• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fasisme Jepang Di Panggung Sandiwara Indonesia (1942-1945)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fasisme Jepang Di Panggung Sandiwara Indonesia (1942-1945)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

FASISME JEPANG

DI PANGGUNG SANDIWARA INDONESIA (1942-1945)

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H RIVAI IDRIS NIM : 092203003

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG DIII FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini, sebagai persyaratan untuk memenuhi ujian akhir Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Kertas Karya ini berjudul “Fasisme Jepang di panggung Sandiwara Indonesia (1942-1945)”.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam Kertas Karya ini masih jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisan. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk kearah perbaikan, kritik terhadap buku ini adalah rezeki bagi saya dalam menuju kesempurnaan.

Dalam Kertas Karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulnaidi, S.S., M. Hum. selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

(3)

4. Bapak Mhd, pujiono, S.S., M. Hum. selaku Dosen pembaca yang dengan ikhlas telah meluangkan waktunya memberikan kritikan dan saran kepada penulis sampai kertas karya ini dapat selesai.

5. Seluruh staf pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, atas didikannya selama masa perkuliahan.

6. Teristimewa kepada Mama saya tercinta yang selama ini memberikan dorongan dan semangat.

7. Terima kasih kepada, teman-teman stambuk 09 dan Kakanda alumni.

8. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu saya sampai kertas karya ini selesai.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi kita semua.

Medan, Januari 2013

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATAPENGANTAR ………..………....i

DAFTAR ISI ……….………...iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul ………....1

1.2 Tujuan Penulisan ………..………...1

1.3 Batasan Masalah ………..2

1.4 Metode Penelitian ……….…...2

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG FASISME JEPANG DI PANGGUNG SANDIWARA INDONESIA (1942-1945) 2.1 Fasisme Jepang…... ………..………...3

2.2 Sejarah Jepang di Indonesia………..…...3

2.3 Peranan Jepang Terhadap Seni dan Budaya Indonesia.………...4

BAB III FASISME JEPANG DI PANGGUNG SANDIWARA INDONESIA 3.1 Kebijakan Jepang Dalam Mengatur Sandiwara ………...……… …..6

3.2 Sandiwara Sebagai Alat Propaganda………. …………...………..9

3.3 Aktifitas Sandiwara Pada Akhir Masa Jepang………..……….……14

3.4 Pengaruh Sandiwara Propaganda Bagi Masyarakat ..……...……….14

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ……….………...17

(5)
(6)

Jepang menjadi Negara Fasis dan menganut Hakko I Chiu, Fasisme di Jepang dipelopori oleh Perdana Menteri Tanaka, masa pemerintahan Kaisar Hiro Hito dan dikembangkan oleh Perdana Menteri Hidoki Tojo. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai Negara Fasis, Masuknya Jepang di Indonesia disebabkan oleh dua landasan yaitu landasan Rill dan landas an Idiil.

• Landasan Rill yaitu adanya ledakan jumlah Penduduk Jepang dan kurangnya bahan

mentah bagi Industrialisasi Jepang.

• Landasan Idiil yaitu ajaran tentang Shintoisme yang dianut Masyarakat Jepang

tentang Hakko I Chiu yaitu ajaran tentang Kesatuan umat manusia yang dipimpin Jepang.

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat berfariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

(7)

Banyak Seniman Profesional Jepang yang berperan sebagai guru yaitu Ito Sjinjoi, Saseo Ono, Yashioka, Yammamoto dan Kohno yang Banyak melahirkan seniman-seniman Indonesia. Jepang mendirikan Sekolah Tonil sebagai sarana pendidikan Seni dan Budaya di Jakarta. Sekolah Tonil bertujuan untuk menciptakan ahli-ahli di bidang Seni. Sekolah Tonil dipimpin oleh tiga ahli seni dari Jepang seperti R.Takeda, Jasoeda, dan Sakoema.Selain itu Pemerintahan Jepang sering mengapresiasikan karya - karya seni baik lukisan maupun seni pertunjukan tradisional dan Sandiwara dengan mengadakan pameran lukisan dan mengadakan pertunjukan Sandiwara tradisional Indonesia.

