INTERNALISASI EKSTERNALITAS
JASA KARBON DAN JASA AIR
SEBAGAI INSENTIF PENDUKUNG KESINAMBUNGAN
USAHA HUTAN RAKYAT SISTEM AGROFORESTRI
DISERTASI
Oleh :
Syaiful Ramadhan
A 161040284
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
INTERNALISASI
EKSTERNALITAS
JASA KARBON DAN JASA AIR
SEBAGAI INSENTIF PENDUKUNG KESINAMBUNGAN
USAHA HUTAN RAKYAT SISTEM AGROFORESTRI
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program di perguruan tinggi lain. Sumber-sumber informasi yang dipergunakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
SYAIFUL RAM ADHAN. Internalization Externality of Water and Carbon Services as
an Incentive to Support Agroforest Sustainablity. (PARULIAN HUTAGAOL as
Chairman, DUDUNG DARUSMAN and HARRY SANTOSO as Members of Advisory
Committee).
Accumulation of degraded and in critical condition of watersheds and impact of climate change in Java were indicate serious damage of environmental condition.It showed such as decrease of vegetation covered area till less than 20%, wide disparity of the river debit, frequent flood, drought and land sliding more often every year. These all result in the increase of potency of carbon emission from the degraded land, the decrease of water resource capacity in Java which only 7% of the area of Indonesia, but has the highest population amongs islands in Indonesia and supplies the largest Indonesian economy about 60%. So that based on calculation on increasing of population and rise needs of water predicted in 2020 there is water shortage up to 150 billion cubicmeter in Java. Efforts to reduce the carbon emission, and to manage water resources through watershed environment rehabilitation such as soil and water conservation, using functional approach (organizational roles) or structural approach is crucial to be carried out especially for the very critical watershed. Meanwhile the development small scale agroforestry by poor farmers in Sumberejo village of upstream region of Temon subwatershed has proven strategic role in both reducing impact of critical land on water availability and on potency of carbon emission, and as one rising prior livelihood of farmer household. Its performing being in accordance with objective of latest development policy which do in such pro growth, pro job, pro poor and pro environment base on rural area. The main problem is, whether the poor farmers growing their welfare and still keep conserving their small scale agroforestry continuity. Based on concept of total economy values of agroforestry and economic valuation methods, this research make use of opportunity to transform economic values of water and carbon service (positive externality) as public service which produced by agroforestry into generating income’s source of farmer household. As consequence of market failure to put the externalities into price market, there is need government support in term of instrument finance policy to realize the idea by internalizing of externality. The research found that result of internalizing of externality in vary land hold of agro forestry economically be able to lift up of farmer household’s income above poverty
boundary and its become incentive of farmer to keep agro forestry continuity. To implicate the financial policy, base on vary landholding of agro forestry, there
were three design of allocation both subsidy and softloan recommended in this research. Finnally there are policy support needs to facilitate of agroforestry service economic valuation and policy support on developing of payment on environment service mechanism locally.
Kerusakan lahan dan hutan produktif menjadi lahan kritis terutama di hulu
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berakumulasi dengan tidak menentunya musim akibat perubahan iklim telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius akibat meluasnya lahan kritis yang tidak mampu diimbangi dengan upaya rehabilitasinya di
pulau Jawa. Kenyataan adanya kesenjangan laju lahan kritis dan laju rehabilitasi telah menurunkan daya dukung multi fungsi Daerah Aliran Sungai pada hidup dan
kehidupan.
Agroforestri di pedesaan bagian hulu DAS di Kabupaten Wonogiri telah
berperan penting dalam upaya peningkatan mata pencaharian dan lapangan kerja rumah tangga petani di pedesaan, terbukti berhasil melakukan pemulihan penutupan lahan dan konservasi tanah dan air dengan keluaran berupa eksternalitas positif
jasa.. Keberadaan ekternalitas positif berupa jasa air dan jasa serap karbon
(pengurangan emisi) berperan sebagai public service tersebut telah ,menempatkan
agroforestri di daerah hulu DAS menjadi penting untuk dipertahankan dan
dikembangkan keberadaannya.
Permasalahannya adalah bagaimana mungkin mempertahankan agroforestri yang ada di usahakan dalam luas lahan yang sempit oleh rumah tangga petani yang umumnya miskin. Sangat tidak rasional membebani rumah tangga petani miskin
untuk melakukan upaya konservasi tanpa dukungan. Momentum kebijakan
pembangunan pemerintah yang semakin kuat berpihak pada pertumbuhan (pro
growth) juga pada lapisan masyarakat miskin (pro poor), peningkatan lapangan kerja (pro job) dan ramah lingkungan (pro environment) berbasis pedesaan menjadi argumen yang kuat dan tepat untuk mendukung kebutuhan petani dalam mempertahankan upaya konservasi di lahan agroforestrinya.
Kesadaran akan tanggung jawab pemerintah dalam perluasan lapangan kerja serta pengurangan lahan kritis dan resiko dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat pedesaan, mendorong urgensi upaya percepatan pengembangan agroforestri. Selama ini pengembangan agroforestri di pedesaan hulu DAS/SubDAS
Implikasi konsep total nilai ekonomi, menunjukkan adanya peluang transfer nilai ekonomi jasa air dan jasa karbon (eksternalitas positif) agroforestri yang selama ini tidak atau belum mendapat respon yang cukup dari mekanisme pasar. Dalam rangka tujuan memenuhi kebutuhan internalisasi eksternalitas tersebutlah penelitian di desa Sumberejo yang terletak di hulu SubDAS Temon, DAS Solo ini diadakan.
Penelitian diawali dengan membagi populasi petani agroforestri desa
Sumberejo kedalam 3 strata berdasarkan luas, Strata 1 dengan luas < 1 ha, strata 2
luas antara 1 - ≤ 2 ha, dan strata 3 dengan luas ≥ 2 ha dengan dasar keterwakilan
penguasaan lahan petani,, sesuai kecenderungan distribusi lahan dua dekade
terakhir di Jawa. Penghitungan nilai jasa air dilakukan menggunakan pendekatan harga pasar dengan metoda biaya penuh, sedangkan untuk valuasi jasa karbon digunakan pendekatan biaya oportunitas dan biaya transaksi.
Untuk mengetahui tingkat kebutuhan dukungan dari rumah tangga petani dilakukan Analisa kelayakan finansial usaha agroforestri dengan dengan dan tanpa
internalisasi eksteranlitas.
Hasil penelitian menyimpulkann, bahwa internalisasi jasa air dan jasa karbon
secara bersama-sama berhasil meningkatkan kelayakan finasial usaha agroforestri. Selanjutnya untuk mengimplikasikan hasil internalisasi eksternalitas, disarankan agar pemerintah merancang kebijakan penetapan valuasi ekonomi eksternalitas
positif agroforestri sebagai basis program insentif yang lebih berorientasi pada
output (internalisasi eksternalitas positif) yang dihasilkan setiap agroforestri. Untuk penguatan implikasi internalisasi eksternalitas dibutuhkan penelitian lebih lanjut
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogo r, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan prndidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian
Bogor
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya
INTERNALISASI EKSTERNALITAS
JASA KARBON DAN JASA AIR
SEBAGAI INSENTIF PENDUKUNG
KESINAMBUNGAN
USAHA HUTAN RAKYAT SISTEM AGROFORESTRI
Oleh :
Syaiful Ramadhan
A 161040284
sebagai salah satu syarat untuk
Program Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Syukur Alhamdulillah penulis persembahkan kepada Allah Swt, karena
hanya dengan izin dan kekuatan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Diakui banyak pengalaman yang manis dan pahit baik lahir maupun batin yang dialami, namun penulis berkeyakinan semua itu adalah
bentuk pendewasaan diri dan sesuai niat penulis untuk tetap belajar hingga akhir hayat.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya atas bimbingan dan dukungan baik moril mapun materil kepada :
1. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan Ketua Program Studi EPN
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan
ilmu dan menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.
2. Dr.Ir.Parulian Hutagaol, MS. Ketua Komisi Pembimbing, , yang dalam
kesibukannya tidak jemu dan lelah membimbing dan mengkritisi untuk kebaikan penulis .
3. Prof.Dr.Ir.Dudung Darusman,MA, yang dengan penuh kesabaran selalu
membimbing memotivasi kala penulis mulai merasa jenuh.
4. Dr.Ir.Harry Santoso, yang masih berkomitmen meluangkan waktu membimbing penulis, walaupun dalam kesibukan sebagai Direktorat Jendral di Kementerian Kehutanan.
5. Rekan-rekan Program Studi S3-EPN Angkatan 2, terutama Saudaraku Dr.Cipta serta Dr Adi Lumaksono yang terus mendukung secara moril dan materil agar penulis menyelesaikan studi.
