• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Terima Bubur Bayi Instan dengan Penambahan Umbi Bit (Beta vulgaris L) Serta Kandungan Zat Gizi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Terima Bubur Bayi Instan dengan Penambahan Umbi Bit (Beta vulgaris L) Serta Kandungan Zat Gizi"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN berikanlah penilaian anda dengan cara memberikan nilai sesuai skala hedonik (pada keterangan) berdasarkan tingkat kesukaan anda. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setelah selesai menguji / mencicipi satu sampel.

 Untuk uji organoleptik aroma, rasa dan tekstur memakai skala hedonik : Sangat Suka : 3

Suka : 2

Tidak Suka : 1

 Untuk uji organoleptik warna memakai skala hedonik Sangat menarik : 3

Menarik : 2

Tidak menarik : 1

(2)
(3)
(4)

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Uji Organoleptik Bubur Bayi Instan T1 dan

N Minimum Maximum Mean St d. Dev iation

(5)

c. Uji Rasa Bubur Bayi Instan T1 dan T2

d. Uji Tekstur Bubur Bayi Instan T1 dan T2 Test Statisticsa

N Minimum Maximum Mean St d. Dev iation

Ranks

(6)

Ranks

1,93 1,07 T1tekstur

T2tekstur

Mean Rank

Test Statisticsa

30 26,000 1 ,000 N

Chi-Square df

Asy mp. Sig.

(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Uji organoleptik dengan ibu bayi, bayi dan pegawai puskesmas

(12)

Gambar 3. Ibu memberikan bubur bayi instan kepada anaknya

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Agusman. 2013. Pengujian Organoleptik. http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Uji-Organoleptik-Produk-Pangan.pdf. Diakses Pada Tanggal 27 Februari 2016

Andarwulan, N., F. Kusnandar., D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. PT Dian Rakyat. Jakarta

Annam, C., Kawiji., S. R. Dwi. 2013. Kajian Karakteristik Fisik Dan Sensori Serta Aktivitas Granul Effervescent Buah Beet (Beta Vulgaris) dengan Perbedaan Metode Granulasi dan Kombinasi Sumber Asam. Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 2 April 2013.

Arianto, R. 2008. Status Gizi Ditinjau Dari Pemberian ASI Eksklusif, Pemberian MP-ASI dan Kelengkapan Imunisasi Di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2008. Skripsi. Diakses Pada Tanggal 4 Maret 2016. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16263

Arifianti, A., R. B. Katri., D. Rachmawanti., N. H. Riyadi. 2012. Karakterisasi Bubur Bayi Instan Berbahan Dasar Tepung Millet (Panicum sp)dan Tepung Beras Hitam (Oryza sativa L. Japnica) Dengan Flavor Alami Pisang Ambon (Musa paradisiaca var. Sapientum). Jurnal. Diakses Pada Tanggal 4 Maret 2016

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Washington : AOAC

Astawan, M. 2008. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Penebar Swadaya. Jakarta

Ayustaningwarno, F. 2014. Teknologi Pangan; Teori Praktis dan Aplikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Cross, A. 2008. 50 Resep Jus & Smoothie Rendah Karbohidrat Kaya Nutrisi. PT Gramedia Pustaka Utama

Barasy, M.E. 2007. At a Glance ILMU GIZI. Jakarta: Erlangga

Devi, N. 2010. Nutrition And Food Gizi Untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

(14)

Fitriani, P. 2015. Karakteristik Isotermis Sorpsi Air Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Instan Pada Berbagai Model Pendekatan Dan Pendugaan Masa Kadaluarsanya Menggunakan Beberapa Bahan Kemasan. Tesis. Diakses Pada Tanggal 4 Juni 2016

Hardani, S. 2013. Pembuatan Es Krim Probiotik dari Buah Bit (Beta Vulgaris L) Sebagai Pewarna dan Perisa Alami Dengan Ice Cream Maker. Skripsi. Diakses Pada Tanggal 4 Februari 2016. http://eprints.undip.ac.id/44371/

Hartomo dan Widiatmoko. 1993. Emulsi dan Pangan Instant Ber-Lesitin. Yogyakarta: ANDI OFFSET

Hendy. 2007. Formulasi Bubur Instan Berbasis Singkong (Manihot esculenta Crantz) Sebagai Pangan Pokok Alternatif. Skripsi. Diakses Pada

Tanggal 23 Februari 2016.

http://repository.ipb.ac.id/handle/12356789/11685

Kardjati, S., Alsjahbana, Anna dan Kusin, J.A. 1985. Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Krisnatuti, D. & Yenrina,R. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara

Lingga, L. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. Jakarta: AgroMedia Pustaka

Malau, S. 2014. Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian Makanan Pendamping ASI 9MP-ASI) di Desa Huta Rakyat Kecamatan Sidikalang Beberapa Jenis Inflorescence Celosia. Seminar Nasional Biologi. Diakses Pada Tanggal 4 Februari 2016. http://dokumen.tips/documents/58-

identifikasi-pigmen-betasianin-pada-beberapa-jenis-infloresence-celosia.html

(15)

Mulyani, S. 2015. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Umbi Bit (Beta vulgaris), Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa) dan

Produk Herbal “Y”. Skripsi.

http://repository.ump.ac.id/122/3/SITI%20MULYANI%20BAB%20II.pdf Naibaho, L. 2015. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Konsentrasi Dekstrin

Terhadap Mutu Minuman Instan Bit Merah. Skripsi. Diakses Pada

Tanggal 28 Februari 2016.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/49052

Nugraheni, M. 2014. Pewarna Alami; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan dan Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Nurwijaya, H. 2008. Hidangan Favorit Ala Mediterania. Jakarta: Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)

PERMENKES RI, 2013. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. No. 75. Jakarta

Pohan, S. 2016. Penambahan Sari Bit (Beta vulgaris) Sebaga Pewarna Alami Terhadap Daya Terima dan Kandungan Zat Gizi Kerupuk Merah. Skripsi. Diakses Pada Tanggal 3 Maret 2016. http:///repository.usu.ac.id/handle/123456789/56125

Prabantini, D. 2010. A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET

Rahayu, W.P. 1998. Diktat Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor, Bogor Rao, S., B. Timsina, V. K. Nadumane. 2014. Antimicrobial Effects Of

Medicinal Plants and Their Comparative Cytotoxic Effects On HEPG2 Cell Line. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 6. http://www.ijppsjournal.com/Vol6Issue1/7601.pdf

(16)

Slamet, A. 2011. Fortifikasi Tepung Wortel Dalam Pembuatan Bubur Instan Untuk Peningkatan Provitamin A. Jurnal. Diakses Pada Tanggal 3 Maret 2016.

Tampubolon, N. 2015. Formulasi Bubur Bayi Instan Dengan Substitusi Tepung Tempe dan Tepung Labu Kuning Sebagai Alternatif Makanan Pendamping ASI. Skripsi. Diakses Pada Tanggal 3 Maret 2016. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/46699

Tarigan, S. 2011. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pemberian ASI Bersamaan Makanan Tambahan Oleh Ibu Pada Bayi 0-6 Bulan di Kelurahan Ladang Bambu. Karya Tulis lmiah. Diakses Pada Tanggal 3 Maret 2016. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27209

Wheat, A. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Penerbit Djambatan. Jakarta

Winanti, E. R. 2013. Pengaruh Penambahan Bit (Beta vulgaris) Sebagai Pewarna Alami Terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Sensori Sosis Daging Sapi. Skripsi. Diakses Pada Tanggal 25 Februari 2016. http://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/34280/ )

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Yustiyani. 2013. Formulasi Bubur Instan Sumber Protein Menggunakan

Komposit Tepung Kacang Merah dan Pati Ganyong Sebagai Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Skripsi. Diakses Pada

Tanggal 8 April 2016.

http://repository.ipb.ac.id/handle/1234456789/64342

(17)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, menggunakan rancangan penelitian acak lengkap yang terdiri dari tepung umbi bit dengan 2 perlakuan yaitu 15% dan 30% dengan simbol T1 dan T2 yang semuanya diulang sebanyak 2 kali pada saat proses pembuatan bubur bayi instan dengan maksud untuk memperkecil error atau kesalahan pada yang mungkin terjadi pada saat penimbangan bahan yang digunakan.

