• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUDUL INDONESIA: UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING STUDI KASUS POLRESTA BANDAR LAMPUNG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JUDUL INDONESIA: UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING STUDI KASUS POLRESTA BANDAR LAMPUNG)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING

(STUDI KASUS POLRESTA BANDAR LAMPUNG)

Oleh

ANGGI FERRI STIAWAN

Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami oleh orang terutama perempuan dan anak, sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Korban perdagangan orang (trafficking) seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga dengan alasan faktor kemiskinan. Permasalahan dalam penelitian adalah Bagaimanakah upaya kepolisian dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking dan Apakah faktor-faktor penghambat upaya kepolisian dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana trafficking.

(2)

Anggi Ferri Stiawan preventif yaitu melakukan kegiatan razia di tempat pelacuran, hiburan malam dan sejumlah hotel yang ada di Bandar Lampung, dengan tujuan untuk menanggulangi setiap tindak pidana perdagangan orang. Adapun faktor penghambat pelaksanaan upaya kepolisan dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana trafficking adalah faktor hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Faktor yang paling utama adalah faktor masyarakat karena seringkali masyarakat tidak memahami apa dan bagaimana yang tergolong tindak pidana trafficking.

Berdasarkan kesimpulan tersebut diharapkan perlunya kerjasama antara kepolisian, Dinas Sosial, LSM dan masyarakat untuk melakukan razia atau penggerebekan setiap satu bulan sekali ke tempat pelacuran, pelabuhan peti kemas, pemeriksaan kapal, sejumlah hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan yang ada di Bandar Lampung. Dan juga perlu mengadakan sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang setiap setahun sekali keseluruh SMP, SMA, dan masyarakat di Bandar Lampung yang melibatkan para dokter, psikolog, dan LSM sebagai upaya pencegahan perdagangan orang (trafficking).

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Kecamatan Teluk Betung, Kota Bandar Lampung pada tanggal 19 Juli 1991 dan merupakan anak pertama dari 5 (Lima) bersaudara dari pasangan Bapak Febriadi dan Ibu Ismartiti.

Pendidikan yang telah diselesaikan adalah Sekolah Dasar Negeri 1 Rajabasa Bandar Lampung lulus pada tahun 2003. Sekolah Menengah Pertama Yayasan Al-Azhar 3 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2006, lalu peneliti melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Yayasan Arjuna Bandar Lampung yang lulus pada tahun 2009.

(7)

MOTO

Sesulit Apapun Masalah Yang Kita Hadapi, Jangan Pernah

Menyerah. Karena Ingatlah, Orang-Orang Hebat Lahir Dari

Kesulitan Yang Luar Biasa.

(Albert Einstein)

Bagaimana pun Suatu Masalah Pasti Ada Jangan Keluarnya, Maka

Kenali Potensimu dan Tingkatkan lah. Namun Bila Kita merasa

Paling Pintar Berarti Kita adalah Orang Yang Paling Bodoh.

“Where There’s Hope There is Life”

Doa dan Semangat Adalah Segalanya !!!

(Anggi Ferri Stiawan)

Jangan Minta Pulang Kita Ini Bujang, Teruslah

Berjuang”

(8)

PERSEMBAHAN

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan kesempatan sehingga dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Aku

persembahkan karya ini kepada:

Untuk kedua orang tua yang aku hormati dan aku hargai, Bapak danIbu yang selalu mencintai, menyayangi, mendo’akan dan mendidikku:

FEBRIADI

ISMARTITI

Serta untuk adik-adikku yang senantiasa memberikan dukungan kepada ku dengan kasih sayang yang tulus, serta seluruh keluarga yang melengkapi

hari-hariku:

REDO ADITIA

DIKI DERMAWAN

WAHYU APRIADI

RADELLA GRISALDA

Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku dalam suka dan duka dalam mencapai

(9)

SANWACANA

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatu

Alhamdulillahirobbil’alamiin, segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh alam yang telah memberikan Rahmat dan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Tanpa adanya kemudahan yang diberikan takkan mungkin dapat terlaksana, oleh karenanya hamba senantiasa bersyukur atas segala yang diberikan. Sholawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada sebaik-baik contoh dan tauladan Nabi paling Agung Nabi Muhammad SAW, Beliau yang telah memberikan perubahan kepada dunia dari zaman kebodohan kepada zaman yang penuh pencerahan.

Dalam penulisan ini tidak terlepas dari adanya bantuan, partisipasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H selaku ketua Bagian Hukum Pidana.

(10)

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H selaku pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H selaku pembimbing II, yang telah memberikan banyak bantuan, masukkan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H selaku pembahas I, yang telah banyak memberikan kritikan dan saran yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H selaku pembahas II yang telah banyak memberikan kritikan dan saran yang sangat membangun kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan dan diajarkan dengan ikhlas.

9. Seluruh staf baik di bagian Hukum Pidana Mba Sri, Mba Yanti, Babe. Maupun di bagian Akademik dan Kemahasiswaan yang tidak kalah pentingnya dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.

(11)

memberikan kasih sayang, nasihat dan doanya. semoga Allah membalas pengorbanan itu dengan nikmat yang tak terhingga.

