S EK
O L
A
H
P A
S C
AS AR JA N
A
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DI INDONESIA
TESIS
Oleh
TUGINO
107018021/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DI INDONESIA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
TUGINO
107018021/EP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DI INDONESIA Nama Mahasiswa : Tugino
Nomor Pokok : 107018021
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ramli, SE, MS) (Dr. Bastari, SE, MM Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi, Direktur,
Telah diuji pada
Tanggal : 14 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ramli, S.E., M.S.
Anggota : 1. Dr. Bastari, S.E., M.M.
2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec.
3. Dr. Rujiman, M.A.
PERNYATAAN
“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DI INDONESIA”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar
merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Medan, Desember 2012 Penulis,
T u g i n Materai
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DI INDONESIA
ABSTRAK
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang ada di Indonesia. Pajak yang bersifat tidak langsung ini dikenakan terhadap konsumsi pada setiap tingkatan produksi atau distribusi. Sebagai pajak atas konsumsi, PPN sangat bergantung terhadap kondisi perekonomian secara umum. Indikator-indikator ekonomi makro mungkin memiliki pengaruh terhadap penerimaan PPN setiap tahunnya. Demikian juga dengan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai pemungut PPN berdasarkan Undang-undang PPN yang berlaku. Oleh karena itu penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah PKP, PDB, ekspor, inflasi, suku bunga SBI dan tingkat konsumsi serta penyaluran kredit investasi dan kredit konsumsi terhadap penerimaan PPN di Indonesia. Model yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini adalah model ekonometrika, sedangkan metode yang dipakai adalah metode kuadrat linier terkecil (Ordinary Least Square) dan persamaan struktural analisis jalur (Path Analysis), yang bertujuan untuk menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel eksogenus (variabel bebas) terhadap variabel endogenus (variabel terikat). Variabel jumlah PKP, PDB, ekspor, inflasi, suku bunga SBI, pengeluaran konsumsi, kredit investasi dan kredit konsumsi secara langsung dan bersama-sama (simultan) mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan PPN di Indonesia. Secara parsial terhadap penerimaan PPn di Indonesia, jumlah PKP mempunyai pengaruh positif dan signifikan. PDBt-1 mempunyai pengaruh
positif dan signifikan. Ekspor mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan. Inflasi mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan. Suku Bunga SBI mempunyai pengaruh negatif namun pengaruhnya tidak signifikan. Pengeluaran konsumsi mempunyai pengaruh negatif dan signifikan. Kredit investasi mempunyai pengaruh negatif namun pengaruhnya tidak signifikan. Kedit konsumsi mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan. Inflasi mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan terhadap pengeluaran konsumsi.
ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING VALUE ADDED TAX
REVENUE IN INDONESIA
ABSTRACT
Value Added Tax (VAT) is a type of tax in Indonesia. Indirect taxes that is imposed on consumption at all levels of the production or distribution. As a tax on consumption, VAT depends on general economic conditions. Macroeconomic indicators may have an influence on VAT revenues annually. Likewise Taxable amount (PKP) as VAT collectors under the Act applicable VAT. Therefore this study was to determine how the effect of the number of PKP, GDP, exports, inflation, interest rates and consumption levels SBI and investment lending and consumer credit on VAT revenues in Indonesia. The model used in this study is to analyze econometric model, while the method used is the linear least squares method (Ordinary Least Square) and structural equation analysis of the path (Path Analysis), which aims to analyze the influence of exogenous variables (independent variables) on endogenous variable (the dependent variable). Variable number of PKP, GDP, exports, inflation, interest rates SBI, consumption expenditure, investment loans and consumer loans directly and jointly (simultaneously) can provide a significant impact on VAT receipts in Indonesia. Partially on sales tax revenue in Indonesia, the number of PKP has a positive and significant impact. PDBt-1 has a positive and significant impact. Exports have a positive effect, but the effect is not significant. Inflation has a positive effect, but the effect is not significant. Interest Rate has a negative effect, but the effect is not significant. Consumption expenditure has a negative and significant effect. Investment credit has a negative effect, but the effect is not significant. Kedit consumption has a positive effect, but the effect is not significant. Inflation has a positive effect, but the effect is not significant effect on consumption expenditure.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, Dzat Yang
Maha Penyayang, pemilik segala keagungan, kemuliaan, kekuatan dan
keperkasaan, karena dengan rahmat dan karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tesis ini yang berjudul “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia”. Shalawat serta salam akan
senantiasa tercurah kepada teladan dan pemimpin umat, Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian
penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak berupa materi maupun dorongan moril baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K)
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE. selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. Syaad Afifuddin, S.E., M.Ec. Ketua Program Studi
Magister Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara dan
sekaligus selaku Ketua Pembanding.
4. Bapak Prof. Dr. Ramli, S.E., M.S. selaku Ketua pembimbing yang telah
banyak memberikan waktu dan pemikirannya serta bimbingannya dalam
5. Bapak Dr. Bastari, S.E., M.M. selaku Pembimbing kedua yang telah
banyak memberikan waktu dan pemikiran serta bimbingannya kepada
penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
6. Bapak Dr. Rujiman, M.A. selaku pembanding yang telah memberikan
saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.
7. Bapak Dr. HB. Tarmizi, S.U. selaku pembanding yang telah memberikan
saran-saran yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister
Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
9. Penghargaan tertinggi penulis sampaikan kepada ayahanda Sunardi yang
selalu mendo’akan penulis dalam menyelesaikan pendidikan, ayah mertua
Dikky Suprapto dan ibu mertua Maimanah Lubis atas do’a dan
dorongannya serta kepada istri tercinta Fika Sari, S.E. dan anak-anakku
tersayang Ahya Aghniya Izzati dan Athiyyah Azka Mahfudzah yang selalu
menjadi motivasi bagi penulis di dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Rekan-rekan mahasisiwa dan seluruh alumni Pascasarjana (S-2) Magister
Ekonomi Pembangunan (MEP) Universitas Sumatera Utara, seluruh
staff/karyawan sekretariat Sekolah Pascasarjana USU serta semua pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis sudah berusaha mencurahkan
seluruh daya dan kemampuan agar lebih baik dan sempurna. Namun penulis
dalam isi maupun penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat
bermanfaat sebagai sumber ilmu pengetahuan dan referensi bagi para penelitian
lainnya.
