PENYEDIAAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN DARI
CANGKANG KEPITING (Callinectes Sapidus)
SEBAGAI ADSORBEN UNTUK
MENURUNKAN KADAR
KOLESTEROL
SKRIPSI
DEASY HANDAYANI
070802019
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENYEDIAAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN DARI
CANGKANG KEPITING (Callinectes Sapidus)
SEBAGAI ADSORBEN UNTUK
MENURUNKAN KADAR
KOLESTEROL
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
DEASY HANDAYANI 070802019
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : PENYEDIAAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN
DARI CANGKANG KEPITING (Callinectes Sapidus) SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM ( FMIPA ) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di
Medan, Agustus 2011
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Prof.Dr. Zul Alfian,M.Sc Prof.Dr.Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil NIP.195504051983031002 NIP.195308171983031002
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
PENYEDIAAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN DARI
CANGKANG KEPITING (Callinectes Sapidus) SEBAGAI
ADSORBEN UNTUK MENURUNKAN
KADAR KOLESTEROL
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Agustus 2011
PENGHARGAAN
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang dengan segala curahan rahmat serta cinta-Nya skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Sains pada jurusan Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Serta shalawat dan salam saya sampaikan pada Rasulullah Muhammad SAW, sebagai sosok tauladan umat.
Selanjutnya saya menyampaikan penghargaan dan cinta kasih yang terdalam dan tulus kepada Ayahanda tersayang Effrinal Ismail dan Ibunda tercinta Astini Farida atas segala doa, semangat, bimbingan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada saya sehingga saya bisa menyelesaikan studi saya sampai sekarang ini. Serta tak lupa terima kasih untuk kakanda tercinta Juliana Effrida, S.Pd dan Yanita Effrida,A.md dan adik saya Muhammad Novriandi yang telah memberikan dukungan kepada saya.
Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phill selaku dosen pembimbing 1 dan Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc selaku dosen pembimbing 2 yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan, masukan dan saran sehingga terselesaikannya skripsi ini.
2. DR. Rumondang Bulan Nst, MS dan Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris departemen Kimia FMIPA USU, serta seluruh staff pegawai Departemen Kimia
3. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama masa studi saya di FMIPA USU. Terkhusus kepada bapak Drs.Achmad Darwin, M.Sc selaku dosen wali yang telah memberikan masukan dan bimbingan demi kelancaran kuliah saya.
4. Bapak Drs. Darwin Yunus Nst, staf dan seluruh rekan-rekan asisten Laboratorium Kimia Dasar LIDA USU, abangda Rivan dan Hendi, Eko, Yuki, Reni, Ani, Desi, Nurul, Salmi, Novi, Arifin, Andreas, Hilman, Irwanto, Dwi, Nurul, Ayu, Raisa, Rina yang telah mendoakan dan memberikan dukungannya kepada saya.
5. Teman-teman terbaik saya Aristhy, Rafika, Ani dan teman-teman stambuk 2007 yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada saya. Kalian sangat berkesan di hati saya.
7. Serta segala pihak yang telah membantu saya menyelesaikan skrips ini.
Untuk semuanya semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan senantiasa diberikan rejeki yang berlimpah. Amin.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangundem kesempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2011
ABSTRAK
THE MANUFACTURE AND CHARACTERIZATION OF CHITOSAN FROM CRAB SHELLS (Callinectes Sapidus) AS AN ADSORBENT TO
DECREASE CONCENTRATION OF CHOLESTEROL
ABSTRACT
A research about the manufacture and characterization of chitosan from crab shells (Callinectes Sapidus) as an adsorbent to decrease concentration of cholesterol has been studied. Chitosan is obtained through the deacetylation process of chitin. That chitosan used as adsorbent to decrease concentration of cholesterol by adding chitosan with the variation of mass 1, 3, 5 and 7 grams into the result extraction of fat and with the variation of immersion time 15, 30, 45 and 60 minutes. The concentration of cholesterol are analyzed by using Gas Chromatography (GC). The result of research show that by adding 1 gram chitosan, concentration of chitosan decreased 12,43%; 19,28%; 25,57% and 32,94% respectively. In addition 3 grams chitosan, concentration of cholesterol decreased 14,37%; 25,46%; 32,18% and 37,54% respectively. By adding 5 grams chitosan, concentration of cholesterol decreased 32,89%; 36,12%; 42,46% and 48,57% respectively. And by adding 7 grams chitosan, concentration of cholesterol decreased 28,75%; 32,54%; 35,23% and 37,48% resperctively.
DAFTAR ISI
Daftar Lampiran xii
Bab 1 Pendahuluan 1
1.6 Metodologi Penelitian 4
1.7 Lokasi Penelitian 4
2.5 Spektroskopi IR dan FTIR 12
2.6 Kromatografi Gas 13
2.6.1 Sistem Peralatan Kromatografi Gas 14
2.6.2 Pemakaian Kromatografi Gas 17
Bab 3 Metodologi Penelitian 18
3.1 Alat dan Bahan 18
3.1.1 Alat-alat 18
3.1.2 Bahan-bahan 18
3.2 Prosedur Penelitian 19
3.2.1 Pembuatan Larutan Pereaksi 19
3.2.2 Proses Ekstraksi Kitin 20
3.2.3 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan 20
3.2.4 Penentuan Kadar Air 21
3.2.5 Penentuan Kadar Abu 21
3.3.6 Analisis Unsur C, H, dan N 21
3.2.7 Proses Penentuan Kadar Kolesterol dari Lemak Kambing 22 3.2.8 Proses Penyerapan Kolesterol 22
3.3 Bagan penelitian 23
3.3.1 Proses Ekstraksi Kitin 23
3.3.4 Proses Penyerapan Kolesterol 26
4.1 Hasil penelitian 30
4.1.1 Kitin 30
4.1.2 Kitosan 32
4.1.3 Penentuan Kolesterol 33
4.2 Pengolahan Data 34
4.2.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode
Least Square 34
4.2.2 Koefisien Korelasi 36
4.2.3 Penentuan Konsentrasi 36
4.2.4 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan Kitosan 37 4.2.4.1 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan
1 gram Kitosan 37
4.2.4.2 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan
3 gram Kitosan 38
4.2.4.3 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan
5 gram Kitosan 40
4.2.4.4 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan
7 gram Kitosan 41
4.3 Pembahasan 42
4.3.1 Penentuan Derajat Deasetilasi 42
4.3.2 Analisa spektrum FT-IR 43
4.3.3 Pengaruh Kitosan Terhadap Kadar Kolesterol 45
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Spesifikasi Kitin Komersil 6
Tabel 2.2 Spesifikasi Kitosan Komersil 8
Tabel 2.3 Aplikasi dan Fungsi Kitosan di Berbagai Bidang 9 Tabel 4.1 Kitin dan Kitosan yang dihasilkan dari Cangkang Kepiting 31
Tabel 4.2 Karakterisasi Kitin Kepiting 31
Tabel 4.3 Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitin 31
Tabel 4.4 Karakteristik Kitosan Kepiting 32
Tabel 4.5 Analisis Unsur C, H dan N pada Kitosan 33 Tabel 4.6 Kondisi Alat GC Merek Helwett Packard HP-6890 pada Pengukuran
Larutan Standar Kolesterol 33
Tabel 4.7 Data Larutan Standar Kolesterol 34 Tabel 4.8 Data Hasil Penurunan Persamaan Regresi untuk Kolesterol 35 Tabel 4.9 Data Hasil Luas Puncak Kolesterol pada Lemak Kambing 36 Tabel 4.10 Pengaruh Waktu Perendaman 1 gram Kitosan Terhadap Penyerapan
Kolesterol dari Lemak Kambing 38
Tabel 4.11 Pengaruh Waktu Perendaman 3 gram Kitosan Terhadap Penyerapan
Kolesterol dari Lemak Kambing 39
Tabel 4.12 Pengaruh Waktu Perendaman 5 gram Kitosan Terhadap Penyerapan
Kolesterol dari Lemak Kambing 41
Tabel 4.13 Pengaruh Waktu Perendaman 7 gram Kitosan Terhadap Penyerapan
Kolesterol dari Lemak Kambing 42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Kitin 5
Gambar 2.2 Struktur Kitosan 7
Gambar 2.3 Struktur Kolesterol 11
Gambar 2.4 Skematis Alat Kromatografi Gas 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Spektrum FT-IR Kitin Kepiting 52 Lampiran 2. Spektrum FT-IR Kitosan Kepiting 53 Lampiran 3. Spektrum FT-IR Kitosan Komersil 54 Lampiran 4. Kromatogram larutan standar kolesterol dengan konsentrasi
