EFEKTIVITAS SKABISIDA EKSTRAK DAUN MIMBA
(Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP TUNGAU
Sarcoptes scabiei
SECARA IN VITRO
FIKRI AHADIAN 080306015
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
EFEKTIVITAS SKABISIDA EKSTRAK DAUN MIMBA
(Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP TUNGAU
Sarcoptes scabiei SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Oleh:
FIKRI AHADIAN 080306015
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EFEKTIVITAS SKABISIDA EKSTRAK DAUN MIMBA
(Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP TUNGAU
Sarcoptes scabiei
SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Oleh:
FIKRI AHADIAN 080306015/PETERNAKAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul :_Efektivitas Skabisida Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Terhadap Tungau
Sarcoptes scabiei Secara In Vitro
Nama : Fikri Ahadian
NIM : 080306015
Program studi : Peternakan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc. Ketua
Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc. Anggota
drh. Anwar Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ristika Handarini, MP Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRAK
FIKRI AHADIAN: Efektivitas Skabisida Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Terhadap Tungau Sarcoptes scabiei secara In Vitro, dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan TRI HESTI WAHYUNI.
Penyakit skabies merupakan salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan ternak, terutama ternak ruminansia kecil seperti kambing. Tingginya harga serta sulitnya memperoleh obat-obatan menjadi kendala utama di kalangan peternak tradisional. Penelitian pengobatan menggunakan tanaman herbal menjadi pilihan yang ekonomis dan aplikatif, salah satunya menggunakan tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss). Penelitian dilaksanakan di Loka Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan Galang sejak Februari sampai April 2012, menggunakan
posttest only control group design. Penelitian pendahuluan menggunakan lima perlakuan variasi konsentrasi ekstrak daun mimba (0%, 25%, 50%, 75% dan 100%) dengan empat ulangan, dan penelitian sesungguhnya menggunakan enam perlakuan (0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%) dengan empat ulangan. Setiap ulangan menggunakan 10 ekor tungau Sarcoptes scabiei. Parameter yang diamati adalah jumlah tungau mati, kecepatan tungau mati serta konsentrasi mematikan bagi tungau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah tungau yang mati pada setiap perlakuan, dimana nilai LC50 adalah 13,18%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba memiliki efek skabisida dan efektif digunakan untuk mengendalikan tungau Sarcoptes scabiei secara In Vitro.
ABSTRACT
FIKRI AHADIAN: Scabicide Effectiveness Test of Neem Leaves Extract (Azadirachta indica A. Juss) on Sarcoptes scabiei mite by In Vitro Way, under advices of NURZAINAH GINTING and TRI HESTI WAHYUNI.
Scabies was one of the decreasing factor of ruminants growth, especially in goat. The expensiveness and the difficulties to get the medicines in the rural area becomes the majority problems for the traditional breeder. The research that using herbs like Neem (Azadirachta indica A. Juss) becomes an aplicative solutions for them. The experiment conducted in Loka Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan of Galang started from February to April 2012, using posttest only control group design. The exploratory test was using five treatments where the treatments were variation of neem leaves extract (0%; 25%; 50%; 75%; and 100%) and four replications. The full scale test was using six treatments (0%; 5%, 10%, 15%, 20%, and 25%) and four replications. Each replications using 10 Sarcoptes scabiei mites. Parameters measured were mite mortality number, rate of mite mortality number, and lethal concentration.
The results showed there were increasing on mite mortality numbers in each treatment, where the LC50 value is 13,18%. The results indicated that Neem Leaves Extract is an effective scabicide for Sarcoptes scabiei mite by In Vitro way.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tembung pada tanggal 15 Juli 1990 dari ayah Drs.
Djoko Sugiarno dan ibu Dra. Meida Nugrahalia, M.Sc. Penulis merupakan putra
pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Swasta Sutomo 1 Medan dan pada
tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui
jalur tertulis UMB-SPMB. Penulis memilih program studi Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota himpunan
mahasiswa program studi (HMPS) peternakan, sebagai asisten pada praktikum
genetika dasar peternakan, praktikum bahan pakan ternak dan formulasi ransum,
serta praktikum perencanaan dan evaluasi proyek peternakan.
Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Kelompok Mitra
Tani Jalan Dusun I, Desa Lama Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli
Serdang, Medan dari tanggal 2 Juni sampai dengan 2 Juli 2011. Penulis
melaksanakan penelitian untuk penulisan skripsi di Loka Penelitian Kambing
Potong Sungai Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang dan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Efektivitas Skabisida Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss)
Terhadap Tungau Sarcoptes scabiei secara In Vitro”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan serta mendidik
penulis selama ini. Penulis turut mengucapkan terima kasih kepada ibu Nurzainah
Ginting dan Ibu Tri Hesti Wahyuni selaku ketua dan anggota komisi pembimbing
yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan kepada penulis,
mulai dari penetapan judul, pelaksanaan penelitian, sampai pada ujian akhir.
Khusus untuk bapak Aron Batubara, bapak Anwar, ibu Sari, serta bapak Iman
Yanto di Loka Penelitian Kambing Potong sei Putih, kecamatan Galang, penulis
menyampaikan banyak terima kasih atas bantuannya selama penulis
mengumpulkan data.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut membantu dalam pengerjaan skripsi ini, semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2012
DAFTAR ISI
Kegunaan Penelitian ... 4
Hipotesis Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Scabies ... 5
Gejala serangan ... 6
Sarcoptes scabiei sebagai penyebab scabies ... 7
Morfologi tungau scabies ... 8
Siklus hidup tungau scabies ... 9
Terapi secara umum ... 11
Mimba (Azadirachta indica A, Juss) ... 13
Morfologi tanaman mimba ... 14
Kandungan zat pada tanaman mimba ... 15
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 18
Bahan dan Alat ... 18
Metode Penelitian ... 18
Pembuatan Ekstrak Daun Mimba ... 19
Parameter Penelitian ... 21
Jumlah Tungau Mati (Mite mortality numbers)... 21
Kecepatan Kematian Tungau (Rate of mite mortality numbers) ... 21
Konsentrasi Mematikan (Lethal Concentration) ... 22
Pelaksanaan Penelitian ... 22
Persiapan cawan petri... 22 Penelitian Pendahuluan (Exploratory Test) ... 24
Jumlah Tungau Mati (Mite mortality numbers) ... 24
Kecepatan Kematian Tungau (Rate of mite mortality numbers) ... 25
Konsentrasi Mematikan (Lethal Concentration) ... 26
Jumlah Tungau Mati (Mite mortality numbers) ... 28 Kecepatan Kematian Tungau (Rate of mite mortality numbers) ... 29 Konsentrasi Mematikan (Lethal Concentration) ... 30 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 32 Saran ... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
ABSTRAK
FIKRI AHADIAN: Efektivitas Skabisida Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Terhadap Tungau Sarcoptes scabiei secara In Vitro, dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan TRI HESTI WAHYUNI.
Penyakit skabies merupakan salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan ternak, terutama ternak ruminansia kecil seperti kambing. Tingginya harga serta sulitnya memperoleh obat-obatan menjadi kendala utama di kalangan peternak tradisional. Penelitian pengobatan menggunakan tanaman herbal menjadi pilihan yang ekonomis dan aplikatif, salah satunya menggunakan tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss). Penelitian dilaksanakan di Loka Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan Galang sejak Februari sampai April 2012, menggunakan
posttest only control group design. Penelitian pendahuluan menggunakan lima perlakuan variasi konsentrasi ekstrak daun mimba (0%, 25%, 50%, 75% dan 100%) dengan empat ulangan, dan penelitian sesungguhnya menggunakan enam perlakuan (0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%) dengan empat ulangan. Setiap ulangan menggunakan 10 ekor tungau Sarcoptes scabiei. Parameter yang diamati adalah jumlah tungau mati, kecepatan tungau mati serta konsentrasi mematikan bagi tungau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah tungau yang mati pada setiap perlakuan, dimana nilai LC50 adalah 13,18%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba memiliki efek skabisida dan efektif digunakan untuk mengendalikan tungau Sarcoptes scabiei secara In Vitro.
ABSTRACT
FIKRI AHADIAN: Scabicide Effectiveness Test of Neem Leaves Extract (Azadirachta indica A. Juss) on Sarcoptes scabiei mite by In Vitro Way, under advices of NURZAINAH GINTING and TRI HESTI WAHYUNI.