6. Sekretariat Program Studi EPN, khususnya pada Rubi, Yani, Aam, Wiwin, Husen, Iwan dan Erwin yang telah banyak membantu meringankan penulis dalam penyelesaian administrasi akademik.
7. Istriku tercinta Indarwati dan Anak-anaku tersayang Sita Annisa
Ramadhianty, Sandhy Alief Fitriawan, dan Nanda Asyura Rizkyani, yang menjadi sumber inspirasi, dan motivasi dan atas pengorbanan kalian selama ini.
yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan tanpa akhir.
Akhirulkalam, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2012
ii
H
alamanDAFT AR TABEL ... v
DAFT AR GAMBAR ... vii
DAFT AR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 8
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Lahan Kritis dalam Daerah Aliran Sungai dan Urgensi Konservasi Tanah dan Air di Pulau Jawa .. ... 10
2.2 Review Kebijakan dan Program Rehabilitasi Lahan Berbasis DAS ... 14
2.3 Peran Agroforestri dalam Penanggulangan Berbagai Isu Lingkungan dan Kemiskinan ... 22
2.4 Internalisasi Eksternalitas ...……… 29
2.4.1. Pengertian Eksternalitas ……….. 29
2.4.2. Sumber Eksternalitas ……… 33
2.4.3. Internalisasi Eksternalitas ………. 33
2.4.4. Referensi Konsep Bentuk dan Besaran Insentif ………… 40
2.5 Valuasi Ekonomi Agroforestri ... 40
2.5.1.Valuasi Jasa Air... 41
2.5.2. Valuasi Jasa Karbon ... 44
2.6 Degradasi Lahan dan Kemiskinan ... 53
iii
2.7.1. Kelayakan Usaha Agroforestri... 59
2.7.2. Kesinambungan Agroforestri ... 63
2.8 Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan ... 65
III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS ... 69
3.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 69
3.2 Hipotesis ... 75
IV. METODE PENELITIAN ... 76
4.1 Kriteria Lokasi Penelitian ... 76
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 77
4.2.1 Jenis Data ... 77
4.2.2 Sumber Data ... 78
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 82
4.4 Metode Valuasi Jasa Air Agroforestri ... 75
4.5 Metode Valuasi Jasa Karbon Agroforestri ... 88
4.6 Analisis Biaya Manfaat Sebagai Alat Telaah Ekonomi Kelayakan dan Kesinambungan Usaha Agroforestri ... 89
4.6.1. Metode Analisis Kelayakan Usaha Agroforestri ……… 89
4.6.2. Metode Analisa Kesinambungan Agrogorestri ……….. 93
4.7. Analisis Alternatif Instrumen Kebijakan Keuangan ... 93
V. DESKRIPSI DAN KONDISI LOKASI PENELITIAN ... 95
5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 95
5.2 Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat Desa Sumberejo ... 96
5.3 Sistem Pengelolaan Agroforestri ... 100
5.4 Aspek Kelembagaan ... 104
iv
5.7 Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri tanpa Internalisasi ... 102
Halaman VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 114
6.1 Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi ... 114
6.2 Nilai Ekonomi Jasa Air dan Jasa Karbon Agroforestri Serta Harga Bayangan ... 115
6.2.1 Valuasi Ekonomi Jasa Air Agroforestri ... 115
6.2.2 Valuasi Jasa Karbon Agroforestri ... 118
6.3 Analisis Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri Tanpa dan dengan Internalisasi Nilai Jasa Karbon dan Jasa Air ... 112
6.4 Analisis Kesinambungan Agroforestri ……….122
6.5 Instrumen Kebijakan Keuangan (Insentif) untuk Jasa Karbon dan Jasa Air Agroforestri ... 127
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 140
7.1 Kesimpulan ... 140
7.2 Rekomendasi ... 141
DAFT AR PUSTAKA . ... 143
v
Nomor Halaman
1. Peningkatan Luas Lahan Kritis di Pulau Jawa ... 10
2. Kondisi Daya Dukung Lingkungan Ekologi di Pulau Jawa Tahun 2007… ... 12
3. Perbedaan Agroforestri Tradisional dan Modern ... 23
4. Dasar Penentuan Biaya ……... 43
5. Contoh Praktek Agroforestri yang Secara Potensial Membantu Menstabilkan Emisi GRK dan Menyerap atau Menyimpan C pada Biosfer Daratan ... 46
6. Potens i Simpanan Karbon (Mgc /Ha) dan Biaya Proyek (US$/Mgc) untuk Sistem Agroforestri Menurut Wilayah Ekologi di Beberapa Negara Tertentu (Dixon 1995) ... 47
7. Kontribusi Pendapatan dari Agroforestri Terhadap Ekonomi Rumah Tangga Petani ... 66
8. Tingkat Kelayakan Agroforestri ... 67
9. Matriks Variabel Penelitian ... 81
10. Tujuan Pengumpulan Data ... 82
11. Penilaian Jasa Air dengan Metode Biaya Penuh ... 84
12. Skenario Budi Daya yang Menjadi Basis Cash Flow untuk Analisa Kelayakan Usaha Agroforestri 20 Tahun ... 92
13. Rata-rata Kerapatan dan Volume Pohon Kekayuan per Strata (Total Luas Populasi 293,46 ha, Luas Sampel 106,25 ha atau 36,25%).... 109
14. Rata-rata Nilai Tegakan Masing-masing Strata Usaha Agroforestri Desa Sumberejo (juta Rp.) ... 109
15. Rata-rata Kepemilikan Ternak Responden pada Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tahun 2010... 110
16. Aliran Kas Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi Tahun 2010 ... 110
vi
18. Dampak Skenario Simulasi Guncangan Kenaikan Harga Saprodi,
Penurunan Harga Kayu dan Pendapatan Off Farm 20%
(Juta Rupiah)... 112
19. Hasil Penafsiran Luas, Volume dan Karbon Agroforestri Desa Sumberejo
...
11920. Penghitungan Nilai Karbon Agroforestri Desa Sumberejo... 119
21. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan Internalisasi Jasa (masa 20 tahun, bunga 12%) ... 119
22. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 1 Selama 20 Tahun ... 122
23. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 2 Selama 20 Tahun ... 124
24. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 3 Selama 20 Tahun ... 126
25. Desain Alokasi Distribusi Waktu Insentif Agroforestri Desa Sumberejo ... 132
26. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 1 ... 133
27. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 2 ... 135
Nomor Halaman
1. Dampak Keberadaan dan Meluasnya Lahan Kritis ... 2
2. Kesenjangan Laju Lahan Kritis dengan Laju Rehabilitasi Kab.Wonogiri 3 3. Kurva Kecenderungan Luas Lahan Kritis Provinsi Jawa Tengah... 10
4. Komparasi KelebihanJumlah PendudukJawa Tengah dengan Daya Dukung... 12
5. Internalisasi Biaya Eksternalitas Positif dari Sisi Produksi ... 31
6. Internalitas Eksternalitas Positif dari Sisi Konsumsi ... 32
7. Dasar Logis Pembayaran Jasa Lingkungan ... 40
8. Tahapan Kegiat an Penilaian Ekonomi Agroforestri ... 42
9. Teknik Pemilihan Metoda Penilaian Ekonomi Agroforestri) ... 43
10. Pertumbuhan Penduduk dan Sumberdaya Alam ... 58
11. Grafik Potensi dan Kebutuhan Air DAS Temon... 72
12. Kerangka Pemikiran Penelitian... 74
13. Valuasi Jasa Air ... 87
14. Prinsip Umum Biaya Air (Rogers et al, 2000)... 87
15. Valuasi Jasa Karbon... 88
16. Peta Posisi Desa Sumberejo Kecamat an Batuwarno dalam Sub Das Temon, DAS Solo ... 95
17. Rant ai Pemasaran Hasil Pertanian dan Hutan dari Agroforestri Desa Sumberejo Solo ... 102
18. Pola Penggunaan Lahan Desa Sumberejo Tahun 2004 -2009 ... 106
19. Perubahan Pola Mata Penc aharian Penduduk Desa Sumberejo Tahun 2004 – 2009 ... 107
20. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1 Selama 20 Tahun... 125
22. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1
Selama 20 Tahun... 126
23. Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 1 (Luas < 1 ha) ... 134
24. Model Alokasi Waktu Dan Besaran Insenti Strata 2 ( Luas 1 - < 2 ha) ... 136
viii
Nomor Halaman
1. Strata 1 Tanpa Internalisasi ... 152
2. Strata 1 dengan Internalisasi Air ... 154
3. Strata 1 dengan Internalisasi Karbon ... 156
4. Strata 1 dengan Internalisasi Air dan Karbon ... 158
5. Strata 2 Tanpa Internalisasi ... 160
6. Strata 2 dengan Internalisasi Air ... 162
7. Strata 2 dengan Internalisasi Karbon ... 164
8. Strata 2 dengan Internalisasi Air dan Karbon ... 166
9. Strata 3 Tanpa Internalisasi ... 168
10. Strata 3 dengan Internalisasi Air ... 170
11. Strata 3 dengan Internalisasi Karbon ... 172
12. Strata 3 dengan Internalisasi Air dan Karbon ... 174
13. Revenue dan Cost (on dan off farm) Setiap Strata ... 176
1.1 Latar Belakang
Kerusakan lahan dan hutan produktif menjadi lahan kritis berdampak pada
terganggunya fungsi vital ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat
dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Fungsi dimaksud antara lain, sebagai
pemelihara keseimbangan tata air dan keseimbangan iklim mikro, yang apabila
terganggu akan berakibat menurunnya kapasitas daya dukung DAS pada
pembangunan. Akumulasi kondisi tersebut dengan perubahan pola presipitasi
(hujan) dan evaporasi (penguapan) akibat dampak perubahan iklim menimbulkan
bencana banjir di beberapa lokasi dan kekeringan di lokasi lain (Anderson, 1991).
