LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
HAJI ADAM MALIK MEDAN
OLEH:
JAMUDA J. W. TARIGAN, S. Farm NIM 063202112
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
OLEH:
JAMUDA J. W. TARIGAN, S.Farm NIM: 063202112
Medan, Juli 2008 Diketahui oleh:
Pembimbing
Dr. Karsono, Apt. Dra. Helena Gultom, Apt.
Staf Pengajar Fakultas Farmasi USU Staf Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik Medan
Disetujui oleh:
Ka. Pokja Farmasi Klinis RSUP H. Adam Malik
Dra. Musniarti Muis, Apt. NIP: 140 106 637
Disahkan oleh:
Dekan Fakultas Farmasi USU Medan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan,
kekuatan, dan kebijaksanaan dalam penyelesaian Praktik Kerja Profesi di Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik..
Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang tulus kepada:
1. Ibu Dra. Helena Gultom, Apt., sebagai pembimbing yang telah banyak
memberikan waktu untuk membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan
ikhlas selama pelaksanaan Praktik Kerja Profesi ini.
2. Bapak Dr. Karsono, Apt., sebagai pembimbing yang telah banyak
memberikan waktu dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian
laporan Praktik Kerja Profesi ini.
3. Ibu Kepala Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan
yang diberikan selama Praktik Kerja Profesi ini.
4. Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk melaksanakan Praktik Kerja Profesi ini di
RSUP H. Adam Malik medan.
5. Bapak Dekan Fakultas Farmasi USU atas segala bimbingan yang diberikan
kepada Penulis untuk melaksankan Praktik Kerja Profesi ini.
6. Seluruh Pegawai dan Staf Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik Medan atas
segala bantuan yang diberikan kepada Penulis selama pelaksanaan Praktik
7. Rekan-rekan mahasiswa Apoteker Fakultas Farmasi USU yang telah banyak
memberikan bantuan dan semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan
Praktik Kerja Profesi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan Praktik Kerja Profesi di
RSUP H. Adam Malik Medan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi
ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Farmasi.
Medan, Nopember 2007 Penulis
DAFTAR ISI
Hal.
JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... v
DAFTAR LAMPIRAN... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3
2.1 Kanker Rektum ... 3
2.1.1 Etiologi... 3
2.1.2 Patofisiologi ... 5
2.1.3 Diagnosis... 6
2.1.4 Pemeriksaan ... 8
2.2 Diare Kronik ... 8
2.2.1 Etiologi... 9
2.2.2 Patofisiologi ... 11
2.2.3 Diagnosa... 12
2.2.4 Pemeriksaan ... 13
BAB III PROSEDUR DAN PELAKSANAAN DIAGNOSTIK ... 18
3.1 Studi Kasus ... 18
3.1.1 Identitas Pasien ... 18
3.1.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUP H. Adam Malik Medan ... 18
3.2 Pemeriksaan yang dilakukan... 19
3.3 Diagnosa Penyakit... 20
3.4 Terapi ... 21
BAB IV PEMBAHASAN... 22
BAB V KESIMPULAN ... 26
5.1 Lembar PPOSR ... 26
5.2 Rekomendasi Untuk DokterSaran... 26
5.3 Informasi obat dan konseling untuk pasien/ keluarga... 26
DAFTAR PUSTAKA ... 27
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Diagnosa Dan Terapi ... 28
Lampiran 2. Tinjauan umum tentang obat ... 30
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan tanpa
memandang kemampuan membayar. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu
unsur penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang
berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau bagi masyarakat.
Salah satu kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pelayanan
farmasi yang berada di bawah naungan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS).
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan
obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi,
mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented)
ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi “Pharmaceutical care”
(pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan
terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan
masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.
Upaya peningkatan sumber daya manusia untuk ditempatkan sebagai
tenaga kesehatan, salah satunya adalah praktek kerja profesi bagi calon apoteker.
Praktek kerja profesi (PKP) ini dilaksanakan di beberapa instansi diantaranya
adalah di rumah sakit, yaitu di RSUP H. Adam Malik Medan. Berdasarkan
klasifikasi rumah sakit umum RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah
sakit kelas A, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medis spesialistik luas dan sub spesialistik luas. Selain sebagai tempat
pelayanan juga berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan mahasiswa di bidang
kesehatan.
Praktek kerja profesi ini meliputi:
1. Penerimaan materi mengenai RSUP H. Adam Malik Medan secara umum,
Instalasi Farmasi, Instalasi Gas Medis dan Instalasi Sterilisasi Pusat (ISP).
2. Peninjauan beberapa kelompok kerja (Pokja) dan depo farmasi yang
merupakan bagian dari Instalasi Farmasi dengan memperhatikan peranan
apoteker pada bagian tersebut.
3. Pelaksanaan studi kasus di Rawat Inap Terpadu (Rindu) A dan mengikuti
kegiatan visite tenaga medis sebagai pendekatan peranan farmasi klinis.
1.2Tujuan
Setelah pelaksanaan PKP ini diharapkan para calon apoteker dapat
memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas mengenai tugas dan fungsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kanker Rektum
2.1.1Etiologi
Usus besar adalah bagian dari sistem pencernaan. Sistem pencernaan
dimulai dari mulut, lalu kerongkongan (esophagus), lambung, usus halus, usus
besar (kolon), rektum dan berakhir di dubur. Usus besar terdiri dari kolon dan
rektum. Rektum merupakan saluran di atas dubur. Bagian rektum yang
berhubungan dengan kolon disebut dengan kolon sigmoid
(http://id.wilkipedia.org, 2007).