11. Adik-adikku, Redo Aditia, Diki Dermawan, Wahyu Apriadi, dan Radella Grisalda yang selalu memberikan semangat dan doanya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Guru-guru ku selama menduduki bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan.

13. Pihak penyidik dari Polresta Bandar Lampung yang telah memberikan informasi dan bantuannya selama penulis melakukan riset dalam penulisan skripsi ini.

14. Teman-teman sekaligus sahabat seangkatan yang selalu hadir, terutama kelompok belajar Under tree yang selalu memberi cerita menyenangkan dan moment tak terlupakan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung: Sarwo, Novan, ijal, Sudi, Marison, Erik, Alfin, Ario, Imam, Meitupa, Rido, Icat, Wili, Kamal, Ryan, Diki, Sandi, Farid, Silva, Vinda, Andin, Terry serta yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya penulis ucapkan terimakasih.

15. Sahabat terbaikku Dika, Gama dan Adon yang tiada duanya yang banyak membantu, mengajari, mengingatkan, menasehati, menemani di setiap hariku dan selalu memberi motivasi dan dukungan yang luar biasa.

(12)

16. Teman-teman sekaligus keluarga baru, pengalaman baru di Kuliah Kerja Nyata (KKN) Cio, Edo, Pandu, Sherli, Arista, Anin, Meta, Mbak Diah, dan Mbak Lia. Serta Bapak Kadimin selaku Lurah Desa Purwosari beserta istri dan keluarga.

17. Teman-teman dari keluarga besar Honda Beat Club Lampung yang selalu hadir, memberikan motivasi, semangat, selalu memberi cerita menyenangkan dan moment tak terlupakan selama perjalanan di aspal hingga dalam kehidupan sehari-hari penulis ucapkan terimakasih.

18. Saudara, teman, rekan yang lain dan tidak bisa disebutkan satu persatu yang saya yakin berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan ikut berpartisipasi membantu dalam penulisan skripsi ini penulis ucapkan terimakasih.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun akan selalu diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua serta semoga tali silahtuhrahmi diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahuma Ya Rabbil’alamin.

Bandar Lampung, April 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tugas, Fungsi dan Wewenang Kepolisian ... 16

B. Pengertian Penegakan Hukum Pidana ... 19

C. Pengertian Pelaku ... 24

D. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) ... 26

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 35

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 36

(14)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 38 B. Upaya Kepolisian dalam Melakukan Penegakan Hukum Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking)... 39 C. Faktor-faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking)... 48

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 59 B. Saran ... 60

(15)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang atau yang biasa dikenal sebagai trafficking adalah permasalahan internasional yang telah menimbulkan korban sekitar 600.000-800.000 orang tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut diperkirakan 80% korban adalah perempuan dan anak perempuan. Sementara itu International Labor Organization (ILO) memperkirakan bahwa terdapat 12,3 juta orang yang terupayagkap dalam kerja paksa, termasuk di dalamnya anak yang terpaksa bekerja, orang-orang yang terpaksa bekerja karena jeratan hutang dan kerja seks secara terpaksa.1

Laporan tentang perdagangan orang di dunia yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat tahun 2008, disebutkan bahwa indonesia merupakan negara pengirim, penerima, dan sekaligus negara yang menjadi wilayah singgah (transit) untuk praktik perdagngan orang. Meskipun Pemerintah Republik Indonesia telah

mengeluarkan larangan pengiriman “duta budaya”, tetapi kasus perdagangan

1

Rauf,Abdul Rasal.Situasi Perdagangan Orang dan Jeratan Hutang Kawasan Timur

(16)

2

orang di Indonesia selama kurun waktu 2007 mengalami peningkatan, terutama terkait dengan praktik-praktik pemalsuan dokumen.2

Praktik tersebut merupakan sebuah realita kekinian yang terjadi sebagai konsekuensi logis atas kebutuhan tenaga kerja yang meningkat di beberapa wilayah tujuan, sementara di wilayah pengirim lapangan kerja tak tersedia atau lapangan kerja yang ada tak lagi sesuai harapan atas tuntutan realita hidup. Selain itu, praktik perdagangan orang juga semakin marak karena bertumbuhnya industri seks-baik yang legal maupun illegal. Laporan WHO tentang kerja seks (sex work) di Asia menyebutkan bahwa terdapat peningkatan jaringan antara industri seks di Indonesia, Malaysia, dan Singapura dengan jumlah klien dan pekerja seks yang bermigrasi di antara ketiga negara itu.3

Upaya penanggulangan perdagangan orang (counter-trafficking) sejatinya telah dilakukan baik di tingkat internasional maupun nasional. Lahirnya Protokol Tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khusunya Perempuan dan Anak, yang dikenal sebagai Protokol Palermo telah menjadi pendorong disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Secara lebih luas, upaya perlindungan terhadap masyarakat agar hak-haknya dapat dipenuhi juga tercantum dalam : (a) Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) yang diratifikasi Majelis Umum PBB pada tanggal 10 desember 1948, (b) CEDAW (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang diratifikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

2Ibid.

