PERANAN MARKER KOAGULASI
SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PADA
PENDERITA TRAUMA KAPITIS
T E S I S
Oleh :
Alfansuri Kadri
Nomor Register CHS : 16311
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM
MALIK
PERANAN MARKER KOAGULASI SEBAGAI
PREDIKTOR OUTCOME PADA PENDERITA
TRAUMA KAPITIS
T E S I S
Untuk memperoleh gelar spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
Oleh :
Alfansuri Kadri
Nomor Register CHS : 16311
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
Telah diuji pada :
23 Desember 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)
2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K)
3. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
5. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)
6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp,S
7. Dr. Aldy. S. Rambe, Sp.S
8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S
9. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S
10. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan HidayahNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
Shalawat dan salam bagi Junjungan Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya yang telah menunjuki kita dari alam kesesatan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam Program Pendidikan Spesialisasi di Bidang Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah, Sp.PD (KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.
Yang terhormat Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) (Kepala Bagian Neurologi saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU, Prof. Dr.dr.Hasan Sjahrir, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat dr. H.Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi peserta didik serta banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses pendidikan.
Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan , bimbingan dan arahan dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.
mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis sejak dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
Kepada guru-guru saya, dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K). (alm)., dr. Ahmad Syukri Batubara, Sp.S(K) (alm)., dr.LBM Sitorus, Sp.S., dr. Darlan Djali Chan, SpS., dr.Yuneldi Anwar, Sp.S(K)., dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S., dr Dadan Hamdani, Sp.S., dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S., dr. Aldy S. Rambe, Sp.S., dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S., dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S, dr. Cut Aria Arina, Sp.S., dr. Kiki M Iqbal Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen/SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terimakasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.
Kepada Direktur Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.
Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang terus memberi dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Bapak Amran Sitorus, Sukirman Aribowo dan seluruh perawat di SMF Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam pelayanan pasien sehari-hari.
pendidikan , kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras dan bertanggungjawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan nasehat serta do’a yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.
Teristimewa kepada istriku tercinta drg. Indri Lubis yang dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih saying dalam suka dan duka, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mertua saya. Drg. H.Mukmar Lubis dan Elfrida Siregar atas nasihat, doa , semangat dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan pendidikan ini.
Kepada saudara-saudaraku beserta seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan do’a dalam menyelesaikan pendidikan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah Tuhan Semesta Alam selalu melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya Kepada kita semua.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin .
Wassalamualaikum Wr.Wb
Medan, Desember 2008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : dr. Alfansuri Kadri
Tempat /Tanggal Lahir : Medan, 09 November 1978
Agama : Islam
Pekerjaan : Staf Pengajar Departemen Neurologi
NIP : 132 303 386
Pangkat / Golongan : Penata Muda Tkt I / III B
Nama Ayah : dr. A.Kadri
Nama Ibu : drg. Taqwa D. Kadri
Nama Istri : drg. Indri Lubis
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar SD Harapan I – Medan, tamat tahun 1991
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Harapan I – Medan , tamat tahun 1994
3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I – Medan, tamat tahun 1997 4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2003
Riwayat Pekerjaan :
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ………... i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... vi
DAFTAR ISI ……….. vii
DAFTAR SINGKATAN ……… xiii
DAFTAR LAMBANG ………... xiv
DAFTAR TABEL ……….. xv
DAFTAR GAMBAR ………. xix
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx
ABSTRAK ………. xxi
ABSTRACT ………. xxii
BAB I. PENDAHULUAN ………. 1
1.1. Latar Belakang ………. 1
1.2. Perumusan Masalah ………... 11
1.3. Tujuan Penelitian ………. 11
1.3.1. Tujuan Umum ………... 11
1.3.2. Tujuan Khusus ………. 11
1.4. Hipotesis ……… 12
1.5. Manfaat Penelitian ……….. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 13
II.1. TRAUMA KAPITIS ……….. 13
II.1.1. Definisi ………. 13
II.1.2. Epidemiologi ………... 13
II.1.3. Klasifikasi ……… 15
II.1.4. Patofisiologi ……… 17
II.1.4.2. Cedera kepala sekunder
(Secondary Brain Injury) …………. 18
II.2. HEMOSTASIS ……….. 19
II.2.1. Sistem Koagulasi ………... 19
II.2.2. Sistem Fibrinolisis ………. 24
II.2.3. Koagulopati ………. 25
II.3. KOAGULOPATI PADA TRAUMA KAPITIS ……… 26
II.4. OUTCOME DARI PENDERITA TRAUMA KAPITIS ……….. 29
II.4.1. GLASGOW OUTCOME SCALE ……… 30
II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL ………. 33
BAB III METODE PENELITIAN ………. 34
III.1.TEMPAT DAN WAKTU ……….. 34
III.2. SUBJEK PENELITIAN ……….. 34
III.2.1. Populasi sasaran ………... 34
III.2.2. Populasi terjangkau……… 34
III.2.3. Besar sampel ………. 34
III.2.4. Kriteria Inklusi ………. 35
III.2.5. Kriteria Eksklusi ………..35
III.3. Batasan operasional ……….. 35
III.4. Rancangan Penelitian ………..40
III.5. Pelaksanaan Penelitian ……… 40
III.5.1. Instrumen ……… 40
III.5.2. Pengambilan sampel………. 40
III.5.3. Kerangka Operasional ……….. 41
III.5.4. Variabel yang diamati ………... 42
III.6. Analisa statistik ……….. 42
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………45
IV.1. HASIL PENELITIAN ………. 45
IV.1.1. Karakteristik Penelitian ………... 45
IV.1.3. Distribusi sampel berdasarkan nilai
Glasgow Coma Scale (GCS) …………. 47
IV.1.4. Distribusi sampel berdasarkan
gambaran Head CT-scan……… 47
IV.1.5. Distribusi sampel berdasarkan ada
tidaknya perdarahan pada Head
CT-scan ………. 48
IV.1.6. Distribusi sampel berdasarkan nilai
Glasgow Outcome Scale (GOS) ……... 49
IV.1.7. Perbedaan rerata marker koagulasi
laboratorium pada kedua jenis kelamin
………. 49
IV.1.8. Hubungan antara Glasgow Outcome
Scale (GOS) dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) ……….. 50
IV.1.9. Hubungan antara Glasgow Coma Scale
(GCS) dengan penyebab trauma kapitis ……….. ………. 52
IV.1.10. Hubungan antara GCS dengan
gambaran Head CT-scan ………. 53
IV.1.11. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran
Head CT-scan ……….. 53
IV.1.12. Hubungan antara GCS dengan tingkat
Pendidikan ……… 54
IV.1.13. Hubungan antara GCS dengan
pekerjaan ……… 55
IV.1.14. Hubungan antara GCS dengan jenis
Kelamin ……….. 57 IV.1.15. Hubungan antara GOS dengan jenis
IV.1.17. Hubungan GOS dengan penyebab trauma kapitis ………. 58
IV.1.18. Hubungan antara GOS dengan
gambaran Head CT-scan ……… 58
IV.1.19. Hubungan antara GOS dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran
Head CT Scan ……… 60
IV.1.20. Hubungan antara GOS dengan tingkat
Pendidikan ………. 61 IV.1.21 Hubungan antara GOS dengan
pekerjaan ………. 61
IV.1.22. Pengaruh nilai GCS terhadap rerata
nilai marker koagulasi laboratorium ……….. 63 IV.1.23. Pengaruh rerata marker koagulasi labo- ratorium terhadap nilai GOS ………. 63 IV.1.24. Pengaruh rerata marker koagulasi labo- ratorium terhadap gambaran Head
CT-scan ……….. 64
IV.1.25. Pengaruh rerata marker koagulasi labo- ratorium terhadap ada tidaknya perda-
rahan pada gambaran Head CT-scan .. 68 IV.1.26. Pengaruh penyebab trauma kapitis
terhadap rerata nilai marker koagulasi laboratorium ……… 69 IV.1.27. Perbandingan antara rerata marker
koagulasi laboratorium dengan usia … 73 IV.1.28. Pengaruh usia terhadap ada tidaknya
perdarahan pada gambaran Head CT -
scan ……… 79
IV.1.30. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium terhadap nilai GOS, untuk
kelompok GCS 13-15 ……… 80
IV.1.31. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS 9-12 ……… 81
IV.1.32. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS ≤ 8 ………. 82
IV.1.33. Perbedaan rerata usia pada masing- masing kelompok GOS ……….. 83.