Usus besar berbentuk saluran seperti tabung, dimana pada bagian
dalamnya berupa suatu rongga. Dindingnya terdiri dari beberapa lapisan berupa
lapisan bagian dalam yang disebut mukosa, dan bagian yang mengarah keluar
berupa lapisan otot, dan bagian paling luar adalah lapisan pembungkus usus yang
disebut serosa. Fungsi usus besar adalah menyerap air, vitamin dan elektrolit,
eskresi mucus, serta menyimpan feces (tinja) dan kemudian mendorongnya keluar
melalui rektum dan dubur (Heriady, 2002)
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis
lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan
(invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan
yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan oleh DNA, sehingga
menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa
Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut
karsinogen.
Mutasi dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (mutasi germline).
Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada
lokasinya dan karakter dari keganasan dan metastasis. Sebuah diagnosis yang
menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang
diperoleh dengan biopsi (http://id.wilkipedia.org, 2007).
Kanker pada rektum disebut dengan kanker rektum, kanker padan kolon
disebut dengan kanker kolon, dan bila mengenai keduanya disebut dengan kanker
kolorektal. Kanker kolorektal umumnya mulai tumbuh pada permukaan bagian
dalam (mukosa) yang mengarah ke dalam rongga. Pada stadium awal dimana
kanker masih berukuran kecil, maka tidak akan pernah ada gejala yang dirasakan
oleh penderita, dan juga tidak akan teraba adanya benjolan karena letaknya yang
berada di dalam usus (Heriady, 2002).
Kanker kolorektal biasanya terjadi pada umur 40 tahun dan puncaknya
pada umur 60-75 tahun. Kanker ini jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun,
kecuali pada orang dengan riwayat kolitis ulseratif atau poliposis familial. Kanker
kolon lebih sering terjadi pada wanita, sedangkan kanker rektum lebih sering
terjadi pada pria. Kira-kira 60% dari semua kanker usus terjadi pada bagian
rektosigmoid, sehingga dapat teraba pada pemeriksaan rektum atau terlihat pada
sigmoidoskopi (Price, 1995).
Secara histologis, hampir semua kanker usus besar adalah
adrenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang
1. Secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan.
2. Melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon,
3. Melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke
sistem portal.
Adapun tingkat bahaya dari kanker kolorektal dapat dibagi atas:
1. Stadium 1 : kanker hanya terjadi pada bagian dinding usus saja
2. Stadium 2 : kanker menjalar ke bagian mukosa dan lapisan muskularis
mukosa
3. Stadium 3 : kanker menyebar ke kelenjar getah bening
4. Stadium 4 : kanker sudah menyebar jauh.
2.1.2Patofisiologi
Walaupun penyebab kanker usus besar secara umum belum diketahui,
beberapa faktor predisposisi telah dicurigai sebagai penyebab kanker usus besar.
Hubungan antara kolitis ulseratif, yaitu jenis polip kolon terntentu, dengan kanker
usus besar telah diteliti. Faktor predisposisi penting lainnya mungkin berhubungan
dengan kebiasaan makan, karena kanker usus besar terjadi 10 kali lebih banyak
pada penduduk di dunia barat, yang mengkonsumsi lebih banyak makanan yang
mengandung karbohidrat dan rendah serat kasar (Price, 1995).
Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang akan rentan
terkena kanker kolorektal, yaitu:
- Usia, umumnya kanker kolorektal menyerang lebih sering pada usia tua. Lebih
dari 90% penyakit ini menimpa penderita di atas usia 50 tahun dan sekitar 3%
- Polip kolorektal, adalah pertumbuhan tumor pada dinding sebelah dalam usus
besar dan rektum. Kebanyakan polip ini adalah tumor jinak, tetapi sebagian
dapat berubah menjadi kanker.
- Riwayat kanker kolorektal pada keluarga, bila keluarga dekat yang terkena,
maka resiko untuk terkena kanker ini menjadi lebih besar, terutama bila
keluarga yang terkena tersebut terserang kanker pada usia muda.
- Kelainan genetik, perubahan gen tertentu akan meningkatkan resiko terkena
kanker kolorektal. Bentuk yang paling sering dari kelainan gen yang dapat
menyebabkan kanker ini adalah hereditary nonpolyposis colon cancer
(HNPCC).
- Radang usus besar, berupa kolitis ulseratuf yang menyebabkan peradangan pada
usus untuk jangka waktu yang lama, akan meningkatkan resiko terserang kanker
kolorektal.
- Diet, makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendan kalsium, folat
dan rendah serat, jarang makan sayuran dan buah-buahan, sering minum
alkohol, akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal.
- Merokok, dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker ini
("http://id.wikipedia.org, 2007).
2.1.3Diagnosis
Seperti kanker lainnya, pemeriksaan penyaring rutin, membantu penemuan
dini dari kanker kolorektal. Tinja diperiksa secara mikroskopik untuk menghitung
jumlah darah. Untuk membantu meyakinkan hasil pemeriksaan yang tepat,
sampel tinja. Bila pemeriksaan penyaring ini menunjukkan kemungkinan kanker,
dibutuhkan pemeriksaan lanjutan. Sebelum dilakukan endoskopi, usus
dikosongkan, seringkali dengan menggunakan pencahar dan beberapa enema.
