commit to user
KENAKALAN REMAJA DITINJAU DARI PERSEPSI REMAJA
TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DAN
KONFORMITAS TEMAN SEBAYA
(STUDI KORELASI PADA SISWA SMA
UTAMA 2 BANDAR LAMPUNG)
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi.
Disusun Oleh Dian Mulyasri G0106005
Pembimbing 1. Dra. Emi Dasiemi, MS 2. Tri Rejeki Andayani S.Psi, M.Si
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal dengan judul : Kenakalan Remaja ditinjau dari Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga dan Konformitas (Studi Korelasi pada Siswa SMU Utama 2 Bandar Lampung)
Nama Peneliti : Dian Mulyasari
NIM : G0106005
Tahun : 2006
Telah disetujui untuk dipresentasikan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada :
Hari : ………..
Tanggal : ………..
Pembimbing I
Dra. Emi Dasiemi MS NIP. 130358922
Pembimbing II
Tri Rejeki Andayani, S.Psi, M.Si NIP. 197411091998022001
Koordinator Skripsi
commit to user
iii MOTTO
”Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu” (Q.S. Al-Mu`min: 60)
“Sesungguhnya semua urusan apabila Allah menghendaki segala sesuatunya, Allah hanya berkata : “Jadilah”, maka jadilah”
commit to user
iv
PERSEMBAHAN
Amazing spirit, hope, and energy has been sent to me so I
can finish this simple work, and I would like to say thank
you so much for this honour to:
1. Hasyim & Wahyuni
The greatest parent in the world who always on my side
and standing by with their unbelievable love.
2. Hayudian Utomo, Haris Munandar & Yogi Sugama. My brothers who always keep me warm with their love
and support.
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Allhamdullilahrabbil alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, hanya dengan rahmat dan hidayahNya-lah penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dorongan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak, dan dengan segala kerendahan hati diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. AA. Subiyanto, dr., M.S selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.
2. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.
3. Rin Widya Agustin M.Psi., selaku Koordinator Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kemudahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Dra. Emi Dasiemi, MS selaku pembimbing utama penulisan skripsi meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang berarti bagi penyelesaian skripsi ini. .
5. Tri Rejeki Andayani S.Psi, M.Si selaku pembimbing pendamping, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam memperbaiki kekurangan-kekurangan dalamn penyusunan skripsi ini.
6. Dra.Suci Murti Karini, M.Si., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian dan arahan selama penulis menempuh studi di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran.
commit to user
vi
8. Seluruh staf pengajar Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang berharga kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Prodi Psikologi. 9. Seluruh staf tata usaha dan staf perpustakaan yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
10.Drs. H. Suyitno selaku Kepala Sekolah SMA Utama 2 Bandar Lampung yang telah memberikan izin penelitian di SMA Utama 2 Bandar Lampung.
11.Siswa-siswi SMA Utama 2 Bandar Lampung yang membantu proses pengumpulan data.
12.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan secara keseluruhan, yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya penelitian di bidang psikologi.
Surakarta, Oktober 2010
commit to user
ii
KEHARMONISAN KELUARGA DAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA
Dian Mulyasari
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak ke masa dewasa. Secara umum dapat diketahui pada masa transisi tidak menutup kemungkinan akan terjadi pergolakan-pergolakan fisik, psikis dan sosial. Keluarga merupakan fondasi primer bagi perkembangan remaja. Persepsi remaja terhadap keharmonisan keluarga yang diwujudkan dalam hubungan keluarga yang baik dan suasana rumah yang menyokong perkembangan remaja, sehingga remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan terhindar dari perbuatan anti sosial/ amoral. Selain bersosialisasi di lingkungan keluarga, remaja melakukan salah satu bentuk sosialisasi yang sangat dikenal dalam masa remaja yaitu konformitas teman sebaya. Remaja yang memiliki teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan. Teman yang dipilih akan sangat menentukan arah remaja yang bersangkutan untuk berbuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi remaja terhadap keharmonisan keluarga dan konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja.
Populasi penelitian ini adalah siswa SMA Utama 2 Bandar Lampung. Sampel penelitian ini berjumlah 80 orang diperoleh dengan teknik cluster random sampling dengan merandom lima kelas didapat dua kelas yang masing-masing berjumlah 40 siswa. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Skala Konformitas Teman Sebaya yang dengan menggunakan metode Skala Likert, Skala Persepsi Remaja terhadap Keharmonisan Keluarga dengan menggunakan metode Skala Diferensi Semantik, dan Kuesioner Kenakalan Remaja dengan metode dikotomi. Metode analisis data menggunakan metode analisis korelasi Product Momen ( Pearson) untuk menguji hipotesis hubungan persepsi remaja terhadap keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Selanjutnya, untuk menguji hipotesis hubungan konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja menggunakan analisis Chi square.
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Product Momen ( Pearson) diperoleh koefisien korelasi sebesar -0.489 dengan p value < 0,05 (α) maka hipotesis yang diajukan dapat diterima. Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan korelasi Chi square diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,966 dengan p value < 0,05 (α) maka hipotesis yang diajukan dapat diterima.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Hasil penelitian ini juga menunjukan ada hubungan positif antara konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja.
commit to user
iii
ADOLESCENT DELINQUENCY BASED ON THE ADOLESCENT’S PERCEPTION ON THE FAMILY HARMONY AND PEER CONFORMITY
Dian Mulyasari
Psychology Department of Medical Faculty Sebelas Maret University
Abstract
Adolescence is the transition time from childhood to adult. Generally, it can be found that during transition time it is impossible for the physical, psychical and social. The family is the primary foundation for the development of adolescents. Adolescent perceptions of family harmony are realized in a good family relationships and home atmosphere which support the development of adolescents, so that adolescents become responsible adults and avoid anti-social behavior/ immoral. In addition to socializing in a family environment, adolescents do one very well known form of socialization in adolescence that peer conformity. Teenagers who have peers who do delinquency increase the risk to become perpetrators of delinquency. A Peers who is selected will determine the direction of teenagers to do. This research aims to find out the relationship between the adolescent’s perception on the family harmony and peer conformity, and the adolescent delinquency.