0.01 g/ml 55
Lampiran 5. Kromatogram larutan standar kolesterol dengan konsentrasi
0,02 g/ml 56
Lampiran 6. Kromatogram larutan standar kolesterol dengan konsentrasi
0,03 g/ml 57
Lampiran 7. Kromatogram larutan standar kolesterol dengan konsentrasi
0,04 g/ml 58
Lampiran 8. Kromatogram larutan standar kolesterol dengan konsentrasi
0,05 g/ml 59
Lampiran 9. Kromatogram sampel kolesterol I 60 Lampiran 10. Kromatogram sampel kolesterol II 61 Lampiran 11. Kromatogram sampel kolesterol III 62 Lampiran 12. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 1 gram
kitosan dengan waktu perendaman 15 menit 63 Lampiran 13. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 1 gram
kitosan dengan waktu perendaman 30 menit 64 Lampiran 14. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 1 gram
kitosan dengan waktu perendaman 45 menit 65 Lampiran 15. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 1 gram
kitosan dengan waktu perendaman 60 menit 66 Lampiran 16. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 3 gram
kitosan dengan waktu perendaman 15 menit 67 Lampiran 17. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 3 gram
kitosan dengan waktu perendaman 30 menit 68 Lampiran 18. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 3 gram
kitosan dengan waktu perendaman 45 menit 69 Lampiran 19. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 3 gram
kitosan dengan waktu perendaman 60 menit 70 Lampiran 20. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 5 gram
kitosan dengan waktu perendaman 15 menit 71 Lampiran 21. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 5 gram
kitosan dengan waktu perendaman 30 menit 72 Lampiran 22. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 5 gram
kitosan dengan waktu perendaman 45 menit 73 Lampiran 23. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 5 gram
kitosan dengan waktu perendaman 60 menit 74 Lampiran 24. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 7 gram
kitosan dengan waktu perendaman 15 menit 75 Lampiran 25. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 7 gram
Lampiran 26. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 7 gram
kitosan dengan waktu perendaman 45 menit 77 Lampiran 27. Kromatogram sampel kolesterol setelah penambahan 7 gram
ABSTRAK
THE MANUFACTURE AND CHARACTERIZATION OF CHITOSAN FROM CRAB SHELLS (Callinectes Sapidus) AS AN ADSORBENT TO
DECREASE CONCENTRATION OF CHOLESTEROL
ABSTRACT
A research about the manufacture and characterization of chitosan from crab shells (Callinectes Sapidus) as an adsorbent to decrease concentration of cholesterol has been studied. Chitosan is obtained through the deacetylation process of chitin. That chitosan used as adsorbent to decrease concentration of cholesterol by adding chitosan with the variation of mass 1, 3, 5 and 7 grams into the result extraction of fat and with the variation of immersion time 15, 30, 45 and 60 minutes. The concentration of cholesterol are analyzed by using Gas Chromatography (GC). The result of research show that by adding 1 gram chitosan, concentration of chitosan decreased 12,43%; 19,28%; 25,57% and 32,94% respectively. In addition 3 grams chitosan, concentration of cholesterol decreased 14,37%; 25,46%; 32,18% and 37,54% respectively. By adding 5 grams chitosan, concentration of cholesterol decreased 32,89%; 36,12%; 42,46% and 48,57% respectively. And by adding 7 grams chitosan, concentration of cholesterol decreased 28,75%; 32,54%; 35,23% and 37,48% resperctively.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kitin adalah polisakarida alami seperti selulosa, dekstran, alginat, dan sebagainya
yang dapat terdegradasi secara alami dan non toksik. Kitin merupakan polisakarida
rantai linier dengan rumus β (1-4)-2-asetamido-2deoksi-D-glucopiranosa, sedangkan kitosan adalah deasetilasi kitin (Merck Index, 1976).
Kitin banyak didapati pada kulit-kulit luar arthropoda, crustacea (seperti
udang, kepiting, rajungan, dan lobster), mollusca, annelida, dinding yeast dan
serangga. Kitin juga terdapat pada tumbuhan tingkat rendah seperti jamur terutama
pada bagian miselium dan sporanya (Muzzarelli, 1977).
Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan bahan baku kitin yang
banyak terdapat dalam kulit udang, kulit kepiting, dan cumi-cumi akan menjadi
sangat potensial dalam produksi kitin dan kitosan. Pemanfaatan kepiting umumnya
baru terbatas untuk keperluan makanan, biasanya hanya dagingnya saja yang diambil
sedangkan cangkangnya dibuang, padahal cangkang kepiting mengandung senyawa
kitin yang cukup tinggi yaitu, sekitar 20-30 % berat kulit keringnya. Sedangkan kulit
kepiting sendiri merupakan limbah pengalengan kepiting yang belum diolah secara
maksimal. Penggunaan kitin dibatasi oleh sifat-sifat yang tidak larut dan sulit
dipisahkan dengan bahan lain yang terikat terutama protein, sehingga untuk
pemanfaatannya kitin perlu diubah terlebih dahulu menjadi kitosan (Hendri, 2008).
Salah satu cara lain memanfaatkan limbah ini adalah dengan mengektraksi
senyawa kitin yang terdapat di dalamnya, lalu dengan proses deasetilasi kitin diolah
proses yang relatif sederhana , karena itin masih terikat dengan unsur-unsur lainnya
antara lain protein dan mineral. (Romatua, 2002)
Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari
proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan bersifat sebagai
polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali dengan pH di atas 6,5.
Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan asam
sitrat (Rahayu, 2007).
Untuk menghasilkan kitosan yang bermutu tinggi tergantung pada kitin yang
dihasilkan. Sekiranya kitin yang dihasilkan tidak murni, maka tidak akan dihasilkan
kitosan. Untuk inilah perlu diketahui derajat deasetilasi di dalam kitosan, karena
merupakan sifat utama dari kitosan. Kitosan mempunyai kadar nitrogen yang
bergantung kepada derajat deasetilasi. Salah satu metode untuk mengetahui derajat
deasetilasi adalah dengan menggunakan spektrofotometri (Muzarelli, 1977).
Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai industri
kimia, antara lain dipakai sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan
pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam, anti kanker /anti
tumor, anti kolesterol, komponen tambahan pakan ternak, sebagai lensa kontak,
pelarut lemak, dan pengawet makanan (Rahayu, 2007).
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga
kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber energi
yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak atau
lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya
menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut
kolesterol, sedangkan lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak
mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak hewani
ada yang berbentuk padat yang biasa berasal dari lemak susu, lemak babi, lemak sapi.
Minyak atau lemak, mengandung asam-asam lemak essensial seperti asam linoleat,
linolenat dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat
Salah satu upaya untuk menurunkan kadar kolesterol dalam lemak dengan
menggunakan biopolimer kitosan. Senyawa ini akan membawa muatan listrik positif,
dapat menyatu dengan zat asam empedu yang bermuatan negatif sehingga
menghambat penyerapan kolesterol, karena zat lemak yang masuk bersama makanan
harus dicerna dan diserap dengan bantuan zat asam empedu yang disekresi liver
(Hargono, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
pengaruh penambahan kitosan dari cangkang kepiting terhadap penyerapan kolesterol
dari lemak kambing.
1.2Permasalahan
Apakah kitosan dari cangkang kepiting dapat digunakan sebagai adsorben
untuk menurunkan kadar kolesterol dari lemak kambing dengan menggunakan metode
Beyer dan Jensen.