Pasca proklamasi kemerdekaan, kegiatan seni sandiwara mengalami masa suram, kemudian seniman sandiwara banyak yang terjun ke bisnis produksi film nasional. Nilai positif yang dapat diambil dari kegiatan seni sandiwara pada masa pendudukan Jepang, bagi dunia sandiwara selanjutnya yaitu, dikenalnya dokumentasi naskah lakon, jangkauan cerita sandiwara sebagai media masa yang sesungguhnya, serta diperlukan suatuwadah khusus untuk menangani kegiatan seni sandiwara.

(8)

perang mereka, melalui beberapa organisasi, seperti sekolah Tonil, Keimin, Bungka Sihdosou, dan perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD). Perubahan ini disebabkan oleh tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu keadaan politik, kebijakan pemerintah, dan aktivitas seniman sandiwara.

Keadaan seni sandiwara pada masa pendudukan jepang mengalami perkembangan yang cukup siknifikan, dibandingkan dengan kondisi pada masa akhir pemerintahan hindia belanda. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor pendukung, salah satunya adalah wadah khusus yang menangani segala aktivitas kesenian ini. Perkembangan ini sengaja di dorong untuk memperkuat barisan propaganda mereka yang di hadirkan melalui hiburan seni sandiwara.

(9)
(10)

Jepang menjadi Negara Fasis dan menganut Hakko I Chiu, Fasisme di Jepang dipelopori oleh Perdana Menteri Tanaka, masa pemerintahan Kaisar Hiro Hito dan dikembangkan oleh Perdana Menteri Hidoki Tojo. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai Negara Fasis, Masuknya Jepang di Indonesia disebabkan oleh dua landasan yaitu landasan Rill dan landas an Idiil.

• Landasan Rill yaitu adanya ledakan jumlah Penduduk Jepang dan kurangnya bahan

mentah bagi Industrialisasi Jepang.

• Landasan Idiil yaitu ajaran tentang Shintoisme yang dianut Masyarakat Jepang

tentang Hakko I Chiu yaitu ajaran tentang Kesatuan umat manusia yang dipimpin Jepang.

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat berfariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

(11)

Banyak Seniman Profesional Jepang yang berperan sebagai guru yaitu Ito Sjinjoi, Saseo Ono, Yashioka, Yammamoto dan Kohno yang Banyak melahirkan seniman-seniman Indonesia. Jepang mendirikan Sekolah Tonil sebagai sarana pendidikan Seni dan Budaya di Jakarta. Sekolah Tonil bertujuan untuk menciptakan ahli-ahli di bidang Seni. Sekolah Tonil dipimpin oleh tiga ahli seni dari Jepang seperti R.Takeda, Jasoeda, dan Sakoema.Selain itu Pemerintahan Jepang sering mengapresiasikan karya - karya seni baik lukisan maupun seni pertunjukan tradisional dan Sandiwara dengan mengadakan pameran lukisan dan mengadakan pertunjukan Sandiwara tradisional Indonesia.

Pasca proklamasi kemerdekaan, kegiatan seni sandiwara mengalami masa suram, kemudian seniman sandiwara banyak yang terjun ke bisnis produksi film nasional. Nilai positif yang dapat diambil dari kegiatan seni sandiwara pada masa pendudukan Jepang, bagi dunia sandiwara selanjutnya yaitu, dikenalnya dokumentasi naskah lakon, jangkauan cerita sandiwara sebagai media masa yang sesungguhnya, serta diperlukan suatuwadah khusus untuk menangani kegiatan seni sandiwara.

(12)

perang mereka, melalui beberapa organisasi, seperti sekolah Tonil, Keimin, Bungka Sihdosou, dan perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD). Perubahan ini disebabkan oleh tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu keadaan politik, kebijakan pemerintah, dan aktivitas seniman sandiwara.