The population of research was the students of SMA Utama 2 Bandar Lampung. The sample consisted of 80 students, technique used was cluster random sampling one,by took randomly five classes be obtained two classes, each of which numbered 40 students.The instrument of collecting data employed in this research was: attitudinal Scale Peer Conformity with Likert Scale method, Scale Adolescent Perception on the Family Harmony with Semantic Differentiation Scale method , and Questionnaire Adolescent Delinquency with Dichotomy method. Method of analyzing data used was Pearson’s Product Moment correlation analysis one to test the hypothesis of the relationship between the adolescent’s perception on the family harmony and the adolescent delinquency. Next, in order to test the hypothesis of the relationship between peer conformity and the adolescent delinquency, the Chi Square analysis was used
Considering the result of (Pearson) Product Moment correlation calculation, it can be found the correlation coefficient of -0.489 with p value < 0.05 (α), therefore the
hypothesis proposed can be supported. Next, considering the result of Chi Square correlation calculation, it can be found the correlation coefficient of 0.966 with p value < 0.05 (α), therefore the hypothesis proposed can be supported.
The result of research shows that there is a negative relationship the adolescent’s perception on the family harmony and the adolescent delinquency. It also shows that there is a positive relationship the peer conformity and the adolescent delinquency.
commit to user
iv
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
A. LANDASAN TEORI ... 12
1. KENAKALAN REMAJA ... 12
a. Pengertian Remaja ... 12
commit to user
v
c. Karakteristik Remaja Nakal ... 15
d. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja ... 18
e. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Kenakalan Remaja ... 24
2. Persepsi Remaja terhadap Keharmonisan Keluarga ... 29
a. Pengertian Persepsi ... 29
b. Pengertian Keharmonisan Keluarga ... 31
c. Pengertian Persepsi Keharmonisan Keluarga ... 32
d. Ciri-ciri Keharmonisan Keluarga... 33
e. Aspek-Aspek Persepsi Remaja Terhadap Keharmonisan Keluarga 35 3. Konformitas ... 40
a. Pengertian Teman Sebaya ... 40
b. Pengertian Konformitas... 40
c. Pengertian Konformitas Teman Sebaya ... 43
d. Aspek-aspek Konformitas Teman Sebaya ... 44
4. Hubungan Antara Persepsi Remaja terhadap Keharmonisan Keluarga dan Konformitas Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja ... 46
a. Hubungan Antara Persepsi Remaja terhadap Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja ... 46
commit to user
vi
Keharmonisan Keluarga dan Konformitas Teman Sebaya dengan
Kenakalan Remaja ... 48
6. Hipotesis ... 49
BAB III METODE PENELITIAN ... 50
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 50
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 50
1. Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga ... 50
2. Konformitas Teman Sebaya ... 51
3. Kenakalan Remaja ... 52
C. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 52
D. Teknik Pengumpulan Data ... 53
1. Sumber Data ... 53
2. Metode Pengumpulan Data ... 53
E. Metode Analisis Data... 62
1. Validitas Instrumen Penelitian ... 62
2. Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 63
3. Uji Hipotesis ... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66
A. Persiapan Penelitian ... 66
1. Orientasi Kancah Penelitian ... 66
2. Persiapan Penelitian ... 66
3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 68
B. Pelaksanaan Penelitian ... 76
commit to user
vii
2. Penelitian ... 77
C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 77
1. Uji Asumsi ... 78
2. Uji Hipotesis ... 79
3. Analisis Deskriptif ... 82
D. Pembahasan ... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 91
A. Kesimpulan ... 91
B. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
LAMPIRAN ... 97
commit to user
viii
Tabel 1 Blueprint Skala Persepsi Terhadap Keharmonisan Keluarga ... 55
Tabel 2 Blueprint Skala Konformitas Teman Sebaya... 58
Tabel 3 Blueprint Kuesioner Kenakalan Remaja... 59
Tabel 4 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga ... 69
Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga Setelah Uji Coba... 70
Tabel 6 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Konformitas Teman Sebaya... 72
Tabel 7 Distribusi Aitem Skala Konformitas Teman Sebaya Setelah Uji Coba ... 73
Tabel 8 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Kuesioner Kenakalan Remaja ... 74
Tabel 9 Distribusi Aitem Kuesioner Kenakalan Remaja Setelah Uji Coba 75 Tabel 10 Hasil Uji Normalitas ... 78
Tabel 11 Uji Linearitas... 79
Tabel 12 Hasil korelasi Product Momen ( Pearson) Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja ... 80
Tabel 13 Hasil Chi Square Konformitas Teman Sebaya ... 81
Tabel 14 Hasil Contingency Coefficient Konformitas Teman Sebaya ... 82
Tabel 15 Deskripsi Data Penelitian... 82
commit to user
ix
Tabel 17 Kriteria kategori Skala Konformitas Teman Sebaya dan distribusi skor subjek ...84
Tabel 18 Kriteria kategori Kuesioner Kenakalan Remaja dan distribusi skor subjek
commit to user
x
Bagan 1 Kerangka Berpikir “Hubungan antara Persepsi terhadap Keharmonisan
Keluarga dan Konformitas Dengan Perilaku Kenakalan Remaja di SMA
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Alat Ukur Sebelum Penelitian ... 97
Lampiran B Data Butir Skala Penelitian ... 110
Lampiran C Uji Validitas & Reliabilitas Aitem ... 114
Lampiran D Alat Ukur Penelitian (Setelah Uji Coba) ... 122
Lampiran E Data Penelitian ... 133
Lampiran F Analisis Data Penelitian ... 140
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ditinjau dari psikologi perkembangan, masa remaja merupakan masa transisi
dari kanak-kanak ke masa dewasa. Secara umum dapat diketahui pada masa
transisi tidak menutup kemungkinan akan terjadi pergolakan-pergolakan fisik,
psikis dan sosial dalam rangka remaja mencari jati dirinya. Masa remaja memiliki
ciri sebagai masa progresif yang dapat dilihat pada optimalisasi cara berfikir,
bersosialisasi dan berbuat sesuai dengan kemampuannya. Sisi lain pada masa
remaja belum memiliki kestabilan emosi dan mudah terpengaruh oleh kondisi
sekitar, sehingga tidak mengherankan jika hal tersebut membuat remaja bertindak dengan resiko yang paling tinggi.