(17)

3

melalui Resolusi Majelis Umum 34/180 pada tanggal 18 Desember 1979 dan disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 24 juli 1984 melalui UU No. 7/1984, (c) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (ECOSOC) yang diratifikasi PBB melalui Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 dan disahkan Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005, (d) Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Majelis Umum pada tanggal 20 November 1989, Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.4

Pemerintah Indonesia sendiri pada April 2007 telah mengesahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Ini menandai keseriusan pemerintah dalam menyatakan isyarat

„upayag‟ terhadap praktik perdagangan orang yang telah berlangsung cukup lama.

Pada tahun 1984, instrumen nasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan disahkan melalui UU No. 7 Tahun 1984. Serta Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak anak. Dalam praktik perdagangan orang, perempuan dan anak selalu menjadi korban.

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) ini dikatakan bahwa “Perdagangan Orang tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

(18)

4

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar

negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Pola jaringan sindikat perdagangan perempuan terorganisasi dengan rapi dan sangat sulit dideteksi, terlebih bila yang bersangkutan ditujukan untuk kegiatan pelacuran. Kesulitan untuk mendeteksi jaringan sindikat ini selain karena kemampuan dan jaringannya yang sangat kuat, mereka juga memiliki akses yang sangat dekat dengan biro jasa transportasi dan pengirim tenaga kerja ilegal serta biro keimigrasian, mulai dari daerah asal, daerah pemberangkatan hingga ke daerah penyeberangan Malaysia. Oleh karena itu kegiatan jaringan ini dapat dikatakan tidak menghadapi kendala yang cukup berarti.5

Secara yuridis, rumusan delik trafficking in persons ke dalam undang-undang mutlak diperlukan untuk kriminalisasi perbuatan. Rumusan delik ini belum ada dalam hukum nasional sehingga bagi para penegak hukum yang menganut paham legalistik dan formalistik sulit menemukan hukum (rechvinding) dan membentuk hukum (rechvorming) yang baru terhadap peristiwa yang konkrit melalui mekanisme pengadilan. Padahal hakim berwenang untuk menggali nilai-nilai sosiologi yang aktual dalam masyarakat. Walaupun UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah mengkriminalisasi kejahatan perdagangan anak,

5

(19)

5

namun progresivitas norma UU ini masih setengah hati, yang melahirkan multi interpretasi, pemulihan, dan repatriasi saksi dan korban. Mengingat kompleksnya masalah kejahatan trafficking ini, maka diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang kejahatan ini. Pada saat ini, belum ada definisi hukum yang baku tentang perdagangan anak di Indonesia baik dalam KUHP maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya. Perdagangan manusia telah dinyatakan secara eksplisit dalam KUHP dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Berdasarkan KUHP diatur dalam Pasal 296,297,298 dan Pasal 65 UU No. 39 Tahun 1999. Dalam praktik yang ditemukan pihak aparat penegak hukum juga tetap memperlakukan KUHP Pasal 296,297, dan 298. Pasal tersebut seringkali tidak mampu menyeret para pelakunya karena unsur-unsur dari KUHP mengenai perdagangan anak dan perempuan yang digunakan dalam penanganannya tidak begitu jelas, sehingga banyak unsur dari kasus perdagangan anak dan perempuan tidak terjerat oleh pasal tersebut.

(20)

6

KUHP menganut sistem pengancaman maksimal tanpa batasan ancaman minimal.6

Undang-undang ini sangat jelas menggambarkan bahwa perdagangan orang bukan suatu kejahatan pidana biasa tetapi merupakan suatu kejahatan yang serius karena dilakukan dengan modus oupayadi yang sistematis dan kontinu.

Beberapa kategori bisa diambil dalam menafsirkan undang-undang tersebut yaitu:

1) Pelaku perdagangan orang bisa seseorang, kelompok orang/organisasi, dan perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja dan sistematis serta menimbulkan penderitaan fisik dan psikis terhadap korban.

2) Korban perdagangan orang adalah mereka yang berasal dari kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak atau mereka yang dalam struktur masyarakat tergolong kaum marjinal seperti warga miskin.

3) Praktik perdagangan orang telah membatasi bahkan melanggar prinsip-prinsip HAM karena pada dasarnya manusia tidak untuk diperdagangkan atau dikomersilkan (not for sale)

4) Alur kerja trafficking tidak saja berlangsung lintas daerah (translokal) tetapi sudah berkembang menjadi kejahatan lintas negara.

Ditinjau dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang

6

Rio Armada Agustian.Tuntaskan Trafficking di Babel. Hari Sabtu, 19 Oktober

(21)

7

diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu contoh kasus perdagangan orang (trafficking) dialami juga oleh FSL yang berumur 13 tahun, TA yang berumur 14 tahun, TS yang berumur 13 tahun, dan DS yang berumur 14 tahun. Mereka menjadi korban perdagangan anak yang dilakukan oleh tersangka NI dengan modus para korban diimingi dengan pekerjaan yang menjanjikan di sebuah cafe dengan gaji bulanan. Adapun tersangka menarik para korban lainnya yaitu dengan cara menyuruh korban yang sudah bergabung untuk mengajak renan-rekan lain untuk bergabung. Setelah bergabung ternyata mereka dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial dengan kewajiban para korban harus menyetor uang hasil transaksi dengan tamunya (pria hidung belang) dibagi dua dan diserahkan kepada tersangka NI.

