i
NIM : 106011000044
Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam
Judul : Nilai-nilai Pendidikan Ibadah yang Terkandung dalam Surat al- Hajj ayat 41
Skripsi ini mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan ibadah. Pembahasan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.
Pendidikan ibadah merupakan proses membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya, semua ini bersumber dari penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri dihadapan sang pencipta.
Untuk memperoleh data yang representatif dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku, ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif.
ii
meskipun masih belum sempurna.
Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih
payah beliau kita berada di bawah bendera Islam.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari
dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyakanya pihak yang turut mendukung
penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu,
namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas
terselesaikannya skripsi ini:
1. Kedua Orang Tua penulis (H. Balyah dan Hj. Rohmanah) yang telah merawat
dan mendidik dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendo’akan dan mencukupi moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan
seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat),
kakak tercinta Hijazi, Kholisah, Bahjah, Cherman, Maimunah serta adikku
Qori Amaliah yang selalu mendorong penulis agar skripsi ini dapat segera
diselesaikan.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M. A, beserta seluruh staffnya.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Bahrissalim, M.Ag dan
seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA
beserta seluruh staffnya.
4. Bapak Dr. Anshori, M.A, LAL yang telah sabar dan meluangkan waktunya
iii
dapat bermanfaat dikemudian hari.
6. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan
kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian
skripsi ini.
7. Teman-temanku Mahasiswa UIN Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan
2006 khususnya kelas “B” (Arief selaku editor skripsi penulis, Ansori, Deden, Naseh, Roni, Yudi, Azis), sahabat-sahabat PPMPK serta Ibnu dan Fadhil yang
selalu memberikan support dan semangat kepada penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala
dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal alamin.
Jakarta, 19 Oktober 2010
iv
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah... 4
C. Pembatasan Masalah... 5
D. Perumusan Masalah... 5
E. Tujuan Penelitian... 5
F. Manfaat Penelitian ... 6
G. Metode Penelitian... 6
BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai... 7
2. Pengertian Pendidikan... 8
3. Pengertian Pendidikan Islam... 10
4. Tujuan Pendidikan Islam... 11
5. Dasar Pendidikan Islam... 15
B. Ibadah 1. Pengertian Ibadah... 18
2. Dasar hukum Ibadah... 21
3. Macam-macam Ibadah... 24
4. Ruang Lingkup Ibadah... 26
v
A. Teks Ayat dan Terjemahnya... 30
B. Tafsir Ayat... 30
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN IBADAH YANG
TERKANDUNG DALAM SURAT AL-HAJJ
AYAT 41
1. Pendidikan Shalat... 37
2. Pendidikan Zakat... 53
3. Pendidikan Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar...
66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 77
B. Saran... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟anul Karim adalah “mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya
selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah swt.
kepada Rasulullah, Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari
suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan
yang lurus.”1
Al-Qur‟an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tak ada
rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur‟an yang
hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya, baik yang tersurat maupun yang
tersirat, serta tak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari.
Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur‟an dapat diberlakukan
dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun, selama tidak ada larangan
atau hambatan bagi umat Islam untuk melaksanakannya.
Al-Qur‟an sebagai ajaran suci umat Islam, di dalamnya berisi petunjuk
menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia
memanfaatkannya. Menanggalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya berarti
1
menanti datangnya masa kehancuran. Sebaliknya, kembali kepada al-Qur‟an
berarti mendambakan ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang terdapat
dalam al-Qur‟an berisi kedamaian.
Al-Qur‟an mengandung tiga hal:
1. Yang berkaitan dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul dan hari akhir. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu kalam (tauhid)
atau disebut juga ilmu ushûl al-dîn.
2. Yang berkaitan dengan gerak-gerik hati dan sifat yang mengandung
anjuran untuk memperindah akhlak. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu
akhlak.
3. Yang berkaitan dengan anggota badan, di antaranya yang berbentuk
perintah-perintah untuk dilaksanakan, larangan-larangan untuk dijauhi
dan yang berbentuk pilihan. Masalah ini merupakan pembahasan para
fuqahâ.2
Dari penjelasan tentang kandungan al-Qur‟an yang telah dijelaskan oleh
Syaikh Muhammad Hudory, penulis berasumsi bahwa al-Qur‟an
mengkhususkan pada tiga aspek:
1) Berkaitan dengan masalah ketauhidan. Seperti pengenalan tentang
sifat-sifat ketuhanan, meyakini adanya malaikat, mempercayai para rasul,
mempercayai kepada kitab-kitab Allah, mempercayai adanya hari akhir,
serta mempercayai kepada qada dan qadar.
2) Berkaitan dengan masalah akhlak. Antara lain menjunjung kehormatan
kaum Muslimin, taubat, husn al-zhan (positive thinking) kepada orang lain, serta amr ma‟ruf nahi munkar.
3) Berkaitan dengan masalah ibadah. Seperti salat, zakat, puasa, serta haji.
Sebagai salah satu contoh tentang nilai-nilai al-Qur‟an tersebut diatas
dapat ditemukan dalam surat al-Hajj/22 ayat 41.
