjadi 117-662 mg per 100 gram kecambah.

Manfaat dari pengecambahan kacang kedelai tidak hanya pada peningkatan nilai gizinya tetapi juga dapat menghilangkan zat antigizi pada kedelai yang menghambat penyerapan mineral pada kecambah tersebut. Salah satu zat antigizi yang diinaktifkan saat mengonsumsi kedelai selama proses pengecambahan adalah asam fitat yang dapat mengganggu penyerapan zat besi. Dengan mengonsumsi kecambah, zat gizi yang ada dapat terserap secara utuh karena senyawa-senyawanya lebih sederhana dan mudah dicerna.

(43)

oligosakarida, dan asam fitat. Kenaikan asam amino juga terjadi ketika proses perkecambahan (Astawan, 2008). Peningkatan tersebut dapat dilihat pada table 2.7. berikut ini:

Tabel 2.7. Komposisi Asam Amino Kecambah Kedelai dibandingkan Kedelai Kering dan Tempe dalam 100 gram Bahan

Protein Esensial Kecambah

Sumber : Balai Penelitian Pertanian (1985) dalam Astawan (2008)

2.4.2. Tepung Kecambah Kedelai

Kecambah memiliki potensi gizi yang sangat potensial, namun daya simpan kecambah rendah. Untuk itu diperlukan suatu upaya untuk membuat kecambah menjadi lebih tahan lama. Salah satu upayanya yaitu dengan pembuatan tepung kecambah.

Penambahan 10% tepung kecambah untuk menggantikan tepung terigu pada pembuatan roti dapat menghasilkan roti yang bernilai gizi lebih baik, dengan warna, rasa, dan bau yang dapat diterima oleh konsumen. Selain pada roti, tepung kecambah juga dapat ditambahkan pada makanan jajanan (Astawan, 2009).

2.5. Penilaian Kualitas Protein Makanan

(44)

penyusun protein bertindak sebagai precursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial bagi kehidupan (Almatsier,2009).

Pada masa balita, kebutuhan protein dan zat gizi lainnya sangat penting dipenuhi untuk mencapai tumbuh kembang yang optimum. Pemberian MP-ASI yang tepat dan kaya gizi mampu membantu tumbuh kembang anak mencapai windows of opportunity.

Selain kuantitas protein dan zat gizi lainnya, kualitas protein juga penting diperhatikan pada pembuatan MP-ASI dikarenakan kualitas protein menggambarkan seberapa besar kandungan protein yang dapat dicerna dan digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.

Kualitas suatu pangan dipengaruhi oleh kelengkapan asam amino penyusunnya. Protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Beberapa jenis protein mengandung semua asam amino esensial, namun masing-masing dalam jumlah terbatas nemun cukup untuk perbaikan jaringan tubuh saja, bukan untuk pertumbuhan. (Almatsier, 2009).

(45)

bagian yang penting dari hormon-hormon tertentu misalnya tiroksin dan insulin (Barasi, 2009).

Asam amino secara alamiah terdapat pada tanaman dan hasil ternak. Masing-masing asam amino memiliki fungsi unik. 8 diantaranya essensial bagi orang dewasa yaitu fenilalanin, triptofan, lisisn, leusin, isoleusin, valin, treonin. Asam amino kesembilan yaitu histidin esensial bagi bayi dan anak, sedangkan asam amino kesepuluh yaitu arginin esensial bagi pertumbuhan bayi. Asam amino sisanya dapat dibentuk tubuh yang disebut asam amino endogen (non esensial) (Winarno, 2004). Tabel. 2.8. Pola Kebutuhan Asam Amino Esensial yang Disarankan dalam Diet

Menurut Kelompok Umur

Keterangan : * Berdasarkan konsumsi harian protein orang dewasa 0.75 g protein/ kg per hari.

(46)

Untuk mendapatkan kualitas protein yang baik, harus diketahui dari mana protein berasal serta ditentukan oleh jumlah dan kelengkapan 10 asam amino esensialnya karena bahan yang memiliki kandungan protein tinggi, belum tentu kualitasnya baik jika susunan asam aminonya tidak lengkap seperti daging, ikan, telur, susu, dan kacang-kacangan. Analisis asam amino pada TPLK dan TPL yang telah dilakukan oleh jumirah, dkk (2013) disajikan pada tabel 2.9. berikut.