Kenyataan di atas menjadi persoalan serius bagi status daya dukung
ekonomi, sosial dan lingkungan di pulau jawa yang saat ini memiliki populasi 125
juta (65 persen dari penduduk Indonesia). Berdasarkan perhitungan kebutuhan
air yang dilakukan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan
Umum (2009), kapasitas sumber daya air di pulau Jawa hanya 4,5% dari
kapasitas nasional. Menurut sumber yang sama, telah terjadi krisis air di Pulau
Jawa, akibat tidak tercukupinya sediaan air untuk berbagai kebutuhan vital
seperti, air minum, air irigasi untuk pertanian dan air untuk berbagai industri.
Luasnya lahan kritis selain berimplikasi terhadap krisis air, juga berakibat
pada meningkatnya emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi lingkungan.
Hal tersebut telah menjadikan pengaruh lahan kritis tidak hanya berdimensi lokal
dan nasional, tetapi juga global, sehingga menjadikannya hal yang penting untuk
dicari jalan keluarnya (Barret, dan Segerson, 1997). Secara lebih lengkap
Sumber : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2003 Gambar 1. Dampak keberadaan dan meluasnya lahan kritis
Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan
penyumbang deforestasi terbesar di Pulau Jawa. Kondisi tersebut
mengakibatkan 123 daerah aliran sungai (DAS) dan Sub DAS di Pulau Jawa
dalam kondisi kritis, sehingga 61 kabupaten di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa
Tengah terancam oleh resiko bencana ekologis yang tinggi. Bila tidak ada
intervensi, diperkirakan akumulasi kerugian ekonomi akibat kritisnya 10,7 juta
hektar DAS/Sub DAS dari akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor dan
kekeringan serta hilangnya hasil-hasil pembangunan seperti infrastruktur publik,
transportasi, perdagangan dan industri akan mencapai trilyunan rupiah
(Kementerian Kehutanan, 2010).
Rehabilitasi lahan kritis merupakan upaya pemulihan daya dukung dan
konservasi lahan dalam daerah Aliran Sungai (DAS), yang sejalan dengan solusi
penyerapan/pengurangan (mitigasi) emisi pada krisis perubahan iklim, dan upaya
perbaikan tata air yang menjadi solusi krisis air dan penyediaan lahan yang
subur bagi pertanian (Nair, 1983). Upaya keras Pemerintah untuk melakukan
Kebakaran, asap, dampak terhadap kesehatan Kekeringan dan kekurangan air
Kualitas tanah menurun, kemiskinan di desa Pendangkalan sungai, banjir dam pak di hilir
Hilangny a tutupan
lahan/La han kritis
Kerusakan DAS
Jumlah dan kualitas air terganggu Kesehatan dan hasil pertanian menurun
Kekeringan lahan
Erosi, sedimentasi
Kelangkaan Sumberdaya
rehabilitasi lahan kritis akibat kerusakan lahan dan hutan melalui sektor
kehutanan, masih belum mampu mengimbangi laju penambahan lahan kritis.
Menurut Resume Data Direktorat Bina Rehabilitasi Lahan tahun 2007,
peningkatan luas lahan kritis di luar kawasan hutan, di Jawa Tengah tahun
2000 – 2006 adalah 586.246 ha atau terjadi laju kenaikan rata-rata 117.249,3 ha
per tahun. Sedangkan rehabilitasi lahan kritis pada periode yang sama 176.010
ha, atau laju rata-rata 35.202 ha per tahun, atau dengan kata lain terjadi
kesenjangan percepatan laju lahan kritis lebih kurang 3,3 kali daripada laju
rehabilitasi per tahun (Gambar 2).
Menurut Aldeman (1995), suatu strategi pembangunan yang baik,
seharusnya telah mempertimbangkan benefit dan potensi biaya dampak sosial
ekonomi yang akan terjadi. Oleh karena itu, penanganan dampak merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam pelembagaan kebijakan pembangunan.
Hasil penelitian Astuti (1997) yang menyimpulkan tingginya tingkat urbanisasi
antara lain akibat ketiadaan lapangan kerja yang layak di tingkat pedesaan.
Gambar 2. Kesenjangan Laju Lahan Kritis Dengan Laju Rehabilitasi Kab.Wonogiri (sumber Resume Data Ditjen RLPS, 2007, diolah)
Laju rata-rata 117.249,3 ha per tahun
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Berkembangnya agroforestri dalam luasan lahan yang sempit di pedesaan
daerah hulu DAS Bengawan Solo telah menjadi sumber nafkah utama rumah
tangga petani yang dalam prakteknya menghasilkan stabilitas iklim mikro serta
konservasi tanah dan air. Keberadaan fungsi konservasi dari agroforestri
tersebut sangat mendukung penanggulangan krisis air, krisis pangan (keamanan
subsisten), krisis enerji (kayu bakar dan mikro hidro listrik), dan mengurangi
erosi dan sedimentasi dari sub Das Temon ke waduk Gajah Mungkur, sehingga
juga meminimalisir bencana ekologis berupa banjir dan kekeringan. Secara
keseluruhan fungsi manfaat konservasi (eksternalitas positif) yang dihasilkan
agroforestri merupakan pelayan publik (public service) yang seharusnya
merupakan tanggung jawab Pemerintah untuk penyediaannya.
Kenyataan fungsi strategisnya dalam berkontribusi pada keseimbangan
multi manfaat DAS menjadikan agroforestri di bagian hulu DAS layak menjadi
model rehabilitasi lahan kritis yang vital untuk dipertahankan dan dikembangkan
kesinambungannya (Nandagourda, et al 2007 dan Noorwijk, et al, 2004). Hal
tersebut menjadi makin strategis dikaitkan dengan pendapat Onal, et al (1998),
tentang tujuan efisiensi distribusi pendapatan ekonomi dan temuan Richards
(1997) tentang potensi nilai ekonomi dalam rangka perlindungan DAS di Bolivia.
Permasalahannya pengembangan agroforestri yang mempunyai peran
penting dalam menyediakan public service tersebut, dihadapkan pada kenyataan
kondisi kemiskinan rumah tangga petani dan kenyataan luas kepemilikan lahan
yang sempit dan kurang subur. (Hairiyah et al, 2003). Secara rasional tidak
mungkin mengandalkan petani yang berusaha pada luasan agroforestri yang
sempit dan dalam kondisi miskin untuk mengembangkan upaya konservasi
Kenyataan perkembangan penguasaan lahan rumah tangga petani
menurut sensus pertanian tahun 1983, 1993, dan 2003 (BPS, 2003)
menunjukkan bahwa di Pulau Jawa : (1) secara agregat, pada sepuluh tahun
terakhir, 1993-2003, terdapat polarisasi penguasaan lahan yang makin serius; (2)
Fakta empirisnya adalah rumah tangga dengan penguasaan lahan < 0,50 dan >
2,0 hektar meningkat relatif tajam, masing-masing 31,95 % dan 74,95 %; (3)
Sementara itu, kategori luas 0,50-0,99 hektar dan 1,00-1,99 hektar, hanya
meningkat sebesar 5,28 % dan 10,48 %.
Berdasarkan kenyataan kecenderungan variasi penguasaan lahan rumah
tangga petani pada strata luas < 1 ha, 1- < 2 ha dan ≥ 2 ha, maka diduga strata
luas tersebut akan mempengaruhi kelayakan usaha rumah tangga petani
termasuk agroforestri yang rataan pertumbuhannya 13,05 % per tahun (BPS,
2003). Lebih lanjut petani memilih sistem agroforestri salah satunya dikarenakan
menurunnya kesuburan dan produktifitas lahan pertanian setelah digunakan
secara terus menerus digunakan untuk budidaya tanaman semusim. Hal
tersebut dicerminkan makin tingginya kebutuhan asupan pupuk akibat
menipisnya solum yang bermuara, akumulasi pupuk yang mencemari lahan
membuat semakin rendahnya produktifitas lahan dan akhirnya keuntungan
usaha tidak dapat lagi diandalkan untuk menutup kebutuhan ekonomi rumah
tangga yang semakin meningkat atau dapat dikatakan degradasi lahan menjadi
aspek penting dalam pemiskinan petani di pedesaan. .