1.3Pembatasan Masalah
Penelitian ini hanya dibatasi pada penyediaan kitin dari cangkang kepiting
serta penyerapan kolesterol dari lemak kambing pada penambahan kitosan dengan
variasi massa (1, 3, 5 dan 7) gram kitosan dan dengan variasi waktu perendaman (15,
30, 45 dan 60) menit.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan penyediaan dan
karakterisasi kitosan dari cangkang kepiting sebagai adsorben untuk menurunkan
kadar kolesterol.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi hasil
ekstraksi kitosan dari cangkang kepiting.
1.6Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian laboratorium, dimana isolasi kitin dari
cangkang kepiting melalui tiga tahap, yaitu deproteinasi dengan NaOH encer,
demineralisasi dengan HCl selanjutnya proses deasetilasi dengan penambahan NaOH
untuk menghasilkan kitosan. Penentuan kadar kolesterol dari lemak kambing
dilakukan dengan mengekstraksi lemak terlebih dahulu. Proses penyerapan kolesterol
dari lemak kambing dilakukan dengan penambahan kitosan sebanyak 1 gram dengan
variasi waktu perendaman 15, 30, 45 dan 60 menit. Kemudian dilakukan hal yang
sama untuk variasi penambahan kitosan sebanyak 3, 5 dan 7 gram. Kemudian
hasilnya dianalisa secara kromatografi gas.
1.7Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian FMIPA USU dan di
Laboratorium Kimia Dasar FMIPA USU. Gugus fungsi dari kitin dan kitosan
ditentukan dengan metode spektoskopi inframerah di UGM.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kitin
Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat
di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada
C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida)
O
Gambar 2.1 Struktur kitin
Di alam, kitin dikenal sebagai polisakarida yang paling melimpah setelah
selulosa. Kitin umumnya banyak dijumpai pada hewan avertebrata laut, darat, dan
jamur dari genus Mucor, Phycomyces, dan Saccharomyces. Keberadaan kitin di alam
umumnya terikat pada protein, mineral, dan beragai macam pigmen. Sebagian besar
kelompok Crustacea, seperti kepiting, udang dan lobster, merupakan merupakan
sumber utama kitin komersial. Di dunia, kitin diproduksi secara komerisal 120 ribu
ton per tahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang sebesar 39 ribu ton (32,5%)
dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%) (Knorr,1991).
tiga tahapan yaitu demineralisasi dengan HCl encer, deproteinisasi dengan NaOH
encer (setelah tahap ini diperoleh kitin) dan selanjutnya deasetilasi kitin menggunakan
NaOH pekat (Brine,1984 dan Shahidi et al., 1999)
Tabel 2.1 Spesifikasi Kitin Komersil
Parameter Ciri
Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk
Kadar air (%) ≤ 10,0
Kadar abu (%) ≤ 2,0
N-deasetilasi (%) ≥ 15,0
Kelarutan dalam:
• Air Tidak larut
• Asam encer Tidak larut
• Pelarut organic Tidak larut
• LiCl2 / dimetilasetamida Sebagian larut
Enzim pemecah Lisozim dan kitinase
(Sugita, 2009)
Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah teruai secara
hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya berupa padatan amorf yang berwarna putih
dengan kalor spesifik 0,373 ± 0,03 kal/g/oC. Kitin hapir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam format, asam metanasulfonat,
N,N-dimetilasetamida yang mengandung 5% litium klorida, heksaflouroisopropil alkohol,
heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah
35:65 (%v/v). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3, dan H3PO4 dapat melarutkan kitin sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuan-satuan
yang lebih kecil (Sugita, 2009).
Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme.
O
Gambar 2.2 Struktur Kitosan
Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun
enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 85-93%. Namun proses kimiawi
menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga
sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses
kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan
melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen. Proses
enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi
secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak rantai kitosan, sehingga
menghasilkan kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dpat memperluas
bidang aplikasinya.
Tabel 2.2 Spesifikasi Kitosan Komersil
Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk
Kadar air (%) ≤ 10,0
Kadar abu (%) ≤ 2,0
Warna larutan Tidak berwarna
N-deasetilasi (%) ≥ 70,0
Kelas viskositas (cps)
• Rendah < 200
• Medium 200799
• Tinggi pelarut organic 8002000
• Sangat tinggi ˃ 2000
(Sugita, 2009)
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10o (padatan konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik, pada pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih
besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol dan aseton. Dalam asam
mineral HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Perlu kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot
molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifiknya yang beragam tergantung pada
sumber dan metode isolasi serta transformasinya (Sugita, 2009).
Kitosan telah digunakan di berbagai bidang industri seperti industri makanan
aditif, kosmetik, material pertanian, dan untuk anti bakterial. Kitosan juga sering
digunakan sebagai adsorben pada ion logam transisi dan spesies organik. Hal ini
disebabkan oleh adanya gugus amino (-NH2) dan gugus hidroksil (-OH) dari rantai kitosan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkoordinasi dan bereaksi (Juang,
2002).
Bidang aplikasi Fungsi
I. Pengolahan limbah − Bahan koagulasi/flokulasi untuk
limbah cair
− Penghilangan ion-ion metal dari limbah cair
II. Pertanian − Dapat menurunkan kadar asam sayur,
buah dan ekstrak kopi
− Sebagai pupuk
− Bahan antimicrobakterial III. Industri tekstil − Serat tekstil
− Meningkatkan ketahanan warna IV. Bioteknologi − Bahan-bahan immobilisasi enzim
V. Klarifikasi / Penjernihan
• Limbah industri pangan
• Industri sari buah
• Pengolahan minuman
beralkohol
• Penjernihan air minum
• Penjernihan kolam renang
• Penjernihan zat warna
• Penjernihan tannin
VI. Kosmetik − Bahan untuk rambut dan kulit
VII. Biomedis − Mempercepat penyembuhan luka
− Menurunkan kadar kolesterol VIII. Fotografi − Melindungi film dari kerusakan
(Robert, 1992)
Yang dimaksud dengan lemak adalah suatu ester asam lemak dengan gliserol. Gliserol
ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Pada lemak, satu
molekul gliserol mengikat 3 molekul asam lemak, oleh karena itu lemak adalah suatu
trigliserida.
Lemak hewan pada umumnya berupa zat padat pada suhu ruangan, sedangkan
lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak yang mempunyai titik lebur
tinggi mengandung asam lemak jenuh , sedangkan lemak cair atau yang biasa disebut
minyak mengandung asam lemak tidak jenuh (Poedjiadi,2002)
Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol, sedangkan
lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak
jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak hewani ada yang berbentuk padat
(lemak) yang biasanya berasal dari lemak hewan darat seperti lemak susu,lemak babi,
lemak sapi. Lemak nabati yang berbentuk cair dapat dibedakan atas tiga golongan
yaitu: (a) dryng oilI yang akan membentuk lapisan keras bila mongering di udara.; (b)
semi drying oil seperti minyak jagung, minyak biji kapas dan minyak bunga matahari;
dan (c) non drying oil misalnya minyak kelapa dan minyak kacang tanah.
Minyak pangan dalam bahan pangan biasanya diekstraksi dalam keadaan tidak
murni dan bercampur dengan komponen-komponen lain yang disebut dengan fraksi
lipida. Fraksi lipida terdiri dari minyak/lemak (edible fat/oil), malam (wax),
fosfolipida, sterol, hidrokarbon, dan pigmen. Dengan cara ekstraksi menggunakan
pelarut lemak seperti petroleum eter, etil eter, bezena dan kloroform
komponen-komponen fraksi lipida dapat dipisahkan. Lemak kasar (crude fat) tersebut disebut
fraksi larut eter. Untuk membedakan komponen fraksi lipida dipergunakan NaOH.
Minyak/lemak makan, malam, dan fosfolipida dapat disabunkan dengan NaOH;
sedangkan sterol, hidrokarbon dan pigmen adalah fraksi yang tidak tersabunkan. (F.G
Winarno, 1992)
Kolesterol adalah satu sterol yang paling penting dan terdapat banyak di alam. Dari
rumus kolesterol dapat dilihat bahwa gugus hidroksil yang terdapat pada atom C nomor 3 mempunyai posisi β oleh karena dihubungkan dengan garis penuh.