Akibat perbuatannya tersangka NI dikenakan Pasal 2, Pasal 11, Pasal 12 UU RI nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan Pasal 81 ayat (2), Pasal 83 UU RI nomor 23 tahun 2002 perlindungan anak dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.7

Masalah trafficking bersifat multidimensional, dalam arti berkolarasi dengan aspek yuridis, sosiologis, psikologis, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Trafficking sekarang ini bukan lagi masalah nasional saja, tetapi sudah menjadi masalah global. Pada intinya trafficking ini, apapun bentuknya harus ditindak tegas dan diselesaikan segera. Melalui aspek kebijakan hukum pidana, peraturan

7

(22)

8

perundang-undangan di Indonesia yang telah mengatur tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (trafficking) ini.

Akan tetapi, dalam penerapannya masih mengalami hambatan, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan lembaga khusus yang mempunyai kewenangan luas dalam menangani perkara-perkara trafficking, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, profesional, serta berkesinambungan. Seperti halnya mendirikan lembaga sosial baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun lembaga-lembaga di luar pemerintah seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat, maupun organisasi sosial lain yang memang bertujuan memberantas tindak pidana trafficking in persons ini secara bersama-sama.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dan menuliskannya dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Upaya Kepolisian dalam Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) (Studi Kasus Polresta Bandar Lampung)”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. RumusanMasalah

Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka permasalahan yang akan di teliti adalah:

(23)

9

b. Apakah faktor-faktor penghambat upaya kepolisian dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) (studi kasus Polresta Bandar Lampung)?

2. Ruang Lingkup

Mengingat sistem pemidanaan merupakan kajian yang sangat luas maka ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada lingkup ilmu pengetahuan hukum pidana. Ruang lingkup substansi hanya pada permasalahan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang (trafficking) dan faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sistem peradilan pidana, KUHP, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilakukan diwilayah Polresta Bandar Lampung Tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam melakukan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking). b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat upaya kepolisian dalam

(24)

10

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah: a. Kegunaan Teoritis

Seacara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya.

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan penulisan ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan masukan terhadap praktisi hukum, dalam rangka meningkatkan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang (trafficking), serta sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan, yaitu sarjana hukum.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.8

Menurut Joseph Goldstein penegakan hukum pidana dibedakan menjadi 3 (tiga), anatara lain:9

1. Total Enforcement (total penyelenggaran), ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substansif

substanstantive law of crime”. Penegakan hukum pidana secara total ini

8

SoerjonoSoekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta .UI Press. 1986. hlm.125

9

(25)

11

tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggelapan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.

2. Full Enforcement (penyelenggaraan penuh), setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

3. Actual Enforcement (penyelenggaraan nyata), untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum pidana dalam usahanya menanggulangi kejahatan, maka dalam kebijakan penanggulangan kejahatan

atau yang biasa dikenal dengan istilah “politik kriminal”. Mempergunakan

upaya-upaya dalam ruang lingkup yang cukup luas yaitu dengan menanggulangi upaya lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan hukum pidana).

Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

(26)

12

peraturan yang membawa dampak positif bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) dalam proses peradilan pidana, maka terdapat pemberlakuannya sebagai berikut:10

a. Tahap Formulasi ialah tahap penegakan hukum in abstracto oleh pembuat undang-undang, tahap ini dapat pula tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap Aplikasi ialah tahap penerapan hukum oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, tahap ini dapat disebut kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi ialah tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administrasi.

Ketiga tahap ini dilaihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan merupakan suatu keterpaduan yang harus tercapai secara selaras seimbang.

Upaya kepolisian dalam pelaksanaan penegakan hukum bukanlah semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, melainkan terdapat faktor-faktor penghambat yang dapat mempengaruhinya, yaitu:11

Nawawi Barda dan Muladi. Kebijakan Hukum Pidana.Citra Aditya. Bandung.1996.hlm. 19

11

(27)

13

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang akan diteliti.12

Adapun pengertian-pengertian mendasar dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.13

b. Penegakan Hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajiban untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.14

c. Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.15

d. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan diancam dengan hukuman berdasarkan ketentuan didalam KUHP dan ketentuan undang-undang.16

12

SoerjonoSoekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta.UI Press.1986. hlm 132

13

Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

14

Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : Alumni.1986 hlm 60

15

Pasal 55 Ayat (1) Huruf (a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

16

(28)

14

e. Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.17

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini mudah dipahami oleh para pembaca, maka penyusunan skripsi ini diuraikan dalam beberapa bagian, yang terdiri dari:

I. PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan memuat latar belakang dari permasalahan yang diselidiki, masalah yang dijadikan fokus studi, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang dipergunakan, dan sistematika penulisan skripsi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab Tinjauan Pustaka berisikan materi-materi yang berhubungan dan diperlukan untuk membantu pemahaman dan kejelasan permasalahan yang diselidiki. Untuk Bab II ini disampaikan pengertian-pengertian umum dari perdagangan orang

17

(29)

15

(trafficking), peraturan perundang-undangan, faktor-faktor terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

III. METODE PENELITIAN

Bab Metode Penelitian menjelaskan tentang cara bagaimana memperoleh pemahaman dan jawaban dari permasalahan yang diselidiki secara konstuktif dan sistematis, logis dan konsisten, yang meliputi cara pendekatan masalah, sumber dan jenis data yang digunakan, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab yang berisikan uraian-uraian yang menjelaskan dan menjawab permasalahan tentang upaya kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang (trafficking), dan mengenai faktor-faktor penghambat dari upaya kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang (trafficking).