Selanjutnya diperlukan intervensi yang mampu meningkatkan kelayakan
usaha agroforestri dan sekaligus mengentaskan petani dari kemiskinan,
sehingga petani mau dan mampu.mengimplementasikan upaya konservasi.
Merujuk pada penyediaan public service oleh agroforestri merupakan tanggung
penguasaan lahan yang sempit tidak mungkin melakukan pemupukan modal
untuk investasi pada teknologi yang baru, maka sudah seharusnya pemerintah
melakukan dukungan pembiayaan.
Dalam konteks tersebut, dukungan yang akan berimplikasi pada
kesinambungan agroforestri dari pemerintah adalah internalisasi eksternalitas
jasa air dan jasa karbon agroforestri melalui instrument kebijakan keuangan.
Kebijakan tersebut akan mengalokasikan insentif berupa pagu subsidi atau kredit
yang berbasis pada nilai ekonomi dari hasil valuasi eksternalitas positif
agroforestri tersebut ( Boer, et al, 2004).
Dalam rangka mendukung terselenggaranya internalisasi eksternalitas jasa
karbon dan jasa agroforestri tersebut penelitian ini menjadi urgen untuk
dilaksanakan. Penelitian akan berkontribusi pada penghitungan nilai jasa air dan
jasa karbon agroforestri desa Sumberejo, serta desain alokasi insentif sesuai
aliran pendapatan dan biaya yang menjamin kesinambungan menurut strata
luas usaha agroforestri yang ada di masyarakat setempat.
Merujuk pada pengembangan agroforestri di pedesaan adalah selaras
dengan tujuan program rehabilitasi lahan kritis dan pemberdayaan masyarakat
yang didasari kebijakan pembangunan (pro growth, pro poor, pro job, dan pro
environment) berbasis pedesaan (Bappenas, 2010). Urgensi dukungan insentif pemerintah guna mendorong kesinambungan pengembangan usaha
(konservasi) agroforestri yang dikelola dalam luasan yang sempit oleh petani
yang miskin di pedesaan menjadi sangat relevan.
Dalam rangka mendukung urgensi, tersebut penelitian ini akan
berkontribusi pada jawaban atas permasalahan :
1. Seberapa jauh internalisasi nilai ekternalitas positif, jasa lingkungan produk
pada berbagai strata luas lahan, sehingga memiliki kecukupan modal untuk
melakukan konservasi dan sekaligus mengentaskan rumah tangga petani
dari kemiskinan ?
2. Bagaimanakah bentuk kebijakan skim kredit yang membuat petani pada
berbagai strata luas lahan mampu mengimplikasikan hasil internalisasi
eksternalitas sebagai insentif pendorong kesinambungan (fungsi konservasi)
agroforestri ?
Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, maka secara spesifik
penelitian akan difokuskan pada 3 strata luas lahan (< 1 ha; 1-< 2 ha; dan ≥ 2 ha)
usaha agroforestri, sesuai kecenderungan distribusi strata penguasaan lahan
pertanian di Pulau Jawa (BPS, 2004). Lokasi penelitian difokuskan pada
agroforestri Desa Sumberejo yang berfungsi vital pada pengendalian erosi
karena terletak di bagian hulu SubDAS Temon dan secara formal inisiasi
petaninya dalam konservasi tanah dan air telah mendapat pengakuan, sehingga
mendapat sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML).
Sedangkan sistematika pentahapan jawaban adalah dengan rincian pertanyaan
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat kelayakan usaha agroforestri pada 3 strata luas lahan
tanpa internalisasi ?
2. Apakah internalisasi nilai ekonomi jasa karbon dan jasa air mampu
meningkatkan kelayakan usaha 3 strata luas lahan groforestri ?
3. Apakah insentif peningkatan layakan usaha agroforestri dengan internalisasi
nilai jasa karbon dan jasa air menjadikan 3 strata luas lahan agroforestri
mempunyai kecukupan modal ?
4. Bagaimana merumuskan bentuk skim kredit bersubsidi untuk mendukung
kesinambungan pada 3 strata luas lahan usaha agroforestri ?.
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bentuk
instrument kebijakan keuangan yang tepat yang mendukung peningkatan
kelayakan usaha agroforestri, sehingga dapat menjadi insentif kesinambungan
(upaya konservasi) agroforestri Desa Sumberejo serta agroforestri sejenis di
pedesaan bagian hulu DAS. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:
1) Menganalisa tingkat kelayakan usaha agroforestri pada 3 strata luas lahan
tanpa internalisasi.
2) Menganalisa kelayakan finansial usaha agroforestri pada 3 strata luas lahan
dengan internalisasi nilai jasa karbon dan jasa air;
3) Menganalisa kecukupan modal 3 strata luas lahan agroforestri setelah
internalisasi
4) Menganalisa alternatif instrumen kebijakan keuangan yang mendukung
internalisasi eksternalitas jasa air dan jasa karbon pada 3 strata luas lahan
agroforestri .
1.4 Kebaruan (Novelty) Penelitian
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah :
1) Ide dan implikasi internalisasi ekternalitas positif berupa jasa air dan jasa
karbon untuk meningkatkan kelayakan usaha dan mengentaskan rumah
tangga petani dari kemiskinan
2) Ide dan implikasi penerapan skim subsidi berorientasi ouput yang
disesuaikan dengan kebutuhan nyata agroforestri untuk dapat
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada 2 (dua) jasa lingkungan, yaitu jasa
karbon dan air serta tidak termasuk jasa keanekaragaman hayati dan jasa
wisata. Lingkup analisa dan pembahasan penelitian dibatasi pada: valuasi
ekonomi jasa karbon dan jasa air, analisa kelayakan usaha tanpa dan dengan
internalisasi ekternalitas jasa air dan jasa karbon, dan pemilihan desain
instrumenkebijakan keuangan dengan kasus desa yang menjadi lokasi
penelitian.
Merujuk pada referensi sangat beragamnya tipologi agroforestri, sehingga
tidak memungkinkan dilakukannya generalisasi. Untuk itu diperlukan dukungan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Kritis dalam Daerah Aliran Sungai dan Urgensi Konservasi Tanah dan Air di Pulau Jawa
Kerusakan hutan dan lahan di pulau Jawa merupakan masalah lingkungan
yang sangat serius dan mencakup luasan besar. Menurut Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2008), luas lahan kritis aktual tercatat
1,106,741 ha (dalam kawasan hutan: 360,270 ha, di luar kawasan hutan:
746,471 ha) pada tahun 2000, dan menjadi 3,493,549.99 ha di tahun 2007
(dalam kawasan hutan: 1,176,692.95 ha, di luar kawasan hutan: 2,316,857,04
ha), atau naik lebih tiga kali lipat dalam kurun waktu tujuh tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Peningkatan Luas Lahan Kritis di Pulau Jawa
No Prov insi Luas lahan Kritis hasil Inv entarisasi (ha)
Tahun 20 00 Tahun 20 07 Dalam
Kawasan Luar kawasan Jumlah
Dalam Kawasan
Luar
Kawasan Jumlah 1. Banten +) +) +) 67.296,57 142.224,77 209.521,34 2. Jawa Tar at 5.966,00 362.828,00 362828 160.345,69 248.282,16 408.627,85 3. DIY ogy akarta 7 49,00 33.918,00 33918 9.216,13 129.506,75 138.722,88 4. Jawa Ten gah 11.102,00 349.725,00 360827 293.811,96 653.261,38 947.073,34 5. Jawa Timur 349.168,00 9 53.211,00 349168 646.022,60 1.143.581,98 1.789.604,58 Total 360.270,00 746.471,00 1.106.741,00 1.176.692,95 2.316.857,04 3.493.549,99
+) Data masih tergabung dengan provinsi induk (Jawa Barat)
Sumber : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2008
Contoh kecenderungan peningkatan luas untuk provinsi jawa tengah
diturunkan dalam dalam bentuk Gambar 3. Berikut ::
Data di atas menunjukkan, bahwa luas lahan kritis di luar kawasan hutan
lebih kurang dua kali lipat dari luas lahan kritis di dalam kawasan hutan. Lebih
lanjut terdapat 16 Daerah Aliran Sungai (DAS) di pulau Jawa yang kondisinya
sangat kritis yang terindikasi dari status penggunaan lahan bervegetasi tidak
mencapai 30% sebagaimana yang dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2009
tentang penataan ruang.