Sekitar 65% kanker kolorektal dapa dilihat dengan sigmoidoskop. Bila terliaht
polip yang mungkin ganas, seluruh usus besar diperiksa dengan kolonoskopi,
yang daya jangkaunya lebih panjang. Pemeriksaan darah dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Pada 70% orang yang menderita kanker kolorektal, kadar
antigen karsinoembriogenik dalam darahnya tinggi. Bila sebelum kanker diangkat
kadar antigen ini tinggi, maka sesudah pembedahan kadarnya bisa turun. Pada
pemeriksaan berikutnya, kadar antigen ini diukur kembali, jika kadarnya
meningkat berarti kanker telah kambuh kembali (http://www. mediacastore,
2004).
Penderita kanker kolorektal dapat mengalami beberapa gejala dan
simptom seperti dibawah ini:
- Perubahan frekwensi buang air besar, seperti halnya pada penderita diare dan
konstipasi.
- Adanya darah pada feces atau pendarahan pada rektum.
- Perasaan tidak nyaman pada bagian perut.
- Pembengkakan.
- Penurunan berat badan yang tidak direncanakan atau tidak diketahui
penyebabnya.
- Kelelahan yang kronis.
2.1.4Pemeriksaan
Tes khusus untuk mengevaluasi kanker kolorektal dapat digunakan untuk
mendeteksi dan mendiagnosis kanker kolorektal seperti:
- Tes fisik untuk menilai kesehatan secara menyeluruh, termasuk tes digital
rektum untuk mengevaluasi massa yang tidak normal.
- Tes darah
- Sigmoidodoskopi untuk melihat polip atau sel kanker pada bagian dalam
rektum dan sigmoid kolon.
- Barium enema kontras ganda, dimana kolon dan rektum dites dengan
menggunakan sinar-X untuk melihat bagian dalam.
- Kolonoskopi
(www.astro.org, 2007).
2.2Diare Kronik
Diare adalah suatu keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran buang
air besar. Kekerapan yang masih dianggap normal adalah sekitar 1-3 kali dan
banyaknya 200-500 gram sehari. Beberapa penderita mengalami peningkatan
kekerapan dan keenceran buang air besar walaupun jumlahnya kurang dari 250
gram dalam kurun waktu sehari.
Diare kronik atau diare berulang adalah suatu keadaan bertambahnya
kekerapan dan keenceran tinja yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau
berbulan-bulan baik secara terus-menerus atau berulang, dapat berupa gejala
fungsional atau akibat suatu penyakit berat. Oleh sebab itu penting untuk
menurun, malnutrisi, anemia dan meningginya laju endap darah. Demam disertai
defense otot perut menunjukkan adanya proses radang pada perut.
Diare kronik seperti yang dialami seseorang penderita penyakit Crohn
mula-mula dapat berjalan seperti serangan akut dan sembuh sendiri. Sebaliknya
suatu serangan akut seperti diare karena penyakit infeksi dapat menjadi
berkepanjangan. Keluhan penderita sendiri dapat diarahkan untuk membedakan
antara diare akut dengan diare kronik yaitu tiba-tiba mencret pada diare akut dan
sering mencret pada diare kronik.
Secara konsepsional keduanya dapat dibedakan, dimana diare akut berupa
serangan diare secara tiba-tiba yang segera berangsur sembuh pada seseorang
yang sebelumnya sehat, diare kronik berupa diare yang timbul perlahan-lahan,
berlanjut berminggu-minggu sampai berbulan-bulan baik menetap atau bertambah
hebat (Soeparman, 1990).
2.2.1Etiologi
Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan
adanya kelainan pada usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronik antara
lain kelainan endokrin, kelainan hati, kelainan pancreas, infeksi, keganasan, dan
lain-lain. Etiologi terbanyak diare kronik di Negara-negara berkembang termasuk
Indonesia adalah infeksi. Hal ini berbeda dengan etiologi terbanyak di
negara-negara maju yaitu penyakit usus inflamatorik. Walaupun telah diusahakan secara
maksimal, diperkirakan sekitar 10-15% pasien diare kronik tidak diketahui
etiologinya, mungkin disebabkan kelainan sekresi atau mekanisme neuroendokrin
Etiologi diare kronik dapat diklasifikasikan atas:
1. Etiologi diare kronik berdasarkan patofisiologi:
a. Diare Osmotik
b. Diare sekretorik
c. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak
d. Trasnsport elektrolit aktif di enterosit
e. Motilitas dan waktu transit usus abnormal
f. Gangguan permeabilitas usus
g. Eksudasi cairan, elektrolit dan mukus berlebihan
2. Etiologi diare kronik berdasarkan lokasi atau kelainan organ:
a. Kelainan pancreas: Fibrosis kistik, PEM, pankreatitis kronik, defisiensi
enzim.
b. Kelainan hati: atresia bilier, ikterus obstruktif, hepatitis kronik, sirosis
hepatic
c. Kelainan usus
3. Etiologi diare kronik berdasarkan karakteristik tinja:
a. Tinja berlemak/streatorea
b. Tinja berdarah
c. Tinja tidak berdarah dan tidak berlemak:
- Tinja cair atau seperti air
- Tinja encer/lembek
2.2.2Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih faktor di bawah ini:
1. a. Pengurangan atau penghambatan ion-ion.
b. Perangasangan dan sekresi aktif ion-ion pada usus (secretory diarrhea).