V. PENUTUP

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Tugas, Fungsi, dan Wewengan Kepolisian

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam ketentuan Pasal 1 memberikan pengertian:

1. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Anggota Polisi negara Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang dab memiliki wewenang umum kepolisian.

Kamus besar Bahasa Indonesia, polisi adalah:

1. Badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.

(31)

17

Istilah Kepolisian terkait langsung dengan fungsi Kepolisian. Dalam Pasal 2 UU Kepolisian dinyatakan bahwa:

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) diatur hal-hal yang berkaitan dengan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut:

“Kepolisian Negara Republik indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam

negeri”.

Pasal-pasal tersebut jelas kiranya bahwa tugas polisi itu pada pokoknya meliputi persoalan penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban masyarakat yakni:

“Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis

masyarakat sebagai salah satu syarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan profesi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk

gangguan lainnya”.

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian dapay dilihat dalam Pasal 13, adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

(32)

18

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Fungsi kepolisian umum berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang berdasarkan undang-undang dan atau peraturan perundang-undangan yang meliputi semua lingkungan kuasa hukum, yaitu:

1. Lingkungan kuasa soal-soal (Zaken gebeid) yang termasuk kompetensi hukum publik.

2. Lingkungan kuasa orang (Personen gebeid). 3. Lingkungan kuasa tempat (Ruimte gebeid) 4. Lingkungan kuasa waktu (Tijds gebeid).

Pengemban fungsi kepolisian umum, sesuai dengan undang-undang adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga tugas dan wewenangnya dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa tersebut diatas.

Fungsi kepolisian khusus berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang atas kuasa undang-undang secara khusus ditentukan untuk suatu lingkungan kuasa. Badan-badan pemerintahan yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian yang khusus dibidangnya dan masing-masing dinamakan alat-alat kepolisian khusus.

Mengenai pelaksanaan tugas kepolisian dibagi kedalam tiga aspek, yaitu: 1. Tugas penegakan hukum

(33)

19

Sehubungan dengan metode pelaksanaan tugas polisi seperti uraian di atas, maka tugas polisi dapat dilaksanakan sesudah terjadinya pelanggaran. Yang pertama dikenal dengan tindakan reprensif dan yang kedua dikenal dengan tindakan preventif.

Tindakan reprensif polisi ialah mencari keterangan, melacak, menyidik dan menyelidik tindak pidana yang terjadi. Tindakan ini meliputi dua hal, yaitu:

1. Justitieel, yaitu mencari dan menyelidik suatu tindak pidana, menangkap pelakunya guna diajukan ke pengadilan.

2. Bestuurlijk, yaitu mencari dan menyelidiki hal-hal yang langsung dapat menimbulkan tindak pidana.

Adapun tindakan preventif adalah mencegah terjadinya hal-hal yang akan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Tindakan ini meliputi dua hal, yaitu:

1. Justitieel, yaitu mencegah secara langsung terjadinya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan tindak pidana.

2. Bestuurlijk atau disebut juga tindakan preventif tidak langsung, yaitu mencegah secara tidak langsung hal-hal yang dapat menimbulkan tindak pidana.23

B. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah atau pandangan menilai yang menatap dan sikap tidak

23

(34)

20

sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social enginering) memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.24

Upaya penegakan hukum adalah upaya hukum untuk menterjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan yakni dengan melarang suatu yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.

Penegakan hukum pidana merupakan suatu sistem yang menyangkut suatu penyerasian antara kaidah serta nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku yang dianggap pantas, perilaku tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Masalah penegakan hukum pidana sebenarnya terletak pada beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu:25

1. Faktor hukum itu sendiriatau peraturan itu sendiri

2. Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang melaksanakan peraturan hukum tersebut.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

5. Faktor kebudayaan yaitu sebagai hasil karya cipta rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

24

Soerjono Soekanto.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. .Jakarta.Raja Gravindo Persada.1983. hlm 5

25

(35)

21

Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena merupakan esensi dari penegakan hukum serta merupakan tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang disusun oleh penegak hukum dianggapsebagai panutan hukum oleh masyarakat. Kehidupan bermasyarakat sering kali terjadi tindak pidana. Dalam hal tersebut terjadi karena adanya pihak yang meliputi pelaku dan korban tindak pidana, namun tanpa adanya kedua pihak tersebut maka tindak pidana tersebut tidak ada. Dalam hal ini korban tindak pidana adalah sebagai pihak yang dirugikan karena hukum pidana kedudukannya begitu diperhatikan.