Tabel 2.9. Hasil Analisis Kandungan Asam Amino Pada Tepung TPLK dan TPL dalam Komposisi 100 gram Bahan.

No. Asam Amino (%) Bahan MP-ASI

(47)

sebagai sintesis hormon, enzim antibodi, pengatur keseimbangan asam basa dalam sel serta sumber protein yang kita konsumsi memengaruhi baik tidaknya mutu protein (Almatsier, 2009).

Dengan demikian, perlu dilakukannya analisis kualitas protein secara biologi pada tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan iken lele dumbo dan tepung kecambah kedelai sehingga protein dan zat gizi lainnya yang penting bagi bayi dapat diserap dengan baik.

2.5.1. Evaluasi Kualitas Protein

Evaluasi nilai gizi khususnya protein biasanya melibatkan aktivitas protein pada tubuh hewan uji yaitu mencit jantan dikarenakan mencit merupakan hewan pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar, serta sifat-sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik sehingga dapat menggambarkan kualitas protein suatu pangan dengan baik.

Menurut Harington klasifikasi mencit (Mus musculus) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

(48)

Gambar 2.5. Mencit Jantan (Mus muscullus)

Mencit mempunyai berat bobot lahir 0,5 – 1,0 gram, masa menyusu 19-21 hari, dan disapih umur 21 hari. Umur mencit dewasa adalah 35 hari, bobot jantan dewasa adalah 20-40 gram dan berat bobot betina dewasa adalah 18-35 gram. Mencit mulai bereproduksi umur 8 minggu, masa kebuntingan 19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata 6 ekor. Siklus hidupnya biasa mencapai 1-2 tahun dengan masa produksi ekonomis 9 bulan.

Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu: karbohidrat (terdiri dari pati, gula dan sellulosa), minyak/ lemak (asam lemak esensial terutama lioleat dan linolenat), protein (asam amino esensial : lisin, triptofan, histidin, fenilalanin, leusin, isoleusin, treonin, metionin, valin dan arginin), mineral (makro elemen dan mikro elemen) dan vitamin-vitamin (Muchtadi, 1989).

(49)

Malole, dkk (1989) menyatakan bahwa air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar antara 4-8 ml.

Pada umumnya mencit laboratorium ditempatkan dikotak dari metal atau plastik dengan luas dasar 97 cm2 per ekor untuk yang dewasa, tinggi kandang minimal 13 cm, temperature tidak kurang dari 18oC-29oC, dan kelembaban relatif udara 30%-70%. Beberapa indikator penentuan mutu protein adalah sebagai berikut : 1. Protein Efficiency Rasio (PER)

Metode PER yang dikembangkan oleh Osborne, Mendel, dan Fery pada tahun

1919 merupakan prosedur penilaian kualitas protein yang paling banyak digunakan. Bahkan juga telah diterima oleh FDA (Food and Drug Administration, USA) dalam penentuan mutu protein untuk protein labeling. Prosedur untuk penentuan PER adalah metode yang terdapat dalam AOAC 1984. Perhitungan PER didasarkan pada kebutuhan asam amino melalui pertumbuhan tikus uji.

Percobaan Osborne, Mendel dan Fery ini menggunakan beberapa kelompok mencit yang baru disapih (berumur 21 hari), telah diadaptasikan selama 4 hari dan berbobot badan sama. Berat badan dan konsumsi ransum harus diukur secara berkala (umumnya berat badan tiap 2 hari sedangkan konsumsi ransum diukur tiap hari) selama 4 minggu. Rumus perhitungan PER (Muchtadi, 1989) :

(50)

namun juga dapat dipakai untuk penilaian daya suplementasi suatu protein/suatu asam amino terhadap protein lain.

Namun metode PER yang menggunakan pengamatan pada tikus (tikus uji), pada dasarnya berkaitan dengan kandungan asam amino dari protein makanan untuk kebutuhan asam amino dari tikus, bukan manusia. Ada perbedaan penting antara kebutuhan asam amino tikus dan manusia. Sebagai contoh, tikus memiliki kebutuhan yang lebih tinggi untuk asam amino yang mengandung sulfur yang mendukung pertumbuhan tikus dibandingkan kebutuhan bayi dan anak-anak. Penggunaan tikus dalam studi makan akan memberikan hasil yang relative tinggi pada kualitas protein hewani dibandingkan kualitas dari protein nabati (Boye J. dkk 2012).

