ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI PELAWI DI DESA PELAWI
KECAMATAN BABALAN KABUPATEN LANGKAT
SUMATERA UTARA
ENDAIYANA LIBERTYTA
100302066
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Analisis Kualitas Air Sungai Pelawi di Desa Pelawi Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Nama : Endaiyana Libertyta
NIM : 100302066
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing :
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Ani Suryanti, S.Pi, M.Si Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si
Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI PELAWI DI DESA PELAWI
KECAMATAN BABALAN KABUPATEN LANGKAT
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
ENDAIYANA LIBERTYTA
100302066
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI PELAWI DI DESA PELAWI
KECAMATAN BABALAN KABUPATEN LANGKAT SUMATERA
UTARA
SKRIPSI
ENDAIYANA LIBERTYTA
100302066
Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Endaiyana Libertyta
Nim : 100302066
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Kualitas Air Sungai Pelawi di
Desa Pelawi Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat Sumatera Utara” adalah
benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Medan, September 2014
ABSTRAK
ENDAIYANA LIBERTYTA. Analisis Kualitas Air Sungai Pelawi di Desa Pelawi Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Di bawah bimbingan YUNASFI DJAYUS dan ANI SURYANTI.
Sungai Pelawi merupakan salah satu sungai kecil di Kabupaten Langkat yang telah mengalami pencemaran. Adanya pencemaran di Sungai Pelawi dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan ekologi dari organisme perairan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air Sungai Pelawi berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni 2014 di perairan Sungai Pelawi Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Parameter fisika dan kimia air dianalisis dengan metode Storetberdasarkan baku mutu kualitas air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, sedangkan parameter biologi (makrozoobenthos) dianalisis dengan kurva Abudance and Biomass
Comparison (ABC). Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling dalam tiga stasiun yaitu stasiun 1 aktivitas pertanian,
stasiun 2 aktivitas domestik dan stasiun 3 aktivitas industri. Hasil penelitian berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi kualitas air di Sungai Pelawi menunjukkan perairan tercemar ringan hingga tercemar sedang. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, kriteria baku mutu air di Sungai Pelawi adalah Kelas II.
ABSTRACT
ENDAIYANA LIBERTYTA. The Pelawi River Water Quality in Pelawi Village Langkat Regency of North Sumatera. Under academic supervision of YUNASFI DJAYUS and ANI SURYANTI
Pelawi River is one of the minor rivers in the area of Langkat Regency which is influenced pollution. The contamination may disrupt the ecological balance of aquatic organisms. Therefore, the aims of this research studies to determine the water quality of Pelawi River in Pelawi Village based on physics, chemical and biology parameters. The research was conducted in April to June 2014 in the waters of Pelawi River in Langkat Regency of North Sumatera. Physics and chemical parameters were analyzed by the Storet method based on water quality standard required by Government Act No.82/2001, while biological parameters (macrozoobenthos) were analyzed by Abudance and Biomass Comparison (ABC) curve. The location of sampling sites was done by Purposive Random Sampling method in three core areas are station 1 (agriculture activity), station 2 (domestic activity) and station 3 (industry activity). The results shows based on physical, chemical and Biology parameters of water, the water quality of Pelawi River were classified slightly polluted until moderatelly polluted water. Relate of Government Act No.82/2001 that the water quality standard of Pelawi River is Class II.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 22 April 1992. Anak
ketiga dari tiga bersaudara dari Bapak Drs. M. Purba dan Ibu A.
br. Sembiring, Amd.Kep. Pendidikan formal yang telah ditempuh
penulis adalah pada tahun 2001 lulus dari SD Negeri 068008
Medan, pada tahun 2007 lulus dari SLTP Negeri 10 Medan dan
pada tahun 2010 lulus dari SMA Negeri 17 Medan. Pada tahun 2010 diterima di
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama
Perguruan Tinggi Negeri (UMB-PTN) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan. Penulis pernah magang di Balai Budidaya Ikan Kerasaan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus pada
tahun 2012. Penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juli sampai
dengan bulan Agustus 2013 di Balai Budidaya Laut Batam, Kepulauan Riau.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten praktikum mata
kuliah Pencemaran Perairan dan Pengolahan Limbah pada tahun ajaran 2013 – 2014.
Penulis juga aktif menjadi anggota IMASPERA (Ikatan Mahasiswa Manajemen
Sumberdaya Perairan) periode 2012 – 2013. Penulis juga aktif sebagai pengurus bidang
sosial IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo) periode 2012 – 2014 Fakultas Pertanian
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Skripsi ini berjudul Analisis Kualitas Air Sungai Pelawi di Desa Pelawi
Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat Sumatera Utara disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir.
Yunasfi, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Ibu Ani Suryanti,
S.Pi, M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan pengajaran yang
telah diberikan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih
juga penulis sampaikan kepada kedua orangtua penulis, Bapak Drs. M. Purba dan Ibu
A. br. Sembiring, Amd.Kep serta kepada saudara-saudara saya; Kakak Astrid Herrera
Purba, S.Kom dan Abang Chornelius Putra Purba SP yang telah memberikan doa, kasih
sayang, nasihat dan semangat kepada penulis.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis juga menyadari bahwa begitu banyak
bantuan yang telah diberikan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dharma Bakti, M.S selaku Dekan Fakultas
Pertanian. Kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku ketua Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan dan Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku sekretaris Program
Kepada seluruh dosen pengajar di Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara terkhusus kepada terkhusus
kepada Ibu Riri Ezraneti, S.Pi, M.Si, Ibu Desrita Tobeh, S.Pi, M.Si selaku Kepala
Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan dan juga kepada Kakak Nur
Asiah, Amd selaku staf tata usaha di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Lurah Desa Pelawi
Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian di Sungai Pelawi, kepada Bapak uda R. Pasaribu, S.Pd dan
Bibi G. Sembiring, S.Pd yang telah memberikan tempat bersinggah serta kepada Uwak
Udin yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian.
Terimaksih juga disampaikan kepada sahabat penulis Joel Elpinta Pranata
Tarigan yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis serta kepada seluruh
teman-teman MSP stambuk 2010 khususnya Theresia Jilfiola Sitinjak, Irma Silaban,
Latifah Sari Dalimunthe, Rizky Amalia Putri, Cherin Monalisa, Ruth Melisa, Ester
Nelya Tindaon, Rebeka Siahaan, Mariany Siagian, Riki Surbakti dan Ricky Suranta
Barus atas dukungannya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih semoga skripsi ini bermanfaat
bagi pihak yang membutuhkan dan untuk kepentingan penelitian selanjutnya.