Masa remaja merupakan masa transisi, usianya berkisar antara 13 sampai 17
tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan.
Pada masa remaja terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis,
maupun secara sosial (Hurlock, 1999).
Masa remaja memang masa yang menyenangkan sekaligus masa yang
tersulit dalam hidup seseorang. Di masa ini seorang anak mulai mencari jati diri.
Seorang remaja tidak lagi dapat disebut sebagai anak kecil, tetapi belum juga
dapat dianggap sebagai orang dewasa disatu sisi remaja ingin bebas dan mandiri,
lepas dari pengaruh orang-tua, disisi lain pada dasarnya remaja tetap
commit to user
2
Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan transisi
antara anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan
sosial-emosional. Perubahan biologis mencakup perubahan-perubahan dalam
hakikat fisik individu. Perubahan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran,
intelegensi dan bahasa tubuh, sedangkan perubahan sosial-emosional meliputi
perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, baik lingkungan
keluarga maupun lingkungan sekitar, dalam emosi, kepribadian, dan konsep diri.
Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis,
yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada
kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang
mengganggu (Ekowarni, 1993). Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kondisi kepribadian yang kurang matang
akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan
perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang
biasanya disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan Remaja dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile
delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh
satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, remaja mengembangkan bentuk
perilaku yang menyimpang atau tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial
sampai pelanggaran hingga tindak kriminal (Kartono, 2003).
Bentuk gangguan-gangguan perilaku yang ditimbulkan remaja antara lain:
commit to user
pelanggaran ringan hingga tindakan pelanggaran yang merujuk pada semua
tindakan kriminal (Santrock dalam Gunarsa, 2004). Bentuk tindakan yang tidak
dapat diterima oleh masyarakat sekitar karena bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada pada masyarakat seperti berkata-kata kasar kepada guru
atau orang tua. Tindakan pelanggaran ringan seperti melarikan diri dari rumah dan
membolos dari sekolah, sedangkan tindakan pelanggaran yang merujuk pada
semua tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja seperti merampok,
menodong, mencuri, memperkosa, membunuh, menganiaya, seks pranikah serta
penggunaan dan penjualan obat-obatan terlarang (narkoba).
Sebuah survei yang dilakukan di 33 provinsi pada pertengahan tahun 2008
yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN melaporkan bahwa 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan
SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di antaranya
melakukan aborsi. Secara umum survei itu mengindikasikan bahwa pergaulan
remaja di Indonesia makin mengkhawatirkan (Suara Karya, 6 Februari 2009).
Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN
mengatakan, persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah
tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Berdasarkan data Departemen Kesehatan hingga September 2008,
dari 15.210 penderita AIDS atau orang yang hidup dengan HIV-AIDS di
Indonesia, 54 persen adalah remaja (Suara Karya, 6 Februari 2009).
commit to user
4
1,2 juta jiwa. Hal ini tentunya dapat menjadi aset bangsa jika remaja dapat
menunjukkan potensi diri yang positif namun sebaliknya akan menjadi petaka jika
remaja tersebut menunjukkan perilaku yang negatif bahkan sampai terlibat dalam
kenakalan remaja.
Masalah kenakalan remaja juga menjadi masalah yang serius di kota-kota
berkembang seperti Bandar Lampung. Mengingat pembangunan kota Bandar
Lampung yang berkembang dari budaya agraris menuju budaya industri seiring
derap moderenisasi. Kemajuan teknologi yang bertujuan mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan umat manusia ternyata membawa dampak yang tidak
diharapkan yakni lahirnya kepincangan sosial (pathology social) seperti:
kemiskinan, pengangguran, pelacuran, gelandangan, kenakalan remaja, pemerkosaan dan tindak kekerasan yang menimbulkan kegelisahan, keresahan dan
ketidaktentraman ( Tanpaka, Lampung Post 2004).
Setiap tahun masalah kenakalan remaja di Bandar Lampung terus meningkat.
Berdasarkan data Reserse dan Kriminal (Reskrim) Poltabes Bandar Lampung,
jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba di Bandar Lampung dari tahun 2003-2008
adalah 249 orang, menggambarkan 70% diantaranya berusia antara 15-19 tahun.
Kondisi ini mengalami peningkatan 30% dari tahun 1998-2003 sebanyak 172
orang. Data perkelahian pelajar di Bandar Lampung tahun 2004 tercatat 86 kasus
perkelahian pelajar. Tahun 2006 meningkat menjadi 102 kasus dengan
menewaskan tiga pelajar, tahun 2008 terdapat 127 kasus dengan korban
commit to user
Lampung memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20
tahun sebanyak 60% dari 532 orang yaitu sebanyak 319 orang. Angka-angka di
atas cukup mencengangkan, bagaimana mungkin anak remaja yang masih muda,
polos, energik, potensial yang menjadi harapan orangtua, masyarakat dan
bangsanya dapat terjerumus dalam limbah kenistaan, sungguh sangat
disayangkan, bahkan angka-angka tersebut diprediksikan akan terus meningkat.
