• Tidak ada hasil yang ditemukan

Internalisasi eksternalitas jasa karbon dan jasa air sebagai insentif pendukung kesinambungan usaha hutan rakyat sistem agroforestri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Internalisasi eksternalitas jasa karbon dan jasa air sebagai insentif pendukung kesinambungan usaha hutan rakyat sistem agroforestri"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

INTERNALISASI EKSTERNALITAS

JASA KARBON DAN JASA AIR

SEBAGAI INSENTIF PENDUKUNG KESINAMBUNGAN

USAHA HUTAN RAKYAT SISTEM AGROFORESTRI

DISERTASI

Oleh :

Syaiful Ramadhan

A 161040284

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

INTERNALISASI

EKSTERNALITAS

JASA KARBON DAN JASA AIR

SEBAGAI INSENTIF PENDUKUNG KESINAMBUNGAN

USAHA HUTAN RAKYAT SISTEM AGROFORESTRI

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program di perguruan tinggi lain. Sumber-sumber informasi yang dipergunakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

(3)

SYAIFUL RAM ADHAN. Internalization Externality of Water and Carbon Services as

an Incentive to Support Agroforest Sustainablity. (PARULIAN HUTAGAOL as

Chairman, DUDUNG DARUSMAN and HARRY SANTOSO as Members of Advisory

Committee).

Accumulation of degraded and in critical condition of watersheds and impact of climate change in Java were indicate serious damage of environmental condition.It showed such as decrease of vegetation covered area till less than 20%, wide disparity of the river debit, frequent flood, drought and land sliding more often every year. These all result in the increase of potency of carbon emission from the degraded land, the decrease of water resource capacity in Java which only 7% of the area of Indonesia, but has the highest population amongs islands in Indonesia and supplies the largest Indonesian economy about 60%. So that based on calculation on increasing of population and rise needs of water predicted in 2020 there is water shortage up to 150 billion cubicmeter in Java. Efforts to reduce the carbon emission, and to manage water resources through watershed environment rehabilitation such as soil and water conservation, using functional approach (organizational roles) or structural approach is crucial to be carried out especially for the very critical watershed. Meanwhile the development small scale agroforestry by poor farmers in Sumberejo village of upstream region of Temon subwatershed has proven strategic role in both reducing impact of critical land on water availability and on potency of carbon emission, and as one rising prior livelihood of farmer household. Its performing being in accordance with objective of latest development policy which do in such pro growth, pro job, pro poor and pro environment base on rural area. The main problem is, whether the poor farmers growing their welfare and still keep conserving their small scale agroforestry continuity. Based on concept of total economy values of agroforestry and economic valuation methods, this research make use of opportunity to transform economic values of water and carbon service (positive externality) as public service which produced by agroforestry into generating income’s source of farmer household. As consequence of market failure to put the externalities into price market, there is need government support in term of instrument finance policy to realize the idea by internalizing of externality. The research found that result of internalizing of externality in vary land hold of agro forestry economically be able to lift up of farmer household’s income above poverty

boundary and its become incentive of farmer to keep agro forestry continuity. To implicate the financial policy, base on vary landholding of agro forestry, there

were three design of allocation both subsidy and softloan recommended in this research. Finnally there are policy support needs to facilitate of agroforestry service economic valuation and policy support on developing of payment on environment service mechanism locally.

(4)

Kerusakan lahan dan hutan produktif menjadi lahan kritis terutama di hulu

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berakumulasi dengan tidak menentunya musim akibat perubahan iklim telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius akibat meluasnya lahan kritis yang tidak mampu diimbangi dengan upaya rehabilitasinya di

pulau Jawa. Kenyataan adanya kesenjangan laju lahan kritis dan laju rehabilitasi telah menurunkan daya dukung multi fungsi Daerah Aliran Sungai pada hidup dan

kehidupan.

Agroforestri di pedesaan bagian hulu DAS di Kabupaten Wonogiri telah

berperan penting dalam upaya peningkatan mata pencaharian dan lapangan kerja rumah tangga petani di pedesaan, terbukti berhasil melakukan pemulihan penutupan lahan dan konservasi tanah dan air dengan keluaran berupa eksternalitas positif

jasa.. Keberadaan ekternalitas positif berupa jasa air dan jasa serap karbon

(pengurangan emisi) berperan sebagai public service tersebut telah ,menempatkan

agroforestri di daerah hulu DAS menjadi penting untuk dipertahankan dan

dikembangkan keberadaannya.

Permasalahannya adalah bagaimana mungkin mempertahankan agroforestri yang ada di usahakan dalam luas lahan yang sempit oleh rumah tangga petani yang umumnya miskin. Sangat tidak rasional membebani rumah tangga petani miskin

untuk melakukan upaya konservasi tanpa dukungan. Momentum kebijakan

pembangunan pemerintah yang semakin kuat berpihak pada pertumbuhan (pro

growth) juga pada lapisan masyarakat miskin (pro poor), peningkatan lapangan kerja (pro job) dan ramah lingkungan (pro environment) berbasis pedesaan menjadi argumen yang kuat dan tepat untuk mendukung kebutuhan petani dalam mempertahankan upaya konservasi di lahan agroforestrinya.

Kesadaran akan tanggung jawab pemerintah dalam perluasan lapangan kerja serta pengurangan lahan kritis dan resiko dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat pedesaan, mendorong urgensi upaya percepatan pengembangan agroforestri. Selama ini pengembangan agroforestri di pedesaan hulu DAS/SubDAS

(5)

Implikasi konsep total nilai ekonomi, menunjukkan adanya peluang transfer nilai ekonomi jasa air dan jasa karbon (eksternalitas positif) agroforestri yang selama ini tidak atau belum mendapat respon yang cukup dari mekanisme pasar. Dalam rangka tujuan memenuhi kebutuhan internalisasi eksternalitas tersebutlah penelitian di desa Sumberejo yang terletak di hulu SubDAS Temon, DAS Solo ini diadakan.

Penelitian diawali dengan membagi populasi petani agroforestri desa

Sumberejo kedalam 3 strata berdasarkan luas, Strata 1 dengan luas < 1 ha, strata 2

luas antara 1 - ≤ 2 ha, dan strata 3 dengan luas ≥ 2 ha dengan dasar keterwakilan

penguasaan lahan petani,, sesuai kecenderungan distribusi lahan dua dekade

terakhir di Jawa. Penghitungan nilai jasa air dilakukan menggunakan pendekatan harga pasar dengan metoda biaya penuh, sedangkan untuk valuasi jasa karbon digunakan pendekatan biaya oportunitas dan biaya transaksi.

Untuk mengetahui tingkat kebutuhan dukungan dari rumah tangga petani dilakukan Analisa kelayakan finansial usaha agroforestri dengan dengan dan tanpa

internalisasi eksteranlitas.

Hasil penelitian menyimpulkann, bahwa internalisasi jasa air dan jasa karbon

secara bersama-sama berhasil meningkatkan kelayakan finasial usaha agroforestri. Selanjutnya untuk mengimplikasikan hasil internalisasi eksternalitas, disarankan agar pemerintah merancang kebijakan penetapan valuasi ekonomi eksternalitas

positif agroforestri sebagai basis program insentif yang lebih berorientasi pada

output (internalisasi eksternalitas positif) yang dihasilkan setiap agroforestri. Untuk penguatan implikasi internalisasi eksternalitas dibutuhkan penelitian lebih lanjut

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogo r, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan prndidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian

Bogor

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya

(7)
(8)

INTERNALISASI EKSTERNALITAS

JASA KARBON DAN JASA AIR

SEBAGAI INSENTIF PENDUKUNG

KESINAMBUNGAN

USAHA HUTAN RAKYAT SISTEM AGROFORESTRI

Oleh :

Syaiful Ramadhan

A 161040284

sebagai salah satu syarat untuk

Program Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Syukur Alhamdulillah penulis persembahkan kepada Allah Swt, karena

hanya dengan izin dan kekuatan dari-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Diakui banyak pengalaman yang manis dan pahit baik lahir maupun batin yang dialami, namun penulis berkeyakinan semua itu adalah

bentuk pendewasaan diri dan sesuai niat penulis untuk tetap belajar hingga akhir hayat.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya atas bimbingan dan dukungan baik moril mapun materil kepada :

1. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan Ketua Program Studi EPN

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan

ilmu dan menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.

2. Dr.Ir.Parulian Hutagaol, MS. Ketua Komisi Pembimbing, , yang dalam

kesibukannya tidak jemu dan lelah membimbing dan mengkritisi untuk kebaikan penulis .

3. Prof.Dr.Ir.Dudung Darusman,MA, yang dengan penuh kesabaran selalu

membimbing memotivasi kala penulis mulai merasa jenuh.

4. Dr.Ir.Harry Santoso, yang masih berkomitmen meluangkan waktu membimbing penulis, walaupun dalam kesibukan sebagai Direktorat Jendral di Kementerian Kehutanan.

