• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Review Kebijakan dan Program Rehabilitasi Lahan Berbasis

Istilah pembangunan pada hakekatnya representasi dari proses terjadinya perubahan sosial suatu masyarakat berbasis keragaman kebutuhan kelompok sosial atau institusi yang terlibat menuju kondisi kehidupan yang lebih baik (Todaro, 1998). Prinsip pembangunan berkelanjutan menurut PBB (1997) adalah”memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Sedangkan, penerapan pembangunan wilayah umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang menjadi keputusan politik tentang alokasi spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara

keseluruhan (top down). Menurut Cullis dan Jones (1992) aplikasi yang tepat

untuk pembangunan wilayah berkelanjutan adalah dengan pendekatan perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumberdaya

publik mulai dari dan berbasis keragaman daerah (bottom up), sehingga tujuan

pembangunan wilayah yang berkelanjutan ditekankan pada bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan

pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di wilayah tersebut.

Praktek konsep kebijakan pembangunan wilayah periode sebelum dan sesudah otonomi daerah/desentralisasi masih terjadi kecenderungan alokasi

spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan (top down),

sehingga pembangunan wilayah tetap bercirikan orientasi pada sumberdaya sebagai komoditas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Menurut Palmer (1977) kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan

pembangunan koersif (coersive policy) atau yang bersifat pemaksaan kepada

daerah untuk memenuhi target-target sector..

Implikasi kebijakan tersebut tidak berpihak pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan, karena lebih memicu pada eksploitasi sumberdaya oleh daerah otonom. Sementara nilai ekonomi konservasi dari eksternalitas jasa lingkungan yang mendukung prinsip keberlanjutan sumberdaya kurang/tidak mendapat perhatian yang cukup.

Kebijakan rehabilitasi lahan kritis yang dikenal dengan reboisasi untuk pelaksanaan dalam kawasan hutan dan penghijauan untuk pelaksanaan di luar kawasan hutan sudah dimulai sejak tahun 1976. Sedangkan kebijakan orientasi rehabilitasi lahan kritis berbasis DAS prioritas dimulai tahun 1984 yang diawali dengan penetapan 22 DAS prioritas yang didasarkan pada kekritisannya.dan menjadi 108 DAS pada tahun 1999 dengan 8 DAS di Jawa masuk dalam DAS prioritas 1.

Diluncurkan Sebagai suatu 'gerakan nasional' lintas-tahun (multi years)

yang melibatkan seluruh stakeholder kehutanan dan lahan, Gerakan Nasional

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (GN-RHL) telah dipayungi oleh Surat

Perekonomian2), Menko Bidang Politik dan Keamanan3)

Hampir separuh dari upaya rehabilitasi dipusatkan pada kawasan hutan negara, dengan 60% investasi berada di hutan-hutan produksi, 30% di hutan lindung, dan 10% di kawasan konservasi. Duapertiga dari lahan kritis terletak di luar kawasan hutan, tetapi hanya setengah dari nilai investasi rehabilitasi dipusatkan di situ. Pola ini mengungkapkan adanya pilihan investasi yang lebih diminati dalam nilai-nilai produksi dan jasa lingkungan di lahan-lahan milik

tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi

Nasional. Untuk jangka waktu lima tahun, program GN-RHL berupaya

merehabilitasi 3,1 juta hektar hutan dan lahan kritis di 68 DAS yang diprioritaskan, yang tersebar di 27 provinsi dan 242 kabupaten dan kota. Sejak 2003 Pemerintah telah menanamkan investasinya sebesar lebih kurang USD 400 juta setiap tahun untuk program ini (berdasarkan biaya penanaman kembali sebesar Rp. 6 juta atau lebih kurang USD 700 per hektar, atau sekitar Rp. 18,5 triliun selama lima tahun), yang merupakan sebuah upaya tunggal terbesar yang dikelola Departemen Kehutanan. Prakarsa-prakarsa baru untuk pengelolaan DAS adalah berdasarkan alasan penting yang dapat dikemukakan, namun juga menghadapi tantangan yang berat. Bahkan kalau pun berhasil, program rehabilitasi ini hanya akan mempengaruhi sebagian kecil dari lahan yang terdegradasi, sedangkan kehilangan dan degradasi hutan terus berlanjut dengan laju kerusakan tahunan yang jauh lebih tinggi. Program yang besar ini hanya akan mempengaruhi sebagian kecil lahan kritis. Juga, distribusi dampaknya ditujukan pada Sumatra dan Sulawesi, bukan secara merata berdasarkan luasnya lahan kritis. Maluku dan Papua tidak dijadikan sasaran, mungkin karena alasan administratif. Jawa, Bali, dan NTT kurang terwakili, mengingat konsentrasi tinggi lahan kritis yang ada di daerah itu.

Negara (Departemen Kehutanan, 2003). Sementara usaha agroforestri di lahan milik yang sempit oleh rumah tangga petani miskin yang sangat strategis mendapat dukungan untuk kesinambungannya, justeru tidak menjadi lokus prioritas dari program.