Pada sejumlah DAS, lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian
dan tanaman padi telah mencapai 50%, bahkan di DAS Bengawan Solo telah
mencapai 90%. Data terakhir dari Badan Planologi (2007) menginfomasikan,
bahwa luas tutupan hutan di pulau Jawa hanya mencapai 4%, dengan tutupan
vegetasinya 18,7%. Indikasi lain dari karakteristik debit sungai yang
menunjukkan fluktuasi yang sangat tinggi, bervariasi antara 10-100 kali.
Informasi tersebut memberikan gambaran telah terjadi kerusakan dan kekritisan
sebagian besar DAS di pulau Jawa.
Pada sisi lain pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari wilayah Indonesia
menurut Badan Pusat Statistik Nasional/BPS (2007) memiliki populasi lebih dari
133 juta jiwa atau kelebihan 81,1 jiwa dibandingkan daya dukung ekologinya
(Tabel 2), dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional 60%,
membutuhkan dukungan sumber air yang terus meningkat. Sementara karena
menurunnya daya dukung DAS, frekuensi bencana banjir, tanah longsor dan
kekeringan yang membawa korban jiwa dan material makin sering terjadi.
Kondisi tersebut diperparah oleh adanya perubahan iklim akibat tingginya emisi
karbon di atmosfir yang membuat iklim dan cuaca sulit diprediksi.
oleh konsekuensi dari tekanan jumlah penduduk dan kebijakan pemanfaatan
sumberdaya alam tidak mengacu pada prinsip pembangunan yang
berkelanjutan, sehingga terjadi pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya
dukungnya. Penduduk pulau Jawa hasil sensus 2010 telah mencapai 140,2 juta,
dimana jumlah tersebut telah melampaui daya dukung ekologi dan menjadi
bencana, karena penurunan produktifitas lahan terjadi pada saat populasi
penduduk yang membutuhkan air, pangan, udara bersih, dan enerji meningkat.
Tabel 2. Kondisi Daya Dukung Lingkungan Ekologi di Pulau Jawa Tahun 2007
No Prov insi
Jumlah penduduk
(orang)
Luas Wilay ah (ha) Keter sediaan Lahan (ha/jiwa )
Kebutuhan laha n sangat sederhana (0,256 ha/ji wa)
Kebutuhan laha n Sedang (0,78 ha/ji wa) Kekurang an lahan (ha/jiwa) Kelebiha n jumlah penduduk (jiwa) Keku rang an lahan (ha/ji wa) Kelebiha n jumlah penduduk (jiwa)
1. Banten 9,423,367 916,070 0,10 -0,16 5,844,969 -0.68 8,258,918 2. DKI Jakarta 9,057,993 740,280 0,08 -0,17 6,166,274 -0.70 8,108,916 3. Jawa Barat 41,763,210 3,481,696 0,08 -0.17 28,162,835 -0,70 37,299,497 4. DI
Y ogy akarta 3,434,534 318,580 0.09 -0.16 2,190,081 -0.69 3,026,098 5. Jawa
Tenga h 32,380,279 3,254,820 0.10 -0.16 19,666,138 -0,68 28,207,433 6 Jawa Timur 37,794,003 4,792,200 0.13 -0.13 19,074,472 -0.65 31,650,157 Jumlah 133,853,386 13,503,646 0.10 -0.16 81,104,769 -0.68 116,541,019
Sumber: Kementerian Koordinasi Perekonomian, 2007.
Dari data kelebihan daya dukung karena kelebihan penduduk Pulau jawa
[image:30.596.110.507.536.707.2]di atas diturunkan dalam bentuk gambar berikut :
Diskusi panel strategi menghadapi krisis air di pulau Jawa antar
departemen pekerjaan umum, kehutanan, pertanian dan wakil provinsi pulau
Jawa serta para pakar merumuskan, bahwa pulau Jawa diprediksi akan
mengalami krisis air pada tahun 2020, oleh karena itu Pemerintah saat ini perlu
menyatakan bahwa Pulau Jawa berstatus “Darurat Krisis Air” (DKA).
Status DKA pulau Jawa didasarkan atas pernyataan para pakar dan
berbagai kalangan yang menggunakan indikator antara lain ketersediaan air
pada tahun 2000 adalah 1.750 m3/kapita/tahun, dan diprediksi menurun menjadi
1.200 m3/kapita/tahun pada tahun 2020 (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional/RPJMN tahun 2010-2014). Sedangkan standar kebutuhan
air adalah 2.000 m3/kapita/tahun (Komisi sumberdaya air PBB, 2000). Jika
pertumbuhan penduduk di pulau Jawa tahun 2020 diperkirakan 181.5 juta jiwa
dan standar kebutuhan air 1.100 m3/orang/tahun, maka jumlah kebutuhan air
adalah 199,6 milyar m3/tahun. Sementara itu ketersediaan air di Pulau Jawa
hanya 50,09 milyar m3/tahun.
Kartodihardjo (2006) mengidentifikasi beberapa penyebab kerusakan,
antara lain: (1) Penitikberatan kegiatan pada produksi komoditas (tangible
product); (2) kelemahan institusi dalam mengatur produksi (flow), sehingga
terjadi kekurangan tegakan tinggal (stock) yang menghasilkan intangible
product; (3) kelemahan institusi dalam penataan penguasaan hak dan pemanfaatan sumberdaya.
Lebih lanjut tidak adanya penekanan penerapan prinsip pembangunan
berkelanjutan sebagai indikator keberhasilan pembangunan daerah,
mengakibatkan terjadinya eksploitasi sumberdaya untuk peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak terkendali. Orientasi ekonomi pada
sumberdaya alam yang memberikan jasa untuk mendukung kehidupan. Hal
tersebut mendorong terbentuknya kemiskinan daerah hulu DAS yang mengolah
lahan pertanian dalam luasan lahan yang kecil-kecil(fragmentasi), sehingga tidak
memungkinkan petani mempunyai kemampuan untuk mengembangkan fungsi
manfaat konservasi yang diproduksi dari lahan olahannya (Murtilaksono, dan
Suhadi. 2004).
Untuk itu upaya memulihkan dan meningkatkan produktifitas yang
sekaligus berpihak pada pertumbuhan, penyediaan lapangan kerja, dan
pengentasan kemiskinan melalui kebijakan dan program rehabilitasi dan
konservasi tanah dan air berbasis pedesaan menjadi penanganan yang sangat
urgen untuk dilaksanakan.
2.2 Review Kebijakan dan Program Rehabilitasi Lahan Berbasis DAS
Istilah pembangunan pada hakekatnya representasi dari proses terjadinya
perubahan sosial suatu masyarakat berbasis keragaman kebutuhan kelompok
sosial atau institusi yang terlibat menuju kondisi kehidupan yang lebih baik
(Todaro, 1998). Prinsip pembangunan berkelanjutan menurut PBB (1997)
adalah”memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan. Sedangkan, penerapan pembangunan wilayah
umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang menjadi keputusan politik
tentang alokasi spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara
keseluruhan (top down). Menurut Cullis dan Jones (1992) aplikasi yang tepat
untuk pembangunan wilayah berkelanjutan adalah dengan pendekatan
perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumberdaya
publik mulai dari dan berbasis keragaman daerah (bottom up), sehingga tujuan
pembangunan wilayah yang berkelanjutan ditekankan pada bagaimana
pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di wilayah tersebut.
Praktek konsep kebijakan pembangunan wilayah periode sebelum dan
sesudah otonomi daerah/desentralisasi masih terjadi kecenderungan alokasi
spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan (top down),
sehingga pembangunan wilayah tetap bercirikan orientasi pada sumberdaya
sebagai komoditas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan
kerja. Menurut Palmer (1977) kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan
pembangunan koersif (coersive policy) atau yang bersifat pemaksaan kepada
daerah untuk memenuhi target-target sector..
Implikasi kebijakan tersebut tidak berpihak pada prinsip pembangunan
yang berkelanjutan, karena lebih memicu pada eksploitasi sumberdaya oleh
daerah otonom. Sementara nilai ekonomi konservasi dari eksternalitas jasa
lingkungan yang mendukung prinsip keberlanjutan sumberdaya kurang/tidak
mendapat perhatian yang cukup.
Kebijakan rehabilitasi lahan kritis yang dikenal dengan reboisasi untuk
pelaksanaan dalam kawasan hutan dan penghijauan untuk pelaksanaan di luar
kawasan hutan sudah dimulai sejak tahun 1976. Sedangkan kebijakan orientasi
rehabilitasi lahan kritis berbasis DAS prioritas dimulai tahun 1984 yang diawali
dengan penetapan 22 DAS prioritas yang didasarkan pada kekritisannya.dan
menjadi 108 DAS pada tahun 1999 dengan 8 DAS di Jawa masuk dalam DAS
prioritas 1.