Medan, September 2014
Kurva ABC (Abudance and Biomass Comparison) ... 28
Analisis Substrat ... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 32
Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 32
Kelimpahan dan Biomassa Makrozoobenthos ... 33
Kondisi Perairan berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia Perairan (Metode Storet) ... 34
Kondisi Perairan berdasarkan Parameter Biologi (Kurva ABC) ... 35
Pembahasan ... .. 37
Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... .. 37
Parameter Biologi (Makrozoobenthos) ... 45
Kondisi Perairan berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia Perairan (Metode Storet) ... 46
Kondisi Perairan berdasarkan Parameter Biologi (Kurva ABC) ... 47
Rekomendasi Pengelolaan Sungai Pelawi ... 48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50
Saran ... 50
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3
2. Lokasi Penelitian di Sungai Pelawi ... 24
3. Stasiun 1 (Aktivitas Pertanian) ... 26
4. Stasiun 2 (Aktivitas Domestik) ... 26
5. Stasiun 3 (Aktivitas Industri) ... 27
6. Kurva ABC, Posisi Kurva Biomassa dan Kurva Kepadatan untuk Penentuan Kualitas Benthos ... 30
7. Tipe Substrat berdasarkan Segitiga Millar ... 30
8. Makrozoobenthos yang ditemukan di Sungai Pelawi ... 30
9. Kurva ABC di Stasiun 1 Sungai Pelawi... 30
10. Kurva ABC di Stasiun 2 Sungai Pelawi ... 30
11. Kurva ABC di Stasiun 3 Sungai Pelawi ... 30
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Pengaruh pH terhadap Komunitas Biologi Perairan... 14
2. Pengukuran Parameter Fisika, Kimia, Biologi Perairan dan Metode ... 27
3. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air ... 28
4. Penentuan Status Mutu Air Berdasarkan Metode Storet ... 29
5. Komponen Kurva ABC ... 33
6. Nilai Parameter Fisika dan Kimia Perairan di Sungai Pelawi ... 33
7. Nilai Kepadatan (ind/m2) dan Biomassa (g/m2) Makrozoobenthos di Sungai Pelawi ... 34
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Nilai Parameter Fisika dan Kimia Sungai Pelawi ... 56
2. Hasil Penentuan Status Mutu Air Sungai Pelawi menurut Metode Storet ... 59
3. Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2), kepadatan relatif (%), Biomassa (g/m2), Biomassa Relatif (%), Ranking Spesies dan Persentase Kumulatif Makrozoobenthos di Sungai Pelawi ... 63
4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 64
5. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO ... 67
6. Bagan Kerja MetodeWinkler untuk Mengukur BOD5... 68
ABSTRAK
ENDAIYANA LIBERTYTA. Analisis Kualitas Air Sungai Pelawi di Desa Pelawi Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Di bawah bimbingan YUNASFI DJAYUS dan ANI SURYANTI.
Sungai Pelawi merupakan salah satu sungai kecil di Kabupaten Langkat yang telah mengalami pencemaran. Adanya pencemaran di Sungai Pelawi dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan ekologi dari organisme perairan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air Sungai Pelawi berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni 2014 di perairan Sungai Pelawi Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Parameter fisika dan kimia air dianalisis dengan metode Storetberdasarkan baku mutu kualitas air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, sedangkan parameter biologi (makrozoobenthos) dianalisis dengan kurva Abudance and Biomass
Comparison (ABC). Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling dalam tiga stasiun yaitu stasiun 1 aktivitas pertanian,
stasiun 2 aktivitas domestik dan stasiun 3 aktivitas industri. Hasil penelitian berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi kualitas air di Sungai Pelawi menunjukkan perairan tercemar ringan hingga tercemar sedang. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, kriteria baku mutu air di Sungai Pelawi adalah Kelas II.
ABSTRACT
ENDAIYANA LIBERTYTA. The Pelawi River Water Quality in Pelawi Village Langkat Regency of North Sumatera. Under academic supervision of YUNASFI DJAYUS and ANI SURYANTI
Pelawi River is one of the minor rivers in the area of Langkat Regency which is influenced pollution. The contamination may disrupt the ecological balance of aquatic organisms. Therefore, the aims of this research studies to determine the water quality of Pelawi River in Pelawi Village based on physics, chemical and biology parameters. The research was conducted in April to June 2014 in the waters of Pelawi River in Langkat Regency of North Sumatera. Physics and chemical parameters were analyzed by the Storet method based on water quality standard required by Government Act No.82/2001, while biological parameters (macrozoobenthos) were analyzed by Abudance and Biomass Comparison (ABC) curve. The location of sampling sites was done by Purposive Random Sampling method in three core areas are station 1 (agriculture activity), station 2 (domestic activity) and station 3 (industry activity). The results shows based on physical, chemical and Biology parameters of water, the water quality of Pelawi River were classified slightly polluted until moderatelly polluted water. Relate of Government Act No.82/2001 that the water quality standard of Pelawi River is Class II.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan sumberdaya alam yang mempunyai manfaat sangat penting bagi
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk memenuhi
seluruh kehidupan manusia jika tidak diimbangi dengan tindakan bijaksana dalam
pengelolaannya, akan mengakibatkan kerusakan pada sumberdaya air. Menurut Effendi
(2003), bahwa kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain akan berdampak negatif
terhadap sumberdaya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini
dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang
bergantung pada sumberdaya air.
Sungai merupakan salah satu sumberdaya air alami yang harus dijaga, karena
sangat rentan terhadap pengaruh masukan limbah akibat dari peningkatan aktivitas
antropogenik. Peningkatan aktivitas antropogenik di sungai telah sering dilaporkan
memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas air dan bagi kehidupan
organisme perairan yang hidup di dalamnya (Sudarso dkk., 2009).
Ada beberapa sungai yang terdapat di Kabupaten Langkat, satu diantaranya
yaitu Sungai Pelawi. Sungai Pelawi terletak di Desa Pelawi, Kecamatan Babalan,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jumlah penduduk yang berada di Desa Pelawi
kurang lebih sebanyak 12.399 orang. Sebanyak 1200 kepala keluarga memanfaatkan air
Sungai Pelawi melalui jasa PDAM milik daerah sebagai Badan Pengelola Penyaluran
Air dan jumlah penduduk yang memanfaatkan air sungai tersebut secara langsung
sebanyak 100 kepala keluarga. Sungai Pelawi merupakan sungai yang membelah kota
akhirnya akan mengalir ke Selat Malaka. Sungai ini merupakan cabang dari Sungai
Lepan yang berasal dari mata air Gunung Leuser (Kelurahan Pelawi, 2014).
Aktivitas antropogenik yang diperkirakan memberikan dampak penurunan
kualitas air di Sungai Pelawi berupa aktivitas pertanian, domestik dan industri.
Beragamnya aktivitas antropogenik yang terdapat di daerah aliran sungai tersebut
diperkirakan akan mengubah faktor fisika, kimia dan biologi perairan sehingga secara
langsung maupun tidak langsung akan berdampak negatif bagi makhluk hidup yang
memanfaatkannya.
Perubahan faktor fisika, kimia dan biologi pada akhirnya akan menurunkan
fungsi dan nilai ekosistem sungai bagi organisme yang hidup di dalamnya. Pengukuran
secara kualitatif maupun kuantitatif atas parameter fisika, kimia dan biologi suatu
perairan dapat menjelaskan kondisi kualitas suatu perairan. Dengan demikian, perlu
dilakukan penelitian tentang Analisis Kualitas Air Sungai Pelawi di Desa Pelawi
Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat Sumatera Utara.