IV.2. PEMBAHASAN ……….. 84
IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian ……… 84
IV.2.2. Hubungan antara variabel demografi dengan outcome ………. 85
IV.2.3. Marker koagulasi laboratorium sebagai prediktor outcome ………. 87
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 95
V.1. KESIMPULAN ………. 95
V.2. SARAN ………. 96
DAFTAR PUSTAKA ……… 97
DAFTAR SINGKATAN
ABI : Acquired Brain Injury
aPTT : Activated Partial Thromboplastin Time AT III : Antithrombin III
CT : Computed tomography
CVD : Cerebrovascular disease
DIC : Disseminated intravascular coagulation FDP : Fibrin Degradation Product
FK : Fakultas Kedokteran
GCS : Glasgow Coma Scale
GOS : Glasgow Outcome Scale
Hb : Hemoglobin
KLL : Kecelakaan Lalu Lintas
LACI : Lipoprotein-associated coagulation inhibitor
MRI : Magnetic Resonance Imaging
PAI : Plasminogen activator inhibitor
PC : Protein C
PHI : Progressive hemorrhagic injury PIC : Plasmin inhibitor complex
PT : Prothrombin Time
PTT : Partial Thromboplastin Time ROC : Receiver Operating Characteristic SF : Soluble fibrin
DAFTAR LAMBANG
N = Besar sampel
Zα = Nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan 1,96 d = Besarnya penyimpangan yang masih bisa ditolerir
% = Persen
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 1. Stratifikasi resiko pada penderita dengan
trauma kapitis ………. 16
Tabel 2. Karakteristik demografi sampel penelitian ……… 46 Tabel 3. Distribusi sampel berdasarkan nilai GCS ……….. 47 Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan gambaran
Head CT-scan ………. 48
Tabel 5. Distribusi sampel berdasarkan ada tidaknya
perdarahan pada Head CT-scan ……… 48
Tabel 6. Distribusi sampel berdasarkan nilai Glasgow
Outcome Scale (GOS) ……….. 49
Tabel 7. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium
pada kedua jenis kelamin ……… 51
Tabel 8. Hubungan antara GOS dengan GCS ……… 52
Tabel 9. Hubungan GCS dengan penyebab trauma
kapitis ………. 52
Tabel 10. Hubungan antara GCS dengan gambaran
Head CT-scan .. ……….. 53
Tabel 11. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya
perdarahan pada gambaran Head CT-scan …… 54
Tabel 12. Hubungan antara GCS dengan tingkat pendidikan 55
Tabel 13. Hubungan antara GCS dengan pekerjaan ………… 56
Tabel 14. Hubungan antara GCS dengan jenis kelamin ……... 56 Tabel 15. Hubungan antara GOS dengan jenis kelamin …….. 57
Tabel 16. Hubungan antara GOS dengan suku ……… 58
Tabel 17. Hubungan antara GOS dengan penyebab trauma
Tabel 18. Hubungan antara GOS dengan gambaran
Head CT Scan ………. 60
Tabel 19. Hubungan GOS dengan ada tidaknya perdarahan
pada gambaran Head CT scan ……….. 61
Tabel 20. Hubungan GOS dengan tingkat pendidikan ………. 62 Tabel 21. Hubungan antara GOS dengan pekerjaan …………. 62 Tabel 22. Pengaruh nilai GCS terhadap rerata nilai marker
koagulasi laboratorium ………. 65
Tabel 23. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium …. 66 Tabel 24. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive
value, dan negative predictive value kadar
fibrinogen terhadap outcome baik (skor GOS 4-5)… 67
Tabel 25. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value kadar
fibrinogen terhadap outcome buruk (skor GOS 1-3) … 67 Tabel 26. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value,
dan negative predictive value kadar D-dimer
terhadap outcome baik (skor GOS 4-5) ………….. 67 Tabel 27. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value,
dan negative predictive value kadar D-dimer terhadap outcome buruk (skor GOS 1-3) ……… 68 Tabel 28. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium
pada masing masing kelompok gambaran
Head CT scan ………. 70
Tabel 29. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada ada tidaknya perdarahan pada gambaran
Head CT-scan ………..……. 71
Tabel 30. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value kadar
fibrinogen terhadap ada tidaknya perdarahan pada
Tabel 31. Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value kadar D-dimer terhadap ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT scan 72 Tabel 32. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium
pada kedua jenis penyebab trauma ……… 72 Tabel 33. Perbedaan rerata usia pada perdarahan pada Head
CT scan ……… 79
Tabel 34. Perbedaan rerata usia pada kedua jenis penyebab
trauma kapitis ……… 79
Tabel 35. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium
terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS 13-15 …. 80 Tabel 36. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium
Terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS 9-12….. 81 Tabel 37. Pengaruh rerata marker koagulasi laboratorium
Terhadap nilai GOS, untuk kelompok GCS ≤ 8……. 83 Tabel 38. Perbedaan rerata usia pada masing masing
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 1. Ringkasan reaksi-reaksi yang terlibat
dalam hemostasis ………. 22
Gambar 2. Kaskade Koagulasi ……… 23
Gambar 3. Perbandingan antara rerata jumlah trombosit
dengan usia ……….. 73
Gambar 4. Perbandingan antara rerata nilai PT dengan
usia ……… 74
Gambar 5. Perbandingan antara rerata nilai TT dengan
usia ….. ……… 75
Gambar 6 Perbandingan antara rerata nilai aPTT
dengan usia ……… 76
Gambar 7. Perbandingan antara rerata kadar fibrinogen
dengan usia ………..…… 77
Gambar 8. Perbandingan antara rerata kadar D-dimer
DAFTAR LAMPIRAN
HALAMAN
Lampiran 1. Surat persetujuan ikut dalam penelitian ……….. 101
Lampiran 2. Lembar pengumpul data penelitian …………... 102
Lampiran 3. GLASGOW OUTCOME SCALE (GOS) ……….. 105
Lampiran 4. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan
FK-USU ……… 106
ABSTRAK
Latar Belakang : Trauma kapitis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak, dewasa, dan masyarakat usia produktif. Disamping upaya untuk mencegah terjadinya trauma kapitis, sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi outcome. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan marker koagulasi sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.
Metode : Seluruh pasien secara konsekutif, dengan dignosa trauma kapitis yang dirawat di departemen neurologi FK-USU diikutsertakan dalam penelitian ini. Karakteristik demografi turut dicatat pada penelitian ini. Pada seluruh pasien dilakukan perhitungan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) pada saat masuk dan juga dilakukan pengukuran marker koagulasi berupa jumlah Trombosit, Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, dan D-dimer. Untuk pemeriksaan outcome dilakukan dengan pengukuran Glasgow Outcome Scale (GOS) pada saat penderita keluar dari rumah sakit. Kemaknaan statistik adalah apabila p<0,05.