Penegakan hukum pidana merupakan kebijakan penanggulangan kejahatan yang merupakan tujuan akhir yaitu perlindungan masyarakat guna mencapai kesejahteraan masyarakat, dengan demikian penegakan hukum pidana merupakan bagian integrasi dari kejahatan untuk mencapai kesejahteraan, maka wajar jika dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan merupakan penegakan hukum pidana yang menjadi bagian penting dari pembangunan nasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan dan merupakan suatu keterpaduan yang harus dicapai secara selaras dan seimbang dalam proses penegakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.

(36)

22

1. Kebijakan secara penal (hukum pidana)

Kebijakan hukum pidana melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat

“represif” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) setelah kejahatan tersebut

terjadi. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan upaya represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan atau tindak pidana, termasuk upaya represif yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dilakukannya pidana.26

Penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahapan, yaitu:

a. Tahap Formulasi

Yaitu tahapan penegakan hukum “in abstracta” oleh pembuatan undang-undang, tahap ini pula disebut sebagai tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap Aplikasi

Yaitu penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan, tahap ini dapat pula disebut dengan tahap kebijakan.

c. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksanaan hukum pidana, tahap ini dapat pula disebut dengan tahap kebijakan eksekutif atau administratif.27

26

Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana.Alumni.Bandung.1986.hlm 118

27

(37)

23

2. Kebijakan non penal (diluar jalur hukum)

Kebijakan hukum pidana melalui jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat

“preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) yang dilakukan sebelum

kejahatan tersebut terjadi. Sarana non penal biasa disebut sebagai upaya preventif, yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Non penal merupakan upaya pencegahan, penangkalan, dan pengendalian sebelum kejahatan terjadi maka sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung menimbulkan kejahatan.

Usaha-usaha non penal penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama. Meningkatkan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha non penal memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Dengan demikian, dilihat dari politik kriminil keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci diintesifkan dan diefektifkan.

(38)

24

utama dari sarana non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Penggunaan sarana non penal adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan yaitu meliputi bidang yang sangat luas sekal di seluruh sektor kebijakan sosial.28

C. Pengertian Pelaku

Mengenai pelaku, dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah digambarkan mengenai siapa yang dianggap sebagai pelaku suatu tindak pidana. Adapun Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana,

a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan,

b. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Arti melakukan yaitu pada larangan untuk suatu keadaan tertentu, maka pelaku adalah orang yang dapat mengakhiri keadaan itu sedangkan dalam arti turut melakukan yaitu pelaku adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Apabila dua orang bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan tiap-tiap pelaku sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu, dapat

terjadi “turut melakukan”.

28

(39)

25

Pengertian menyuruh melakukan adalah menyuruh lakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum oleh orang lain, yang karena paksaan, kekeliruan atau tidak mengetahui, berbuat tanpa kesalahan, kesengajaan atau dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap penganjuran, terdapat ciri dari pada penganjur itu sendiri yaitu bahwa ia sendiri yang menentukan kehendak yang jahat, sehingga timbulah perbuatan yang dapat dihukum.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP di atas, pelaku juga dapat dilihat dari rumusan delik yang dilakukan, yaitu:

a. Delik dengan rumusan formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi perumusan delik.

b. Delik dengan rumusan materiil, pelaku adalah barang siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang.

c. Delik yang memenuhi unsur kedudukan atau kualitas, pelaku adalah mereka yang memilki unsur atau keadaan yang ditentukan.

Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

(40)

26

dilakukan di tempat dimana kesempatan itu diberikan, tidak dimana perbuatan yang dapat dihukum dilakukan.

D. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking)

Menurut Global Alliance Against Trafficking Women (GAATW) tahun 1997, dalam definisinya menekankan bahwa adanya tiga elemen penting dalam konsep Trafficking, yaitu rekrutmen, transportasi, dan lintas batas negara. Kemudian oleh Convention on the Elimination of All For of Discrimination Againts Women (CEDAW) tahun 1979, ditambahkan satu elemen lagi yakni elemen persetujuan atau consent. Dalam hal ini, persetujuan korban merupakan elemen kunci dalam konsep perdagangan orang (trafficking). Sepanjang tujuannya tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi pekerja migran atau masih dalam batas-batas consent yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai perdagangan orang (trafficking).29

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan tindak pidana perdagangan orang (trafficking) adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisirentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

29

Rauf,Abdul Rasal.Situasi Perdagangan Orang dan Jeratan Hutang Kawasan Timur

(41)

27

Pengertian perdagangan orang (trafficking) yang diatur dalam Pasal 1 Angka 1 dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menentukan sebagai berikut:

Tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Pengertian perdagangan orang (trafficking) menurut Abdussalam adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu/lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar Negara, pemindatangan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak dengan ancaman menggunakan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat memanfaatkan posisi kerentaan (misalnya jika seseorang tidak punya pilihan, terisolasi, ketergantungan obat dan jeratan hutang, dll). Memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (pedophilia).30

Beberapa unsur dari tindakan perdagangan orang yaitu semua unsur/tindakan perdagangan orang, yaitu:31

1. Semua usaha/tindakan,

2. Berkaitan dengan pemindahan orang,

3. Didalam atau melintasi perbatasan wilayah Negara, 4. Adanya tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, 5. Adanya penipuan,

6. Lilitan hutang,

7. Kekerasan dengan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominan,

30

Abdussalam.Hukum perlindungan anak. Jakarta.Restu Agung.2007 lm. 132 31

(42)