Rumusan Masalah
Berbagai akivitas yang terdapat di Sungai Pelawi baik aktivitas domestik
maupun non domestik dapat mempengaruhi kualitas perairan tersebut. Limbah yang
dihasilkan dan masuk ke dalam perairan dapat menimbulakan pencemaran yang akan
berdampak pada kehidupan organisme perairan. Sampai saat ini kondisi fisika, kimia
dan biologi Sungai Pelawi belum diketahui. Padahal kondisi tersebut penting dipelajari
untuk mengetahui kualitas air suatu perairan. Perairan yang kualitasnya diketahui
berguna untuk menentukan cara pengelolaan dan pemanfaatan perairan tersebut. Bertitik
1. Apakah nilai kualitas air (parameter fisika dan kimia) Sungai Pelawi di Desa Pelawi
memenuhi baku mutu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001?
2. Berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi (makrozoobenthos), bagaimana
kualitas air Sungai Pelawi di Desa Pelawi?
Kerangka Pemikiran
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang diikuti dengan
meningkatnya aktivitas manusia di segala bidang, kondisi ini berpotensi menyebabkan
besarnya volume limbah yang masuk ke badan perairan dan akan menimbulkan
perubahan terhadap ekosistem di perairan. Limbah yang dihasilkan oleh aktivitas
pertanian, domestik dan aktivitas industri yang masuk ke dalam badan sungai berpotensi
mempengaruhi kondisi fisika dan kimia air sungai dan menyebabkan gangguan terhadap
kehidupan biota akuatik yang pada akhirnya dapat menimbulkan pencemaran. Menurut
Agustiningsih dkk., (2013), bahwa perubahan tata guna lahan yang ditandai dengan
meningkatnya aktivitas domestik, pertanian dan industri akan mempengaruhi dan
memberikan dampak terhadap kondisi kualitas air sungai. Dalam hal ini, dibutuhkan
data beberapa parameter fisika, kimia dan biologi air sehingga diketahui nilai kualitas
air Sungai Pelawi di Desa Pelawi. Berikut kerangka pemikiran yang digunakan dalam
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia dan biologi di
Sungai Pelawi, Desa Pelawi, Kabupaten Langkat.
2. Membandingkan nilai kualitas air (parameter fisika dan Kimia) tersebut dengan baku
mutu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 sehingga diketahui
kategori peruntukan dan strategi pengelolaannya. Sungai Pelawi
Pencemaran Sungai
Penurunan Kualitas Perairan Dampak terhadap Biota
Analisis Data
Strategi Pengelolaan Limbah Aktivitas Domestik
(Pemukiman)
Aktivitas Industri (Pabrik Latex) Aktivitas Pertanian
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas air
(parameter fisika, kimia dan biologi) Sungai Pelawi di Desa Pelawi bagi pihak yang
membutuhkan baik dalam bidang pendidikan, masyarakat dan instansi tertentu yang
TINJAUAN PUSTAKA
Perairan Sungai
Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang
bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis
(tergenang) seperti danau. Perairan ini dapat dibedakan atas perairan tawar, payau,
maupun asin (laut). Perairan darat meliputi sungai, rawa, danau, payau atau muara
sungai. Sungai merupakan salah satu perairan lotik (berarus cepat) yang dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti aktivitas alam dan aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai
(DAS). Menurut Undang-undang Nomor 07 Tahun 2004 tentang sumberdaya air, bahwa
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Sungai merupakan air permukaan yang bersifat mengalir. Air permukaan yang
ada seperti sungai dan danau banyak dimanfaatkan untuk keperluan manusia seperti
tempat penampungan air, alat transportasi, mengairi sawah dan keperluan peternakan,
keperluan industri, perumahan, sebagai daerah tangkapan air, pengendali banjir,
ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan dan juga sebagai tempat rekreasi.
Dilihat dari fungsinya sebagai tempat penampungan air maka sungai mempunyai
kapasitas tertentu dan dapat berubah karena kondisi alami maupun antropogenik
Pencemaran Sungai
Berbagai macam aktivitas pemanfaatan sungai seperti kegiatan perikanan,
pertanian, keperluan rumah tangga, industri dan transportasi pada akhirnya akan
memberikan dampak terhadap sungai antara lain penurunan kualitas air, hal ini
dikarenakan limbah yang dihasilkan dari berbagai macam kegiatan tersebut kebanyakan
dibuang ke sungai atau tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Sungai
mempunyai kemampuan untuk membersihkan diri (self purification) dari berbagai
sumber masukan limbah, akan tetapi jika melebihi kemampuan daya dukung sungai
(carrying capacity) akan menimbulkan masalah yang serius bagi perairan (Setiawan,
2009).
Pencemaran adalah perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat fisika, kimia dan
biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, pencemaran air adalah masuknya makhluk hidup, zat atau komponen
lain yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan perubahan tatanan air dan
menyebabkan penurunan kualitas air sehingga dapat merugikan bagi kehidupan
organisme air. Bahan pencemar umumnya berupa limbah, seperti limbah industri,
limbah pertanian dan limbah rumah tangga.
Bahan pencemar adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan
yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga
mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam
lingkungan, pencemaran dikelompokkan menjadi dua yaitu polutan alamiah dan polutan
Sumber-sumber pencemaran secara umum dapat dikategorikan menjadi point
source dan nonpoint source. Sumber pencemaran yang termasuk dalam point source
adalah berasal dari kegiatan industri, namun jenis dan jumlah bahan pencemar yang
dibuang ditentukan oleh jenis kegiatan industri tersebut. Sedangkan sumber pencemar
nonpoint source berasal dari berbagai sumber, seperti limbah yang mengalir dari
pemukiman serta kegiatan pertanian dan dalam prakteknya lebih sulit untuk ditampung
atau diolah terlebih dahulu (Setiana, 1996).
Sumber pencemar air berdasarkan karakteristik limbah yang dihasilkan dapat
dibedakan menjadi sumber limbah domestik dan sumber limbah non domestik.
Sumber limbah domestik umumnya berasal dari daerah pemukiman penduduk dan
sumber limbah non domestik berasal dari kegiatan seperti industri, pertanian, perikanan,
pertambakan atau kegiatan yang bukan berasal dari daerah pemukiman (Yuliastuti,
2011).
Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga). Limbah yang dihasilkan berupa sampah, air kakus
(black water) dan air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water).
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menyatakan limbah didefinisikan sebagai sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Menurut Effendi (2003), mengelompokkan bahan pencemar di perairan menjadi
beberapa kelompok yaitu, (1) limbah yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen
(3) senyawa organik sintetis, (4) nutrien tumbuhan, (5) senyawa anorganik dan
mineral, (6) sedimen, (7) radioaktif, (8) panas dan (9) minyak.
Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik
dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah
dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia,
sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang
ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah (Agusnar,
2008).
Menurut Mudarisin (2004), berdasarkan sumbernya jenis limbah cair yang dapat
mencemari perairan dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu:
1. Limbah cair domestik, yaitu limbah yang berasal dari pemukiman, tempat-tempat
komersial (perdagangan, perkantoran dan institusi) dan tempat-tempat rekreasi. Air
limbah domestik yang dihasilkan dari pemukiman umumnya berupa buangan limbah
cair dari kamar mandi, mencuci dan kakus. Limbah tersebut mengandung zat padat
yang terbagi atas 70 % zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan sisanya
berupa zat anorganik sebanyak 30 % berupa garam-garam, pasir dan logam.
2. Limbah cair industri, yaitu limbah cair yang dikeluarkan oleh industri sebagai akibat
dari proses produksi. Limbah cair ini dapat berasal dari air bekas pencuci, bahan
pelarut ataupun air pendingin dari industri-industri tersebut. Pada umumnya limbah
cair industri lebih sulit dalam pengelolaanya, hal ini disebabkan karena zat-zat yang
terkandung di dalamnya yang berupa bahan atau zat pelarut, mineral, logam berat,
zat-zat organik, lemak, garam-garam, zat warna, nitrogen, amoniak dan lain-lain
3. Limbah pertanian, yaitu limbah yang berasal dari kegiatan pertanian seperti
penggunaan pestisida, herbisida dan pupuk kimia yang berlebihan.
4. Infiltrasi, yaitu limbah yang berasal dari perembesan air yang masuk ke dalam dan
luapan dari sistem pembuangan air kotor.
Faktor Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Sungai
Faktor fisika dan kimia air merupakan parameter untuk menentukan kualitas
suatu perairan. Parameter fisika berupa suhu, kecerahan, kecepatan arus, kekeruhan,
tekstur substrat dan parameter kimia berupa DO, BOD, pH, NO3, NH3, PO4, Kalium
(K+) dan bahan organik (C) substrat. Secara alami keberadaan dan distribusi biota di
perairan sungai dipengaruhi oleh aktivitas manusia, terutama yang menyebabkan
perubahan faktor fisika dan kimia air, polusi dan pemasukan spesies baru ke dalam
badan air sungai. Suatu ekosistem dikatakan baik jika faktor biotik dan abiotiknya
saling mendukung.
Parameter Fisika
Suhu
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan.
Suhu juga berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik
memiliki kisaran suhu tertentu untuk pertumbuhannya (Effendi, 2003). Menurut
Fardiaz (1992), perubahan suhu akan menimbulkan beberapa dampak diataranya adalah
(1) jumlah oksigen terlarut dalam air menurun, (2) kecepatan reaksi kimia meningkat,
(3) kehidupan ikan dan organisme air lainnya akan terganggu, (4) menyebabkan
Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat yang diikuti dengan
penurunan kadar oksigen terlarut (Barus, 2004). Menurut Setiana (1996), suhu akan
mempengaruhi tingkat ketersediaan oksigen dan nutrien dalam air. Perubahan suhu akan
berpengaruh pula terhadap pola kehidupan dan aktivitas biologi dalam air, termasuk
pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya.
Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual
dengan menggunakan keping Secchi. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh kandungan
bahan-bahan halus yang terdapat dalam air baik berupa bahan organik seperti plankton,
jasad renik, detritus maupun bahan anorganik seperti partikel pasir dan lumpur. Prinsip
penentuan kecerahan air dengan keping Secchi adalah berdasarkan batas pandangan
kedalam air untuk melihat warna putih yang berada didalam air. Semakin keruh suatu
badan air akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya apabila semakin jernih
suatu badan air maka batas pandangan akan semakin jauh (Effendi, 2003).
Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam
air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi
dan terlarut, maupun bahan organik dan anorganik berupa plankton dan mikroorganisme
lain. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi,
misalnya proses respirasi dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, kekeruhan dalam ekosistem perairan berkisar 50 – 1000 mg/l.
Kecepatan Arus
Kecepatan arus suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemapuan badan
air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar. Kecepatan arus digunakan
untuk memperkirakan waktu suatu bahan pencemar akan mencapai suatu lokasi tertentu
(Effendi, 2003). Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran
organisme dan sumber makanan yang terdapat di perairan.
Substrat
Substrat dasar perairan merupakan salah satu faktor ekologis utama
yang akan mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Menurut
Yunitawati dkk., (2012), substrat dasar merupakan komponen yang sangat penting bagi
kehidupan organisme. Karakteristik substrat dapat mempengaruhi struktur komunitas
makrozoobenthos.
Keadaan substrat di perairan penting untuk diketahui. Kehidupan organisme air
juga bergantung pada bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Organisme yang hidup
pada substrat dasar suatu ekosistem air sangat tergantung pada tipe substrat dan
kandungan bahan organik yang terdapat dalam substrat tersebut. Oleh karena itu analisis
terhadap substrat baik berupa tipe maupun terhadap kandungan bahan organik penting
Parameter Kimia
pH
Sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
pH sekitar 6,5 sampai 8. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan,
misalnya proses nitrifikasi yang akan berakhir pada pH yang rendah (Effendi, 2003).
Menurut Effendi (2003), pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan yang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tebel 1. Pengaruh pH terhadap Komunitas Biologi Perairan
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 - 6,5
− Keanekaragaman plankton dan benthos sedikit menurun.
− Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas tidak mengalami perubahan.
5,5 - 6,0
− Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin tampak.
− Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti.
− Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral.
5,0 - 5,5
− Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar.
− Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomass zooplankton dan benthos.
− Algae hijau berfilamen semakin banyak.
4,5 - 5,0
− Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar.
− Penurunan kelimpahan total dan biomass zooplankton dan benthos.
− Algae hijau berfilamen semakin banyak. − Proses nitrifikasi terhambat.
Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH
netral, dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang
ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 – 8,5. Kondisi
perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan
metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi
amoniak yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).
DO (Disolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem
air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air
sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada
temperatur 0 oC sebesar 14,16 mg/l O
2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air
meningkat. Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 sampai 8 mg/l
(Barus, 2004).
Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian,
musiman, pencampuran masa air, pergerakan masa air, aktifitas fotosintesis, respirasi
dan limbah yang masuk ke badan air. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi
berbagai senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme akuatik.
BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang
diukur pada suhu 20 oC (Barus, 2004). Menurut Yuliastuti (2011), semakin tinggi
kandungan BOD dalam perairan mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah
tercemar. Kandungan BOD dikatakan masih rendah dan dapat dikategorikan sebagai
perairan yang baik apabila berkisar antara 0 – 10 mg/l.
Nitrat (NO3)
Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Keberadaan nitrat
di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri dan pemupukan
dalam air dapat menjadi tinggi di daerah yang terdapat aktivitas pemupukan yang
mengandung nitrogen (Alaerts, 1987 diacu oleh Silalahi, 2009).