Diluncurkan Sebagai suatu 'gerakan nasional' lintas-tahun (multi years)
yang melibatkan seluruh stakeholder kehutanan dan lahan, Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (GN-RHL) telah dipayungi oleh Surat
Perekonomian2), Menko Bidang Politik dan Keamanan3)
Hampir separuh dari upaya rehabilitasi dipusatkan pada kawasan hutan
negara, dengan 60% investasi berada di hutan-hutan produksi, 30% di hutan
lindung, dan 10% di kawasan konservasi. Duapertiga dari lahan kritis terletak di
luar kawasan hutan, tetapi hanya setengah dari nilai investasi rehabilitasi
dipusatkan di situ. Pola ini mengungkapkan adanya pilihan investasi yang lebih
diminati dalam nilai-nilai produksi dan jasa lingkungan di lahan-lahan milik
tentang Pembentukan
Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi
Nasional. Untuk jangka waktu lima tahun, program GN-RHL berupaya
merehabilitasi 3,1 juta hektar hutan dan lahan kritis di 68 DAS yang
diprioritaskan, yang tersebar di 27 provinsi dan 242 kabupaten dan kota. Sejak
2003 Pemerintah telah menanamkan investasinya sebesar lebih kurang USD 400
juta setiap tahun untuk program ini (berdasarkan biaya penanaman kembali
sebesar Rp. 6 juta atau lebih kurang USD 700 per hektar, atau sekitar Rp. 18,5
triliun selama lima tahun), yang merupakan sebuah upaya tunggal terbesar yang
dikelola Departemen Kehutanan. Prakarsa-prakarsa baru untuk pengelolaan
DAS adalah berdasarkan alasan penting yang dapat dikemukakan, namun juga
menghadapi tantangan yang berat. Bahkan kalau pun berhasil, program
rehabilitasi ini hanya akan mempengaruhi sebagian kecil dari lahan yang
terdegradasi, sedangkan kehilangan dan degradasi hutan terus berlanjut dengan
laju kerusakan tahunan yang jauh lebih tinggi. Program yang besar ini hanya
akan mempengaruhi sebagian kecil lahan kritis. Juga, distribusi dampaknya
ditujukan pada Sumatra dan Sulawesi, bukan secara merata berdasarkan
luasnya lahan kritis. Maluku dan Papua tidak dijadikan sasaran, mungkin karena
alasan administratif. Jawa, Bali, dan NTT kurang terwakili, mengingat konsentrasi
Negara (Departemen Kehutanan, 2003). Sementara usaha agroforestri di lahan
milik yang sempit oleh rumah tangga petani miskin yang sangat strategis
mendapat dukungan untuk kesinambungannya, justeru tidak menjadi lokus
prioritas dari program.
Evaluasi Pemerintah terhadap GERHAN. Dalam suatu tinjauan dan
evaluasi program GERHAN, Dirjen Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan
(DirJen RLPS, 2007) menemukan banyak masalah dalam pelaksanaannya.
Degradasi lahan merupakan suatu gejala dari banyak sebab utama, yang tidak
dapat diselesaikan oleh program rehabilitasi lahan secara langsung. Namun,
salah satu temuan dari tinjauan itu menyebutkan bahwa GERHAN dilaksanakan
dengan cara yang sangat sentralistik, tanpa partisipasi yang memadai dan
dukungan anggaran yang sangat terbatas dari Pemerintah Daerah. Begitu pula,
peran serta kelompok-kelompok petani dan pendampingan LSM setempat
dianggap kurang optimal oleh karena terbatasnya waktu untuk sosialisasi dan
pengorganisasian masyarakat (3-5 bulan). Layanan penyuluhan dan pelatihan
juga kurang optimal. Juga terdapat masalah pendanaan, dimana dana datangnya
terlambat, tanpa insentif, dan dengan sedikit dukungan dari daerah. Kalau
pendanaan dan kebutuhan fisik seperti bibit datangnya terlambat, maka kegiatan
penanaman menjadi tidak efektif karena dimulai tidak bersamaan dengan musim
tanam yang cocok. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dilakukan
perubahan-perubahan dalam program GERHAN guna mengurangi potensi terjadinya
masalah-masalah semacam itu. Berdasarkan evaluasi ini, program penanaman
dan rehabilitasi telah ditata ulang dan diluncurkan dalam bentuk baru,
bersamaan dengan prakarsa Presiden untuk merevilatisasi sektor-sektor
kehutanan, perikanan dan pertanian. Pada Hari Bumi tanggal 22 April 2006,
Program (baru) ini mungkin sekali akan memperoleh dukungan dana dalam
jumlah yang sama atau lebih besar dibandingkan dengan upaya-upaya GERHAN
sebelumnya. Pemerintah juga menerapkan aturan bagi pengelolaan dan
pemantauan lingkungan berdasarkan Undang-undang Pengelolaan Dampak
Lingkungan 1997. Proses analisa dampak lingkungan (AMDAL) memungkinkan
dilakukannya penilaian dan menyoroti dampak proyek-proyek pembangunan atas
jasa lingkungan. Proses ini memiliki potensi untuk mengidentifikasi dan
mengurangi dampak yang membahayakan hutan atau jasa lingkungan dan untuk
memberitahukan kepada publik tentang masalah-masalah ini. Namun dalam
prakteknya, hasil kajian AMDAL seringkali tidak diterapkan pada kegiatan yang
berkaitan dengan kehutanan (misalnya, pembangunan jalan, pembukaan lahan)
atau untuk mengurangi dampak yang membahayakan dari degradasi lahan dan
hutan. Rumitnya aturan administrasi atau resistensi politik dapat menghalangi
upaya-upaya untuk menegakkan aturan-aturan ini, yang pada dasarnya
diperlukan. Walaupun masih ada kemungkinan untuk memperbaiki standar
kinerja, pemantauan dan rencana-rencana remedial, isu utamanya terletak pada
pelaksanaan dan tindak lanjut mengenai kebutuhan pengelolaan lingkungan (The
World Bank, 2001).
Selanjutnya tahun 2009 paradigma rehabilitasi mulai ditekankan
pendekatan bottom up dengan konsep masyarakat sebagai kunci keberhasilan
rehabilitasi hutan dan lahan. Hal tersebut merujuk pada keberhasilan konsep
penanaman one man one tree, penanaman sejuta pohon, dan hutan rakyat pola
kemitraan yang membuktikan makin tingginya minat menanam pada masyarakat
.
Salah satu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis ditunjukkan oleh upaya
agroforestri secara swadaya di lahan milik/luar kawasan hutan. Pada tahun
marjinal pedesaan di hulu DAS Solo Kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah.
Rehabilitasi dimulai dengan pembongkaran batu yang menutupi tanah, sehingga
mendapatkan bidang tanam. Selanjutnya dengan pola upah natura (bahan
pangan) dilakukan penanaman jenis pohon cepat tumbuh Acacia sp. Lambat
laun masyarakat berinisiasi mulai menanam jati dan mahoni yang
dikombinasikan dengan tanaman pangan di lahan miliknya (wana
tani/agroforestri) setelah lahan mulai menjadi subur karena munculnya
sumber-sumber air di sekitar areal tanaman pohon. Kerja keras swadaya petani
agroforestri pada luasan yang sempit yang secara bottom up mengembangkan
alternatif mata pencaharian dan konservasi tanah dan air di desa Sumberejo
yang termasuk subDAS Temon pada bagian hulu DAS akhirnya menghasilkan
pengakuan berupa sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
(PHBML) pada tahun 2004.
Pada dekade 1970-1980an, usaha-usaha perbaikan lahan kritis dan
pencegahan kerusakan hutan, tanah dan air (HTA) juga telah dilaksanakan di
provinsi jawa timur dengan bantuan Bank Dunia, FAO dan USAID, namun pada
pelaksanaannya yang cenderung top down, mengalami hambatan pada sulitnya
menyusun perencanaan terpadu dan pembiayaan jangka panjang serta
kurangnya dukungan politik serta pendanaan. Evaluasi program mencatat,
bahwa untuk mencapai keberhasilan program rehabilitasi perlu mengikut
sertakan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya
Pada periode tahun 1990 – 2007, konsep rehabilitasi lahan milik di luar
kawasan hutan secara top down ditetapkan dengan dukungan kebijakan skim
kredit bergulir untuk masa 8 tahun. Program tersebut dilakukan dengan pola
kemitraan hutan rakyat (mitra sebagai penjamin kredit/avails) serta fasilitas
sebesar hampir Rp.100 milyar, hanya mampu berkontribusi mendorong
pembangunan hutan rakyat (termasuk pola agroforestri) sebesar 2,6% dari luas
total pengembangan hutan rakyat, sedangkan pengembalian kredit bergulir
setelah masa 10 tahun baru terealisasikan 9,8% dari total penyaluran. Dari hasil
evaluasi, kegagalan disebabkan karena komponen kegiatan yang didukung
kredit tidak sesuai dengan kebutuhan nyata petani, dan dana yang tersalurkan ke
pani melalui mitra terbatas pada pengadaan bibit, pupuk, sebagian besar kredit
dimanfaatkan mitra kegiatan di lahan mitra (pengawasan tidak berjalan).