2“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj/22: 41)
Di dalam ayat ini terdapat nilai-nilai ibadah yang bisa dijadikan sandaran
bagi umat Islam dalam melangsungkan kehidupan ibadahnya. Nilai-nilai
tersebut berupa salat, zakat, dan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Tentunya
dalam memahami ayat ini agar dapat dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari diperlukan adanya proses memahami atau yang biasa disebut dengan
proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu sendiri tidak mungkin
dilakukan tanpa adanya komponen-komponen pendukung seperti orang yang
berusaha memahami, orang yang memberikan pemahaman, dan sesuatu yang
akan dipahami. Semua proses pembelajaran ini jika dilakukan dengan tanpa
adanya paksaan maka dapat disebut pendidikan.
Memang dalam ayat ini tidak tertuang kalimat “pendidikan” secara
tersurat. Akan tetapi secara tersirat, ayat ini memberikan indikasi adanya
pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah “usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.”3 Dengan definisi pendidikan yang telah disebutkan, maka jelaslah
bahwa dalam pelaksanaan suatu ibadah memerlukan pendidikan. Karena tidak
mungkin seseorang langsung dapat melaksanakan suatu ibadah tanpa adanya
pendidikan atau dalam hal ini usaha secara sadar untuk mengetahui hal-hal
yang dibutuhkan dalam terlaksananya ibadah tersebut. Setelah terjadinya
proses pendidikan ibadah yang kemudian diiringi dengan pengamalan,
otomatis akan muncul nilai-nilai dari pelaksanaan ibadah tersebut.
3
Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi di dalam kehidupan
umat manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur‟an
yang telah disebutkan dalam surat al-Hajj ayat 41. Akibatnya bentuk
penyimpangan terhadap nilai-nilai tersebut banyak terjadi di setiap lapisan
masyarakat muslim. Hal ini dapat terlihat dari berbagai peristiwa yang terjadi
di masyarakat, seperti menganggap remeh ibadah, kurangnya rasa saling
menghormati orang lain, dan pelanggaran hukum-hukum syariat lainnya.
Hal ini terjadi disebabkan karena minimnya pengetahuan masyarakat
terhadap pentingnya arti ibadah tersebut. Sebagaimana pengertian ibadah
dalam Kamus Istilah Fiqih, “ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya, serta
menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata; baik dalam bentuk
kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha
melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah
swt.”4
Untuk itu, diperlukan upaya strategis untuk memulihkan kondisi tersebut
dengan cara menumbuhkembangkan kembali rasa cinta terhadap nilai-nilai
pendidikan ibadah yang terkandung dalam al-Qur‟an. Karena dengan adanya
rasa cinta terhadap hal tersebut, maka akan tumbuh kesadaran untuk
menerapkan nilai-nilai pendidikan ibadah dalam setiap aspek kehidupan.
Dari latar belakang diatas, penulis berpendapat bahwa kurangnya
penerapan nilai-nilai pendidikan ibadah menjadi salah satu faktor penyebab
merosotnya moral masyarakat muslim. Atas dasar pertimbangan tersebut di
atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkan ke
dalam skripsi dengan judul: “Nilai-nilai Pendidikan Ibadah yang Terkandung dalam Surat Al-Hajj ayat 41.”
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas
dalam tulisan ini yaitu:
1. Nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat
41.
2. Penerapan nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat
al-Hajj ayat 41.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi
masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: nilai-nilai pendidikan
ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41. Nilai-nilai pendidikan
tersebut meliputi:
1. Nilai pendidikan ibadah salat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat
41.
2. Nilai pendidikan ibadah zakat yang terkandung dalam surat a-Hajj ayat
41.
3. Nilai pendidikan ibadah amr ma‟ruf nahi munkar yang terkandung dalam
surat al-Hajj ayat 41.
D. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini,
penulis bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas. Maka penulis dapat
merumuskan masalah yaitu: “nilai-nilai pendidikan ibadah apa saja yang
terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41?”
E. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
melalui penelitian ini adalah:
1. Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah salat yang
terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41
2. Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah zakat yang
3. Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah amr ma‟ruf nahi
munkar yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis memberikan beberapa manfaat
dalam penelitian ini yaitu:
1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam
ilmu pengetahuan khususnya di bidang tafsir.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi para pembaca.
3. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti
oleh penulis berikutnya.
G. Metode Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan, yaitu
dengan menggunakan al-Qur‟an dan tafsirannya sebagai sumber utama
dalam penulisan dalil-dalil yang berkaitan dengan pembahasan skripsi
seperti: Tafsir al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Azhar dan Tafsir
Fi Zhilalil Qur‟an, serta buku-buku ilmiah yang relevan sebagai sumber
penulisan skripsi.
2. Metode Penelitian
Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat
al-Qur‟an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits
dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisa pendapat para
mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
3. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang
7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Nilai-nilai Pendidikan
1. Pengertian Nilai
Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan
manusia sesuai dengan hakikatnya.”1
Selanjutnya, di dalam buku Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Mohammad Noor Syam menyatakan bahwa: “nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu objek yang menyangkut
suatu jenis apresiasi atau minat.”2
Lebih lanjut dikatakan bahwa: “nilai itu
sungguh-sungguh ada dalam arti bahwa ia praktis dan efektif di dalam jiwa
dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat.
Nilai-nilai itu sungguh suatu realita dalam arti bahwa ia valid sebagai suatu
cita-cita yang benar yang berlawanan dengan cita-cita yang palsu atau bersifat
khayali.”
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 783.