Hasil : Tujuh puluh tujuh pasien trauma kapitis yang terdiri dari 50 orang pria dan 27 orang wanita ikut serta dalam penelitian ini. Keparahan pasien saat masuk yang dinilai dengan GCS merupakan prediktor yang kuat terhadap outcome (p=0.001). Keparahan pasien saat masuk juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar D-dimer (p=0,001), fibrinogen (p=0,001), PT (p=0,001), dan aPTT (p=0,001). Dari berbagai marker koagulasi yang diperiksa pada penelitian ini, kadar D-dimer dan fibrinogen dapat menjadi prediktor yang kuat terhadap outcome pasien (masing-masing p=0,001). Pasien dengan kadar D-dimer yang tinggi dan GCS yang rendah akan mempunyai outcome yang lebih buruk.
Kesimpulan :Marker koagulasi, khususnya kadar fibrinogen dan D-dimer dapat digunakan sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.
ABSTRACT
Background : Head injury is the main cause of morbidity and mortality in
children, adults, and people in productive age. Aside from efforts in preventing head injury, it is very important to determine factors that can influence outcome. The objective of this study is to determine the role of coagulation marker as predictor of outcome in head injury.
Methods : All consecutive patients with diagnosis of head injury in Departement
of Neurology Medical Faculty of USU were enrolled in this study. In all patients, Glasgow Coma Scale on admission were calculated, also coagulation markers thrombocyte count, Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, and D-dimer were measured. To determine outcome, Glasgow Outcome Scale (GOS) was used when the patient was discharged from the hospital. Statistical significance was accepted at p < 0,05.
Results : Seventy seven head injury patients, consisted of 50 male and 27
female were enrolled in this study. Severity of patients on admission, measured by using GCS is a strong predictor toward outcome (p=0,001). Severity of patients on admission also has a significant correlation with level of D-dimer (p=0,001), fibrinogen (p=0,001), PT (p=0,001), and aPTT (p=0,001). From several coagulation markers measured in this study, level of D-dimer and fibrinigen can be strong predictors toward patient’s outcome (p=0,001 each). Patients who have high D-dimer level and low GCS will have worse outcome.
Conclusion : coagulation markers, particularly level of fibrinogen and D-dimer
can be used a predictor of outcome in head injury patients.
Key Words : head injury, glasgow coma scale, glasgow outcome scale,
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI,2006). Trauma kapitis yang merupakan suatu momok pada kelompok industrial modern, adalah penyebab utama kematian, terutama pada kelompok umur dewasa muda, dan juga penyebab terbesar kecacatan (Mayer dan Rowland, 2000). Penyembuhan dari trauma kapitis sendiri dapat berlangsung sampai 5 tahun setelah trauma kapitis (Khan dkk, 2003).
Di Amerika Serikat, 40 % dari kematian oleh cedera akut disebabkan oleh trauma kapitis. Sekitar 52.000 penduduk meninggal setiap tahun akibat trauma kapitis. Mortality rate untuk trauma kapitis di Amerika serikat diperkirakan 17 per 100.000 penduduk. (Dawodu, 2007)
perawatan fase akut dan juga masa pemulihan dan rehabilitasi. (Dawodu, 2007)
Kebanyakan pasien yang mengalami trauma kapitis ringan atau sedang akan pulih setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan, tanpa terapi spesifik. Namun, ada juga pasien yang akan terus mengalami gejala kecacatan setelah periode ini, yang mengganggu pekerjaan atau aktifitas sosial. Masih terdapat kontroversi terhadap tingkat morbiditas yang menetap ketika dibandingkan dengan outcome pada pasien dengan trauma kapitis berat (Naalt, 1999)
Memprediksi outcome jangka panjang segera setelah pasien tiba di ruang gawat darurat dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan imaging, yaitu dengan secara klinis, untuk kepentingan komunikasi antara dokter dan paramedis profesional yang menangani, sehingga dapat dipersiapkan strategi yang tepat untuk pengambilan keputusan dan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien (Signorini dkk, 1999).
Prognosis dari trauma kapitis selama ini adalah berdasarkan hasil dari pemeriksaan CT-scan dan juga pemeriksaan neurologis, serta belakangan ini juga dikembangkan penggunaan Magnetic Resonance Imaging, cerebral perfusion pressure, cerebral venous oxygen saturation in the jugular veins, dan juga cerebral blood flow. Namun belum ada yang dapat dijadikan indikator yang reliable untuk memprediksi outcome pasien pada saat masuk, yang menandakan belum ada yang dapat secara tepat memperkirakan derajat kerusakan otak. (Takahashi dkk, 1997).
Trauma kapitis dengan perdarahan intrakranial mencapai 50 % dari seluruh kematian karena trauma dan 75 % dari kecelakaan lalu lintas. Hingga 20 % kecelakaan vascular cerebral adalah hemorrhagik. Dengan demikian dibutukan suatu screening test untuk perdarahan intrakranial yang efektif, sensitif, reliable dan juga murah. Salah satu cara screening test yang cukup sensitif dan reliable adalah dengan pemeriksaan marker serum untuk koagulopati. (Hoffmann dkk, 2001).
derajat aktifasi koagulasi, yang ditentukan oleh banyaknya tissue factor yang dilepaskan dari jaringan otak yang cedera, dapat menjadi marker yang dapat diandalkan untuk mengetahui derajat kerusakan otak yang terjadi. Keadaan hiperkoagulabulitas tersebut juga sering diikuti dengan peningkatan aktifitas fibrinolitik (Takahashi dkk, 1997).
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vavilala dkk (2001) yang mengukur jumlah trombosit, prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (PTT), dan fibrin degradation product (FDP) pada 69 pasien trauma kapitis, didapati hasil bahwa pasien yang mempunyai kadar FDP > 1000 g/mL dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) 7 – 12 berhubungan dengan outcome yang lebih buruk. Dengan demikian dianjurkan untuk memeriksa adanya koagulopati setelah terjadinya trauma kapitis dan terapi agresif dapat dilakukan bila sudah dijumpai tanda suatu koagulopati (Vavilala dkk, 2001).
Pada penelitian yang dilakukan Vandelli dkk (2004) terhadap 501 pasien trauma kapitis yang diambil secara konsekutif didapatkan
bahwa dari 461 orang yang hasil Head CT-scan-nya tidak
menunjukkan perdarahan, ternyata 50 orang mengalami koagulopati. Temuan ini menyarankan pentingnya pemeriksaan marker koagulasi disamping pemeriksaan Head CT-scan (Vandelli dkk,2004).
trombosit < 50.000 /mm3, prothrombin time > 16 detik, dan partial thromboplastin time > 50 detik). Sebanyak 19 % dari 734 pasien yang mereka teliti menderita komplikasi koagulopati. Data tersebut memberi masukan bahwa komplikasi ekstrakranial mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap penentuan outcome (Piek dkk, 1992).
Tissue thromboplastin yang juga dikenal dengan tissue factor mempunyai peranan penting dalam kaskade koagulasi. Faktor tersebut merupakan physiological initiator dari koagulasi saat terpapar dengan darah pada lokasi cedera. Tissue thromboplastin yang memicu koagulasi dapat mengakibatkan kerusakan organ melalui gangguan mirosirkulasi (Bayir dkk, 2006 ; Sawaya, 1987). Aktifitas tissue thromboplastin dapat terjadi pada hampir semua jaringan pada tubuh, dimana otak manusia merupakan sumber tissue thromboplastin yang kaya (Pathak dkk, 2005). Tissue thromboplastin pada otak akan dilepaskan dalam jumlah besar apabila terjadi trauma kapitis ataupun tumor otak (Bayir dkk, 2006).
tentang pentingnya peran tissue thromboplastin pada koagulopati setelah terjadinya trauma kapitis, ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas tissue thromboplastin tersebut (Pathak dkk, 2005).