Kenyataan konsep kebijakan dan program rehabilitasi lahan kritis di luar
kawasan hutan atau pada lahan milik di masa lalu, cenderung dengan
pendekatan yang bersifat top down dan lebih pada tujuan manfaat perbaikan
kondisi biofisik (konservasi). Sementara apresiasi terhadap keberhasilan upaya
rehabilitasi lahan hanya terbatas pada bentuk penghargaan lingkungan yang
tidak berdampak pada sosial ekonomi petani. Kondisi tersebut, masukan dari
para pakar, dan berkembangnya tuntutan tata pemerintahan yang baik memicu
pergeseran konsep pendekatan kebijakan rehabilitasi dan konservasi lahan lebih
pada pendekatan bottom up, dimana masyarakat/petani menjadi pengambilan
keputusan dan pelaku sentral rehabilitasi di lahan-lahan milik. Dengan demikian
pendekatan sosial ekonomi berupa pengentasan kemiskinan masyarakat/petani
di pedesaan di hulu DAS prioritas wajib menjadi fokus kebijakan rehabilitasi, agar
masyarakat/petani mau dan mampu mempertahankan dan mengembangkan
agroforestri yang menghasilkan eksternalitas positif bagi kepentingan umum.
Menurut Sinukaban (2007) prinsip dasar DAS sebagai bioregion adalah
keterkaitan saling mempengaruhinya perubahan berbagai komponen dalam DAS
secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal (waktu). Pengabaian kenyataan
penurunan kualitas air dari hulu sampai ke hilir, dapat menimbulkan konflik
kompetisi alokasi dan distribusi sumberdaya yang berakibat kontra produktif pada
upaya peningkatan kesejahteraan.
Lebih lanjut Kerr (2007) menjelaskan pembangunan DAS menjadi
komponen penting dalam pembangunan wilayah pedesaan dan strategi
pengelolaan sumber daya di banyak Negara. Lebih lanjut pembangunan DAS
meliputi tantangan sosial ekonomi dan teknis. Salah satu tantangan sosial
ekonomi terbesar untuk keberhasilan pengelolaan DAS adalah mendistribusikan
biaya dan manfaat secara merata, sebagai akibat variasi spasial dan keragaman
kepentingan penggunaan sumberdaya alam. Untuk itu pembangunan DAS harus
diupayakan tidak hanya untuk mengelola hubungan hidrologis, tetapi juga: a)
melestarikan dan memperkuat basis sumberdaya dengan mengoptimalkan
penggunaan sumberdaya untuk konservasi, b) membuat pertanian dan
sumberdaya lainnya menjadi lebih produkstif, dan c) mendukung mata
pencaharian pedesaan untuk mengurangi dan mengentaskan kemiskinan.
Selanjutnya diperlukan adanya pelembagaan kerjasama untuk membuat
pembangunan DAS bekerja (Kartodihardjo, 2006). Umumnya dalam mengelola
konflik kepentingan, kegiatan yang memiliki manfaat besar dan cepat yang
dipilih, namun dalam beberapa kasus pilihan menjadi sulit karena memerlukan
waktu yang cukup untuk melihat manfaat tersebut. Oleh karena itu, perlu
diciptakan mekanisme untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya sesuai
kepentingan umum.
2.3 Peran Agroforestri dalam Penanggulangan Berbagai Isu Lingkungan dan Kemiskinan
penggunaan lahan secara terencana dengan mengkombinasikan stratum
tegakan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak)
dan/atau ikan, yang dilakukan secara bersamaan atau bergiliran, sehingga
terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada
(Lundgren dan Raintree, 1983, Nair, 1983, Huxley, 1983).
Sistim agroforestri di Indonesia, diawali dengan adopsi pola perladangan
berpindah, sejalan dengan terjadinya kesenjangan penawaran dan permintaan
bahan baku kayu industri pengolahan, dan meluasnya lahan kritis di dalam dan
di luar kawasan hutan, serta berkembangnya berbagai isu pembangunan, antara
lain; isu perubahan iklim, isu krisis pangan, isu bio enerji dan isu krisis air,
agroforestri berperan sebagai kontributor yang penting. Dalam kawasan hutan
sistem ini diadopsi sekaligus sebagai solusi masalah sosial ekonomi yang timbul
akibat alih guna lahan, dalam pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm),
hutan tanaman rakyat (HTR), dan hutan desa, sedangkan di luar kawasan hutan
terutama di lahan pertanian di pulau jawa dalam usaha di lahan milik.
Dalam praktek petani secara bertahap mengusahakan agroforestrinya dari
pola subsisten menunju komersil, dengan tetap mempertahankan tujuan
pemenuhan rasa aman (subsisten) dan keterkaitan ragam sosial budaya (tradisi)
sebagai kekayaan pengetahuan lokal. Kondisi tersebut menempatkan
agroforestri di pedesaan yang diusahakan rumah petani yang umumnya miskin
pada lahan-lahan yang sempit pada transisi antara agroforestri tradisional
dengan modern (Tabel 3).
Menurut Wijayanto (2001), agar keunggulan suatu agroforestri terwujud
dan kelemahannya teratasi, diperlukan rumusan pengelolaan agroforestri yang
berbeda (spesifik lokal) untuk kondisi lahan dan masyarakat yang berbeda. Jadi
semua keadaan lahan dan masyarakat yang berbeda-beda.
Sejalan dengan upaya pengentasan kemiskinan seperti yang dicanangkan
dalam Millenium Development Goals (MDGs), fokus sistem produksi dan
produktivitas agroforestri, telah berkembang kepada peran agroforestri berkaitan
dengan isu ekonomi lingkungan, seperti penyerapan emisi sebagai dampak dari
climate change, dan transfer imbal jasa lingkungan (Payment for Environmental Service).
Perubahan agroforestri dari subsisten menjadi komersil mengakibatkan
pengusahaannya pada skala kecil menjadi rentan terhadap perubahan ekonomi.
Hasil analisa ekonomi menjadi penting selain dalam perbaikan manajemen di
tingkat on farm, namun juga dalam menangkap dan merespon sinyal pasar
Tabel 3. Perbedaan agroforestri tradisional dan modern
Aspek Tinjauan Agroforestri Tradisional Agroforestri Modern
Kombinasi Jenis
Tersusun atas banyak jenis (polyculture), dan hampir keseluruhannya dipandang penting; banyak dari jenis-jenis lokal (dan berasal dari Permudaan alami)
Hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis, di mana salahsatunya merupakan komoditi yang diunggul kan; seringkali diperkenal kan jenis unggul dari luar
Struktur Tegakan
Kompleks, karena pola tanamnya tidak teratur, baik secara horizontal ataupun vertikal (acak)
Sederhana, karena biasanya menggunakan pola lajur atau baris yang berselang-seling dengan jarak tanam yang jelas
Orientasi Penggunaan Lahan
Subsisten hingga semi komersial (meskipun tidak senantiasa dilaksanakan dalam skala kecil)
Komersial, dan umumnya diusahakan dengan skala besar dan oleh karenanya padat modal
Keterkaitan Sosial Budaya
Memiliki keterkaitan sangat erat dengan sosial-budaya lokal karena telah dipraktek kan secara turun temurun oleh
masyarakat/pemilik lahan
Secara umum tidak memiliki keterkaitan dengan sosial budaya setempat, karena di introdusir oleh pihak luar (proyek atau pemerintah)
Sumber: Sardjono, et al. 2003
Pemahaman pengelolaan agroforestri dari sisi produsen adalah berarti
mengelolanya untuk tujuan multiple use yang berarti pengelolaan seluruh
renewable resources yang terdapat di dalam area agroforestri. Kombinasi
penggunaan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia (Hairiyah, et al,
2002). Vishwapati (2010) menemukan, bahwa species jenis pohon multiguna
Himalaya bagian Barat, bahkan Yamoah (1989) berhasil menemukan beberapa
jenis-jenis yang tumbuh cepat untuk penutupan lahan di dataran tinggi Rwanda.
Pertimbangan sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam proses
pengadopsian sistem dan teknologi agroforestri, keputusan tergantung
penerimaan petani sebagai elemen pokok (subyek) dari agroforestri. Namun
para pihak yang berkepentingan dengan pengembangan perbaikan teknologi
agroforestri (peneliti, penyuluh, pemerintah) sering mengabaikan terhadap
peran dan posisi petani tersebut. (Suhardjito, 2003).