Keadaan seni sandiwara pada masa pendudukan jepang mengalami perkembangan yang cukup siknifikan, dibandingkan dengan kondisi pada masa akhir pemerintahan hindia belanda. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor pendukung, salah satunya adalah wadah khusus yang menangani segala aktivitas kesenian ini. Perkembangan ini sengaja di dorong untuk memperkuat barisan propaganda mereka yang di hadirkan melalui hiburan seni sandiwara.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan pemilihan judul

Adapun tujuan penulis mengangkat “Fasisme jepang di panggung sandiwara Indonesia (1942-1945)” sebagai judul kertas karya adalah sebagai berikut :

Seni sandiwara pada masa Kolonial berfungsi sebagai hiburan berubah menjadi sarana propaganda. Jepang memilih sandiwara sebagai alat propaganda karena sandiwara dapat menggelorakan perasaan orang banyak seperti lukisan kesenian seni pertunjukan tradisional dan seni sandiwara modern menjadi sebuah media yang digunakan untuk melaksanakan skema propaganda.

Selain sebagai hiburan sandiwara dijadikan suatu sarana kebijakan Fasisme Jepang sebagai alat propaganda untuk mewujudkan cita - cita politik Jepang selain itu peranan dan aktivitas sandiwara pada masa pendudukan jepang cukup menarik untuk di ketengahkan tidak banyak peneliti sejarah yang meberikan perhatian khusus pada masalah kegiatan sandiwara pada masa pendudukan Jepang. Padahal sandiwara modern pada masa pendudukan Jepang, di setiap geraknya berperan besar sebagai ”kendaraan” untuk memengaruhi pikiran masyarakat Jakarta dalam mendukung peperangan.

(14)

1.2 Tujuan Penulisan

Dalam pembahasan tulisan ini, penulis ingin mengetahui keadaan sandiwara modern di Jakarta pada masa kolonial. ini berkaitan dengan awal mula sandiwara modern Indonesia. kemudian penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang aktivitas sandiwara modern pada masa pendudukan Jepang di Jakarta, wujud propaganda yang dilancarkan melalui media sandiwara tersebut, serta pengaruhnya bagi masyarakat Jakarta.

1.3 Batasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis akan membahas tentang fasisme Jepang di panggung sandiwara Indonesia sebagai cikal bakal perkembangan sandiwara modern Indonesia.

1.4.Metode penelitian

(15)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1.Fasisme Jepang

Munculnya Fasisme Jepang tidak dapat dipisahkan dari Restorasi Meiji. Berkat Restorasi Meiji, Jepang Berkembang menjadi Negara industri yang kuat. Majunya industri tersebut membawa Jepang menjadi Negara imperialis. Jepang menjadi Negara Fasis dan menganut Hakko I Chiu. Fasisme di Jepang dipelopori oleh Perdana Menteri Tanaka, masa pemerintahan Kaisar Hiro Hito dan dikembangkan oleh Perdana Menteri Hideki Tojo. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai Negara Fasis, Kaisar Hiro Hito melakukan beberapa hal berikut :

1. Mengagungkan semangat Bushido

2. Menyingkirkan tokoh - tokoh politik anti militer

3. Melakukan perluasan wilayah

4. Memodernisasi angkatan perang dan mengenalkan ajaran Shinto Hakko I

Chiu yaitu dunia sebagai satu keluarga yang di pimpin oleh Jepang.

2.2.Sejarah Masuknya Jepang di Indonesia

Masuknya Jepang di Indonesia disebabkan oleh dua landasan yaitu landasan Rill dan landasan Idiil.

• Landasan Rill yaitu adanya ledakan jumlah Penduduk Jepang dan kurangnya bahan

(16)

• Landasan Idiil yaitu ajaran tentang Shintoisme yang dianut Masyarakat Jepang

tentang Hakko I Chiu yaitu ajaran tentang Kesatuan umat manusia yang dipimpin Jepang.

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Jepang membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau 独立準備調会 (Dokuritsu junbi

chōsa-kai

persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.

) dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk

2.3 Peranan Jepang Terhadap Budaya Indonesia

(17)

Indonesia baru, diantaranya dengan menyesuaikan dan memperbaiki kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.

Banyak Seniman Profesional Jepang yang berperan sebagai guru yaitu Ito Sjinjoi, Saseo Ono, Yashioka, Yammamoto dan Kohno yang Banyak melahirkan seniman - seniman Indonesia. Jepang mendirikan Sekolah Tonil sebagai sarana pendidikan Seni dan Budaya di Jakarta. Sekolah Tonil bertujuan untuk menciptakan ahli-ahli di bidang Seni. Sekolah Tonil dipimpin oleh tiga ahli seni dari Jepang seperti R.Takeda, Jasoeda, dan Sakoema.Selain itu Pemerintahan Jepang sering mengapresiasikan karya - karya seni baik lukisan maupun seni pertunjukan tradisional dan Sandiwara dengan mengadakan pameran lukisan dan mengadakan pertunjukan Sandiwara tradisional Indonesia.