Pada penelitian yang dilakukan Boto dkk (2006) tentang resiko kematian dini pada trauma kapitis berat, ditemukan bahwa dari 652 sampel yang diteliti , 114 pasien trauma kapitis berat meninggal dalam 48 jam pertama setelah trauma, dan sebesar 80 orang dari kelompok tersebut menderita koagulopati. Sedangkan dari 538 pasien sisanya, sebanyak 362 menderita koagulopati. Dari kedua kelompok tersebut, koagulopati menunjukkan hubungan yang bermakna (p < 0,001) dengan resiko kematian dini pada penderita trauma kapitis berat (Boto dkk, 2006).
merupakan suatu cedera sekunder otak yang penting (Stein dkk, 2002).
Trombositopenia juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya progressive hemorrhagik injury (PHI) pada trauma kapitis. Pasien dengan PHI mengalami gangguan pada sistem koagulasinya lebih parah dibanding dengan yang non-PHI. Dengan demikian pengobatan dengan agen hemostatik dapat bermanfaat pada pasien seperti ini.(Engström dkk, 2005).
Dari hasil penelitian Hoffmann dkk (2001) pada 319 pasien penderita trauma kapitis, didapatkan bahwa pasien dengan perdarahan intrakranial pada hasil CT-scan lebih cenderung memberikan hasil positif pada pemeriksaan D-dimer (p < 0,001). Pemeriksaan D-dimer pada penelitian ini menunjukkan 21 true-positive dan 4 false-negative, dengan sensitifitas sebesar 84,0 % (95 % CI) dan spesifisitas sebesar 55,8 % (95 % CI). Pada penelitian ini disimpulkan untuk tetap menggunakan CT-scan sebagai alat bantu diagnostik, karena pemeriksaan D-dimer belum cukup sensitif atau belum dapat memprediksi secara akurat adanya perdarahan intrakranial pada pasien trauma kapitis (Hoffmann dkk, 2001).
berhubungan dengan outcome pasien. Pada pasien yang kadar plasma PIC > 15 g/mL atau kadar D-dimer > 5 g/mL, 92 % mengalami kematian, terlepas dari status kesadaran pada saat masuk. Di lain pihak, pasien yang kadar plasma PIC-nya < 2 g/mL atau D-dimer < 1 g/mL mengalami penyembuhan yang baik. Dengan demikian, kadar plasma PIC dan D-dimer merupakan suatu marker prognostik yang dapat diandalkan pada trauma kapitis, dan pasien dengan outcome buruk dapat diidentifikasi sejak awal masuk rumah sakit (Takahashi dkk, 1997).
Bayir dkk (2006) melakukan studi tentang peranan marker fibrinolitik terhadap outcome pada 62 pasien trauma kapitis. Mereka menilai Skala Koma Glasgow (SKG) dan marker fibrinolitik berupa jumlah trombosit, prothrombine time (PT), partial thromboplastin time (PTT), fibrinogen, dan D-dimer. Dari hasil studi tersebut ditemukan bahwa mortalitas sangat kuat berhubungan dengan SKG, PT, PTT, fibrinogen dan D-dimer. Penurunan jumlah trombosit juga dijumpai walaupun tidak bermakna secara signifikan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa SKG dan marker fibrinolitik dapat berguna dalam menentukan prognosis pasien dengan trauma kapitis (Bayir dkk, 2006).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Affonseca dkk (2007), tentang gangguan koagulasi pada anak-anak dan remaja dengan trauma kapitis sedang sampai berat, diperoleh hasil, dari 301 pasien yang diteliti, ternyata ditemukan sebesar 77 % mengalami koagulopati. Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya koagulopati adalah keparahan trauma, adanya perdarahan pada Head CT-scan, dan adanya cedera dada/abdomen (Affonseca dkk, 2007).
meningkat pada saat masuk. Mereka menyimpulkan bahwa pada 24 jam setelah cedera, aktifasi koagulasi terjadi pada trauma kapitis (Vecht dkk, 1975).
Pada penelitian tentang hubungan antara FDP dengan gambaran Head CT-scan pada pasien trauma kapitis yang dilakukan oleh Ueda dkk (1985), diperoleh hasil bahwa dari 26 pasien yang diteliti, konsentrasi FDP plasma meningkat pada pasien dengan epidural hematoma. Lebih jauh lagi, peningkatan FDP kelihatannya lebih bermakna pada pasien dengan kontusio yang berat dibandingkan yang ringan. Temuan ini menandakan bahwa derajat peningkatan FDP plasma proporsional dengan jumlah kerusakan jaringan otak. (Ueda dkk, 1985)
Antovic dkk (1998) melakukan penelitian pada 120 pasien dengan berbagai jenis cedera otak dan mengukur parameter PT, fibrinogen, aPTT, akitifitas FVII, ATIII, dan D-dimer pada 24 jam pertama setelah cedera otak. Mereka memperoleh hasil bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari PT, FVII, dan ATIII, serta peningkatan dari D-dimer, khususnya pada pasien trauma kapitis.
pada hari pertama, ketiga dan kelima setelah trauma dan mereka memperoleh hasil bahwa kadar TAT, D-dimer dan PAI-1 lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan pada CVD. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa trauma kapitis menyebabkan aktivasi koagulasi yang lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan CVD. (Homma dkk, 1998).
I.2. PERUMUSAN MASALAH
I.2.1. Bagaimanakah gambaran marker koagulasi pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan ?
I.2.2. Apakah marker koagulasi dapat menjadi prediktor terhadap outcome pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan ?
I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan umum
I.3.1.1. Untuk mengetahui peranan marker koagulasi sebagai prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.
I.3.2. Tujuan khusus
I.3.2.2. Untuk melihat hubungan antara marker koagulasi dan hasil Head CT-scan pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.
I.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi dengan outcome pada penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.
I.4. HIPOTHESIS
Marker koagulasi dapat menjadi prediktor outcome pada penderita trauma kapitis.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. TRAUMA KAPITIS II.1.1. Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI,2006).
II.1.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat Setiap tahunnya, sekitar 200.000 korban trauma kapitis dirawat di rumah sakit, dan sekitar 52.000 kematian tiap tahunnya terjadi karena trauma kapitis. Mortality rate untuk yang dirawat di rumah sakit adalah 6 per 100.000 penduduk, sedangkan untuk yang di luar rumah sakit adalah 17 per 100.000 penduduk. Pada anak-anak umur 0-14 tahun diperkirakan terdapat kasus trauma kapitis sebesar 475.000 kasus per tahunnya. Kerugian finansial akibat trauma kapitis diperkirakan sebesar 4 milyar US$ setiap tahunnya, meliputi kehilangan income dan juga biaya perawatan dan rehabilitasi berkelanjutan (Dawodu, 2007).
100.000 penduduk, dan trauma kapitis berat sebesar 14 per 100.000 penduduk (Dawodu, 2007).