Evaluasi Pemerintah terhadap GERHAN. Dalam suatu tinjauan dan evaluasi program GERHAN, Dirjen Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan (DirJen RLPS, 2007) menemukan banyak masalah dalam pelaksanaannya. Degradasi lahan merupakan suatu gejala dari banyak sebab utama, yang tidak dapat diselesaikan oleh program rehabilitasi lahan secara langsung. Namun, salah satu temuan dari tinjauan itu menyebutkan bahwa GERHAN dilaksanakan dengan cara yang sangat sentralistik, tanpa partisipasi yang memadai dan dukungan anggaran yang sangat terbatas dari Pemerintah Daerah. Begitu pula, peran serta kelompok-kelompok petani dan pendampingan LSM setempat dianggap kurang optimal oleh karena terbatasnya waktu untuk sosialisasi dan pengorganisasian masyarakat (3-5 bulan). Layanan penyuluhan dan pelatihan juga kurang optimal. Juga terdapat masalah pendanaan, dimana dana datangnya terlambat, tanpa insentif, dan dengan sedikit dukungan dari daerah. Kalau pendanaan dan kebutuhan fisik seperti bibit datangnya terlambat, maka kegiatan penanaman menjadi tidak efektif karena dimulai tidak bersamaan dengan musim tanam yang cocok. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dilakukan perubahan- perubahan dalam program GERHAN guna mengurangi potensi terjadinya masalah-masalah semacam itu. Berdasarkan evaluasi ini, program penanaman dan rehabilitasi telah ditata ulang dan diluncurkan dalam bentuk baru, bersamaan dengan prakarsa Presiden untuk merevilatisasi sektor-sektor kehutanan, perikanan dan pertanian. Pada Hari Bumi tanggal 22 April 2006, Presiden RI mencanangkan “Hari Indonesia Menanam”.

Program (baru) ini mungkin sekali akan memperoleh dukungan dana dalam jumlah yang sama atau lebih besar dibandingkan dengan upaya-upaya GERHAN sebelumnya. Pemerintah juga menerapkan aturan bagi pengelolaan dan pemantauan lingkungan berdasarkan Undang-undang Pengelolaan Dampak Lingkungan 1997. Proses analisa dampak lingkungan (AMDAL) memungkinkan dilakukannya penilaian dan menyoroti dampak proyek-proyek pembangunan atas jasa lingkungan. Proses ini memiliki potensi untuk mengidentifikasi dan mengurangi dampak yang membahayakan hutan atau jasa lingkungan dan untuk memberitahukan kepada publik tentang masalah-masalah ini. Namun dalam prakteknya, hasil kajian AMDAL seringkali tidak diterapkan pada kegiatan yang berkaitan dengan kehutanan (misalnya, pembangunan jalan, pembukaan lahan) atau untuk mengurangi dampak yang membahayakan dari degradasi lahan dan hutan. Rumitnya aturan administrasi atau resistensi politik dapat menghalangi upaya-upaya untuk menegakkan aturan-aturan ini, yang pada dasarnya diperlukan. Walaupun masih ada kemungkinan untuk memperbaiki standar kinerja, pemantauan dan rencana-rencana remedial, isu utamanya terletak pada pelaksanaan dan tindak lanjut mengenai kebutuhan pengelolaan lingkungan (The World Bank, 2001).

Selanjutnya tahun 2009 paradigma rehabilitasi mulai ditekankan

pendekatan bottom up dengan konsep masyarakat sebagai kunci keberhasilan

rehabilitasi hutan dan lahan. Hal tersebut merujuk pada keberhasilan konsep

penanaman one man one tree, penanaman sejuta pohon, dan hutan rakyat pola

kemitraan yang membuktikan makin tingginya minat menanam pada masyarakat

.

Salah satu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis ditunjukkan oleh upaya agroforestri secara swadaya di lahan milik/luar kawasan hutan. Pada tahun 1970an World Food Program menginisiasi rehabilitasi lahan kritis pada lahan

marjinal pedesaan di hulu DAS Solo Kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah. Rehabilitasi dimulai dengan pembongkaran batu yang menutupi tanah, sehingga mendapatkan bidang tanam. Selanjutnya dengan pola upah natura (bahan

pangan) dilakukan penanaman jenis pohon cepat tumbuh Acacia sp. Lambat

laun masyarakat berinisiasi mulai menanam jati dan mahoni yang dikombinasikan dengan tanaman pangan di lahan miliknya (wana tani/agroforestri) setelah lahan mulai menjadi subur karena munculnya sumber- sumber air di sekitar areal tanaman pohon. Kerja keras swadaya petani

agroforestri pada luasan yang sempit yang secara bottom up mengembangkan

alternatif mata pencaharian dan konservasi tanah dan air di desa Sumberejo yang termasuk subDAS Temon pada bagian hulu DAS akhirnya menghasilkan pengakuan berupa sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) pada tahun 2004.