Berdasarkan data di atas terlihat jumlah kenakalan pada remaja di Bandar
Lampung mengalami peningkatan. Untuk itu, Poltabes bekerjasama dengan
Pemerintah Kota, Departemen Agama dan Dinas Kesehatan mengadakan
sosialisasi dampak kenakalan remaja ditinjau dari sisi hukum, agama dan
kesehatan ke sekolah- sekolah dari SMP hingga SMA yang telah dilaksanakan pada tanggal 3-20 Agustus 2009 lalu.
Kenakalan remaja di Bandar Lampung, saat ini sedang mendapat perhatian
khusus dari Gubernur Lampung, Sjachroedin Z.P yang mencanangkan program
pembinaan anggota keluarga masyarakat Lampung dalam rangka memperingati
Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke- 16 dan Hari Upaya Kependudukan Dunia
2009. Program dimaksudkan untuk menanggulangi masalah kemerosotan akhlak,
perlakuan sewenang-wenang terhadap orang tua, kenakalan remaja yang menjurus
ke kriminalitas, kebebasan seks di luar nikah, minuman keras dan penyalahgunaan
narkoba (BKKBN, 2009).
Keluarga menempati posisi penting dalam program tersebut karena
commit to user
6
perkembangan remaja, karena keluarga merupakan tempat remaja untuk
menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya. Keluarga juga diartikan
sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial.
Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan
serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis
bagi setiap usia terutama pada masa remaja. Salah satu faktor penyebab timbulnya
kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur tauladan bagi
anak (Hawari, 1997).
Remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga dapat mengembangkan
hubungan yang tidak menyenangkan dengan orang-orang di luar rumah (Hurlock,
1999). Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang matang akan menjadi pemicu
timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang
melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat.
Perbuatan pelanggaran ternyata bersumber pada keadaan keluarga yaitu
suasana rumah yang tidak menyokong perkembangan remaja, sehingga remaja
menjadi anak atau orang dewasa yang tidak bertanggung jawab dan melakukan
perbuatan anti-sosial dan amoral (Gunarsa, 2007). Keluarga dan keharmonisan
hidup keluarga berpengaruh atas perkembangan remaja dan menentukan
dasar-dasar kepribadian bagi remaja.
Persepsi remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan
commit to user
menambahkan anak yang mempunyai penyesuaian diri yang baik di sekolah, pada
umumnya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis, orang tua menghargai
pendapat anak dan hangat. Anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan
mempersepsi rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena
semakin sedikit masalah antara orangtua dengan anak, maka semakin sedikit
masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi kenakalan remaja adalah pengaruh
teman sebaya, teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan akan
meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan (Santrock, 2003). Pada
umumnya remaja mementingkan konformitas dan penerimaan kelompok, apapun
akan dilakukan asalkan diterima oleh kelompok akan diutamakan dan ditaati. Teman atau kelompok yang dipilih akan sangat menentukan kemana remaja yang
bersangkutan akan dibawa (Chomaria, 2008).
Konformitas adalah sikap, perilaku atau tindakan yang sesuai dengan norma
kelompok, sehingga menjadi harmonis dan sepakat dengan anggota-anggota
kelompok (Baron & Byrne, 2005). Norma (norms) merupakan aturan yang
berlaku pada seluruh anggota kelompok dan berpeluang untuk menumbuhkan
konformitas pada setiap anggota kelompok tersebut (Santrock, 2003). Remaja
cenderung mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok bermain remaja.
Melihat kondisi tersebut konformitas berpengaruh pada bentuk-bentuk perilaku
remaja.
commit to user
8
Banyak tujuan yang ingin didapat oleh remaja dengan bersikap konformis, antara
lain supaya ada penerimaan kelompok terhadap remaja tersebut, diakuinya
eksistensi sebagai anggota kelompok, menjaga hubungan dengan kelompok,
mempunyai ketergantungan dengan kelompok dan untuk menghindar dari sanksi
kelompok (Surya, 1999).
Konformitas adalah bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku
sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat individu tinggal, konformitas
berarti proses penyesuaian diri dengan cara mentaati norma dan nilai-nilai
masyarakat atau kelompok, konformitas pada umumnya akan melahirkan
kepatuhan dan ketaatan (Maryati dan Suryawati, 2001). Remaja biasanya
melakukan konformitas pada kelompok teman bermain. Konformitas yang remaja lakukan akan mengarahkan perilaku dan pandangan yang ada dalam diri remaja
sebelumnya.
Berdasarkan data diatas masalah kenakalan remaja merupakan masalah yang
kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia, sehingga peneliti tertarik untuk
meneliti kenakalan remaja, khususnya di SMA UTAMA 2 Bandar Lampung.