2. Biological Value (BV)

Pada uji biologis ini, dilakukan dua percobaan keseimbangan nitrogen. pertama dilakukan terhadap hewan uji dengan perlakuan pemberian ransum uji, dan kelompok kedua diberikan ransum protein whey sebagai kontrol, kemudian dilakukan pengukuran keluaran (ekskresi) dari air seni dan feses mencit uji. Metode BV dapat diukur dengan rumus dibawah ini :

Keterangan :

Npangan = kadar nitrogen yang dikosumsi kelompok mencit uji

Nfeses = kadar nitrogen pada feses kelompok mencit uji

Nmet = kadar nitrogen pada feses kelompok mencit kontrol

(51)

Nend = kadar nitrogen urin pada kelompok mencit control

3. Net Protein Utilization (NPU)

Cara ini juga melibatkan penggunaan hewan uji mencit jantan lepas sapih yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mencit uji diberi ransum yang mengandung protein yang akan diuji mutunya. Sedangkan kelompok kedua merupakan kelompok pembanding (kontrol) yang diberi ransum protein whey. Baik air dan ransum diberikan ad libitum (selalu tersedia). Dengan rumus dibawah ini, NPU protein dapat diketahui.

Keterangan :

Nf = kadar nitrogen feses pada kelompok mencit uji

Nmet = kadar nitrogen feses pada kelompok mencit kontrol

Nurin = kadar nitrogen urin pada kelompok mencit uji

Nakhir = kadar nitrogen kelompok mencit control

2.6. Kerangka Konsep

(52)

dikombinasikan dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai pada tepung TPLK. Selain protein, peningkatan kandungan zat gizi lainnya seperti kadar lemak, serat, air, dan mineral juga terjadi pada tepung TPLK dan TPL.

Penelitan ini menunjukkan bahwa tepung pisang awak masak memiliki potensi sebagai MP-ASI yang kaya karbohidrat, vitamin dan mineral namun rendah protein sehingga dibutuhkan ikan lele dumbo dan tepung kecambah kedelai sebagai penyumbang protein dan asam amino penting yang dibutuhkan dalam komposisi MP-ASI sebagai penunjang gizi bayi dan balita 6-24 bulan.

Dengan kombinasi tersebut, diasumsikan dapat meningkatkan kualitas protein pada tepung TPLK dan TPL melalui uji biologis. Maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Ikan Lele Dumbo +

Tepung Kecambah Kedelai

Peningkatan Kuantitas Protein MP-ASI Tepung

Beras-Pisang Awak Masak

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilakukan dalam dua tahapan penelitian. Tahapan pertama berupa pembuatan ransum control protein whey dan campuran tepung beras dan pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai menghasilkan tepung TPLK dan TPL. Pada tahapan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) searah 3 perlakuan (whey, TPLK dan TPL) dan 2 kali pengulangan.

Tahapan kedua berupa pengujian aktivitas protein yang melibatkan penggunaan hewan uji (mencit jantan usia sapih) terhadap tepung TPLK dan TPL untuk mengetahui mutu biologi protein tersebut. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap searah dengan 3 taraf perlakuan yaitu perlakuan ransum control protein whey (P1), perlakuan ransum TPLK (P2), dan perlakuan Ransum TPL (P3) dengan 3 ulangan. Rancangan penelitian digambarkan pada skema berikut:

- MW RW2 RW4 RW6 RW28

Fe1 Fe2 Fe3 Fe4 Fe5 Fe6 Fe28

U1 U2 U3 U4 U5 U6 U28

SM2 SM4 SM6 SM28

- MTPLK RTPLK2 RTPLK4 RTPLK6 RTPLK28

Fe1 Fe2 Fe3 Fe4 Fe5 Fe6 Fe28

U1 U2 U3 U4 U5 U6 U28

(54)

- MTPL RTPL2 RTPL4 RTPL6 RTPL28

Gambar 3.1. Skema Rancangan Acak Lengkap Penelitian 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tahap pertama yaitu pembuatan tepung campuran beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai dilakukan di Laboratorium Gizi Pangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya penelitian tahap kedua dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan (BARISTAND) untuk pengukuran nitrogen feses dan urin mencit. Penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Oktober–Desember 2013.