Menurut Effendi (2003), nitrat dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
tingkat kesuburan perairan. Kadar nitrat pada perairan oligotrofik berkisar 0 – 1 mg/l,
perairan mesotrofik berkisar 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrofik berkisar 5 – 50 mg/l.
Amoniak (NH3)
Adanya amoniak merupakan indikator masuknya buangan permukiman.
Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara
mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk (Sastrawijaya, 2000).
Menurut Effendi (2003), keberadaan amoniak sangat tergantung pada kondisi pH dan
suhu perairan. Pada pH < 7 sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi sedangkan
pada pH > 7 amoniak tidak terionisasi sehingga bersifat toksik.
Fosfat (PO4)
Kandungan fosfat dalam perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali
pada perairan yang menerima limbah dari aktivitas rumah tangga dan industri tertentu
serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan
yang mengandung kadar fosfat yang tinggi akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi
(Perkins, 1974 diacu oleh Silalahi, 2009).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, bahwa kadar fosfat yang
diperkenankan sebagai bahan baku air minum adalah 0,2 mg/l. Kadar fosfat dalam
perairan alami umumnya berkisar antara 0,005 – 0,02 mg/l. Kadar fosfat melebihi 0,1
Kalium (K+)
Kalium termasuk unsur yang esensial bagi pertumbuhan tanaman dan hewan. Di
perairan, kalium terdapat dalam bentuk ion atau berikatan dengan ion lain membentuk
garam yang mudah larut. Kadar kalium pada perairan tawar alami biasanya kurang dari
10 mg/l. Rasio kadar kalium dan natrium yang terdapat di perairan alami adalah 1 : 2
hingga 1 : 3. Kadar kalium yang terlalu tinggi melebihi 2000 mg/l akan berbahaya bagi
makhluk hidup (Effendi, 2003).
Menurut Boyd (2001), ion kalium yang tidak diserap oleh tumbuhan akan tetap
dalam larutan atau berperan dalam reaksi pertukaran ion dengan sedimen. Konsentrasi
kalium di perairan alami biasanya berkisar antara 0,5 sampai 10 mg/l.
Bahan Organik (C) Substrat
Bahan organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein,
karbohidrat dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin dan
hormon juga ditemukan di perairan, tetapi hanya 10 % dari material organik tersebut
yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan. Kadar bahan organik adalah satu
hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar bahan
organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Tingginya kadar
bahan organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah
populasi hewan benthos. Sebagai organisme dasar, benthos menyukai substrat yang
kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya
terjadi peningkatan populasi hewan benthos (Lusianingsih, 2011).
Parameter Biologi
Salah satu komponen biotik perairan yang sering dikaji dampaknya dari adanya
Fauna tersebut merupakan komponen penting dalam uji biologis (bioassessment) guna
evaluasi keseluruhan kualitas dari sumber daya air, fungsi ekologis, ketersediaan pakan
untuk perikanan, maupun pengaruh spesifik dari aktivitas antropogenik. Pengaruh
aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya
konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem
perairan (Sudarso, 2009).
Pola penyebaran beberapa jenis benthos umumnya dipengaruhi oleh kecepatan
arus, kondisi fisika-kimia perairan dan kondisi substrat dasar perairan. Selain itu,
keberadaan dan kepadatan benthos juga dipengaruhi oleh makanan maupun tingkat
predasi pemangsanya. Sifat kimia perairan yang mempengaruhi keberadaan hewan
benthos adalah kandungan gas terlarut, kandungan bahan organik, pH dan kandungan
hara (Setyobudiandi dkk., 2009).
Makrozoobenthos sebagai Indikator Kualitas Air
Benthos dapat dijadikan bioindikator dalam penentuan kualitas suatu perairan.
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya dan
perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan
kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaan dan perilaku organisme
tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Triadmodjo,
2008).
Benthos digunakan sebagai bioindikator karena memiliki beberapa kelebihan,
(1) pergerakanya sangat terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel, (2)
spesiesnya kaya, memiliki beragam respon terhadap tekanan lingkungan, (3) sifatnya
kondisi air disekitarnya, (4) siklus hidupnya panjang dan (5) perubahan faktor-faktor
lingkungan akan mempengaruhi keanekaragaman komunitas benthos (Barus, 2004).
Makrozoobenthos merupakan organisme air yang sebagian besar atau seluruh
hidupnya berada di dasar perairan. Makrozoobenthos sering digunakan untuk menduga
ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimia dan biologi suatu badan perairan. Perairan
yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup makrozoobenthos karena
makrozoobenthos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan
pencemar, baik bahan pencemar fisik maupun kimia. Suatu perairan yang sehat atau
belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua
spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak
merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi (Odum, 1994 diacu oleh
Lusianingsih, 2011).
Menurut Odum (2005) diacu oleh Iswanti dkk., (2012), distribusi dan
keanekaragaman makrozoobentos dapat menunjukkan kualitas perairan sungai. Dalam
suatu perairan yang belum tercemar, jumlah individu relatif merata dari semua spesies
yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak
merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi. Makrozoobenthos salah satu
penyusun komponen biotik yang dapat menentukan kelangsungan ekosistem sungai di
masa yang akan datang.
Kriteria Baku Mutu Air
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa baku mutu
energi atau komponen yang ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup,
sedangkan baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat energi atau
komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam air.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi
4 (empat) kelas yaitu:
a. Kelas Satu (I), air yang peruntukannya digunakan sebagai bahan baku air minum
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
b. Kelas Dua (II), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana/ prasarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan, peternakan, pertanian dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
c. Kelas Tiga (III), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan, peternakan, pertanian dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
d. Kelas Empat (IV), air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pertanian dan atau
perutukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
Secara umum, tingkatan mutu air Kelas Satu (I) lebih baik dari Kelas Dua (II)
dan selanjutnya. Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan
peruntukannya. Air yang peruntukannya sebagai bahan baku air minum dapat diolah
dengan cara difiltrasi, disinfeksi dan di masak hingga mendidih. Klasifikasi mutu air
merupakan pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan
menjadi dasar untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu
air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu
(Silalahi, 2009).
Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada suatu sumber air,
yaitu diantaranya yang disajikan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air menggunakan
metode Storet.
Metode Storet (Storage and Retrieval)
Penentuan status mutu air dengan sistem Storet dimaksudkan sebagai acuan
dalam melakukan pemantauan kualitas air dengan tujuan untuk mengetahui mutu
(kualitas) suatu sistem akuatik. Penentuan status mutu air didasarkan pada analisis
parameter fisika, kimia dan biologi (Matahelumual, 2007).
Menurut Priyono dkk., (2013), berdasarkan permasalahan yang terjadi di Sungai
Surabaya perlu adanya penelitian pengaruh pencemaran limbah industri pabrik yang
terdapat di sepanjang Sungai Surabaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Storet.
Kurva ABC (Abudance and Biomass Comparison)
Metode kurva ABC merupakan salah satu metode yang prinsipnya melakukan
dijadikan sebagai alternatif penduga atau pendeteksi gangguan di suatu perairan seperti
komunitas benthos (Warwick, 1986).