Pimpinan pelaksana pertunjukan seluruhnya adalah ahli - ahli Jepang, seperti Hinatu Eitaroo (susunan), Morio Tetsuroo (pimpinan), Ono Saseo (dekor), dan Aoki Sei (music).

(18)

BAB III

FASISME JEPANG

DI PANGGUNG SANDIWARA INDONESIA (1942 - 1945)

3.1 Kebijakan Jepang Dalam Mengatur Sandiwara

Pada Juni 1942 Seksi propaganda membuka Sekolah Tonil di Jakarta. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas Seni sandiwara dan menjadikan kesenian ini sebagai alat propaganda yang efektif. Sekolah Tonil bertujuan untuk menciptakan ahli - ahli di bidang ini seperti mendidik Penulis naskah Professional Aktor atau pemain. Murid - murid sekolah. Sekolah Tonil ini dipimpinoleh tiga ahli seni dari Jepang seperti R.Takada, Jasoeda, dan Sakoema. Murid - murid di sekolah Tonil dijadikan sebagai pelopor untuk melancarkan rencana propaganda dan memberi hiburan bagi prajurit Jepang. Mereka aktif menyumbangkan permainan yang telah mereka dapatkan dari pendidikan di Sekolah Tonil. Contoh pertunjukan yang digelar oleh murid - murid ini antara lain adalah pertunjukan.

(19)

Sandiwara. Dengan demikian,Sekolah Tonil sekarang berada dibawah Djawa Eigha Kosya. Djawa Eigha Kosya adalah biro khusus sementara di bawah Seksi Propaganda yang menangani masalah perfilman di Jawa. Pada April 1943 biro khusus ini dibubarkan dan diganti dengan pembentukan Nihon Eighasha atau (Perusahaan Film Jepang).

Sandenbu Pada 19 Januari 1943 mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengawasi jalannya kegiatan Seni sandiwara di Jawa dan khususnya Jakarta. Peraturan ini tidak hanya berlaku bagi sandiwara modern, tetapi juga sandiwara tradisional. Isi dari peraturan-peraturan ini adalah sebagai berikut :

1. Semua cerita yang hendak dimainkanharus dikirim dahulu kekantor Hoodoka , Gambir Selatan No. 3 Jakarta untuk diperiksa.

2. Yang diserahkan ke kantor tersebut bukan hanya isi cerita atau kesimpulan

saja, tetapi cerita yang lengkap dengan bagian-bagian lakonnya serta semua pembicaraan (dialog)yang akan dilakukan dalam permainan itu (pementasan).

3. Cerita itu harus ditulis dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang bermain pada waktu mengadakan pertunjukan (Bahasa Indonesia, Bahasa Jawaatau Bahasa Sunda).

4. Semua perkumpulan yang terus menerus atau sering mengadakan pertunjukan, diwajibkan mendaftarkan nama kelompoknya dan nama orang yang bertanggung jawab pada kelompok tersebut.

(20)

Pada 1 April 1943 didirikan Keimin Bunka Shidosho (pusat kebudayaan) di Jakarta. namun baru diresmikan Pada 29 April 1943, bertepatan dengan Hari ulang Tahun Kaisar Tenno Heika. Tujuan badan ini adalah untuk menciptakan kesenian Indonesia baru, diantaranya dengan menyesuaikan dan memperbaiki kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.

Terdapat lima bagian di dalam keimin bunkashidoso, yaitu bagian kesusastraan, bagian film, bagian lukisan dan ukiran, bagian music serta bagian sandiwara dan tari. Keimin bunka shidoso dipimpin oleh N.lida, sedangkan bagian

sandiwara dan tari dipimpin oleh K.Jasoeda Seluruh pemimpin utama dalam tiap bagian keimin bunka shisodo adalah ahli - ahli kesenian dari Jepang, tetapi mereka di bantu orang - orang Indonesia sebagai ketua di setiap bagian. Dengan sendirinya,seluruh kegiatan seni sandiwara di tangani oleh bagian sandiwara dan tari keimin bunka shidosho, yang dipimpin Jasoeda dan di dampingi Winarno. Keimin bunka shidosho juga ”menjaring” penulis naskah sandiwara kelas satu Indonesia,misalnya Inoe Perbatasari dan Armijn Pane Naskah – naskah yang dikarang tersebut kemudian dibagi - bagikan kepada perkumpulan-perkumpulan sandiwara untuk dimainkan.