3.3 Sampel Penelitian

(55)

TPLK sebagai ransum uji (P2) dan tepung campuran pisang awak masak dengan ikan lele dumbo yang menghasilkan tepung TPL sebagai ransum uji (P3).

Pemberian ransum sesuai dengan kelompok mencit yang telah ditentukan. Ransum disediakan berbentuk pellet dengan berat 10 gram per 2 hari selama 28 hari, sehingga sampel yang digunakan sebanyak 840 gram untuk ransum TPLK dan TPL, sedangkan ransum whey yang digunakan sebanyak 1.380 gram dikarenakan ransum

whey juga diberikan pada masa adaptasi mencit selama 6 hari. 3.4. Alat dan Bahan

3.4.1. Tahapan Pertama

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung TPLK dan TPL yaitu: oven, healthy mix, spatula, alat pengukus, wadah/baskom, sendok/centong, kertas roti, pisau, dan ayakan .

Bahan-bahan yang digunakan adalah pisang awak masak, ikan lele dumbo, kecambah kedelai, air, susu bubuk, minyak nabati, gula halus, dan daun.

3.4.2. Tahapan Kedua

Alat-alat yang digunakan dalam pengujian aktivitas protein pada tubuh mencit jantan adalah timbangan OHAUS, kandang pemeliharaan, botol minum, tempat pakan, wadah penampung urin dan feses mencit.

(56)

3.5. Mekanisme Tahapan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan pembuatan bahan dasar yaitu tepung beras-pisang awak masak, ikan lele, dan tepung kecambah kedelai. Setelah itu mempersiapkan ransum P1, P2 dan P3, kemudian dilanjutkan dengan analisis kualitas protein secara biologi terhadap ketiga perlakuan tersebut.

3.5.1. Tahapan Pertama : Pembuatan Bahan Dasar

Tahapan pembuatan bahan dasar tepung pisang awak masak, penyiapan daging ikan lele dumbo, dan pembuatan tepung kecambah kedelai adalah sebagai berikut :

1. Pembuatan tepung beras-pisang awak masak

Pembuatan tepung pisang awak masak diawali dengan memilih buah pisang awak yang telah masak dan berwarna kuning dilanjutkan dengan mengupas pisang awak dari kulitnya lalu dicuci bersih dengan air mengalir kemudian iris pisang sekalian pisahkan serat dan biji yang ada pada pisang. Pisang awak yang sudah bersih kemudian di blender sampai halus. Pisang awak yang telah halus di timbang 100 gram. Setelah itu dicampurkan dengan tepung beras 50 gram atau perbandingan 2:1 hingga membentuk pasta.

(57)

2. Persiapan campuran daging ikan lele dumbo

Untuk pemisahan daging ikan lele dumbo, diawali dengan menimbang ikan lele sebanyak 2kg dilanjutkan dengan mencuci ikan lele hingga bersih dan memberikan perasan jeruk nipis pada ikan lele untuk menghilangkan bau amis pada ikan lele. Kemudian ikan lele dikukus selama ±10 menit hingga empuk, setelah empuk ikan lele dipotong dan diambil bagian dagingnya dengan memisahkan ikan lele tersebut dari duri-duri dan tulang yang menempel pada daging ikan lele.

Dari 2 kg ikan lele dumbo ukuran besar diperoleh 700 gram daging ikan lele dumbo yang dapat digunakan sebagai bahan campuran MP-ASI.

3. Pembuatan tepung kecambah kedelai

Proses pembuatan tepung kecambah kedelai mengacu pada prosedur pembuatan kecambah oleh Astawan (2008) dan pembuatan tepung kecambah kedelai oleh Aminah, S. dkk (2012) dengan modifikasi.