Penghambatan penyerapan ion serta perangsangan sekresi ion dibicarakan
bersamaan dengan alasan kebanyakan hormone dan toksin akan merangsang
sekresi aktif serta menghambat penyerapan ion-ion.
Penderita ini kadang-kadang terbangun waktu pagi berhubung dengan
meningkatnya pergerakan usus halus dan usus besar akibat meningkatnya sekresi
aktif cairan ke dalam usus oleh faktor infeksi, peradangan dan pasca reseksi
ileum. Pasca reseksi ileum dinamakan juga diare post prandial yang biasanya
diare pada pagi hari, sehubungan dengan mengalirnya garam empedu ke usus
pada pagi hari sesudah makan dan juga penumpukan garam empedu terbanyak
pada pagi hari.
2. Terdapatnya zat yang sukar diabsorpsi atau cairan dengan tekanan osmotic
yang tinggi pada usus.
Terdapatnya zat-zat yang sulit diserap atau cairan dengan tekanan osmotic
yang tinggi dalam jumlah yang berlebihan pada usus akan menyebabkan diare
yang disebut diare osmotik yaitu:
a. Larutan yang sulit diserap seperti obat pencahar/laksansia.
b. Penyimpangan pencernaan makanan (maldisgesti).
c. Kegagalan pengangkutan makanan non elektrolit yang mempunyai
tekanan osmotic yang tinggi, misalnya glukosa yang biasanya diserap
Karena tekanan osmotic yang tinggi, larutan yang sulit diserap ini
menahan/menarik air dan garam ke dalam usus sehingga terjadi diare. Secara
klinis diare osmotic dapat dibedakan dengan kenyataan bahwa diare ini akan
berhenti bila penderita berhenti makan makanan yang menjadi penyebabnya
(puasa). Pada sindrom malabsorbsi, bukan hanya diare tapi juga malnutrisi terjadi
pada penderita.
3. Perubahan pergerakan dinding usus.
Perubahan pergertakan dinding usus dikenal dengan 3 proses:
a. Penurunan pergerakan usus/peristaltic yang menyebabkan bertambahnya
perkembangbiakan bakteri dalam rongga usus.
b. Meningkatnya pergerakan usus yang menyebabkan berkurangnya waktu
kontak antara makanan dengan permukaan usus halus sehingga makanan
cepat masuk ke dalam lumen kolon.
c. Pengosongan kolon secara prematur disebabkan isi kolon atau proses
peradangan kolom atau sindrom irritable colon yang akan mempersingkat
waktu kontak, sehingga volume dan keenceran tinja akan bertambah.
Penyakit yang termasuk dalam perubahan pergerakan usus ini antara lain
sindrom irritable colon, sindrom keganasan karsinoid, diare post vagotomi, diare
akibat penyakit endokrin seperti neuropati diabetic, dan tirotoksikosis.
2.2.3Diagnosis
Penderita diare kronik mempunyai gejala umum disamping gejala khusus
yang sesuai dengan penyakit penyebabnya. Gejala umum berupa diare yang dapat
maupun berulang, kadang-kadang bercampur darah, lendir, lemak dan berbuih.
Rasa sakit di perut, rasa kembung dan kadang-kadang disertai demam.
Volume tinja yang tetap banyak menunjukkan diare berasal dari kelainan
usus halus dan permulaan usus besar. Tinja yang sedikit, berlendir dengan
peningkatan kekerapan dan kemendadakan buang air besar menunjukkan
kemungkinan berasal dari kolon desenden, sigmoid dan rektum. Tinja yang
bercampur lendir dan darah kemungkinan berasal dari peradangan usus besar.
Tinja yang tidak berdarah dan diselingi masa konstipasi menunjukkan penyebab
diare kemungkinan adalah sindrom irritable colon. Tinja yang berbuih dengan
buang angina (kentut) banyak, menunjukkan proses fermentasi karbohidrat yang
tidak dapat diserap. Tinja yang bau busuk menunjukkan adanya pembusukan asam
amino yang tidak dapat diserap. Tinja yang banyak, pucat berlemak dan
mengapung menunjukkan streatorea (Soeparman, 1990).
2.2.4Pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare kronik adalah
sebagai berikut :
1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap
diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal.
Kultur Bacteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan
adanya infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromised, penting
sekali kultur organisma yang tidak biasa seperti Kriptokokus, Isospora dan M.
Avium Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin C
2. Volume Feses : Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi
enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses
24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus
dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore
atau diare tanpa malabsorbsi lemak.
3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam : Jika berat feses >
300 g /24 jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000 - 1500
gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan
proses malabsorbstif.
4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Test standard untuk
mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir.
Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa
intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
5. Osmolalitas Feses : Diperlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare
osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na, K dan osmolalitas harus
diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses
adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na & K)
dimana nilai normalnya <50 mosm.
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya
Giardia E Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora
yang dideteksi dengan modifikasi noda asam.
7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang
meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan
8. Tes Laboratorium lainnya : Pada pasien yang diduga sekretori maka dapat
diperiksa seperti serum VIP, gastrin, calcitonin, cortisol.
