INTERPRETASI MAKNA PERIBAHASA BAHASA JEPANG
YANG TERBENTUK DARI KATA HANA
HANA NO KOTOBA KARA DEKITA KOTOWAZA NO
IMI NO KAISHAKU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
VOLGA RUSNIKO
NIM: 080722005
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
INTERPRETASI MAKNA PERIBAHASA BAHASA JEPANG
YANG TERBENTUK DARI KATA HANA
HANA NO KOTOBA KARA DEKITA KOTOWAZA NO
IMI NO KAISHAKU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana
dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs.Yuddi Adrian Muliadi. MA Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D
NIP.19600827 199103 1 001 NIP: 19580704 1985120 1 001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
PENGESAHAN
Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk
melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra
Jepang
Pada
:
Tanggal
:
Pukul
:
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan
Prof. Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D
NIP.196509091994031004
Panitia Ujian
No. Nama
Tanda Tangan
1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D
(
)
2. Drs. Yuddi Adrian Muliadi. MA
(
)
Disetujui oleh:
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Departeman Sastra Jepang
Ketua Departemen Sastra Jepang,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Interpretasi
Makna Peribahasa Bahasa Jepang” ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena kemampuan penulis yang masih terbatas. Tetapi, berkat bantuan dari
berbagai pihak, maka penulis berhasil menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberi dukungan terutama kepada :
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D selaku Ketua Jurusan Ekstensi
Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Yuddi Adrian Muliadi, M.A selaku Dosen Pembimbing
4. Ibu Rani Arfianty, S.S selaku Dosen Wali
5. Seluruh staf pengajar Jurusan Ekstensi Sastra Jepang Fakultas Sastra
6. Teristimewa kepada keluarga tercinta: Ayahanda Salkoni, Ibunda
Rusdeyti, adinda Vriske dan Trissa
7. Teman-temanku seperjuangan di Ekstensi yang pintar-pintar (khususnya
om puput ma tante..^^v), burikko ku sang oma juli, kakak narsis aka kak
desi, kk melankolis aka kak mila, renita, eka sayang, temen seperjuangan
rombungku tercinta, morin-kun, kak melati, kak hanum, bang Irwan yang
setia mengantar jemput.. hehehe.. angga, makasih semuanya dan
makasih bantuan-bantuannya. Semoga kompak selalu. I have a great
time with all of u.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam Tugas Akhir ini
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata,
kembali penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tugas Akhir ini dapat berguna
bagi kita semua di kemudian hari.
Medan, April 2010
Penulis,
VOLGA RUSNIKO
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
Bab I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah……….. 1
1.2.Perumusan Masalah………. 3
1.3.Ruang Lingkup Pembahasan……… 3
1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………. 4
1.4.1. Tinjauan Pustaka……….. .4
1.4.2. Kerangka Teori………. 5
1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 8
1.5.1. Tujuan Penelitian………. 8
1.5.2. Manfaat Penelitian………... 8
1.6.Metode Penelitian………. 9
BabII PENGKLASIFIKASIAN PERIBAHASA INDONESIA DAN
2.1. Definisi Peribahasa……….. 10
2.1.1. Definisi Peribahasa Indonesia………. 10
2.1.2. Definisi Peribahasa Jepang………..……..…. 10
2.2. Pengklasifikasian Peribahasa………..……. 11
2.2.1. Klasifikasi Peribahasa Jepang………. 11
2.2.2. Klasifikasi Peribahasa Indonesia………..…… 17
2.3. Penjelasan Tentang Hana……….. 21
2.4. Peribahasa Jepang yang Terbentuk dari kata Hana………..…. 24
Bab III INTERPRETASI PERIBAHASA JEPANG YANG TERBENTUK DARI KATA HANA 1. Iwanu ga Hana……… … 28
2. Kirei Hana ni wa Toge ga Aru………. 30
3. Rakka Eda ni Kaerazu……….... 31
4. Hana ni Arashi………... 32
5. Hana yori Dango………... 34
6. Tonari no Hana wa Akai……… 35
8. Hanashi ni Hana ga Saku………38
9. Hana o Sakaseru……….. 38
10. Shinibana o Sakasu……….. 39
11. Ryoute ni Hana………. 40
12. Hana wa Sakuragi Hito wa Bushi……….... 42
13. Hana mo Mi mo Aru………..……… 43
14. Hana Ookereba, Misukunashi……… . 44
Bab IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan………. 46
4.2. Saran……….. . 46
BAB I
PENDAHULUAN
.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia, sebab
bahasa adalah simbol yang mencerminkan jiwa dan keberadaan jiwa dan
manusia dalam masyarakat.
Menurut Poerwadarminta (1983:5), bahasa adalah alat yang digunakan
seseorang untuk melahirkan pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan dalam
perasaan. Ia berfungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
sebagai pemakai bahasa, sehingga saling menginformasikan gagasan dan
perasaannya dari informasi tersebut.
Gorys Keraf (1980:16) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi
antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi, suara yang dihasilkan oleh
alat ucap Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang
digunakan seseorang atau lebih berupa lambang bunyi, suara untuk
menyampaikan informasi sehingga menginformasikan gagasan dan perasaannya.
penyebarannya juga dilakukan secara lisan oleh masyarakat jaman dahulu
untuk menyampaikan suatu pesan.
Harimurti Kridalaksana (1993:169) mengatakan bahwa pribahasa adalah
“Kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun menurun, digunakan untuk
menguatkan maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran atau pedoman
hidup”.
Peribahasa-peribahasa di setiap negara sangat banyak, baik itu dari
Indonesia maupun dari Jepang dan peribahasa diciptakan dari banyak unsur,
baik itu dari manusia, hewan / binatang, benda-benda, tumbuhan, dan lain-lain.
Dari sekian banyak unsur-unsur tersebut, penulis mencoba mengambil unsur
tumbuhan. Dan dari sekian banyak tumbuhan yang dapat dijadikan
peribahasa,penulis akan mengambil bunga ( hana ) untuk dijadikan bahan
skripsi. Penulis merasa tertarik untuk meneliti peribahasa Jepang yang
terbentuk dari kata hana terutama dalam hal persamaan makna dengan
peribahasa Indonesia.
Memahami suatu peribahasa ( kotowaza ) tidaklah mudah, selain banyak
makna kiasan, perbedaan budaya juga merupakan faktor yang membuat adanya
peribahasa tersebut sama. Misalnya dalam buku Daisoo Poketto Jiten Series 5 :
- きれい花には棘がある。
Kirei hana ni wa toge ga aru.
Peribahasa ini mempunyai makna :
“Sesuatu yang sangat baguspun memiliki kekurangan”
Makna peribahasa di atas sama seperti peribahasa Indonesia berikut:
- Mawar yang cantikpun ada durinya
Pada contoh peribahasa di atas, baik dari peribahasa Indonesia maupun
Jepang, keduanya memakai unsur yang sama yaitu tumbuhan ( bunga ) sebagai
unsur utamanya. Bunga umumnya dilambangkan sebagai sesuatu yang indah
dan cantik.
Melihat hal ini, penulis merasa tertarik mempelajari peribahasa yang
terdapat unsur bunga dan menyamakannya dengan peribahasa Indonesia.
Apakah semua peribahasa yang menggunakan kata hana (bunga) di Jepang juga
sama halnya dengan peribahasa di Indonesia. Sehingga penulis terdorong untuk
membuat skripsi yang berjudul : “ Interpretasi Makna Peribahasa Bahasa Jepang
.2. Perumusan Masalah
Peribahasa merupakan salah satu aspek budaya Jepang. Karena jarang
dipakai dalam percakapan sehari-hari, maka peribahasa Jepang sulit dipahami
oleh orang asing. Selain itu juga, terdapat banyak peribahasa yang menggunakan
kata hana dan memiliki makna yang berbeda-beda dan apakah jika
diinterpretasikan ke dalam peribahasa Indonesia maka tetap memakai kata
bunga atau yang lain.
Melihat latar belakang dan penjelasan diatas, maka penulis mencoba
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana makna yang dimiliki oleh peribahasa Jepang yang
terbentuk dari kata Hana ?
2. Sejauh mana pemakaian kata Hana dalam peribahasa Jepang?
3. Seperti apa pemakaian peribahasa bahasa Jepang yang memakai kata
Hana dalam peribahasa Indonesia?