Tahapan pembuatan tepung kecambah kedelai diawali dengan pemilihan (sortasi) kacang kedelai kuning sehingga kedelai yang terpilih adalah kedelai yang baik, kemudian pencucian kedelai untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada kedelai, setelah itu dilakukan perendaman selama satu malam (8 jam). Selanjutnya kedelai dicuci dengan air mengalir, ditebarkan pada wadah yang dialasi daun dan ditutup dengan daun kembali. Dikecambahkan pada suhu ruangan selama 48 jam dengan penyiraman setiap 4-5 kali sehari.

(58)

kedelai. Selanjutnya kecambah kedelai didinginkan dan dikeringkan pada suhu 55-60°C pada oven selama 24 jam (sampai kering). Kecambah yang telah kering digiling dengan Healthy mix dan diayak 80 mesh sehingga menghasilkan tepung yang homogen.

Dari 500 gr kacang kedelai diperoleh 1 kg kecambah kedelai kukus. Setelah ditepungkan dan dikeringkan, berat tepung kecambah kedelai menjadi 500 gr.

3.5.2. Tahapan Kedua : Pembuatan Ransum

Ransum yang diberikan pada mencit terdiri atas 3 jenis ransum, yaitu : ransum P1, P2 dan P3. Selanjutnya dilakukan pengkodean sesuai dengan jenis ransum yang digunakan. Pengkodean dapat dilihat pada tabel 3.1. dibawah ini.

Tabel 3.1. Pengkodean Perlakuan Berdasarkan Jenis Ransum yang Diberikan

Perlakuan Kode Jenis Ransum

1 P1 Ransum Protein Whey

2 P2 Ransum TPLK

3 P3 Ransum TPL

Komposisi pembuatan ransum sesuai dengan penentuan PER in vivo berdasarkan ketentuan AOAC (1995) yang disajikan pada tabel 3.2.

Tabel 3.2. Komposisi Ransum untuk Penetapan PER In Vivo

Bahan Pakan Evaluasi Protein Diet Basal

Protein P = (1.60 × (100)/ % N sampel)

Sukrosa atau pati jagung Pembuat menjadi 100% Sumber : AOAC (1995) dalam Tejasari, 2005

(59)

Tabel 3.3. Komposisi Ransum untuk Perlakuan (per 100 gram Ransum)

Perlakuan Komponen (gram)

Protein Minyak Mineral Vitamin Selulosa Air Pati P1 12.50 7.94 4.57 1.00 0.96 3.60 69.43 P2 46.19 3.35 3.60 1.00 1.76 1.97 42.14 P3 55.25 1.43 4.17 1.00 1.93 1.61 34.62 1. Pembuatan Ransum P1

Pada penelitian ini digunakan ransum protein whey sebagai control (P1). Selama masa adaptasi, mencit diberikan ransum ini. Pembuatan ransum P1 diawali dengan mencampurkan bahan-bahan penyusun ransum control (Tabel 3.2.), kemudian semua bahan diaduk sambil dipanaskan hingga membentuk pasta. Setelah masak, pasta dicetak membentuk pellet di talam pemanggang kemudian pellet dikeringkan di oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam, setelah pellet kering dan dingin, simpan pellet pada wadah kering dan tertutup.

Pemilihan protein whey dari susu komersial merek dagang L-Men sebagai ransum control dikarenakan produk susu tersebut mengandung protein whey yang memiliki kualitas protein baik, bahkan kualitas protein whey lebih tinggi dibandingkan kasein yang umumnya digunakan sebagai ransum control. Selain itu, untuk campuran vitamin pada ransum control digunakan multivitamin merek dagang Fitkom dengan komposisi vitamin yang lengkap (tercantum pada label kemasan). 2. Pembuatan Ransum P2

Tahapan pembuatan ransum P2 adalah sebagai berikut :

(60)

roti, kemudian ratakan dan keringkan adonan di dalam oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam. Setelah kering adonan digiling menggunakan healthy mix hingga halus kemudian diayak hingga diperoleh tepung TPLK, setelah itu simpan tepung di dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.

2) Untuk pembuatan pellet TPLK sebagai Ransum P2 dilakukan dengan mencampurkan TPLK dengan air, minyak nabati, tepung susu, dan tepung gula dengan perbandingan 100gr:100ml:10ml:10gr:10gr. Tahapan pemasakannya yaitu: siapkan bahan-bahan yang diperlukan, kemudian panaskan bahan tersebut sambil diaduk hingga kental dan masak.