Scabies was one of the decreasing factor of ruminants growth, especially in goat. The expensiveness and the difficulties to get the medicines in the rural area becomes the majority problems for the traditional breeder. The research that using herbs like Neem (Azadirachta indica A. Juss) becomes an aplicative solutions for them. The experiment conducted in Loka Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan of Galang started from February to April 2012, using posttest only control group design. The exploratory test was using five treatments where the treatments were variation of neem leaves extract (0%; 25%; 50%; 75%; and 100%) and four replications. The full scale test was using six treatments (0%; 5%, 10%, 15%, 20%, and 25%) and four replications. Each replications using 10 Sarcoptes scabiei mites. Parameters measured were mite mortality number, rate of mite mortality number, and lethal concentration.
The results showed there were increasing on mite mortality numbers in each treatment, where the LC50 value is 13,18%. The results indicated that Neem Leaves Extract is an effective scabicide for Sarcoptes scabiei mite by In Vitro way.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk di
Indonesia saat ini, tingkat kebutuhan protein hewani bagi masyarakat turut
meningkat. Peternakan menurut Setiawan (2006) merupakan sektor penyumbang
terbesar dalam penyediaan kebutuhan protein hewani, disamping sektor
perikanan. Salah satu komoditi peternakan tersebut adalah ternak kambing.
Kambing memiliki keunggulan dibandingkan dengan ternak ruminansia lain.
Ditinjau dari teknik usaha dan pemeliharaannya, kambing relatif lebih mudah
dipelihara dan dikembangbiakkan bila dibandingkan dengan sapi. Ternak ini tidak
membutuhkan pakan yang relatif mahal dan mudah beradaptasi dengan
lingkungan tropis Indonesia (Devendra, 1993).
Salah satu tantangan yang mempengaruhi produksi ternak kambing yang
dipelihara secara tradisional adalah penyakit karena dapat memperlambat laju
pertumbuhan sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi (Budiantono, 2004).
Terbatasnya pasokan obat-obatan serta harga obat yang mahal menyebabkan
peternak seringkali mengalami kesulitan untuk mengatasi penyakit. Permasalahan
obat ini perlu segera diatasi, dengan memaksimalkan pemanfaatan obat tradisional
yang berbiaya relatif rendah.
Jenis penyakit ternak yang sering dijumpai di peternakan tradisional
adalah scabies. Di Indonesia, scabies dikenal sebagai kudis, budug, kesreg,
keropeng atau darang. Istilah medis untuk scabies adalah itch atau acariasis.
dari jenis sarcoptes (Colville and Berryhill, 1991). Tungau Sarcoptes berukuran
kecil dan hanya dapat dilihat oleh mata telanjang jika ada cukup cahaya. Pada
beberapa kejadian, kemunculan tungau hanya dapat dikonfirmasi positif dengan
pemeriksaan mikroskopis (Tomaszewska et al., 1993).
Sedemikian kecilnya ukuran tungau menyebabkan peternak tidak segera
menyadari bahwa ternaknya mulai diserang tungau. Umumnya peternak baru
menyadari bahwa ternaknya terserang scabies setelah tungau tersebut menyebar
dan membentuk luka di permukaan kulit. Sebaran itu dipercepat dengan seringnya
ternak menggaruk bagian kulit yang gatal atau menggesekkan tubuhnya ke ternak
lain atau ke batang kayu. Terkadang, garukan atau gesekan tersebut menimbulkan
luka, rasa sakit, turunnya nafsu makan dan tidak menutup kemungkinan ternak
mengalami kematian.
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan tungau. Selama
musim hujan jumlah tungau akan meningkat dan mengakibatkan kondisi
kesehatan ternak semakin parah. Sedangkan pada musim kemarau, jumlah tungau
akan berkurang sehingga penyakit tampaknya mereda. Menurut Soulsby (1982),
keadaan ini terjadi karena tungau peka terhadap kekeringan dan tidak dapat hidup
lama dalam kondisi seperti itu.
Untuk mengatasi status scabies yang berat pada ternak Disnak Provinsi
Jawa Barat (2011) mengemukakan bahwa biasanya dokter hewan akan
menanganinya dengan obat-obat tertentu seperti ivermectin, neguvon dan asuntol,
namun obat tersebut sulit didapat di pasar dan relatif mahal. Berdasar hasil
observasi di daerah peternakan kambing di loka kambing potong Sei Putih,
juga menimbulkan rasa sakit dan panas bagi ternak yang disuntik. Oleh karena itu,
perlu dicari obat alternatif yang relatif murah sekaligus mudah disediakan di
lingkungan sekitar peternakan untuk menanggulangi penyakit ini. Salah satu
pilihan yang amat dimungkinkan adalah pemanfaatan daun Mimba.
Tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) telah dikenal di India dan
negara-negara sekitarnya sebagai salah satu tanaman obat yang memiliki aktivitas
biologi yang luas. Mimba mengandung beberapa bahan pestisida diantaranya
adalah Azadirachtin, Salanin, Mehantriol, Nimbin dan Nimbidin (Kardiman,
2006). Toksikan dari Mimba diketahui tidak membunuh hama secara cepat,
namun mengganggu hama pada proses metamorfosa, makan, pertumbuhan,
maupun reproduksi. Senyawa azadirachtin dari daun Mimba, diduga dapat
memberikan efek larvasida.
Mengingat bahwa tanaman mimba mudah ditemukan di sekitar lingkungan
kita dan mudah dibudidayakan di lingkungan peternakan, namun masih
minimnya pemanfaatan tanaman ini untuk penanggulangan scabies maka perlu
dilakukan eksplorasi lebih jauh terhadap efektivitas daun mimba sebagai obat
alternatif untuk menangani penyakit scabies pada ternak kambing. Penelitian yang
akan dilakukan meliputi pemberian ekstrak daun mimba terhadap tungau
sarcoptes (Sarcoptes scabiei) guna mengetahui konsentrasi paling efektif untuk
melemahkan atau mematikan tungau secara in vitro.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak daun mimba
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana peternakan di Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, dan diharapkan dapat berguna
untuk pihak-pihak yang berkepentingan dalam budidaya ternak kambing.
Hipotesis Penelitian
Ekstrak daun mimba memiliki efek skabisida terhadap tungau Sarcoptes
TINJAUAN PUSTAKA
Scabies
Scabies atau keropeng adalah penyakit kulit yang banyak menjangkiti
ternak, khususnya kambing dan sapi, bahkan bisa juga menyerang manusia.
Penularannya dapat terjadi melalui kontak langsung antar hewan penderita dengan
hewan lain atau manusia, dapat juga melalui kontak tidak langsung yaitu melalui
peralatan yang terkontaminasi. Terkadang kudis ini ditularkan melalui pakaian
dan benda-benda lain yang digunakan secara bersama-sama. Serangan penyakit
tersebut telah mengakibatkan pertumbuhan kambing atau domba yang dipelihara
di pedesaan terhambat sampai 38% dengan mortalitas meningkat sampai 28%
(Eleser, dkk., 2005).
Infeksi tungau ke jaringan kulit yang mencapai epidermis biasanya
menyebabkan gatal-gatal hebat. Diduga kotoran, bungkus telur dan tungau itu
sendiri mengandung bahan alergen, sehingga mengakibatkan pengeluaran
histamin dari sel darah putih (khususnya eosinofil dan sel mast) dan
memunculkan reaksi alergi berupa gatal (itchy) (Roitt, 1998). Semakin menyebar
tungau di kulit, semakin tinggi alergen yang masuk ke jaringan, maka sebagai
akibatnya akan muncul rasa gatal yang hebat pada ternak. Jika infeksi tungau telah
mencapai jaringan bawah kulit, maka akan sulit disembuhkan karena pengobatan
secara topikal (pengolesan salep) tidak akan mencapai lapisan tempat tungau
Gambar 1. Tungau Sarcoptes scabiei menginfeksi lapisan stratum corneum hingga ke stratum germinativum epidermis kulit. (Sumber: bestpractice.bmj.com)
Gejala Serangan
Ciri khas dari scabies adalah gatal-gatal hebat, yang biasanya semakin
memburuk pada malam hari. Lubang berbentuk terowongan tungau tampak
sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm (seperti terlihat pada
gambar 1), kadang pada ujungnya terdapat gumpalan kecil. Lubang tersebut
paling sering ditemukan dan dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki,
pergelangan tangan, siku, ketiak, di sekitar ambing, dan bagian bawah anus. Kulit
bagian terluar terlihat menebal, berkerut, dan terdapat keropeng diatasnya. Infeksi
diikuti dengan pembentukan papula atau vesikula, disertai dengan perembesan
cairan limfe. Ternak lain yang dipelihara dalam kandang yang sama cenderung
Gambar 2. Terowongan yang dibuat oleh Sarcoptes dibawah permukaan kulit Sumber: bestpractice.bmj.com
Sarcoptes scabei sebagai penyebab scabies
Menurut Subronto (2008), penyebab dari scabies pada umumnya adalah
tungau (mite) dari spesies Sarcoptes scabiei. Tungau sarcoptes bersifat parasitik,
dan mampu menyerang berbagai spesies ternak. Nomenklatur sarkoptes
didasarkan pada berbagai spesies hospes yang diserangnya. Tungau scabies pada
ternak kambing diketahui juga dari spesies Sarcoptes scabiei dari varietas caprae.