.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Mengingat peribahasa Jepang yang menggunakan kata Hana ada sekitar
yang terbentuk dari kata Hana karena jika penulis membahas ke-35 peribahasa
tersebut, maka ruang lingkup pembahasannya terlalu luas, ke 14 peribahasa
tersebut adalah :
1. Iwanu ga hana
2. Kirei hana ni wa toge ga aru
3. Rakka eda ni kaerazu
4. Hana ni arashi
5. Hana yori dango
6. Tonari no hana wa akai
7. Takane no hana
8. Hanashi ni hana ga saku
9. Hana wo sakaseru
10. Shinibana o sakasu
11. Ryoute ni hana
12. Hana wa sakuragi hito wa bushi
13. Hana mo mi mo aru
Untuk melengkapi pembahasannya, maka dalam penulisan akan
didukung dengan pendapat beberapa para ahli dan contoh penggunaan
peribahasa Jepang dan peribahasa Indonesia tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1. Tinjauan Pustaka
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat efektif antar manusia
yang dipergunakan dalam berbagai macam situasi. Bahasa dapat dimanfaatkan
untuk menyampaikan gagasan pembicara kepada pendengar atau penulis kepada
pembaca ( Sugihastuti, 2000 : 8 ).
Harimurti Kridalaksana ( 1993 : 169 ) menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan peribahasa adalah Kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun
temurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi nasehat,
pengajaran/pedoman hidup.
Menurut Ishida Shooichiroo dalam Dharmayanty ( 1999 : 9 ) :
“Kotowaza wa seikatsu suru no ni sankoo ni naru mijikai kotoba“
kehidupan).
Begitu pula menurut Akiyama Ken dalam Dharmayanty ( 1999 : 9 ) :
“Kotowaza wa oshie ya imashime nado imi o motta mijikai bun“
( Peribahasa adalah kalimat pendek yang mengandung arti nasehat,
peringatan dan lain sebagainya).
Sedangkan menurut Kunimatsu Shooichi dalam Dharmayanty ( 1999 : 10 ) :
“Kotowaza wa furuku kara hito bito ni ii nara wa sareta kotoba, kyookun,
fuushi,nado no imi o fukumi, jinsei no shinjitsu o ugatsu mono ga ooi”
( Peribahasa adalah kalimat yang disebarluaskan melalui adapt kebiasaan
oleh masyarakat sejak lama, isinya banyak mengandung pengajaran, sindiran,
kebenaran dalam kehidupan manusia dan lain sebagainya).
Hayashi Shinobu juga mengungkapkan pernyataan yang sama tentang
peribahasa Jepang :
“Kotowaza wa hito bito no seikatsu no chie kara umarete kita. Kyookun ya
hihan o fukumu mijikai kotoba”
(Peribahasa adalah kalimat pendek yang lahir dari pemikiran kehidupan
masyarakat, mengandung isi kritikan, pengajaran dan lain sebagainya).
Kotowaza atau Peribahasa adalah kalimat pendek yang mengandung nasehat,
kritik, peringatan, sindiran, ajaran, kebenaran dan lain sebagainya dalam
kehidupan manusia yang disebarluaskan melalui adat kebiasaan masyarakat
setempat.
1.4.2.Kerangka Teori
Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotik. Kata
semiotik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Semion yang berarti tanda.
Semiotik adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses
yang berlaku bagi penggunaan tanda ( Van Zoest, 1993 : 1 ).
Luxemberg (1992:46) menjelaskan bahwa semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem lambang dan proses
perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial
ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Menurut Pradopo ( 2001:7 ) semiotik adalah ilmu yang mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konveksi-konveksi yang memungkinkan
Van Zoest (1996:5) juga mengungkapkan bahwa semiotika adalah studi
tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, baik itu cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Beberapa pakar pernah mengatakan bahwa “ Dalam telaah bahasa,
seperti halnya dalam telaah sistem lainnya, tidak ada istilah atau terminologi
yang netral : setiap istilah teknis merupakan pengekspresian asumsi-asumsi atas
perkiraan-perkiraan teoritis dar para pemakainya (Tarigan, 1986:110).
Semiotika sebagai ilmu yang mempelajari lambang-lambang sangat
berhubungan erat dengan hal yang dijadikan lambang. Di kehidupan sehari-hari,
lambang digunakan dalam berkomunikasi. Lambang yang sudah umum dikenal
di seluruh dunia dan telah mendapat kesepakatan semua orang adalah
lambang-lambang lalu lintas. Tapi ada juga lambang-lambang di beberapa
Negara yang menggunakan hewan atau tumbuhan untuk menggambarkan
sesuatu. Misal, singa atau beruang yang melambangkan orang yang kuat, ular
sebagai orang yang licik, kuda sebagai orang yang bijak, bunga untuk
melambangkan sesuatu yang indah, dan lain sebagainya.
1985:156). Di dalam peribahasa terkandung bukan hanya makna kamus, tetapi
juga makna majasi, bukan saja arti kata-kata yang sebenarnya tetapi juga arti
kiasan, yang merupakan garapan semantik dan juga pengajaran semantik
(Henry Guntur Tarigan, 1984:7).
Semiotik mencakup tiga bidang, yaitu :
a. Sintaksis, yang menelaah tentang hubungan-hubungan formal antara
tanda-tanda yang satu dengan yang lain.
b. Semantik, menelaah hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang
merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut.
c. Pragmatik, menelaah tentang hubungan tanda-tanda dengan para
penafsiran atau interpretor.
Dari ketiga bidang di atas, peribahasa masuk ke dalam bidang semantik.
Dalam semantik, digunakan berbagai macam jenis makna. Sebuah kata disebut
mempunyai makna konotasi apabila kata itu memiliki nilai rasa, baik itu positif
maupun negatif (Chaer, 1995:65). Di dalam sebuah peribahasa, terkandung
bukan hanya makna kamus, tetapi juga makna majas, bukan hanya arti
sebenarnya, tetapi juga makna kiasan yang merupakan bagian dari semantik.
ke teori Hayashi Shinobu tentang peribahasa, yakni : “ Kotowaza wa hitobito no
seikatsu ni chie kara umarete kita, kyookun ya hihan o fukumu mijikai kotoba”
“ Peribahasa adalah kalimat pendek yang lahir dari pemikiran kehidupan
masyarakat, mengandung isi, kritikan, pengajaran dan lain sebagainya”. Penulis
juga menggunakan pendekatan makna idiomatik. Idiom juga merupakan
pengembangan segi petanda (makna atau isi dari suatu benda) oleh pemakai
tanda sesuai dengan sudut pandangnya menggunakan teori tanda. Oleh karena
itu penulis akan menggunakan teori semiotik, semantik dan idiomatik dalam
menyelesaikan penelitian ini.
1.5. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui makna yang dimiliki oleh peribahasa Jepang yang
terbentuk dari kata Hana.
2. Untuk mengetahui pemakaian kata Hana dalam peribahasa bahasa
Jepang.
peribahasa Jepang yang memakai kata Hana.
1.5.2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis sendiri adalah sebagai sarana untuk memperdalam
pengetahuan dan wawasan mengenai makna peribahasa Jepang yang
menggunakan kata Hana.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa sastra dan bahasa Jepang pada khususnya mengenai makna
dari peribahasa yang terbentuk dari kata Hana.
3. Diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi peneliti
selanjutnya yang ingin membahas tentang interpretasi makna peribahasa
yang menggunakan atau terbantuk dari kata Hana.
1.6. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
metode yang membicarakan kemungkinan untuk memecahkan masalah yang
actual dengan cara mengumpulkan data, menganalisa, dan
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara menghimpun data dari berbagai literature, baik dari
buku-buku yang berhubungan dengan peribahasa Jepang secara langsung
maupun buku-buku lain yang membahas masalah tentang makna peribahasa
Jepang yang menggunakan kata Hana.
Pengumpulan data didapat dari perpustakaan Universitas Sumatera
Utara, Perpustakaan Sastra, situs-situs Internet dan Konsulat Jepang.
PENGKLASIFIKASIAN PERIBAHASA INDONESIA
DAN PERIBAHASA JEPANG
2.1. Definisi Peribahasa
2.1.1. Definisi Peribahasa Indonesia
Beberapa macam pengertian peribahasa :
• “ Peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun
temurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi
nasehat, pengajaran atau pedoman hidup” (Harimurti Kridalaksana,
1993:169).
• “ Peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap
susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu”
(Poerwadarminta, 1976:738)
• “ Peribahasa adalah kalimat ringkas yang berisi perbandingan, nasehat,
prinsip hidup dan tingkah laku” ( Lukman Ali, 1995:755 )
2.1.2. Definisi Peribahasa Jepang
ialah :
• Menurut Hayashi Shinobu dalam Dharmayanti (1999:10), mengatakan
bahwa:
“ Kotowaza wa hitobito no seikatsu ni chie kara umarete kita, kyookun ya
hihan o fukumu mijikai kotoba”
“ Peribahasa adalah kalimat pendek yang lahir dari pemikiran kehidupan
masyarakat, mengandung isi, kritikan, pengajaran dan lain sebagainya”.