Berdasarkan informasi hasil wawancara dengan guru BK setempat memberikan
informasi seringnya terjadi perilaku pelanggaran dan penyimpangan di SMA
UTAMA 2 Bandar Lampung seperti: membolos sekolah setiap harinya dua hingga
lima siswa yang tidak hadir tanpa keterangan, pelanggaran tata-tertib sekolah
seperti kerapian dalam berpakaian dan penampilan, merokok, tertangkap lima
commit to user
yang kurang baik seperti dalam bulan Februari di tahun ini terjadi tiga perkelahian
antar siswa. Tahun ajaran 2008-2009 tercatat 23 orang terlibat perkelahian antar
siswa.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa diperlukannya persepsi
remaja terhadap keharmonisan keluarga yang diwujudkan dalam hubungan
keluarga yang baik dan suasana rumah yang menyokong perkembangan remaja,
sehingga remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan terhindar
dari perbuatan anti sosial/ amoral. Selain bersosialisasi di lingkungan keluarga,
remaja melakukan salah satu bentuk sosialisasi yang sangat dikenal dalam masa
remaja adalah konformitas kelompok remaja. Remaja yang memiliki teman
sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan. Pada umumnya remaja mementingkan konformitas dan penerimaan
kelompok, apapun akan dilakukan asalkan diterima oleh kelompok akan
diutamakan dan ditaati. Teman atau kelompok yang dipilih akan sangat
menentukan arah remaja yang bersangkutan untuk berbuat. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kenakalan Remaja
ditinjau dari Persepsi Remaja terhadap Keharmonisan Keluarga dan Konformitas
Teman Sebaya (Studi Korelasi Pada Siswa SMA UTAMA 2 Bandar Lampung) ”.
B.Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
commit to user
10
2. Apakah ada hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kenakalan
remaja?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara persepsi remaja terhadap keharmonisan keluarga
dengan perilaku kenakalan remaja.
2. Mengetahui hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kenakalan
remaja.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan masukan kepada pihak sekolah untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai kenakalan remaja dalam kaitannya dengan persepsi remaja terhadap keharmonisan keluarga dan konformitas teman sebaya.
b. Dapat menjadi wacana bagi kalangan akademisi atau mahasiswa yang akan melakukan penelitian terhadap tema yang sama.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan informasi kepada orang tua tentang upaya-upaya
menciptakan keharmonisan keluarga sebagai langkah antisipasi terhadap hal-hal
yang tidak diinginkan.
b. Memberi masukan kepada siswa cara-cara pemilihan kelompok yang memiliki
norma-norma dan nilai-nilai yang meningkatkan kemampuan kerjasama dan
commit to user
c. Manfaat penelitian bagi sekolah, bila penelitian ini terbukti maka dapat
digunakan sebagai tindakan preventif terhadap kenakalan remaja dengan
commit to user
12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kenakalan Remaja
a. Pengertian Remaja
Remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence)
terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual,
perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral
(Salzman, dalam Yusuf, 2005). Dalam budaya Amerika, periode remaja
dipandang sebagai masa “Strom and Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan
krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, dalam
Yusuf, 2005).
Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau
peralihan, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi
memiliki status anak-anak. Masa remaja secara global berlangsung antara umur 12
dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18
tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir
(Monks dkk, 2004). Masa remaja awal (early adolescence) terjadi kira-kira sama
dengan sekolah menengah pertama, biasanya pada masa ini terfokus kebanyakan
pada perubahan pubertas. Masa remaja pertengahan (middle adolescence) mulai
commit to user
remaja pertengahan dibandingkan remaja awal, akibatnya remaja kerap kali
mengalami kebingungan-kebingungan (identity confusion). Masa remaja akhir
(late adolescence) ditandai dengan menikmati identitas yang terbentuk pada masa
remaja pertengahan, mulai melakukan koping terhadap tantangan sebagai seorang
dewasa, mampu berpikir abstrak dan mampu untuk membuat keputusan di dalam
kehidupannya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka peneliti berpendapat bahwa
remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian
12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja
pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Masa remaja awal terfokus pada perubahan pubertas, masa remaja pertengahan mengeksplorasi
identitas secara mendalam seringkali terjadi identity confusion dan masa remaja
akhir menikmati identitas yang terbentuk pada masa remaja pertengahan.
Fenomena perilaku menyimpang remaja seringkali terjadi pada masa remaja
pertengahan dalam rentang usia 15-18 tahun, hal ini dikarenakan adanya
kebingungan identitas (identity confusion) pada periode tesebut.
b. Pengertian Kenakalan Remaja
Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku negatif atau
kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,
commit to user
14
tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal
(Kartono, 2003).
Semua tindakan perusakan yang tertuju ke luar tubuh atau ke dalam tubuh
remaja dapat digolongkan sebagai kenakalan remaja (Gunarsa, 2004). Kenakalan
remaja merujuk pada tindakan pelanggaran suatu hukum atau peraturan oleh
seorang remaja. Pelanggaran hukum atau peraturan bisa termasuk pelanggaran
berat seperti membunuh atau pelanggaran seperti membolos, menyontek.
Pembatasan mengenai apa yang termasuk sebagai kenakalan remaja dapat dilihat
dari tindakan yang diambilnya, tindakan yang tidak dapat diterima oleh
lingkungan sosial, tindakan pelanggaran ringan/ status offenses dan tindakan
pelanggaran berat/ index offenses (Santrock , 2003).
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang
melanggar hukum atau kejahatan yang pada umumnya dilakukan oleh anak
remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa
maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan
remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana
tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk
penjara.
Mulyadi, dkk (2006) mendefinisikan kenakalan remaja merupakan keinginan
untuk mencoba segala sesuatu yang kadang-kadang menimbulkan
kesalahan-kesalahan, yang menyebabkan kekesalan lingkungan dan orangtua. Sarwono
commit to user
bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan
mengganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1995) juga
menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, peneliti berpendapat bahwa
kenakalan remaja adalah perilaku remaja yang melakukan tindakan merusak dan
menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain hingga tingkah laku
yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana.
c. Karakteristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal mempunyai karakteristik umum yang
sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup : 1) Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi remaja nakal tidak berbeda dengan inteligensi remaja
yang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang berbeda
biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas
prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Remaja nakal
kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius pada umumnya remaja kurang
mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai
pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
2) Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan ciri
commit to user
16
3) Ciri karakteristik individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang,
seperti :
a) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang,
bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
b) Kebanyakan dari remaja nakal terganggu secara emosional.
c) Remaja nakal kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak
mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara
sosial.
d) Remaja nakal senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang
merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
e) Pada umumnya remaja nakal sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
f) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
g) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga remaja menjadi liar
dan jahat.