T1 : Perlakuan penggunaan tepung bit sebesar 15%

T2 : Perlakuan penggunaan tepung bit sebesar 30%

Y11 : Perlakuan T1 pada ulangan ke-1

Y12 : Perlakuan T1 pada ulangan ke-2

Y21 : Perlakuan T2 pada ulangan ke-1

Y22 : Perlakuan T2 pada ulangan ke-2

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

(18)

analisa kandungan zat gizi bubur bayi instan dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari pengambilan bahan pangan, pengolahan pada bulan Februari hingga Mei 2016. Uji daya terima bubur instan dan analisa data dimulai pada bulan Juni 2016.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah bubur bayi instan dengan menggunakan tepung bit dengan 2 perlakuan, yaitu 15% dan 30% dan ditambah dengan beberapa bahan penyusun lainnya, yaitu tepung beras, tepung susu, tepung gula, serta minyak nabati sebagai kontrol.

3.4 Definisi Operasional

1. Bubur bayi instan merupakan salah satu jenis bahan makanan yang mengalami proses pengeringan air sehingga mudah larut dan mudah disajikan hanya dengan menambahankan air panas dan ditujukan untuk bayi.

2. Bit adalah salah satu jenis umbi-umbian yang mengandung banyak vitamin dan mineral dan belum banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

3. Tepung bit adalah tepung yang diperoleh dari bit yang sudah dicuci bersih, diiris tipis, dikeringkan, dihaluskan, dan kemudian diayak.

(19)

5. Uji organoleptik adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap cita rasa bubur instan dengan mempergunakan skala hedonik empat acuan :

- Sangat suka : 3 - Suka : 2 - Tidak suka : 1

6. Warna adalah corak rupa yang dihasilkan oleh bubur bayi instan yang dilihat oleh panelis secara subjektif oleh indera penglihatan.

7. Rasa adalah daya terima panelis terhadap bubur bayi instan yang dirasakan secara subjektif oleh indera pengecap.

8. Aroma adalah bau khas yang dihasilkan oleh bubur bayi instan yang dinilai secara subjektif oleh indera penciuman.

9. Tekstur adalah tingkat kelembutan dan kekentalan yang dihasilkan oleh bubur bayi instan.

3.5 Prosedur Pelaksanaan Eksperimen

Prosedur pelaksanaan eksperimen merupakan langkah-langkah yang telah ditentukan dalam melaksanakan percobaan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit.

Adapun prosedur pelaksanaan eksperimen meliputi alat dan bahan serta tahapan penelitian.

3.5.1 Alat

(20)

a. Alat untuk pembuatan bubur bayi instan

Alat yang digunakan dalam pembuatan bubur bayi instan, antara lain: oven blower, blender, loyang, kertas roti, ayakan 60 mesh, timbangan, pisau pengiris, baskom, kompor, sendok, telenan, dan timbangan.

b. Alat untuk uji daya terima

Alat yang digunakan yaitu : formulir penilaian, alat tulis dan air minum kemasan.

3.5.2 Bahan

Penggunaan bahan dalam penelitian ini dipilih bahan yang berkualitas baik, kondisi bahan masih baik, segar, tidak busuk, tidak berubah warna dan tidak kadaluarsa. Adapun bahan yang digunakan untuk pembuatan bubur bayi instan ini yaitu :

1. Bahan yang digunakan untuk membuat tepung bit adalah bit yang segar dan tidak busuk.

2. Bahan yang digunakan untuk membuat bubur bayi instan terdiri dari: tepung bit, tepung beras, tepung susu, air, tepung gula dan minyak nabati.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Tabel 3.2 Rancangan Pembuatan Bubur Bayi Instan

Bahan Kelompok Eksperimen

(21)

Tepung Umbi Bit (Melisa, 2013)

Umbi bit yang segar dikupas dari kulit kemudian umbinya dicuci. Setelah dicuci, bit diiris tipis dengan ketebalan yang sama. Irisan bit disusun di atas loyang untuk dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 700C selama lebih kurang 12 jam. Bit yang sudah kering diblender dan diayak dengan ayakan 60 mesh.

Prosedur pembuatan tepung bit dapat dilihat pada gambar 3.1

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Umbi Bit Bit segar

Kulit

Dikupas

Dicuci

Diiris

Dikeringkan

Diblender

Diayak

Tepung bit

(22)

3.6.2 Proses Pembuatan Bubur Bayi Instan

Proses pembuatan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut :

Tepung bit 15 gr Tepung beras 30 gr Tepung susu 45 gr Tepung gula 5 gr Minyak nabati 5 ml

Tepung bit 30 gr Tepung beras 25 gr Tepung susu 40 gr Tepung gula 5 gr Minyak nabati 5 ml Penimbangan masing-masing bahan

Dicampur dengan air dengan perbandingan 1:2 Dimasak dengan api kecil hingga mengental

Didinginkan selama 15 menit

Dikeringkan selama 30 menit dengan suhu 750C

Didinginkan sebentar

Diblender

(23)

Pembuatan bubur bayi instan dilakukan dengan mencampur semua bahan sedikit demi sedikit sesuai dengan perlakuan yang sudah dilakukan sebelumnya. Campuran bahan ditambahkan air dengan perbandingan jumlah bahan dan air berbanding 1:2, dimasak dengan api kecil sambil diaduk hingga mencapai suhu 750C. Bubur yang telah matang kemudian didinginkan dan dioleskan di atas loyang. Setelah itu, bubur instan dikeringkan di dalam oven dengan menggunakan suhu 1000C selama 30 menit. Setelah kering, bubur kembali diblender dan dihaluskan (Arifanti, dkk., 2012)

3.7 Uji Daya Terima

Untuk mengetahui hasil dari percobaan perlu dilaksanakan penilaian kepada masyarakat dengan uji daya terima (uji organoleptik). Jenis uji daya terima yang digunakan adalah uji kesukaan atau hedonik menyatakan suka atau tidak sukanya terhadap produk.

(24)

Tabel 3.3 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik

Organoleptik Skala hedonik Skala Numerik

Warna Sangat menarik 3

Untuk penilaian kesukaan / analisa sifat sensoris suatu komoditi diperlukan alat instrumen alat yang digunakan terdiri dari orang / kelompok orang yang disebut panel, orang yang bertugas sebagai panel disebut panelis. Jenis panelis yang digunakan dalam penelitian ini adalah bayi yang berumur 7-12 bulan sebanyak 30 orang dan ibu bayi tersebut yang berada di wilayah kerja Puskesmas PB Selayang II. Untuk melihat aroma, tekstur serta warna, penilaian diberikan oleh ibu bayi. Untuk penilaian terhadap rasa, juga dinilai oleh ibu yang menilai sikap bayi terhadap bubur yang diberikan. Syarat panelis adalah bayi dengan berat badan dan panjang badan yang normal serta tidak menderita penyakit infeksi.

2. Pelaksanaan Penilaian a. Waktu dan Tempat

(25)

b. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah bubur instan dengan penambahan umbi bit 15% dan 30 %. Sedangkan alat yang digunakan adalah formulir penilaian, alat tulis, dan air minum dalam kemasan.

3. Langkah-langkah Pada Uji Daya Terima 1. Mengunjungi panelis ke rumahnya

2. Membagikan sampel sesuai variasi, formulir penilaian serta air minum dalam kemasan

3. Memberikan penjelasan singkat kepada panelis tentang cara memulai dan cara pengisian formulir

4. Memberikan kesempatan kepada panelis untuk memulai dan menuliskan nilai pada lembar formulir penilaian

5. Meminta formulir yang telah diisi oleh panelis

6. Setelah formulis penilaian dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif

3.8 Analisis Kimia

3.8.1 Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)

(26)

tersebut lalu diangkat, didinginkan di dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Kadar Air (%bb) = = � −

� × %

3.8.2 Analisis Kadar Abu, Metode Oven (AOAC 1995)

Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105-1100C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porsselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-6000C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Peritungan kadar abu menggunakan rumus:

Kadar Abu (%bb) = = � ( )

� � ( )× %

3.8.3 Analisis Kadar Lemak, Metode Sooxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-1050C, didinginkan dalam desikator, ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana).

Refluks dilakukan sebanyak 5 jam (minimum) dann pelarut yang ada di dalam

(27)

oven pada suhu 1000C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar Lemak (%bb) = = � � ( )

� � ( )× %

3.8.4 Analisis Kadar Protein, Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sejumlah kecil sampel (1-2 gram ditimbang dan dimasukkan dalam labu

Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4.

Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan mejadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibiilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu distilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaO-Na2S2O3.