(21)

Lakoetentji Jakarta. Selain itu, keimin bunka shidosho juga mengorganisir perkumpulan sandiwara local untuk tampil di wilayah - wilayah yang setaraf dengan perkampungan pinggir kota dan membentuk perkumpulan sandiwara.

3.2.Sandiwara sebagai Alat Propaganda Jepang

Kegiatan seni sandiwara di Jakarta, khususnya sandiwara panggung, mengalami perkembangan yang signifikan pada masa Jepang. Ada beberapa factor yang menyebabkan kegiatan sandiwara berkembang. Menurut Armijn Pane, faktor - faktor yang menyebabkan sandiwara berkembang, yaitu karena cerita -cerita yang dipertunjukan oleh sandiwara keliling kebanyakan dapat dipertunjukan di atas panggung dan dibuat skenario film. Film impor dari Jepang dan pembuatan film dalam negeri kurang memenuhi masyarakat akan hiburan Selain itu, Armijn Pane melihat satu pendorong penting yaitu adanya pusat kebudayaan dan pusat sandiwara sebagai semacam wadah yang baik bagi kegiatan sandiwara. Faktor - faktor ini pula yang menjadikan Jakarta sebagai “arena” tujuan pertunjukan perkumpulan-perkumpulan sandiwara. Haryadi Suadi menyebutkan bahwa Jepang memelihara sandiwara pada masa ini, tujuannya adalah untuk memperkuat barisan propagandanya. Sesuai dengan itu maka antara tahun tahun 1942 hingga awal tahun 1943, perkumpulan sandiwara telah menjamur diseluruh Jawa. Beberapa diantaranya yaitu Noesantara, Bintang Soerabaya, Tjahaja Timoer, dan Dewi Mada. Persafi (Persatuan Artis Film Indonesia) awalnya merupakan sebuah organisasi bentukan Nippon Eigha Sha (produksi film Jepang), yang berdiri pada

(22)

Eihai. Pernah pada suatu waktu perkumpulan ini menghibur prajurit Jepang dari satu Tangsi ke tangsi lainnya. Pada tanggala 1 sampai 5 Oktober 1943, perkumpulan ini mengadakan hiburan untuk balatentara Jepang.

Pembawaan lakon - lakon propaganda yang dipertunjukan pada periode 1945 lebih ditekankan oleh pemerintah. Lakon lakon ini adalah buah karya pengarang dari bagian sandiwara Keimin Bunka Shidosho adapun karya pengarang Lakon- lakon seperti “Indonesia No Hana”.yang berceritakan tentang

pentingnya tenaga pemuda yang telah sadar dan mempunyai cita - cita tinggi bagi pembangunan nusa dan bangsa di masa perang.

Perbedaan pertunjukan perkumpulan sandiwara pada masa ini dengan pertunjukan pada masa Hindia Belanda adalah pada selingan yang berupa tatian, nyanyian, dan lakon yang dipertunjukan. Pada masa ini, tarian dan nyayian Timur (Indonesia dan Jepang) dikedepankan. Media propaganda seni sandiwara yang digunakan oleh pemerintah jepang bukan hanya melalui panggung, tetapi juga stasiun pemancar yang ada dikontrol oleh Sandenbu dan dibentuk Djawa Hoso Kanrikyo. Hoso Kanrikyo ini dipimpin oleh Tomabechi. Hoso Kanrikyu kemudian membangun cabang - cabang pada kota - kota besar di Jawa yang disebut dengan Hoso Kyoku, seperti di Bandung, Purwokerto, Yogyakarta. Surakarta, Malang, Surabaya, Semarang, termasuk Jakarta.