Pada dekade 1970-1980an, usaha-usaha perbaikan lahan kritis dan pencegahan kerusakan hutan, tanah dan air (HTA) juga telah dilaksanakan di provinsi jawa timur dengan bantuan Bank Dunia, FAO dan USAID, namun pada

pelaksanaannya yang cenderung top down, mengalami hambatan pada sulitnya

menyusun perencanaan terpadu dan pembiayaan jangka panjang serta kurangnya dukungan politik serta pendanaan. Evaluasi program mencatat, bahwa untuk mencapai keberhasilan program rehabilitasi perlu mengikut sertakan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya

Pada periode tahun 1990 – 2007, konsep rehabilitasi lahan milik di luar

kawasan hutan secara top down ditetapkan dengan dukungan kebijakan skim

kredit bergulir untuk masa 8 tahun. Program tersebut dilakukan dengan pola

kemitraan hutan rakyat (mitra sebagai penjamin kredit/avails) serta fasilitas

sebesar hampir Rp.100 milyar, hanya mampu berkontribusi mendorong pembangunan hutan rakyat (termasuk pola agroforestri) sebesar 2,6% dari luas total pengembangan hutan rakyat, sedangkan pengembalian kredit bergulir setelah masa 10 tahun baru terealisasikan 9,8% dari total penyaluran. Dari hasil evaluasi, kegagalan disebabkan karena komponen kegiatan yang didukung kredit tidak sesuai dengan kebutuhan nyata petani, dan dana yang tersalurkan ke pani melalui mitra terbatas pada pengadaan bibit, pupuk, sebagian besar kredit dimanfaatkan mitra kegiatan di lahan mitra (pengawasan tidak berjalan).

Kenyataan konsep kebijakan dan program rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan atau pada lahan milik di masa lalu, cenderung dengan

pendekatan yang bersifat top down dan lebih pada tujuan manfaat perbaikan

kondisi biofisik (konservasi). Sementara apresiasi terhadap keberhasilan upaya rehabilitasi lahan hanya terbatas pada bentuk penghargaan lingkungan yang tidak berdampak pada sosial ekonomi petani. Kondisi tersebut, masukan dari para pakar, dan berkembangnya tuntutan tata pemerintahan yang baik memicu pergeseran konsep pendekatan kebijakan rehabilitasi dan konservasi lahan lebih

pada pendekatan bottom up, dimana masyarakat/petani menjadi pengambilan

keputusan dan pelaku sentral rehabilitasi di lahan-lahan milik. Dengan demikian pendekatan sosial ekonomi berupa pengentasan kemiskinan masyarakat/petani di pedesaan di hulu DAS prioritas wajib menjadi fokus kebijakan rehabilitasi, agar masyarakat/petani mau dan mampu mempertahankan dan mengembangkan agroforestri yang menghasilkan eksternalitas positif bagi kepentingan umum.

Menurut Sinukaban (2007) prinsip dasar DAS sebagai bioregion adalah

keterkaitan saling mempengaruhinya perubahan berbagai komponen dalam DAS secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal (waktu). Pengabaian kenyataan rusaknya hutan di bagian hulu akan menimbulkan banjir, erosi, sedimentasi dan

penurunan kualitas air dari hulu sampai ke hilir, dapat menimbulkan konflik kompetisi alokasi dan distribusi sumberdaya yang berakibat kontra produktif pada upaya peningkatan kesejahteraan.

Lebih lanjut Kerr (2007) menjelaskan pembangunan DAS menjadi komponen penting dalam pembangunan wilayah pedesaan dan strategi pengelolaan sumber daya di banyak Negara. Lebih lanjut pembangunan DAS meliputi tantangan sosial ekonomi dan teknis. Salah satu tantangan sosial ekonomi terbesar untuk keberhasilan pengelolaan DAS adalah mendistribusikan biaya dan manfaat secara merata, sebagai akibat variasi spasial dan keragaman kepentingan penggunaan sumberdaya alam. Untuk itu pembangunan DAS harus diupayakan tidak hanya untuk mengelola hubungan hidrologis, tetapi juga: a) melestarikan dan memperkuat basis sumberdaya dengan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya untuk konservasi, b) membuat pertanian dan sumberdaya lainnya menjadi lebih produkstif, dan c) mendukung mata pencaharian pedesaan untuk mengurangi dan mengentaskan kemiskinan.

Selanjutnya diperlukan adanya pelembagaan kerjasama untuk membuat pembangunan DAS bekerja (Kartodihardjo, 2006). Umumnya dalam mengelola konflik kepentingan, kegiatan yang memiliki manfaat besar dan cepat yang dipilih, namun dalam beberapa kasus pilihan menjadi sulit karena memerlukan waktu yang cukup untuk melihat manfaat tersebut. Oleh karena itu, perlu diciptakan mekanisme untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya sesuai kepentingan umum.

2.3 Peran Agroforestri dalam Penanggulangan Berbagai Isu Lingkungan