Dibawah kondensator diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metal 0,2 % dalam

alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol) diletakkan dibawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dibawah larutan H3BO3. Isi

erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetepan untuk blanko juga dilakukan dengan cara yang sama. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus:

Kadar N (%) = ��� � − ��� ×�× . × �

(28)

3.8.5 Analisis Kadar Serat Kasar (Metode Gravimetri)

Timbang 2 gram sampel kemudian masukkan dalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 50 ml H2SO4 1,25% panaskan dan reflux selama 30 menit. Sampel

yang telah dipanaskan disaring panas-panas dengan menggunakan kertas saring

Whatman 42 yang telah diketahui bobotnya. Setelah disarig, lalu sampel dicuci

dengan 50 ml H2SO4 1,25% dan 50 ml alkohol 30%, kemudian endapkan

dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C dan ditimbang sampai bobot konstan. % Serat Kasar = {(a-b)/c}× 100%

Keterangan :

a = berat kertas saring ditambah sampel yang telah dikeringkan (g) b = berat kertas saring (g)

c = berat sampel (g)

3.8.6 Analisis Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)

Uji karbohidrat dilakukan dengan metode Luff Schoroll yaitu timbang sampel sebanyak 3 gram dalam Erlenmeyer. Kemudian tambahkan HCL 3% sebanyak 200 ml. Hubungkan dengan kondensator selama 3 jam. Netralkan dengan NaOH 4 N. Kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat, encerkan dalam labu ukur 250 ml larutan luff dan 15 ml air didihkan selama tepat 10 menit. Setelah itu tambahkan 10 ml larutan KI 30% dan 25 ml larutan H2SO4 4 N.

Gunakan larutan kanji sebagai indikator. Untuk larutan blanko gunakan 25 ml larutan luff dan 10 ml air destilasi.

Perhitungan :

(29)

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data adalah cara mengevaluasi data yang diperoleh dari penyimpulan data. Analisis data bertujuan menjawab permasalahan yang diajukan dalam membuktikan hipotesis yang meliputi kualitas bubur instan ditinjau dari warna, aroma, tekstur dan rasa serta kesukaan masyarakat terhadap produk hasil eksperimen.

Data yang sudah dikumpulkan, diolah secara manual kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif persentase. Untuk mengetahui tingkat kesukaan dari panelis dilakukan analisis deskriptif kualitatif persentase yaitu kualitatif yang diperoleh dari panelis harus dianalisis dahulu untuk dijadikan data kuantitatif.

Skor nilai untuk mendapatkan persentase dirumuskan sebagai berikut (Ali, 1992) :

% =

×

%

Keterangan:

% = skor persentase

n = jumlah skor kualitas (warna, rasa aroma dan tekstur) N = skor ideal (skor tertinggi x jumlah panelis)

Untuk mengubah data skor presentase menjadi nilai kesukaan, analisisnya sama dengan analisis kualitatif dengan nilai yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

Nilai tertinggi = 3 (sangat suka)

Nilai terendah = 1 (tidak suka)

(30)

Jumlah panelis = 30 orang f. Interval presetase = Rentangan : Jumlah kriteria

= 66,7% : 3 = 22,2 % ≈ 22 %

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka dapat dibuat interval presentase dan kriteria kesukaan sebagai berikut :

Tabel 3.4 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan

Persentase (%) Kriteria kesukaan 78– 100 Sangat Suka / Sangat Menarik

56 – 77,99 Suka / Menarik

34 – 55,99 Tidak Suka / Tidak Menarik

(31)

56-77,99 panelis menyukai dan tertarik terhadap bubur instan yang terbuat dari umbi bit berdasarkan aroma, tekstur, warna, dan rasa sehingga termasuk dalam kriteria suka. Pada persentase 78-100 panelis sangat menyukai dan sangat tertarik terhadap bubur instan yang terbuat dari umbi bit berdasarkan aroma, tekstur, warna, dan rasa sehingga termasuk dalam kriteria sangat suka/sangat tertarik.

(32)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Bubur Bayi Instan

Berdasarkan kedua perlakuan yang berbeda terhadap bubur bayi instan maka dihasilkan bubur bayi instan yang berbeda pada setiap perlakuan. Perbedaan kedua bubur bayi instan yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.1, 4.2, dan Tabel 4.1

Gambar 4.1 Gambar 4.2

Bubur Bayi Instan Perlakuan T1 Bubur Bayi Instan Perlakuan T2 Tabel 4.1 Karakteristik Bubur Bayi Instan

Karakteristik Bubur Bayi Instan

T1 T2

Warna Merah muda Merah gelap

Aroma Wangi Sedikit langu

Rasa Manis Manis khas bit

Tekstur Lembut Kental

Keterangan :

(33)

4.2 Analisis Organoleptik Warna Bubur Bayi Instan

Hasil analisis organoleptik warna bubur bayi instan yang telah dilakukan dengan panelis ibu bayi yang berumur 7-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas PB Selayang II dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Hasil Analisis Organoleptik Warna Bubur Bayi Instan Kriteria

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat hasil analisis organoleptik warna bubur bayi instan dengan dua perlakuan, yaitu : total skor untuk bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) adalah 79 (87,77%), bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) adalah 51 (56,66%). Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai warna bubur instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1).

Hasi Uji Friedman terhadap penilaian organoleptik warna bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit diperoleh nilai p = 0,000. Dari hasil uji tersebut, didapatkan hasil bahwa nilai p < 0,05 artinya ada perbedaan yang nyata terhadap warna bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) dan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2).

4.3 Analisis Organoleptik Aroma Bubur Bayi Instan

(34)

Tabel 4.3 Hasil Analisis Organoleptik Aroma Bubur Bayi Instan

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat hasil analisis organoleptik aroma bubur bayi instan dengan dua perlakuan, yaitu : total skor untuk bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) adalah 74 (82,22%), bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) adalah 46 (51,12%). Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai aroma bubur bayi instan dengan penambaan umbi bit sebesar 15% (T1).

Hasil Uji Friedman terhadap penilaian organoleptik aroma bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit diperoleh nilai p = 0,000. Dari hasil uji tersebut, didapatkan hasil bahwa nilai p < 0,005 artinya ada perbedaan yang nyata terhadap aroma bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% dan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30%.

4.4 Analisis Organoleptik Rasa Bubur Bayi Instan

(35)

Tabel 4.4 Hasil Analisis Organoleptik Rasa Bubur Bayi Instan

Kriteria Rasa Bubur Bayi Instan

T1 T2

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat hasil analisis organoleptik rasa bubur bayi instan dengan dua perlakuan, yaitu : total skor untuk bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) adalah 78 (86,88%), bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) adalah 43 (47,77%). Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa bubur bayi instan dengan penambaan umbi bit sebesar 15% (T1).

Uji organoleptik dilakukan dengan panelis bayi berumur 7-12 bulan. Pemberian nilai akan rasa bubur bayi instan dilakukan oleh ibu bayi dengan prosedur bahwa ibu yang melihat reaksi bayinya apakah bayi menyukai ataupun tidak menyukai bubur bayi instan yang diberikan. Respon yang dapat dilihat peneliti sesuai penelitian yang dilakukan adalah respon menolak ataupun melepeh bubur bayi instan yang diberikan. Kebanyakan bayi lebih menyukai bubur bayi instan perlakuan T1 dan tidak menyukasi bubur bayi instan perlakuan T2. Jumlah bayi yang memberikan respon menolak / melepeh berjumlah 18 orang.

(36)

4.5 Analisis Organoleptik Tekstur Bubur Bayi Instan

Hasil analisis organoleptik tekstur bubur bayi instan yang dilakukan dengan panelis ibu bayi yang berumur 7-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas PB Selayang II dapat dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5 Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Bubur Bayi Instan Kriteria

Berdasarkan Tabel 4.4 didapat hasil analisis organoleptik tekstur bubur bayi instan dengan dua perlakuan, yaitu : total skor untuk bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) adalah 76 (84,44%), bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) adalah 43 (47,78%). Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1).

Hasil Uji Friedman terhadap penilaian organoleptik tekstur bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit diperoleh nilai p = 0,000. Dari hasil uji tersebut, didapatkan hasil bah nilai p < 0,005 artinya ada perbedaan yang nyata terhadap tekstur bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% dan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30%.