28

8. Pekerjaan yang tidak dikehendaki,

9. Kerja paksa atau kondisi seperti perbudakan, 10. Pemerasan terhadap pelacuran dari orang lain, 11. Pemerasan seksual,

12. Penghilangan organ tubuh.

1. Peraturan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking)

Sebelum tahun 2007, undang-undang yang paling relevan dalam kejahatan perdagangan tersebut adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 297 dan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 83. Beberapa aspek penting yang tidak memadai dalam perundang-undangan tersebut meliputi definisi, sistem pembuktian kejahatan dan pelindungan korban. Undang-undang tersebut tidak memberikan definisi yang jelas mengenai perdagangan manusia sehingga telah membawa masalah serius dalam penerapan kedua undang-undang tersebut dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan manusia (trafficking).di lapangan banyak juga ditemukan bentuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yang tidak mampu dijerat oleh pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut, misalnya modus jeratan hutang.

(43)

29

Baru pada awal tahun 2007 ini mempunyai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidan Perdagangan Orang Nomor 21 tahun 2007. Undang-Undang ini sepertinya sudah menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya yang berkaitan dengan perdagangan perempuan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 297 dan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 83. Sanksi hukumannya pun lebih berat, yakni hukuman penjara antara 3 sampai 15 tahun atau denda Rp 120 juta hingga Rp 600 juta bagi oknum yang tertangkap akibat melakukan kegiatan perdagngan perempuan. Efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut sangat bergantung pada pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, polisi dan instansi terkait. Kekurangan kesadaran atas kerjasama aparat penegak hukum serta kolusi antara penegak hukum dengan sindikat kriminal sering dinyatakan sebagai faktor-faktor yang menghalangi efektifitas upaya penegakan hukum.

Setelah melalui proses panjang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) akhirnya disahkan baru-baru ini. Tetapi, sampai saat ini belum ada kasus perdagangan orang (trafficking) yang dikenai sanksi menggunakan Undang-Undang ini masih menggunakan Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang (Trafficking)

a. Kerja paksa Seks dan Eksploitasi seks baik di luar negeri maupun di dalam wilayah Indonesia

(44)

30

dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, beberapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak pekerjaan.

b. Penari, Penghibur dan Pertukaran Budaya terutama di luar negeri

Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

c. Pengantin Pesanan terutama di luar negeri

Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.

d. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja anak terutama di Indonesia

Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.

e. Penjualan bayi di luar negeri ataupun di Indonesia

(45)

31

diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, inu rumah tangga Indonesia ditipu oleh Pembantu Rumah Tangga (PRT) kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.

3. Faktor-faktor Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking)

Faktor-faktor yang menjadi terjadinya tindak pidana perdagangan orang (trafficking) tersebut, yaitu:

1. Kemiskinan

Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.

2. Perkawinan Dini

Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap perdagangan orang (trafficking) disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.

3. Kurangnya Pencatatan Kelahiran

(46)

32

terdokumentasi. Anak-anak yang diperdagangkan, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.

4. Kurangnya Pendidikan

Orang dengan pendidikan yang terbatas keahlian/skill dan kesempatan kerja mereka lebih mudah diperdagamgkan karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang membutuhkan keahlian.

5. Korupsi dan Lemahnya Penegakan Hukum

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaah-penelaahan terhadap teori-teori, konsep-konsep, pandangan-pandangan, serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Pendekatan secara yuridis empiris yaitu suatu pendekatan secara langsung dari pelaksanaan penegakan hukum pidana dilapangan. Pendekatan ini bertujuan memperoleh data yang murni berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini. Berdasarkan kedua pendekatan diatas, diharapkan diperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas, cermat dan mendalam terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka,35 jenis data tersebut yaitu:

35

(48)

34

1. Data Primer

Data primer diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam penulisan ini diperoleh dengan mengadakan wawancara, terutama mengenai Peran Kepolisian dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Trafficking yang dilakukan oleh ibu Rumah Tangga.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengadakan studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah, peraturan perundang-undangan, buku-buku, kamus, dan literature lain yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu, bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)

b. Bahan Hukum Sekunder

(49)

35

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu, bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan huku primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus, artikel atau berita berbagai keterangan media masa sebagai pelengkap.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel.36 Dalam penelitian yang menjadi populasi adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan populasi adalah Anggota kepolisian Polresta Bandar Lampung.

2. Sampel

Penentuan sampel dalam penulisan ini menjadi sasaran penelitian yang mewakili keseluruhan populasi. Dalam menentukan sampel dan populasi yang akan diteliti digunakan metode penelitian secara purvosive sampling yaitu suatu metode dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang telah dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak dicapai maka dalam penelitian ini adalah:

1. Anggota Unit Penyidik PPA Polresta Bandar Lampung : 2 orang 2. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang+

Total 3 orang

36

(50)

36

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara. Wawancara digunakan untuk mendapatkan data yang diperoleh dari study kepustakaan. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan berupa membaca, mencatat, mengutip buku-buku sampai bahan-bahan dan informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan

Studi ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan metode wawancara (interview) secara langsung kepada responden yang telah ditentukan sebelumnya dengan mengajukan-mengajukan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Pertanyaan diajukan secara lisan dengan jawaban secara lisan.