(23)

Pancaran sastra adalah acara yang diselenggarakan Keimin Bunka Shidosho di Radio Jakarta untuk menyiarkan karya Sastra, seperti cerpen puisi, termasuk sandiwara. Kegiatan sandiwara Radio lebih banyak disuarakan oleh perkumpulan - perkumpulan sandiwara yang juga aktif dipanggung, tetapi kegiatannya tetap dibawah pengawasan keimin bunka shidosho. Matsuzaki Taii pada 9 Maret 1945 menyuarakan sandiwara tentang perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Belanda, merupakan yang banyak di kedepankan dalam sandiwara Radio ini.

Pada masa pendudukan Jepang ini penulisan naskah sandiwara juga diarahkan untuk maksud propaganda. Penulisan naskah sandiwara pada masa ini mengalami pertumbuhan yang signifikan. Ini merupakan akibat langsung dari pertumbuhan perkumpulan - perkumpulan sandiwara dan adanya organisasi yang mengimpun penulis - penulis naskah, seperki Keimin Bunka Shidosho. Keimin B unka Shidosho melalui bagian sandiwara mendorong penulis penulis muda dan berbakat. Pada Tahun kedua masa pendudukan, guna menciptakan cerita-cerita sandiwara yang sesuai dengan tema pesanan pemerintah Jepang.

(24)

Lakon “Samoedra Hindia” dikarang atas permintaan Djakarta Hoosoo Kyoku untuk memperingati kemenagan Kamikaze Tokubetu Koogekitai atas Kidoo Butai Amerika di Laut Timur Taiwan dan Filipina. Pesan propagandanya terlihat pada seorang tokoh bernama Tabrani, bakas bintara kesehatan tentara Belanda, yang mempunyai niat untuk bergabung dengan tentara Jepang berperang

di papua. Pada 24 Oktober 1944 cerita ini disiarkan ke seluruh Jawa melalui siaran radio dan pada Desember 1944 dimainkan oleh perkumpulan sandiwara di bawah naungan POSD pada kota-kota besar di Jawa.

Lakon “Moesim Boenga di Asia” menceritakan tentang persamaan kebudayaan antara Jepang dengan negeri - negeri di Asia lainnya, seperti Indonesia (Jawa, Sumatera, Bali), Birma, dan Tiongkok. Diwujudkan dengan tokoh - tokoh yang riang gembira, menceritakan asal negeri masing-masing, seperti tari - tariannya, bahasanya, dan panorama alamnya. Di samping itu, mengisahkan juga kepahlawanan Jepang dalam mengusir penjajahan Barat dari Asia.

(25)

Pada masa Jepang ini, tema - tema sejarah perjuangan melawan Belanda adalah contoh tema yang banyak dikedepankan. Jepang inggin memberikan gambaran tentang kekejaman bangsa barat, sehingga diharapakan nantinya rakyat

semakin membenci bangsa Barat. Lakon ini menekankan tentang betapa kejamnya penjajahan Belanda dan kepahlawanan/heroism dalam melawan Belanda. Lakon “Sakura dan Njioer” merupakan perbincangan antara dua orang gadis, yaitu Sakura (gadis Jepang) dan Njioer (gadis Indonesia). Inti utamanya adalah penekanan idiologi mendasar pemerintah pendudukan Jepang, yaitu persaudaraan

antara Indonesia yang dilambangkan oleh Njior dan Jepang yang dilambangkan oleh Sakura dalam hal persatuan melawan musuh, kemakmuran bersama di lingkungan Asia, dan pencapaian Asia Baru di bawah Jepang. Lakon “Huzinkai” karya Anak Masyarakat menyampaikan pesan tentang pengenalan pekerjaan dalam himpunan Huzinkai sebagai badan Hokokai yang berjuang di garis belakang. Huzinkai adalah perkumpulan khusus untuk kaum wanita, yang bertujuan membantu perang lewat garis belakang, keperluan perang, memberi semangat kepada para ibu dari Heiho dan Peta.