• Kindaichi Haruhiko dalam Dharmayanti (1999:10) mengatakan bahwa :
“ Kotowaza wa seken ni hiroku iinasawasarete kita kotoba de, kyookun ya
fuushi nado o fukunda chiku”
“ Peribahasa adalah kalimat yang disebarluaskan melalui adat kebiasaan
dalam masyarakat yng isinya mengandung pengajaran, sindiran, dan lain
sebagainya”.
• Kunimatsu Shooichi dalam Dharmayanti (1999:10) mengatakan bahwa :
“ Kotowaza wa furuku kara hito bito ni iinarawasareta kotoba, kyookun,
fuushi nado no imi o fukumi, jinsei no shinjitsu o ugatsu mono ga ooi”
“ Peribahasa adalah kalimat yang disebarluaskan melalui adat kebiasaan
sindiran, kebenaran dalam kehidupan manusia dan lain sebagainya”
• Akiyama Ken dalam Dharmayanti (1999:9) mengatakan bahwa :
“ Kotowaza wa oshie ya imashime nado imi o motta mijikai bun “
“ Peribahasa adalah kalimat pendek yang mengandung arti nasehat,
peringatan dan lain sebagainya”
• Sedangkan Shooichiro dalam Dharmayanti (1999:10) mengatakan bahwa :
“ Kotowaza wa seikatsu suru no ni sankoo ni naru mijikai kotoba”
“ Peribahasa adalah kalimat pendek yang berguna dalam kehidupan”
2.2. Pengklasifikasian Peribahasa
2.2.1. Klasifikasi Peribahasa Jepang
Morikuni Honami menjelaskan bahwa peribahasa Jepang digolongkan
berdasarkan Naiyou (isi), yaitu :
a. Jinsei no oshie ya shinri o arawashita ( Menunjukkan kebenaran dan
ajaran kehidupan manusia )
Contoh :
- Jinji o tsukushite tenmei o matsu
( Kalau sudah melakukan sesuatu serahkanlah hasilnya kepada Tuhan)
- Tabi wa michizure yo wa nasake
“Se no naka o ikite iku ni wa, tagaini omoiyari no kokoro o motsu koto ga
taisetsu da to iu koto”
( Bagi orang yang hidup di dunia ini mempunyai perasaan simpati antara
satu dengan yang lain adalah hal yang sangat penting )
b. Seikatsu no cishiki ya chie o tataite wataru (Menunjukkan pemikiran
dan pengetahuan tentang kehidupan )
Contoh :
- Ishi hashi o tataite wataru
“Hijouni youjinbukai to iu koto”
( Sangat hati-hati )
- Gei wa mi o tasukeru
“ Narai oboeta gei ga, seikatsu ni yakudatta to iu koto”
( Keahlian yang tanpa sengaja teringat karena seringnya latihan,
sangat berguna dalam kehidupan )
c. Hito o hihan shitari hinikuttari shita mono ( Isinya menyindir atau
Contoh :
- Udo no taiboku
“Karada bakari ookikute, yaku ni tatanai koto”
( Badannya saja yang besar tapi tidak ada gunanya )
- Namakemono no sekku hataraki
“Fudan, namakete iru hito wa, hoka no hito ga yasunde iru toki,
hataranakereba naranaku naru mono de aru”
( Biasanya orang yang malas harus bekerja pada saat orang lain libur )
d. Monogoto no yoosu o omoshiroku tatoeta mono ( Perumpamaan atau
kiasan yang menarik tentang keadaan suatu hal )
Contoh :
- Donguri no sei kurabe
“Dore mo onaji youni heibon de, tokubetsu ni nukideta mono ga naku,
amari kawaranai to iu tatoe”
( Perumpamaan yang menyatakan bahwa yang manapun sama saja,
tidak ada bedanya, tidak ada yang istimewa )
- Hana yori dango
houga ii to iu koto”
( Rasanya lebih baik makan buah yang sudah matang daripada
menikmati pemandangan indah )
Sedangkan Hirayama Teruo menjelaskan bahwa peribahasa Jepang
digolongkan berdasarkan Bunkei (bentuk kalimat) dan Hyougen (cara
pengungkapan), yaitu :
• Berdasarkan Bunkei ( bentuk kalimat ) :
a. ( nani wa dou ) no jojutsu keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk
deskripsi ‘nani wa doo’ )
Contoh :
- Kaeru no ko wa kaeru
“ Heibonna hito no ko wa, yahari heibon da to iu tatoe”
( Anak orang biasa biasanya disebut juga sebagai orang biasa )
- Oya ni niku ko wa oniko
“ Ko wa kanarazu oya ni niru mono de, moshi nitenakereba ningen no ko
dewanaku, oni no ko da to iu koto “
( Seorang anak pasti mirip orangtuanya sehingga bila ada anak yang
b. ( nani seyo ) no meirei keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk
perintah ‘nani seyo’ )
Contoh :
- Zen wa isoge
“ Yoi koto ga ki ga kawattari jama ga haittarishinai uchi ni hayaku shita
houga yoi koto”
( Hal yang baik akan lebih baik bila segera dilakukan, selama tidak
mengganggu atau membuatnya jadi berubah pikiran )
- Nana tabi sagashite hito o utagae
“ Mono ga miataranai toki wa tannin ni nusumareta node wa nai ka to
utagau mae ni, jibun de nando demo nen o irete agasu koto,
karugarushiku hito o utagatte wa ikenai to iu imi “.
( Pada saat kita kehilangan barang, sebelum kita mencurigai orang
yang mengambilnya, kita harus mencarinya berulang-ulang dengan
teliti, jangan mencurigai orang dengan sembarangan).
c. ( nani sureba nani ) no jouken keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk
pengandaian bersyarat ‘nani sureba nani’ )
- Uwasa o sureba kage ga sasu
“ Kage de hito no uwasa o suru to,sono hito ga guuzen ni kuru to iu koto”
( Kalau menggosipkan orang secara diam-diam, maka orang yang
digosipkan akan muncul secara tiba-tiba )
- Mateba kanro no hiyori
“ Yukkuri akiramezuni matte ireba kanarazu chansu ga yatte kuru to iu
koto”
( Bila menunggu tanpa rasa putus asa, kesempatan itu pasti akan
datang )
d. ( nani to nani ) no heiretsu keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk
menderetkan ‘nani to nani’ )
Contoh :
- Tsuki to suppon
“ Futatsu no mono ga mitame wa nite iru ga, nakami wa kake hanarete
ite, hidoku chigatte iru koto no tatoe”.
( Dua barang yang kelihatannya sama ternyata berbeda di dalamnya,
e. ( nani yori nani ) no hikaku keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk
perbandingan ‘nani yori nani’ )
Contoh :
- Kame no koo yori toshi no koo.
“ Nechousha no nagai aida no keiken wa totemo tootoi mono da to iu
koto”
( Pengalaman hidup orang yang usianya jauh lebih tua ternyata sangat
berharga ).
- Iroke yori kuike.
“ Sukina hito no koto o omou yori, sukina mono o houga saki da to iu
koto”
( Lebih mengutamakan makan makanan yang disukai daripada
melamunkan orang yang disukai )
• Berdasarkan Hyougen (cara pengungkapan) :
a. Gaisu denaku, gutai tekina sushi o mochi iru ( Menggunakan kata
bilangan konkrit, bukan hanya angka perkiraan )
Contoh :
“ Juu nin yoreba juu nin kao chigau youni, kangaetakata ya seishitsu ga
chigau koto”
( Bila ada sepuluh orang yang berbeda bentuk mukanya, maka akan ada
sepuluh cara pikir dan karakter yang berbeda pula )
- Momokuri san nen kaki hachi nen
” Nani goto no mono ni naru made ni wa, sorenari no jikan ga hitsuyou ti
iu koto “
( Sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat, waktu yang masih ada
itu merupakan sesuatu hal yang penting )
b. Kochouhou ( Cara menyatakan yang berlebihan )
Contoh :
- Suzume hayaku made odori wasurenu
“ Chiisai toki ni, mi ni tsuketa koto wa, toshi o totemo wasurenai mono
da to iu koto “
( Hal yang melekat di diri pada masa kecil, merupakan hal yang tidak
dapat dilupakan meskipun sudah tua )
- Abata mo ekubo
( Bila mata yang berpihak pada cinta, maka hal yang jelekpun terlihat
bagus )
c. Taihihou ( Perbandingan yang kontras )
Contoh :
- Awasemono wa hanaremono
“ Ningen no nikutai wa chisuikafuu ga gattai shite dekita mono de aru
kara, mata moto no shiso ni kangen suru koto “
( Karena jasmani manusia terbuat dari kombinasi tanah, air, api dan
udara, maka tubuh dapat mereduksi/memecahkan keempat bahan
dasar tersebut )
- Rongo yomo no rongo shirazu
“ Hon o yonde, bunshoo toshite wa wakatte ite mo jikko ga dekinai koto
no tatoe “
( Meskipun baca buku dan mengerti setiap kalimatnya, tetapi dalam
pelaksanaannya tetap tidak bisa )
d. Shouryakuhou (osoroshii mono wa) ( Cara penyingkatan hal-hal yang
mengerikan / menakutkan )
- Jishin, kaminari, kaji, oyaji
“ Kowai mono no junjo o itta mono “
( Adanya urutan tentang hal-hal yang mengerikan )
2.2.2. Klasifikasi Peribahasa Indonesia
Sejak dari zaman nenek moyang, bangsa Indonesia sering menggunakan
peribahasa dalam percakapan sehari-hari. Pengertian peribahasa itu sendiri
menurut Kosasih ( 2004:21) adalah kalimat atau kelompok perkataan yang
tetap susunannya dan biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu.