2
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga
sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai
tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek
kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil
pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam
konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling
shahih adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah Nabi saw. yang kemudian
dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber
kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional.3
Dari definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan nilai ialah sifat-sifat
yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat
kemanusiaannya yang hal tersebut merupakan sebuah ketetapan yang didapat
dari sebuah objek dalam segala jenis minat atau apresiasi.
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “didik”,lalu kata ini mendapat awalan “me-”
sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan dan
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.4
Sedangkan arti pendidikan menurut istilah yang dikemukakan oleh para
ahli pendidikan beraneka ragam. Di antaranya sebagai berikut:
Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang atau
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;
proses, cara, dan perbuatan mendidik.”5
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1, dinyatakan bahwa: “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
3
Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nila-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, ( Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 3.
4
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Pustaka, 1997), h. 10.
5
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.”6
Sementara Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan adalah
“pengembangan pribadi dalam semua aspeknya.” Dengan penjelasan bahwa
yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain
(guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang
secara maksimal.7
Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan adalah “bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8
M. Ngalim Purwanto mendefinisikan pendidikan adalah “segala usaha
orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.” Atau lebih jelas
lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang
dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar
berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.9
M. Alisuf Sabri dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan
mengemukakan berbagai pengertian pendidikan dari para ahli didik, yaitu:
1. Lengeveld: Mendidik ialah mempengaruhi anak dalam upaya membimbingnya agar menjadi dewasa. Usaha membimbing haruslah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja. Oleh karena itu pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang disengaja antara orang dewasa dengan anak yang diarahkan kepada tujuan pendidikan.
6
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 3.
7
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 26-27.
8
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1989), Cet. VIII, h. 19.
9
2. Hoogveld: Mendidik ialah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.
3. SA. Branata, dkk: Pendidikan ialah usaha yang disengaja diadakan, baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
4. Ki Hajar Dewantara: Mendidik ialah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.10
Berdasarkan keseluruhan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian yang
bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya yang akan datang.
Dengan demikian di dalam pendidikan terdapat beberapa unsur, di
antaranya:
1. Usaha; usaha itu bersifat bimbingan dan dilakukan secara sadar,
2. Ada pendidik,
3. Ada yang dididik,
4. Bimbingan mempunyai dasar dan tujuan, dan
5. Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Dari definisi di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,
nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai-nilai-nilai dalam pendidikan adalah sifat-sifat atau
hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia untuk perkembangan jasmani
dan rohani melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang
dapat mengarahkan potensi personal manusia tersebut menuju terbentuknya
kepribadian yang bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya yang akan
datang.
3. Pengertian Pendidikan Islam
Definisi pendidikan secara umum di atas telah mendapatkan atribut Islam
sehingga menjadi pendidikan Islam. Pendidikan yang sebagaimana telah
disebutkan definisinya dengan pendidikan Islam mempunyai perbedaan.
10
Perbedaan tersebut antara lain pada tujuan pendidikan secara khusus, yaitu
pendidikan pada umumnya bertujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam adalah “suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian utama.
Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah peribadi yang memiliki
nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sejalan dengan pedoman
al-Qur‟an serta hadits.” Demikian Ahmad D. Marimba mendefinisikan
pendidikan Islam. Dan tampaknya dalam proses pendidikan Islam ini ia
menekankan pada aspek pembentukan akhlak.
Zuhairini dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “usaha yang diarahkan pada pembentukan
kepribadian seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya
dengan ajaran Islam dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak
berdasarkan nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam pula.”11
M. Arifin berpendapat, pendidikan Islam adalah “sistem pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan seseoranguntuk memimpin kehidupannya
sesuai dengan cita-cita Islam karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan
mewarnai corak kepribadiannya.”12
Sedangkan bagi Ahmad Tafsir, pendidikan Islam ialah “bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara
maksimal sesuai dengan ajaran Islam.”13 Atau dengan kata lain bimbingan
terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan agama Islam secara umum adalah ”meningkatkan
keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman peserta didik tentang
agama Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa
11
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 290. 12
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 2000), h. 10. 13
kepada Allah swt serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama
dan negara.14
Secara khusus pendidikan Islam sesuai dengan falsafah dan pandangan
hidup yang telah digariskan oleh al-qur‟an, paling tidak mempunyai dua
tujuan:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia
menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah SWT yang
diwajibkannya.
2. Tujuan ilmiah, maksudnya ialah apa yang diungkapkan oleh pendidikan
modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.15
Menurut al-Syaibani, beliau menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi
tiga tujuan, yaitu:
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. 2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku
masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan dalam kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.16
Zuhairini mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan agama islam adalah
membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh,
beramal saleh serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan
negara.17
Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah
pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan
“kehendak” Tuhan yang sesuai dengan syari‟at Islam, serta mengisi tugas
14
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), Cet III, h. 79.
15
Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 3.
16
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam..., h. 49. 17
kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan
utama pendidikannya.
Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa
tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu :
1. Membentuk akhlak mulia
2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik
5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.18
Imam al-Ghazali, sebagaiman dikutip Zainuddin dalam buku seluk-beluk
pendidikan dari al-ghazali, memandang dan membagi tujuan-tujuan
pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu
1. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berfikir,
menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga
menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan
kepribadian yang kuat.
3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Abdullah al-Misri secara secara lebih spesifik memberikan poin-poin
sebagai tujuan pendidikan Islam :
1. Memperkenalkan kepada generasi muda tentang aqidah Islam, dasar ibadah dan pelaksanaannya dengan benar sehingga mereka dapat menghormati agamanya sendiri.