Akhirnya, semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala
amal dan budi yang diberikan. Dan semoga kemudahan dan kelapangan selalu
menyertai kita semua. Amin.
Medan, Desember 2012
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : T u g i n o
2. Tempat/Tanggal Lahir : Mulio Rejo / 15 April 1978
3. Agama : Islam
4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
5. Nama Ayah : Sunardi
Nama Ibu : Leginem (almarhumah)
6. Status : Menikah
7. Nama Istri : Fika Sari
8. Nama Anak : 1. Ahya Aghniya Izzati
2. Athiyya Azka Mahfudzah
9. Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri 101737 Mulio Rejo, lulus tahun 1991
2. SMP Negeri 2 Diski, lulus tahun 1994
3. SMA Negeri 2 Binjai, lulus tahun 1997
4. PRODIP I Keuangan Medan, lulus tahun 1998
5. Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi UMSU,
lulus tahun 2006
6. Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi Pembangunan USU, lulus tahun
DAFTAR ISI
2.5.3. Ciri-Ciri Komoditi Ekspor…... 37
2.5.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor... 38
2.6.1. Defenisi Inflasi…... 40
2.8.2.2. Teori Dengan Hipotesis Pendapatan Permanen...,... 55
2.8.2.3. Teori Dengan Hipotesis Siklus Hidup... 55
2.8.2.4. Teori Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif ... 56
2.10. Penelitian Terdahulu... 64
2.11. Kerangka Konseptual... 65
3.5.1. Koefisiean Determinasi (R-Square) ... 76
3.5.2. Uji t-Statistik... 77
3.5.3. Uji F-Statistik... 77
3.5.4. Defenisi Operasional ... 78
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 79
4.1. Hasil Penelitian………... 79
4.1.1. Perkembangan Penerimaan PPN... 79
4.1.2. Perkembangan Pengusaha Kena Pajak (PKP)... 82
4.1.3. Perkembangan Produk Domestik Bruto PDB... 84
4.1.4. Perkembangan Ekspor…... 85
4.1.5. Perkembangan Inflasi…... 87
4.1.6. Perkembangan Tingkat Suku Bunga SBI... 88
4.1.7. Perkembangan Pengeluaran Konsumsi…... 89
4.1.8. Perkembangan Kredit Investasi……... 91
4.2. Hasil Analisis Data……... 95
4.2.1. Analisis Persamaan Substruktural 1……... 95
4.2.2. Persamaan Substruktural 2 …....…... 98
4.2.3. Persamaan Substruktural 3... 99
4.2.4. Persamaan Substruktural 4... 100
4.3. Pembahasan... 101
4.3.1.Analisis Pengaruh………....………... 101
4.3.2. Diagram Jalur (Path Diagram) …... 108
4.3.3. Penghitungan Pengaruh... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 114
5.1. Kesimpulan…...…………... 114
5.2 . Saran………….…………... 116
DAFTAR TABEL
Nomor J udul Halaman
1.1 Struktur pendapatan negara pada APBN... . 3
2.1 Penelitian Terdahulu…... 63
4.1 Path Diagram pengaruh jumlah PKP, PDBt-1, inflasi, suku bunga SBI, pengeluaran konsumsi, kredit investasi dan kredit Konsumsi Variabel bebas terhadap penerimaan PPN sebagai variabel terikat secara langsung (direct effect), secara tidak langsung (indirect effect) dan pengaruh total (tatal effect)... 109
4.2 Perkembangan Pengusaha Kena Pajak di Indonesia tahun 1986s.d 2010 (dalam satuan)………... 83
4.3 Perkembangan PDB di Indonesia tahun 1986s.d 2010 (dalam milyar rupiah) ... 84
4.4 Perkembangan ekspor di Indonesia tahun 1986 s.d 2010 (dalam milyar rupiah)…...…... ... 86
4.5. Perkembangan inflasi di Indonesia tahun 1986 s.d 2010 (dalam persen) ... 87
4.6. Perkembangan tingkat suku bunga SBI di Indonesia tahun 1986 s.d 2010 (dalam persen) ... 88
4.7. Perkembangan pengeluaran konsumsi di Indonesia tahun 1986 s.d 2010 (dalam milyar rupiah) ... 90
4.8. Perkembangan kredit investasi di Indonesia tahun 1986 s.d 2010 (dalam milyar rupiah) ... 91
4.9. Perkembangan Kredit Konsumsi di Indonesia tahun 1986 s.d 2010 (dalam milyar rupiah) ... 93
4.10. Hasil Regresi penerimaan PPN dengan jumlah Pengusaha kena pajak, PDBt-1, ekspor, tingkat inflasi, suku bunga SBI, pengeluaran Konsumsi, Kredit investasi, Kredit Konsumsi ... 95
4.11. Hasil Regresi pengeluaran Konsumsi dengan tingkat inflasi ... 98
4.12. Hasil regresi Kredit investasi dengan suku bunga SBI ... 99
DAFTAR GAMBAR
Nomor J udul Halaman
1.1 Diagram Siklus Aliran Berputar (Circular Flow Diagram)…..
1.2 Perkembangan Pendapatan dan Hibah Tahun 2001 s.d 2010…..……… 4 ………. . 2
1.3 Perkembangan Penerimaan PPN di Indonesia Tahun 2001 s.d 2010…. 8 2.1 Kurva Inflasi Tarikan Permintaan (Demand-Pull Inflation)... 42 2.2 Kurva Inflasi Dorongan Biaya (Cost-Push Inflation)... 43 2.3 Kerangka Konseptual………... 67 4.1 Path Diagram pengaruh jumlah PKP, PDBt-1
suku bunga SBI, pengeluaran konsumsi, kredit investasi dan , ekspor, inflasi,
kredit konsumsivariabel bebas terhadap penerimaan PPN sebagai variabel terikat secara langsung (direct effect), secara tidak