9. Diare Factitia : Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi
feses dengan NaOH yang kan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif
feses terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses
lainnya. Diantaranya Mg,SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotic
seperti MgSO4, mgcitrat Na2 SO4 dan Na2 PO4 (Maryani, 2003).
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Obat a. Loperamid
Loperamid merupakan dari derivat petidin, bekerja dengan memperlambat
motilitas saluran cerna dengan meghambat rilis asetilkolin melalui
reseptor-reseptor opioid prasinaptik di sistem saraf usus. Obat ini berikatan dengan
reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan olehikatan
loperamid dengan reseptor tersebut. Zat ini juga mampu menormalkan
keseimbangan resorpsi dan sekresi sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang
berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali. Obat ini
tidak boleh diberiklan kepada penderita colitis ulseratif karena dapat
menyebabkan toksik megakolon. Mulai kerjanya lebih cepat dan bertahan lebih
lama. Pada diare akut dan kronis, dosis permulaan adalah 2 tablet dari 2 mg, lalu
setiap 2 jam 1 tablet dan maksimum pemberian dalam 1 hari adalah 8 tablet. Efek
terhadap efek konstipasi jarang terjadi. Kadar puncak loperamid dalam plasma
adalah 4 jam. Waktu paruhnya adalah 7-14 jam. Lopreamid tidak diserap dengan
baik oleh pemberian oral dan penetrasinya kedalam otak tidak baik sehingga tidak
menimbulkan euphoria dan ketergantungan. Sebagian besar obat disekresi
memalui feses. Obat ini sama efektifnya dengan difenoksilat untuk pengobatan
diare kronik.
b. Cefotaxim
Cefotaxim merupakan sefalosporin generasi ketiga berspektrum luas. Cara
kerjanya adalah dengan menghambat sintesa dinding sel mikroba pada proses
transpeptidase tahap keetiga dlam reaksi pembentuka dinding sel. Obat ini sangat
efektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang untuk bakteri gram positif. Obat
ini dapat melintasi daerah sawar darah otak. Obat ini dapat dihidrolisa oleh enzim
β-laktamase yang diproduksi oleh enterobakter sehingga obat ini tidak efektif
tehadap infeksi yang disebabkan oleh enterobakter.. Kadar serum yang dicapai
setelah pemberian infus 1 gram adalah 60-140 g/mL.obat ini mengalami
penetrasi ke dalam jaringan dan cairan tubuh dengan baik. Waktu paruh plasma
sekitar 1 jam dan diberikan tiap 4-6 jam. Metabolitnya ialah desasetilsefotaksim
yang kurang aktif. Obat ini sangat efektif untuk pengobatan meningitis oleh baktri
gram negatif. Dosis untuk orang dewasa adalah 2-12 g/hari dibagi dalam 3-6
dosis. Dalam keadaan gagal ginjal diperlukan penyesuaian dosis.
c. Parasetamol
Parasetamol merupakan golongan obat analgetik non narkotik. Tidak
seperti obat AINS, obat ini mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas
analgetik non narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi.
Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin di
hipotalamus/SSP. Ini menerangkan efek antipiretik dan analgetiknya. Efeknya
kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer yang mengakibatkan aktivitas
anti inflamasinya lemah. Parasetamol tidak mempengaruhi fungsi trombosit dalam
meningkatkan pembekuan darah, efek sampingnya lebih sedikit daripada aspirin.
Pemakaian parasetamol dosis besar dan dalam jangka waktu yang lama me
nyebabkan persediaan glutation di hati berkurang, dan N-asetil-benzokuinon
bereaksi dengan grup sulfhidril protein hati membentuk ikatan kovalen, sehingga
terjadi nekrosis hati, nekrosis pada tubuler ginjal dapat juga terjadi (Ganiswara,
S.G, 1995)
d. IVFD NaCl 0,9%
Infus IVFD 0,9% merupakan larutan elektrolit yang diberikan melalui
intravena untuk memenuhi kebutuhan normal akan cairan dan elektrolit atau
kehilangan yang berkelanjutan, untuk penderita yang mual, muntah, diare dan
tidak dapat memenuhi kebutuhannya melalui mulut. Bila tidak mungkin diberikan
intravena, volume cairan yang besar dapat pula diberikan secara subkutan. Bagi
pasien yang mengalami gangguan keseimbangan cairan disarankan pemberian 31
mmol Natrium dan Clorida dan 20 mmol KCl per liternya selama sehari (Baltrop
BAB III
PROSEDUR DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN
3.1Studi Kasus
Kanker Rektum + Diare Kronis
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : PHP
Nomor Rekam Medik : 33.67.46
Umur/Jenis Kelamin : 49 tahun/ Laki-laki
Agama/Suku : Kristen/Batak
Alamat : Pematang Siantar
Pembayaran : Askes
Tanggal Masuk RS : 7 September 2007
Tanggal keluar RS : 5 Oktober 2007
Ruangan : Rindu AII
3.1.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUP H. Adam Malik Medan
Pasien masuk ke Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
melalui unit IGD pada tanggal 7 September 2007 pukul 1815 WIB, kemudian
pasien dirawat inap di unit Rindu AII (Interna Pria). Pasien mengalami gangguan
buang air besar (mencret) dan mual yang telah dialami ± 1 bulan dan memberat
dalam waktu 1 minggu terakhir. Pasien juga mengalami demam yang turun bila
1 bulan. Terdapat benjolan pada bokong kanan pasien sejak 3 bulan lalu,
mula-mula benjolan sebesar biji jagung dan semakin lama semakin membesar,
kemudian benjolan pecah dan mengeluarkan nanah dan bau yang disertai denga
rasa nyeri. Tidak diketahui adanya riwayat trauma pada pasien.