2. Menumbuhkan kesadaran agama yang benar kepada diri seseorang mengenai agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.
3. Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan pada kesadaran yang benar.
4. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
18
5. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan pada al-qur‟an dengan membacanya secara baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6. Menumbuhkan rasa bangga pada sejarah dan kebudayaan islam dan
syuhada serta mengikuti jejak mereka.
7. Menumbuhkan rasa senang, optimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memgang teguh prinsip, berkorban untuk islam dan tanah air, serta siap untuk membelanya. 8. Mendidika naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda serta menguatkannya dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan emosi dan menyuburkan motivasinya, serta mengajarkan adab sopan santun.
9. Menanamkan iman yang kokoh kepada Allah, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka. Serta menanamkan rasa cinta, zikir, takwa dan takut kepada Allah
10.Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci kekerasan, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.19
Dalam hal ini Abuddin Nata mencoba memberikan cirri-ciri tujuan
pendidikan Islam. Antara lain adalah :
1. Mengarahkan manusia agar mejadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendaknya.
2. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalah gunakan.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memiliki keterampilan, ilmu, serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.
5. Mengarahkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.20
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah:
1. Membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh,
teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak mulia.
19
Abdullah al-Misri, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, (Beirut : Daar al-fikri), h. 245.
20
2. Membina dan mengarahkan manusia supaya bertakwa serta dapat
menunaikan hak-hak Allah, sebagai wujud pengabdiannya dalam tugasnya
sebagi khalifah di bumi.
3. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia
memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan guna
menunjang kehidupan dan tugas kekhalifahannya.
4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat
5. Dasar Pendidikan Islam
Dasar secara bahasa, berarti asas, fundamen, pokok atau pangkal segala
sesuatu (pendapat, ajaran, aturan).21 lebih lanjut dikatakan bahwa, dasar
adalah landasan berdirinya sesuatu. Fungsi adalah memberikan arah kepada
tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya
sesuatu.22
Pendidikan Islam sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan pembinaan kepribadian tertentu memerlukan dasar atau
landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Dasar ilmu pendidikan
Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada
al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad (hasil pikir manusia). Dasar
inilah yang membuat ilmu pendidikan ini disebut sebagai ilmu pedidikan
Islam. Tanpa dasar ini, maka tidak akan ada ilmu pendidikan Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahwu yang disampaikan oleh
malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung
ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan
yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut
syari‟ah.23
21
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, kamus..., h. 121. 22
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h. 12. 23
Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, (pada masa awal
pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur‟an sebagai sumber pokok
serta dasar pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber pokok
pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur‟an itu yang berbunyi :
surat Al-Alaq 1-5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Al-Qur‟an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai
pedoman hidupnya. Sebab pada dasarnya al-Qur‟an banyak membahas
tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan
tema terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku
bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh
mengingat al-Qur‟an merupakan kitab hidayah, dan seseorang bisa
memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah, karena pendidikan
yang benar serta ketaatannya.
Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur‟an secara garis besar mempunyai
tiga tujuan pokok, diantaranya :
1. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3. Petunjuk mengenai syari‟ah dan hukun dengan jalan menerangkan
“Al-Qur‟an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus
ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat” 24
2. Al-Sunnah
Dasar yang kedua setelah al-Qur‟an ialah al-Sunnah Rasulullah saw,
amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap
hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah
al-Qur‟an, karena Allah telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi
umatnya, sebagaimana firmannya dalam surah al-Ahzab ayat 21 berikut
ini:
”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Al-sunnah menurut bahasa artinya jalan; baik terpuji maupun tercela.
Sedang kan menurut istilah ahli hadis, ”sunnah ialah segala yang
dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat,
keadaan, maupun perjalanan hidup beliau: baik yang berupa yang
demikian itu terjadi sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.25
3. Ijtihad
Ijtihad yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki
oleh ilmuan syariat Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat
Islam dalam hhal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh
al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh
aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada
al-Qur‟an dan as-Sunnah.26
Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur‟an
dab as-sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan
24
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1997), Cet. XXVI, h. 40. 25
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), Cet. II, h. 12. 26
Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhiubungan langsung
dengan kebutuhan hidup manusia, pada kondisi dan situasi tertentu.
Teori-teori pendidikan baru dari hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam
dan kebutuhan hidup.
Dengan demikian, untuk melengkapi dan merealisasikan ajaran Islam
itu memang sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalnya al-Qur‟an dan
sunnah belum menjamin tujuan pendidikan Islam tercapai. Dalam hal ini,
pemikiran para ahli pendidikan muslim adalah salah satu bentuk ijtihad
dibidang pendidikan yang bisa dijadikan salah satu rujukan bagi kaum
muslimin dalam bidang pendidikan Islam.
B. Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Ibadah mengandung banyak pengertian berdasarkan sudut pandang para
ahli dan maksud yang dikehendaki oleh masing-masing ahli. Dalam hal ini
penulis melihat pengertian ibadah yang dikemukakan oleh berbagai ahli.
Secara etimologi "kata „ibadah‟ diambil dari bahasa Arab
yang berarti beribadah atau menyembah".27
Pengertian ibadah yang lebih mencakup segala esensinya dirumuskan oleh
para ulama secara terminologi adalah:
"Ibadah adalah suatu nama (konsep) yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun berbentuk perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi (dalam batin)".28
Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang beliau kutip dari Abu al-A‟la al
-Maududi, berpendapat bahwa ibadah ialah “rasa tunduk seseorang kepada
27
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 886.