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor J udul Halaman
1. Data Penelitian…...
DAFTAR SINGKATAN
APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
PPN = Pajak Pertambahan Nilai
PPnBM = Pajak Penjualan atas Barang Mewah
BPS = Badan Pusat Statistik
PDB = Produk Domestik Bruto
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
PKP = Pengusaha Kena Pajak
PPh = Pajak Penghasilan
PNBP = Pendapatan Negara Bukan Pajak
BKP = Barang Kena Pajak
JKP = Jasa Kena Pajak
SPT = Surat Pemberitahuan
MPC = Marginal Propensity to Consume
MPS = Marginal Propensity to Save
IHK = Indeks Harga Konsumen
OLS = Ordinary Least Square
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DI INDONESIA
ABSTRAK
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang ada di Indonesia. Pajak yang bersifat tidak langsung ini dikenakan terhadap konsumsi pada setiap tingkatan produksi atau distribusi. Sebagai pajak atas konsumsi, PPN sangat bergantung terhadap kondisi perekonomian secara umum. Indikator-indikator ekonomi makro mungkin memiliki pengaruh terhadap penerimaan PPN setiap tahunnya. Demikian juga dengan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai pemungut PPN berdasarkan Undang-undang PPN yang berlaku. Oleh karena itu penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah PKP, PDB, ekspor, inflasi, suku bunga SBI dan tingkat konsumsi serta penyaluran kredit investasi dan kredit konsumsi terhadap penerimaan PPN di Indonesia. Model yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini adalah model ekonometrika, sedangkan metode yang dipakai adalah metode kuadrat linier terkecil (Ordinary Least Square) dan persamaan struktural analisis jalur (Path Analysis), yang bertujuan untuk menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel eksogenus (variabel bebas) terhadap variabel endogenus (variabel terikat). Variabel jumlah PKP, PDB, ekspor, inflasi, suku bunga SBI, pengeluaran konsumsi, kredit investasi dan kredit konsumsi secara langsung dan bersama-sama (simultan) mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan PPN di Indonesia. Secara parsial terhadap penerimaan PPn di Indonesia, jumlah PKP mempunyai pengaruh positif dan signifikan. PDBt-1 mempunyai pengaruh
positif dan signifikan. Ekspor mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan. Inflasi mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan. Suku Bunga SBI mempunyai pengaruh negatif namun pengaruhnya tidak signifikan. Pengeluaran konsumsi mempunyai pengaruh negatif dan signifikan. Kredit investasi mempunyai pengaruh negatif namun pengaruhnya tidak signifikan. Kedit konsumsi mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan. Inflasi mempunyai pengaruh positif namun pengaruhnya tidak signifikan terhadap pengeluaran konsumsi.
ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING VALUE ADDED TAX
REVENUE IN INDONESIA
ABSTRACT
Value Added Tax (VAT) is a type of tax in Indonesia. Indirect taxes that is imposed on consumption at all levels of the production or distribution. As a tax on consumption, VAT depends on general economic conditions. Macroeconomic indicators may have an influence on VAT revenues annually. Likewise Taxable amount (PKP) as VAT collectors under the Act applicable VAT. Therefore this study was to determine how the effect of the number of PKP, GDP, exports, inflation, interest rates and consumption levels SBI and investment lending and consumer credit on VAT revenues in Indonesia. The model used in this study is to analyze econometric model, while the method used is the linear least squares method (Ordinary Least Square) and structural equation analysis of the path (Path Analysis), which aims to analyze the influence of exogenous variables (independent variables) on endogenous variable (the dependent variable). Variable number of PKP, GDP, exports, inflation, interest rates SBI, consumption expenditure, investment loans and consumer loans directly and jointly (simultaneously) can provide a significant impact on VAT receipts in Indonesia. Partially on sales tax revenue in Indonesia, the number of PKP has a positive and significant impact. PDBt-1 has a positive and significant impact. Exports have a positive effect, but the effect is not significant. Inflation has a positive effect, but the effect is not significant. Interest Rate has a negative effect, but the effect is not significant. Consumption expenditure has a negative and significant effect. Investment credit has a negative effect, but the effect is not significant. Kedit consumption has a positive effect, but the effect is not significant. Inflation has a positive effect, but the effect is not significant effect on consumption expenditure.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu
fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum,
pertahanan dan keamanan; 2) fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai
penyedia barang publik, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah,
penyediaan fasilitas penerangan dan telepon; 3) fungsi distribusi, yaitu fungsi
pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat. Untuk
menjalankan fungsi pemerintah tersebut, tentu saja pemerintah membutuhkan
dana yang sangat besar yang bersumber dari penghasilan negara (Public
Revenue). (Syafri Nurmantu, 2003).
Pajak merupakan salah satu sumber penghasilan negara. Safri Nurmantu
(2003) menyebutkan sumber penghasilan suatu negara antara lain kekayaan alam,
laba perusahaan negara, royalty, retribusi, bea, cukai, denda dan pajak. Pajak
dipungut oleh negara dari rakyat berdasarkan dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Secara ekonomi, pajak dapat dikatakan sebagai pemindahan sumber daya
yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor
pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberikan balas jasa
langsung (Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2004). Pemungutan pajak
suatu negara dalam ekonomi makro dapat dilihat melalui diagram aliran berputar
Dari diagram tersebut dijelaskan bahwa rumah tangga memperoleh
pendapatan dari pemerintah dan perusahaan, selanjutnya dari pendapatan tersebut
ada yang dipergunakan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Begitu juga
dengan perusahaan yang menerima pendapatan dari aktifitas ekonominya yang
berasal dari pasar dalam negeri (pemerintah dan rumah tangga) maupun luar
negeri akan mengeluarkan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah.