2. Pengolahan Data

(51)

37

a. Identifikasi data yaitu mencari materi data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok bahasan yaitu buku-buku atau literature dan instansi yang berhubungan.

b. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok bahasan dan mengutip data yang terdapat dari buku-buku dan instansi yang berhubungan dengan pokok bahasan.

c. Klasifikasi data, yaitu menetapkan data-data sesuai dengan ketetapan dan aturan yang telah ada.

d. Sistematisasi data, yaitu penyusunan data menurut tata urutan yang telah ditetapkan sesuai dengan konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah untuk dianalisis datanya.

E. Analisis Data

(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

(53)

60

malam dan sejumlah hotel yang ada di Bandar Lampung, dengan tujuan untuk menanggulangi setiap tindak pidana perdagangan orang.

2. Faktor-faktor penghambat upaya kepolisan dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficking) adalah faktor hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Faktor yang paling utama adalah faktor masyarakat karena seringkali masyarakat tidak memahami apa dan bagaimana yang tergolong tindak pidana perdagangan orang (trafficking). Dan kurangnya aparat penegak hukum yang perempuan karena tindak pidana perdagangan orang (trafficking) lebih banyak dialami oleh perempuan baik dewasa maupun anak-anak sehingga kasus yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan. Dalam hal ini penegak hukum yang menangani tindak pidana perdagangan orang (trafficking) haruslah orang yang mempunyai perspektif perempuan.

B. Saran

1. Perlunya kerjasama antara kepolisian, Dinas Sosial, LSM dan masyarakat untuk melakukan razia atau penggerebekan setiap satu bulan sekali ke tempat pelacuran, pelabuhan peti kemas, pemeriksaan kapal, sejumlah hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan yang ada di Bandar Lampung.

(54)

61

melibatkan para dokter, psikolog, dan LSM sebagai upaya pencegahan perdagangan orang (trafficking).

(55)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdussalam.2007.Hukum perlindungan anak.Restu Agung.Jakarta.

Demmalino, E.B. dan Wicaksono. 2004.Utang Budaya Perempuan Tana Toraja. PSKK UGM.Yogyakarta.

Friedman, Marilyn M.1992.Family Nursing.Theory & Practice.3/E.Debora Ina R.L.1998. alih bahasa. Jakarta:EGC

Kelana, Momo.1994.Hukum Kepolisian.Gramedia.Jakarta.

Muladi.1995.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.UNDIP. Semarang Muladi dan Arief Barda.1996.Kebijakan Hukum Pidana.PT.Citra Aditya

Bakti. Bandung

Nawawi Arief, Barda.2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.PT.Citra Aditya Bakti.Bandung

Rauf, Abdul Rasal.2009.Situasi Perdagangan Orang dan Jeratan Hutang Kawasan Timur indonesia.ICMC Indonesia & Pusat Studi dan Pengkajian Hak Asasi Manusia UNHAS.Makassar.

Soekanto, Soerjono.1982.Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Raja Grafindo Persada.Jakarta.

(56)

__________1986.Pengantar Penelitian Hukum.UI Press.Jakarta.

__________2002.Sosiologi Suatu Pengantar.Raja Grafindo Persada.Jakarta. Soerodibroto, Soenarto.2001.KUHP dan KUHAP.Raja Grafindo Persada.Jakarta Sudarto.1986.Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : Alumni

Syafaat, Rahmat.2003.Dagang Manusia.Lappera.Yogyakarta.

Syahrani, Riduan.1999.Rangkuman Intisari Ilmu Hukum.Bandung.Citra Aditya Bakti.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1990.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka.Jakarta

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)

INTERNET

file:///G:/jadi-mucikari-ibu-rumah-tangga-diciduk-polisi.htm Penulis: Ahmad Amri dan Sulaiman, Judul: Jadi Mucikari, Ibu Rumah Tangga Diciduk Polisi, di unduh hari Sabtu, 19 Oktober 2013 pukul 15:15 wib

Referensi

Dokumen terkait

Daya antibakteri berbagai konsentrasi larutan irigasi sodium hipoklorit kombinasi Omeprazole 8,5% terhadap per-tumbuhan bakteri Enterococcus faecalis da-pat diketahui

Penelitian prediksi penyakit dengan data mining telah banyak dilakukan, diantaranya dilakukan oleh (Adrianto & Nurgiyatna, 2018) dalam aplikasi sistem pakar

Dari daftar relawan terlihat Survey malware ID-CERT diikuti 44 relawan yang berasal dari 24 kota dan 9 propinsi di Indonesia5. Relawan paling banyak berasal dari kota Bandung

Pers nasional adalah surat kabar dan majalah dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah bahkan bahasa Belanda yang ditujukan terutama bagi

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

MPEG-4 Visual provides a highly flexible toolkit of coding techniques and resources, making it possible to deal with a wide range of types of visual data including rectangular

b) Pengembangan secara keseluruhan Usahakan agar anak mau mengembangkan bakatnya sebagai upaya mengalihkan perhatiannya dari kelemahan pribadi yang telah membuat

[r]