Dewasa ini banyak orang yang tidak mengetahui lagi arti sebuah
peribahasa, padahal peribahasa adalah kekayaan bahasa kita yang perlu kita
pelihara baik-baik. Memang ada peribahasa yang sudah menghilang, yang sudah
tidak dijumpai lagi dalam percakapan sehari-hari, tetapi masih banyak pula yang
bertahan (Zakaria & Syofyan, 1984:7 )
Peribahasa menurut Kosasih terbagi tiga, yaitu pepatah, perumpamaan
dan idiom. Berbeda dengan Soedjito, yang membagi peribahasa menjadi empat
yaitu pepatah, perumpamaan, ungkapan (idiom), dan pemeo.
Pepatah adalah jenis peribahasa yang mengandung nasehat atau ajaran
(E Kosasih 2004:22). Poerwadarminta mengungkapkan bahwa Pepatah adalah
sejenis peribahasa yang berasal dari orang-orang tua,biasanya mengandung
nasehat.
Contoh :
- Datang tampak muka, pulang tampak punggung
( Datang dengan baik, pergipun dengan baik pula )
- Sepala-pala mandi biar bersih
( Mengerjakan sesuatu hendaknya sempurna, jangan
setengah-setengah)
- Pagar makan tanaman
( Yang berkewajiban memelihara malah merusaknya )
- Ikut hati mati, ikut rasa binasa
( Barang siapa menurutkan hawa nafsu, tentu akan hancur )
b. Perumpamaan
Perumpamaan adalah peribahasa yang berupa perbandingan. Ciri
utamanya adalah adanya kata bagai, laksana, seperti, bak, seumpama, umpama,
Contoh :
- Bagai air di daun alas
( Orang yang tidak tetap pendiriannya )
- Laksana bunga mendapat bunga
( Orang yang tidak dapat menghargai sesuatu yang patut dihargai )
- Seperti kejatuhan bulan
( Mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangaka )
- Bagai membekali budak lari
( Merugi dua kali)
- Bak pohon bambu ditiup angina
( Baik tingkah lakunya, teguh pendiriannya, tidak mudah
terpengaruh )
- Umpama memerah nyiur, santan diambil, ampas di buang
( Jangan segala kelakuan orang atau perkataan orang ditiru begitu
saja, hendaklah dipilih mana yang patut ditiru mana yang tidak )
c. Idiom
Idiom adalah ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frase) yang
membentuknya ( Soedjito, 1992:41 ).
Idiom terbuat dari berbagai macam unsur. Misal :
a. Idiom dengan unsur warna
Contoh : Darah biru Keturunan bangsawan
Masih hijau Belum berpengalaman
Merah padam Marah, murka
Lapangan hijau Lapangan sepak bola
b. Idiom dengan unsur tumbuhan
Contoh : Naik daun Terkenal
Sebatang kara Hidup sendiri
Batang air Sungai
Bunga desa Gadis tercantik di desa
c. Idiom dengan unsur bilangan
Contoh : Mendua hati Ragu-ragu, selingkuh
Setengah hati Tidak sungguh-sungguh
Berbadan dua Hamil, mengandung
Setengah masak Belum matang/ belum sempurna
Contoh : Kambing hitam Orang yang dipersalahkan
Buaya darat Orang yang gemar perempuan
Tenaga badak Kuat sekali
Kepala udang Bodoh
Cinta monyet Cinta saat masih anak-anak
e. Idiom dengan unsur alam
Contoh : Kabar angin Gosip, desas-desus
Dibumihanguskan Dihancurkan
Angin baik Harapan baik
Diberi angin Diberi harapan
f. Idiom dengan unsur bagian tubuh
Contoh : Kulit badak Tidak tahu malu
Bertekuk lutut Kalah dan menyerah
Tutup mulut Diam, Bungkam
Panjang tangan Pencuri
g. Idiom dengan unsur indera
Contoh : Pengalaman pahit Pengalaman yang menyedihkan
Menadah matahari Melawan orang yang berkuasa
Makan tanah Miskin sekali
d. Pemeo
Pemeo adalah sejenis peribahasa yang di jadikan semboyan (Soedjito,
1992:41).
Contoh :
- Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Seia sekata, senasib sepenanggungan
- Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit
Ilmu atau harta yang dikumpulkan sedikit demi sedikit pada
akhirnya akan menjadi banyak juga.
- Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan
gading.
Orang yang baik budi dan baik pula tingkah lakunya, meskipun telah
mati namanya akan tetap akan dikenang selalu.
2.3. Penjelasan Tentang Hana
unsur, salah satunya adalah dari unsur tumbuhan. Dari sekian banyak
tumbuhan yang ada, penulis memfokuskan pembahasan peribahasa pada unsur
bunga atau hana. Karena pembahasan peribahasa ini hanya meneliti tentang
peribahasa yang terbuat dari kata hana, maka penulis akan mencoba
menjelaskan beberapa pengertian tentang hana.
Poerwadarminta (1983:165) menjelaskan bahwa bunga adalah bagian
tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan sedap baunya.
Hamzah dan Nanda (1996:69) mengungkapkan bahwa bunga adalah
bagian tumbuhan yang menempel pada ranting dan merupakan bakal buah yang
warnanya elok berwarna-warni dan mengeluarkan aroma.
Secara universal, bunga umumnya dilambangkan sebagai perlambang
keindahan, dan cinta kasih. Sejak kecil, di kelompok bermain, taman
kanak-kanak, sekolah dasar, para guru sudah banyak mengajarkan betapa
indahnya bunga yang mampu mengungkapkan berbagai perasaan. Misalnya di
Indonesia, anak-anak sudah biasa mendengar syair tentang bunga. Misal:
Lihat kebunku penuh dengan bunga Ada yang merah dan ada yang putih Setiap hari kusiram semua
pembuatan lagu, puisi, bahkan peribahasa. Bahkan bunga bisa dijadikan media
batin secara universal. Seperti ketika menyambut tamu, menghibur orang sakit,
ucapan selamat bagi yang mendapat keberuntungan seperti kelahiran anak,
ulang tahun, kenaikan jabatan, bahkan bunga juga dapat menyampaikan bela
sungkawa, keprihatinan bahkan kesetiakawanan, dan hal ini berlaku di seantero
dunia.
Bunga bisa tampil dalam sekuntum, rangkaian, sepot, segerombol,
sekehendak penggunanya dan sesuai pula dengan suasana yang ingin dicapai
pemilik atau penggunanya. Bunga bisa beradaptasi dengan alam. Ia bisa tampil
di sela bebatuan, menempel di kayu lapuk, di arang sekam, potongan pakis,
hidup di daun kering dan ranting kayu usang, di atas-atas pohon, di terik
matahari, di teras-teras rumah bahkan di ruang tamu.
Bunga hadir dengan kreasi dan inovasi tangan manusia yang
menjadikan aneka warna dan tekstur daun, tangkai daun, serat daun yang
bermacam rupa. Manusia mengawinsilangkan berbagai macam bunga sehingga
memunculkan rupa baru.
Di Jepang, bunga banyak digunakan dalam kegiatan ikebana ( atau
merangkai bunga. Ikebana memanfaatkan berbagai macam bunga,
rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya.
Asal-usul ikebana adalah tradisi mempersembahkan bunga di kuil Buddha di
Jepang. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha
di Jepang di abad ke-6. Di Jepang, ada sekitar 2000-3000 sekolah ikebana.
Di dalam ikebana, terdapat berbagai macam aliran yang masing-masing
mempunyai cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Aliran
tertentu mengharuskan orang melihat rangkaian bunga tepat dari bagian depan,
sedangkan aliran lain mengharuskan orang melihat rangkaian bunga yang
berbentuk tiga dimensi sebagai benda dua dimensi saja. Aliran yang paling besar
adalah ikenobo yang sudah memiliki jutaan murid.
Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari
barat (flower arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang
secara tiga dimensi dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.