Gambar 1.1. Diagram Siklus Aliran Berputar (Circular Flow Diagram)
Sejak tahun 2000, struktur pendapatan negara dalam APBN terdiri dari
Penerimaan Dalam Negeri dan Hibah. Penerimaan Dalam Negeri sendiri terdiri
dua, yaitu Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Struktur pendapatan negara dalam APBN secara rinci dapat kita lihat pada tabel
Tabel 1.1. Struktur pendapatan negara pada APBN
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri
b. Pajak Perdagangan Internasional
i. Bea Masuk
ii. Pajak Ekspor
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA
Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan sumber utama
pendapatan negara dalam APBN. Keberadaannya ini menyebabkan sektor
perpajakan merupakan tumpuan utama dalam upaya memandirikan pembiayaan
belanja dalam APBN. Oleh karena itu, pertumbuhan positif dari sektor ini sangat
diharapkan dalam upaya negara mensejahterakan rakyatnya. Besarnya peranan
penerimaan pajak tersebut dapat dilihat melalui grafik perkembangan pendapatan
Gambar 1.2. Perkembangan Pendapatan dan Hibah Tahun 2001-2010
Dilihat dari komposisinya, penerimaan perpajakan merupakan penerimaan
terbesar dibandingkan dengan penerimaan BNPB dan hibah. Dari kurun waktu
2001 sampai dengan 2008 kontribusi rata-rata penerimaan perpajakan sebesar
20.81 persen, sedangkan PNPB sebesar 18.69 persen dan hibah sebesar 73.42
persen. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa peran penerimaan pajak
terhadap pembiayaan anggaran pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini
meningkat cukup signifikan. Pada tahun 2001 penerimaan pajak mencapai Rp
185,5 triliun, tahun 2006 naik menjadi Rp 409,2 triliun, hingga pada tahun 2010
penerimaan pajak memberikan kontribusi sebesar Rp 742,7 triliun atau mengalami
pertumbuhan rata-rata 17,09 persen per tahun. Kontribusi penerimaan sektor
perpajakan yang semakin meningkat tersebut menunjukan bahwa pemerintah tetap
konsisten untuk mewujudkan kemandirian. Secara umum, faktor-faktor yang
pelaksanaan kebijakan perpajakan yang baik dan meningkatnya harga komoditi
pangan dan komoditi strategis (APBN dan Nota Keuangan 2001-2010).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang ada
di Indonesia. Pajak yang bersifat tidak langsung ini dikenakan terhadap konsumsi
pada setiap tingkatan produksi atau distribusi. Meskipun pengenaan PPN
dilakukan terhadap nilai tambah yang terjadi dalam setiap tingkatan produksi
dan/atau distribusi barang atau jasa, namun beban atas pajak ini secara tidak
langsung ditanggung oleh konsumen akhir. (Untung Sukardji, 2006).
Sebelum PPN diberlakukan tahun 1984, di Indonesia diberlakukan
Undang-undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang merupakan warisan
kolonial Belanda. Namun keberadaan Pajak Penjualan (PPn) ini dirasakan masih
memiliki beberapa kekurangan maka dilakukanlah reformasi perpajakan (tax
reform) pada tahun 1984 dengan dikeluarkannya Undang-undang PPN yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (Wibowo, 2000). Adapun
beberapa kekurangan Pajak Penjualan (PPn) tersebut antara lain :
1. Mekanisme Pajak Penjualan (PPn) dalam pelaksanaannya menimbulkan
dampak pengenaan pajak berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak
untuk menghindar dari pengenaan pajak bahkan menyelundupkan pajak;
2. Sebagai akibat dari pengenaan pajak berganda, maka Pajak Penjualan
menjadi tidak netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun
perdagangan internasional, karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik
jumlah beban pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang
3. Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951 mengandung dualisme sistem
pemungutan pajak yaitu pengusaha tertentu diterapkan self assesssment
system sedangkan untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official
assessment system. Keadaan ini akan sulit dalam pengawasan
pelaksanaannya;
4. Variasi tarif yang cukup banyak menimbulkan kesulitan dalam
pelaksanaannya sehingga cukup besar pengaruhnya pada tingkat kepatuhan
Wajib Pajak.
Undang-Undang PPN ini dalam perjalanannya mengalami beberapa
perubahan. Perubahan pertama adalah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun
1994, perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994,
perubahan ketiga dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan terakhir
adalah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Semua
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah pada Undang-undang Perpajakan
memiliki arah dan tujuan sebagai berikut (Mardiasmo, 2006) :
1. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan
pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan
kemampuannya;
3. Menciptakan iklim perekonomian yang menunjang peningkatan penanaman
modal, mendorong ekspor, mendorong terciptanya lebih banyak lapangan
kerja baru, menunjang pengembangan usaha nasional terutama usaha kecil
4. Mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif pada masyarakat;
5. Pelaksanaan pemungutan pajak yang mudah dan sederhana sehingga dapat
mendorong kepatuhan Wajib Pajak; dan
6. Menunjang terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin
bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan
dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan,
peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan
tersebut, termasuk peningkatan penegakan ketentuan hukum yang berlaku.
Didalam penerapan Undang-undang PPN, sebagaimana sektor perpajakan
secara umum yang memiliki fungsi regulatoir maka pemerintah terus melakukan
perubahan kebijakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru yang
dipandang perlu diterapkan dalam pemungutan PPN. Ketentuan-ketentuan tentang
objek dan subjek PPN, Pengusaha Kena Pajak, Dasar Pengenaan Pajak, tata cara
pemungutan dan pelaporan dan lainnya selalu disesuaikan dengan perkembangan
sosial ekonomi dan politik yang terjadi serta ketentuan yang berlaku.
Bebarapa kebijakan PPN yang dijadikan dasar hukum PPN antara lain
dikemukakan sebagai berikut (Untung Sukardji, 2009) :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan jasa
yang tidak dikenakan pajak.
2. Peraturan Pemerintah Nomo 146 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan Kena Pajak Tertentu dan
atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan
3. Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2001 jis Peraturan Pemerintah Nomor 43
tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakukan PPN dan
PPnBM di Kawasan Berikat Industri Pulau Batam, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.