Penambahan bahan pencemar di perairan akan mempengaruhi kelimpahan dan
biomassa. Perbedaan kelimpahan dan biomassa dari makrozoobenthos dapat
menjelaskan kondisi perairan. Bila rasio biomassa lebih tinggi dari rasio kelimpahan
maka perairan tersebut termasuk kelompok perairan yang tidak tercemar. Apabila rasio
biomassa lebih rendah dari rasio kelimpahan maka perairan tersebut termasuk perairan
yang tercemar berat.
Penghitungan biomassa makrozoobenthos dilakukan dengan cara memanaskan
sampel yang sudah diidentifikasi pada suhu ± 105 oC selama 2 x 24 jam hingga
diperoleh berat konstan, kemudian sampel dimasukkan ke dalam deksikator yang telah
berisi silika gel (zat hidroskopis). Setelah itu, sampel ditimbang menggunakan neraca
analitik. Data biomassa dan kelimpahan dari makrozoobenthos akan digunakan dalam
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2014 di
Sungai Pelawi Desa Pelawi, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Analisis laboratorium dilaksanakan
di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian,
Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian, Balai Riset dan Standardisasi
Industri Medan dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit
(BTKLPP) Kelas 1 Medan.
Gambar 2. Lokasi Penelitian di Sungai Pelawi, Desa Pelawi, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum Kabupaten Langkat, 2012).
LEGENDA
Skala 1 : 250.000
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah thermometer, keping Secchi,
pH meter, GPS (Global Positioning System), bola duga, Eckman grab, kantong plastik,
botol Winkler, labu Erlenmeyer, botol sampel, spuit, pinset, gelas ukur, kertas label,
kertas millimeter, tali, timbangan digital, kamera, stopwatch, oven dan cool box.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel air yang diukur
berdasarkan parameter fisika dan kimia, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum,
alkohol 96 %, aquades, alumunium foil, sampel substrat dan makrozoobenthos sebagai
parameter biologi yang diidentifikasi sebagai bioindikator kualitas perairan.
Prosedur Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah Purposive Random Sampling dengan
penetapan 3 (tiga) stasiun yakni stasiun 1 terdapat aktivitas pertanian (perkebunan
kelapa sawit), stasiun 2 terdapat aktivitas domestik (pemukiman penduduk) dan stasiun
3 terdapat aktivitas industri (pabrik latex).
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan interval waktu 2
(dua) minggu. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian lapangan yang
meliputi pengukuran beberapa parameter fisika, kimia dan biologi perairan yaitu suhu,
kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus, pH, DO, BOD5 serta analisis di laboratorium
meliputi kepadatan makrozoobenthos, tekstur substrat, C-Organik substrat, Nitrat
Deskripsi Stasiun Penelitian
Stasiun 1 : Sungai Pelawi di Desa Lama pada koordinat 4o 00' 02.29'' LU dan
98o 17' 44.31'' BT. Lokasi ini merupakan daerah dengan aktivitas
pertanian (perkebunan kelapa sawit) (Gambar 3).
Gambar 3. Stasiun 1
Stasiun 2 : Sungai Pelawi di Desa Pelawi Utara pada koordinat 4o 00' 15.90''
LU dan 98o 17' 58.79'' BT. Lokasi ini merupakan daerah dengan
aktivitas domestik (pemukiman penduduk) pada (Gambar 4).
Stasiun 3 : Sungai Pelawi di Desa Securai Utara pada koordinat 4o 00' 18.20''
LU dan 98o 18' 06.44'' BT. Lokasi ini merupakan daerah dengan
aktivitas industri (pabrik latex) (Gambar 5).
Gambar 5. Stasiun 3
Pengambilan Sampel Air dan Substrat
Pengambilan sampel air dilakukan pada kedalaman 30 cm dari permukan air dan
pada setiap titik diambil sebanyak 1000 ml sampel air dan dimasukkan ke dalam botol
polyetilen. Menurut Anwar (2007), bahwa pengambilan sampel air dilakukan pada
kedalaman 30 cm dari permukan air dan setiap titik diambil sebanyak 1000 ml sampel
air yang dimasukkan dalam gelas penampung yang dilengkapi dengan penutup. Sampel
air yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam coolbox dan di bawa ke
laboratorium untuk dianalisis.
Pengambilan substrat dilakukan menggunakan Eckman grab dengan mengeruk
substrat dasar perairan. Sampel substrat yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik untuk dianalisis tekstur substrat dan C-Organik substrat di Laboratorium
Pengambilan Sampel Makrozoobenthos
Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan Eckman
grab pada setiap stasiun pengamatan. Makrozoobenthos yang diperoleh di masukkan ke
dalam kantong plastik yang telah diberi label data stasiun pengamatan.
Makrozoobenthos kemudian diawetkan menggunakan alkohol 96 %. Sampel
diidentifikasi di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan. Setelah itu
dilakukan penghitungan jumlah individu setiap jenis per satuan luas (ind/m2) dan berat
kering (biomassa) per satuan luas (g/m2).
Analisis Data
Metode Storet (Storage and Retrieval)
Metode Storet merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air
pada setiap stasiun pengamatan. Metode Storet dihitung dengan mengikutsertakan data
analisis semua parameter kualitas air yang diperoleh dan dibandingkan dengan baku
mutu air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.
Analisis data kualitas air dengan metode Storet (Storage and Retrieval)
dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan pengumpulan data kualitas air secara periodik sehingga membentuk data
dari waktu ke waktu (time series data).
2. Membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan
nilai baku mutu yang sesuai dengan peruntukannya.
3. Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka
4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu (hasil pengukuran > baku mutu)
maka diberi skor tertentu sesuai dengan sistem dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air (Canter, 1977 diacu oleh Kep Men LH Nomor 115 Tahun 2003).
Ket *) : Jumlah Pengamatan (series data) yang digunakan dalam penentuan status mutu air
5. Jumlah skor dari seluruh parameter dihitung, selanjutnya dari total skor dapat
ditentukan status mutu perairan dengan menggunakan sistem skor untuk mengetahui
status kriteria mutu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Penentuan Status Mutu Air berdasarkan Metode Storet
Skor Kriteria
0 Memenuhi Baku Mutu
-1 s/d -10 Tercemar Ringan -11 s/d -30 Tercemar Sedang
≥ -31 Tercemar Berat
Kurva ABC (Abudance and Biomass Comparison)
Metode kurva ABC merupakan salah satu metode yang prinsipnya melakukan
perbandingan antara kepadatan dan biomassa makrozoobenthos. Metode kurva ABC
memerlukan data biomassa (berat kering) dari sampel makrozoobenthos. Sampel
dipanaskan pada suhu ± 105 oC selama 2 x 24 jam hingga diperoleh berat kering
konstan. Metode kurva ABC dilakukan pada setiap stasiun melalui tahapan pembuatan
a. Membuat daftar jumlah individu per satuan luas atau kepadatan (ind/m2) dan
total biomassa per satuan luas (g/m2) dari masing-masing jenis
makrozoobenthos.