Terdapat 5 (lima) aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk
menerapkan agrorestri, yaitu:
1. Kelayakan (feasibility)
Penelitian pengaruh luas lahan terhadap pilihan praktek agroforestri
tergantung pada faktor ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi keluarga,
teknologi yang dikuasai dan pola komposisi jenis tanaman menurut intensitas
waktu panen (Berenschot, Van Der Poel dan Van Dijk, 1987). Hal itu ditunjukkan
oleh kecenderungan rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit,
menggunakan lahannya untuk tanaman pangan dan tidak menanam atau hanya
sedikit tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley, 1987).
Selain luas lahan, kendala kelayakan usaha agroforestri adalah akses
petani pada informasi pasar, dan modal, (Indrawati et al, 1997, Ekawati, et al., 2002). Hasil-hasil penelitian kelayakan finansial agroforestri sering terbatas pada
keragaan NPV yang positif, namun mengabaikan kenyataan nilai tersebut dekat
atau di bawah garis kemiskinan yang resmi dikeluarkan oleh BPS. .
2. Keuntungan (profitability)
Sistem agroforestri dianggap menguntungkan apabila dapat menghasilkan
atau membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat
output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen
yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi (Suharjito,
2000). Interaksi biofisik sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila
output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor
produksi. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif,
yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula. Kenaikan output
pada tingkat sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah
output fisik atau kenaikan harga per satuan output, juga penurunan biaya input
misalnya dari segi tenaga kerja dan penggunaan sumber daya yang lain atau
penurunan harga per satuan input. (Avilla, 1978, Andayani, 2002, Albrecht, and
Kanji, 2003).
Meskipun keuntungan merupakan motif utama petani memilih usaha
agroforestri, namun aspek keamanan pangan dan kesinambungan pendapatan
kerap menjadi pertimbangan (Yustika, 2007). Beberapa alasan mendasar petani
pedesaan di wilayah Kabupaten Wonogiri memilih agroforestri, dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Dari aspek ekonomi, agroforestri dengan kombinasi tanaman semusim dan
tanaman tahunan memberikan ketahanan untuk survival dan bagian dari
sistem mata pencaharian (livelihood), sehingga menimbulkan rasa aman
bagi petani subsisten (Suyanto, dan Chandler, 2003).
b. Dari aspek sosial budaya, agroforestri di pedesaan secara historis terkait
erat dengan tradisi turun temurun yang melatar belakangi hubungan antar
masyarakat; dalam membangun kelompok, belajar; dan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan pengembangan dan pembangunan desa
c. Dari aspek ekologi, petani agroforestri di desa bagian hulu DAS yang pernah
mengalami masa kekeringan yang panjang sebelum tahun 1970an, memberi
pelajaran bahwa penanaman pepohonan telah meningkatkan keberadaan
hutan dengan sumber air, menjaga kesuburan tanah dan lingkungan yang
nyaman (Jariah NA, dan Wahyuningrum , 2008; Sriwongsitanon, 2011).
Pengembangan agroforestri dengan menempatkan pepohonan hanya
sebagai penunjang aspek biofisik (konservasi) mendukung pertanian semata
seringkali membuat usaha agroforestri gagal atau tidak berkembang. Aspek
sosial ekonomi,lebih berperan dalam pengembangan agroforestri, sebagaimana
dikemukakan Cahyono, et al (2003), bahwa terdapat tiga aspek penting yang
mempengaruhi pengembangan agroforestri, yaitu kelayakan (feasibility),
keuntungan (profitability) dan kesinambungan (sustainability).
Kesinambungan keberadaan dan pengembangan agroforestri sejalan
dengan besarnya kemampuan agroforestri dalam peningkatan pendapatan untuk
pemenuhan kebutuhan jangka pendek rumah tangga petani, terutama dalam
tenggat waktu menunggu panen tanaman tahunan (Supangat, et al. 2003).
Sejalan dengan adanya jeda waktu menunggu pendapatan dari tanaman
tahunan, beberapa penelitian mengindikasikan ketergantungan yang sangat
tinggi dari rumah tangga petani agroforestri pada pendapatan di luar lahan (off
farm). Kontribusi pendapatan off farm pada rumah tangga petani berkisar antara
45-70% (Dede, 1997, Riva, 1997, Ekawati, 1999, Donie, 2000, Hardjanto, 2001,
Haswanir et al, 2000, Cahyono et al, 2002, Supangat et al, 2002, Sunaryo, et al,
2003, dan Jariyah, et al,2003).
Selama ini pendapatan usaha tani hanya terbatas pada manfaat langsung
sudah menjadi ciri kendala agroforestri di Kabupaten Wonogiri, sehingga tidak
mungkin bagi petani meningkatkan keuntungan melalui upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi.
Meskipun saat ini manfaat tidak langsung (indirect use value) berupa
eksternalitas positif seperti jasa air dan jasa karbon agroforestri mulai
diperhitungkan sebagai bagian solusi isu lahan kritis, krisis air dan perubahan
iklim, namun nilai ekonominya belum bisa menjadi sumber pendapatan rumah
tangga petani apabila diserahkan pada mekanisme pasar. Pembelajaran sukses
imbal jasa air antara lain di DAS Cidanau, DAS Asahan, dan di Costa Rica, serta
sukses imbal jasa karbon di Brasil, menunjukkan peran intervensi Pemerintah
sangat diperlukan,khususnya terkait dalam pengakuan kepemilikan hak (property
right) dan negosiasi besaran dan distribusi subsidi atau imbal jasa. Hal tersebut didukung oleh pendapat Williamson (1979), bahwa intervensi hanya didapat
dengan upaya pemaksaan oleh pemerintah, serta temuan hasil penelitian Rosa
et al (2003) pada pembelajaran kompensasi pada jasa ekosistem di pedesaan di San Salvador.
3. Dapat tidaknya diterima (acceptibility)
Beberapa penelitian sosial terkait faktor yang berperan dalam penerimaan
teknologi oleh petani (acceptability), mengindikasikan 4 hal yang menentukan
tingkat penerimaan teknologi oleh petani, yaitu: a) Perbedaan pandangan antara
penyedia dengan pelaku teknologi; b) Hambatan bahasa komunikasi antara
penyedia dengan pelaku teknologi; c) Kecenderungan penyeragaman teknologi
untuk berbagai plot pada berbagai bentang lahan; dan d) Dukungan kebijakan
(Suyanto S and Chandler FJC, 2003).
Kenyataannya diseminasi informasi tentang teknik-teknik agroforestri
agroforestri, peneliti dan pakar terkadang tidak peka terhadap peran dan
pengetahuan petani yang telah lama dipraktekan (tacit) dan berbagai faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga petani akan
lahan mereka sendiri (Santosa, PB , 2006).
Tidak jarang petani berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang
sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang
masih baru dan dibawa oleh orang luar. Petani akan lebih mudah mengadopsi
agroforestri jika mereka; a) terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem
pertanian, dan b) mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi
pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain.
4. Kesinambungan (sustainability).
Penanaman terus menerus dengan satu komoditi akan membuat produksi
lahan tidak lagi menguntungkan (hukum penambahan yang menurun), karena
kenaikan biaya input persatuan waktu akan membuat usaha tidak lagi layak
untuk dilanjutkan (tidak berkesinambungan). Tujuan petani memilih agroforestri,
pada kondisi lahan yang kurang subur dan ketiadaan modal adalah alasan
kesinambungan pendapatan. Petani beranggapan kesinambungan akan lebih
terjamin, bila:
a) Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim
dan satu jenis tanaman tahunan/pohon
b) Menghasilkan lebih dari satu macam produk
c) Produk-produk yang dihasilkan dapat bermanfaat langsung (tanaman
pangan, kayu, ternak) dan tidak langsung (air dan udara nyaman)
d) Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan
pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama
2.4 Internalisasi Eksternalitas 2.4.1. Pengertian Eksternalitas
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu
kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau
melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak
menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang
tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah.
Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui
mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas (Daraba, 2001).
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping
dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang
menguntungkan maupun yang merugikan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld
(2005), ekternalitas merupakan suatu kegiatan baik oleh produsen atau
konsumen yang dapat mempengaruhi produsen dan konsumen lain, namun tidak
diperhitungkan dalam biaya pasar.
Eksternalitas timbul ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen
memiliki pengaruh yang tidak diharapkan (tidak langsung) terhadap produsen
dan atau konsumen lain. Eksternalitas bisa positif atau negatif. Eksternalitas
positif terjadi saat kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
memberikan manfaat pada individu atau kelompok lainnya (Sankar, 2008)
Eksternalitas lingkungan sendiri didefinisikan sebagai manfaat dan biaya
yang ditunjukkan oleh perubahan lingkungan secara fisik hayati (Owen, 2004).
Sebagai contoh polusi air termasuk ke dalam eksternalitas lingkungan, dimana
polusi tersebut telah merubah baik secara fisik maupun hayati sungai yang ada