Penerimaan perpajakan dari PPN selalu mengalami perkembangan yang
signifikan semenjak diperkenalkan. Perkembangan penerimaan PPN di Indonesia
dalam kurun waktu tahun 2001-2010 dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1.3. Perkembangan penerimaan PPN di Indonesia tahun 2001-2010
Grafik di atas menunjukkan bahwa penerimaan PPN di Indonesia dari
tahun 2001 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan. Penerimaan PPN tahun
2001 sebesar Rp. 55.957,0 milyar terus mengalami peningkatan hingga sebesar
Rp. 269.502,0 milyar pada tahun 2010. Pertumbuhan rata-rata yang dicapai dalam
kurun waktu tersebut sebesar 19,31 persen. Pertumbuhan yang paling tinggi
PPN periode 2001 sampai dengan 2010 ini tidak terlepas dengan baiknya
pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca kriris. Setelah terjadinya krisis moneter
tahun 1997, pemulihan ekonomi mulai mengalami kemajuan pada tahun 2000.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2000-2007 kembali naik yaitu sebesar
3,83 sampai 6,35 persen dengan rata-rata pertumbuhan pada perode tersebut
sekitar 5,04 persen. Pada tahuan 2008 perekonomian dunia diguncangkan dengan
adanya krisis global, namun adanya krisis global ini ternyata tidak terlalu
berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia tidak mengalami penurunan yang cuku berarti seperti saat periode krisis
ekonomi, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6,01 persen,
turun 0,33 persen dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2007. Dampak krisis
global tersebut justru baru dirasakan pada tahun 2009, namun pada tahun 2010
kondisi perekonomian Indonesia kembali menunjukkan kondisi yang baik dengan
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,01 persen (Eka Nurdiyanto, 2012).
Sebagai pajak atas konsumsi, PPN sangat bergantung terhadap kondisi
perekonomian secara umum. Dalam perekonomian yang berlangsung baik dan
stabil, PPN secara normal dapat berkembang positif. Sebaliknya dalam
perekonomian yang dilanda krisis, penerimaan PPN dapat saja berkembang
negatif. Indikator-indikator ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto
(PDB), ekspor, inflasi, suku bunga dan tingkat konsumsi serta penyaluran kredit
investasi dan kredit konsumsi sangat mungkin memiliki pengaruh terhadap
PDB dapat diartikan sebagi agregat dari pendapatan atau imbal jasa yang
diperoleh penduduk suatu negara tertentu atas faktor-faktor produksi yang mereka
miliki yang berasal dari negara tersebut. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa
PDB merupakan gambaran umum perekonomian suatu negara tertentu. PDB
negara Indonesia selalu mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Di Tahun 2001
jumlah PDB Indonesia sebesar Rp. 1.646.322,00 milyar dan di tahun 2010
meningkat menjadi sebesar Rp. 6.422.900,00 milyar. Pertumbuhan PDB tentunya
mengarah kepada pertumbuhan pendapatan masyarakat seiring dengan
berkembangnya perekonomian. Tumbuhnya pendapatan masyarakat selalu dapat
dikaitkan dengan pertumbuhan tingkat konsumsi (Nurhayati dan Rachman, 2003).
Dengan demikian, adanya pertumbuhan PDB dimungkinkan mempengaruhi
penerimaan PPN yang merupakan pajak atas konsumsi.
Inflasi merupakan kenaikan tingkat harga agregat dalam sebuah
perekonomian, dengan adanya inflasi berarti terjadi kenaikan harga secara umum
di pasar. Rata-rata tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia per tahun dalam kurun
waktu tahun 2001 sampai dengan tahun 2010 sebesar 8,12 persen, dimana tingkat
inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 17,11 persen (Badan Pusat
Statistik). Dengan adanya tingkat inflasi yang diharapkan maka secara umum
harga-harga komoditas yang secara umum merupakan barang kena pajak dan
berbagai kegiatan jasa yang merupakan jasa kena pajak juga akan mengalami
kenaikan. Hal ini akan mengakibatkan tingkat permintaan agregat dari
perdagangan akan mengalami penurunan. Masyarakat akan lebih memilih
menghemat dan mengurangi pengeluaran konsumsi. Bila
perdagangan komoditi akan menurun atau lesu sehingga penerimaan PPN
diperkirakan juga akan menurun (Saepudin, 2008). Namun yang terjadi ternyata
tingkat konsumsi dari tahun 2001 hingga tahun 2010 terus mengalami kenaikan
dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 15,7 persen (Bank Indonesia).
Fluktuasi tingkat bunga memiliki hubungan yang erat dengan perilaku
investasi dan konsumsi masyarakat. Kegiatan investasi masyarakat besar kecilnya
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga dalam hubungan yang negatif,
dalam arti bahwa rendahnya tingkat bunga akan mengakibatkan meningkatnya
kegiatan investasi masyarakat (Mochamad Faza Rifai, 2007). Masyarakat akan
memanfaatkan rendahnya tingkat bunga untuk menambah investasi usaha mereka
yang tercermin dari realisasi kredit investasi. Dengan meningkatnya investasi
akan semakin mendorong peningkatan produksi barang dan jasa untuk dikonsumsi
masyarakat. Dari tahun 2001 hingga tahun 2010, realiasi kredit investasi yang
telah disalurkan oleh bank umum selalu mengalami kenaikan dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 19,2 persen, dari nilai realiasi sebesar Rp. 73.466,0
milyar pada tahun 2001 meningkat menjadi sebesar Rp. 347.627,0 milyar pada
tahun 2010 (Bank Indonesia).
Begitu juga dengan kegiatan konsumsi masyarakat yang besar kecilnya
juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga dalam hubungan yang
negatif (Muhammad Yusuf, 2009). Masyarakat akan memanfaatkan rendahnya
tingkat bunga untuk menambah kredit konsumsi yang dipergunakan dalam
membeli barang dan jasa. Kredit konsumsi merupakan alternatif yang banyak
digunakan oleh masyarakat untuk dapat memiliki barang atau menikmati jasa
mencerminkan banyaknya barang atau jasa yang dibeli masyarakat. Dan keadaan
seperti ini memungkinkan memberi pengaruh pada penerimaan PPN itu sendiri.
Untuk realisasi kredit konsumsi yang telah disalurkan oleh bank umum
menunjukkaan angka yang lebih besar dibandingkan dengan kredit investasi.
Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2001 sebesar Rp. 58.435,00 milyar
meningkat menjadi Rp. 550.921,0 milyar pada tahun 2010 dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 28,71 persen (Bank Indonesia).