• Biomassa (Berat kering) Relatif (BR)
BR =B suatu spesies
B Total X 100%
b. Membuat ranking masing-masing jenis berdasarkan persentase relatif jumlah
individu per satuan luas (ind/m2) dan total biomassa per satuan luas (g/m2).
Kemudian setiap jenis makrozoobenthos dibuat persentase kumulatif total
kepadatan (ind/m2) dan total biomassa per satuan luas (g/m2), sehingga terbentuk
persen kumulatif dominan.
c. Data ranking jumlah individu per satuan luas (ind/m2) dan total biomassa per
satuan luas (ind/m2) diplotkan pada sumbu X dalam bentuk logaritma,
sedangkan sumbu Ydiplotkan data persentase kumulatif dominan dari jumlah
Kurva ABC menghubungkan kepadatan dan biomassa makrozoobenthos dengan
beberapa komponen yang dianalisis untuk membuat kurva dan mengetahui kategori
kualitas makrozoobenthos dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komponen Kurva ABC
Komponen Satuan
Jumlah Individu per Satuan Luas
Kepadatan ind/m2
Kepadatan Relatif %
Ranking Spesies -
Persentase Kumulatif %
Berat Individu per Satuan Luas
Biomassa g/m2
Biomassa Relatif %
Ranking Spesies -
Persentase Kumulatif %
Gambar 7. Kurva ABC, Posisi Kurva Biomassa dan Kurva Kepadatan untuk Penentuan Kualitas Benthos (Warwick, 1986).
Berdasarkan bentuk kurva ABC yang diperlihatkan (Gambar 7), kondisi perairan
dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori:
1. Baik : Kurva biomassa per satuan luas berada di atas kurva
2. Sedang : Kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah individu
per satuan luas saling tumpang tindih.
3. Buruk : Kurva biomassa per satuan luas berada di bawah kurva
jumlah individu per satuan luas.
Analisis Substrat
Tipe substrat dianalisis berdasarkan perbandingan pasir, liat dan debu pada
Segitiga Millar menurut Brower dan Zar (1990) diacu oleh Rahayu (2009):
Gambar 6. Tipe Substrat berdasarkan Segitiga Millar
Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu:
1. Ditentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi pasir 57
2. Ditarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 57 % sejajar dengan sisi
persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu dititik 27 %
sejajar dengan sisi persentase liat dan ditarik garis lurus pada sisi persentase liat 15
% sejajar dengan sisi persentase pasir.
3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Hasil penelitian parameter fisika dan kimia perairan memiliki nilai bervariasi
yang diperoleh dari hasil pengukuran yang terdapat pada Lampiran 1, tetapi tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara masing-masing stasiun. Hasil analisis
parameter fisika dan kimia perairan pada masing-masing stasiun di Sungai Pelawi dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai rata-rata Parameter Fisika dan Kimia Perairan di Sungai Pelawi
Parameter Satuan Baku Mutu Kelas- Stasiun
I II III IV 1 2 3 *Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
Nilai tekstur substrat yang diperoleh berbeda pada masing-masing stasiun
pengamatan. Kandungan C-Organik substrat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar
1,547 % dan terendah 0,973 % terdapat pada stasiun 1. Nilai tekstur substrat dan
C-Organik substrat dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Tekstur Substrat dan C-Organik Substrat di Sungai Pelawi
Stasiun Tekstur Substrat Tekstur Substrat C-Organik Substrat (%) Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Kelimpahan dan Biomassa Makrozoobenthos
Berdasarkan hasil identifikasi makrozoobenthos yang ditemukan pada saat
pengamatan di Sungai Pelawi terdiri atas 4 (empat) kelas meliputi 8 (delapan) genus
yaitu kelas Bivalvia; Corbicula (Gambar 19a), Sphaerium (Gambar 19b), kelas
Crustacea; Parathelphusa (Gambar 19c), Palaemonetes (Gambar 19d), kelas
Gastropoda; Pomacea (Gambar 19e), Vitta (Gambar 19f), kelas Oligochaeta; Tubifex
(Gambar 19g), Glossiphonia (Gambar 19h).
Hasil perhitungan total kepadatan (ind/m2) dan biomassa (g/m2)
makrozoobenthos di Sungai Pelawi dapat dilihat pada Tabel 8.
Gambar 19. Makrozoobenthos yang ditemukan di Sungai Pelawi (a) Corbicula (b) Sphaerium (c) Parathelphusa (d) Palaemonetes (e) Pomacea (f) Vitta (g) Tubifex (h) Glossiphonia
Kondisi Perairan berdasarkan Parameter Fisika dan Kimia Perairan (Metode Storet)
Hasil kualitas air berdasarkan parameter fisika dan kimia perairan di Sungai
Pelawi menggunakan metode Storet sesuai baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 (Lampiran 7) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kualitas Fisika dan Kimia Air di Sungai Pelawi Kabupaten Langkat
Kelas Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Skor Kualitas Air Skor Kualitas Air Skor Kualitas Air
Kondisi Perairan berdasarkan Parameter Biologi Perairan (Kurva ABC)
Analisis kualitas air yang ditentukan dari nilai parameter biologi perairan dapat
digambarkan menggunakan kurva ABC. Analisis kurva ABC digunakan untuk
mengetahui kondisi lingkungan dengan cara menganalisis total kepadatan (ind/m2) dan
biomassa dari makrozoobenthos (g/m2) (Lampiran 3). Nilai yang digunakan adalah
persentase kumulatif kepadatan dan biomassa makrozoobenthos.
Hasil analisis menggunakan kurva ABC, pada stasiun 1 menggambarkan kondisi
perairan tidak tercemar dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Kurva ABC di Stasiun 1 Sungai Pelawi
Pada stasiun 2 menggambarkan kondisi perairan tercemar sedang dapat dilihat
pada Gambar 21.
Pada stasiun 3 menggambarkan kondisi perairan tercemar sedang dapat dilihat
pada Gambar 22.
Pembahasan
Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Berdasarkan hasil pengamatan pada 3 stasiun, tiap stasiun memiliki nilai suhu
yang berbeda-beda. Stasiun 1 memiliki nilai suhu berkisar antara 27 – 28 oC dengan
nilai rata-rata 27,33 oC. Stasiun 2 memiliki nilai suhu berkisar antara 27 – 28 oC dengan
nilai rata-rata 28,33 oC. Stasiun 3 memiliki nilai suhu berkisar antara 28 – 29 oC dengan
nilai rata-rata 28,66 oC (Tabel 6). Suhu pada masing-masing stasiun masih tergolong
suhu air normal. Keadaan suhu pada tiap stasiun masih dalam ambang batas baku mutu
air berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 yang mensyaratkan suhu
air normal memiliki deviasi 3 dari keadaan suhu udara sekitar. Menurut Effendi (2003),
kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18 – 30 oC.