Selain ikebana, jika berbicara tentang bunga jepang, maka bunga
Jepang identik dengan sakura. Sakura adalah bunga nasional Jepang. Bagi orang
Jepang sakura adalah bunganya bunga. Orang Jepang tidak hanya menyukai
semua pohon dipenuhi oleh bunga berwarna pink atau putih. Sakura-yu, sebuah
teh herbal yang menggunakan daun bunga sakura, juga dihidangkan pada saat
pernikahan dan perayaan-perayaan lainnya. Tetapi, bunga sakura juga tidak
hanya menampilkan sisi baik saja, ada juga sisi buruk yang diilhami dari bunga
sakura.
Pada jaman samurai dulu, tidak ada cara kematian yang terhormat
kecuali dengan cara mati di medan perang seperti kehancuran sakura. Dalam
kabuki, bunga sakura menjadi pertanda monster yang mengamuk atau bencana
yang berada di ambang pintu. Pada saat mekar, bunga sakura hanya bertahan
selama tujuh hari dan sakura sangat mudah gugur jika tertiup angin yang
kencang, jika dilihat sekilas seperti melambangkan kecantikan yang sifatnya
sementara.
2.4. Peribahasa Jepang yang Terbentuk dari Kata Hana
Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, peribahasa di bentuk
dari berbagai macam unsur, salah satunya adalah tanaman. Tanaman yang
dijadikan peribahasa dapat berupa bunga, rumput, kayu, dahan, pohon, dan lain
penulis memilih bunga atau hana sebagai unsur utama peribahasa Jepang dalam
penelitian ini.
Setelah penulis membaca beberapa referensi, maka penulis menemukan
setidaknya ada sekitar 35 peribahasa yang terdapat unsur bunga di dalamnya.
Dari ke-35 peribahasa tersebut penulis hanya membahas 14 peribahasa saja.
Berikut penjelasan singkat mengenai makna dari ke 14 peribahasa tersebut :
1. Iwanu ga hana ( tidak berbicara adalah bunga)
口に出してはつきりというより、言わないほうが趣があてよいということ。 “Kuchi ni dashite wa tsukiri to iu yori, iwanai houga omomuki ga ate yoi to iu koto”.
‘Ada sesuatu hal atau maksud yang sebaiknya tidak dikatakan daripada keluar jelas dari mulut’.
2. Kirei hana ni wa toge ga aru (di bunga yg cantik ada duri)
この世界でかんせいものはない。 “Kono sekai de, kansei mono wa nai”
‘Tidak ada yang sempurna di dunia ini’
3. Rakka eda ni kaerazu (bunga yang jatuh tidak kembali ke ranting/cabang)
いったんこわれた男女の仲は、もう二度と、もとに戻ることはないというたと
え地に散り落ちた花はもとの枝に返ることはできないし破(わ)れた鏡は再び
物をはやすことができないの意から。
no i kara”.
Ada saatnya pria dan wanita bertengkar/pisah, walaupun sudah dicoba untuk kedua kalinya, tetap tidak dapat kembali (disatukan kembali) seperti bunga yang sudah jatuh ke tanah tidak akan dapat kembali ke dahan, sama juga seperti tidak dapat memakai lagi cermin yang sudah pecah’.
4. Hana ni arashi ( kumpulan awan di bulan,badai di bunga)
よい事にはとかく障害がはいりやすいものだと言うこと。
“Yoi koto ni wa tokaku shougai ga hairi yasui mono da to iu koto”.
‘Halangan/ rintangan cenderung akan muncul/mengikuti walau di saat terindah sekalipun’.
5. Hana yori dango (lebih baik kue daripada bunga)
花の美しさに心満たされるより、実を取って腹が満たされる方がいい、という
こと。外見より内容だということ。
“Hana no utsukushisa ni kokoro mitasareru yori, jitsu o totte onaka/hara ga mitasareru hou ga ii,to iu koto. Gaiken yori naiyou da to iu koto”.
‘Sebenarnya, lebih baik mengisi perut daripada mengisi hati (menentramkan hati) dengan melihat bunga yang cantik. Isi lebih baik daripada penampilan luar’.
6. Tonari no hana wa akai (bunga di sebelah lebih merah)
他人の物は自分の物より何でもよく見えて、うらやましく思えることと言う。 “Tannin no mono wa jibun no mono yori nan demo yoku miete, urayamashiku omoeru koto to iu”.
‘Berpikir iri karena selalu melihat barang orang lain lebih bagus dari punyanya sendiri’.
高嶺に咲いた花は、どれほど望んでもみるだけで手にいれることのできないこ
とのたとえ。
“Takane ni saita hana wa, dore hodo nozonde mo miru dake de te ni ireru koto no dekinai koto no tatoe”.
‘Bagai bunga yang mekar dipuncak yang tinggi, orang yang melihat cita-cita yang sangat tinggi tapi tidak dapat diraih’
8. Hanashi ni hana ga saku ( untuk berdiskusi/berbicara bunga mekar)
咲かんに議論すること。 “Sakan ni giron suru koto”.
Berdiskusi dengan semangat
9. Hana wo sakaseru (bunga mekar/berbunga)
事業にせいこうする。 ”Jigyou ni seikou suru”.
Mendapat kesuksesan
10. Shinibana o sakasu (bunga mati tidak akan mekar)
立派に死ぬことによって、死んだあとほめたたえられること。死によって生前
にもましたえいようを得ることをいう。
“Rippani shinu koto ni yotte, shinda ato hometataerareru koto. Shini yotte seizen ni mo mashita eiyou wo eru koto o iu”.
‘Menurut orang Jepang, cara mati yang mengesankan adalah setelah meninggal ia mendapat pujian. Menurut kematian, memperoleh kehormatan selama masa hidup.’
が二人の美しい女性をひとり占めすることのたとえ。
“Utsukushii mono ya subarashii mono o futatsu douji ni te ni ireru koto. Toku ni, hitori no dansei ga futari no utsukushii josei o hitori shimesuru koto no tatoe”.
‘Sesuatu yang cantik dan menakjubkan di dapat dalam waktu yang bersamaan. Khususnya, seorang laki-laki yang mendapat dua wanita cantik’.
12. Hana wa sakuragi hito wa bushi ( bunga adalah sakura, orang adalah bushi/samurai)
花の中では桜、人では武士が最高だということ。その散りぎわの潔さをほめた
言葉。
“Hana no naka dewa sakura, hito dewa bushi ga saikou da to iu koto. Sono chiri giwa no isagayosa o hometa kotoba”.
‘Bunganya bunga adalah sakura, masyarakat yang tingkatnya paling tinggi adalah bushi. Keguguran/ kejatuhan oleh kemurnian, merupakan suatu pujian’.
13. Hana mo mi mo aru ( Bunga ada buahpun ada )
外見が美しいだけでなく、内容も充実していること。
”Gaiken ga utsukushii dake de naku, naiyou mo juujitsushite iru koto”.
‘Tidak hanya penampilan luarnya saja yang cantik, tetapi juga penuh dengan isi’.
14. Hana ookereba, misukunashi (banyak bunga, sedikit buah)
花の多い木には、実があまりならないということ。またみかけのよい人には真
実が少ないということ。
orang yang tampak dari luar terlihat baik belum tentu benar’.
BAB III
INTERPRETASI PERIBAHASA JEPANG YANG TERBENTUK
DARI KATA HANA
Peribahasa yang menggunakan kata hana dalam kotowaza memiliki banyak
makna. Setelah penulis menganalisa referensi yang ada pada Bab II, maka
penulis akan mencoba menguraikan arti peribahasa jepang yang terbentuk dari
kata hana serta makna peribahasa tersebut jika dilihat dari peribahasa
Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Peribahasa Indonesia yang menjadi padanan dari peribahasa Jepang yang
menggunakan kata hana, tidak selalu padanan peribahasanya menggunakan
kata hana juga, melainkan memakai unsur lain yang berupa tanaman juga
ataupun benda-benda lain yang mempunyai arti hampir sama dengan
peribahasa tersebut.
Berikut ini penulis akan menginterpretasikan ke 14 peribahasa Jepang
Indonesia.
3.1. Iwanu ga hana
Iwanu ga hana Tidak berbicara bunga
Peribahasa Iwanu ga hana ini memiliki arti :
口に出してはつきりというより、言わないほうが趣があてよいということ。
“Kuchi ni dashite wa tsukiri to iu yori, iwanai houga omomuki ga ate yoi to
iu koto”, yang memiliki arti ‘Ada sesuatu hal atau maksud yang sebaiknya
tidak dikatakan daripada keluar jelas dari mulut’.