Gambar 2.3 Struktur Kolesterol
Pada tubuh manusia kolesterol terdapat dalam darah empedu, kelenjar adrenal
bagian luar (adrenal cortex) dn jaringan syaraf. Kolesterol dapat larut dalam pelarut
lemak, misalnya eter, kloroform, benzene dan alkohol panas. Apabila terdapat dalam
konsentrasi tinggi, kolesterol mengkristal yang tidak berwarna, tidak berasa dan tidak
berbau, dan mempuntai titik lebur 150-151oC. Endapan kolesterol apabila terdapat dalam pembuluh darah dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah karena
dinding pembuluh darah menjadi makin tebal. Hal ini juga mengakibatkan
berkurangnya kelenturan pembuluh darah, maka aliran darah akan terganggu dan
untuk mengatasi gangguan ini jantung harus memompa darah lebih keras (Poedjiadi,
2006).
Setiap hari, sekitar 1 gram kolesterol dikeluarkan dari tubuh. Sekiranya
separuhnya diekskresikan di dalam tinja setelah mengalami konversi menjadi asam
empedu. Sisanya diekskresikan sebaga kolesterol. Koprostanol adalah sterol utama
dalam tinja, senyawa ini dibentuk dari kolesterol oleh bakteri di usus bagian bawah.
(Robert K. Murray, 2009)
Modifikasi lemak dalam darah sesungguhnya ditunjukkan untuk menurunkan
kadar kolesterol dalam jaringan, khususnya dalam dinding arteri. Biasanya dengan
diet kadar lemak dalam darah mulai berubah dalam beberapa hari atau minggu. Untuk
banyak pengaruhnya, tetapi pengurangan konsumsi kolesterol juga banyak menolong
(Winarno, 1992).
2.5 Spektroskopi IR dan FTIR
Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara
materi dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi yang terjadi dalam
spektroskopi inframerah ini merupakan inteaksi dengan REM melalui absorbsi radiasi.
Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spectrum elektromagnetik
yang terletak di antara daerah tampak dan glombang mikro. Molekul menyerap radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang yang khusus. Absorbansi cahaya
ultraviolet mengakibatkan pindahnya sebuah electron ke orbital dengan energy yang
lebih tinggi. Radiasi inframerah tidak cukup mengandung energy untuk melakukan
eksitasi tersebut, absorbsinya hanya mengakibatkan membesarnya amplitudo getaran
atom-atom yang terikat satu sama lain (Sudarmadji, 1989).
Jumlah energi yang diserap juga bervariasi untuk setiap ikatan. Hal ini
disebabkan karena terjadinya perubahan momen ikatan suatu absorbsi. Ikatan non
polar (C-H atau C-C) pada umumnya akan memberikan absorbansi lemah, sedangkan
ikatan polar (C-O) akan terlihat sebagai absorbansi yang kuat. Spektroskopi FTIR
dapat digunakan untuk analisa kualitatif maupun kuantitatif. Analisa kualitatif
spektroskopi FTIR secara uum dipergunakan untuk identifikasi gugus-gugus
fungsional yag terdapat dalam suatu senyawa yang dianalisa (Silverstein, 1986).
Pengukuran pada spectrum inframerah dilakukan pada cahaya inframerah
tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2,5 – 50 µm atau bilangan
gelombang 4000-200 cm-1. Energy yang dihasilkan oleh radiasi ini akan enebakan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorsi inframerah sangatkhas dan spesifik
ntuk setiap tipe ikatan kimia tau gugus fungsi. Spektrum yang dihasilan berupa grafik
yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi
Analisa kuantitatif dari spektroskopi FTIR dapat dilakukan berdasarkan
spektra inframerah yang dihasilkan, salah satu contohnya adalah penentuan derajat
deasetilasi dari kitin dan kitosan menggunakan persamaan Domszy dan Roberts
(Sugita,2009).
%D = 1- [(A1665 / A3450) x 1/1,33] x 100%
dimana: A1665 = absorbansi pada bilangan gelombang 1665 cm-1 A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1
1,33 = tetapan yang diperoleh dari perbandingan A1665 / A3450 untuk kitosan dengan asetilasi penuh
2.6. Kromatografi Gas
Kromatografi gas adalah sebuah teknik untuk memisahkan suatu zat yang mudah
menguap dengan cara melewatkan aliran gas pada suatu fase yang tidak bergerak
(stationary phase). Pemisahan ini berdasarkan sifat-sifat penyerapan isi kolom untuk
memisahkan komponen sampel yang berbentuk gas. Isi kolom yang biasa digunakan
untuk keperluan ini adalah silica gel, saringan molekul dan arang. Sampel yang
dianalisis dapat berbentuk gas, cair maupun padat, namun cair dan padat harus terlebih
dahulu diubah menjadi bentuk gas dengan cara pemanasan. (Sudjadi, 1986).
Kromatografi pertama kali digunakan oleh W. Ramsey pada tahun 1905 untuk
memisahkan campuran gas dan campuran uap. Sejumlah percobaan pertama ini
menggunakan penyerapan selektif oleh penyerap padat seperti arang aktif dari
penyerap tersebut. Tahun 1908, Mikhail Semenovic Tsweet, seorang ahli botani
bangsa Rusia, memberikan istilah “kromatografi” ( yang artinya penulisan warna )
pertama kali terhadap hasil pemisahan yang dilakukan oleh klorofil. Alasan Tsweet
memberikan istilah kromatografi karena dia mendapatkan pita-pita yang berwarna
yang terpisah pada kolo yang diisi adsorben kalsium karbonat. Larutan pengembang
Selanjutnya percobaan kromatografi Tsweet dilanjutkan oleh C.Dhere pada
tahun 1911 dalam usahanya memisahkan zat warna karoten. Usaha ini lebih jauh
dilanjutkan di Amerika oleh L.S. Palmer pada tahun 1914 sehingga dia berhasil dengan baik memisahkan α, β, dan γ karoten di Universitas Missouri. (Mulja,M., Suharman., 1995).
2.6.1. Sistem Peralatan Kromatografi Gas
Diagram skematik peralatan Kromatografi Gas ditunjukkan oleh gabar di bawah ini
dengan komponen utama adalah: kontrol dan penyedia gas pembawa; ruang suntik
sampel; kolom yang diletakkan dalam oven yang dikontrol secara termostatik; sistem
deteksi dan pencatat (detector dan recorder); serta komputer yang dilengkapi dengan
perangkat pengolah data
Gambar 2.4 Skematis Alat Kromatografi Gas
(Mc.Nair, Bonelli, 1988)
A. Gas Pembawa
Fase gerak pada Kromatografi Gas juga disebut dengan gas pembawa karena tujuan
awalnya adalah untuk membawa solut ke kolom, karenanya gas pembawa tidak
berpengaruh pada selektifitas. Syarat gas pembawa adalah: tidak reaktif; murni/kering
Gerbang suntik Perekam
Pengendali aliran
Tangki gas pembawa
Kolom Detektor
karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor; dan dapat disimpan dalam
tangki tekanan tinggi. (Abdul, R., 2007).
Faktor yang menyebabkan suatu senyawa dapat bergerak melalui kolom
Kromatografi Gas ialah keatsirian yang merupakan sifat senyawa itu dan aliran gas
melalui kolom. Aliran gas dipaparkan dengan dua peubah, aliran yang diukur dengan
ml/menit dan penurunan tekanan antara pangkal dan ujung kolom, sifat gas yang pasti,
biasanya merupakan hal sekunder yang ditinjau dari segi pemisahannya, tetapi
mungkin ada pengaruh kecil pada daya pisah. Pemilihan gas pembawa sampai taraf
tertentu bergantung pada detektor yang dipakai: hantar bahang, ionisasi nyala, tangkap
elektron, atau khas tehadap unsur. Walaupun agak kurang baik biasanya dipakai
helium. Sebuah Kromatografi Gas biasanya dipasang dengan suatu gas pembawa,
detektor pengionan tertentu memerlukan argon, gas yang sangat besar kerapatannya
dan alirannya lebih lambat (penurunan tekanan lebih besar) biasanya nitrogen dipakai
dengan detektor ionisasi nyala walaupun gas lain memang dapat dipakai. (Roy J.
Gritter., 1991).