Nilai rata-rata suhu tertinggi selama pengamatan terdapat pada stasiun 3 yaitu
28,66 oC. Pengukuran suhu pada stasiun 3 dilakukan pada pukul 11.00 WIB, intensitas
sinar matahari cukup tinggi sehingga meningkatkan suhu permukaan perairan. Menurut
Brehm dan Meijering (1990) diacu oleh Barus (2004), pola suhu ekosistem perairan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara disekelilingnya dan juga faktor kanopi (tutupan oleh vegetasi) dari
pepohonan yang tumbuh di tepi perairan.
Hasil pengukuran kecerahan di Sungai Pelawi berkisar antara 35 – 40 cm (Tabel
6). Nilai kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 2 dan kecerahan terendah terdapat
pada stasiun 3. Sungai Pelawi termasuk pada tingkat kecerahan yang rendah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Akrimi dan Gatot (2002) diacu oleh Alamanda dkk., (2012),
kecerahan air < 100 cm tergolong dalam tingkat kecerahan rendah. Rendahnya
pertanian, pemukiman penduduk dan pabrik pengolahan latex yang menghasilkan
bahan-bahan terlarut dan bahan organik sehingga daya penetrasi matahari semakin
berkurang untuk menembus badan perairan. Menurut Asra (2009), kegiatan pembukaan
lahan seperti adanya aktivitas pertanian maupun industri menyebabkan terbawanya
bahan padatan terlarut sebagai produk proses erosi sehingga akan meningkatkan
konsentrasi kekeruhan yang akan mengurangi penetrasi cahaya dalam perairan.
Hasil pengukuran kekeruhan perairan selama pengamatan di Sungai Pelawi
berkisar 4,03 – 6,13 NTU (Tabel 6). Nilai rata-rata kekeruhan tertinggi terdapat pada
stasiun 1 dan terendah terdapat pada stasiun 2. Tingginya kekeruhan pada stasiun 1
disebabkan waktu pengamatan dilakukan pada musim penghujan sehingga perairan
menjadi keruh akibat limpasan (run-off) yang terbawa dari darat ke dalam sungai.
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2014), data curah hujan di
Kabupaten Langkat pada bulan Juni memiliki intensitas curah hujan ringan. Menurut
Sudarso dkk., (2013), adanya limpasan (run-off) dari area persawahan dan perkebunan
akan meningkatkan bahan-bahan organik ke sungai. Pengamatan terhadap kecerahan
dan kekeruhan perairan dapat menggambarkan kualitas perairan di Sungai Pelawi yang
akan mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Menurut Effendi (2003), kekeruhan
yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan.
Hasil pengukuran kecepatan arus berkisar antara 0,124 – 0,208 m/detik (Tabel
6). Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan kategori berarus sedang dan
kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 3 dengan kategori berarus lambat.
Menurut Macon dan Welch (1980) diacu oleh Yunitawati dkk., (2012), tipe arus
berdasarkan kecepatannya, yaitu berarus sangat cepat jika kecepatan arus > 1 m/detik,
lambat 0,1 – 0,2 m/detik, dan berarus sangat lambat yaitu < 0,1 m/detik. Kecepatan arus
akan mempengaruhi faktor lingkungan seperti oksigen terlarut, kecerahan, suhu,
karakteristik organisme perairan, tingkat sedimentasi dan pencemaran. Menurut Odum
(1971) diacu oleh Fisesa dkk., (2014), pengendapan partikel lumpur di dasar perairan
tergantung pada kecepatan arus, apabila arus lemah maka yang akan mengendap adalah
lumpur halus. Pergerakan air yang lambat menyebabkan partikel-partikel halus
mengendap, detritus melimpah dan kandungan bahan organik tinggi.
Hasil pengukuran pH di perairan Sungai Pelawi yaitu berkisar antara 5,6 – 6,8
(Tabel 6). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 sesuai kriteria baku
mutu air, nilai pH air normal adalah berkisar 6 – 9. Nilai pH pada stasiun 3 yaitu 5,6
yang termasuk ke dalam kategori perairan asam. Hal ini disebabkan adanya pabrik
pengolahan latex yang menggunakan larutan asam sehingga sebagian kecil dari
pencucian latex tersebut masuk ke dalam badan sungai. Menurut Sari (2009), air
buangan yang berasal dari pengolahan latex di salah satu pabrik pengolahan karet di
Medan, berbau dan mengandung asam asetat. Hal ini erat kaitannya dalam proses
koagulasi latex maupun pada proses pencucian koagulan latex tersebut. Zat asam akan
tercampur bersama air bekas cucian yang terbuang bersama limbah. Nilai pH yang
dihasilkan umumnya sekitar 3 – 5. Kondisi ini akan mempengaruhi keberadaan
organisme yang hidup di Sungai Pelawi. Menurut Mushthofa dkk., (2014), pada pH
optimum organisme akan bertahan, sebaliknya jika pH perairan terlalu tinggi atau
terlalu rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup dari organisme perairan. Nilai pH
optimum yang disukai oleh organisme perairan yaitu sekitar 7 – 8,5.
Kandungan oksigen terlarut padamasing-masing stasiun diperoleh nilai rata-rata
1 dan kandungan oksigen terendah terdapat pada stasiun 3. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 batas oksigen terlarut minimal yang diizinkan agar
dapat memenuhi kriteria mutu air Kelas I dan Kelas II adalah 6 mg/l. Dari hasil
pengukuran, menunjukkan kandungan oksigen terlarut di Sungai Pelawi tidak
memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Rendahnya kandungan oksigen terlarut
pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan adanya senyawa organik serta senyawa
anorganik yang berasal dari aktivitas di sekitar aliran sungai sehingga menyebabkan
terjadinya proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme yang berlangsung
secara aerob.
Menurut Yunitawati dkk., (2012), rendahnya kandungan oksigen terlarut di
perairan disebabkan adanya masukan limbah organik yang berasal dari aktivitas
masyarakat di sekitar sungai sehingga oksigen terlarut banyak digunakan oleh
mikroorganisme dalam proses oksidasi yang terdapat dalam perairan. Menurut
Alamanda dkk., (2012), tinggi rendahnya oksigen terlarut dalam perairan juga
dipengaruhi oleh faktor suhu, tekanan dan konsentrasi berbagai ion yang mudah
teroksidasi dalam perairan.
Hasil pengukuran BOD5 di Sungai Pelawi menunjukkan nilai rata-rata berkisar
antara 0,53 – 0,93 mg/l (Tabel 6). Nilai BOD5 terendah terdapat di stasiun 1 dan nilai
tertinggi terdapat di stasiun 3. BOD5 adalah banyaknya oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme pengurai selama lima hari untuk mendekomposisi bahan organik yang
berada di perairan. Adanya perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun pengamatan
disebabkan oleh jumlah bahan organik dan senyawa kimia yang masuk ke dalam
perairan berbeda pada tiap stasiun. Nilai BOD5 pada stasiun 3 lebih tinggi disebabkan