Menurut Gunarsa (2004) ada beberapa karakteristik yang terlihat pada remaja
delinkuen, diantaranya adalah :
1) Remaja yang delinkuen lebih sering merasa deprivasi (keterasingan)
dibandingkan dengan remaja non delinkuen. Remaja delinkuen cenderung merasa
tidak aman, sengaja berusaha melanggar hukum dan peraturan (defiant).
commit to user
menunjukkan bahwa remaja tidak mampu memikirkan dengan baik konsekuensi
dari setiap tindakan yang remaja delinkuen ambil. Penggunaan obat-obatan
terlarang dan putus sekolah merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan
munculnya kenakalan remaja.
3) Remaja yang delinkuen tidak menyukai sekolah dan oleh sebab itu remaja
seringkali membolos. Kegagalan akademis sendiri merupakan salah satu
kontributor dari delinkuensi (Santrock dalam Gunarasa 2004)
4) Sikap yang menonjol pada remaja delinkuen: bersikap menolak (resentful),
bermusuhan (hostile), penuh curiga, tidak konvensional, tertuju pada diri sendiri
(self-centered), tidak stabil emosinya, mudah dipengaruhi, ekstrovert dan suka
bertindak dengan tujuan merusak atau menghancurkan sesuatu (Cole dan Rice dalam Gunarsa 2004).
5) Remaja yang delinkuen menyukai aktivitas yang penuh tantangan akan tetapi
tidak menyukai kompetisi.
6) Remaja yang delinkuen cenderung tidak matang secara emosional, tidak
stabil,dan cenderung frustrasi. Keadaan-keadaan demikian yang membuat remaja
delinkuen tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik di rumah, sekolah dan
masyarakat (Cole dalam Gunarsa 2004).
Kedua uraian di atas, terlihat penjelasan Kartono (2003) lebih menyeluruh.
Uraian yang diberikan Gunarsa (2004) melengkapi penjelasan karakteristik remaja
nakal yang diungkapkan oleh Kartono (2003), sehingga dapat diketahui bahwa
commit to user
18
d. Bentuk- Bentuk Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi
menjadi empat, bentuk perilaku yang dikemukakan dibagi berdasarkan faktor
penyebab dan ciri-ciri tingkah laku yang ditimbulkan, yaitu :
1) Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya
remaja nakal tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal remaja nakal
didorong oleh faktor-faktor berikut :
a) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi,
kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
b) Remaja nakal kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang
kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima,
mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.
c) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan
mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua
kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Geng remaja nakal
memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
d) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan
supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak
sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen
commit to user
mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60
% dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini
disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya
tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang
baru.
2) Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang
cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa
bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :
a) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam,
dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
b) Perilaku kriminal remaja nakal merupakan ekspresi dari konflik batin yang
belum terselesaikan, karena perilaku jahat merupakan alat pelepas ketakutan,
kecemasan dan kebingungan batinnya.
c) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan
jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh
korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
d) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada
umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah,
dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
commit to user
20
f) Motif kejahatannya berbeda-beda.
g) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
3) Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan, remaja delinkuen psikopatik merupakan
oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku remaja delinkuen
psikopatik adalah :
a) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga,
berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan
mereka, sehingga remaja delinkuen psikopatik tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab
dan baik dengan orang lain.
b) Remaja delinkuen psikopatik tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa,
atau melakukan pelanggaran.
c) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau
dan tidak dapat diduga. Remaja delinkuen psikopatik pada umumnya sangat
agresif dan impulsif, biasanya remaja delinkuen psikopatik residivis yang
berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
d) Remaja delinkuen psikopatik selalu gagal dalam menyadari dan
menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli
commit to user
e) Kebanyakan dari remaja delinkuen psikopatik juga menderita gangguan
neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai
berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah
bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial
dan hukum. Remaja delinkuen psikopatik sangat egoistis, anti sosial dan selalu
menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap
siapapun tanpa sebab.
4) Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat,
kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada
disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah
mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga
tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, remaja delinkuen selalu ingin
melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa
kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada
kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan
instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah.
Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan.
Remaja nakal merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan remaja
commit to user
22
residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls
dan kebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 %
mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang
salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi
penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
bentuk berdasarkan kerugian yang ditimbulkan yaitu:
1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.
2) Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
3) Kenakalan sosial yang menimbulkan bahaya diri sendiri dan orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat terlarang, kebut-kebutan dan hubungan seks
bebas.
4) Kenakalan yang melawan status menimbulkan pelanggaran hukum atau aturan,
misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat
dari rumah, membantah perintah.
Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi
dalam empat bentuk berdasarkan perilaku yang ditampilkan, yaitu:
1) Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain hingga menimbulkan
korban fisik, seperti berkelahi, tawuran, menodong, membunuh.
commit to user
3) Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua
dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan
kabur dari rumah.
4) Perilaku yang membahayakan dan merugikan diri sendiri dan orang lain,
seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa, pelacuran dan
menggunakan senjata tajam.
Santrock (2003) menjelaskan bentuk kenakalan remaja berdasarkan tingkah
laku yang ditampilkan menjadi tiga, yaitu :
1) Tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial karena bertentangan
dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat contoh : berkata kasar kepada
guru dan orang tua dll.
2) Tindakan pelanggaran ringan seperti membolos sekolah, kabur pada jam mata
pelajaran tertentu dll.
3) Tindakan pelanggaran berat yang merujuk pada semua tindakan kriminal yang
dilakukan oleh remaja seperti : mencuri, seks pranikah, menggunakan obat-obatan
terlarang dll.