Terdapat beberapa populasi yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya trauma kapitis, antara lainnya (Dawodu, 2007):
• Usia muda
• Sosio-ekonomi rendah • Tidak menikah
• Pria
• Riwayat penggunaan obat terlarang • Riwayat trauma kapitis sebelumnya
Pria diperkirakan hampir mencapai 2 kali lipat wanita dalam hal menderita trauma kapitis. Perbandingan antara mortality rate antara pria : wanita adalah 3,4 : 1(Dawodu, 2007).
manula ( ≥ 65 tahun) adalah sekitar 31,4 per 100.000 penduduk (Dawodu, 2007)
II.1.3. Klasifikasi
Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan berbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut : (PERDOSSI, 2006)
a. Patologi
i. Komosio serebri
ii. Kontusio serebri
iii. Laserasio serebri b. Lokasi lesi
i. Lesi diffus
ii. Lesi kerusakan vaskuler otak iii. Lesi fokal
• Kontusio dan laserasio serebri • Hematoma intrakranial c. Derajat kesadaran berdasarkan SKG :
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal
Ringan
13-15 Pingsan < 10 menit, defisit neurologi (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam, defisit neurologi
(+) Abnormal
Trauma kapitis dapat juga digolongkan sebagai resiko rendah, sedang atau resiko tinggi berdasarkan faktor resiko dan perkembangan penilaian awal neurologis (Mayer dan Rowland, 2000).
Tabel 1. Stratifikasi resiko pada penderita dengan trauma kapitis
Kategori resiko Karakteristik
II.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi kerusakan otak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan atas 2 stadium yaitu cedera primer atau sekunder (Gilroy, 2000 ; Marik dkk, 2002).
a. Cedera kepala primer (primary brain injury)
Cedera kepala primer merupakan hasil dari kerusakan mekanikal langsung yang terjadi pada saat kejadian trauma (Marik dkk, 2002). Cedera primer dihasilkan oleh tekanan akselerasi dan deselerasi yang merusak kandungan intrakranial oleh karena pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak (Gilroy, 2000 ; Rizzo, 2002). Patofisiologi cedera kepala primer dapat dibedakan menjadi lesi fokal dan lesi difus. Cedera kepala fokal (focal brain injury) khas berhubungan dengan pukulan terhadap kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal mempengaruhi morbiditas dan mortalitas berdasarkan lokasi, ukuran dan progresifitasnya (Marik dkk, 2002). Yang termasuk tipe dari cedera kepala primer ini adalah fraktur tengkorak, hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma intraserebral dan diffuse axonal injury (Marik dkk, 2002).
pasien berumur lebih dari 55 tahun, 80 % mortalitas akibat trauma kapitis terjadi karena diffuse axonal injury. (Widjicks, 2004). Pada praktisnya, diffuse axonal injury dan focal brain lesions sering terjadi bersamaan (Marik dkk, 2002 ; Ropper dan Brown, 2005).
b. Cedera kepala sekunder (secondary brain injury)
Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik dkk, 2002).
Faktor sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskular, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan cerebral blood flow, iskemik, hipoksia, dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron (Gilroy 2000).
II.2. HEMOSTASIS
Istilah hemostasis menandakan mekanisme yang melibatkan kontrol lokal dari perdarahan (gambar 1). Terdapat 3 sistem saling berinteraksi – dinding pembuluh darah, faktor pembekuan, & platelet. (Kauffman, 1996)
II.2.1. Sistem Koagulasi
Faktor pembekuan dapat diaktivasi oleh fosfolipoprotein dari jaringan yang rusak ke aliran darah secara ekstrinsik, atau secara aktivasi kontak intrinsik dengan terpapar dengan permukaan pembuluh darah yang terdiri dari endothelium. (Kauffman, 1996)
Sistem koagulasi terbagi atas jalur intrinsik dan ekstrinsik. Walaupun terbagi menjadi 2 jalur, namun terdapat interkoneksi antara keduanya. Jalur ekstrinsik mempunyai peran utama dalam memulai koagulasi dalam hemostasis. Faktor VIIa/ tissue factor secara langsung mengaktivasi faktor X. Bentuk yang aktif dari faktor X dan V, dengan adanya kalsium, akan mengkatalisasi pembentukan protrombin menjadi trombin. Sebagai langkah akhir dari kaskade, fibrinogen diubah menjadi fibrin monomer oleh aksi trombin (gambar 2).
prekallikrein dan high-molecular-weight kininogen, juga ion kalsium dan fosfolipid yang dikeluarkan oleh platelet. Penyusun setiap pathway membawa perubahan faktor X (inaktif) ke faktor Xa (“a” menandakan aktif). Inisiasi jalur intrinsik terjadi saat prekallikrein, high-molecular-weight kininogen, faktor XI dan faktor XII terpapar pada permukaan yang rusak. Hal ini disebut fase kontak. Terpaparnya kolagen ke permukaan pembuluh darah merupakan stimulus primer untuk fase kontak.
Pembentukan komponen-komponen fase kontak mengakibatkan perubahan prekallikrein menjadi kallikrein, yang pada akhirnya mengaktifasi faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat menghidrolisa lebih banyak prekallikrein menjadi kallikrein. Faktor XIIa juga mengaktifkan faktor XI menjadi faktor XIa dan menghasilkan pelepasan bradikinin, vasodilator yang poten, membentuk high-molecular-weight kininogen.
Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor IX menjadi faktor IXa. Faktor IX merupakan proenzim yang
mengandung residu vitamin K-dependent –
yang aktif merubah faktor X, yang mengakibatkan aktifasi faktor Xa. Selama -carboxylation, vitamin K perlu direduksi untuk dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya.Antikoagulan warfarin menginhibisi reduksi vitamin K dan dengan demikian mencegah terbentuknya sintesa faktor II, VII, IX, dan X.
pada kompleks faktor jaringan-faktor VIIa-Ca2+-Xa. Suatu protein, lipoprotein-associated coagulation inhibitor (LACI), secara spesifik berikatan pada kompleks ini. LACI tersusun atas 3 tandem domain protease inhibitor. Domain 1 berikatan dengan faktor Xa dan domain 2 berikatan dengan faktor VIIa dengan adanya faktor Xa. (Heesen,1997 ; Widjadjakusumah, 1995)
Gambar 1. Ringkasan reaksi-reaksi yang terlibat dalam hemostasis
Dikutip d a ri : Wid ja ja kusuma h MD. (e d ). 1995. Buku a ja r fisio lo g i ke d o kte ra n (re vie w o f me d ic a l p hysio lo g y) / Willia m F Ga no ng . Ed isi 17. Pe ne rb it Buku Ke d o kte ra n EG C . Ja ka rta .
Ko ntra ksi Ko la g e n Thro mb o p la stin j i
Re a
ksi-re a ksi Aktivita s
Ag g re g a si tro mb o sit
l
Tro mb in
Sumbatan hemostatik Sumbatan hemostatis
Ce d e ra d ind ing p e mb uluh
Test koagulasi rutin untuk menilai jalur ekstrinsik adalah tes Protrombin Time (PT). Hal ini dilakukan dengan
mengukur waktu yang dibutuhkan untuk membentuk clot
dengan adanya menambahkan kalsium dan ekstrak jaringan ke plasma. Nilai PT yang normal menandakan kadar normal dari faktor VII, V, X, II dan fibrinogen. (Heesen, 1997)
Partial Thromboplastin Time (PTT) mengacu kepada jalur intrinsik dan tes untuk semua faktor koagulasi kecuali faktor X. Thrombin time (TT) menilai pembentukan trombin dan agregasi fibrin (Heesen, 1997)
Gambar 2. Kaskade Koagulasi
II.2.2. Sistem Fibrinolisis
Sistem pembentukan dan penghancuran fibrin sangat erat berkaitan. Akitifasi koagulasi juga sekaligus mengaktifkan lisis fibrin. Fibrinolisis, proses fisiologis untuk menghilangkan deposit fibrin yang tidak diinginkan, menandakan pemecahan fibrin dengan enzim secara progresif menjadi fragmen-fragmen yang larut. Fragmen-fragmen ini kemudian akan dibuang dari sirkulasi oleh makrofag dari reticuloendothelial system (RES). Aksi sistem fibrinolitik ini melancarkan kembali aliran darah dalam pembuluh yang sebelumnya tersumbat oleh thrombus.