4.6 Analisis Kandungan Karbohidrat, Protein, Lemak, Serat Kasar, Abu dan Air pada Bubur Bayi Instan

(37)

Tabel 4.6 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Bubur Bayi Instan

Zat Gizi T1 T2

Karbohidrat (gr) 61,97 61,17

Protein (gr) 11,80 12,48

Lemak (gr) 3,62 3,11

Serat Kasar (gr) 3,46 4,95

Abu (gr) 3,20 4,64

Air (gr) 4,56 4,74

(38)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Bubur Bayi Instan

Berdasarkan dua perlakuan yang dilakukan terhadap bubur bayi instan, maka dihasilkan karakteristik bubur instan yang berbeda. Bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% mempunyai rasa yang manis, aroma yang wangi, berwarna merah muda dan teksturnya lembut. Bubur bayi instan dengan penambahan umbit bit sebesar 30% mempunyai rasa manis khas umbi bit, berwarna merah gelap, beraroma sedikit langu khas bit dan teksturnya kental. 5.2 Daya Terima Bubur Bayi Instan

5.2.1 Warna

Warna merupakan corak sukar yang diukur sehingga menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menilai kualitas warnanya. Penilaian warna bubur bayi instan merupakan penilaian yang berdasarkan nilai subjektif yang ditangkap oleh indera penglihatan.

Fungsi warna pada suatu makanan sangatlah penting, karena dapat membangkitkan selera makanan. Warna dapat menandakan rasa suatu makanan. Bila suatu makanan menyimpang dari warna yang umumnya berlaku, makanan tersebut pastinya tidak dipilih oleh konsumen. Meskipun sesungguhnya makanan tersebut masih baik kondisinya. Meskipun demikian, warna juga tidak selalu identik dengan suatu rasa tertentu (Astawan, 2008).

(39)

menunjukkan bahwa bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% lebih disukai panelis.

Warna kemerahan pada kedua perlakuan bubur bayi instan dihasilkan dari warna merah gelap oleh umbi bit. Perbedaan warna bubur bayi instan T1 dan T2 disebabkan karena penambahan umbi bit yang berbeda. Penambahan umbi bit yang paling banyak terdapat pada bubur bayi instan pada perlakuan T2. Perbedaan inilah yang menyebabkan warna yang cukup berbeda antara kedua bubur bayi instan.

Menurut Hendry (1996) yang dikutip oleh Sari (2014), warna makanan dan minuman memengaruhi persepsi tentang rasa makanan dan minuman juga tentang seberapa manis makanan dan minuman itu karena rasa manis mempunyai hubungan erat dengan warna yang ditampilkan dari makanan dan minuman tersebut.

5.2.2 Aroma

Aroma merupakan bau khas yang dihasilkan oleh suatu makanan dan dinilai subjektif oleh indera penciuman. Menurut Wheat (1981), aroma yaitu bau yang sukar diukur sehingga menimbulkan pendapat yang beralinan dalam menilai kualitas aromanya. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena setiap orang memiliki perbedaan penciuman, meskipun mereka dapat membedakan aroma namun setiap orang mempunya kesukaan yang berlainan.

(40)

yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit 30%. Jika dilihat dari total skor, bubur bayi instan T1 dikategorikan ke dalam kategori sangat suka dan bubur bayi instan T2 dikategorikan ke dalam kategori suka. Kedua bubur bayi tetap disukai oleh panelis, namun ada penilaian lebih terhadap aroma bubur bayi instan T1 oleh karenanya dikategorikan ke dalam kategori sangat suka.

Aroma pada bubur dihasilkan oleh aroma bit beserta bahan penyusun bubur. Pada bubur bayi instan T2, aroma bit yang dihasilkan lebih khas dikarenakan jumlah umbi bit yang ditambahkan juga lebih besar dibanding bubur bayi instan T1 dan aroma bahan penyusun lainnya tidak bisa menutupi aroma langu khas umbi bit. Aroma bubur bayi instan T1 tidak begitu langu layaknya umbi bit, ditutupi oleh aroma bahan penyusun lainnya, yakni tepung susu.

Indera penciuman sangat senstif terhadap bau dan kecepatan timbulnya bau lebih kurang 0,8 detik. Kepekaan indera penciuman diperkirakan berkurang setiap bertambahnya umur satu tahun. Penerimaan indera penciuman akan berkurang oleh adanya senyawa-senyawa tertentu seperti formaldehida. Kelelahan daya penciuman terhadap bau dapat terjadi dengan cepat (Winarno, 2004)

5.2.3 Rasa

(41)

Penilaian rasa bubur bayi instan merupakan penilaian subjektif oleh panelis berdasarkan indera pengecap. Penilaian suka atau tidak suka terhadap rasa bubur instan didasarkan pada enak atau tidaknya bubur sesuai dengan selera masing-masing. Pengujian daya terima terhadap rasa oleh panelis menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai rasa bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) dengan kategori sangat suka dan bubur bayi instan perlakuan T2 termasuk ke dalam kategori suka.

Rasa lebih banyak melibatkan panca indera yaitu lidah, agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya. Rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Setiap orang mempunyi batas konsentrasi terendah terhadap suatu rasa agar masih bisa dirasakan (threshold). Batas ini tidak sama pada tiap-tiap orang dan threshold seseorang terhadap rasa yang berbeda juga tidak sama (Winarno, 2004).

(42)

5.2.4 Tekstur

Penilaian tekstur suatu produk makanan merupakan penilaian berdasarkan indra peraba. Tesktur makanan berkaitan dengan sensasi sentuhan. Memandang suatu produk dapat memberi gagasan apakah suatu produk tersebt kasar, halus, keras atau lembek (Shewfelt, 2014).

Pengujian terhadap tekstur oleh panelis menunjukkan bahwa bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) sangat disukai oleh panelis dan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) disukai oleh panelis. Kedua penilaian bubur bayi instan berada dalam kategori kriteria yang berbeda, yakni kategori sangat suka dan kategori suka.

Tekstur bubur bayi instan pada perlakuan T1 lebih disukai panelis karena tekstur yang lembut. Kelembutan bubur bayi instan dipengaruhi oleh bahan penyusun lainnya seperti tepung susu. Tekstur bubur bayi insta pada perlakuan T2 tetap disukai oleh panelis, namuan pada pendataan uji daya terima, ada beberapa bayi serta orangtua tidak menyukainya dikarenakan telah mencium dan mencicipi aroma langu dari bit pada bubur bayi instan perlakuan T2.

(43)

5.3 Analisis Kandungan Karbohidrat, Protein, Lemak, Serat Kasar, Abu dan Air pada Bubur Bayi Instan

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) bahwa makanan yang tepat untuk bayi usia 6-7 bulan adalah makanan lumat halus, yaitu makanan yang dihancurkan dari tepung dan tampak homogen (sama/rata), contoh : bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring.

Hasil analisis karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu dan air pada bubur bayi instan dengan dua perlakuan yaitu bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) dan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) menunjukkan total karbohidrat masing-masing perlakuan. Tiap bubur instan memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Namun, bubur bayi instan perlakuan T1 memiliki kandungan karbohidrat lebih banyak. Selisih kandungan karbohidrat diantara kedua perlakuak bubur bayi instan adalah 0,80 gram.

Tidak ada persyaratan mengenai kisaran kandungan karbohidrat dalam spesifikasi MP-ASI, akan tetapi kadar karbohidrat pada bubur bayi instan yang dihasilkan lebih rendah dari pada bubur instan komersial (66,8-70,8 gr/100gr) pada umumnya (Tampubolon, 2015).

(44)

penambahan umbi bit dapat memenuhi kebutuhan protein perhari untuk bayi. Kandungan protein yang lebih tinggi pada bubur bayi instan T2 dihasilkan dari jumlah umbi bityang lebih banyak.

Kandungan lemak pada bubur bayi instan perlakuan T1 sebesar 3,62 gram dan pada bubur bayi instan perlakuan T2 sebesar 3,11 gram. Perbedaan kandungan lemak pada kedua bubur bayi instan dikarenakan jumlah tepung susu yang ditambahkan juga berbeda. Kandungan lemak yang paling tinggi dihasilkan dari tepung susu. Jumlah tepung susu pada bubur bayi instan perlakuan T1 lebih banyak dibanding perlakuan T2.

Spesifikasi MP-ASI mensyaratkan kandungan lemak sebesar 6-15 gram dalam 100 gram MP-ASI. Oleh karena itu, kadar lemak pada bubur bayi instan yang dihasilkan belum dapat memenuhi standar, tetapi kedua bubur bayi instan yang dihasilkan tetap dapat memenuhi kebutuhan lemak bayi sebesar 50% dari kebutuhan lemak per hari.