Padanan peribahasa Iwanu ga hana dalam peribahasa Indonesia
adalah ‘Diam itu emas’. Peribahasa ini digunakan ketika seseorang
seharusnya berhati-hati dengan apa yang akan diucapkan. Bisa juga bila
seseorang tidak yakin bahwa yang dibicarakan itu dibutuhkan oleh lawan
bicara, sebaiknya orang tersebut diam saja atau dengan kata lain daripada
bicara yang tiada arti, tiada makna, tiada guna dan malah menambah
keruh suasana, akan lebih baik kalau diam saja.
menimbulkan kerugian pada semua pihak.
Orang Jepang menggunakan kata hana karena orang Jepang
menghargai bunga, bunga adalah sesuatu yang indah dan anggun dan
bunga dilihat dalam diam tetap menentramkan jiwa yang melihatnya.
Di Indonesia menggunakan kata ‘emas’. Emas adalah barang tambang
yang memiliki nilai jual yang tinggi dan biasanya digunakan untuk
perhiasan dan pernak-pernik lainnya. Penulis menilai bahwa diam itu sama
dengan emas dikarenakan bahwa daripada merusak suasana atau
memperkeruh keadaan, lebih baik atau berharga jika diam saja.
Masyarakat Indonesia umumnya lebih mementingkan nilai daripada
estetika seni atau keindahan. Berbeda dengan orang Jepang, masyarakat
Indonesia kurang tertarik dengan keindahan (dalam hal ini adalah bunga),
lebih mementingkan harga atau nilai.
Contoh penerapan peribahasa ini di kehidupan sehari-hari adalah
ketika keadaan disekitar sedang ada masalah, jika tidak tau apa-apa
sebaiknya tidak mengatakan apapun, karena belum tentu apa yang kita
bicarakan akan membantu suasana, bisa saja malah semakin memperkeruh
kita tidak tahu siapa malingnya dan siapa saja yang keluar masuk dari
kamar yang kemalingan, sebaiknya kita tidak asal bicara, karena bisa saja
apa yang kita ucapkan malah membuat seseorang tertuduh atau
menyebabkan satu sama lain saling tuduh.
3.2. Kirei hana ni wa toge ga aru
Kirei hana ni wa toge ga aru
Cantik bunga duri ada
Peribahasa Jepang Kirei hana ni wa toge ga aru memiliki arti sebagai
berikut :
この世界でかんせいものはない。
“Kono sekai de, kansei mono wa nai”, yang artinya ‘Tidak ada yang
sempurna di dunia ini’
Padanan peribahasa Kirei hana ni wa toge ga aru dalam peribahasa
Indonesia adalah ‘Bunga yang cantikpun berduri’. Bisa dibilang bunga
adalah bentuk yang sempurna karena bunga adalah tanaman yang cantik,
elok warnanya dan harum baunya, namun bunga tersebut memiliki
kelemahan, yaitu memiliki duri yang mampu melukai siapa saja yang
Peribahasa ini mengartikan bahwa sesempurnanya manusia, pasti
memiliki kelemahan tersendiri. Tidak ada manusia yang sempurna. Pada
peribahasa Indonesiapun memakai kata bunga dalam menyebutkan
bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Peribahasa lain yang sepadan
dengan kirei hana ni wa toge ga aru adalah ‘Tak ada gading yang tak retak’ .
Gading adalah taring panjang yang dimiliki gajah yang terdapat diantara
belalai. Gading dipakai gajah untuk berkelahi dan merubuhkan sesuatu.
Gading gajah sangat keras, tetapi sekeras-kerasnya gading, gading tersebut
akan retak juga, bisa karena perkelahian dengan gajah lain bisa juga
karena usia.
Contoh peribahasa ini di kehidupan sehari-hari adalah ketika
menemui gadis yang cantik, kaya, berbadan bagus tetapi memiliki tabiat
yang kurang bagus, seperti suka keluar malam, merokok dan lain
sebagainya. Ada orang yang parasnya rupawan tapi otaknya dangkal, ada
orang yang parasnya rupawan dan pintar tapi mempunyai kelainan seksual,
misal, homo atau lesbi, dan lain sebagainya.
3.3. Rakka eda ni kaerazu
Peribahasa Jepang Rakka eda ni kaerazu memiliki arti sebagai berikut :
いったんこわれた男女の仲は、もう二度と、もとに戻ることはないというたと
え地に散り落ちた花はもとの枝に返ることはできないし破(わ)れた鏡は再び
物をはやすことができないの意から。
“Ittan kowareta danjo no naka wa, mou ni do to, moto ni modoru to wa nai to
iu tatoe tsuchi ni chiri ochita hana wa moto no eda ni kaeru koto wa
dekinaishi yabu(wa)reta kagami wa futatabi mono o hayasu koto ga dekinai
no i kara”.
Yang artinya, ‘Ada saatnya pria dan wanita bertengkar/pisah,
walaupun sudah dicoba untuk kedua kalinya, tetap tidak dapat kembali
(disatukan kembali) seperti bunga yang sudah jatuh ke tanah tidak akan
dapat kembali ke dahan, sama juga seperti tidak dapat memakai lagi
cermin yang sudah pecah’.
Padanan peribahasa Rakka eda ni kaerazu dalam peribahasa
Indonesia adalah ‘Nasi sudah menjadi bubur’. Peribahasa rakka eda ni toge
ga aru jika diartikan secara harfiah memiliki makna bunga yang sudah
jatuh dari cabang tidak akan dapat kembali (ke cabang). Peribahasa ini
Hal ini menandakan bahwa apa yang sudah terjadi tidak dapat
disesalkan lagi. Seperti bunga yang sudah jatuh, tidak mungkin bisa
menyatu lagi dengan cabang tempat dia tumbuh walau di lem sekalipun.
Begitupula dengan peribahasa Indonesia ‘nasi sudah menjadi bubur’.
Jika sudah menjadi bubur, bagaimanapun caranya bubur tersebut tidak
dapat kembali menjadi nasi. Nasib manusia diibaratkan seperti nasi tadi,
jika orang tersebut melakukan suatu kejahatan maka kejahatan tersebut
akan selalu diingat, walau telah menyesal melakukan perbuatan jahat
tersebut tetapi karena sudah terlanjur dilakukan maka harus menanggung
semua resikonya karena waktu tidak dapat di putar kembali.
Peribahasa ini dipakai ketika seseorang telah melakukan
sesuatu yang buruk. Contoh, ketika seseorang telah membunuh salah
seorang anggota keluarga karena dendam pribadi. Ketika setelah selesai
membunuh orang tersebut, dia baru menyadari dampak dari pembunuhan
tersebut, selain masuk penjara, selalu dihantui rasa bersalah, dia juga telah
membuat keluarga orang yang dibunuh terlantar. Rasa penyesalan tidak
dapat menghidupkan jiwa seseorang. Contoh lain ialah ketika ujian tiba
menyesal kenapa dia tidak belajar.
3.4. Hana ni arashi
Hana ni arashi Bunga badai
Peribahasa Jepang Hana ni arashi memiliki arti sebagai berikut :
よい事にはとかく障害がはいりやすいものだと言うこと。
“Yoi koto ni hatokaku shougai ga hairi yasui mono da to iu koto” yang
memiliki arti ‘Halangan/ rintangan akan muncul/mengikuti walau di saat
terindah sekalipun’.
Padanan peribahasa Hana ni arashi dalam peribahasa Indonesia
adalah ‘gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga’. Hana adalah bunga
yang umumnya memberikan kesan positif yang melambangkan keindahan
dan hal-hal positif lainnya, sedangkan arashi adalah bencana alam berupa
badai yang dapat menghancurkan benda-benda disekitarnya dan
munculnya di waktu yang tidak disangka-sangka.
Jika diartikan, maka hana ialah saat dimana seseorang sedang
(badai).
Begitu juga halnya dengan peribahasa Indonesia ‘Gara-gara nila
setitik rusak susu sebelanga’. Nila adalah bahan cat biru yang dibuat dari
daun terum. Biasanya dibuat sebagai tinta pena atau bolpoin dan
mempunyai sifat racun. Susu adalah minuman berkalsium berwarna putih.
Susu mempunyai peranan penting dalam masa pertumbuhan dan memiliki
nilai yang baik buat tubuh manusia.
Peribahasa ini memiliki kesan negatif karena jika nila tadi masuk ke
dalam susu, maka susu tersebut sudah tidak baik lagi dan warnanya
menjadi tidak putih. Susu diibaratkan sebagai hal yang baik dan nila
diibaratkan hal yang buruk. Apabila seorang peternak sudah susah payah
mendapatkan susu sebelanga, hal itu membuat peternak tersebut gembira,
tetapi kegembiraan itu bisa lenyap manakala susu tadi kemasukan atau
tertumpah setitik nila.