II.2.3. Koagulopati
Gangguan hemostasis dapat menyertai berbagai macam penyakit, yang disebabkan oleh pelepasan substansi thromboplastik, juga reaksi antigen-antibodi selama transfusi, bisa ular, kelainan pembuluh darah karena infeksi, abnormalitas arteriovenous, aneurisma dan graft vaskular. (Kauffman, 1996)
ini, dapat mendapat penyulit berupa perdarahan yang berlebihan.( Kauffman, 1996).
Kelainan ini, yang pertama kali dijabarkan pada tahun 1950, dengan sebutan “intermediary mechanism of disease” oleh McKay, juga dikenal dengan berbagai sinonim, salah satunya yang paling sering digunakan adalah disseminated intravascular coagulation (DIC). (Kauffman, 1996)
II.3. KOAGULOPATI PADA TRAUMA KAPITIS
Pada penelitian yang dilakukan oleh Brohi dkk ( 2007), terhadap 208 pasien dengan trauma kapitis diperoleh hasil bahwa pasien tanpa hipoperfusi jaringan tidak mengalami koagulopati. Selain itu, kadar protein C yang rendah berhubungan dengan pemanjangan PTT dan PT dan juga hiperfibrinolisis dengan kadar D-dimer yang tinggi. Mereka menyimpulkan bahwa koagulopati traumatik dini terjadi hanya apabila terjadi hipoperfusi jaringan, dan kadar protein C pada saat masuk dapat menjadi prediktor outcome pada penderita trauma kapitis (Brohi dkk, 2007).
Jaringan otak merupakan stimulator yang poten dari DIC. Cedera jaringan otak, bersamaan dengan cedera sel endotel dari pembuluh darah lokal, dapat mengakibatkan DIC, yang juga dapat dieksaserbasi oleh pelepasan katekolamin. Abnormalitas pada tes untuk koagulopati sering dijumpai setelah cedera otak. Bahkan, pada pasien trauma kapitis yang fungsi koagulasinya normal pada darah vena perifer, pada darah vena jugularisnya dapat mengalami koagulopati lokal. (Kauffman, 1996)
infark dan perdarahan sekunder yang merupakan tanda suatu DIC. (Kauffman, 1996)
Keparahan dari abnormalitas hemostatis mencerminkan keparahan cedera otak, dan juga kemampuan ketahanan hidup dari pasien. Dari pengalaman didapati bahwa FDP dan skor DIC adalah prediktor terbaik dari outcome, TT dan PTT adalah intermediate, dan PT adalah prediktor outcome yang buruk. Sebagian peneliti mengatakan bahwa PTT dan fibrinogen merupakan prediktor yang paling penting. (Kauffman, 1996)
II.4. OUTCOME DARI PENDERITA TRAUMA KAPITIS
Perkiraan outcome setelah terjadinya trauma kapitis merupakan suatu masalah yang sangat besar, terutama pada pasien dengan trauma yang serius (Mayer dan Rowland, 2000). Evaluasi outcome fungsional setelah keluar dari rumah sakit pada individu dengan acquired brain injury menjadi bagian penting suatu program rehabilitasi. Evaluasi merupakan jalan terbaik untuk mengukur keefektifan pengobatan sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk rehabilitasi. Banyak faktor yang telah mempengaruhi outcome. Terlepas dari tehnik dan metode yang digunakan pada rehabilitasi akut dan post-akut, outcome pasien pada saat masuk ditentukan oleh variabel-variabel : skor SKG pada saat masuk, length of coma, lamanya post traumatic amnesia, dukungan keluarga dan juga tingkat sosio-ekonomi (Leon-Carrion, 2006). Dalamnya koma, temuan CT, dan umur merupakan variabel demografi dan medis yang paling prediktif untuk late outcome (Wartenberg dan Mayer, 2007 ; Mayer dan Rowland, 2000).
dan reliable adalah dengan pemeriksaan marker serum untuk koagulopati. (Hoffmann dkk, 2001).
Usia tua telah lama dikenal sebagai prediktor independen dari outcome yang lebih buruk pada trauma kapitis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Thompson dkk (2006) dijumpai bahwa angka mortalitas pada pasien usia tua dengan trauma kapitis ringan secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan usia muda. Pasien trauma usia tua juga mempunyai ketergantungan yang lebih besar, dan juga lama rawatan di rumah sakit yang lebih lama. Selain itu pasien usia tua juga menderita defisit neurologi yang lebih lama pulih sehingga biaya perawatannya juga lebih besar ( Thompson dkk, 2006).
Otak mengandung tissue factor (faktor III koagulasi) yang cukup banyak, yang apabila dilepaskan ke dalam sirkulasi
karena adanya kerusakan blood brain barrier, akan
mengakibatkan terjadinya jalur koagulasi ekstrinsik. Hipothesis yang dapat diterima adalah bahwa derajat intravascular coagulation sebanding dengan banyaknya jaringan otak yang rusak akibat cedera otak. (Hoffmann dkk, 2001).
II.4.1. GLASGOW OUTCOME SCALE
dipakai untuk mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera otak akut pada cedera otak traumatik maupun non-traumatik ke dalam kategori outcome. Skala ini menggam-barkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan; yang difokuskan pada bagaimana trauma mempengaruhi fungsi pada kehidupan (Leon-Carrion, 2006).
Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut (Leon-Carrion, 2006 ; Capruso dan Levin, 1996) :
1. Meninggal 2. Vegetative State
Tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total, yang menandakan bahwa korteks serebral tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada keadaan vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur-bangun.
Meskipun pasien dengan vegetative state dapat
menunjukkan berbagai aksi motorik yang reflektif, kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran.
3. Severe disability
aktivitas sepanjang hari. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan tidak dapat merawat diri mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk kategori ini. 4. Moderate disability
Pasien dalam kategori ini dapat tinggal sendiri, namun memiliki tingkat kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini dapat kembali bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk mereka, dan tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggung jawab mereka sebelum sakit.
5. Good recovery
Pada kategori ini pasien tidak bergantung dan dapat kembali pada pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor. Pasien dapat menderita defisit neurologi atau kognitif ringan yang menetap, namun tidak mengganggu keseluruhan fungsi. Pasien dalam kategori ini kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri dengan baik tanpa perubahan kepribadian yang berarti.
II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL
Vavilala dkk (2001) pasien trauma kapitis yang mempunyai kadar FDP > 1000 g/mL dengan skor GCS 7 – 12 berhubungan dengan outcome yang lebih buruk
Vandelli dkk (2004)
pemeriksaan marker koagulasi disamping pemeriksaan Head CT-scan dalam memprediksi outcome pada pasien trauma kapitis.
Piek dkk (1992) komplikasi ekstrakranial dari trauma kapitis mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap penentuan outcome.
Bayir dkk (2006) marker fibrinolitik dapat berguna dalam menentukan prognosis pasien dengan trauma kapitis
Hoffmann dkk (2001) pemeriksaan D-dimer untuk memprediksi adanya perdarahan intrakranial pada pasien trauma kapitis.
Marke r Koagulasi
Jumla h
Takahashi dkk (1997) kadar plasma PIC dan D-dimer merupakan suatu marker prognostik yang dapat diandalkan pada trauma kapitis,
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU dari Januari 2008 s/d Mei 2008 atau sampai jumlah subjek penelitian tercukupi.
III.2. Subjek penelitian
Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU. Penentuan subjek penelitian
dilakukan dengan metode non-random sampling secara
konsekutif.