Pendapat mengenai bentuk-bentuk kenakalan remaja yang dikemukakan oleh
Santrock (2003) sesuai dengan fenomena yang terjadi sehari-hari. Terdiri dari
tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial, tindakan pelanggaran
commit to user
24
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kenakalan Remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (2003) secara rinci
dijelaskan sebagai berikut :
1) Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 2003) masa remaja ada pada tahap krisis identitas versus difusi identitas
harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua
bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan
konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih
dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang
dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson (dalam Santrock, 2003) percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan
kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan
aspek-aspek peran identitas. Erikson (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa remaja
yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi
individu dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat
individu merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada individu
tersebut, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa
dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh
karena itu, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas,
commit to user
2) Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak
gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang
lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari
perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak
dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini.
Remaja mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima, atau mungkin remaja sebenarnya sudah mengetahui
perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai
dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku remaja. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini Santrock (2003) menunjukkan bahwa
ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola
asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang
konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya
pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai
atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
3) Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan
penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak
yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti
commit to user
26
kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada
usia 21 sampai 23 tahun. Masih menurut Kartono (2003) kenakalan remaja paling
banyak dilakukan remaja dibawah usia 22 tahun, dengan jumlah tertinggi pada
usia 15-19 tahun. Sesudah usia tersebut biasanya kenakalan yang dilakukan mulai
menurun.
4) Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada
perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) menunjukkan pada
umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok
gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
5) Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendah terhadap pendidikan di sekolah. Remaja nakal merasa bahwa sekolah tidak
begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai remaja nakal
terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk
sekolah. Riset yang dilakukan oleh Chang dan Lee (2005) mengenai pengaruh
orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik
siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor
yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak,
sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan
commit to user
6) Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang
orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Remaja yang
hubungan keluarganya kurang baik juga dapat mengembangkan hubungan yang
buruk dengan orang-orang di luar rumah (Hurlock, 1999). Melihat kondisi
tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat
kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan
dan norma yang ada di masyarakat. Perbuatan pelanggaran ternyata bersumber pada keaadaan keluarga yaitu suasana rumah yang tidak menyokong
perkembangan remaja, sehingga remaja menjadi anak atau orang dewasa yang
tidak bertanggung jawab dan melakukan perbuatan anti-sosial dan amoral
(Gunarsa, 2007).
7) Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan
risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (2003)
terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan
di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang
memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
commit to user
28
ditaati. Teman atau kelompok yang dipilih akan sangat menentukan kemana
remaja yang bersangkutan akan dibawa (Chomaria, 2008). Konformitas adalah
sikap, perilaku atau tindakan yang sesuai dengan norma kelompok sehingga
menjadi harmonis dan sepakat dengan anggota-anggota kelompok (Baron &
Byrne, 2005). Norma (norms) merupakan aturan yang berlaku pada seluruh
anggota kelompok dan berpeluang untuk menumbuhkan konformitas pada setiap
anggota kelompok tersebut (Santrock, 2003). Remaja cenderung mengikuti
aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok bermain remaja. Melihat kondisi ini
konformitas berpengaruh pada bentuk-bentuk perilaku remaja. Banyak tujuan
yang ingin didapat oleh remaja dengan bersikap konformitas, antara lain supaya
ada penerimaan kelompok terhadap remaja tersebut, diakuinya eksistensi sebagai anggota kelompok, menjaga hubungan dengan kelompok, mempunyai
ketergantungan dengan kelompok dan untuk menghindar dari sangsi kelompok
(Surya, 1999).
8) Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas
sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di
antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki
banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan
kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan
ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa
commit to user
bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering
ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil
meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
9) Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja.
Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati
berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau
penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai
dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas
menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan
yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor penyebab
kenakalan remaja adalah identitas, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan
terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga, pengaruh teman
sebaya, kelas sosial ekonomi, kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal.
2. Persepsi Remaja terhadap Keharmonisan Keluarga
a. Pengertian Persepsi
Bono (2007) mengatakan bahwa persepsi adalah cara individu memandang
sesuatu, perasaan dan reaksi ditentukan berdasar apa yang individu lihat dalam
realitas di balik semua itu. Riggio (1990) juga mendefinisikan persepsi sebagai
commit to user
30
mengatakan persepsi adalah apa yang dapat individu lihat dengan mata pikiran
individu, persepsi individu dibatasi oleh pengalaman, pengetahuan dan imajinasi
yang individu miliki.
Winarno (2007) menyebutkan persepsi merupakan penerimaan (receiving)
dari suatu peristiwa yang mempunyai konsekuensi terhadap orang atau kelompok.
Rakhmat (2005) juga mengemukakan persepsi adalah pengalaman terhadap objek,
peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menafsirkan dan menyimpulkan
informasi. Sedangkan menurut Hude (2006) juga mendefinisikan persepsi sebagai
tindak lanjut dari sensasi, tidak ada proses persepsi tanpa sensasi, karena persepsi
sebenarnya adalah pemberian makna pada stimulus yang ditangkap oleh alat-alat
indera. Persepsi seperti halnya sensasi amat bergantung pada faktor personal dan situasional (faktor fungsional dan struktural). Persepsi membantu manusia
bertindak dan memahami dunia sekelilingnya.
Walgito (2004) menyatakan persepsi merupakan suatu proses yang didahului
oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat indera atau juga disebut proses sensoris, lalu diteruskan ke proses persepsi
dimana individu melakukan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap
stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan
merupakan respon yang terintegrasi dalam diri individu. Sobur (2003) persepsi
adalah keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan
commit to user
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berpendapat bahwa persepsi adalah
suatu rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris kemudian dilanjutkan ke
proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterima manusia.
b. Pengertian Keharmonisan Keluarga
Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam
kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang
paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan
kelestarian biologis anak manusia (Kartono, 1977). Pengertian keharmonisan
menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan yang selaras atau serasi.