(26)

3.3.Aktifitas Sandiwara Pada Akhir Masa Pendudukan

Menjelang akhir 1944, dibentuk suatu himpunan sandiwara buatan pemerintah. Organisasi itu bernama Djawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa di bentuk oleh sendenbu pada 1 september 1944. Peresmiannya berlangsung di Hotel Miyako Jakarta. Perserikatan Oesaha Sanduwara Djawa Engeki Kyokai dipimpin oleh Hinatu Eitaroo. Sebelum pendirian organisasi ini, seluruh kegiatan seni sandiwara berada dalam control Keimin bunka shidosho dan pengawasan Seksi propaganda sendenbu. Organisasi

ini berdiri di bawah Seksi propaganda Sendenbu. Berbeda dengan organisasi-organisasi propaganda di bawah seksi Propaganda Sendenbu laennya, seperti Djawa Hoso Kanrikyoku, Djawa Shinbunkai, Domei, Nippon Eigasha atau Nichi’ei, dan Eiga Haikyusha atau Eihai, organisasi ini dibentuk paling akhir. Kemungkinan, Jepang menganggap bahwa kegiatan seni sandiwara sebelumnya cukup di tangani oleh Seksi Propaganda sendenbu dan keimin bunka shidosho saja, atau pemerintah mengalami ketakutan sendiri dengan berdirinya banyak perkumpulan sandiwara.

3.4.Pengaruh Sandiwara Propaganda Bagi Masyarakat

(27)

lakon sandiwara, kemudian dipertunjukan, yang bertemakan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Terkadang pesan mereka sengaja “dibungkus”di dalam pesan - pesan propaganda pemerintah.

Dari pembahasan yang telah diuraikan terlihat kalau pertunjukan – pertunjukan yang diselenggarakan selalu dihadiri para pemimpin pejabat dan tentara saja, masyarakat dari kalangan rendah hampir tidak terpublikasikan. Hal ini berarti menunjukan bahwa masyarakat dari golongan ekonomi rendah kurang mendapat akses untuk menyaksikan pertunjukan sandiwara, kebanyakan bersifat doktrinasi, yang diadakan didalam gedung – gedung pertunjukan. Penulis tidak mendapatkan data apakah ada pertunjukan yang diadakan digedung pertunjukan dengan cuma – cuma. Sejauh yang penulis ketahui, pertunjukan gratis hanya untuk mereka yang berasal dari golongan militer atau prajurit jepang saja, tetapi ini tidak menutup kemungkinan ada juga pertunjukan gratis bagi masyarakat umum. Dari gambaran yang diberikan oleh S.K.Trimurti juga tersirat masyarakat dari golongan ini kurang memahami makna dari lakon pertunjukan sandiwara modern.

(28)

muda mempunyai kesempatan untuk menikmati jenis hiburan ini, karena sering dipertunjukan disekolah dan rapat – rapat lokal.

Jelas disini bahwa golongan terpelajar lebih memahami makna dari isi lakon yang dihadirkan melalui sandiwara propaganda. Karena mereka tahu bahwa mereka sedang “dituntun alam pemikirannya” melalui hiburan ini, mereka cenderung mengacuhkannya, sedangkan golongan yang kurang terpelajar menerima pesan apa adanya. Generasi muda adalah target utama propaganda ini dapat dipahami, karena generasi muda adalah generasi yang sedang labil dalam hal pencarian jati diri dan masa dimana mereka senang melakukan hal yang baru mereka lebih mudah termakan oleh propaganda politik melalui sandiwara, karna pola fikir mereka masih sangat labil, sehingga masih dapat dengan mudah dipengaruhi. Jepang membutuhkan tenaga – tenaga muda ini terutama untuk menambah tenaga romusa atau menambah personil dalam peta dan heiho.

Pengaruh positif Sandiwara Propaganda bagi masyarakat dan dunia sandiwara yaitu dikenalnya dokumentasi naskah lakon, jangkawan cerita sandiwara yang lebih luas dan muncul secara tegas peran dan tanggung jawab seorang sutradara. Di samping itu, mulai dikenalnya fungsi seni sandiwara sebagai

(29)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.Kesimpulan

Sebelum masa pendudukan jepang, keadaan seni sandiwara modern di Jakarta mengalami perkembangan. Cikal bakal seni ini muncul pada akhir abad ke 19 dengan hadirnya komedi stanboel. Pada tahun 1925 terjadi pembahruan dalam kesenian ini. Cara penyajiannya telah mendekati sandiwara barat, seperti adanya tempat atau gedung khusus sebagai tempat pertunjukan dan adanya naskah tertulis untuk di perankan di atas panggung, serta mulai munculnya peran yang mirip dengan sutradara.