III.2.1. Populasi sasaran
Semua penderita trauma kapitis yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, neurologis, dan Head CT-scan.
III.2.2. Populasi terjangkau
Semua penderita trauma kapitis yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, neurologis, dan Head CT-scan, yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan.
III.2.3. Besar sampel :
Besar sampel dihitung menurut rumus (Madiyono dkk, 2002)
:
Z = nilai baku normal berdasarkan nilai yang telah ditentukan = 1,96
p = proporsi penderita trauma kapitis = 0,24 q = 1 – p = 1 – 0,24 = 0,76
d = tingkat ketepatan absolut = 15 % III.2.4. Kriteria Inklusi :
1. Semua penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen neurologi FK-USU Medan.
2. Usia ≥ 15 tahun
3. Telah dilakukan Head CT-scan
4. Memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian ini. III.2.5. Kriteria Eksklusi :
1. Penderita dengan penyakit psikiatri atau mental retardasi 2. Penderita dengan afasia
3. Penderita dengan penyakit yang dapat menyebabkan gangguan sistem koagulasi (seperti hemofilia, Disseminated Intravascular Coagulation, Von Willebrand disease, Idiopathic Thrombocytopenia Purpura).
4. Penderita yang menggunakan obat-obatan anti-koagulan dan anti-thrombotik.
III.3. Batasan operasional :
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. (PERDOSSI, 2006).
b. Outcome adalah keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit. Untuk pengukuran outcome pada pasien trauma kapitis dalam penelitian ini digunakan Glasgow Outcome Scale (GOS) (Leon-Carrion, 2006).
c. Glasgow Coma Scale (GCS) atau Skala Koma Glasgow adalah suatu skala yang digunakan secara luas sebagai pengukuran klinis semikuantitatif dari tingkat kesadaran berdasarkan keadaan buka mata dan respon verbal dan motorik penderita (Mayer dan Rowland, 2000).
Skala Koma Glasgow yang digunakan pada peneltian ini adalah SKG untuk dewasa (PERDOSSI, 2006) :
d. Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala untuk mengukur outcome setelah terjadinya trauma kapitis yang digunakan secara luas. Tingkatan dari outcome pada skala ini dikelompokkan menjadi outcome jelek (GOS 1-3) dan outcome baik (GOS 4-5) (Leon-Carrion, 2006).
GLASGOW OUTCOME SCALE : 1 = Death
2 = Vegetatif state 3 = Severe Disability 4 = Moderate Disability 5 = Good Recovery e. Head CT-scan.
Head CT-scan yang digunakan adalah X-ray CT-system, merk Hitachi seri W450.
Penilaian gambaran Head CT-scan dikelompokkan
menjadi (Wardlaw dkk, 2002) : • Normal
• Mild focal injury (dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di otak).
• Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang berdekatan di otak, atau dijumpai subdural hematom / epidural hematom kecil).
yang berdekatan, namun sebagian besar otak kelihatannya normal).
• Massive focal injury (dijumpai epidural / subdural
hematom besar atau kontusio berat)
• Massive diffuse injury (dijumpai edema otak
menyeluruh atau banyak kontusio di beberapa area). f. Marker Koagulasi yang termasuk dalam penelitian ini
adalah : hitung jumlah trombosit, prothrombin time (PT), thrombin time (TT), partial thromboplastin time (PTT), kadar fibrinogen dan kadar D-dimer (Bayir, 2006, Engstrom 2005).
Nilai normal untuk masing-masing marker koagulasi adalah : (Hartanto, 2004)
Jumlah Trombosit
Waktu protrombin (PT)
Waktu tromboplastin parsial (PTT)
Waktu pembekuan trombin (TT)
Fibrinogen
D-Dimer
150.000 – 450.000 /mm3
11 – 13 detik
60 – 85 detik
10 -15 detik atau 1,3 kali waktu kontrol
150 – 450 mg/dl
0-300 ng/ml
h.
Prothrombin Time adalah tes untuk melihat waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan clot setelah zat thrombo-plastin dan kalsium ditambahkan ke dalam plasma. (Thomas, 1988)i. Thrombin Time adalah : tes untuk melihat waktu perubahan fibrinogen menjadi fibrin oleh thrombin, dimana dilakukan pengukuran waktu pembekuan plasma yang dicampur dengan larutan thrombin. (Thomas, 1988)
j. Partial Thromboplastin Time adalah : waktu yang dibutuhkan plasma untuk membentuk clot fibrin setelah ditambahkan kalsium dan reagen fosfolipid ; digunakan untuk mengevaluasi jalur koagulasi intrinsik. (Thomas, 1988)
k. Fibrinogen adalah suatu protein yang terdapat dalam plasma darah yang dengan bantuan thrombin dan dengan adanya ion kalsium akan diubah menjadi fibrin. (Thomas, 1988)
l. D-dimer adalah : fragmen yang terbentuk dari hasil degradasi clot darah. (Thomas, 1988)
m. Koagulopati adalah : gangguan mekanisme pembekuan darah. (Thomas, 1988)
III.4. Rancangan Penelitian
semua penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan, yang memenuhi kriteria inklusi-eksklusi.
III.5. Pelaksanaan Penelitian III.5.1. Instrumen
1. Glasgow Coma Scale
2. Glasgow Outcome Scale
3. Head CT-scan Merk Hitachi seri W 450.
4. Alat Organon Teknika dan Coag-A-Mate MTX untuk memeriksa marker koagulasi.
III.5.2. Pengambilan sampel
Semua penderita trauma kapitis yang dirawat di Departemen Neurologi FK-USU Medan yang diagnosanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis neurologis dan Head-CT
scan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan
intrakranial, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan sampel pada penelitian ini. Selanjutnya semua sampel dilakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale dan marker koagulasi (Jumlah Trombosit, Prothrombin Time (PT), Partial Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, dan D-dimer). Sedangkan untuk
pemeriksaan outcome dilakukan dengan pengukuran
III.5.3. Kerangka Operasional
• Ana mne sis
• Pe me riksa a n Fisik
• Pe me riksa a n
Ne uro lo g is
• Pe me riksa a n GCS
He a d C Tsc a n
Pa sie n Tra uma Ka p itis ya ng ma suk ke IGD
Krite ria Inklusi Krite ria Eksklusi
Pe me riksa a n Ma rke r Ko a g ula si :
Hitung jumla h Tro mb o sit, PT, PTT, TT, Fib rino g e n, D-Dime r.
Pe me riksa a n GOS p a d a sa a t ke lua r d a ri ruma h
kit
Ana lisa Da ta
III.5.4. Variabel yang diamati
Variabel bebas : Marker Koagulasi : Jumlah Trombosit,
Prothrombin Time (PT), Partial
Thromboplastin Time (PTT), Thrombin Time (TT), Fibrinogen, dan D-dimer.
Variabel terikat : Glasgow Outcome Scale (GOS) III.6. Analisa statistik
(a) Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer SPSS versi 15.0 for Windows.
(b) Gambaran karateristik penderita disajikan dalam bentuk deskriptif.
(c) Uji t-independent digunakan untuk melihat :
1. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada kedua jenis kelamin.
2. Perbedaan rerata marker koagulasi pada kedua jenis penyebab trauma.
3. Perbedaan rerata usia pada ada tidaknya perdarahan pada Head CT-scan.
4. Perbedaan rerata usia pada kedua jenis penyebab trauma.
(d) Uji One-way anova digunakan untuk melihat :
1. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GCS.
3. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok gambaran Head CT-scan. 4. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada
ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.