28
orang lain karena kebesaran dan kegagahannya, kemudian ia membatasi
kemerdekaan dan kebebasan dirinya, serta patuh secara mutlak kepadanya.”29
Di dalam Kamus Istilah Fiqih, “ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya,
serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata; baik dalam bentuk
kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha
melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah
swt.”30
Menurut Abu Ahmadi dan Noor Salim dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, pengertian ibadah terbagi kepada dua yaitu:
1. Ibadah secara umum berarti ibadah yang mencakup perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah swt yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapat rida Allah swt.
2. Ibadah secara khusus ibadah adalah perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah swt dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. atau disebut ritual, seperti: salat, zakat, puasa, dan lain-lain.31
Secara menyeluruh kita dapat memahami bahwa ibadah itu ialah
penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri dihadapan sang
pencipta baik secara ucapan, perbuatan, dan gerak-gerik hati pada saat sendiri
maupun di keramaian, yang diiringi dengan rasa ikhlas, rida, dan cinta dengan
apa yang Ia perintahkan untuk dilaksanakan dan menjauhi apa pun yang Ia
larang.
Kata ibadah diartikan berbeda menurut pandangan para ahli dalam
bidangnya masing-masing :
a. Pengertian ibadah menurut ahli bahasa
Ahli bahasa mengartikan dengan: taat, menurut, mengikut, tunduk. Dan mereka mengartikan juga dengan: tunduk yang setinggi-tingginya, dan dengan doa.
b. Pengertian ibadah menurut ulama Tauhid
29
Yusuf al-Qardhawi, Ibadah dalam Islam, penerjemah. Umar Fanani, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1998), h. 37.
30 M. Abdul Majieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih..., h. 109. 31
Ulama tauhid mengartikan ibadah dengan:
"Meng-Esakan Allah, menta'zhimkan (mengagungkan)-Nya dengan sepenuh hati ta'zhim serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kita kepada-Nya (menyembah Allah sendiri-Nya)".32
Dalam pengertian ini, ibadah ialah mengesakan yang disembah,
diyakini dengan keyakinan bahwa Dialah Yang Mahaesa, baik secara zat,
sifat, dan perbuatan.
c. Pengertian ibadah menurut ulama Akhlak
Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan :
"Mengerjakan segala taat badaniah dan menyelenggarakan segala syari'at(hukum)".
Dalam pengertian ini, masuk akhlak (budi pekerti) dan masuk pula
segala tugas hidup (kewajiban-kewajiban yang diwajibkan atas seorang
pribadi), baik mengenai diri sendiri maupun mengenai keluarga dan
masyarakat bersama.
d. Pengertian ibadah menurut ulama Tasawuf
Adapun ulama tasawuf mengartikan ibadah dengan:
"Seorang mukallaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginannafsunya untuk membesarkan Tuhannya".
Dalam pengertian ini, ibadah ialah kemampuan seorang muslim yang
sudah menjadi mukallaf untuk meninggalkan apa yang diinginkan oleh
hawa nafsunya karena mengagungkan Allah swt.
Pengertian ibadah menurut pengertian ahli tasawwuf terbagi tiga:
1. Beribadah kepada Allah karena mengharap benar akan memperoleh
pahala-Nya atau karena takut akan siksa-Nya.
32
2. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu mulia,
dilakukan oleh yang mulia jiwanya.
3. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak
disembah, dengan tidak mempedulikan apa yang akan diterima, atau
diperoleh dari pada-Nya.
e. Pengertian ibadah menurut ulama Fuqaha : Dalam pengertian fuqaha, ibadah itu adalah :
"Segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharappahala-Nya di akhirat".
Dalam pengertian ini, ibadah ialah segala jenis ketaatan yang
dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan rida Allah Taala serta
mengharap pahala yang Allah berikan di akhirat nanti.33
Dari kelima pengertian ibadah menurut para ahli, penulis
menyimpulkan ibadah ialah mengikuti, menurut, serta tunduk dengan
seluruh jiwa dan raga dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya serta meyakini dengan sepenuh hati terhadap keesaan Allah
swt dalam segala hal, di antaranya yang berkaitan dengan akhlak dan
kewajiban sebagai seorang pribadi dan seorang yang bermasyarakat,
walaupun semua perintah dan larangan itu bertentangan dengan keinginan
hawa nafsu. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah swt dan
mengharapkan pahala-Nya di akhirat kelak.
Secara menyeluruh penulis memahami bahwasanya nilai-nilai
pendidikan ibadah itu ialah proses membimbing, melatih, mengajar dan
menanamkan sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam
menyempurnakan hakikat kemanusiaannya. Semua ini bersumber dari
penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri di hadapan Sang
Pencipta.
2. Dasar Hukum Ibadah
33
Ibadah sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang
membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara
komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang dikehendaki
Allah, ibadah harus kita maknai secara rinci. Karena itu, keberadaan dasar
hukum ibadah harus merupakan sumber utama Islam itu sendiri, yaitu
al-Qur‟an dan al-Sunnah.
a. Al-Qur‟an
Menurut bahasa al-Qur‟an adalah yang dibaca. Hal ini karena al-Qur‟an
sebagai sumber utama ajaran Islam hanya dapat diketahui hukum-hukum
dan ajaran yang terkandung di dalamnya dengan jelas dibaca.