Menurut Gunarsa (2004) keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota
keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya
(eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan
sosial. Sedangkan menurut Hawari (1997) keharmonisan keluarga itu akan
terwujud apabila masing-masing anggota dalam keluarga itu dapat berfungsi dan
berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai- nilai agama ,
maka interaksi sosial yang harmonis antar anggota dalam keluarga itu akan
tercipta. Keluarga yang mempunyai komitmen agama yang kuat menempati
peringkat tinggi untuk tercapainya keharmonisan rumah tangga.
Basri (1999) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab juga
memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu
commit to user
32
kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan
pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya
kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan
bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan
mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup
karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang
dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh
kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga yang tercipta adalah tidak
menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena
secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota
keluarga untuk bertengkar dengan lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti berpendapat bahwa keharmonisan
keluarga adalah berfungsi dan berperannya semua anggota keluarga sebagimana
mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai- nilai agama , sehingga tercipta
interaksi sosial yang harmonis antar anggota dalam keluarga.
c. Pengertian Persepsi Terhadap Keharmonisan Keluarga
commit to user
tanggapan mengenai setiap anggota dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai- nilai agama , sehingga tercipta interaksi sosial yang harmonis antar anggota dalam keluarga. d. Ciri-ciri Keharmonisan Keluarga
Basri (1999) mengungkapkan beberapa ciri dari keluarga yang harmonis/
keharmonisan keluarga, yaitu:
1) Dasar-dasar hubungan yang efektif.
Kelahiran makhluk baru di permukaan bumi ini mudah-mudahan adalah
merupakan buah dari perasaan cinta dan kasih sayang di antara kedua orang
tuanya. Perasaan yang penuh keindahan dan keluhuran itu hendaknya masih kuat
berkelanjutan dalam keseluruhan proses pendidikan dan kehidupan anak selanjutnya. Kasih sayang dan kemesraan yang berkembang dalam kehidupan
suami-isteri dan kemudian membuahkan kelahiran tunas-tunas baru dalam
keluarga dan masyarakat serta bangsa, akan disambut dengan penuh kasih sayang.
Dasar kasih sayang yang murni akan sangat membantu perkembangan dan
pertumbuhan anak-anak dalam kehidupan selanjutnya. Perpaduan kasih ayah
sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang jalan akan membuahkan anak-anak yang
berkembang sehat lahir dan batin serta berbahagia dan sejahtera. Kepribadian
yang utuh dan teguh yang berbuah dalam tingkah laku yang baik dan normatif
akan sangat bermanfaat dijadikan bekal anak dalam mengarungi lautan kehidupan
selanjutnya. Sebenarnya pelaksanaan pendidikan dan pengajaran terhadap anak
commit to user
34
ajaran agama yang mengajarkan dan kewajiban manusia agar
bersungguh-sungguh dalam mendidik anak dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang
dan tanggung jawab. Ajaran agama dengan tuntutan akhlak dan ibadah serta
aqidah jika dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh akan mampu menghasilkan
perkembangan dan pertumbuhan anak-anak yang saleh dan cukup
membahagiakan kehidupan keluarga.
2) Hubungan anak-anak dengan orang tua.
Sejak anak-anak dilahirkan di dunia ketergantungan anak-anak terhadap
kedua orang tua sangat besar. Dengan penuh kasih sayang kedua orang tuanya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya yang masih belum berdaya.
Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari oleh kasih sayang yang tulus, menyebabkan anak-anaknya akan mampu
mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia pada umumnya, ialah kegiatan
yang bersifat individual, sosial dan kegiatan keagamaan.
3) Hubungan anak remaja dengan orang tua.
commit to user
remaja, baik yang berhubungan dengan kondisi biologis, psikis, sosial dan kebingungan terhadap keadaan dirinya sendiri. Semua permasalahan tersebut disebakan perubahan-perubahan fisik-biologis, nilai-nilai kehidupan yang belum sempurna diketahui serta mungkin pula karena kurangnya upaya persiapan kedua orang tuanya dalam mengantarkan ke alam remaja yang penuh pertanyaan dan kebingungan.
4) Memelihara komunikasi dalam keluarga.
Kurang lancarnya komunikasi dalam kehidupan keluarga merupakan salah
satu penyebab timbul dan berkembangnya beberapa permasalahan yang gawat
dalam keluarga. Permasalahan yang terjadi dalam keluarga sangat perlu
dikemukakan secara terbuka dengan yang lain, terutama antara suami-isteri.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan ciri-ciri keharmonisan keluarga
adalah adanya dasar-dasar hubungan yang efektif, hubungan anak-anak dengan
orang tua, hubungan anak remaja dengan orang tua, dan memelihara komunikasi dalam keluarga.
e. Aspek-Aspek Persepsi Remaja Terhadap Keharmonisan Keluarga
1) Aspek Persepsi
Sobur (2003) mengemukakan terdapat tiga aspek dalam persepsi berdasarkan
proses terjadinya persepsi, yaitu :
a) Aspek kognitif
Aspek kognitif yaitu aspek yang tersusun atas dasar pengetahuan atau
informasi yang dimiliki seseorang tentang objek yang dipersepsi. Dari
pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang objek
commit to user
36
b) Aspek afektif
Aspek afektif yaitu yang berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang.
Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau
sistem nilai yang dimiliki individu yang bersangkutan.
c) Aspek konatif
Aspek konatif merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang
berhubungan dengan obyek yang dipersepsikannya.
Selanjutnya Walgito (2004) menyebutkan ada tiga aspek pers