(45)

instan T2 adalah 0,18 gram. Bubur bayi instan T1 memiliki daya simpan yang sedikit lebih lama dibandingkan bubur bayi instan T2. Selain kadar air yang tinggi, kedua produk bubur bayi instan yang dihasilkan juga memiliki kandungan abu yang cukup tinggi. Penentuan kadar abu dilakukan untuk mengetahui jumlah mineral pada bahan (Andarwulan, 2011).

Selain analisis di atas, diperoleh juga kandungan serat kasar dalam kedua perlakuan bubur bayi instan, yaitu berjumlah 3,46 gram pada bubur bayi instan perlakuan T1 dan berjumlah 4,95 gram dalam bubur bayi instan perlakuan T2. Kandungan serat kasar dalam makanan bayi berdasarkan persyaratan MP-ASI harus rendah, yakni tidak lebih dari 5 gram per 100 gram MP-ASI. Kedua perlakuan bubur bayi instan memiliki kandungan serat kasar dibawah 5 gram. Namun, kandungan serat kasar pada bubur bayi instan sudah hampir mendekati batas kandungan abu yang boleh diterima bayi per harinya. Dalam sehari, bayi tentunya tidak hanya mengonsumsi bubur bayi instan, tetapi juga mengonsumsi makanan lainnya yang juga mengandung serat kasar. Kandungan serat kasar yang terlalu tinggi akan mengganggu pencernaan bayi.

(46)

mengonsumsi makanan utama sebanyak 3 kali dan makanan selingan sebanyak 2 kali. Dalam 15 gram (setara dengan 1 sendok makan) bubur bayi instan T1, sebesar 49,5 kkal energi dapat disumbangkan. Berbeda halnya dalam 15 gram (setara dengan 1 sendok makan) bubur bayi instan T2, sebesar 48 kkal energi dapat disumbangkan untuk memenuhi energi bayi.

Berdasarkan pada pemenuhan energi menurut pada AKG (Angka Kecukupan Gizi PERMENKES RI NO. 75 Tahun 2013) maka menurut kelompok bayi berumur 7-12 bulan konsumsi bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% (T1) dianjurkan sebanyak 14 sendok makan (sdm) per hari (sebanyak 3-5 sdm setiap 1 kali konsumsi), dimana tiap sendok makan dapat memenuhi 6,8% AKG. Sedangkan untuk bayi berumur 7-12 bulan, konsumsi bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 30% (T2) dianjurkan sebanyak 15 sendok makan (sdm) per hari untuk 3 kali makan, dimana tiap sendok makan dapat memenuhi 6,62% AKG.

Produk bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% dan 30% yang diproduksi oleh peneliti, tidak mengandung bahan pengawet. Produk ini dapat bertahan hingga 30 hari, dengan ketentuan apabila produk ini disimpan di tempat tertutup, tidak terkontaminasi udara luar dan zat substansi lain. Penambahan vitamin A, gula dan garam dapat memperpanjang daya simpan produk ini.

(47)

penyusun lainnya adalah bahan yang sudah ada di dapur. Untuk estimasi biaya produksi tiap 100 gram bubur bayi instan dengan pernambahan umbi bit 15%(T1) adalah sekitar Rp 10.500,-. Umbi bit yang digunakan hanya 15gr dari harga jual 1 kg umbi dengan harga Rp 12.000,-. Umbi yang dikeringkan sebanyak 300 gr menghasilkan 15 gr tepung, atau setara dengan harga Rp 4.000-. Jumlah biaya bahan penyusun lainnya seperti tepung beras, tepung susu, minyak nabati dan tepung gula diestimasikan memiliki total harga Rp 6.500,-

(48)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit 15% lebih disukai oleh bayi berumur 7-12 bulan serta ibu bayi.

2. Bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit 15% memiliki karakteristik warna merah muda, rasa yang manis, aroma yang wangi dan tekstur yang lembut. Sedangkan bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit 30% menghasilkan warna merah gelap, aroma yang langu, rasa manis khas bit dan tekstur yang kurang lembut.

3. Kandungan gizi tertinggi yang terdapat pada bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit 15% adalah karbohidrat sebesr 61,97 gram, lemak sebanyak 3,62 gram. Kandungan gizi tertinggi yang terdapat pada bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit 30% adalah protein sebear 12,48 gram, serat kasar sebesar 4,95 gram, kadar abu sebesar 4,64 gram dan kadar air 4,74 gram.

(49)

6.2 Saran

1. Untuk memenuhi kebutuhan energi kelompok bayi berumur 7-12 bulan, konsumsi bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit yang danjurkan adalah 14-15 sendok makan (sdm) per hari (sekitar 3-5 sdm per satu kali makan).

2. Bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% lebih disarankan oleh peneliti untuk dikonsumsi bayi oleh karena kandungan serat kasar yang tidak terlalu tinggi, sehingga tidak mengganggu saluran pencernaan bayi.

3. Bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit sebesar 15% dan 30% disarankan dapat menjadi alternatif makanan pendamping ASI (MP-ASI). Selain mengandung gizi yang tinggi, bubur bayi instan buatan sendiri tidak mengandung bahan tambahan pangan apapun yang layaknya tidak dikonsumi oleh bayi.

(50)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bit (Beta vulgaris L)

Gambar 2.1 Umbi bit segar

Umbi bit merupakan tanaman semusim yang batangnya sangat pendek, akar tunggangnya tumbuh menjadi umbi, daunnya tumbuh terkumpul pada leher akar tunggal (pangkal umbi) dan berwarna kemerahan. Secara anatomis, umbi bit terdiri atas sumbu akar-hipokotil yang membesar yang terbentuk dekat tanah dan bagian akar sejati yang meruncing menyempit. Ukuran umbi berkisar dari sekecil-kecilnya berdiameter 2 cm hingga lebih dari 15 cm. Bentuk umbi beragam, yaitu bundar silinder, lir-atap (kerucut), atau rata. Bit terdiri daripada pelbagai jenis rupa bentuk dan ukuran yang berlainan (Hardani, 2013).

(51)

Menurut Setiawan yang dikutip oleh Melisa (2013), bit terdiri dari beberapa jenis, yaitu bit putih dan bit merah. Bit putih memiliki ciri-ciri bertulang daun berwarna putih dan umbi berwarna merah keputih-putihan. Bit merah berciri umbi yang merah tua dan umbi jenis ini merupakan tanaman bit yang sudah banyak ditanam di beberapa daerah dataran tinggi di Indonesia.

Bit yang baik sebaiknya memiliki ukuran yang kecil, agar pada waktu dimasak tidak banyak yang terbuang karena bit yang berukuran kecil hampir tidak memiliki bagian yang mengayu. Umbi bit yang baik dapat dilihat dari bentuk umbi yang masih berbentuk utuh, tidak terlihat bercak-bercak berair atau bagian yang telah lunak, serta masih memiliki tangkai yang menjaga sari bit tidak merembes keluar.

Masyarakat pada umumnya mengonsumsi daun bit sebagai lalapan. Sama seperti dengan umbi lainnya, umbi bit dipanen tepisah dengan daunnya. Daun bit dan umbi bit yang masih segar dapat bertahan selama 10-14 hari dalam kondisi baik pada suhu 00c dan kelembaban 95%. Dalam kondisi yang sama, bit yang telah dibuang daunnya dapat disimpan selama 4-6 bulan. Umbi bit dimakan langung ketika sudah matang, dan sebagian besar diolah menjadi acar melalui proses pengalengan, sebagian juga dikeringkan (Nugraheni, 2014).

(52)

Bit yang matang dan siap dipanen berdiameter 4,5-6,5 cm. Warna daging bit dipengaruhi oleh cuaca atau musim penanaman, tahap pematangan dan varietas. Warna merah bit segar disebabkan oleh pigmen betasianin suatu senyawa yang mengandung nitrogen dengan sifat kimia sama dengan antosianin, 70-90% betasianin adalah betanin. Bit juga mengandung betaxantin, suatu pigmen berwarna kuning. Nisbah kedua pigmen ini beragam menurut kultivar, dan dapat berubah karena kondisi lingkungan (Winanti, 2013).