Sedangkan menurut istilah, al-Qur‟an ialah “kalam Allah, yang
mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah dalam bahasa
Arab yang dinukilkan kepada generasinya secara mutawatir, membacanya
merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah
dan ditutup dengan surat al-Nâs.”34
Di dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan perintah
kepada hamba Allah untuk melaksanakan ibadah. Ibadah dalam Islam
sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah dalam arti
penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif, melainkan
sebagai perwujudan rasa syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah
atas hamba-hamba-Nya. Adapun ayat-ayat yang menyatakan perintah
untuk melaksanakan ibadah tersebut di antaranya dalam al-Qur‟an surat a
l-Baqarah/2 ayat 21 yang berbunyi:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2: 21)
34
Di dalam al-Qur‟an terdapat penjelasan bahwa penciptaan manusia oleh
Allah tidak mengandung maksud lain kecuali supaya mereka menyembah
Allah atau beribadah kepada-Nya. Hal ini disebutkan dalam al-Qur‟an
surat Al-Dzâriyât/51 ayat 56 yang berbunyi:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat/51: 56)
Dari dua ayat tersebut jelas tergambar program yang sudah Allah swt.
tetapkan untuk manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya adalah beribadah,
atau dengan kata lain menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
larangan Allah dalam keadaan suka maupun duka.
b. Al-Sunnah
Setelah al-Qur‟an, Islam menjadikan al-Sunnah sebagai dasar hukum
ibadah. Secara harfiah, al-Sunnah berarti jalan, metode, dan program.
Sedangkan secara istilah, al-Sunnah adalah “sejumlah perkara yang
dijelaskan melalui sanad yang shahih, baik itu berupa perkataan,
perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan
dibenci, peperangan, tindak-tanduk, dan seluruh kehidupan Nabi saw.”35
Dalam dunia pendidikan, al-Sunnah memiliki dua manfaat pokok.
1. Al-Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan
Islam sesuai dengan konsep al-Qur‟an, serta lebih merinci penjelasan
al-Qur‟an.
2. Al-Sunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode
pendidikan. Misalnya, kita dapat menjadikan kehidupan Rasulullah
saw. dengan para sahabat atau pun anak-anak sebagai sarana
penanaman keimanan.
Adapun hadits yang menyatakan perintah untuk melaksanakan ibadah,
di antaranya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
35
“Dari Muaz bin Jabal berkata: aku pada suatu hari, menemani Nabi saw diatas keledainya. Kemudian, ia berkata: “Hai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi saw
berkata: “Hak Allah atas hamba adalah bahwa mereka menyembah-Nya
(beribadah kepada-Nya) sendirinya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Dan hak hamba atas Allah, bahwa Dia tidak mengazab orang yang tidak musyrik terhadap-Nya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).36
3. Macam-macam Ibadah
Pembagian ibadah menurut Hasby Ash Shiedieqy berdasarkan bentuk dan
sifat ibadah terbagi kepada enam macam :
1. Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir, taslim, doa, membaca hamdalah oleh orang yang bersin, memberi salam, menjawab salam, membaca basmalah ketika makan, minum dan menyembelih binatang, membaca al-Qur‟an dan lain -lain.
2. Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat, seperti berjihad di jalan Allah, membela diri dari gangguan, menyelenggarakan urusan jenazah.
3. Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan, seperti puasa, yakni menahan diri dari makan, minum dan dari segala yang merusakan puasa.
4. Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari sesutu pekerjaan, seperti i’tikaf (duduk di dalam sesuatu rumah dari rumah-rumah Allah), serta menahan diri dari jima‟ dan mubasyarah, haji, tawaf, wukuf di Arafah, ihram, menggunting rambut, mengerat kuku, berburu, menutup muka oleh para wanita dan menutup kepala oleh orang laki-laki.
5. Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan orang-orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang, memerdekakan budak untuk kaffarat.
6. Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan, khusyuk menahan diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin untuk menghadapi-Nya.37
36
Baihaqi, Fiqih Ibadah..., h. 12. 37
Di dalam buku Fiqih Ibadah karangan Baihaqi, beliau membagi Ibadah ke dalam empat macam berdasarkan:1. Khusus-umum, 2. Pelaksanaan, 3.
Kepentingan pribadi dan masyarakat, 4. Bentuk dan sifatnya.
Dari segi umum dan khususnya, ibadah terbagi kepada:
1. Ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash
al-Qur‟an atau hadits, seperti salat, puasa, haji. Ibadah yang terkategori
ibadah khusus tidak menerima penambahan atau pengurangan.
2. Ibadah umum, yaitu semua perbuatan baik atau terpuji yang dilakukan
oleh manusia muslim-mukmin dengan niat ibadah dan diamalkan
semata-mata karena Allah.
Ibadah umum, dengan demikian amatlah banyak. Di antara contohnya adalah makan dan minum dengan niat agar badan menjadi sehat sehingga
kuat beribadat. Demikian juga mendidik anak dengan niat agar ia menjadi
anak yang saleh; membeli kain sarung, mukena, sajadah dengan niat agar
nyaman beribadah; berusaha memperoleh uang banyak dengan niat agar dapat
melaksanakan ibadah haji; bergaul dengan isteri dengan niat agar terhindar
dari perbuatan zina. Demikian pula amr ma‟ruf dan nahi munkar. Singkat
kata, semua perbuatan mukmin (tentu saja yang baik dan halal; yang tidak
baik dan tidak halal bukan perbuatan manusia mukmin) yang dilakukan
dengan niat ibadah terhitung ibadah umum.