3.2 Pemeriksaan yang dilakakukan Pemeriksaan Fisik Pasien
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Denyut nadi : 78 x/i
Pernafasan : 24 x/i
Suhu tubuh : 37 0C
Pemeriksaan laboratorium
Pasien melakukan pemeriksaan hematologi di laboratorium Patologi
Klinik RSUP H. Adam Malik
Tanggal Normal Pemeriksaan Unit
7/9 10/9 Faal Ginjal
- uric acid - ureum - Creatinin mg/dL mg/dl mg/dL 16 0,7 4,7 20 0,6 2,6-7,0 10-40 0,7-1,4 Faal Hati - SGOT - SGPT
- Bilirubin Total - Bilirubin Direct - Alkalin fosfatase
/L /L mg/dL mg/dL /L 28 15 18,9 9,3 0,29 0,04 77,5 1,0-38,0 1,0-41,0 0,15-1,00 0,05-0,20 40-129,0 Met. Karbohidrat
- Serum iron g/dL 38 50-160 Elektrolit Darah - Natrium - Kalium - Klorida mEg/dL mEq/dL mEq/dL 135 4,5 106 134 3,9 104 135-155 3,6-5,5 96-106
Pasien juga melakukan pemeriksaan kolonoskopi pada tanggal 10
September 2007 di laboratorium Divisi Gastroentero-Hepatologi RSUP H. Adam
Malik dengan hasil: pada 10 cm pada bagian rektum dijumpai massa
berbenjol-benjol, mudah berdarah, nekrotik, dan tampak pus. Kesimpulan: Ca Rektum.
Pasien juga melakukan pemeriksaan USG Abdomen di laboratorium
Instalasi Diagnostik Terpadu RSUP H. Adam Malik pada tanggal 17 September
2007 dengan hasil:
- Tidak tampak metastase ke liver dan visceral membran
- Tidak tampak lymphadenopathy
- Pancreas, spleen, liver dan GB/biliary normal normal scan.
Pasien juga melakukan pemeriksaan CT Lower Abdomen di laboratorium
Bagian CT Scan RSU DR. Pirngadi Medan pada tanggal 19 September 2007,
dengan hasil: Tampak massa mengisi circular rektum sehingga tampak trapping
udara dan kontras di dalamnya. Dinding rektum sebagian sudah vesica-urinaria
terdorong ke anterior oleh mass, tetapi dindingnya masih licin dan tidak tampak
batu/massa di dalamnya, tidak tampak pembesaran kelenjar lympe di para-aorta.
3.3 Diagnosa Penyakit
Dari semua kondisi yang telah dipaparkan diatas maka dokter
3.4 Terapi
Hasil diagnosa dan terapi yang diberikan untuk pasien secara lengkap
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien masuk ke RSUP H.Adam Malik pada tanggal 7 September 2007
pukul 1815 WIB melalui IGD dan dirawat diruangan inap terpadu (RINDU) AII
Interna Pria dengan keluhan mencret dan mual yang telah dialami ± 1 bulan dan
memberat dalam waktu 1 minggu terakhir. Pasien juga mengalami demam yang
turun bila diberi obat penurun demam. Riwayat penurunan berat badan pasien ± 3
kg dalam 1 bulan. Terdapat benjolan pada bokong kanan pasien sejak 3 bulan lalu,
mula-mula benjolan sebesar biji jagung dan semakin lama semakin membesar,
kemudian benjolan pecah dan mengeluarkan nanah dan bau yang disertai dengan
rasa nyeri. Tidak diketahui adanya riwayat trauma pada pasien.
Berdasarkan riwayat penyakit pasien yang telah mengalami mencret dan
penurunan berat badan ± 3 kg dalam 1 bulan , maka dilakukan penatalaksanaan
pemerikasaan kolonoskopi pada tanggal 10 September 2007, yaitu prosedur
endoskopi yang digunakan untuk insfeksi terhadap usus besar (kolorektum)
dengan menggunakan fiberskop panjang yang fleksibel (Kee, 1997). Dari hasil
pemeriksaan pasien didiagnosa menderita penyakit kanker rektum. Kemudian
pada tanggal 17 September 2007 dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu
pemeriksaan USG abdomen untuk melihat adanya kelainan jaringan pada
abdomen, dan hasilnya tidak terdapat metastase dari sel kanker yang menuju ke
liver dan viscera membrane. Kemudian pada tanggal 19 September 2007
dilakukan pemeriksaan CT Scan, hasilnya terdapat suatu massa yang mengisi
mengisi circular rektum sehingga tampak trapping udara dan kontras di dalamnya.
tetapi dindingnya masih licin dan tidak tampak batu/massa di dalamnya, tidak
tampak pembesaran kelenjar lympe di para-aorta.
Tanggal 07-22 september 2007 pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan cairan dan elektrolit. NaCl 0,9% merupakan
garam normal yang dapat memulihkan kehilangan cairan dan natrium klorida.