5. Perbandingan rerata marker koagulasi laboratorium terhadap rerata usia.
6. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS, untuk kelompok GCS 13-15.
7. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS, untuk kelompok GCS 9-12.
8. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada masing-masing kelompok GOS, untuk kelompok GCS ≤ 8.
9. Perbedaan rerata usia pada masing-masing kelompok GOS.
(e) Uji Chi-square digunakan untuk melihat : 1. Hubungan antara GOS dengan GCS
2. Hubungan antara GCS dengan penyebab kecelakaan 3. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya
perdarahan pada gambaran Head CT-scan.
5. Hubungan antara GCS dengan pekerjaan. 6. Hubungan antara GCS dengan jenis kelamin 7. Hubungan antara GOS dengan jenis kelamin
8. Hubungan antara GOS dengan penyebab kecelakaan 9. Hubungan antara GOS dengan gambaran Head
CT-scan.
10. Hubungan antara GOS dengan ada tidaknya
perdarahan pada gambaran Head CT-scan.
11. Hubungan antara GOS dengan tingkat pendidikan. 12. Hubungan antara GOS dengan pekerjaan.
(f) Sensitifitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value digunakan pada :
1. Kadar fibrinogen dengan outcome baik dan buruk 2. Kadar D-dimer dengan outcome baik dan buruk
3. Kadar fibrinogen dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.I. HASIL PENELITIAN
IV.1.1. Karakteristik Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan sejak bulan Februari 2008 sampai bulan Mei 2008. Dari seluruh penderita trauma kapitis yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan Februari sampai Mei 2008, terdapat 77 orang penderita trauma kapitis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sebagai sampel penelitian
IV.1.2. Karakteristik demografi sampel penelitian
Pada penelitian ini didapati sejumlah 77 orang penderita trauma kapitis yang dianalisa, terdiri dari 50 orang (64,9%) pria dan 27 orang (35,1 %) wanita (tabel 2). Rentang usia sampel adalah 15 tahun hingga 75 tahun, dimana usia sampel yang terbanyak adalah usia 18 tahun sebanyak 7 orang (9,1%) dengan rerata umur sampel adalah 32,13 tahun. (Tabel 1)
IV.1.3. Distribusi sampel berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS)
Dari 77 sampel yang diamati, ditemukan sampel yang terbanyak berada pada kelompok GCS 13-15 sebanyak 45 orang (58,4 %), diikuti dengan kelompok GCS 9-12 sebanyak 24 orang (31,2 %), dan yang paling sedikit adalah pada kelompok GCS ≤ 8 sebanyak 8 orang (10,4 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi sampel berdasarkan nilai GCS
Glasgow Coma Scale n %
13-15 45 58,4
9-12 24 31,2
≤ 8 8 10,4
Total 77 100,0
IV.1.4. Distribusi sampel berdasarkan gambaran Head CT-scan
Berdasarkan gambaran Head CT-scan, maka distribusi sampel
Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan gambaran Head CT-scan
Head CT-scan n (%)
Normal 33 42,9
Mild focal injury 6 7,8
Medium focal injury 13 16,9
Mild/moderate diffuse 14 18,2
Massive focal injury 7 9,1
Massive diffuse injury 4 5,2
IV.1.5. Distribusi sampel berdasarkan ada tidaknya perdarahan pada Head CT-scan.
Berdasarkan ada tidaknya perdarahan pada Head CT-scan, sebagian besar sampel tidak menunjukkan adanya perdarahan pada gambaran Head CT-scan, yaitu sebanyak 52 orang (67,5%). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi sampel berdasarkan ada tidaknya perdarahan pada Head CT-scan
Perdarahan n (%)
IV.1.6. Distribusi sampel berdasarkan nilai Glasgow Outcome Scale (GOS)
Berdasarkan nilai GOS, maka ditemukan bahwa sampel yang terbanyak memiliki nilai GOS good recovery sebanyak 30 orang (39,0 %), diikuti dengan moderate disability sebanyak 17 orang (22,1 %), severe disability sebanyak 15 orang (19,5 %), death sebanyak 11 orang (14,3 %), dan yang paling sedikit adalah vegetative state sebanyak 4 orang (5,2 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Distribusi sampel berdasarkan nilai Glasgow Outcome Scale (GOS)
Glasgow outcome scale n (%)
Death 11 14,3
Vegetative state 4 5,2
Severe disability 15 19,5
Moderate disability 17 22,1
Good recovery 30 39,0
IV.1.7. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada kedua jenis kelamin
signifikan (p=0,998). Demikian juga pada rerata nilai PT, TT, fibrinogen, dan D-dimer, ditemukan bahwa pada rerata pada pria lebih tinggi
dibanding wanita, namun dengan menggunakan uji t-independent
perbedaan rerata antara kedua jenis kelamin tersebut juga tidak bermakna (p=0,632, p=0,969, p=0,979, dan p=0,926 secara berurutan), Pada rerata nilai aPTT, ditemukan bahwa rerata nilai aPTT pada wanita lebih tinggi dibanding dengan pria, namun perbedaan rerata tersebut tidak bermakna dengan menggunakan uji t-independent (p=0,377). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7.
IV.1.8. Hubungan antara Glasgow Outcome Scale (GOS) dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Tabel 7. Perbedaan rerata marker koagulasi laboratorium pada kedua jenis kelamin
Parameter laboratorium Mean SD p
Trombosit ( /mm3)
Tabel 8. Hubungan antara GOS dengan GCS
Keterangan : uji chi-square, p<0,05
IV.1.9. Hubungan antara Glasgow Coma Scale (GCS) dengan penyebab trauma kapitis
Berdasarkan hubungan antara GCS dan penyebab kecelakaan, dengan menggunakan uji chi-square ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara GCS dan penyebab kecelakaan (p=0,188), dengan demikian penyebab kecelakaan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai GCS. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Hubungan antara GCS dengan penyebab trauma kapitis
IV.1.10. Hubungan antara GCS dengan gambaran Head CT-scan
Dengan menggunakan uji chi-square, ditemukan nilai GCS
mempunyai perbedaan yang bermakna antara kelompok gambaran Head CT-scan sampel (p=001), dimana pada GCS 13-15 gambaran Head CT-scan yang paling banyak dijumpai adalah normal sebanyak 33 orang (42,9%), sedangkan pada GCS 9-12 yang terbanyak adalah gambaran medium focal injury, sebanyak 11 orang (14,3 %), dan untuk kelompok GCS ≤ 8 dittemukan gambaran terbanyaknya adalah massive focal injury sebanyak 5 orang (6,5%) Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Hubungan antara GCS dengan gambaran Head CT-scan
Gambaran Head CT-scan
IV.1.11. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan
dan terjadinya perdarahan pada gambaran Head CT-scan (p=0,001), dimana pada GCS 13-15 lebih banyak distribusi sampel terdapat pada kelompok yang tidak ada perdarahan, yaitu sebanyak 39 orang (50,6 %), sedangkan pada GCS yang < 8 ditemukan lebih banyak ditemukan adanya perdarahan dibanding yang tidak, yaitu sebanyak 7 orang (9,1%). Dengan demikian, pada nilai GCS yang lebih rendah, lebih sering ditemukan adanya perdarahan pada gambaran Head CT-scan (tabel 11)
Tabel 11. Hubungan antara GCS dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan
Perdarahan
Tidak Ada Total p
GCS 13-15 n 39 6 45 0,001*
% 50,6 7,8 58,4
9-12 n 12 12 24
% 15,6 15,6 31,2
≤ 8 n 1 7 8
% 1,3 9,1 10,4
Keterangan : uji chi square, p < 0,05
IV.1.12. Hubungan antara GCS dengan tingkat pendidikan