Dari segi pelaksanaannya, ibadah terbagi kepada:
1. Ibadah jasmaniyah dan ruhaniyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani dan ruhani, seperti salat dan puasa.
2. Ibadah ruhaniyah dan maliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan ruhani dan harta, seperti zakat.
3. Ibadah jasmaniyah, ruhaniyah, dan maliyah, yaitu ibadah yang
dilaksanakan dengan menggunakan jasmani, ruhani, dan harta sekaligus,
seperti haji, dan amr ma‟ruf dan nahi munkar.
Dari segi pribadi dan masyarakatnya, ibadah terbagi kepada:
2. Ibadah ijtima’i, yaitu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi
tuntutan kebutuhan sosial kebutuhan sosial kemasyarakatan, seperti zakat
dan haji.
Dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah terbagi kepada:
1. Ibadah yang terdiri atas perkataan atau ucapan lidah seperti berzikir,
bertasbih, bertahmid, bertahlil, bershalawat dan sebagainya.
2. Ibadah yang sudah terinci perkataan dan perbuatannya, seperti salat, zakat,
puasa, dan haji.
3. Ibadah yang tidak ditentukan teknik pelaksanaannya, seperti menolong
orang lain, berjihad, membela diri, mendirikan madrasah, masjid, rumah
sakit, dan sebagainya.
4. Ibadah yang pelaksanaannya dalam bentuk menahan diri seperti puasa,
ihram, dan i’tikaf.
5. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hal, seperti membebaskan seorang
dari kewajiban membayar hutangnya kepada kita, memaafkan kesalahan
yang dilakukan orang lain kepada kita dan sebagainya.38
4. Ruang Lingkup Ibadah
Menurut Ibn Taimiyah, ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan
kepada Allah swt, baik dalam perkataan maupun perbuatan, lahir dan batin.
Maka termasuk kedalam hal ini adalah salat, zakat, puasa, haji, benar dalam
pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orang tua,
menghubungkan silaturahmi, memenuhi janji, amr ma‟ruf nahi munkar, jihad
terhadap orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim
fakir miskin dan ibn sabil, berdoa, berzikir, membaca al-Qur‟an, ikhlas, sabar,
syukur, rela menerima ketentuan Allah swt, tawakkal, raja‟ (berharap atas
rahmat), khauf (takut terhadap azab), dan lain-lain sebagainya.
Ruang lingkup ibadah yang dikemukakan Ibn Taimiyah di atas
cakupannya sangat luas, bahkan menurut beliau semua ajaran agama itu
38
termasuk ibadah. Bilamana diklasifikasikan kesemuanya dapat menjadi
beberapa kelompok saja, yaitu:
a. Kewajiban-kewajiban atau rukun-rukun syariat seperti salat, puasa, zakat,
dan haji.
b. Yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban diatas dalam bentuk
ibadah-ibadah sunnah, seperti zikir, membaca al-Qur‟an, doa dan istigfar.
c. Semua bentuk hubungan sosial yang baik serta pemenuhan hak-hak
manusia, seperti berbuat baik kepada orang tua, menghubungkan
silaturahmi, berbuat baik kepada anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil.
d. Akhlak insaniyah (bersifat kemanusiaan), seperti benar dalam berbicara, menjalankan amanah dan menepati janji.
e. Akhlak rabbaniyah (bersifat ketuhanan), seperti mencintai Allah swt dan rasul-rasul-Nya, takut kepada Allah swt, ikhlas dan sabar terhadap hukum-Nya.39
5. Tujuan Ibadah
Allah swt. menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan. Mahasuci Allah
dari berbuat tanpa tujuan, bertindak serampangan, atau bersenda gurau. Allah
swt. berfirman mengenai hal itu dalam al-Qur‟an surat al-Mu‟minun/23 ayat
115:
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. al-Mu‟minun/23: 115)
Allah swt. menciptakan manusia sesungguhnya dengan tujuan tertentu. Dia
telah menjelaskan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk menyembah-Nya
atau beribadah kepada-Nya.
39
Tujuan ibadah lainnya dapat dilihat dari segi kejiwaan manusia. Sepanjang
sejarahnya terlihat bahwa manusia selalu terdorong oleh dirinya dan alam
lingkungannya untuk mencari Tuhan guna dipuja dan disembahnya. Jika ia
tidak menemukan Tuhan yang sebenarnya, ia akan menyembah (beribadah)
kepada tuhan apa saja, baik yang ada di dalam alam, seperti matahari, bulan,
bintang, batu atau kayu besar dan sebagainya maupun yang dibuatnya sendiri
seperti patung (berhala) atau yang lainnya.40
Ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan.
a. Tujuan pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa
dan mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan
adanya tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat.
b. Tujuan tambahan adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan
terwujudnya usaha yang baik.