5. Rekan-rekan Program Studi S3-EPN Angkatan 2, terutama Saudaraku Dr.Cipta serta Dr Adi Lumaksono yang terus mendukung secara moril dan materil agar penulis menyelesaikan studi.

6. Sekretariat Program Studi EPN, khususnya pada Rubi, Yani, Aam, Wiwin, Husen, Iwan dan Erwin yang telah banyak membantu meringankan penulis dalam penyelesaian administrasi akademik.

7. Istriku tercinta Indarwati dan Anak-anaku tersayang Sita Annisa

Ramadhianty, Sandhy Alief Fitriawan, dan Nanda Asyura Rizkyani, yang menjadi sumber inspirasi, dan motivasi dan atas pengorbanan kalian selama ini.

(10)

yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan tanpa akhir.

Akhirulkalam, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2012

(11)

ii

H

alaman

DAFT AR TABEL ... v

DAFT AR GAMBAR ... vii

DAFT AR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Lahan Kritis dalam Daerah Aliran Sungai dan Urgensi Konservasi Tanah dan Air di Pulau Jawa .. ... 10

2.2 Review Kebijakan dan Program Rehabilitasi Lahan Berbasis DAS ... 14

2.3 Peran Agroforestri dalam Penanggulangan Berbagai Isu Lingkungan dan Kemiskinan ... 22

2.4 Internalisasi Eksternalitas ...……… 29

2.4.1. Pengertian Eksternalitas ……….. 29

2.4.2. Sumber Eksternalitas ……… 33

2.4.3. Internalisasi Eksternalitas ………. 33

2.4.4. Referensi Konsep Bentuk dan Besaran Insentif ………… 40

2.5 Valuasi Ekonomi Agroforestri ... 40

2.5.1.Valuasi Jasa Air... 41

2.5.2. Valuasi Jasa Karbon ... 44

2.6 Degradasi Lahan dan Kemiskinan ... 53

(12)

iii

2.7.1. Kelayakan Usaha Agroforestri... 59

2.7.2. Kesinambungan Agroforestri ... 63

2.8 Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan ... 65

III. KERANGKA PIKIR PENELITIAN DAN HIPOTESIS ... 69

3.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 69

3.2 Hipotesis ... 75

IV. METODE PENELITIAN ... 76

4.1 Kriteria Lokasi Penelitian ... 76

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 77

4.2.1 Jenis Data ... 77

4.2.2 Sumber Data ... 78

4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 82

4.4 Metode Valuasi Jasa Air Agroforestri ... 75

4.5 Metode Valuasi Jasa Karbon Agroforestri ... 88

4.6 Analisis Biaya Manfaat Sebagai Alat Telaah Ekonomi Kelayakan dan Kesinambungan Usaha Agroforestri ... 89

4.6.1. Metode Analisis Kelayakan Usaha Agroforestri ……… 89

4.6.2. Metode Analisa Kesinambungan Agrogorestri ……….. 93

4.7. Analisis Alternatif Instrumen Kebijakan Keuangan ... 93

V. DESKRIPSI DAN KONDISI LOKASI PENELITIAN ... 95

5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 95

5.2 Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat Desa Sumberejo ... 96

5.3 Sistem Pengelolaan Agroforestri ... 100

5.4 Aspek Kelembagaan ... 104

(13)

iv

5.7 Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri tanpa Internalisasi ... 102

Halaman VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 114

6.1 Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi ... 114

6.2 Nilai Ekonomi Jasa Air dan Jasa Karbon Agroforestri Serta Harga Bayangan ... 115

6.2.1 Valuasi Ekonomi Jasa Air Agroforestri ... 115

6.2.2 Valuasi Jasa Karbon Agroforestri ... 118

6.3 Analisis Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri Tanpa dan dengan Internalisasi Nilai Jasa Karbon dan Jasa Air ... 112

6.4 Analisis Kesinambungan Agroforestri ……….122

6.5 Instrumen Kebijakan Keuangan (Insentif) untuk Jasa Karbon dan Jasa Air Agroforestri ... 127

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 140

7.1 Kesimpulan ... 140

7.2 Rekomendasi ... 141

DAFT AR PUSTAKA . ... 143

(14)

v

Nomor Halaman

1. Peningkatan Luas Lahan Kritis di Pulau Jawa ... 10

2. Kondisi Daya Dukung Lingkungan Ekologi di Pulau Jawa Tahun 2007… ... 12

3. Perbedaan Agroforestri Tradisional dan Modern ... 23

4. Dasar Penentuan Biaya ……... 43

5. Contoh Praktek Agroforestri yang Secara Potensial Membantu Menstabilkan Emisi GRK dan Menyerap atau Menyimpan C pada Biosfer Daratan ... 46

6. Potens i Simpanan Karbon (Mgc /Ha) dan Biaya Proyek (US$/Mgc) untuk Sistem Agroforestri Menurut Wilayah Ekologi di Beberapa Negara Tertentu (Dixon 1995) ... 47

7. Kontribusi Pendapatan dari Agroforestri Terhadap Ekonomi Rumah Tangga Petani ... 66

8. Tingkat Kelayakan Agroforestri ... 67

9. Matriks Variabel Penelitian ... 81

10. Tujuan Pengumpulan Data ... 82

11. Penilaian Jasa Air dengan Metode Biaya Penuh ... 84

12. Skenario Budi Daya yang Menjadi Basis Cash Flow untuk Analisa Kelayakan Usaha Agroforestri 20 Tahun ... 92

13. Rata-rata Kerapatan dan Volume Pohon Kekayuan per Strata (Total Luas Populasi 293,46 ha, Luas Sampel 106,25 ha atau 36,25%).... 109

14. Rata-rata Nilai Tegakan Masing-masing Strata Usaha Agroforestri Desa Sumberejo (juta Rp.) ... 109

15. Rata-rata Kepemilikan Ternak Responden pada Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tahun 2010... 110

16. Aliran Kas Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa Internalisasi Tahun 2010 ... 110

(15)

vi

18. Dampak Skenario Simulasi Guncangan Kenaikan Harga Saprodi,

Penurunan Harga Kayu dan Pendapatan Off Farm 20%

(Juta Rupiah)... 112

19. Hasil Penafsiran Luas, Volume dan Karbon Agroforestri Desa Sumberejo

...

119

20. Penghitungan Nilai Karbon Agroforestri Desa Sumberejo... 119

21. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan Internalisasi Jasa (masa 20 tahun, bunga 12%) ... 119

22. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 1 Selama 20 Tahun ... 122

23. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 2 Selama 20 Tahun ... 124

24. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 3 Selama 20 Tahun ... 126

25. Desain Alokasi Distribusi Waktu Insentif Agroforestri Desa Sumberejo ... 132

26. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 1 ... 133

27. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 2 ... 135

(16)

Nomor Halaman

1. Dampak Keberadaan dan Meluasnya Lahan Kritis ... 2

2. Kesenjangan Laju Lahan Kritis dengan Laju Rehabilitasi Kab.Wonogiri 3 3. Kurva Kecenderungan Luas Lahan Kritis Provinsi Jawa Tengah... 10

4. Komparasi KelebihanJumlah PendudukJawa Tengah dengan Daya Dukung... 12

5. Internalisasi Biaya Eksternalitas Positif dari Sisi Produksi ... 31

6. Internalitas Eksternalitas Positif dari Sisi Konsumsi ... 32

7. Dasar Logis Pembayaran Jasa Lingkungan ... 40

8. Tahapan Kegiat an Penilaian Ekonomi Agroforestri ... 42

9. Teknik Pemilihan Metoda Penilaian Ekonomi Agroforestri) ... 43

10. Pertumbuhan Penduduk dan Sumberdaya Alam ... 58

11. Grafik Potensi dan Kebutuhan Air DAS Temon... 72

12. Kerangka Pemikiran Penelitian... 74

13. Valuasi Jasa Air ... 87

14. Prinsip Umum Biaya Air (Rogers et al, 2000)... 87

15. Valuasi Jasa Karbon... 88

16. Peta Posisi Desa Sumberejo Kecamat an Batuwarno dalam Sub Das Temon, DAS Solo ... 95

17. Rant ai Pemasaran Hasil Pertanian dan Hutan dari Agroforestri Desa Sumberejo Solo ... 102

18. Pola Penggunaan Lahan Desa Sumberejo Tahun 2004 -2009 ... 106

19. Perubahan Pola Mata Penc aharian Penduduk Desa Sumberejo Tahun 2004 – 2009 ... 107

20. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1 Selama 20 Tahun... 125

(17)

22. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1

Selama 20 Tahun... 126

23. Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 1 (Luas < 1 ha) ... 134

24. Model Alokasi Waktu Dan Besaran Insenti Strata 2 ( Luas 1 - < 2 ha) ... 136

(18)

viii

Nomor Halaman

1. Strata 1 Tanpa Internalisasi ... 152

2. Strata 1 dengan Internalisasi Air ... 154

3. Strata 1 dengan Internalisasi Karbon ... 156

4. Strata 1 dengan Internalisasi Air dan Karbon ... 158

5. Strata 2 Tanpa Internalisasi ... 160

6. Strata 2 dengan Internalisasi Air ... 162

7. Strata 2 dengan Internalisasi Karbon ... 164

8. Strata 2 dengan Internalisasi Air dan Karbon ... 166

9. Strata 3 Tanpa Internalisasi ... 168

10. Strata 3 dengan Internalisasi Air ... 170

11. Strata 3 dengan Internalisasi Karbon ... 172

12. Strata 3 dengan Internalisasi Air dan Karbon ... 174

13. Revenue dan Cost (on dan off farm) Setiap Strata ... 176

(19)

1.1 Latar Belakang

Kerusakan lahan dan hutan produktif menjadi lahan kritis berdampak pada

terganggunya fungsi vital ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat

dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Fungsi dimaksud antara lain, sebagai

pemelihara keseimbangan tata air dan keseimbangan iklim mikro, yang apabila

terganggu akan berakibat menurunnya kapasitas daya dukung DAS pada

pembangunan. Akumulasi kondisi tersebut dengan perubahan pola presipitasi

(hujan) dan evaporasi (penguapan) akibat dampak perubahan iklim menimbulkan

bencana banjir di beberapa lokasi dan kekeringan di lokasi lain (Anderson, 1991).