Menurut Kelly (1977), klasifikasi selengkapnya dari tungau tersebut adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Acarina
Sub-ordo : Sarcoptiformes
Famili : Sarcoptidae
Genus : Sarcoptes
Varietas : caprae
Morfologi Tungau Scabies
Bentuk morfologi tungau Sarcoptes scabiei cenderung bulat atau oval
(Soulsby, 1982). Sedangkan ukurannya sangat bervariasi yaitu berkisar antara
380-270 µm untuk tungau betina, dan 220- 170 µm untuk jantan (Kelly, 1977 dan
Flynn, 1973). Sementara itu Soulsby (1982) menyatakan tungau betina dapat
mencapai ukuran 330-600 µm x 250-400 µm sedangkan yang jantan 200-240 µm
x 150-200 µm. Dengan demikian, dari ukurannya dapat diketahui bahwa tungau
betina cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibanding dengan
tungau jantan, seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Tungau Sarcoptes scabiei (kiri) dan perbedaan tungau betina dan tungau jantan (kanan) Sumber : http://www.stanford.edu/, 2011
Lebih terperinci lagi, detail tungau betina menunjukkan adanya sepasang
setae tubuh yang vertikal, terletak di bagian anterodorsal. Pada sisi
mediodorsalnya terdapat sebuah plastron yang menyerupai keping, beberapa baris
melintang sisik segitiga dan tiga pasang setae yang panjang seperti pisau. Anus
kesatu dan kedua terdiri atas lima segmen dan sebuah alat penghisap ambulacral.
Pasangan kaki ketiga dan keempat terdiri atas empat segmen dan berakhir dengan
setae yang kaku dan panjang. Palpi mempunyai tiga segmen dan terdapat chelate
chelicerae yang besar. Tungau jantan hampir sama dengan betina, tetapi lebih
kecil ukurannya. Tungau yang belum dewasa ditandai dengan belum adanya alat
penghisap ambulacral pada pasangan kaki keempat. Alat genital berbentuk seperti
lonceng dan memiliki sklerotisasi yang baik diantara pasangan kaki keempat
(Flynn, 1973).
Siklus Hidup Tungau Scabies
Siklus hidup tungau berlangsung pada tubuh inang, terdiri atas beberapa
tahapan yaitu telur, larva, deutonimfa dan bentuk dewasa jantan atau betina
(Williams et al., 1985). Tungau jantan bertemu dengan tungau betina pada
permukaan yang normal dari epidermis kulit (Muller and Kirk, 1976). Menurut
Grant (1986) dan Luevine (1990), siklus hidup Sarcoptes dimulai dari tungau
betina dewasa, setelah dibuahi maka sarcoptes akan mulai membuat lubang atau
terowongan di bawah permukaan kulit untuk meletakkan telurnya, sekaligus juga
membuang kotorannya di terowongan tersebut. Panjang terowongan bisa
mencapai 3 cm dan terbatas dalam lapisan epidermis kulit. 4 - 5 hari kemudian
mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir telur per hari dalam terowongan tersebut
sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur. Tungau betina ini dapat mengeluarkan
telur sebanyak 90 butir sepanjang siklus hidupnya. Setelah meletakkan
telur-telurnya, tungau betina akan mati. Umur tungau betina hanya mencapai tidak lebih
Telur akan berada di terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas
menjadi larva berukuran 215 x 156 µm yang memiliki tiga pasang kaki (Foster
and Smith, 2011; Soulsby, 1982). Larva dapat tinggal dalam terowongan, atau
bermigrasi ke luar pada daerah sekitarnya untuk mencari makanan, kemudian
kembali dan menggali kulit lebih dalam untuk membuat tempat moulting
(moulting pocket) menjadi tahap nimfa (Kelly, 1977). Nimfa memiliki empat
pasang kaki namun organ kelaminnya belum berkembang. Nimfa berukuran 220 x
195 µm (Flynn, 1973; Soulsby, 1982). Setelah 2 - 3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang kaki. Selanjutnya
nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun waktu 2 minggu. Seluruh
siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara
8 - 12 hari (Oktora, 2009). Siklus ini akan berulang kembali sepanjang tungau