Salah satu contoh peribahasa ini di dalam kehidupan manusia adalah
ketika seseorang baru memiliki anak, mereka sedang berbahagia karena
baru menjadi orang tua, tetapi pada saat yang bersamaan, muncul kabar
Contoh lain, ketika seseorang telah sukses dengan usaha yang ditekuninya,
tetapi tiba-tiba saja orang kepercayaannya membawa kabur semua uang
miliknya sehingga usahanya bangkrut.
3.5. Hana yori dango
Hana yori dango Bunga kue
Peribahasa Jepang hana yori dango memiliki arti sebagai berikut :
花の美しさに心満たされるより、実を取って腹が満たされる方がいい、という
こと。外見より内容だということ。
“Hana no utsukushisa ni kokoro mitasareru yori, jitsu o totte onaka/hara ga
mitasareru hou ga ii,to iu koto. Gaiken yori naiyou da to iu koto”, yang
memiliki arti ‘Sebenarnya, lebih baik mengisi perut daripada mengisi hati
(menentramkan hati) dengan melihat bunga yang cantik. Isi lebih baik
daripada penampilan luar’.
Padanan peribahasa Hana yori dango dalam peribahasa Indonesia
adalah ‘Air tenang menghanyutkan’. Dalam peribahasa ini, hana
dilambangkan sebagai bunga sakura dalam perayaan hana-mi. sedangkan
bulat-bulat kecil.
Pada perayaan hana-mi, masyarakat Jepang akan datang
berbondong-bondong untuk piknik di bawah pohon sakura yang sudah
mekar. Umumnya yang diketahui adalah masyarakat Jepang merayakan
hana-mi adalah untuk melihat bunga sakura yang sedang mekar, tetapi
sebenarnya mereka lebih mengutamakan suasana berkumpul dengan
keluarga, rekan sekantor, dan kelompok-kelompok lainnya. Makan kue dan
minum-minum sake untuk melepas rasa jenuh, serta melakukan kegiatan
lainnya bersama-sama yang jarang mereka lakukan dihari-hari biasa. Bisa
disebut lebih mengutamakan rasa kekeluargaannya daripada ingin melihat
sakura yang sedang mekar.
Ada peribahasa Jepang lain yang memiliki arti yang sama dengan
makna peribahasa bahasa Jepang di atas, yaitu Hana no shita yori hana no
shita yang secara harfiah diartikan ‘lebih baik di bawah hidung daripada di
bawah bunga’.
Dalam peribahasa Indonesia, ‘air’ diibaratkan sebagai orang dan
‘menghanyutkan’ diibaratkan sebagai ilmu yang tinggi. ‘Air yang tenang’
banyak bicara. Peribahasa ini merupakan lawan dari peribahasa ‘tong
kosong nyaring bunyinya’ yang bermakna orang yang banyak cakap/
berbicara tapi isi pembicaraan itu tidak ada, atau bisa dibilang juga sebagai
orang yang sok pintar.
Orang yang terlihat pendiam bukan berarti dia tidak tahu apa-apa.
Bisa saja dia seorang yang pendiam tetapi banyak ilmu, dalam hal ini
disebut ‘menghanyutkan’.
3.6. Tonari no hana wa akai
Tonari no hana wa akai Sebelah bunga merah
Peribahasa Jepang Tonari no hana wa akai memiliki arti sebagai berikut :
他人の物は自分の物より何でもよく見えて、うらやましく思えることと言う。
“Tannin no mono wa jibun no mono yori nan demo yoku miete,
urayamashiku omoeru koto to iu” yang memiliki arti ‘Berpikir iri karena
selalu melihat punya orang lain lebih bagus dari punyanya sendiri’.
Padanan peribahasa Tonari no hana wa akai dalam peribahasa
rumput terletak di halaman rumah, dan bisa dilihat dari luar rumah,
apabila melihat ke tetangga sebelah, maka yang pertama terlihat adalah
halaman rumah yang berumput, bukan pintu atau bagian dalam rumah.
‘Hijau’ adalah warna pada tumbuhan yang didapat dari klorofil dan yang
menandakan kesegaran tumbuhan terutama rumput. Makin hijau rumput,
maka makin subur dan indahlah rumput itu.
Di dalam peribahasa ini, ‘rumput’ diibaratkan benda atau barang,
‘tetangga’ diibaratkan orang lain dan ‘lebih hijau’ diibaratkan sebagai lebih
bagus. Peribahasa ini tepat digunakan untuk orang yang selalu melihat
bahwa punya orang lain selalu tampak lebih bagus dari punyanya sendiri.
Bisa dibilang bahwa orang tersebut tidak menghargai atau bersyukur atas
apa yang dia punya.
Misal, seseorang melihat temannya memiliki handphone yang
bentuknya lebih bagus dari miliknya, maka ia akan iri dan melihat
handphonenya sendiri sebagai barang rongsokan atau barang ketinggalan
jaman, padahal belum tentu apa yang terlihat bagus bentuknya memiliki isi
yang lebih bagus pula. Bisa jadi aplikasi di handphonenya lebih banyak dan
yang dimilikinya. Orang tersebut juga tidak bersyukur, karena banyak juga
orang yang tidak punya handphone, bahkan untuk makan saja susah.
3.7. Takane no hana
Takane no hana Puncak tinggi bunga
Peribahasa Jepang Takane no hana memiliki arti sebagai berikut :
高嶺に咲いた花は、どれほど望んでもみるだけで手にいれることのできないこ
とのたとえ。
“Takai ne ni saita hana wa, dore hodo nozonde mo miru dake de te ni ireru
koto no dekinai koto no tatoe”, yang memiliki arti ‘Bagai bunga yang mekar
dipuncak yang tinggi, orang yang melihat cita-cita yang sangat tinggi tapi
tidak dapat diraih’.
Padanan peribahasa Takane no hana dalam peribahasa Indonesia
adalah ‘Bagai pungguk merindukan bulan’. Pada peribahasa takane no
hana, hana diibaratkan sebagai cita-cita atau sesuatu yang ingin dicapai,
dan takane adalah tempat yang tinggi / puncak yang tinggi. Jadi untuk
mengambil bunga di puncak yang sangat tinggi adalah hal yang mustahil.
Selain beresiko jatuh, digigit serangga, dan diterpa angin, dahan yang
manusia, karena makin tinggi dahan, makin kecil diameter dahan tersebut.
Dalam peribahasa Indonesia, ‘pungguk’ adalah sejenis burung yang
terbang di malam hari, suka hinggap di pohon yang tinggi dan bersuara
pada malam hari terutama saat bulan purnama seperti hendak pergi ke
bulan tersebut. Seekor burung tidaklah mungkin dapat terbang ke bulan
karena jarak yang sangat jauh dan tipisnya udara di sana. Maka ‘pungguk’
tersebut diibaratkan orang dan ‘bulan’ adalah harapan atau cita-cita yang
sangat tinggi yang mustahil orang tersebut mendapatkannya.
Banyak peribahasa Indonesia yang memiliki makna sama seperti
diatas yaitu menghendaki hal yang sukar bahkan mustahil terjadi,
beberapa diantaranya selain ‘bagai pungguk merindukan bulan’ adalah :
‘Bagai memancarkan air ke bukit’, ‘Minta sisik pada limbat’, dan
‘Angan-angan menerawang langit’ .
Contoh peribahasa ini dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika
seorang yang bertubuh pendek bermimpi menjadi pramugari, atau seorang
tuna wicara ingin menjadi seorang penyanyi.
3.8. Hanashi ni hana ga saku
Peribahasa Jepang hanashi ni hana ga saku memiliki arti sebagai berikut :
咲かんに議論すること。
“Sakan ni giron suru koto”, yang memiliki arti ‘Berdiskusi dengan semangat’.
Padanan peribahasa Hanashi ni hana ga saku dalam peribahasa
Indonesia adalah ‘Beradu lidah’. Peribahasa ini menjelaskan bahwa ketika
orang-orang yang sedang berdiskusi dengan semangatnya, maka orang
tersebut terlihat bagai bunga yang sedang mekar, orang tersebut berbicara
dan berdiskusi dengan semangat dan mengeluarkan semua ide serta
unek-unek yang ada di dalam otaknya bagai bunga yang sedang mekar
mengeluarkan warna dan harum serta serbuk sarinya.
Peribahasa Indonesia menggunakan kata ‘beradu lidah’ karena
ketika orang-orang yang sedang bersemangat berdiskusi, berarti mereka
banyak berbicara dan lidah mereka banyak bergerak. Diskusi tidak
dilakukan seorang diri, minimal dilakukan dua orang atau lebih. Diskusi
yang bersemangat membuat mereka berbicara panjang lebar dan lidah
mereka bergerak terus menerus, seperti sedang beradu.
Hana o sakaseru Bunga mekar
Peribahasa Jepang hana o sakaseru memiliki arti sebagai berikut :
事業にせいこうする。
”Jigyou ni seikousuru”, yang memiliki arti’Mendapat kesuksesan’.