Kenyataan di atas menjadi persoalan serius bagi status daya dukung

ekonomi, sosial dan lingkungan di pulau jawa yang saat ini memiliki populasi 125

juta (65 persen dari penduduk Indonesia). Berdasarkan perhitungan kebutuhan

air yang dilakukan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan

Umum (2009), kapasitas sumber daya air di pulau Jawa hanya 4,5% dari

kapasitas nasional. Menurut sumber yang sama, telah terjadi krisis air di Pulau

Jawa, akibat tidak tercukupinya sediaan air untuk berbagai kebutuhan vital

seperti, air minum, air irigasi untuk pertanian dan air untuk berbagai industri.

Luasnya lahan kritis selain berimplikasi terhadap krisis air, juga berakibat

pada meningkatnya emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi lingkungan.

Hal tersebut telah menjadikan pengaruh lahan kritis tidak hanya berdimensi lokal

dan nasional, tetapi juga global, sehingga menjadikannya hal yang penting untuk

dicari jalan keluarnya (Barret, dan Segerson, 1997). Secara lebih lengkap

(20)

Sumber : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2003 Gambar 1. Dampak keberadaan dan meluasnya lahan kritis

Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan

penyumbang deforestasi terbesar di Pulau Jawa. Kondisi tersebut

mengakibatkan 123 daerah aliran sungai (DAS) dan Sub DAS di Pulau Jawa

dalam kondisi kritis, sehingga 61 kabupaten di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa

Tengah terancam oleh resiko bencana ekologis yang tinggi. Bila tidak ada

intervensi, diperkirakan akumulasi kerugian ekonomi akibat kritisnya 10,7 juta

hektar DAS/Sub DAS dari akibat bencana ekologis seperti banjir, longsor dan

kekeringan serta hilangnya hasil-hasil pembangunan seperti infrastruktur publik,

transportasi, perdagangan dan industri akan mencapai trilyunan rupiah

(Kementerian Kehutanan, 2010).

Rehabilitasi lahan kritis merupakan upaya pemulihan daya dukung dan

konservasi lahan dalam daerah Aliran Sungai (DAS), yang sejalan dengan solusi

penyerapan/pengurangan (mitigasi) emisi pada krisis perubahan iklim, dan upaya

perbaikan tata air yang menjadi solusi krisis air dan penyediaan lahan yang

subur bagi pertanian (Nair, 1983). Upaya keras Pemerintah untuk melakukan

Kebakaran, asap, dampak terhadap kesehatan Kekeringan dan kekurangan air

Kualitas tanah menurun, kemiskinan di desa Pendangkalan sungai, banjir dam pak di hilir

Hilangny a tutupan

lahan/La han kritis

Kerusakan DAS

Jumlah dan kualitas air terganggu Kesehatan dan hasil pertanian menurun

Kekeringan lahan

Erosi, sedimentasi

Kelangkaan Sumberdaya

(21)

rehabilitasi lahan kritis akibat kerusakan lahan dan hutan melalui sektor

kehutanan, masih belum mampu mengimbangi laju penambahan lahan kritis.

Menurut Resume Data Direktorat Bina Rehabilitasi Lahan tahun 2007,

peningkatan luas lahan kritis di luar kawasan hutan, di Jawa Tengah tahun

2000 – 2006 adalah 586.246 ha atau terjadi laju kenaikan rata-rata 117.249,3 ha

per tahun. Sedangkan rehabilitasi lahan kritis pada periode yang sama 176.010

ha, atau laju rata-rata 35.202 ha per tahun, atau dengan kata lain terjadi

kesenjangan percepatan laju lahan kritis lebih kurang 3,3 kali daripada laju

rehabilitasi per tahun (Gambar 2).

Menurut Aldeman (1995), suatu strategi pembangunan yang baik,

seharusnya telah mempertimbangkan benefit dan potensi biaya dampak sosial

ekonomi yang akan terjadi. Oleh karena itu, penanganan dampak merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dalam pelembagaan kebijakan pembangunan.

Hasil penelitian Astuti (1997) yang menyimpulkan tingginya tingkat urbanisasi

antara lain akibat ketiadaan lapangan kerja yang layak di tingkat pedesaan.

Gambar 2. Kesenjangan Laju Lahan Kritis Dengan Laju Rehabilitasi Kab.Wonogiri (sumber Resume Data Ditjen RLPS, 2007, diolah)

Laju rata-rata 117.249,3 ha per tahun

(22)

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Berkembangnya agroforestri dalam luasan lahan yang sempit di pedesaan

daerah hulu DAS Bengawan Solo telah menjadi sumber nafkah utama rumah

tangga petani yang dalam prakteknya menghasilkan stabilitas iklim mikro serta

konservasi tanah dan air. Keberadaan fungsi konservasi dari agroforestri

tersebut sangat mendukung penanggulangan krisis air, krisis pangan (keamanan

subsisten), krisis enerji (kayu bakar dan mikro hidro listrik), dan mengurangi

erosi dan sedimentasi dari sub Das Temon ke waduk Gajah Mungkur, sehingga

juga meminimalisir bencana ekologis berupa banjir dan kekeringan. Secara

keseluruhan fungsi manfaat konservasi (eksternalitas positif) yang dihasilkan

agroforestri merupakan pelayan publik (public service) yang seharusnya

merupakan tanggung jawab Pemerintah untuk penyediaannya.

Kenyataan fungsi strategisnya dalam berkontribusi pada keseimbangan

multi manfaat DAS menjadikan agroforestri di bagian hulu DAS layak menjadi

model rehabilitasi lahan kritis yang vital untuk dipertahankan dan dikembangkan

kesinambungannya (Nandagourda, et al 2007 dan Noorwijk, et al, 2004). Hal

tersebut menjadi makin strategis dikaitkan dengan pendapat Onal, et al (1998),

tentang tujuan efisiensi distribusi pendapatan ekonomi dan temuan Richards

(1997) tentang potensi nilai ekonomi dalam rangka perlindungan DAS di Bolivia.

Permasalahannya pengembangan agroforestri yang mempunyai peran

penting dalam menyediakan public service tersebut, dihadapkan pada kenyataan

kondisi kemiskinan rumah tangga petani dan kenyataan luas kepemilikan lahan

yang sempit dan kurang subur. (Hairiyah et al, 2003). Secara rasional tidak

mungkin mengandalkan petani yang berusaha pada luasan agroforestri yang

sempit dan dalam kondisi miskin untuk mengembangkan upaya konservasi

(23)

Kenyataan perkembangan penguasaan lahan rumah tangga petani

menurut sensus pertanian tahun 1983, 1993, dan 2003 (BPS, 2003)

menunjukkan bahwa di Pulau Jawa : (1) secara agregat, pada sepuluh tahun

terakhir, 1993-2003, terdapat polarisasi penguasaan lahan yang makin serius; (2)

Fakta empirisnya adalah rumah tangga dengan penguasaan lahan < 0,50 dan >

2,0 hektar meningkat relatif tajam, masing-masing 31,95 % dan 74,95 %; (3)

Sementara itu, kategori luas 0,50-0,99 hektar dan 1,00-1,99 hektar, hanya

meningkat sebesar 5,28 % dan 10,48 %.

Berdasarkan kenyataan kecenderungan variasi penguasaan lahan rumah

tangga petani pada strata luas < 1 ha, 1- < 2 ha dan ≥ 2 ha, maka diduga strata

luas tersebut akan mempengaruhi kelayakan usaha rumah tangga petani

termasuk agroforestri yang rataan pertumbuhannya 13,05 % per tahun (BPS,

2003). Lebih lanjut petani memilih sistem agroforestri salah satunya dikarenakan

menurunnya kesuburan dan produktifitas lahan pertanian setelah digunakan

secara terus menerus digunakan untuk budidaya tanaman semusim. Hal

tersebut dicerminkan makin tingginya kebutuhan asupan pupuk akibat

menipisnya solum yang bermuara, akumulasi pupuk yang mencemari lahan

membuat semakin rendahnya produktifitas lahan dan akhirnya keuntungan

usaha tidak dapat lagi diandalkan untuk menutup kebutuhan ekonomi rumah

tangga yang semakin meningkat atau dapat dikatakan degradasi lahan menjadi

aspek penting dalam pemiskinan petani di pedesaan. .