Selain berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah (budgetair), pajak
juga memiliki fungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (regulerend). Salah
satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan tarif PPN atas
ekspor BKP sebesar 0% (Untung Sukardji, 2006). Tujuan pemerintah melakukan
hal tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan ekspor di dalam negeri.
Penetapan tarif PPN 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh ekportir dari pembelian BKP yang
diekpsor tersebut dapat dikreditkan.
Pemberlakuan peraturan ini tentu saja tidak merugikan pengusaha atau
eksportir. Karena walaupun tidak memungut PPN atas kegiatan ekspor BKP
yang dilakukan dikarenakan tarif 0%, namun semua Pajak Masukan atas
pembelian BKP atau bahan baku BKP yang dipungut pihak lain dapat
dikreditkan dan seterusnya dapat direstitusi (diminta kembali) oleh pengusaha
atau ekportir yang bersangkutan. Tetapi hal ini bisa berdampak pada penerimaan
negara dikarenakan potensi penerimaan PPN dari transaksi penjualan BKP untuk
BKP dapat menyebabkan semakin banyak potensi PPN yang hilang. Secara
umum realiasi ekspor menunjukkan kenaikan dari tahun 2001 sebesar 642.594,0
milyar menjadi sebesar Rp. 1.580.817,8 milyar pada tahun 2010, hanya pada
tahun 2002 dan 2009 saja realiasi ekspor mengalami penurunan dibanding tahun
tahun sebelumnya (Badan Pusat Statistik).
Dalam meningkatkan penerimaan pajak. Pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan kegiatan ekstensifikasi. Salah satu
upaya ekstensifikasi tersebut adalah meningkatkan jumlah Pengusaha Kena Pajak.
Dengan bertambahnya jumlah Pengusaha Kena Pajak maka akan meningkatkan
penerimaan pajak. Namun saat ini ini masih banyak Wajib Pajak yang menurut
ketentuan undang-undang perpajakan sudah wajib terdaftar/dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak namun belum mau mendaftar diri secara sukarela. Sampai
dengan tahun 2010, jumlah Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak baru berjumlah 728.488 PKP. Selain itu juga, untuk dapat
meningkatkan penerimaan pajak maka pihak fiskus juga harus berupaya untuk
bisa meningkatkan tingkat kepatuhan masyarakat Pengusaha Kena Pajak yang
telah terdaftar dalam membayar pajak. Dari jumlah Pengusaha Kena Pajak yang
ada sebanyak 46 persen saja yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT),
sedangkan sebanyak 54 persen tidak melaporkan SPT (Direktorat Jenderal Pajak).
Dengan semakin besarnya peranan pajak sebagai sumber pendapatan
negara yang paling besar menjadikan pentingnya kajian-kajian terhadap berbagai
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Khususnya terhadap penerimaan PPN
yang secara umum dapat dipengaruhi oleh indikator-indikator ekonomi makro
pajak setiap tahunnya dapat tercapai. Sebagaimana kita tahu bahwa target
penerimaan pajak semakin besar dari tahun ke tahun, sehingga pemerintah dalam
hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus terus berupaya mencari solusi dan
terobosan baru dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Atas dasar itulah, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini
menjadi sebuah penelitian yang diberi judul "Analisis Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka ada rumusan
masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan.
Hal ini untuk mempermudah dalam penulisan tesis ini. Selain itu, rumusan ini
diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan pada akhir penulisan tesis,
antara lain :
1. Apakah jumlah Pengusaha Kena Pajak berpengaruh terhadap
penerimaan PPN di Indonesia?
2. Apakah Produk Domestik Bruto berpengaruh terhadap penerimaan
PPN di Indonesia?
3. Apakah ekspor berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?
4. Apakah inflasi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?
5. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap penerimaan PPN di
Indonesia?
6. Apakah pengeluaran konsumsi berpengaruh terhadap penerimaan PPN
7. Apakah kredit investasi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di
Indonesia?
8. Apakah kredit konsumsi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di
Indonesia?
9. Apakah inflasi berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi di
Indonesia?
10. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap kredit investasi di
Indonesia?
11. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap kredit konsumsi di
Indonesia?
12. Bagaimana pengaruh inflasi secara langsung, tidak langsung, dan
pengaruh total terhadap penerimaan PPN melalui pengeluaran
konsumsi?
13. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga secara langsung, tidak
langsung, dan pengaruh total terhadap penerimaan PPN melalui kredit
investasi?
14. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga secara pengaruh secara
langsung, tidak langsung, dan pengaruh total terhadap penerimaan
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini
adalah :
1. Untuk menganalisis pengaruh jumlah Pengusaha Kena Pajak terhadap
penerimaan PPN di Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Bruto terhadap
penerimaan PPN di Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh ekspor terhadap penerimaan PPN di
Indonesia.
4. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN di
Indonesia.
5. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga terhadap
penerimaan PPN di Indonesia.
6. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran konsumsi berpengaruh
terhadap penerimaan PPN di Indonesia?
7. Untuk menganalisis pengaruh kredit investasi berpengaruh terhadap
penerimaan PPN di Indonesia?
8. Untuk menganalisis pengaruh kredit konsumsi berpengaruh terhadap
penerimaan PPN di Indonesia?
9. Untuk menganalisis pengaruh inflasi berpengaruh terhadap
pengeluaran konsumsi di Indonesia?
10. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga berpengaruh
11. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga berpengaruh
terhadap kredit konsumsi di Indonesia?
12. Untuk menganalisis pengaruh inflasi secara langsung, tidak langsung,
dan total pengaruh terhadap penerimaan PPN melalui pengeluaran
konsumsi?
13. Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga secara langsung,
tidak langsung, dan total pengaruh terhadap penerimaan PPN melalui
kredit investasi?
14. Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga secara langsung,
tidak langsung, dan total pengaruh terhadap penerimaan PPN melalui
kredit konsumsi?