3) Setelah masak, pasta didinginkan dan dicetak berbentuk pellet. Setelah itu, pellet dikeringkan di oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam, setelah kering dan dingin, potong pellet berukuran ±1 cm.

4) Dari 100 gram TPLK dengan penambahan bahan lain menghasilkan pellet P2 seberat 130 gram. Penambahan bahan-bahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki rasa dari tepung TPLK.

3. Pembuatan Ransum P3

Tahapan pembuatan Ransum P3 adalah sebagai berikut :

(61)

diayak hingga diperoleh tepung TPL, setelah itu simpan di dalam wadah yang kering dan tertutup rapat.

2) Untuk pembuatan pellet TPL sebagai ransum P3 dilakukan dengan mencampurkan tepung TPL dengan air, minyak nabati, tepung susu, dan tepung gula dengan perbandingan 100gr:100ml:10ml:10gr:10gr. Tahapan pemasakannya yaitu: siapkan bahan-bahan yang diperlukan, kemudian panaskan bahan tersebut sambil diaduk hingga kental dan masak.

3) Setelah masak, dinginkan pasta dan cetak berbentuk pellet. Setelah itu, keringkan di oven pada suhu 55-60°C selama ±24 jam, setelah kering dan dingin, potong pellet berukuran ±1 cm.

4) Dari 100 gram TPL dengan penambahan bahan lain menghasilkan pellet P3 seberat 120 gram. Penambahan bahan-bahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki rasa dari tepung TPL. Skema pembuatan ransum P1, P2 dan P3 disajikan pada gambar 3.2.

Setelah menyiapkan ransum yang akan diuji secara biologi, selanjutnya dilakukan pemeliharaan mencit dengan pemberian ransum P1, P2 dan P3 tersebut selama 28 hari. Kemudian dilakukan pengukuran berat badan dan konsumsi mencit selama 2 hari sekali serta pengumpulan feses dan urin mencit setiap hari selama 28 hari pengamatan terhadap ketiga perlakuan tersebut. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai PER, BV dan NPU sebagai indikator analisis kualitas protein secara

(62)

3.6. Persiapan Hewan Percobaan

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan uji kualitas protein tepung campuran beras-pisang awak masak dengan ikan lele dumbo dan tepung kecambah

Tambahkan 10 ml minyak nabati, 10 gram susu bubuk, 10 gram gula halus dan air

Campurkan bahan-bahan hingga

Panaskan adonan sampai mengental dan

100 gr Tepung campuran pisang awak masak , ikan lele dumbo dan kecambah kedelai

Tambahkan 8 ml minyak jagung, 5 gr garam halus, 1 gr vitamin, 70 gr pati

Pellet Ransum P2 Pellet Ransum P3 Pellet Ransum P1

(63)

kedelai yang terdiri dari 7 perlakuan, akan tetapi peneliti hanya mengamati 3 perlakuan saja.

Jumlah hewan prcobaan di hitung berdasar rumus Federer : (t-1) (n-1) ≥ 15.

t = jumlah perlakuan (dalam hal ini ada 3 kelompok perlakuan) n = jumlah ulangan perkelompok,

(7-1) (n-1) ≥ 15 6(n-1) ≥ 15 6n-6 ≥ 15 6n ≥ 15 + 6 n ≥ 21/6 n = 3

maka jumlah n yang diharapkan adalah 3 kali sehingga jumlah keseluruhan hewan uji yang diperlukan dalam penelitian ini (3 perlakuan) adalah sebanyak 9 ekor dan utuk menjaga adanya kematian dalam penelitian hewan yang digunakan ditambahkan 3 ekor setiap kelompok sehingga jumlah total mencit yang dibutuhkan sebanyak 18 ekor.

(64)

hasilnya representatif sesuai dengan aturan penelitian. Sebelum pemberian ransum uji, hewan percobaan diadaptasikan selama 7 hari kemudian ditimbang berat badannya sebagai berat badan awal (H0), makanan dan minuman diberikan secara ad

libitum selama penelitian.

Mencit diletakkan pada kandang individual yang terbuat dari kawat kasa berbentuk persegi berukuran 20cm². Pemeliharaan mencit dilakukan di Laboratorium Pangan dan Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Laboratorium ini cukup memadai sebagai tempat pemeliharaan mencit dikarenakan cukup luas. Pemeliharaan berada pada lingkungan bebas bising, pada suhu 28-30ᴼC dan diatur pencahayaannya (12 jam terang, 12 jam gelap).