Menurut Nottingham (2004) yang dikutip oleh Mastuti (2010), umbi bit mengandung pigmen betalain yang kompleks. Pigmen warna merah-ungu pada umbi bit merupakan turunan dari betasianin yang disebut betanin. Umbi bit memiliki kandungan betanin mencapai 200 mg/100g. Pigmen bit berwarna merah yang diketahui sebagai betalain diklasifikasikan sebagai antosianin seperti pada kebanyakan pigmen pada tumbuhan berbunga namun memiliki perbedaan yaitu pigmen tersebut mengandung nitrogen.

(53)

2.1.1 Klasifikasi Bit

Menurut Nugraheni (2014), umbi bit (Beta vulgaris L) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales Famili : Chenopodiaceae Genus : Beta

Spesies : Beta vulgaris L

2.1.2 Daerah Asal dan Penyebaran Bit

Spesies liar bit diyakini berasal dari sebagian wilayah Mediterania dan Afrika Utara dengan penyebaran ke arah timur hingga wilayah barat India dan ke arah barat sampai Kepulauan Kanari. Teori yang ada sekarang menunjukkan bahwa bit segar mungkin berasal dari persilangan B. Vulgaris var.maritima (bit laut) dengan B. patula. Awalnya, bit merah mungkin adalah jenis yang terutama digunakan sebagai sayuran daunan, dan ketertarikan menggunakan umbinya terjadi kemudian, mungkin setelah tahun 1500 (Rubatzky, 1998).

2.1.3 Kandungan Gizi Bit

Bit termasuk tanaman umbi-umbian, mengandung zat-zat yang sangat diperlukan kesehatan, di antaranya zat besi,vitamin C, kalium, fosfor, magnesium, asam folat dan serat.

(54)

Umbi bit mengandung sebagian besar vitamin A dan vitamin C, kalsium zat besi, fosfor, protein dan karbohidrat. Buah bit juga tinggi folat dan betasianin (Mulyani, 2015).

Menurut Rao (2014), umbi bit (Beta vulgaris L) memiliki aktivitas antibakteri pada konsentrasi hambat minimum 5 mg/ml terhadap Bacillus subtilis,

Pseudoma aeruginosa dan Escherichia coli. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak

buah bit mengandung senyawa flavonoid, sterol, triterpen, saponin dan tanin. Berikut adalah kandungan gizi dalam 100 gram umbi bit segar

Tabel 2.1 Kandungan gizi dalam 100 gram umbi bit

(55)

2.1.4 Manfaat Bit

Menurut Lingga (2010), bit memiliki beberapa manfaat, yaitu : a. Memperkuat Susunan Tulang

Bit mengandung banyak kalium. Kadarnya sebesar 58,6 mg/cup dan masuk dalam kategori unggul. Keberadaan kalium dalam bit dapat memperkokoh matrik tulang. Tanpa kalium yang cukup, tulang yang terbentuk tidak dapat tumbuh sempurna karena ikatan antar selnya longgar.

b. Pembersih Darah yang Ampuh

Umbit bit mampu membersihkan darah dari racun, seperti logam berat, alkohol, dan zat kimia beracun. Sejak lama, masyarakat Eropa menggunakannya sebagai obat anti mabuk bagi pecandu minuman keras. Tak hanya membersihkan darah secara keseluruhan, bit juga mampu melakukan detoksifikasi hati yang tercemar oleh obat beracun, yakni berbagai macam obat terlarang, obat yang tidak diresepkan oleh dokter, alkohol, zat aditif makanan yang berbahaya, dan obat yang salah minum. Bit memiliki efek mengatur sistem pencernaan dan merangsang serta menguatkan usus besar, mengeluarkan toksin dari dalam sistem. Fungsi lever dan ginjal bisa meningkat dan darah menjadi lebih bersih serta lebih kaya dengan mengonsumsi bit secara teratur (Cross, 2008).

c. Menurunkan Tekanan Darah

(56)

d. Memaksimalkan Perkembangan Otak Bayi

Bit mengandung folat dalam jumlah cukup banyak sehingga berguna bagi perkembangan janin. Folat diperlukan pada minggu-minggu awal kehamilan dalam jumlah memadai agar perkembangan otak bayi normal. Tak hanya bayi, para manula pun perlu kecukupan folat agar mereka terhindar dari penyakit Alzheimer, yakni penyakit yang ditandai dengan kepikunan atau penurunan daya ingat (Lingga, 2010).

e. Mengatasi Anemia

Dr Frotz Keitel, seorang hematologi dari Jerman, menyatakan bahwa tak ada obat mujarab untuk menaikkan kadar darah merah selain bit. Ia mengatakan bit merupakan obat alami yang ampuh untuk anemia dan memperkuat daya tahan tubuh.

f. Anti kanker

Bit mengandung betasianin yang dikenal sebagai fitokimia antikanker. Banyak penelitian menyimpulkan tentang kemampuan betasianin sebagai antikanker. Dalam menghambat kanker, betasianin bekerja sama dengan beberapa mineral dan fitokimia yang berperan sebagai antikanker.

Ada beberapa macam fitokimia pada umbi bit, yakni betain, betalain, allatine, famesol, asam salisilat, dan saponin. Berdasarkan uji ilmiah yang ada, diketahui bahwa mekanisme antikanker yang dilakukan oleh fitokimia pada umbi bit sangatlah kompleks. Mekanisme tersebut sebagai berikut :

(57)

 Mencegah terjadinya mutasi sel sehat agar tidak berubah menjadi sel yang abnormal.

 Meningkatkan imunitas tubuh dengan jalan meningkatkan killer sel pada butir darah putih.

g. Melenyapkan Parasit yang Menginfeksi Tubuh

Menurut Lingga (2010), masyarakat di Eropa Timur, khususnya di Hungaria, menggunakan jus umbi bit dalam terapan bagi penderita infeksi dan untuk melenyapkan parasit yang menginfeksi tubuh. Dalam fungsi ini, kandungan betanin dalam bit memiliki efek yang lebih kuat daripada betasianin.

h. Mengatasi Jantung Koroner

Bit memiliki efek penyembuhan yang dapat diandalkan, khususnya bagi penderita jantung koroner. Betain yang dikandungnya merupakan detoks yang baik untuk menghilangkan pengaruh buruk yang disebabkan oleh homosistein. Biasanya, homosistein dilenyapkan oleh vitamin B9 dan B12. Namun, jika kedua vitamin tersebut tidak terpenuhi, maka betain dapat menggantikan fungsi kedua vitamin B tersebut.

i. Mengencerkan Darah dan Anti Radang

(58)

j. Menu Rendah Kalori

Umbi bit direkomendasikan ahli nutrisi dalam daftar menu diet bagi pengidap hiperkolesterol dan hiperlipemia. Rujukan ini diberikan karena bit merupakan menu rendah kalori. Energi yang diberikan per satuan beratnya rendah, tetapi tetap mengenyangkan karena mengandung serat yang cukup banyak.

k. Menurunkan kadar lemak dan kadar kolesterol

Bit juga mampu menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam tubuh. Uji laboratorium pada binatang menunjukkan bahwa mengonsumsi bit secara teratur dapat menurunkan kadar kolesterol total sebesar 30%. Penurunan kolesterol total diikuti dengan peningkatan jumlah kolesterol baik (HDL).

l. Anti-Inflamasi

Betain memiliki kontribusi besar dalam mengatur oksidasi yang terjadi pada mitokondria sehingga kadar homosistein menurun dan inflamasi batal terjadi. Sebagian herbalis memanfaatkan selulosa yang ada pada umbi bit sebagai obat wasir. Selulosa merupakan serat makanan larut dalam air yang berfungsi meningkatkan peristaltik usus.

2.2 Pangan Instan

(59)

membuat makanan instan dilakukan dengan menghilangkan kadar airnya sehingga mudah ditangani dan praktis dalam penyediannya (Fitriani, 2015)

Pamurlarsih (2006) menyatakan bahwa produk instan dapat dihasilkan dari modifikasi pemasakan sehingga dapat diubah menjadi produk yang siap dikonsumsi dengan cepat, yaitu dengan cara merehidrasi menggunakan air panas selama beberapa saat.

Pembuatan produk pangan yang memiliki sifat instan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perlakuan pemukaan dengan modifikasi sifat kimia bahan dan pembuatan zat aditif. Dengan perlakuan panas / lembaban akan membuat partikel bubuk diperbesar menjadi aglomerat berstruktur pori. Penggunaan zat aditif dilakukan dengan menambahkan zat tertentu untuk membuat sifat produk lebih mudah dibasahi, aglomerat tidak terlalu keras, partikel mudah mekar (Hartomo dan Widiatmoko, 1993).