Salat umpamanya, disyariatkan pada dasarnya bertujuan untuk
menundukkan diri kepada Allah swt. dengan ikhlas, mengingatkan diri
dengan berzikir. Sedangkan tujuan tambahannya antara lain adalah untuk
menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana dipahami
dari firman Allah swt:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Ankabut/29: 45)
Selain itu menghindarkan diri dari kemungkaran dan kekejian. Masih
banyak tujuan lain yang dapat diwujudkan melalui ibadah salat, seperti
40
beristirahat dari kesibukan dunia, membantu dalam memenuhi kebutuhan,
membawa seseorang masuk surga dan menjauhkannya dari neraka.41
6. Hikmah Pelaksanaan Ibadah
Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah Allah
swt, bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya dan melaksanakan hak
sesama manusia. Oleh karena itu tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan
manfaat kepada kehidupan manusia yang bersifat material, tidak pula
merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan
akal yang terbatas.
Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia dalam menyembah Allah
swt. Ini berarti ia tidak harus mengetahui rahasianya secara terperinci.
Seandainya ibadah itu harus sesuai dengan kemampuan akal dan harus
mengetahui hikmah atau rahasianya secara terperinci, tentu orang yang lemah
kemampuan akalnya untuk mengetahui hikmah tersebut tidak akan
melaksanakan atau bahkan menjauhi ibadah. Mereka akan menyembah akal
dan nafsunya, tidak akan menyembah Tuhan.
Mengenai hikmah melaksanakan ibadah ini, al-Ghazali mengungkapkan
bahwa ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia, sebagaimana
obat untuk menyembuhkan badan yang sakit. Sebagai contoh ibadah dapat
menyembuhkan hati manusia, misalnya seseorang yang sedang resah dan
gelisah, keresahan dan kegelisahannya dapat disembuhkan dengan salat.
Begitu juga orang yang mempunyai penyakit tamak atau rakus dalam hal
makan dan minum, penyakit tersebut dapat dikurangi bahkan dapat
disembuhkan bila orang tersebut rajin berpuasa.
Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, ibadah wajib diikuti sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh para Nabi, karena mereka dapat mengetahui
rahasianya berdasarkan inspirasi kenabian, bukan dengan kemampuan akal.42
41
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah..., h. 9. 42
29
BAB III
TAFSIR AL-
QUR’AN SURAT Al
-HAJJ AYAT 41
Surah al-Hajj adalah surah yang ke-105 jika ditinjau dari bilangan turunnya
surah-surah al-Qur‟an. Dia turun sesudah surah an-Nur dan sebelum surah
al-Munafiqun. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 77 ayat, menurut perhitungan
pakar-pakar qira’at Mekkah dan Madinah.
Nama al-Hajj adalah satu-satunya nama yang dikenal untuk surah ini.
Penamaan tersebut agaknya disebabkan karena dalam surah ini diuraikan perintah
Allah kepada Nabi Ibrahim as agar mengumandangkan panggilan berkunjung ke
Baitullah serta beberapa uraian tentang ibadah haji dan manfaatnya.
Surat ini dimulai dengan mengajak seluruh manusia agar bertakwa dan
mempersiapkan diri menghadapi kedahsyatan kiamat. Ajakan kepada seluruh
manusia mengesankan bahwa surat ini Makkiyah, karena salah satu ciri ayat-ayat
Makkiyah adalah ajakannya yang berbunyi ( ). Di dalam surah ini juga
ditemukan ajakan kepada kaum musyrikin untuk mempercayai prinsip-prinsip
pokok ajaran Islam sambil mengancam mereka dengan siksa yang pedih. Ini juga
adalah ciri-ciri ayat-ayat Makkiyah. Tetapi adanya ayat-ayat yang memerintahkan
salat serta uraian tentang haji dan izin berperang, mengesankan bahwa ayat-ayat
dibicarakan oleh ayat-ayat yang turun di Madinah, apalagi dalam surah ini ada
uraian tentang izin berperang yang tentu saja baru dapat terlaksana setelah
terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kemampuan berperang. Dari sini,
maka para ulama berbeda pendapat menyangkut masa turun surah ini, apakah
sebelum Nabi berhijrah atau sesudahnya.1
Secara garis besar surat al-Hajj ayat 41 berkaitan dengan dua ayat
sebelumnya dan tiga ayat setelahnya, yang berisikan tentang diizinkan membela
diri dari serangan orang yang memeranginya, keterusiran kaum muslim dari
tempat tinggal mereka, peritah menjalankan ibadah setelah diberikan kekuasaan,
dan perintah untuk bersabar. Kemudian disaat penulis menjalani proses
perkuliahan dalam mata kuliah tafsir tarbawi, terpampanglah surat al-Hajj ayat 41
sebagai salah satu ayat pendidikan diantara banyak ayat lain yang menjelaskan
tentang pendidikan. Dengan dasar inilah, maka penulis mengangkat skripsi yang
berjudul sebagaimana tertuang di Bab I.
A.
Teks Ayat dan Terjemahnya
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj/22: 41)
B. Tafsir Ayat
Menurut Abu al-Aliyah, orang yang disebutkan dalam ayat ini ialah para
sahabat Muhammad saw. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Utsman bin
Affan, dia berkata, “Mengenai kamilah ayat, “orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” ini diturunkan. Kami diusir dari
kampung halaman kami sendiri tanpa alasan yang benar, kecuali karena kami
1
mengatakan bahwa Tuhan kami adalah Allah. Kemudian kami teguhkan di
bumi, lalu kami mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang
ma‟ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. Kepunyaan Allahlah
kesudahan segala perkara. Jadi, ayat ini