Infus IVFD 0,9% merupakan larutan elektrolit yang diberikan melalui intravena
untuk memenuhi kebutuhan normal akan cairan dan elektrolit atau kehilangan
yang berkelanjutan, untuk penderita yang mual, muntah, diare dan tidak dapat
memenuhi kebutuhannya melalui mulut. Pemberian IVFD NaCl 0,9% ini
diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kembali kondisi cairan tubuh pasien
menjadi normal, dimana pasien mengalami mencret sehingga pasien mengalami
banyak kehilangan cairan (Baltrop dan Brueton 1991).
Pasien juga diberikan injeksi cefotaxime dengan dosis 1gr/12 jam.
Cefotaxime merupakan antibiotik generasi ketiga dari sefalosporin. Cefotaxime
bekerja dengan menghambat sintesa dinding sel bakteri. Cefotaxime memiliki
aktivitas spektrum yang lebih luas terhadap bakteri gram negatif bila
dibandingkan dengan turunan pertama dan kedua dari sefalosporin, serta lebih
stabil terhadap bakteri penghasil -laktamase, penisillinase dan sefaloporinase.
Secara umum cefotaxime memiliki aktivitas yang lebih kecil terhadap bakteri
garam positif dibandingkan dengan turunan pertama dan kedua sefalosporin.
Pemberian cefotaxime digunakan untuk mengobati adanya infeksi pada bagian
usus besar pasien. Pemberian Cefotaxime pada penderita gangguan
gastrointestinal harus diperhatikan dengan hati-hati, karena cefotaxime dapat
meningkatkan resiko terinfeksi bakteri Clostridium difficile yang dapat
menyebabkan diare, walaupun resiko yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan
dengan turunan ketiga sefalosporin yang lain (Martidale, 2007). Melihat kondisi
pasien yang menderita diare kronik, pemberian Cefotaxime harus dipantau dosis
dan lama penggunaannya. Selain itu juga harus dilakukan kultur jaringan untuk
mengetahui jenis bakteri yang menyebabkan pasien menderita diare kronis,
sehingga dapat diketahui apakah penggunaan Cefotaxime dapat berbahaya atau
tidak.
Pasien juga diberikan Loperamide HCl pada tanggal 7 – 12 September
2007. Loperamide HCl merupakan sintetik dari derivate petidin yang digunakan
untuk mengontrol dan mengobati simptom diare akut non spesifik dan diare
kronik. Loperamide HCl juga digunakan untuk menurunkan buangan dari
ileustomis. Loperamid HCl dapat menghambat motilitas usus dan menurunkan
sekresi gastrointestinal. Pemberian secara oral ditujukan untuk terapi diare akut
dan diare kronik, juga untuk menurunkan volume buangan cairan pada
pemeriksaan kolostomi dan ileustomi (Martidale, 2007).
Pada diare akut, dosis umum loperamide HCl untuk pasien dewasa adalah
4 mg yang dilanjutkan dengan penggunaan 2 mg setiap mencret, dengan batas
maksimal 16 mg/hari. Pada diarekronik, dosis umum loperamide HCl untuk
pasien dewasa adalah 4 – 8 mg per hari, dan dapat dilebihkan sesuai dengan
kebutuhan, namun tidak tidak boleh lebih dari 16 mg per harinya. Jika tidak ada
kemajuan pada pasien yang menggunakan Loperamide HCl dengan dosis 16 mg
per hari setidaknya selama 10 hari, penggunaan Loperamide HCl lebih lanjut tidak
Pasien juga mendapat Paracetamol pada tanggal 7 – 16 September 2007.
Paracetamol (derivate para amino fenol) mempunyai efek analgetik dan
antipiretik. Paracetamol dapat diberikan secara oral maupun secara supositoria
melalui rektum. Pemberian paracetamol ditujukan untuk meringankan nyeri
sedang dan demam. Paracetamol diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal dan
akan mencapai puncak konsentrasi plasma setelah 10 – 60 menit pada pemberian
oral. Waktu paruh eliminasi antara 1 – 3 jam. Paracetamol dimetabolisme di hati
dan dieskresi melalui urine (Martidale, 2007).
Pemeberian paracetamol ini diperlukan oleh pasien untuk memulihkan
kembali suhu tubuh pasien. Pasien mengalami demam yang naik turun, sehingga
pasien membutuhkan paracetamol setiap saat, dengan catatan pasien hanya
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan
- Pemberian IVFD NaCl 0,9% adalah rasional untuk memenuhi kebutuhan tubuh pasien akan cairan dan elektrolit.
- Pemberian cefotaxime adalah rasional untuk mengobati infeksi yang terjadi pada bagian usus besar pasien.
- Pemberian Loperamide adalah rasional untuk mengobati penyakit diare kronis yang dialami pasien.
- Pemberian Parasetamol adalah rasional untuk mengobati penyakit demam yang dialami oleh pasien.
5.2 Saran
5.2.1 Rekomendasi untuk dokter
Hendaknya dilakukan kultur jaringan untuk mengetahui bakteri penyebab
infeksi dan diare dari pasien, sehingga dapat dilakukan pengobatan yang
lebih lanjut.
5.2.2Informasi obat dan konseling untuk pasien/ keluarga
a. Hendaknya keluarga memberikan nutrisi tambahan bagi pasien untuk
menambah tenaga dan fitalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, G.S. (1995). Farmakologi Dan Terap., Edisi keempat. Gaya Baru.
Jakarta
Heriady, Yusuf, Dr., SpB., SpBOnk., 2002, “Kanker Usus Besar Kolon dan
Rektum”, Kalimantan Barat: Pontianak Post.