Pangan instan yaitu produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan produk pangan yang sering dihadapi seperti halnya masalah penyimpanan, transportasi, dan tempat. Bentuk pangan instan biasanya mudah ditambah air (dingin/panas) dan mudah larut sehingga mudah disantap.

(60)

tepat, yaitu harus segera turun (tenggelam tanpa menggumpal), 4) Mudah terdispersi yaitu tidak membentuk endapan (Hartomo dan Widiatmoko, 1993). 2.2.1 Bubur Instan

Bubur instan lebih dikenal dengan sebutan pure (asal kata dari bahasa Inggris yaitu puree), yaitu bahan pangan yang dilembutkan. Bubur instan merupakan bahan makanan yang mengalami proses pengeringan air sehingga mudah larut dan mudah disajikan hanya dengan menambahkan air panas.Beberapa kriteria yang harus dimiliki dalam pembuatan produk bubur instan adalah memiliki sifat hidrofiik, tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum digunakan yang dapat menghambat laju pembasahan, dan rehidrasi produk akhir yang tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo dan Widiatmoko, 1993).

Menurut Hubeis (1984) yang dikutip oleh Rahman (2013), beras instan merupakan modifikasi beras menjadi nasi dengan merehidrasi kembali nasi kering dengan air mendidih selama beberapa waktu menjadi nasi yang siap dikonsumsi. Beras instan tersebut seharusnya dapat disajikan dengan waktu pemasakan 3-5 menit.

(61)

Tabel 2.2 Kandungan Gizi Bahan Penyusun Bubur Bayi Instan Sumber : DKBM Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

Bubur tidak hanya terbuat dari beras saja, namun dapat pula dibuat dari kacang hijau, beras merah, ataupun dari beberapa campuran penyusunnya. Dalam pengolahannya, bubur dibuat dengan memasak bahan penyusun dengan air seperti bubur nasi, mencampurkan santan seperti bubur kacang hijau, ataupun dengan mencampurkan susu, yang dikenal dengan bubur susu (Hendy, 2007).

(62)

Kandungan bubur bayi instan yang akan diteliti oleh peneliti, diharapkan dapat disukai oleh bayi dan dapat memenuhi asupan gizi bayi. Perkiraan kandungan gizi bubur bayi instan dapat dilihat dari tabel diatas.

2.3 Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

Menurut SNI 01-7111.1-2005 yang dimaksud dengan MP-ASI adalah makanan bergizi yang diberikan di samping ASI kepada bayi berusia 6 (enam) bulan ke atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai anak berusia 24 (dua puluh empat) bulan untuk mencapai kecukupan gizi. Setelah bayi berumur 6 bulan, pemberian ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi yang aktivitasnya sudah cukup banyak. Pada umur 6 bulan, berat badan bayi yang normal sudah mencapai 2-3 kali berat badan saat lahir. Pesatnya pertumbuhan bayi perlu dibarengi dengan pemberian kalori dan gizi yang cukup. Oleh karena itu, selain ASI, bayi yang berumur lebih dari 6 bulan perlu diberi makanan tambahan disesuaikan dengan kemampuan lambung bayi untuk mencerna makanan (Prabantini, 2010).

Memasuki usia 6 bulan, bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi sudah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan setengah padat. Di samping itu, lambung juga telah baik mencerna zat tepung (Arianto, 2008).

(63)

padat dan makanan padat berupa makanan keluarga sudah boleh diperkenalkan (Malau, 2014)

MP-ASI dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu MP-ASI bubur, biskuit, siap masak, dan siap santap. MP-ASI bubur adalah MP-ASI yang telah diolah sehingga dapat disajikan seketika hanya dengan menambahkan air minum atau cairan yang sesuai.

Bahan utama pembuatan bubur instan MP-ASI berupa salah satu campuran serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian yang mengandung minyak, susu, ikan, daging, unggas, buah, dan bahan makanan lain yang sesuai (Yustiyani, 2013).

WHO telah menetapkan bahwa ASI harus tetap diberikan secara eksklusif sampai usia 6 bulan dan makanan pendamping ASI diberikan setelah usia 6 bulan. Perkenalan yang terlalu dini dapat meningkatkan reaksi alergi karena belum sempurnanya saluran cerna, dan mungkin berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi dada serta obesitas. Jika perkenalan dilakukan terlambat, fase perkembangan kemampuan mengunyah akan terlewatkan, sehingga terjadilah kegagalan pertumbuhan akibat ketidakcukupan gizi. Selama proses penyapihan (pemberian makanan pendamping ASI), bayi memerlukan waktu untuk terbiasa dengan warna dan tekstur baru. Pemberian makanan pendamping ASI harus selalu diawasi untuk menghindari bahaya tersedak (Barasy, 2007).

(64)

memperhatikan jadwal pemberian makanan yang tepat untuk bayi. Jika ibu telah mengetahui jadwal pemberian makanan yang tepat, ibu tidak lagi memberikan camilan / snack menjelang waktu makan. Hal ini bertujuan untuk menghindari nafsu makanannya yang besar. Jika ibu tetap ingin memberikan snack satu jam sebelum makan, berilah snack yang sehat berupa buah segar atau sayuran (Malau, 2014).

Pembuatan makanan tambahan ASI memerlukan cara pengolahan tertentu sehingga makanan menjadi lunak, mudah dicerna dan disiapkan. Salah satu metode pengolahan yang sering digunakan adalah metode pengolahan kering yang menghasilkan makanan tambahan dalam bentuk bubuk. Keuntungan pengolahan kering adalah biaya yang lebih murah daripada pengolahan basah, volume produk lebih kecil, ringan, dan mudah dipindahkan.

(65)

Menurut Krisnatuti (2000), campuran bahan pangan untuk makanan bayi terdiri dari 2 jenis:

a. Campuran dasar, terdiri dari serelia (biji-bijian) atau umbi-umbian dan kacang-kacangan. Campuran ini belum memenuhi kandungan zat gizi yang lengkap sehingga masih perlu tambahan zat gizi lainnya seperti zat vitamin dan mineral.

b. Campuran ganda, terdiri dari makanan pokok sebagai bahan pangan utama dan merupakan sumber karbohidrat seperti serealia; lauk-pauk (hewani ataupun nabati) sebagai sumber protein, misalnya susu, daging, sapi, ayam, ikan, telur, dan kacang-kacangan; sumber vitamin dan mineral, berupa sayuran dan buah-buahan yang berwarna (terutama hijau tua dan jingga), dan tambahan energi berupa lemak, minyak, atau gula yang berfungsi untuk meningkatkan kandungan energi makanan campuran.

Menurut Tarigan (2011), ada beberapa jenis makanan tambahan yang dianjurkan, yaitu:

a. Bubur tepung beras / beras merah, dimasak dengan menggunakan cairan air / kaldu daging / sayuran, susu formula, ASI atau air

b. Bubur tepung baik tepung maizena dimasak dengan kaldu atau susu formula / ASI

c. Pure buah atau buah yang dihaluskan, seperti pisang, pepaya, melon, apel, alpokat

(66)

kentang, labu kuning. Selama memblender,sayuran sebaiknya ditambah dengan kaldu atau air matang agar tekstur sayuran menjadi lembut.

e. Pure kacang, kacang merah / kacang hijau / kacang polong yang direbus dengan kaldu hingga empuk kemudian dihaluskan dengan blender. Pastikan blender atau alat saji berlabel food grade agar aman bagi bayi

f. Daging, pilihan daging yang tidak berlemak

g. Ayam, pilih daging aym kampung muda tanpa tulang, kulit dan lemak h. Ikan, pilih daging ikan tanpa duri seperti fillet salmon, fillet ikan kakap dan gindara

2.4 Daya Terima

Menurut Suhardjo (1989) yang dikutip oleh Pohan (2016), daya terima atau preferensi makanan dapat didefinisikan sebagai tingkat kesukaan individu terhadap suatu jenis makanan. Diduga tingkat kesukaan ini sangat beragam pada setiap individu, sehingga akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan.

(67)

1. Penampilan dan cita rasa makanan

Menurut Moehji (1992) yang dikutip oleh Pohan (2016), cita rasa makanan mencakup 2 aspek utama, yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan padasaat dimakan. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan karena merupakan rangsangan pertama pada indera mata. Warna makanan yang menarik dan tampak alamiah dapat meningkatkan cita rasa.