Selanjutnya diperlukan intervensi yang mampu meningkatkan kelayakan

usaha agroforestri dan sekaligus mengentaskan petani dari kemiskinan,

sehingga petani mau dan mampu.mengimplementasikan upaya konservasi.

Merujuk pada penyediaan public service oleh agroforestri merupakan tanggung

(24)

penguasaan lahan yang sempit tidak mungkin melakukan pemupukan modal

untuk investasi pada teknologi yang baru, maka sudah seharusnya pemerintah

melakukan dukungan pembiayaan.

Dalam konteks tersebut, dukungan yang akan berimplikasi pada

kesinambungan agroforestri dari pemerintah adalah internalisasi eksternalitas

jasa air dan jasa karbon agroforestri melalui instrument kebijakan keuangan.

Kebijakan tersebut akan mengalokasikan insentif berupa pagu subsidi atau kredit

yang berbasis pada nilai ekonomi dari hasil valuasi eksternalitas positif

agroforestri tersebut ( Boer, et al, 2004).

Dalam rangka mendukung terselenggaranya internalisasi eksternalitas jasa

karbon dan jasa agroforestri tersebut penelitian ini menjadi urgen untuk

dilaksanakan. Penelitian akan berkontribusi pada penghitungan nilai jasa air dan

jasa karbon agroforestri desa Sumberejo, serta desain alokasi insentif sesuai

aliran pendapatan dan biaya yang menjamin kesinambungan menurut strata

luas usaha agroforestri yang ada di masyarakat setempat.

Merujuk pada pengembangan agroforestri di pedesaan adalah selaras

dengan tujuan program rehabilitasi lahan kritis dan pemberdayaan masyarakat

yang didasari kebijakan pembangunan (pro growth, pro poor, pro job, dan pro

environment) berbasis pedesaan (Bappenas, 2010). Urgensi dukungan insentif pemerintah guna mendorong kesinambungan pengembangan usaha

(konservasi) agroforestri yang dikelola dalam luasan yang sempit oleh petani

yang miskin di pedesaan menjadi sangat relevan.

Dalam rangka mendukung urgensi, tersebut penelitian ini akan

berkontribusi pada jawaban atas permasalahan :

1. Seberapa jauh internalisasi nilai ekternalitas positif, jasa lingkungan produk

(25)

pada berbagai strata luas lahan, sehingga memiliki kecukupan modal untuk

melakukan konservasi dan sekaligus mengentaskan rumah tangga petani

dari kemiskinan ?

2. Bagaimanakah bentuk kebijakan skim kredit yang membuat petani pada

berbagai strata luas lahan mampu mengimplikasikan hasil internalisasi

eksternalitas sebagai insentif pendorong kesinambungan (fungsi konservasi)

agroforestri ?

Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, maka secara spesifik

penelitian akan difokuskan pada 3 strata luas lahan (< 1 ha; 1-< 2 ha; dan ≥ 2 ha)

usaha agroforestri, sesuai kecenderungan distribusi strata penguasaan lahan

pertanian di Pulau Jawa (BPS, 2004). Lokasi penelitian difokuskan pada

agroforestri Desa Sumberejo yang berfungsi vital pada pengendalian erosi

karena terletak di bagian hulu SubDAS Temon dan secara formal inisiasi

petaninya dalam konservasi tanah dan air telah mendapat pengakuan, sehingga

mendapat sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML).

Sedangkan sistematika pentahapan jawaban adalah dengan rincian pertanyaan

masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat kelayakan usaha agroforestri pada 3 strata luas lahan

tanpa internalisasi ?

2. Apakah internalisasi nilai ekonomi jasa karbon dan jasa air mampu

meningkatkan kelayakan usaha 3 strata luas lahan groforestri ?

3. Apakah insentif peningkatan layakan usaha agroforestri dengan internalisasi

nilai jasa karbon dan jasa air menjadikan 3 strata luas lahan agroforestri

mempunyai kecukupan modal ?

4. Bagaimana merumuskan bentuk skim kredit bersubsidi untuk mendukung

(26)

kesinambungan pada 3 strata luas lahan usaha agroforestri ?.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bentuk

instrument kebijakan keuangan yang tepat yang mendukung peningkatan

kelayakan usaha agroforestri, sehingga dapat menjadi insentif kesinambungan

(upaya konservasi) agroforestri Desa Sumberejo serta agroforestri sejenis di

pedesaan bagian hulu DAS. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisa tingkat kelayakan usaha agroforestri pada 3 strata luas lahan

tanpa internalisasi.

2) Menganalisa kelayakan finansial usaha agroforestri pada 3 strata luas lahan

dengan internalisasi nilai jasa karbon dan jasa air;

3) Menganalisa kecukupan modal 3 strata luas lahan agroforestri setelah

internalisasi

4) Menganalisa alternatif instrumen kebijakan keuangan yang mendukung

internalisasi eksternalitas jasa air dan jasa karbon pada 3 strata luas lahan

agroforestri .

1.4 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah :

1) Ide dan implikasi internalisasi ekternalitas positif berupa jasa air dan jasa

karbon untuk meningkatkan kelayakan usaha dan mengentaskan rumah

tangga petani dari kemiskinan

2) Ide dan implikasi penerapan skim subsidi berorientasi ouput yang

disesuaikan dengan kebutuhan nyata agroforestri untuk dapat

(27)

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada 2 (dua) jasa lingkungan, yaitu jasa

karbon dan air serta tidak termasuk jasa keanekaragaman hayati dan jasa

wisata. Lingkup analisa dan pembahasan penelitian dibatasi pada: valuasi

ekonomi jasa karbon dan jasa air, analisa kelayakan usaha tanpa dan dengan

internalisasi ekternalitas jasa air dan jasa karbon, dan pemilihan desain

instrumenkebijakan keuangan dengan kasus desa yang menjadi lokasi

penelitian.

Merujuk pada referensi sangat beragamnya tipologi agroforestri, sehingga

tidak memungkinkan dilakukannya generalisasi. Untuk itu diperlukan dukungan

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Kritis dalam Daerah Aliran Sungai dan Urgensi Konservasi Tanah dan Air di Pulau Jawa

Kerusakan hutan dan lahan di pulau Jawa merupakan masalah lingkungan

yang sangat serius dan mencakup luasan besar. Menurut Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2008), luas lahan kritis aktual tercatat

1,106,741 ha (dalam kawasan hutan: 360,270 ha, di luar kawasan hutan:

746,471 ha) pada tahun 2000, dan menjadi 3,493,549.99 ha di tahun 2007

(dalam kawasan hutan: 1,176,692.95 ha, di luar kawasan hutan: 2,316,857,04

ha), atau naik lebih tiga kali lipat dalam kurun waktu tujuh tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Peningkatan Luas Lahan Kritis di Pulau Jawa

No Prov insi Luas lahan Kritis hasil Inv entarisasi (ha)

Tahun 20 00 Tahun 20 07 Dalam

Kawasan Luar kawasan Jumlah

Dalam Kawasan

Luar

Kawasan Jumlah 1. Banten +) +) +) 67.296,57 142.224,77 209.521,34 2. Jawa Tar at 5.966,00 362.828,00 362828 160.345,69 248.282,16 408.627,85 3. DIY ogy akarta 7 49,00 33.918,00 33918 9.216,13 129.506,75 138.722,88 4. Jawa Ten gah 11.102,00 349.725,00 360827 293.811,96 653.261,38 947.073,34 5. Jawa Timur 349.168,00 9 53.211,00 349168 646.022,60 1.143.581,98 1.789.604,58 Total 360.270,00 746.471,00 1.106.741,00 1.176.692,95 2.316.857,04 3.493.549,99

+) Data masih tergabung dengan provinsi induk (Jawa Barat)

Sumber : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2008

Contoh kecenderungan peningkatan luas untuk provinsi jawa tengah

diturunkan dalam dalam bentuk Gambar 3. Berikut ::

(29)

Data di atas menunjukkan, bahwa luas lahan kritis di luar kawasan hutan

lebih kurang dua kali lipat dari luas lahan kritis di dalam kawasan hutan. Lebih

lanjut terdapat 16 Daerah Aliran Sungai (DAS) di pulau Jawa yang kondisinya

sangat kritis yang terindikasi dari status penggunaan lahan bervegetasi tidak

mencapai 30% sebagaimana yang dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 41

tahun 1999 tentang kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2009

tentang penataan ruang.

Pada sejumlah DAS, lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian

dan tanaman padi telah mencapai 50%, bahkan di DAS Bengawan Solo telah

mencapai 90%. Data terakhir dari Badan Planologi (2007) menginfomasikan,

bahwa luas tutupan hutan di pulau Jawa hanya mencapai 4%, dengan tutupan

vegetasinya 18,7%. Indikasi lain dari karakteristik debit sungai yang

menunjukkan fluktuasi yang sangat tinggi, bervariasi antara 10-100 kali.

Informasi tersebut memberikan gambaran telah terjadi kerusakan dan kekritisan

sebagian besar DAS di pulau Jawa.

Pada sisi lain pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari wilayah Indonesia

menurut Badan Pusat Statistik Nasional/BPS (2007) memiliki populasi lebih dari

133 juta jiwa atau kelebihan 81,1 jiwa dibandingkan daya dukung ekologinya

(Tabel 2), dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional 60%,

membutuhkan dukungan sumber air yang terus meningkat. Sementara karena

menurunnya daya dukung DAS, frekuensi bencana banjir, tanah longsor dan

kekeringan yang membawa korban jiwa dan material makin sering terjadi.

Kondisi tersebut diperparah oleh adanya perubahan iklim akibat tingginya emisi

karbon di atmosfir yang membuat iklim dan cuaca sulit diprediksi.

(30)

oleh konsekuensi dari tekanan jumlah penduduk dan kebijakan pemanfaatan

sumberdaya alam tidak mengacu pada prinsip pembangunan yang

berkelanjutan, sehingga terjadi pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya

dukungnya. Penduduk pulau Jawa hasil sensus 2010 telah mencapai 140,2 juta,

dimana jumlah tersebut telah melampaui daya dukung ekologi dan menjadi

bencana, karena penurunan produktifitas lahan terjadi pada saat populasi

penduduk yang membutuhkan air, pangan, udara bersih, dan enerji meningkat.

Tabel 2. Kondisi Daya Dukung Lingkungan Ekologi di Pulau Jawa Tahun 2007

No Prov insi

Jumlah penduduk

(orang)

Luas Wilay ah (ha) Keter sediaan Lahan (ha/jiwa )

Kebutuhan laha n sangat sederhana (0,256 ha/ji wa)

Kebutuhan laha n Sedang (0,78 ha/ji wa) Kekurang an lahan (ha/jiwa) Kelebiha n jumlah penduduk (jiwa) Keku rang an lahan (ha/ji wa) Kelebiha n jumlah penduduk (jiwa)

1. Banten 9,423,367 916,070 0,10 -0,16 5,844,969 -0.68 8,258,918 2. DKI Jakarta 9,057,993 740,280 0,08 -0,17 6,166,274 -0.70 8,108,916 3. Jawa Barat 41,763,210 3,481,696 0,08 -0.17 28,162,835 -0,70 37,299,497 4. DI

Y ogy akarta 3,434,534 318,580 0.09 -0.16 2,190,081 -0.69 3,026,098 5. Jawa

Tenga h 32,380,279 3,254,820 0.10 -0.16 19,666,138 -0,68 28,207,433 6 Jawa Timur 37,794,003 4,792,200 0.13 -0.13 19,074,472 -0.65 31,650,157 Jumlah 133,853,386 13,503,646 0.10 -0.16 81,104,769 -0.68 116,541,019

Sumber: Kementerian Koordinasi Perekonomian, 2007.

Dari data kelebihan daya dukung karena kelebihan penduduk Pulau jawa

[image:30.596.110.507.536.707.2]

di atas diturunkan dalam bentuk gambar berikut :

(31)

Diskusi panel strategi menghadapi krisis air di pulau Jawa antar

departemen pekerjaan umum, kehutanan, pertanian dan wakil provinsi pulau

Jawa serta para pakar merumuskan, bahwa pulau Jawa diprediksi akan

mengalami krisis air pada tahun 2020, oleh karena itu Pemerintah saat ini perlu

menyatakan bahwa Pulau Jawa berstatus “Darurat Krisis Air” (DKA).

Status DKA pulau Jawa didasarkan atas pernyataan para pakar dan

berbagai kalangan yang menggunakan indikator antara lain ketersediaan air

pada tahun 2000 adalah 1.750 m3/kapita/tahun, dan diprediksi menurun menjadi

1.200 m3/kapita/tahun pada tahun 2020 (Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional/RPJMN tahun 2010-2014). Sedangkan standar kebutuhan

air adalah 2.000 m3/kapita/tahun (Komisi sumberdaya air PBB, 2000). Jika

pertumbuhan penduduk di pulau Jawa tahun 2020 diperkirakan 181.5 juta jiwa

dan standar kebutuhan air 1.100 m3/orang/tahun, maka jumlah kebutuhan air

adalah 199,6 milyar m3/tahun. Sementara itu ketersediaan air di Pulau Jawa

hanya 50,09 milyar m3/tahun.

Kartodihardjo (2006) mengidentifikasi beberapa penyebab kerusakan,

antara lain: (1) Penitikberatan kegiatan pada produksi komoditas (tangible

product); (2) kelemahan institusi dalam mengatur produksi (flow), sehingga

terjadi kekurangan tegakan tinggal (stock) yang menghasilkan intangible

product; (3) kelemahan institusi dalam penataan penguasaan hak dan pemanfaatan sumberdaya.

Lebih lanjut tidak adanya penekanan penerapan prinsip pembangunan

berkelanjutan sebagai indikator keberhasilan pembangunan daerah,

mengakibatkan terjadinya eksploitasi sumberdaya untuk peningkatan

pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak terkendali. Orientasi ekonomi pada

(32)

sumberdaya alam yang memberikan jasa untuk mendukung kehidupan. Hal

tersebut mendorong terbentuknya kemiskinan daerah hulu DAS yang mengolah

lahan pertanian dalam luasan lahan yang kecil-kecil(fragmentasi), sehingga tidak

memungkinkan petani mempunyai kemampuan untuk mengembangkan fungsi

manfaat konservasi yang diproduksi dari lahan olahannya (Murtilaksono, dan

Suhadi. 2004).

Untuk itu upaya memulihkan dan meningkatkan produktifitas yang

sekaligus berpihak pada pertumbuhan, penyediaan lapangan kerja, dan

pengentasan kemiskinan melalui kebijakan dan program rehabilitasi dan

konservasi tanah dan air berbasis pedesaan menjadi penanganan yang sangat

urgen untuk dilaksanakan.

2.2 Review Kebijakan dan Program Rehabilitasi Lahan Berbasis DAS

Istilah pembangunan pada hakekatnya representasi dari proses terjadinya

perubahan sosial suatu masyarakat berbasis keragaman kebutuhan kelompok

sosial atau institusi yang terlibat menuju kondisi kehidupan yang lebih baik

(Todaro, 1998). Prinsip pembangunan berkelanjutan menurut PBB (1997)

adalah”memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan. Sedangkan, penerapan pembangunan wilayah

umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang menjadi keputusan politik

tentang alokasi spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara

keseluruhan (top down). Menurut Cullis dan Jones (1992) aplikasi yang tepat

untuk pembangunan wilayah berkelanjutan adalah dengan pendekatan

perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumberdaya

publik mulai dari dan berbasis keragaman daerah (bottom up), sehingga tujuan

pembangunan wilayah yang berkelanjutan ditekankan pada bagaimana

(33)

pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di wilayah tersebut.

Praktek konsep kebijakan pembangunan wilayah periode sebelum dan

sesudah otonomi daerah/desentralisasi masih terjadi kecenderungan alokasi

spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan (top down),

sehingga pembangunan wilayah tetap bercirikan orientasi pada sumberdaya

sebagai komoditas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan

kerja. Menurut Palmer (1977) kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan

pembangunan koersif (coersive policy) atau yang bersifat pemaksaan kepada

daerah untuk memenuhi target-target sector..

Implikasi kebijakan tersebut tidak berpihak pada prinsip pembangunan

yang berkelanjutan, karena lebih memicu pada eksploitasi sumberdaya oleh

daerah otonom. Sementara nilai ekonomi konservasi dari eksternalitas jasa

lingkungan yang mendukung prinsip keberlanjutan sumberdaya kurang/tidak

mendapat perhatian yang cukup.

Kebijakan rehabilitasi lahan kritis yang dikenal dengan reboisasi untuk

pelaksanaan dalam kawasan hutan dan penghijauan untuk pelaksanaan di luar

kawasan hutan sudah dimulai sejak tahun 1976. Sedangkan kebijakan orientasi

rehabilitasi lahan kritis berbasis DAS prioritas dimulai tahun 1984 yang diawali

dengan penetapan 22 DAS prioritas yang didasarkan pada kekritisannya.dan

menjadi 108 DAS pada tahun 1999 dengan 8 DAS di Jawa masuk dalam DAS

prioritas 1.

Diluncurkan Sebagai suatu 'gerakan nasional' lintas-tahun (multi years)

yang melibatkan seluruh stakeholder kehutanan dan lahan, Gerakan Nasional

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (GN-RHL) telah dipayungi oleh Surat

(34)

Perekonomian2), Menko Bidang Politik dan Keamanan3)

Hampir separuh dari upaya rehabilitasi dipusatkan pada kawasan hutan

negara, dengan 60% investasi berada di hutan-hutan produksi, 30% di hutan

lindung, dan 10% di kawasan konservasi. Duapertiga dari lahan kritis terletak di

luar kawasan hutan, tetapi hanya setengah dari nilai investasi rehabilitasi

dipusatkan di situ. Pola ini mengungkapkan adanya pilihan investasi yang lebih

diminati dalam nilai-nilai produksi dan jasa lingkungan di lahan-lahan milik

tentang Pembentukan

Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi

Nasional. Untuk jangka waktu lima tahun, program GN-RHL berupaya

merehabilitasi 3,1 juta hektar hutan dan lahan kritis di 68 DAS yang

diprioritaskan, yang tersebar di 27 provinsi dan 242 kabupaten dan kota. Sejak

2003 Pemerintah telah menanamkan investasinya sebesar lebih kurang USD 400

juta setiap tahun untuk program ini (berdasarkan biaya penanaman kembali

sebesar Rp. 6 juta atau lebih kurang USD 700 per hektar, atau sekitar Rp. 18,5

triliun selama lima tahun), yang merupakan sebuah upaya tunggal terbesar yang

dikelola Departemen Kehutanan. Prakarsa-prakarsa baru untuk pengelolaan

DAS adalah berdasarkan alasan penting yang dapat dikemukakan, namun juga

menghadapi tantangan yang berat. Bahkan kalau pun berhasil, program

rehabilitasi ini hanya akan mempengaruhi sebagian kecil dari lahan yang

terdegradasi, sedangkan kehilangan dan degradasi hutan terus berlanjut dengan

laju kerusakan tahunan yang jauh lebih tinggi. Program yang besar ini hanya

akan mempengaruhi sebagian kecil lahan kritis. Juga, distribusi dampaknya

ditujukan pada Sumatra dan Sulawesi, bukan secara merata berdasarkan

luasnya lahan kritis. Maluku dan Papua tidak dijadikan sasaran, mungkin karena

alasan administratif. Jawa, Bali, dan NTT kurang terwakili, mengingat konsentrasi

(35)

Negara (Departemen Kehutanan, 2003). Sementara usaha agroforestri di lahan

milik yang sempit oleh rumah tangga petani miskin yang sangat strategis

mendapat dukungan untuk kesinambungannya, justeru tidak menjadi lokus

prioritas dari program.

Evaluasi Pemerintah terhadap GERHAN. Dalam suatu tinjauan dan

evaluasi program GERHAN, Dirjen Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan

(DirJen RLPS, 2007) menemukan banyak masalah dalam pelaksanaannya.

Degradasi lahan merupakan suatu gejala dari banyak sebab utama, yang tidak

dapat diselesaikan oleh program rehabilitasi lahan secara langsung. Namun,

salah satu temuan dari tinjauan itu menyebutkan bahwa GERHAN dilaksanakan

dengan cara yang sangat sentralistik, tanpa partisipasi yang memadai dan

dukungan anggaran yang sangat terbatas dari Pemerintah Daerah. Begitu pula,

peran serta kelompok-kelompok petani dan pendampingan LSM setempat

dianggap kurang optimal oleh karena terbatasnya waktu untuk sosialisasi dan

pengorganisasian masyarakat (3-5 bulan). Layanan penyuluhan dan pelatihan

juga kurang optimal. Juga terdapat masalah pendanaan, dimana dana datangnya

terlambat, tanpa insentif, dan dengan sedikit dukungan dari daerah. Kalau

pendanaan dan kebutuhan fisik seperti bibit datangnya terlambat, maka kegiatan

penanaman menjadi tidak efektif karena dimulai tidak bersamaan dengan musim

tanam yang cocok. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dilakukan

perubahan-perubahan dalam program GERHAN guna mengurangi potensi terjadinya

masalah-masalah semacam itu. Berdasarkan evaluasi ini, program penanaman

dan rehabilitasi telah ditata ulang dan diluncurkan dalam bentuk baru,

bersamaan dengan prakarsa Presiden untuk merevilatisasi sektor-sektor

kehutanan, perikanan dan pertanian. Pada Hari Bumi tanggal 22 April 2006,

(36)

Program (baru) ini mungkin sekali akan memperoleh dukungan dana dalam

jumlah yang sama atau lebih besar dibandingkan dengan upaya-upaya GERHAN

sebelumnya. Pemerintah juga menerapkan aturan bagi pengelolaan dan

pemantauan lingkungan berdasarkan Undang-undang Pengelolaan Dampak

Lingkungan 1997. Proses analisa dampak lingkungan (AMDAL) memungkinkan

dilakukannya penilaian dan menyoroti dampak proyek-proyek pembangunan atas

jasa lingkungan. Proses ini memiliki potensi untuk mengidentifikasi dan

mengurangi dampak yang membahayakan hutan atau jasa lingkungan dan untuk

memberitahukan kepada publik tentang masalah-masalah ini. Namun dalam

prakteknya, hasil kajian AMDAL seringkali tidak diterapkan pada kegiatan yang

berkaitan dengan kehutanan (misalnya, pembangunan jalan, pembukaan lahan)

atau untuk mengurangi dampak yang membahayakan dari degradasi lahan dan

hutan. Rumitnya aturan administrasi atau resistensi politik dapat menghalangi

upaya-upaya untuk menegakkan aturan-aturan ini, yang pada dasarnya

diperlukan. Walaupun masih ada kemungkinan untuk memperbaiki standar

kinerja, pemantauan dan rencana-rencana remedial, isu utamanya terletak pada

pelaksanaan dan tindak lanjut mengenai kebutuhan pengelolaan lingkungan (The

World Bank, 2001).

Selanjutnya tahun 2009 paradigma rehabilitasi mulai ditekankan

pendekatan bottom up dengan konsep masyarakat sebagai kunci keberhasilan

rehabilitasi hutan dan lahan. Hal tersebut merujuk pada keberhasilan konsep

penanaman one man one tree, penanaman sejuta pohon, dan hutan rakyat pola

kemitraan yang membuktikan makin tingginya minat menanam pada masyarakat

.

Salah satu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis ditunjukkan oleh upaya

agroforestri secara swadaya di lahan milik/luar kawasan hutan. Pada tahun

(37)

marjinal pedesaan di hulu DAS Solo Kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah.

Rehabilitasi dimulai dengan pembongkaran batu yang menutupi tanah, sehingga

mendapatkan bidang tanam. Selanjutnya dengan pola upah natura (bahan

pangan) dilakukan penanaman jenis pohon cepat tumbuh Acacia sp. Lambat

laun masyarakat berinisiasi mulai menanam jati dan mahoni yang

dikombinasikan dengan tanaman pangan di lahan miliknya (wana

tani/agroforestri) setelah lahan mulai menjadi subur karena munculnya

sumber-sumber air di sekitar areal tanaman pohon. Kerja keras swadaya petani

agroforestri pada luasan yang sempit yang secara bottom up mengembangkan

alternatif mata pencaharian dan konservasi tanah dan air di desa Sumberejo

yang termasuk subDAS Temon pada bagian hulu DAS akhirnya menghasilkan

pengakuan berupa sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari

(PHBML) pada tahun 2004.

Pada dekade 1970-1980an, usaha-usaha perbaikan lahan kritis dan

pencegahan kerusakan hutan, tanah dan air (HTA) juga telah dilaksanakan di

provinsi jawa timur dengan bantuan Bank Dunia, FAO dan USAID, namun pada

pelaksanaannya yang cenderung top down, mengalami hambatan pada sulitnya

menyusun perencanaan terpadu dan pembiayaan jangka panjang serta

kurangnya dukungan politik serta pendanaan. Evaluasi program mencatat,

bahwa untuk mencapai keberhasilan program rehabilitasi perlu mengikut

sertakan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya

Pada periode tahun 1990 – 2007, konsep rehabilitasi lahan milik di luar

kawasan hutan secara top down ditetapkan dengan dukungan kebijakan skim

kredit bergulir untuk masa 8 tahun. Program tersebut dilakukan dengan pola

kemitraan hutan rakyat (mitra sebagai penjamin kredit/avails) serta fasilitas

(38)

sebesar hampir Rp.100 milyar, hanya mampu berkontribusi mendorong

pembangunan hutan rakyat (termasuk pola agroforestri) sebesar 2,6% dari luas

total pengembangan hutan rakyat, sedangkan pengembalian kredit bergulir

setelah masa 10 tahun baru terealisasikan 9,8% dari total penyaluran. Dari hasil

evaluasi, kegagalan disebabkan karena komponen kegiatan yang didukung

kredit tidak sesuai dengan kebutuhan nyata petani, dan dana yang tersalurkan ke

pani melalui mitra terbatas pada pengadaan bibit, pupuk, sebagian besar kredit

dimanfaatkan mitra kegiatan di lahan mitra (pengawasan tidak berjalan).

Kenyataan konsep kebijakan dan program rehabilitasi lahan kritis di luar

kawasan hutan atau pada lahan milik di masa lalu, cenderung dengan

pendekatan yang bersifat top down dan lebih pada tujuan manfaat perbaikan

kondisi biofisik (konservasi). Sementara apresiasi terhadap keberhasilan upaya

rehabilitasi lahan hanya terbatas pada bentuk penghargaan lingkungan yang

tidak berdampak pada sosial ekonomi petani. Kondisi tersebut, masukan dari

para pakar, dan berkembangnya tuntutan tata pemerintahan yang baik memicu

pergeseran konsep pendekatan kebijakan rehabilitasi dan konservasi lahan lebih

pada pendekatan bottom up, dimana masyarakat/petani menjadi pengambilan

keputusan dan pelaku sentral rehabilitasi di lahan-lahan milik. Dengan demikian

pendekatan sosial ekonomi berupa pengentasan kemiskinan masyarakat/petani

di pedesaan di hulu DAS prioritas wajib menjadi fokus kebijakan rehabilitasi, agar

masyarakat/petani mau dan mampu mempertahankan dan mengembangkan

agroforestri yang menghasilkan eksternalitas positif bagi kepentingan umum.

Menurut Sinukaban (2007) prinsip dasar DAS sebagai bioregion adalah

keterkaitan saling mempengaruhinya perubahan berbagai komponen dalam DAS

secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal (waktu). Pengabaian kenyataan

(39)

penurunan kualitas air dari hulu sampai ke hilir, dapat menimbulkan konflik

kompetisi alokasi dan distribusi sumberdaya yang berakibat kontra produktif pada

upaya peningkatan kesejahteraan.

Lebih lanjut Kerr (2007) menjelaskan pembangunan DAS menjadi

komponen penting dalam pembangunan wilayah pedesaan dan strategi

pengelolaan sumber daya di banyak Negara. Lebih lanjut pembangunan DAS

meliputi tantangan sosial ekonomi dan teknis. Salah satu tantangan sosial

ekonomi terbesar untuk keberhasilan pengelolaan DAS adalah mendistribusikan

biaya dan manfaat secara merata, sebagai akibat variasi spasial dan keragaman

kepentingan penggunaan sumberdaya alam. Untuk itu pembangunan DAS harus

diupayakan tidak hanya untuk mengelola hubungan hidrologis, tetapi juga: a)

melestarikan dan memperkuat basis sumberdaya dengan mengoptimalkan

penggunaan sumberdaya untuk konservasi, b) membuat pertanian dan

sumberdaya lainnya menjadi lebih produkstif, dan c) mendukung mata

pencaharian pedesaan untuk mengurangi dan mengentaskan kemiskinan.

Selanjutnya diperlukan adanya pelembagaan kerjasama untuk membuat

pembangunan DAS bekerja (Kartodihardjo, 2006). Umumnya dalam mengelola

konflik kepentingan, kegiatan yang memiliki manfaat besar dan cepat yang

dipilih, namun dalam beberapa kasus pilihan menjadi sulit karena memerlukan

waktu yang cukup untuk melihat manfaat tersebut. Oleh karena itu, perlu

diciptakan mekanisme untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya sesuai

kepentingan umum.

2.3 Peran Agroforestri dalam Penanggulangan Berbagai Isu Lingkungan dan Kemiskinan

(40)

penggunaan lahan secara terencana dengan mengkombinasikan stratum

tegakan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak)

dan/atau ikan, yang dilakukan secara bersamaan atau bergiliran, sehingga

terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada

(Lundgren dan Raintree, 1983, Nair, 1983, Huxley, 1983).

Sistim agroforestri di Indonesia, diawali dengan adopsi pola perladangan

berpindah, sejalan dengan terjadinya kesenjangan penawaran dan permintaan

bahan baku kayu industri pengolahan, dan meluasnya lahan kritis di dalam dan

di luar kawasan hutan, serta berkembangnya berbagai isu pembangunan, antara

lain; isu perubahan iklim, isu krisis pangan, isu bio enerji dan isu krisis air,

agroforestri berperan sebagai kontributor yang penting. Dalam kawasan hutan

sistem ini diadopsi sekaligus sebagai solusi masalah sosial ekonomi yang timbul

akibat alih guna lahan, dalam pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm),

hutan tanaman rakyat (HTR), dan hutan desa, sedangkan di luar kawasan hutan

terutama di lahan pertanian di pulau jawa dalam usaha di lahan milik.

Dalam praktek petani secara bertahap mengusahakan agroforestrinya dari

pola subsisten menunju komersil, dengan tetap mempertahankan tujuan

pemenuhan rasa aman (subsisten) dan keterkaitan ragam sosial budaya (tradisi)

sebagai kekayaan pengetahuan lokal. Kondisi tersebut menempatkan

agroforestri di pedesaan yang diusahakan rumah petani yang umumnya miskin

pada lahan-lahan yang sempit pada transisi antara agroforestri tradisional

dengan modern (Tabel 3).

Menurut Wijayanto (2001), agar keunggulan suatu agroforestri terwujud

dan kelemahannya teratasi, diperlukan rumusan pengelolaan agroforestri yang

berbeda (spesifik lokal) untuk kondisi lahan dan masyarakat yang berbeda. Jadi

(41)

semua keadaan lahan dan masyarakat yang berbeda-beda.

Sejalan dengan upaya pengentasan kemiskinan seperti yang dicanangkan

dalam Millenium Development Goals (MDGs), fokus sistem produksi dan

produktivitas agroforestri, telah berkembang kepada peran agroforestri berkaitan

dengan isu ekonomi lingkungan, seperti penyerapan emisi sebagai dampak dari

climate change, dan transfer imbal jasa lingkungan (Payment for Environmental Service).

Perubahan agroforestri dari subsisten menjadi komersil mengakibatkan

pengusahaannya pada skala kecil menjadi rentan terhadap perubahan ekonomi.

Hasil analisa ekonomi menjadi penting selain dalam perbaikan manajemen di

tingkat on farm, namun juga dalam menangkap dan merespon sinyal pasar

Tabel 3. Perbedaan agroforestri tradisional dan modern

Aspek Tinjauan Agroforestri Tradisional Agroforestri Modern

Kombinasi Jenis

Tersusun atas banyak jenis (polyculture), dan hampir keseluruhannya dipandang penting; banyak dari jenis-jenis lokal (dan berasal dari Permudaan alami)

Hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis, di mana salahsatunya merupakan komoditi yang diunggul kan; seringkali diperkenal kan jenis unggul dari luar

Struktur Tegakan

Kompleks, karena pola tanamnya tidak teratur, baik secara horizontal ataupun vertikal (acak)

Sederhana, karena biasanya menggunakan pola lajur atau baris yang berselang-seling dengan jarak tanam yang jelas

Orientasi Penggunaan Lahan

Subsisten hingga semi komersial (meskipun tidak senantiasa dilaksanakan dalam skala kecil)

Komersial, dan umumnya diusahakan dengan skala besar dan oleh karenanya padat modal

Keterkaitan Sosial Budaya

Memiliki keterkaitan sangat erat dengan sosial-budaya lokal karena telah dipraktek kan secara turun temurun oleh

masyarakat/pemilik lahan

Secara umum tidak memiliki keterkaitan dengan sosial budaya setempat, karena di introdusir oleh pihak luar (proyek atau pemerintah)

Sumber: Sardjono, et al. 2003

Pemahaman pengelolaan agroforestri dari sisi produsen adalah berarti

mengelolanya untuk tujuan multiple use yang berarti pengelolaan seluruh

renewable resources yang terdapat di dalam area agroforestri. Kombinasi

penggunaan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia (Hairiyah, et al,

2002). Vishwapati (2010) menemukan, bahwa species jenis pohon multiguna

(42)

Himalaya bagian Barat, bahkan Yamoah (1989) berhasil menemukan beberapa

jenis-jenis yang tumbuh cepat untuk penutupan lahan di dataran tinggi Rwanda.

Pertimbangan sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam proses

pengadopsian sistem dan teknologi agroforestri, keputusan tergantung

penerimaan petani sebagai elemen pokok (subyek) dari agroforestri. Namun

para pihak yang berkepentingan dengan pengembangan perbaikan teknologi

agroforestri (peneliti, penyuluh, pemerintah) sering mengabaikan terhadap

peran dan posisi petani tersebut. (Suhardjito, 2003).

Terdapat 5 (lima) aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk

menerapkan agrorestri, yaitu:

1. Kelayakan (feasibility)

Penelitian pengaruh luas lahan terhadap pilihan praktek agroforestri

tergantung pada faktor ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi keluarga,

teknologi yang dikuasai dan pola komposisi jenis tanaman menurut intensitas

waktu panen (Berenschot, Van Der Poel dan Van Dijk, 1987). Hal itu ditunjukkan

oleh kecenderungan rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit,

menggunakan lahannya untuk tanaman pangan dan tidak menanam atau hanya

sedikit tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley, 1987).

Selain luas lahan, kendala kelayakan usaha agroforestri adalah akses

petani pada informasi pasar, dan modal, (Indrawati et al, 1997, Ekawati, et al., 2002). Hasil-hasil penelitian kelayakan finansial agroforestri sering terbatas pada

keragaan NPV yang positif, namun mengabaikan kenyataan nilai tersebut dekat

atau di bawah garis kemiskinan yang resmi dikeluarkan oleh BPS. .

2. Keuntungan (profitability)

Sistem agroforestri dianggap menguntungkan apabila dapat menghasilkan

(43)

atau membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat

output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen

yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi (Suharjito,

2000). Interaksi biofisik sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila

output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor

produksi. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif,

yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula. Kenaikan output

pada tingkat sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah

output fisik atau kenaikan harga per satuan output, juga penurunan biaya input

misalnya dari segi tenaga kerja dan penggunaan sumber daya yang lain atau

penurunan harga per satuan input. (Avilla, 1978, Andayani, 2002, Albrecht, and

Kanji, 2003).

Meskipun keuntungan merupakan motif utama petani memilih usaha

agroforestri, namun aspek keamanan pangan dan kesinambungan pendapatan

kerap menjadi pertimbangan (Yustika, 2007). Beberapa alasan mendasar petani

pedesaan di wilayah Kabupaten Wonogiri memilih agroforestri, dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a. Dari aspek ekonomi, agroforestri dengan kombinasi tanaman semusim dan

tanaman tahunan memberikan ketahanan untuk survival dan bagian dari

sistem mata pencaharian (livelihood), sehingga menimbulkan rasa aman

bagi petani subsisten (Suyanto, dan Chandler, 2003).

b. Dari aspek sosial budaya, agroforestri di pedesaan secara historis terkait

erat dengan tradisi turun temurun yang melatar belakangi hubungan antar

masyarakat; dalam membangun kelompok, belajar; dan pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan pengembangan dan pembangunan desa

(44)

c. Dari aspek ekologi, petani agroforestri di desa bagian hulu DAS yang pernah

mengalami masa kekeringan yang panjang sebelum tahun 1970an, memberi

pelajaran bahwa penanaman pepohonan telah meningkatkan keberadaan

hutan dengan sumber air, menjaga kesuburan tanah dan lingkungan yang

nyaman (Jariah NA, dan Wahyuningrum , 2008; Sriwongsitanon, 2011).

Pengembangan agroforestri dengan menempatkan pepohonan hanya

sebagai penunjang aspek biofisik (konservasi) mendukung pertanian semata

seringkali membuat usaha agroforestri gagal atau tidak berkembang. Aspek

sosial ekonomi,lebih berperan dalam pengembangan agroforestri, sebagaimana

dikemukakan Cahyono, et al (2003), bahwa terdapat tiga aspek penting yang

mempengaruhi pengembangan agroforestri, yaitu kelayakan (feasibility),

keuntungan (profitability) dan kesinambungan (sustainability).

Kesinambungan keberadaan dan pengembangan agroforestri sejalan

dengan besarnya kemampuan agroforestri dalam peningkatan pendapatan untuk

pemenuhan kebutuhan jangka pendek rumah tangga petani, terutama dalam

tenggat waktu menunggu panen tanaman tahunan (Supangat, et al. 2003).

Sejalan dengan adanya jeda waktu menunggu pendapatan dari tanaman

tahunan, beberapa penelitian mengindikasikan ketergantungan yang sangat

tinggi dari rumah tangga petani agroforestri pada pendapatan di luar lahan (off

farm). Kontribusi pendapatan off farm pada rumah tangga petani berkisar antara

45-70% (Dede, 1997, Riva, 1997, Ekawati, 1999, Donie, 2000, Hardjanto, 2001,

Haswanir et al, 2000, Cahyono et al, 2002, Supangat et al, 2002, Sunaryo, et al,

2003, dan Jariyah, et al,2003).

Selama ini pendapatan usaha tani hanya terbatas pada manfaat langsung

(45)

sudah menjadi ciri kendala agroforestri di Kabupaten Wonogiri, sehingga tidak

mungkin bagi petani meningkatkan keuntungan melalui upaya intensifikasi dan

ekstensifikasi.

Meskipun saat ini manfaat tidak langsung (indirect use value) berupa

eksternalitas positif seperti jasa air dan jasa karbon agroforestri mulai

diperhitungkan sebagai bagian solusi isu lahan kritis, krisis air dan perubahan

iklim, namun nilai ekonominya belum bisa menjadi sumber pendapatan rumah

tangga petani apabila diserahkan pada mekanisme pasar. Pembelajaran sukses

imbal jasa air antara lain di DAS Cidanau, DAS Asahan, dan di Costa Rica, serta

sukses imbal jasa karbon di Brasil, menunjukkan peran intervensi Pemerintah

sangat diperlukan,khususnya terkait dalam pengakuan kepemilikan hak (property

right) dan negosiasi besaran dan distribusi subsidi atau imbal jasa. Hal tersebut didukung oleh pendapat Williamson (1979), bahwa intervensi hanya didapat

dengan upaya pemaksaan oleh pemerintah, serta temuan hasil penelitian Rosa

et al (2003) pada pembelajaran kompensasi pada jasa ekosistem di pedesaan di San Salvador.

3. Dapat tidaknya diterima (acceptibility)

Beberapa penelitian sosial terkait faktor yang berperan dalam penerimaan

teknologi oleh petani (acceptability), mengindikasikan 4 hal yang menentukan

tingkat penerimaan teknologi oleh petani, yaitu: a) Perbedaan pandangan antara

penyedia dengan pelaku teknologi; b) Hambatan bahasa komunikasi antara

penyedia dengan pelaku teknologi; c) Kecenderungan penyeragaman teknologi

untuk berbagai plot pada berbagai bentang lahan; dan d) Dukungan kebijakan

(Suyanto S and Chandler FJC, 2003).

Kenyataannya diseminasi informasi tentang teknik-teknik agroforestri

(46)

agroforestri, peneliti dan pakar terkadang tidak peka terhadap peran dan

pengetahuan petani yang telah lama dipraktekan (tacit) dan berbagai faktor yang

mempengaruhi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga petani akan

lahan mereka sendiri (Santosa, PB , 2006).

Tidak jarang petani berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang

sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang

masih baru dan dibawa oleh orang luar. Petani akan lebih mudah mengadopsi

agroforestri jika mereka; a) terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem

pertanian, dan b) mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi

pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain.

4. Kesinambungan (sustainability).

Penanaman terus menerus dengan satu komoditi akan membuat produksi

lahan tidak lagi menguntungkan (hukum penambahan yang menurun), karena

kenaikan biaya input persatuan waktu akan membuat usaha tidak lagi layak

untuk dilanjutkan (tidak berkesinambungan). Tujuan petani memilih agroforestri,

pada kondisi lahan yang kurang subur dan ketiadaan modal adalah alasan

kesinambungan pendapatan. Petani beranggapan kesinambungan akan lebih

terjamin, bila:

a) Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim

dan satu jenis tanaman tahunan/pohon

b) Menghasilkan lebih dari satu macam produk

c) Produk-produk yang dihasilkan dapat bermanfaat langsung (tanaman

pangan, kayu, ternak) dan tidak langsung (air dan udara nyaman)

d) Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan

pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama

(47)

2.4 Internalisasi Eksternalitas 2.4.1. Pengertian Eksternalitas

Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai

keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu

kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau

melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak

menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang

tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah.

Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui

mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas (Daraba, 2001).

Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping

dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang

menguntungkan maupun yang merugikan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld

(2005), ekternalitas merupakan suatu kegiatan baik oleh produsen atau

konsumen yang dapat mempengaruhi produsen dan konsumen lain, namun tidak

diperhitungkan dalam biaya pasar.

Eksternalitas timbul ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen

memiliki pengaruh yang tidak diharapkan (tidak langsung) terhadap produsen

dan atau konsumen lain. Eksternalitas bisa positif atau negatif. Eksternalitas

positif terjadi saat kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok

memberikan manfaat pada individu atau kelompok lainnya (Sankar, 2008)

Eksternalitas lingkungan sendiri didefinisikan sebagai manfaat dan biaya

yang ditunjukkan oleh perubahan lingkungan secara fisik hayati (Owen, 2004).

Sebagai contoh polusi air termasuk ke dalam eksternalitas lingkungan, dimana

polusi tersebut telah merubah baik secara fisik maupun hayati sungai yang ada

Gambar

Gambar 1. Dampak keberadaan dan meluasnya lahan kritis
Tabel 1. Peningkatan Luas Lahan Kritis di Pulau Jawa
Gambar 3. Komparasi Kelebihan Jumlah Penduduk Jawa Tengah dengan Daya Dukung
Gambar 4.  Internalisasi Biaya Eksternalitas Positif dari Sisi Produksi
+7

Referensi

Dokumen terkait