B. Sistem injeksi
Komponen Kromatografi Gas yang utama selanjutnya adalah ruang suntik atau inlet.
Fungsi dari ruang suntik ini adalah untuk mengantarkan sampel ke dalam aliran gas
pembawa. Berbagai macam jenis inlet dan teknik pengantar sampel telah tersedia.
Penyuntikan sampel dapat dilakukan secara manual atau secara otomatis (yang dapat
menyesuaikan jumlah sampel).
Sampel yang akan dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui
gerbang suntik yang biasanya berupa lubangyang ditutupi dengan septum atau
pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan
dilakukan jika sampel yang disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka
ditempuh suatu cara untuk mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah
satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikkan
(split injection). (Abdul,R., 2007).
C. Kolom
Aliran gas selanjutnya menemui kolom, yang diletakkan dalam oven bertemperatur
konstan. Ini adalah jantung instrumentasi tersebut, tempat dimana kromatografi dasar
berlangsung. Kolom-kolom memiliki variasi dalam hal ukuran dan bahan isian.
Ukuran yang umum adalah sepanjang 6 kaki dan berdiameter dalam 1/4 inci, terbuat
dari tabung tembaga atau baja tahan karat; untuk menghemat ruang, bisa dibentuk U
agar gulungan spiral. Tabung itu diisi dengan suatu bahan padat halus dengan luas
permukaan besar yang relatif inert. Namun padatan itu sebenarnya hanya sebuah
penyangga mekanik untuk cairan, sebelum diisi kedalam kolom, padatan tersebut
diimpregnasi dengan cairan yang diinginkan yang berperan sebagai fase stasioner
sesungguhnya. Cairan ini harus stabil dan nonvolatile pada temperature kolom, dan
harus sesuai dengan temperatur tertentu.
D. Detektor
Setelah muncul dari kolom itu, aliran gas lewat melalui sisi lain detektor. Maka elusi
zat terlarut dari kolom yang direkam secara elektrik. Laju aliran gas pe,bawa adalah
hal yang penting, dan biasanya pengukur aliran untuk itu tersedia. Mungkin ada kutup
pengatur lain pada ujung keluaran sisitem, walaupun secara normal gas-gas yang
muncul dialirkan keluar pada tekanan atmosfer. Karena pekerjaan laboratorium secara
terus menerus terpapar oleh uap senyawa-senyawa yang terkromatografi yang
mungkin tak baik waluapun kadarnya biasanya kecil, maka ventilasi pada keluaran
instrument harus diperhatikan. Ketentuan bisa dibuat untuk menjebak zat terlarut yang
dipisahkan setelah muncul dari kolom jika hal ini dibutuhkan untuk penyelidikan lebih
2.6.2. Pemakaian Kromatografi Gas
Dalam Kromatografi Gas untuk mengikuti reaksi, senyawa dilewatkan melalui zona
reaksi dalam sistem tertutup antara tempat injeksi sampel dengan detektor. Reaksi
berlangsung setelah melalui tempat injeksi sampel. Reaksi seharusnya berlangsung
seketika dan hasil reaksi mempunyai waktu retensi normal, yaitu 8-10 detik.
Pengambilan suatu komponen senyawa dengan gugus tertentu juga dapat dilakukan
dengan membubuhkan dalam kolom kromatografi, suatu reagen yang relatif untuk
menahan komponen tersebut. Untuk perbandingan dua kolom dengan instrumen
pencatat dapat dimanfaatkan. Senyawa dapat diubah menjadi bentuk lain dengan beda
waktu retensi, misalnya dengan melewatkan H2O pada CaC2 dapat terbentuk CH≡CH asetilena. (Khopkar, 2003).
Kromatografi Gas sebagai instrumen untuk analisis fisiko-kimia menduduki
posisi yang sangat penting dan banyak dipakai, apa sebabnya :
1. Aliran fase mobil (gas) sangat terkontrol dan kecepatannya tetap.
2. Sangat mudah terjadi pencampuran uap sampel ke dalam aliran fase mobil.
3. Pemisahan fisik terjadi di dalam kolom yang jenisnya banyak sekali, panjang, dan
temperaturnya dapat diatur.
4. Banyak sekali macam detektor yang dapat dipakai pada kromatografi gas (saat ini
dikenal 13 macam detektor) dan tanggap detektor adalah proporsioanal dengan
jumlah tiap komponen yang keluar dari kolom.
5. Kromatgrafi gas sangat mudah digabung dengan instrumen fisio-kimia yang
lainnya, contoh: FT-IR/MS.
Kelima hal tersebut di atas telah melebarkan wawasan atau jangkauan
pemakaian Kromatografi gas yang sampai saat ini dikenal secara luas dan sangat
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
- Timbangan Elektrik Chyo Electronic Balance
- Gelas Beaker Pyrex
- Hot plate stirrer Ikamag Rec-G
- Blender Philips
- Kromatogafi Gas Hewlett Packard
3.1.2 Bahan-bahan
- Cangkang Kepiting
- Lemak Kambing
- NaOH Teknis
- CH3COOH glassial p.a ( E. Merck )
- Standar Kolesterol (5-α-Cholestan-3-β-ol) p.a (E.Merck)
3.2 Prosedur Penelitian
3.2.1 Pembuatan Larutan Pereaksi
a. Larutan NaOH 0,5%
Sebanyak 5 g NaOH dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam labu takar
1000 mL sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.
b. Larutan NaOH 5%
Sebanyak 50 g NaOH dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam labu takar
1000 mL sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.
c. Larutan NaOH 50%
Sebanyak 500 g NaOH dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam labu takar
1000 mL sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.
d. Larutan HCl 5%
Sebanyak 135,135 mL HCl dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL.
Kemudian diencerkan dengan akuades sampai garis tanda, kemudian
e. Larutan Asam Asetat 1%
Sebanyak 10 mL asam asetat glassial dimasukkan ke dalam labu takar 1000
mL. Kemudian diencerkan dengan akuades sampai garis tanda, kemudian
dihomogenkan.
f. Larutan KOH-alkohol 0,5 N
Sebanyak 7,125 g KOH dilarutkan dengan 50 mL alkohol 96%, kemudian
dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL. Kemudian diencerkan dengan
alkohol 96% sampai garis tanda, lalu dihomogenkan.
3.2.2 Proses Ekstraksi Kitin
- Dicuci cangkang kepiting lalu dikeringkan
- Direndam dalam larutan NaOH 0,5% ( 1:8 ), selama 24 jam, dicuci dengan
H2O, cara ini dilakukan sebanyak 2 kali
- Dideproteinasi dengan larutan NaOH 5% (1:8 ), selama 24 jam, dicuci dengan
H2O hingga pH netral, dikeringkan pada suhu kamar kemudian dihaluskan
- Didemineralisasi dengan HCl 5% (1:8 ), selama 24 jam , dicuci dengan H2O hingga pH netral
- Dikeringkan pada suhu kamar
- Dilakukan uji kelarutan dalam asam formiat 98-100%
3.2.3 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan
- Direndam kitin kepiting dalam larutan NaOH 50% ( 1:14 ), pada suhu kamar
selama 9 hari, pengadukan dilakukan setiap hari
- Dicuci dengan H2O hingga pH netral
- Dikeringakan pada suhu kamar
- Dihaluskan
- Dilakukan uji kelarutan dengan asam asetat 1%, jika uji kelarutan positif maka
- Dikarakterisasi dengan spektroskopi FTIR
3.2.4 Penentuan Kadar Air
Sebanyak 2 g kitosan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui
bobotnya. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang
Kadar air = x 100%
Dengan X = bobot sampel mula-mula (g)
Y = bobot sampel kering (g)
3.2.5 Penentuan Kadar Abu
Sejumlah contoh ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya,
diabukan pada tanur bersuhu 550oC sampai pengabuan sempurna. Selanjutnya didinginkan dalam desikator lalu ditimbang
Kadar abu = x 100%
Dengan W = bobot sebelum diabukan (g)
W1 = bobot cawan + cawan sesudah diabukan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
3.2.6 Analisis Unsur C, H dan N
Timbang sampel 0,1000 untuk diukur dengan Analisis Unsur (Carlo Erba, model EA.