Pada masa colonial kegiatan seni sandiwara tidak hanya terbatas pada kalangan professional (yang kebanyakan adalah kaum kurang terpelajar), kaum terpelajar pun mulai mengadakan pertunjukan sandiwara yang mereka adakan pada kongres - kongres. Perubahan besar terjadi pada seni sandiwara di Jakarta ketika memasuki masa pendudukan jepang. Pemerintah pendudukan jepang berusaha memajukan seni sandiwara untuk kepentingan propaganda perang mereka, melalui beberapa organisasi, seperti sekolah Tonil, Keimin, Bungka Sihdosou, dan perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD). Perubahan ini disebabkan oleh tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu keadaan politik, kebijakan pemerintah, dan aktivitas seniman sandiwara.

Keadaan seni sandiwara pada masa pendudukan jepang mengalami perkembangan yang cukup siknifikan, dibandingkan dengan kondisi pada masa akhir pemerintahan hindia belanda. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor pendukung, salah satunya adalah wadah khusus yang menangani segala aktivitas

(30)

Pada kenyataannya pengaruh propaganda tidak banyak berpengaruh terhadap mereka yang berasal dari kalangan ekonomi rendah dan juga mereka yang berasal dari golongan terpelajar kota. Kalangan ekonomi rendah tidak dapat menjangkau biaya untuk masuk gedung pertunjukan, yang mereka anggap terlampau mahal. Di samping itu mereka juga memahami makna lakon pertunjukan sandiwara modern. Golongan terpelajar tidak terpengaruh oleh propaganda pemerintah yang dihadirkan melalui bentuk hiburan sandiwara. Mereka menganggap pertunjukan sandiwara propaganda tidak mempunyai nilai seni. Berbeda dengan mereka yang berasal dari kalangan kurang terpelajar. Kalangan ini menerima saja pesan - pesan propaganda yang di sampaikan.

4.2.Saran

1. Agar pembaca dapat lebih mengetahui sejarah perkembangan seni dan sandiwara pada masa pendudukan Jepang bahwasannya sandiwara sebagai alat propaganda Jepang merupakan cikal bakal perkembangan sandiwara modern Indonesia.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Fandy Hutari “ politisasi terhadap aktifitas sandiwara modern masa jepang “ 2009

Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho,panggoeng giat gembira Lakon samdiwara Djilid I.Djakarta: Djawa Hookookai Bunka Shidoso, 2605

Eitaroo, Hinatu, Fadjar Masa, Djilid I. Djakarta: Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa, 1945

Reid, Anthony dan Oki Akira (ed.). t.th. The Japanese Experience in Indonesia; Selected Memoirs of 1942 – 1945. Ono: Ohio University.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk mengetahui motivasi dan peningkatan hasil belajar peserta didik kelas IV pada

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan barier antara lambung dengan berbagai bahan yang masuk melalui saluran pencernaan, seperti makanan, produk-produk pencernaan,

Tulisan selanjutnya adalah “Tradisi dan Filosofi Penulisan Aksara Bali pada Naskah Lontar,” oleh Duija (2012, 1-22) menguraikan mengenai teknologi dan proses penulisan pada

Judul Tesis :ADAPTASI DAN ANALISIS NYANYIAN JEMAAT GEREJA HKBP (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN): STUDI KASUS PADA LAGU “LAS ROHANGKU

Distribusi nitrogen anorganik terlarut berupa nitrat dan nitrit pada saat pasang mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi menuju ke arah barat laut yaitu Industri Pelabuhan

Pentingnya pendidikan anak di lingkungan keluarga menjadikan keluarga mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan anak. Pengaruh yang diberikan keluarga terhadap anak adalah,

Buah semu atau buah tertutup adalah, yaitu jika buah itu terbentuk dari bakal buah beserta bagian-bagian lain pada bunga itu yang malahan menjadi bagian utama

(PB, halaman: 91). Refleksi hubungan sosial dalam kutipan di atas adalah ketika kita merasa ada orang lain yang mempunyai nasib yang sama dengan kita. Sama-sama