1.4.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak mengenai pengaruh jumlah Pengusaha Kena Pajak,
Produk Domestik Bruto, ekspor, inflasi, tingkat suku bunga,
pengeluaran konsumsi, kredit investasi dan kredit konsumsi terhadap
penerimaan PPN di Indonesia.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak mengenai pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN
di Indonesia melalui pengeluaran konsumsi.
3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat
penerimaan PPN di Indonesia melalui kredit investasi dan kredit
konsumsi.
4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak dalam meningkatkan penerimaan PPN sebagai sumber
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Perpajakan
2.1.1. Defenisi Pajak
Pengertian pajak sebagai sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh
warga negara dalam sebuah negara yang berdaulat telah banyak dikemukakan
oleh para ahli. Kesemua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli memiliki
definisi prinsipil yang tidak jauh berbeda.
Definisi pajak menurut PJA Adriani adalah: "Iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan" (Waluyo dan Ilyas, 2000).
Rochmat Soemitro memberikan definisi pajak sebagai ”iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (Mardiasmo, 2006).
Sedangkan pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah “
Kontribusi wajib yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Dari defenisi- tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur
unsur (Mardiasmo, 2006) :
1. Pajak adalah iuran rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang) yang digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan
rakyat.
2. Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2. Fungsi Pajak
Mardiasmo (2006) menyatakan fungsi tersebut adalah :
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
2.1.3. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,
maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut (Mardiasmo,
2006) :
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni pencapaian keadilan, undang-undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya
yaitu dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan keberatan
banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
bagi warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
2.1.4. Teori Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi
pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara
lain adalah (Mardiasmo, 2006) :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai
suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadap negara, maka makin tinggi pajak yang
harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur
daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Unsur objektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau
b. Unsur subjektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
menungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan
kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan.
2.1.5. Pengelompokan Pajak
Menurut golongannya, pajak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
(Mardiasmo, 2006):
1. Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak
dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan
2. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan ke pihak lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
1. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh :
Pajak Penghasilan.
2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai.
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu :
1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan
Bangunan , dan Bea Meterai.
2. Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan
Pajak Hiburan.
2.1.6. Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak terdiri dari (Mardiasmo, 2006) :
1. Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya,
baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Asas
2. Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
3. Asas kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara.
2.1.7. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal ada 3 (tiga) sistem pemungutan
(Mardiasmo 2006), yaitu:
1. Official Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
dan/atau Pengusaha Kena Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang terhadap Wajib Pajak.
2.2. Pajak Pertambahan Nilai
2.2.1. Defenisi PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan namanya merupakan pajak
yang dikenakan atas nilai tambah (added value) dari suatu barang atau jasa dalam
salah satunya diberikan oleh Tait (1988), yaitu ”Nilai Tambah adalah nilai yang
dihasilkan oleh produsen ... yang ditambahkan kepada bahan baku atau
pembelian (termasuk tenaga kerja) sebelum menjual produk atau jasa yang baru
atau yang telah diolah”, Ebrill et.al (2001) menyatakan ”.... PPN secara umum
tidak ditujukan untuk menjadi pajak terhadap nilai tambah namun biasanya
ditujukan sebagai suatu pajak atas konsumsi”. Selanjutnya Schenk dan Oldman
(2001) menyatakan ”Dalam praktiknya, pajak atas dasar konsumsi cenderung
menjadi pajak atas transaksi ....”.
Sedangkan defenisi PPN menurut Untung Sukardji (2003) adalah
”Pengenaan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi, baik yang dilakukan oleh
perseorangan atau badan baik badan swasta maupun badan pemerintah dalam
bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara”
2.2.2. Dasar Hukum PPN
Dasar hukum pengenaan PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1951 tentang
Pajak Penjualan (PPn). Undang-undang ini disebut Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984. Namun undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 Januari
1986 dikarenakan agar persiapan dalam pelaksanaan undang-undang tersebut
dapat maksimal. Kemudian Undang-Undang PPN telah mengalami beberapa kali
perubahan. Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994,
kemudian perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dan
2.2.3. Objek PPN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
pada pasal 4 disebutkan bahwa PPN dikenakan atas (objek pajak) :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
2. Impor BKP;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan
oleh pengusaha;
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
6. Ekspor BKP oleh PKP;
Selain objek pajak diatas, PPN juga dikenakan atas :
1. Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain (Pasal 16 C UU PPN);
2. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan
semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang
dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.(Pasal 16 D UU PPN)
Tidak semua barang atau jasa yang diserahkan atau dimanfaatkan
dikategorikan sebagai BKP/JKP. Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah
tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan peraturan pemerintah didasarkan atas
kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, seperti minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan
kerikil, batu bara belum diproses menjadi briket batu bara, biji besi, biji
timah, biji tembaga, dan besi perak serta biji bauksit;
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang
beryodium maupun yang tidak beryodium;
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi ditempat maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh jasa boga atau catering;
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan
lainnya).
Sementara jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan
peraturan pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
2. Jasa di bidang pelayanan sosial;
3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
5. Jasa di bidang keagamaan;
6. Jasa di bidang pendidikan;
8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
10. Jasa di bidang tenaga kerja;
11. Jasa di bidang perhotelan;
12. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
2.2.4. Dasar Pengenaan PPN
Untuk menghitung besarnya PPN yang terutang diperlukan adanya Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Mardiasmo (2006) menyebutkan DPP adalah :
1. Harga Jual, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN 1984 dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan
JKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN 1984 dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
3. Nilai Impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP,
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang PPN 1984.
4. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
2.2.5. Tarif PPN
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah sebagi berikut :
1. Tarif tunggal 10% (sepuluh persen)
Tarif ini berlaku untuk semua jenis penyerahan BKP dan JKP di dalam
daerah pabean.
2. Tarif ekspor 0% (nol persen)
Tarif ini hanya berlaku untuk ekspor BKP keluar daerah pabean.
Pengenaan tarif 0% bukan berarti pembebasan pengenaan PPN, tetapi
Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor dapat
dikreditkan. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan ekspor
produk dalam negeri.