Selama penelitian, mencit diberikan ransum sesuai dengan perlakuan yang diamati. Masing-masing kelompok perlakuan terdapat 6 mencit. kelompok pertama diberikan ransum P1 yang mengandung protein 10% (sesuai ketentuan AOAC 1995) sebagai control, kelompok kedua diberikan ransum P2 dan kelompok ketiga diberikan ransum P3.

Tabel 3.4. Pengelompokan Hewan percobaan Berdasarkan Perlakuan

Kelompok Perlakuan

P1 Diberikan Ransum P1 (Protein Whey) P2 Diberikan Ransum P2 (TPLK)

P3 Diberikan Ransum P3 (TPL) 3.6.1. Pengukuran Parameter Uji Kualitas Protein

(65)

Parameter yang akan dianalisis berikutnya yaitu feses dan urin yang dihasilkan. Penampungan feses dan urin dilakukan setiap hari. Feses dan urin ditampung menggunakan wadah yang dilapisi plastic untuk menghindari keringnya urin. Selanjutnya feses dan urin dikumpulkan didalam wadah kaca tertutup. Feses dan urin yang terkumpul akan dianalisis kadar proteinnya berupa kandungan nitrogen yang dihasilkan. Kadar nitrogen tersebut akan digunakan dalam perhitungan nilai BV dan NPU.

3.7. Analisis dan Pengolahan Data

Data hasil uji biologi (PER, NPU, DC, dan BV) di analisis secara statistik dengan uji sidik ragam Rancangan Acak Lengkap seperti dalam tabel 3.5. berikut : Tabel 3.5 Daftar Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap

(66)

2. Faktor Koreksi (FK) Faktor koreksi =

3. Jumlah Kuadrat (JK)

a. Jumlah Kuadrat Total (JKT) = ∑Yij2 – FK

b. Jumlah Kuadrat Perlakuan (JKP) =

c. Jumlah Kuadrat Galat (JKG) = JKT - JKP 4. Kuadrat Total (KT)

a. Kuadrat Total Perlakuan (KTP) =

b. Kuadrat Total Galat (KTG) =

5. F Hitung F Hitung =

6. F Tabel

Bandingkan F Hitung dengan F Table Anova pada V2/V1. Bila F.Hitung <

F.Tabel = H0 diterima, Ha ditolak berarti tidak ada perbedaan antara

perlakuan-perlakuan tersebut. Bila F.Hitung > F. Tabel = H0 ditolak, Ha diterima berarti ada

perbedaan antara perlakuan-perlakuan tersebut. Bila hasil uji menunjukkan perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji Tukey. Model matematis yang digunakan adalah (Steel and Torrie, 1995) :

Үij = µ+τі+ԑіј

Gambar

Gambar 2.1. Pisang Awak Masak (Musa Paradisiaca var. Awak)
Tabel 2.2. Kandungan Gizi Pisang Awak dan Campuran Tepung Beras-Pisang Awak Masak
Gambar 2.2. (a) Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus)
Tabel 2.4. Susunan Asam Amino Esensial Ikan Lele
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dikemudian hari ternyata karya ilmiah yang saya tulis itu terbukti bukan hasil karya ilmiah saya sendiri atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya

 Penyusunan Detail Design adalah untuk memberikan pedoman atau panduan secara teknis dalam melaksanakan Pembangunan Fasilitas Pabrikasi Pelumas Percontohan, berdasarkan pada

[r]

Purchasing (pembelian) merupakan salah satu fungsi penting dalam menunjang keberhasilan produksi perusahaan, karena fungsi ini mempunyai tanggung jawab

[r]

Bagai&amp;anapun Juga tersedianya Inventory pada saat dibu - tuhkan oleh customer adalah termasuk salah satu service- dari perusahaan* Hal ini menyongkut persoalan waktu# Jl-

Tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1) Untuk mengetahui proses pelaksanaan metode takrir dalam menghafal Al- Qur‟an santri tahfidz di pondok pesantren Edi Mancoro

Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin dan tata tertib sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: