• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Internalisasi Eksternalitas

2.4.2. Sumber Eksternalitas

Menurut Coase (1960), eksternalitas dapat muncul karena dua hal , yaitu :

A B

1. Ketika pemilik pribadi dari suaru barang tidak mengkompensasikan secara penuh biaya dan manfaat dari setiap kegiatan, karena mereka beranggapan biaya yang dikeluarkan akibat dari penggunaan barang tersebut akan sangat tinggi.

2. Ketika pengguna pribadi menggunakan barang umum dan mengklaim secara politis atas penggunaan barang tersebut.

Sumber eksternalitas lain adalah karena ketiadaan hak milik (property

right), yaitu kesepakatan sosial yang menentukan kepemilikan, penggunaan dan pembagian faktor produksi serta barang dan jasa. Hak milik tidak ada saat eksternalitas timbul. Tidak ada seorangpun yang memiliki udara, sungai, dan laut. Pada saat tidak adanya hak milik, maka tidak ada jaminan sebuah

perusahaan swasta beroperasi pada tingkat yang efisien. (Taggart, et al, 2003).

Sumberdaya lingkungan seperti udara bersih, air di sungai, laut dan atmosfir hak kepemilikannya tidak terdefinisikan dengan tepat. Di banyak Negara sumberdaya tersebut berada dalam domain publik. Penggunaan sumberdaya tersebut dianggap sebagai barang bebas dan faktor produksi tanpa harga. Oleh karena itu mereka menghitung penggunaan sumberdaya lingkungan tidak ada harganya ketika nilai sosial yang positif mengalami kelangkaan. Dua alasan penting ketiadaan pasar adalah a) adanya kesulitan mendefisikan, mendistribusikan dan menentukan hak milik, b) tingginya biaya dari penciptaan dan pengoperasian pasar (Sankar, 2008).

2.4.3. Internalisasi Eksternalitas

Dalam konteks konsep total nilai ekonomi yang menjadi basis perubahan

kesejahteraan (Pearce, et al 1994. Munasinghe, 1992), klasifikasi produk usaha

dan intangible product yang nilainya tidak tercermin dalam pasar, sehingga kerap

disebut intrinsic value. Produk yang telah mempunyai harga pasar adalah yang

secara fisik mempunyai manfaat langsung seperti komoditi tanaman musiman dan tanaman tahunan baik kayu maupun non kayu, sedangkan produk yang tidak/belum mempunyai harga pasar adalah yang mempunyai manfaat tidak langsung berupa jasa-jasa lingkungan DAS, seperti jasa tata air (jasa air) dan jasa simpan dan serap karbon (jasa karbon).

Teori kepemilikan bersama (commons theory) memandang fungsi jasa

lingkungan DAS sebagai sumberdaya yang bercirikan dua atribut sumberdaya

milik bersama (public service), yaitu tingginya biaya dan pengecualian sifat yang

tidak dapat dikurangi (subtractability). Mengacu pada pada kedua atribut

tersebut menurut teori ekonomi kelembagaan, hubungan fungsi dan manfaat

yang bersifat eksternalitas dalam DAS yang diklasifikasikan intangible product,

hanya dapat dikelola nilai ekonominya melalui pendekatan negosiasi dan atau internalisasi eksternalitas melalui instrument kebijakan keuangan yang hakekatnya merupakan tindak pemaksaan pengenaan pajak atau pemberian subsidi (Williamson, 1978).

Ketiadaan respon pasar pada eksternalitas positif agroforestri yang

merupakan public service, mengakibatkan terjadinya alokasi in-efisien alokasi

sumberdaya agroforestri (kegagalan pasar), dan terjadinya kesenjangan lebih besarnya surplus konsumen dibandingkan surplus produsen atau terjadinya perbedaan biaya produksi (MC social) atau biaya manfaat (MC privat). Dalam pasar persaingan sempurna mekanisme pasar cenderung mendorong harga kearah biaya total rata-rata produksi, sehingga terjadi efisiensi alokasi sumberdaya, karena harga relatif mencerminkan biaya relatif.

tidak berjalan, maka telah terjadi yang kegagalan pasar (market failure) Sementara mazhab ekonomi kelembagaan, menyatakan kondisi tersebut adalah akibat biaya transaksi/biaya sosial yang tidak diperhitungkan dalam harga pasar,

sehingga lebih cenderung memandangnya sebagai kegagalan kebijakan (policy

failure).

Kebijakan pembangunan saat ini yang lebih berpihak pada; pertumbuhan, peningkatan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan keberpihakan pada pembangunan yang ramah lingkungan berbasis pedesaan, menjadi momentum dan argument yang tepat untuk menginternalisasi eksternalitas positif agroforestri

yang merupakan public service. Adanya instrument kebijakan keuangan yang

mampu mentransformasikan manfaat ekternalitas positif agroforestri menjadi nilai ekonomi nyata bagi peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Instrumen kebijakan keuangan berupa skim subsidi/kredit yang dikenal dengan istilah internalisasi eksternalitas positif berfungsi ganda, yaitu fungsi corrective

(mengoreksi kegagalan pasar dari tidak terepresentasikannya nilai ekonomi

ekternalitas agroforestri dalam harga pasar) dan additive (menambah

pendapatan yang seharusnya dapat diterima petani agroforestri dari kompensasi

memprodusir public service yang seharusnya menjadi kewajiban Pemerintah).

Dalam praktiknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat menginternalisasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/organisasi kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau “swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan internalisasi eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial

Menurut Ginting (2002), Beberapa solusi-solusi atau upaya-upaya yang

dilakukan oleh pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam

menginternalisasi eksternalitas positif antara lain : 1. Regulasi

Pemerintah dapat meninternalisasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mendorong berjalannya konservasi jasa air dan jasa karbon dari kegiatan agroforestri secara berkesinambungan, dimana selama ini biaya sosialnya lebih besar ditanggung petani dari pada keuntungan pihak-pihak yang mendapat manfaatnya, pemerintah dapat mengeluarkan instrumen kebijakan dan program insentif yang diprioritaskan pada dukungan peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani agroforestri.

2. Pajak dan Subsidi Pigouvian

Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu

ekstemalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigouvian (Pigouvian tax).

Pajak Pigouvian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada urnumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigouvian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas.

Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigouvian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak

Pigouvian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan sumber pembiayaan subsidi pembangunan pada pemerintah, pajak Pigouvian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.

3. Solusi Swasta

Pasar swasta terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya. Motif utama mereka memang untuk memenuhi kepentingannya sendiri, namun dalam melakukan suatu tindakan, mereka juga sekaligus mengatasi

eksternalitas. Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara

penggabungan kedua usaha. Niat untuk mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis usaha sekaligus.

Cara lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah dengan penyusunan kontrak atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan. Melalui kontrak, maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber dari eksternalitas bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan sama- sama lebih untung dibanding kalau keduanya menjalankan usahanya sendiri- sendiri, tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain.

4. Teorema Coase

Teorema Coase (Coase theorem) mengambil nama perumusnya yakni

ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat

efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah

ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya. Teorema Coase menyatakan bahwa pihak produsen dan pemanfaat eksternalitas dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka. Terlepas dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien. Pendapatan tersebut bisa dialokasikan kembali untuk perbaikan atau peningkatan kualitas lingkungan secara berkelanjutan.

Untuk mendorong terjadi kontrak tersebut, diperlukan kejelasan property

rights. Property rights merupakan peraturan yang bersifat legal yang menjelaskan hak pribadi/kelompok atau perusahaan atas apa yang mereka miliki

(Rubinfeld and Pyndick, 2005). Property rights dikatakan penting karena dapat

melindungi hak-hak yang seharusnya dapat diperoleh oleh setiap orang.

Seperti contohnya, hak rumah tangga agroforestri untuk mendapatkan

return dari penggunaan atas seluruh barang dan jasa yang dihasilkannya.

Property rights merupakan kumpulan dari beberapa hak atas kepemilikan dari suatu aset, dapat ditukarkan atau memberikan hak kepada orang lain untuk menggunakan sebagian dari aset tersebut secara temporer.

Property rights mungkin tidak hanya melekat pada aset yang bersifat fisik

tetapi juga aset yang bersifat jasa. Property rights dapat dikatakan juga sebagai

suatu instrumen dalam suatu sistem kemasyarakatan yang memegang kepentingan dalam membantu para pemilik aset dari ekspektasinya sehingga dapat digunakan untuk bertransaksi dengan yang lain (Demsetz dan Lehn, 1985).

Aspek penting lain dalam mengimplikasikan internalisasi eksternalitas adalah persepsi sementara pihak yang memandang jasa air dan jasa karbon

agroforestri sebagai barang publik (public goods). Menurut Pindyck dan

Rubinfeld (2005), Public Goods terjadi bila biaya marginal yang muncul dari

adanya penambahan konsumen adalah nol dan orang lain tidak dapat dielakkan

dari penggunaan atas barang tersebut. Public Goods muncul karena dua hal

yaitu tidak ada barang tandingan (nonrival good) dan tidak ada eksklusifitas atas

barang (nonexclusive good). Nonrival good menurut Pindiyck adalah biaya

marginal atas adanya penambahan konsumsi atas barang tersebut adalah nol.

Sedangkan yang dimaksud dengan nonexclusive good adalah barang dimana

tidak dimungkinkan orang lain dikeluarkan atas penggunaan barang tersebut, sehingga hal tersebut menyebabkan sangat tidak mungkin untuk mengenakan biaya kepada mereka yang menggunakannya.

Berdasarkan uraian tinjauan teoritis di atas, maka dalam proses internalisasi eksternalitas agroforestri, pendekatan kebijakan yang lebih mudah adalah dari sisi penawaran, karena orientasi kebijakan adalah memberikan insentif pada pengambilan keputusan petani agroforestri dalam skala kecil untuk

memelihara stock dan mengembangkan flow produksi agroforestri. Nilai insentif

yang dialokasikan melalui skim subsidi/kredit akan ditentukan dengan basis satuan besaran nilai ekonomi eksternalitas yang dihasilkan. Sedangkan pendekatan dari sisi permintaan membutuhkan persyaratan yang membutuhkan negosiasi yang memakan waktu lama dan biaya transaksi tidak kecil, antara lain; ketersediaan data informasi sebagai indikator kondisi sumberdaya, batas-batas manfaat terdefinisi dengan baik, kepastian penyimpanan manfaat dan lain sebagainya yang hakekatnya proses kesepakatan pemanfaatan fungsi DAS yang umumnya dipersepsikan sebagai milik bersama.