Padanan peribahasa Hana o sakaseru dalam peribahasa Indonesia adalah
‘sehari selembar benang lama-lama jadi selembar kain’.
Sekuntum bunga, memiliki proses atau tahap-tahap yang harus
dilalui sebelum ia mekar sempurna. Mulai dari bibit, kuncup dan lain
sebagainya. Hambatan yang dilalui untuk menjadi mekar juga banyak,
antara lain pengaruh cuaca, kadar air yang tidak stabil, hama dan serangga,
serta lain sebagainya. Dari semua hambatan dan fase-fase yang harus
dilalui, jika bunga tersebut dapat mekar sempurna, maka bunga tersebut
telah berhasil mencapai target yang diinginkan, memiliki betuk yang indah
dan harum. Begitu pula dengan masyarakat Jepang, jika ingin sukses harus
melewati rintangan-rintangan yang ada.
Dalam peribahasa Indonesia, ‘selembar benang’ diibaratkan sebagai
dan untuk memintal benang tersebut harus dilakukan satu persatu dan
dilakukan dengan teliti dan hati-hati agar benan-benang tersebut tidak
kusut ataupun putus.
Salah satu contoh penerapan peribahasa ini dalam kehidupan
sehari-hari ialah seorang wirausahawan yang memulai usahanya dari nol,
misal, seorang tukang bakso keliling yang berjualan dari melalui gerobak,
lalu meningkat menjadi warung dan berkembang lagi menjadi restoran
yang terkenal.
3.10. Shinibana o sakasu
Shinibana o sakasu
Bunga mati mekar
Peribahasa Jepang shinibana o sakasu memiliki arti sebagai berikut :
立派に死ぬことによって、死んだあとほめたたえられること。死によって生前
にもましたえいようを得ることをいう。
“Rippani shinu koto ni yotte, shinda ato hometataerareru koto. Shini yotte
seizen ni mo mashita eiyou wo eru koto o iu”, yang memiliki arti ‘Menurut
orang Jepang, cara mati yang mengesankan adalah setelah meninggal ia
mendapat pujian. Menurut kematian, memperoleh kehormatan selama
Padanan peribahasa Shinibana o sakasu dalam peribahasa Indonesia
adalah ‘Hancur badan di kandung tanah, budi baik dikenang jua’. Penulis
berpendapat bahwa peribahasa Jepang tersebut menggunakan kata
shinibana atau bunga yang telah mati
Pada peribahasa Indonesia, walau tubuh seseorang tersebut sudah
mati dan dikubur di dalam tanah, tetapi karena orang tersebut selalu
berbuat baik dan berperilaku sopan, maka orang-orang akan tetap
mengenalnya dan mengingatnya karena kebaikannya tersebut.
Contoh dari peribahasa ini adalah para pahlawan bangsa yang gugur.
Bisa juga untuk seseorang yang selama hidup ia mudah bersosialisasi,
selalu membantu warga yang kesusahan, dan memiliki perilaku santun,
sehingga ketika ia meninggalpun, ia tetap di kenang oleh orang-orang
disekitarnya. Bahkan di beberapa negara, orang tersebut dibuat
monumennya.
3.11. Ryoute ni hana
Ryoute ni hana Kedua tangan bunga
が二人の美しい女性をひとり占めすることのたとえ。
“Utsukushii mono ya subarashii mono o futatsu douji ni te ni ireru koto.
Toku ni, hitori no dansei ga futari no utsukushii josei o hitori shimesuru
koto no tatoe”, yang memiliki arti ‘Sesuatu yang cantik dan menakjubkan di
dapat dalam waktu yang bersamaan. Khususnya, seorang laki-laki yang
mendapat dua wanita cantik’.
Padanan peribahasa Ryoute ni hana dalam peribahasa Indonesia
adalah ‘Padi masak ,jagung mengupih’. Ryoute adalah kedua tangan,
apabila kedua tangan tersebut memegang bunga, maka ia mendapat dua
keindahan, karena umumnya orang hanya mendapat bunga di satu tangan
saja. Dalam peribahasa jepang ini, lebih ditekankan kepada lelaki yang
mendapat dua wanita cantik.
Peribahasa Indonesia menggunakan kata ‘padi’ dan ‘jagung’. Padi
adalah tumbuhan penghasil beras yang merupakan makanan pokok
masyarakat Indonesia. Jagung adalah makanan pengganti nasi, bila tidak
ada nasi. Jika seorang petani menanam padi dan beras, dan kedua tanaman
Contoh peribahasa ini dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika
seseorang yang hobi menggambar atau membuat komik, maka orang
tersebut bisa menyalurkan hobinya dan sekaligus menjual komik yang
dihasilkan dari menggambar tersebut. Begitu pula dengan novelis. Contoh
lain, seseorang yang senang berkebun, selain hobinya berkebun tersalurkan,
rumahnyapun jadi terlihat indah dan asri.
3.12. Hana wa sakuragi hito wa bushi
Hana wa sakuragi, hito wa bushi
Bunga pohon sakura orang bushi/samurai
Peribahasa Jepang Hana wa sakuragi, hito wa bushi memiliki arti sebagai berikut :
花の中では桜、人では武士が最高だということ。その散りぎわの潔さをほめた
言葉。
“Hana no naka dewa sakura, hito dewa bushi ga saikou da to iu koto. Sono
chiri giwa no isagayosa o hometa kotoba”, yang memiliki arti ‘Bunganya
bunga adalah sakura, masyarakat yang tingkatnya paling tinggi adalah
peribahasa Indonesia adalah ‘Merah berani, putih suci’. Seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, hana secara umum memiliki arti bunga,
tetapi bagi orang jepang, hana adalah sakura, karena selain menjadi simbol
bunga Jepang, pohon sakura adalah sebuah pohon yang unik yang memiliki
sedikit sekali daun dan jika sedang mekar, pohon-pohon sakura tersebut
hanya ditutupi oleh bunga saja. Pohon sakura juga berumur lama, ada yang
berpuluh-puluh tahun bahkan ada yang samapai ratusan, dan umumnya
dapat hidup di segala penjuru Jepang. Maka dari itu, sakura dibilang
bunganya bunga.
Begitu pula dengan tingkat golongan pada masyarakat Jepang. Dalam
masyarakat, bushi adalah golongan tertinggi. Bushi bertugas menjaga
shogun atau daimyou dengan nyawanya. Kesetiaan seorang bushi kepada
tuannya tidak perlu diragukan lagi. Mereka rela melakukan apa saja, baik
itu perbuatan baik ataupun buruk demi tuannya, bahkan mereka rela mati.
Jika tuannya meninggal karena dibunuh, maka mereka juga dapat balas
dendam seperti dalam sejarah 47 orang bushi Asano.
Dalam peribahasa Indonesia, merah dilambangkan sebagai lambang
para pejuang yang telah gugur yang dengan beraninya mengorbankan
nyawa sendiri demi membela tanah tumpah darahnya, dalam hal ini
Indonesia. Sedangkan putih melambangkan kesucian. Putih adalah warna
cahaya, lawan dari warna hitam yang melambangkan kegelapan, mistik
dan kematian. Masyarakat islam juga menggunakan pakaian berwarna
putih ketika melakukan ibadah haji ataupun umroh. Di dalam beberapa
legenda, warna putih juga dijadikan warna baju dewa-dewi yang baik,
sedangkan hitam digunakan oleh dewa-dewi yang jahat, misal hades (dewa
kematian) dan Hera (dewa perang wanita).
Hana mo mi mo aru
Hana mo mi mo aru. Bunga buah ada
Peribahasa Jepang Hana mo mi mo aru memiliki arti sebagai berikut :
外見が美しいだけでなく、内容も充実していること。
”Gaiken ga utsukushii dake de naku, naiyou mo juujitsushite iru koto” yang
memiliki arti ‘Tidak hanya penampilan luarnya saja yang cantik, tetapi
juga penuh dengan isi’.
Indonesia adalah ‘Bagai elang menyongsong angin’. Hanya saja, peribahasa
Jepang lebih menggambarkan seorang wanita, sedangkan dalam
peribahasa Indonesia lebih menggambarkan lelaki.
Hana adalah bunga yang elok rupanya dan harum baunya, ada bunga
yang tidak memiliki buah, jika bunga tersebut memiliki buah maka bunga
tersebut tidak hanya enak dipandang tetapi juga nikmat di makan. Hana
diibaratkan penampilan luar, sedangkan mi atau buah diibaratkan isi.
Maka peribahasa ini lebih cenderung menggambarkan wanita yang cantik
parasnya dan pintar.
Pada peribahasa ‘Bagai elang menyongsong langit’ lebih
menggambarkan kepada sesosok lelaki yang gagah tampan rupanya. Elang
adalah seekor burung pemakan daging yang bermata tajam, dapat melih