2. Konsistensi atau tekstur makanan

Konsistensi atau tekstur makanan juga merupakan komponen yang turut menentukan cita rasa makanan karna sensitifitas indera cita rasa dipengaruhi oleh konsistensi makanan. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan memberikan rangsangan lebih lambat terhadap indera kita.

3. Rasa Makanan

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setalah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera untuk mencicipi makanan itu, maka pada tahap selanjutnya rasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap indera penciuman dan indera perasa.

4. Aroma Makanan

(68)

menguap, dapat sebagai akibat atau reaksi karena pekerjaan enzim atau dapat juga terbentuk tanpa bantuan reaksi enzim.

Daya terima dengan penilaian organoleptik saling berkaitan, dimana penilaian organoleptik disebut juga penilaian indera atau penilaian sensorik, merupakan suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih sangat umum digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung.

2.5 Uji Organoleptik

Menurut Rahayu (1998) sistem penilaian organoleptik telah dibakukan dan dijadikan alat penelitian di dalam Laboratorium. Penilaian organoleptik juga telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan produk. Dalam hal ini prosedur penelitian memerlukan pembakuan yang baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisa data. Indera yang berperan dalam uji organoleptik adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan pendengaran.

(69)

banyak digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan lain-lain. Skala hedonik dapat direntangkan menurut rentangan skala yang dikehendaki (Agusman, 2013)

2.6 Panelis

Panelis merupakan anggota panel atau orang yang terlibat dalam penilaian organoleptik dari berbagai kesan subjektif produk yang disajikan. Panelis merupakan instrumen atau alat untuk menilai mutu dan analisa sifat-sifat sensorik suatu produk (Ayustaningwarno, 2014).

Menurut Rahayu (1998), dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panelis, yaitu panelis perseorangan, panelis terbatas, panelis terlatih, panelis agak terlatih, panelis tidak terlatih, panelis konsumen dan panelis anak-anak. Perbedaan ketujuh panelis tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik.

1. Panelis Perseorangan

(70)

2. Panelis Terbatas

Panelis terbatas tediri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih dapat dihindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penelitian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir.

3. Panelis Terlatih

Panelis terlatih terdiri dari 15-25 yang mempunyai kepekaan cukup baik. Untuk menjadi panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik. 4. Panelis Agak Terlatih

Panelis agak terlatih tediri dari 15-25 orang yang sebelumnya dilatih untuk mengetahui sifat-sifat tertentu. Panelis agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya.

5. Panelis Tidak Terlatih

(71)

6. Panelis Konsumen

Panelis konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada target pemasaran komoditi. Panelis ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panelis Anak-anak

Panelis yang khas adalah panelis yang menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya. Cara penggunaan panelis anak-anak harus bertahap yaitu dengan pemberitahuan atau dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap produk yang dinilai.

2.7 Kerangka Konsep

Bubur bayi instan dengan penambahan umbi bit akan diuji berdasarkan daya terima yang meliputi warna, aroma, tekstur dan rasa. Kemudian bubur bayi akan diuji berdasarkan kandungan gizinya. Berikut ini merupakan kerangka konsep penelitian.

(72)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur pembangunan. Peningkatan kemajuan teknologi menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan kemajuan melalui keunggulan diri sendiri. Pertumbuhan serta perkembangan dalam rangka meningkatkan kemajuan diperlukan sejak dini,yakni sejak masa konsepsi.

Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan, perkembangan dan peningkatan kualitas hidup anak merupakan upaya penting untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Upaya kelangsungan hidup, perkembangan dan peningkatan kualitas anak berperan penting sejak masa dini kehidupan, yaitu masa dalam kandungan, bayi dan anak balita. Kelangsungan hidup anak itu sendiri dapat diartikan bahwa anak tidak meninggal pada awal-awal kehidupannya, yaitu tidak sampai mencapai usia satu tahun atau usia di bawah lima tahun (Maryunani, 2010).

(73)

Bayi dan anak prasekolah mempunyai kebutuhan gizi yang jauh lebih besar daripada mereka yang lebih tua, tetapi kemampuan saluran pencernaannya lebih kecil daripada orang dewasa dan perkembangannya pun bertahap. Oleh karena itu, mereka memerlukan makanan tambahan yang khusus, yang lunak, dan mudah dicerna dan tidak voluminous (Kardjati, dkk., 1985).

Pada masa bayi, ASI adalah makanan yang mempunyai unsur gizi yang paling lengkap. Oleh karena itu, ASI eksklusif harus diberikan pada bayi sampai usia 6 bulan, dan setelah usia 6 bulan ke atas, bayi harus diberi makanan pendamping ASI. Tujuan dari pemberian makanan pendamping ini adalah untuk melengkapi zat-zat gizi dalam ASI yang sudah mulai berkurang, mencoba adaptasi terhadap bermacam-macam makanan yang mempunyai bentuk dan rasa yang berbeda serta makanan yang mengandung kadar energi tinggi (Sibagariang, 2010).

Masa peralihan antara penyusuan dan pemberian makanan pendamping sebagai masukan energi serta zat gizi yang utama, disebut penyapihan. Untuk sebagian negara berkembang, masa ini meliputi usia 3 hingga 24 bulan (WHO, A981) dan merupakan masa yang paling kritis karena adanya bahaya ketidakcukupan gizi dan penyakit infeksi.

(74)

dalam bentuk pangan instan. Belakangan ini, bentuk pangan instan berupa bubur instan sudah meningkat permintaannya karena sifatnya yang cukup praktis.

Menurut SK Menteri Kesehatan No. 224/MENKES/SK/II/2007 tentang spesifikasi teknis MP-ASI, MP-ASI dalam bentuk bubur diberikan kepada anak usia 7-12 bulan. Bubur instan yang telah ada secara komersial umumnya berbahan dasar tepung beras sebagai sumber karbohidrat. Tingginya konsumsi beras saat ini mendorong berbagai upaya diversifikasi pangan untuk menghindari ketergantungan terhadap satu komoditas (Yustiyani, 2013).

Pada umumnya, MP-ASI bubur bayi instan terbuat dari campuran tepung beras, tepung susu, tepung gula, dan minyak nabati. Untuk meningkatkan kandungan gizinya, bahan tersebut dapat di substitusi dengan bahan pangan lain tetapi memperhatikan agar jumlah kandungan protein dan energi yang terkandung dalam makanan bayi tetap tinggi. Menurut SNI 01-7111.4-2005, persyaratan kandungan gizi yang harus dipenuhi dalam 100 g bubur bayi instan antara lain kandungan energi minimal 80 kkal dan kandungan protein sebesar 8-22 gr. Protein dan karbohidrat sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi (Tampubolon, 2015).

Gambar

Gambar 1. Uji organoleptik dengan ibu bayi, bayi dan pegawai puskesmas
Gambar 3. Ibu memberikan bubur bayi instan kepada anaknya
Tabel 3.2 Rancangan Pembuatan Bubur Bayi Instan Bahan Kelompok Eksperimen
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Umbi Bit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola searah (RAL) dengan perlakuan yang terdiri atas tiga taraf yaitu perbandingan madu bubuk,

Penerimaan mutu hedonik rasa rolled cookies dengan rasio tepung terigu dan pasta umbi bit merah serta penambahan tepung kacang hijau pada semua konsentrasi

Umbi Bit (Beta vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna alami pada sediaan eyeshadow, karena Umbi Bit mengandung betasianin.Tujuan

Penambahan sari bit dalam adonan kerupuk merah berperan sebagai bahan pewarna alami sehingga dapat menghasilkan kerupuk dengan warna yang menarik.. Proses

Penelitian produk leather dari bahan berbasis jagung ini diharapkan dapat diketahui formulasi pencampuran berbagai jenis bahan pengisi yang tepat dan penambahan umbi bit

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penambahan tepung umbi bit merah terhadap sifat fisikokimia dan organoleptik flakes dan konsentrasi tepung umbi bit yang dapat

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan satu faktor yaitu tepung ikan gabus ( Channa striata)

Hasil Uji Kadar Serat Tidak Larut Mie Basah dengan Substitusi Tepung Bonggol Pisang Kepok dan Tepung Umbi Bit Komposisi Tepung Gandum, Tepung Bonggol Pisang Kepok, dan Tepung Umbi