3.2.7 Proses Penentuan Kadar Kolesterol dari Lemak Kambing
- Dilarutkan 25 g lemak kambing dalam 100 mL kloroform dalam gelas beaker,
diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam
- Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
- Didekantasi larutan (supernatan) ke dalam gelas beaker
- Disaponifikasi hasil ekstraksi lemak dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N
selama ± 1 jam
- Didinginkan
- Diekstraksi dengan 25 mL n-heksan
- Diambil lapisan atas
- Dimasukkan ke dalam botol vial
- Dianalisa kadarnya secara kromatografi gas
3.2.8 Proses Penyerapan Kolesterol
- Dilarutkan 25 g lemak kambing dalam 100 mL kloroform dalam gelas beaker,
diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam
- Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
- Didekantasi larutan (supernatan) ke dalam gelas beaker
- Ditambahkan dengan 1 g kitosan, diaduk dimana waktu penyerapan
divariasikan masing-masing 15, 30, 45dan 60 menit
- Disaring
- Disaponifikasi filtratnya dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N selama ± 1 jam
- Didinginkan
- Diekstraksi dengan 25 mL n-heksan
- Diambil lapisan atas
- Dimasukkan ke dalam botol vial
- Dianalisa kadarnya secara kromatografi gas
- Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi penambahan kitosan sebanyak 3,
3.3 Bagan Penelitian
3.3.1 Proses Ekstraksi Kitin (Muzzarelli, 1977)
Direndam dengan larutan NaOH 0,5% (1:8), selama 24 jam (dilakukan 2 kali)
Dicuci dengan air hingga pH netral
Dideproteinasi dengan larutan NaOH 5% (1:8) selama 24 jam
Dicuci dengan air hingga pH netral
Dikeringkan pada suhu kamar
Didemineralisasi dengan larutan HCl 5% (1:8), selama 24 jam
Dicuci dengan air hingga pH netral
Dikeringkan pada suhu kamar
Dihaluskan
Dilakukan uji kelarutan dengan asam formiat 98-100%
Cangkang Kepiting Kering
Kitin Kepiting
Hasil
3.3.2 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan
Direndam dengan larutan NaOH 50% (1:14)
selama 9 hari dengan pengadukan setiap hari
Dicuci dengan air hingga pH netral
Dikeringkan pada suhu kamar
Dihaluskan Kitin Kepiting
Kitosan
Uji kelarutan Karakterisasi
3.3.3 Penentuan Kadar Kolesterol dari Lemak Kambing
Dilarutkan dengan 100 mL kloroform dalam beaker gelas, diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
Didekantasi
Dimasukkan ke dalam beaker glass
Disaponifikasi hasil ekstraksi lemak dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N selama ± 1 jam
Didinginkan
Diekstraksi dengan 25 mL n-heksan
Dimasukkan ke dalam botol vial
Dianalisa kadarnya secara kromatografi gas 25 gram Lemak Kambing
Filtrat Residu
Lemak cair
Lapisan Atas Lapisan Bawah
3.3.4 Proses Penyerapan Kolesterol
3.3.4.1Penambahan 1 gram kitosan
Dilarutkan dengan 100 mL kloroform dalam gelas beaker, diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam
Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
Didekantasi
Dimasukkan ke dalam gelas beaker
Ditambahkan dengan 1 g kitosan, diaduk dimana waktu penyerapan
divariasikan masing-masing 15, 30, 45 dan 60 menit
Disaring
Disaponifikasi dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N selama ± 1 jam
Didinginkan
Diekstraksi dengan 25 mL n-heksan
Dimasukkan ke dalam botol vial
Dianalisa kadarnya secara kromatografi gas
3.3.4.2
Filtrat Residu
Lemak cair
Lapisan Atas Lapisan Bawah
Hasil
25 gram Lemak Kambing
3.3.4.2Penambahan 3 gram kitosan
Dilarutkan dengan 100 mL kloroform dalam gelas beaker, diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam
Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
Didekantasi
Dimasukkan ke dalam gelas beaker
Ditambahkan dengan 3 g kitosan, diaduk dimana waktu
penyerapan divariasikan masing-masing 15, 30, 45 dan 60 menit Disaring
Disaponifikasi dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N selama ± 1 jam
Didinginkan
Diekstraksi dengan 25 mL n-heksan
Dimasukkan ke dalam botol vial
Dianalisa kadarnya secara kromatografi gas
Filtrat Residu
Lemak cair
Lapisan Atas Lapisan Bawah
Hasil
25 gram Lemak Kambing
3.3.4.3Penambahan 5 gram kitosan
Dilarutkan dengan 100 mL kloroform dalam gelas beaker,
diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam
Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
Didekantasi
Dimasukkan ke dalam gelas beaker
Ditambahkan dengan 5 g kitosan, diaduk dimana waktu
penyerapan divariasikan masing-masing 15, 30, 45 dan 60 menit
Disaring
Disaponifikasi dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N selama ± 1 jam
Didinginkan
Diekstraksi dengan 25 mL n-heksan
Dimasukkan ke dalam botol vial
Dianalisa kadarnya secara kromatografi gas
Filtrat Residu
Lemak cair
Lapisan Atas Lapisan Bawah
Hasil
25 gram Lemak Kambing
3.3.4.4Penambahan 7 gram kitosan
Dilarutkan dengan 100 mL kloroform dalam gelas beaker, diaduk dengan waktu pengadukan 1 jam
Disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit
Didekantasi
Dimasukkan ke dalam gelas beaker
Ditambahkan dengan 7 g kitosan, diaduk dimana waktu
penyerapan divariasikan masing-masing 15, 30, 45 dan 60 menit Disaring
Disaponifikasi dengan 30 mL KOH-alkohol 0,5 N selama ± 1 jam
Didinginkan
Lapisan Atas Lapisan Bawah
Hasil
25 gram Lemak Kambing
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Kitin
Ekstraksi kitin dari cangkang kepiting sebelum dilakukan proses deproteinasi maka
cangkang direndam lebih dahulu dalam larutan NaOH 0,5% selama 24 jam untuk
melepaskan jsaringan otot yang melekat, lalu diulangi sekali lagi sebelum dicuci
dengan air. Deproteinasi kitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam atau
basa. Proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 5% akan mengurangi protein
dari cangkang kepiting. (Sugita, 2009)
Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral-mineral yang ada
dengan cara menggunakan asam klorida. Dimana asam klorida akan melarutkan
mineral yang ada. Reaksinya adalah sebagai berikut :
CaCO3(s) + 2 HCl CaCl2 (l) + H2O + CO2 (g)
Dari proses-proses di atas diketahui bahwa setiap proses yang dilakukan akan
mengurangi berat sampel yang ada, karena setiap proses yang dilakukan bertujuan
untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dari sampel. Hal ini
dapat dilihat dari kitin dan kitosan yang dihasilkan seperti pada tabel di bawah :
Tabel 4.1. Kitin dan Kitosan yang dihasilkan dari Cangkang Kepiting
Cangkang Kepiting
Kering (gram)
Kitin Kepiting
(gram)
% Kitosan Kepiting
(gram)
%
Kadar air dan kadar abu kitin dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini
Tabel 4.2. Karakterisasi Kitin Kepiting
No Parameter Pengamatan
1 Kadar Air (%) 10
2 Kadar Abu (%) 1,65
3 Kelarutan dalam asam formiat 98-100% Larut
Kitin yang diperoleh dari ekstraksi cangkang kepiting ternyata larut dalam asam
formiat 98-100%, dan menghasilkan larutan berwarna coklat muda.
Hasil analisis unsur pada kitin C, H, dan N yang diperoleh ditunjukkan pada
tabel di bawah ini.