Atas tarif PPN tersebut, pemerintah dapat mengubahnya menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen). Perubahan
tarif ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.2.6. Mekanisme Pengenaan PPN
Undang-undang PPN 1984 menganut metode kredit pajak (credit method)
serta metode faktur pajak (invoice method). Dalam metode ini PPN dikenakan atas
penyerahan BKP atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dipungut
secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak
berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan diterapkannya
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (metode kredit pajak). Untuk melakukan
Mekanisme pengenaan PPN menurut Mardiasmo (2006) dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP
penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut
merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut Pajak Masukan.
Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
b. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib
memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur
pajak.
c. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama
dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada
jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
d. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil
daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta
kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
2.3. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Undang-undang PPN tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 memberikan definisi Pengusaha
Kena Pajak (PKP) sebagai Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Batasan pengusaha
kecil sebagaimana dimaksud, terakhir ditentukan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yaitu sebesar Rp. 600 juta.
PKP sebagaimana dimaksud diatas merupakan Wajib Pajak yang
selanjutnya dengan sukarela atau atas ketetapan jabatan dikukuhkan sebagai PKP.
PKP selanjutnya berkewajiban untuk:
1. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang.
2. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak.
3. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengembalian BKP.
4. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya.
5. Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang
6. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
Tingkat kepatuhan PKP akan tercermin dalam tingkat keterdaftaran
mereka sebagai PKP dan kepatuhan mereka dalam menyampaikan SPT Masa
PPN. SPT Masa PPN merupakan suatu bentuk pelaporan kegiatan usaha PKP
dalam satu masa pajak. SPT Masa PPN merupakan laporan bulanan yang dapat
disampaikan oleh PKP, mengenai perhitungan:
1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau penerimaan
JKP.
2. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/ JKP.
3. Penyetoran pajak atau kompensasi. (Mardiasmo, 2006)
Tingkat kepatuhan PKP menjadi hal yang penting dalam hubungannya
dengan penerimaan PPN, karena PKP adalah pemungut PPN. PPN dipungut oleh
Berdasarkan prinsip self assessment, yang berlaku dalam sistem perpajakan di
Indonesia, PKP kemudian melaporkan setiap transaksi yang atasnya dikenakan
PPN. Sebaliknya, PKP juga berhak untuk mengkreditkan PPN yang dikenakan
atas pembelian yang dilakukannya. Selisih di antara keduanya, apabila ternyata
lebih besar pajak yang dipungut oleh PKP dari transaksi penjualannya, kemudian
disebut sebagai PPN yang terutang dari kegiatan usaha PKP dan wajib disetorkan
ke Kas Negara oleh PKP. Oleh karena itulah, keberadaan PKP terdaftar
merupakan hal yang penting bagi penerimaan PPN suatu wilayah.
2.4. Produk Domestik Bruto (PDB)
2.4.1. Defenisi PDB
Pengertian PDB menurut Case dan Fair (2004) adalah “nilai pasar total
semua barang dan jasa akhir yang diproduksi selama periode waktu tertentu oleh
faktor-faktor produksi yang berlokasi di dalam sebuah Negara”. Sementara itu
Dornbusch et. Al (2004) menyatakan PDB adalah “nilai seluruh barang dan jasa
yang diproduksi di suatu negara dalam suatu periode tertentu”.
BPS selaku lembaga pemerintah yang bertugas melakukan perhitungan
PDB di Indonesia memberikan pengertian PDB sebagai jumlah nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi atau jumlah nilai tambah
yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa PDB adalah produk
barang dan jasa total yang dihasilkan dalam perekonomian suatu negara di dalam
suatu negara yang berada di dalam negeri ditambah milik negara lain di dalam
negeri.
2.4.2. Penghitungan PDB
PDB biasanya dihitung dengan menggunakan dua keterangan menurut
patokan harga yang dipakai yaitu :
1. Patokan harga berlaku (PDB nominal)
Dalam metode ini nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada
tahun yang bersangkutan, yang berarti termasuk kenaikan harga-harga.
2. Patokan harga konstan (PDB riil)
Dalam metode ini nilai barang dan jasa yang dihitung dengan menetapkan
tahun dasar yang akan digunakan sebagai basis perhitungan. Perhitungan
dengan cara ini dianggap lebih riil karena akan memperlihatkan
pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya.
Secara matematis penghitungan kedua metode tersebut adalah :
PDB
IHK : Indeks Harga Konsumen
X : Tahun tertentu
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu
negara dalam suatu periode tertentu adalah data PDB berdasarkan harga konstan
(riil) yang digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun dengan menggunakan
komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (C), pengeluaran konsumsi
pemerintah (G), investasi (I) dan ekspor neto (ekspor (X) dikurangi impor (M))
atau dengan perolehan perhitungan sebagai berikut :
PDB = C + G + I + (X-M) ... (2.1)
Untuk menghitung angka-angka PDB ada tiga pendekatan yang dapat
digunakan, yaitu :
1. Menurut pendekatan produksi
PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian
ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu : 1) Pertanian,
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Pertambangan dan Penggalian,
3) Industri Pengolahan, 4) listrik, Gas dan Air Bersih, 5) Bangunan, 6)
Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7) Pengangkutan dan Komunikasi, 8)
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, 9) Jasa-jasa termasuk jasa
pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub
2. Menurut Pendekatan Pendapatan
PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam
jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi
yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan
keuntungan, semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak
langsung lainnya.
3. Menurut Pendekatan Pengeluaran
PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari : 1)
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, 2)
konsumsi pemerintah, 3) pembentukan modal tetap domestik bruto, 4)
perubahan stok, 5) ekspor neto.
2.5. Ekspor
2.5.1. Defenisi Ekspor
Menurut Amir MS (Amir MS, 2004), ekspor adalah mengeluarkan
barang-barang dari peredaran dalam masyarakat dan mengirimkan ke luar negeri sesuai
ketentuan pemerintah dan mengharapkan pembayaran dalam bentuk valuta asing
ataupun ekspor merupakan upaya melakukan penjualan komoditi yang kita miliki
kepada bangsa lain atau negara asing, dengan mengharapkan bayaran dengan
valuta asing.
Menurut Michael P. Todaro, ekspor adalah kegiatan perdagangan
internasional yang memberikan rangsangan guna menambah permintaan dalam