Kee, LeFever, Joyce, 1997, “Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik”, Edisi
ke-2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, Hal: 300 – 301.
Martindale, 2007, ”The Complete Drug Reference”, Great Britain: Pharmaceutical
Press.
Maryani, 2003, ”Diare Kronis”, Medan: USU Press, Hal: 1; 6.
Price, S. A., & Wilson, L. J., (1995), Patofisiologi, Edisi ke-4, Cetakan pertama,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC, Hal 419 – 420.
Soeparman, 1990, ”Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit FK UI,
Hal: 145 – 146; 163 – 164.
Suyono, Slamet, 2001, ”Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II, Edisi Ke-3, Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, Hal: 180-182.
www.wikipedia.org, 2007, “Kanker Kolon dan Rektum”.
www.medicastore.com, 2004, “Kanker Kolorektal”.
Lampiran 1. Hasil Diagnosa Dan Terapi (7 September 2007-22 September 2007)
Tanggal Keluhan
7/09 8/09 9/09 10/09 11/09 12/09 13/09 14/09 15/09
Keterangan
KU Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret KU = Keadaan Umum
Sensorik CM ( Compose Mentis) CM =Kesadaran cukup
Pemeriksaan
TD (mmHg) 90/60 100/70 120/90 110/90 110/70 120/80 110/60 TD=Tekanan darah
Normal: 120/80mmHg
HR(Kali/menit) 78 88 80 80 80 80 68 HR=Heart Rate,
N: 70-90 x/menit
RR(kali/menit) 24 28 20 24 22 22 22 RR=Respiratory Rate,
N:10-20 x/menit
Suhu tubuh 37 37,2 37,5 36,8 36,1 37 37 N : 37 ± 0,50C
Diagnosa CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CR+DK CR+DK
Terapi
Tirah baring √ √ √ √ √ √ √ √ √
Diet
IVFD NaCl 0,9% √ √ √ √ √ √ √ √ √ 20 tetes/menit
Inj. Cefotaxim √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1 gr/12 jam
Paracetamol 500 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3 x sehari
Loperamid 2 mg √ √ √ √ √ √ 1 x 2 tablet, selanjutnya
1 tablet setiap mencret. Maksimal 8 tablet.
Keterangan :
CC : Ca. Colon
Tanggal Keluhan
16/09 17/09 18/09 19/09 20/09 21/09 22/09
Keterangan
KU Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret KU = Keadaan Umum
Sensorik CM ( Compose Mentis) CM =Kesadaran cukup
Pemeriksaan
TD (mmHg) 120/80 100/80 90/60 100/50 100/70 TD=Tekanan darah
Normal: 120/80mmHg
HR(Kali/menit) 80 80 64 76 76 HR=Heart Rate,
N: 70-90 x/menit
RR(kali/menit) 22 20 22 24 24 RR=Respiratory Rate,
N:10-20 x/menit
Suhu tubuh 37 36,8 36,7 37,7 36,9 N : 37 ± 0,50C
Diagnosa CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK
Terapi
Tirah baring √ √ √ √ √ √ √
Diet - - - - - -
IVFD NaCl 0,9% √ √ √ √ √ √ √
Inj. Cefotaxim √ √ √ √ √ √ √
Paracetamol 500 mg √ √
Loperamid 2 mg
Keterangan :
CC : Ca. Colon
Lampiran 2. Tinjauan umum tentang obat
No Nama Obat Komposisi Dosis lazim Indikasi Mekanisme kerja Efek samping
1. Cefotaxime (inj.)
Cefotaxime sodium setara dengan cefotaxime 1000 mg
1 gr/12 jam, maksimal 12 gram.
Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang sensitif terhadap cefotaxime seperti infeksi saluran kemih, infeksi intra abdominal, dll.
Menghambat sintesa dinding sel bakteri
Gangguan fungsi ginjal, gangguan gastrointestinal, hipoprotrombinemia
2. Paracetamol Paracetamol 500 mg 3 x sehari Demam dan nyeri Menghambat sintesis
prostaglandin di hipotalamus/SSP
Gangguan fungsi pencernaan
3. Loperamid Loperamid HCl 2 mg 4-8 mg/hari, maksimal 16 mg
Diare kronik Meghambat pelepasan
asetilkolin
Terapi obat Rasionalitas
Dosis regimen Tgl Diagnosis
Nama obat kekuatan Dosis sehari rute Ind O P Dos is
Wa ktu
Int. lama Rute
IVFD NaCl 0,9% 20gtt/mnt = 1440 ml/hari iv R R R R R R R R
Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R
Loperamide HCl 2 mg/ tablet 4-8 mg/hari, maks 16 mg p.o R R R R R R R R 7-12
Sept
Ca Colon ec Diare Kronis
Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R
IVFD5 NaCl 0,9% 20gtt/mnt = 1440 ml/hari iv R R R R R R R R
Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R 13 Sept
Ca Colon ec Diare Kronis
Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R
IVFD5 NaCl 0,9% 6 gtt/mnt = 432 ml/hari iv R R R R R R R R
Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R
14-17
Sept Ca Rektum ec Diare
Kronis
Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R
IVFD5 NaCl 0,9% 6 gtt/mnt = 432 ml/hari iv R R R R R R R R
18-22 Sept
Ca Rektum ec Diare
Kronis Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R