Tabel 4.3 Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitin
Analisis Unsur Kitin standar a (%)
a : Kitin dari Muzarelli (1977)
b : Kitin yang dihasilkan dari cangkang kepiting
4.1.2. Kitosan
Pengolahan kitosan dapat dilakukan dengan proses deasetilasi menggunakan basa
kuat pada temperatur yang cukup tinggi. Dengan kondisi ini, gugus asetil yang ada
pada kitin akan terlepas sehingga senyawa amida yang ada pada kitin berubah menjadi
Karakterisasi kitosan seperti kadar air, kadar abu dan uji kelarutannya dapat
dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4. Karakterisasi Kitosan Kepiting
No Parameter Pengamatan
1 Kadar air (%) 10
2 Kadar abu (%) 1,62
3 Kelarutan dalam asam asetat 1% Larutan sangat kental
Menurut Muzzarelli (1977), kekentalan (viskositas) kitosan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah berat molekul kitosan. Kitosan komersial
memiliki berat molekul 1.105 – 5.105. Namun untuk kitosan kepiting memiliki berat molekul 1,85.105, sehingga kitosan kepiting termasuk ke dalam kitosan dengan berat molekul sedang. (Melany.N.R, 2007)
Hasil analisis unsur C, H, dan N pada kitosan yang diperoleh ditunjukkan pada
tabel 4.5.
Tabel 4.5 Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitosan
Analisis Unsur Kitosan Standar a (%)
Kitosan Kepiting b (%)
C 40,25 40,30
H 5,80 5,20
N 6,40 7,40
Keterangan :
a : Kitosan dari Muzzarelli (1977)
b : Kitosan yang dihasilkan dari cangkang kepiting
4.1.3. Penentuan Kolesterol
Kondisi alat Kromagrafi Gas (GC) pada pengukuran larutan standar kolesterol, dan
Tabel 4.6. Kondisi Alat GC Merek Hewlett Packard HP-6890 pada pengukuran larutan standar kolesterol
Tabel 4.7. Data larutan standar Kolesterol
Gambar 4.1 Kurva kalibrasi larutan standar kolesterol 0
No. Parameter Kondisi
4.2 Pengolahan Data
4.2.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square
Untuk memperoleh kadar kolesterol yang terdapat dalam lemak kambing dengan
menghitung luas puncak untuk masing-masing konsentrasi. Data yang diperoleh
diolah dengan metode Least-Square dan akhirnya diperoleh persamaan garis
regresinya. Penentuannya adalah sebagai berikut :
Tabel 4.8 Data Hasil Penurunan Persamaan Regresi Untuk Kolesterol
No. x y xi-x yi-y (xi-x)2 (yi-y)2 (xi-x)(yi-y) 1 10.7337 6511.473 -19.892 -1932 395.681 3732620 38430.822
2 20.7561 7424.720 -9.8693 -1018.8 97.4039 1037856 10054.41
3 30.6234 8317.578 -0.002 -125.89 0 15849 0.2568217
4 40.4351 9547.711 9.80966 1104.24 96.2294 1219344 10832.209
5 50.5789 10415.877 19.9535 1972.41 398.141 3890381 39356.304 ∑ 153.127 42217.359 0 0 987.455 9896050 98674.002
Dimana x = = = 30.62544
y = = = 8443.472
Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :
y = ax + b
Dimana: a = slope
b = intersept
Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode Least-Square
sebagai berikut :
a =
b = y – ax
Dengan mensubstitusikan harga-harga yang tercantum pada tabel 4.6 diatas pada
a =
= 99.92757
b = 8443.472 – (99.92757 x 30.62544)
= 5383.146
Maka persamaan yang diperoleh adalah :
y = 99.92757 x + 5383.146
dimana y = luas puncak
x = konsentrasi larutan standar.
4.2.2 Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi ( r ) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
r =
= =
= 0,9982
4.2.3 Penentuan Konsentrasi
Untuk menghitung konsentrasi dari kolesterol ,
Tabel 4.9 Data Hasil Luas Puncak Kolesterol pada Lemak Kambing
Dengan menggunakan persamaan regresi, diperoleh
Y = ax + b
x =
=
=
33,372 mg/ml- Konsentrasi kolesterol dari lemak kambing = 33,372 mg/ml
- Maka, berat kolesterol dari kemak kambing = 33,372 mg/ml x 25 ml
= 834,301 mg
= 0,834301 g
- Kadar kolesterol dari lemak kambing
= x 100%
= x 100 % = 3,34 %
4.2.4 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan Kitosan
4.2.4.1 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan 1 gram Kitosan
Kadar kolesterol dari lemak kambing setelah penambahan 1 gram kitosan dengan
waktu perendaman selama 15 menit, dapat ditentukan dengan cara :
Y = ax + b
x =
=
= 29,224 mg/ml
- Kadar kolesterol setelah penambahan 1 gram kitosan dengan waktu
perendaman selama 15 menit adalah 29,224 mg/ml
- Berat kolesterol setelah penambahan 1 gram koleaterol dengan waktu
= 730,6 mg
= 0,7306 gram
- % penyerapan kolesterol dengan waktu perendaman selama 15 menit
% penyerapan = – x 100%
= – x 100%
= 12,43%
Dengan cara yang sama, maka dapat ditentukan kadar kolesterol dan % penyerapan
menggunakan 1 gram kitosan dengan variasi waktu perendaman 15, 30, 45 dan 60
menit seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini ,
Tabel 4.10 Pengaruh waktu perendaman 1 gram kitosan terhadap penyerapan kolesterol dari lemak kambing
No
4.2.4.2 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan 3 gram Kitosan
Kadar kolesterol dari lemak kambing setelah penambahan 3 gram kitosan dengan
waktu perendaman selama 15 menit, dapat ditentukan dengan cara :
Y = ax + b
x =
=
- Kadar kolesterol setelah penambahan 1 gram kitosan dengan waktu
perendaman selama 15 menit adalah 28.576mg/ml
- Berat kolesterol setelah penambahan 1 gram koleaterol dengan waktu
perendaman selama 15 menit = 28,576 mg/ml x 25 ml
= 714,2 mg
= 0,7144 gram
- % penyerapan kolesterol dengan waktu perendaman selama 15 menit
% penyerapan = – x 100%
= – x 100%
= 14,37%
Dengan cara yang sama, maka dapat ditentukan kadar kolesterol dan % penyerapan
menggunakan 1 gram kitosan dengan variasi waktu perendaman 15, 30, 45 dan 60
menit seperti ditunjukkan pada tael di bawah ini ,
Tabel 4.11 Pengaruh waktu perendaman 3 gram kitosan terhadap penyerapan kolesterol dari lemak kambing
No
4.2.4.3 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan 5 gram Kitosan
Kadar kolesterol dari lemak kambing setelah penambahan 5 gram kitosan dengan
waktu perendaman selama 15 menit, dapat ditentukan dengan cara :
Y = ax + b
=
= 22,392 mg/ml
- Kadar kolesterol setelah penambahan 1 gram kitosan dengan waktu
perendaman selama 15 menit adalah 22,392 mg/ml
- Berat kolesterol setelah penambahan 1 gram koleaterol dengan waktu
perendaman selama 15 menit = 22,392 mg/ml x 25 ml
= 559,8 mg
= 0,5598 gram
- % penyerapan kolesterol dengan waktu perendaman selama 15 menit
% penyerapan = – x 100%
= – x 100%
= 32,89%
Dengan cara yang sama, maka dapat ditentukan kadar kolesterol dan % penyerapan
menggunakan 1 gram kitosan dengan variasi waktu perendaman 15, 30, 45 dan 60
menit seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini ,
Tabel 4.12 Pengaruh waktu perendaman 5 gram kitosan terhadap penyerapan kolesterol dari lemak kambing
4.2.4.4 Penentuan Kadar Kolesterol setelah Penambahan 7 gram Kitosan
Kadar kolesterol dari lemak kambing setelah penambahan 7 gram kitosan dengan
waktu perendaman selama 15 menit, dapat ditentukan dengan cara :
Y = ax + b
x =
=
= 23,776 mg/ml
- Kadar kolesterol setelah penambahan 1 gram kitosan dengan waktu
perendaman selama 15 menit adalah 23,776 mg/ml
- Berat kolesterol setelah penambahan 1 gram koleaterol dengan waktu
perendaman selama 15 menit = 23,776 mg/ml x 25 ml
= 594,4 mg
= 0,5944 g
- % penyerapan kolesterol dengan waktu perendaman selama 15 menit
% penyerapan = – x 100%
= – x 100%
= 28,75%
Dengan cara yang sama, maka dapat ditentukan kadar kolesterol dan % penyerapan
menggunakan 1 gram kitosan dengan variasi waktu perendaman 15, 30, 45 dan 60
Tabel 4.13 Pengaruh waktu perendaman 7 gram kitosan terhadap penyerapan kolesterol dari lemak kambing
No
4.3.1. Penentuan Derajat Deasetilasi
Analisis kuantitatif dari spektroskopi FT-IR dapat dilakukan berdasarkan spectrum
Infra merah yang dihasilkan, dimana penentuan derajat deasetilasi dari kitosan
menggunakan persamaan Domszy dan Robers (Sugita,2009)
%D = 1- [(A1665 / A3450) x 1/1,33] x 100%
dimana: A1665 = absorbansi pada bilangan gelombang 1665 cm-1 A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1
1,33 = tetapan yang diperoleh dari perbandingan A1665 / A3450 untuk kitosan dengan asetilasi penuh
Maka besarnya nilai dari Derajat Deasetilasi kitosan kepiting adalah
%
Berdasarkan Proton Laboratories Inc. (Nuraida,2000) yang menyatakan bahwa kitosan
memiliki derajat deasetilasi ≥ 70% maka dapat dinyatakan bahwa proses deasetilasi kitin pada penelitian sudah berhasil memperoleh polimer kitosan.
4.3.2 Analisa Spektrum FT-IR
Analisa dengan menggunakan spectrum infra merah ini digunakan untuk memberikan
informasi tentang adanya perubahan gugus fungsi yang menandakan adanya interaksi
secara kimia. Hasil dari spektrum infra merah dapat dilihat pada lampiran.
Spektroskopi FT-IR dari kitin dan kitosan secara umum menunjukkan adanya
kesamaan gugus-gugus yang terdapat pada masing-masing polimer tersebut.
Perbedaan yang dapat diamati yaitu pergeseran bilangan gelombang dan perubahan
nilai transmitant yang menunjukkan kuantitas dari gugus tersebut di dalam polimer.
Pada masing-masing polimer yang dikarakterisasi terdapat juga gugus-gugus
lain seperti ulur O-H, ulur N-H, ulur C-H, ulur C-O dan ulur C-N. Ulur O-H pada
masing- masing polimer telihat membentuk spektra yang melebar ke bawah sehingga
ulur N-H yang juga berada pada daerah ini tidak dapat diamati. Adanya ulur N-H
dapat diperjelas dengan adanya tekukan N-H pada masing-masing polimer.
Ulur C-O pada polimer-polimer tersebut berasal dari gugus metanol yang
melekat pada rantai polimer. Sedangkan ulur C-H berasal dari rantai utama polimer.
Adanya ulur C-H akan diperkuat dengan tekukan C-H dari metil maupun metilen
pada masing-masing polimer.
Spektra FT-IR dari kitin dan kitosan yang dihasilkan telah menunjukkan
gugus-gugus yang seharusnya ada di dalam polimer kitin dan kitosan. Besarnya
spektra FT-IR dari kitin dan kitosan standar untuk melihat kualitas dari kitin dan
kitosan yang dihasilkan.
Tabel 4.14 Perbandingan spektra FT-IR kitin dan kitosan dengan standarnya
Gugus terkait Kitin standar
(cm-1)
Pada spektrum FT-IR untuk kitosan kepiting yang didapat, terlihat bahwa
masih terdapatnya gugus fungsi C=O. Hal ini sebabkan karena sebenarnya kitin
ataupun kitosan
merupakan ko-polimer N-asetil-D-Glukosamin dan D-Glukosamin. Kitin biasanya
mempunyai derajad deasetilasi kurang dari 10 %. Secara umum derajat deasetilasi
untuk kitosan sekitar 60% dan sekitar 90-100 % untuk kitosan yang mengalami
deasetilasi penuh. (L.H Rahayu, 2007)
4.3.3 Pengaruh kitosan terhadap kadar kolesterol
Penentuan kadar kolesterol dari lemak kambing dilakukan dengan mengekstraksi
lemak terlebih dahulu dengan menggunakan metode Beyer & Jensen. Dimana lemak
tersebut dilarutkan dengan kloroform untuk memisahkan fraksi-fraksi dari lemak
tersebut. Kemudian filtratnya disaponifikasi dengan KOH-alkohol yang bertujuan
untuk memisahkan kolesterol dengan fraksi lemak yang lainnya. Dimana kolesterol
adalah fraksi lemak yang tidak tersabunkan. Kemudian diekstraksi dengan n-heksan
kromatografi gas. Kurva kalibrasi larutan standar kolesterol ( Gambar 4.1 ) dibuat
dengan memvariasikan konsentrasi larutan standar dengan menggunakan persamaan
least square sehingga diperoleh persamaan linear Y = 99.927577 X + 5383.146
Dari hasil penelitian diperoleh kadar kolesterol setelah penambahan 1 gram
kitosan dengan variasi waktu penyerapan 15, 30, 45 dan 60 menit adalah 29,224
(mg/mL); 26,936 (mg/mL); 25,172 (mg/mL) dan 22,376 (mg/mL). Dengan kata lain,
kadar kolesterol setelah penambahan 1 gram kitosan mengalami penurunan sebesar
12,24%; 19,28%; 24,57% dan 32,94% (Tabel 4.10). Kadar koletsreol setelah
penambahan 3 gram kitosan adalah 28,576 (mg/mL); 24,872 (mg/mL); 22,632
(mg/mL) dan 20,844 (mg/mL). Maka dengan penambahan 3 gram kitosan kadar
kolesterol mengalami penurunan sebesar 14,37%; 25,46%; 32,18% dan 37,54% ( tabel
4.11 ).
Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa kadar kolesterol setelah penambahan 5
gram kitosan dengan ariasi waktu perendaman 15, 30, 45 dan 60 menit adalah 22,392
(mg/mL); 21,316 (mg/mL); 19,200 (mg/mL) dan 17,160 (mg/mL). Sehingga kadar
kolesterol mengalami penurunan sebesar 32,89%; 36,12%; 42,46% dan 48,57%. Dan
kadar kolesterol setelah penambahan 7 gram kitosan adalah 23,776 (mg/mL); 22,512
(mg/mL); 21,612 (mg/mL) dan 20,864 (mg/mL). Maka kadar kolesterol mengalami
penurunan sebesar 28,75%; 32,54%; 35,23% dan 37,48% (tabel 4.13).
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa pengaruh penambahan kitosan
sebanyak 1,3 dan 5 gram berpengaruh secara positif terhadap penyerapan kolesterol.
Namun pada penambahan 7 gram kitosan tidak menunjukkan korelasi yang signifikan
terhadap penyerapan kolesterol. Hal ini disebabkan karena larutan yang dihasilkan
setelah penambahan 7 gram kitosan sangat kental sehingga menyebabkan proses
pengadukan menjadi tidak sempurna, mengakibatkan persentasi penyerapannya
4.4 Reaksi
Gambar 4.2 Reaksi deasetilasi kitin menjadi kitosan
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan makan dapat disimpulkan:
1. Isolasi kitin dan kitosan dari 1475 gram cangkang kepiting kering
menghasilkan 15,3% kitin kepiting dan 82,86% kitosan kepiting.
2. Derajat deasetilasi yang dihasilkan untuk kitosan kepiting ini adalah 82,65%.
3. Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh bahwa kadar kolesterol setelah
penambahan kitosan mengalami penurunan. Dengan penambahan 1 gram
kitosan kadar kolesterol menurun sebesar 12,43%; 19,28%; 24,57% dan
32,94%. Pada penambahan 3 gram kitosan , kadar kolesterol menurun sebesar
14,37%; 25,46%; 32,18% dan 37,54%. Untuk penambahan 5 gram kitosan,
kadar kolesterol akan menurun sebesar 32,89%; 36,12%; 4246% dan 48,57%.
Dan dengan penambahan 7 gram kitosan , kadar kolesterol akan menurun
sebesar 28,75%; 32,54%; 35,23% dan 37,48%.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diharapkan pada penelitian selanjutnya
untuk dapat memvariasikan konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi
kitin agar diperoleh kitosan dengan kualitas yang lebih baik. Serta dapat dilakukan