tersebut masih hidup (http://www.obatherbalalami.com/, 2011). Siklus hidup
penuh dari tungau sejak fase telur sampai dengan tungau dewasa penuh adalah 17
- 21 hari (Urguhart et al, 1987). Tungau mampu bertahan hidup di luar tubuh
inang 2-6 hari pada suhu ruangan, dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada
Gambar 4. Siklus hidup Sarcoptes scabiei Sumber : http://www.stanford.edu, 2011
Terapi secara umum
Pengobatan yang biasa dilakukan oleh dokter hewan yaitu dengan
ivermectin, neguvon atau asuntol. Ivermectin dengan dosis yang tepat, baik injeksi
(suntikan) maupun per oral (minum) dapat membunuh tungau sarcoptic pada
kambing. Pengobatan dengan injeksi ataupun per oral harus terus-menerus agar
pengobatan benar-benar tuntas. Ivermectin dapat juga diberikan kepada ternak
seperti kambing dengan dosis 1 ml untuk setiap 20kg berat badan. Salah satu
merek dagang ivermectin adalah ivomec. Obat-obatan tersebut sejauh ini relatif
sulit didapat di pasar dan cenderung mahal bagi peternak untuk bisa
menyediakannya setiap saat (Disnak Provinsi Jawa Barat, 2011).
Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah dengan mencukur bulu di
sekitar daerah yang terkena scabies, kemudian area luka dicuci dengan air hangat
yang terkena scabies. Jika tingkat infeksi belum terlalu parah, obat ini biasanya
dapat menyembuhkan scabies pada beberapa jenis hewan termasuk kelinci
(Disnak Provinsi Jawa Barat, 2011). Selain itu, Oktora (2009) juga menyebutkan
obat sejenis yakni selamectin dan amitraz. Selamectin dapat diaplikasikan dalam
bentuk obat tetes sebulan sekali. Sedangkan Amitraz diaplikasikan langsung di
kulit setiap minggu dengan cara dimandikan atau disikat.
Pengobatan oral atau topikal seperti yang disebut diatas belum cukup.
Oktora (2009) menyatakan harus ditambahkan juga pengobatan yang sesuai
dengan kondisi hewan bersangkutan seperti :
a. Antibiotik : untuk mencegah infeksi pada luka akibat garukan
b. Kortikosteroid jangka pendek : untuk mengurangi rasa gatal
c. Vitamin untuk meningkatkan kondisi secara umum dan daya tahan
Pada prinsipnya, Oktora (2009) menyatakan bahwa pengobatan secara
menyeluruh baik terhadap individu ternak yang sakit maupun terhadap sumber
penyebabnya, yakni tungau, harus dilakukan secara simultan sehingga pengobatan
bisa benar-benar tuntas. Namun jika ditinjau dari runutan awal terjadinya
penyakit, maka penanggulangan awal terbaik adalah segera membasmi tungau
begitu diketahui bahwa ternak mulai terinfeksi. Penanggulangan awal ini dapat
ditangani oleh peternak sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya besar, yakni
menerapkan pengobatan tradisional terhadap ternak yang terinfeksi sarcoptes.
Sejauh ini, beberapa tanaman tertentu misalnya gamal dan sirih dapat membantu
Mimba (Azadirachta indica A. Juss)
Mimba adalah tanaman yang banyak tumbuh di daerah tropis, terutama di
dataran rendah. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Madura pada ketinggian sampai dengan 300 m dpl, tumbuh di tempat
kering berkala, sering ditemukan di tepi jalan atau di hutan terang (Aradilla,
2009).
Masyarakat umum mengenal tanaman ini dengan nama Mimba. Nama
lain mimba sesuai dengan istilah lokal adalah Nimba (sunda), Intaran (Bali, Nusa
Tenggara), Imbau (Jawa Timur), Mempheuh, Membha (Madura). Sistematika
tanaman mimba adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : Azadirachta indica A.Juss
Morfologi Tanaman Mimba
Tanaman mimba memiliki ciri morfologi yang mirip dengan tanaman
sejenis yaitu mindi (Melia azedarach), maka ciri morfologi mimba perlu dicermati
lebih jeli. Tanaman mimba berupa pohon, tingginya 8-15 m, bunga banci. Batang
simpodial, kulit batang mengandung gum, pahit. Daun menyirip gasal
berpasangan. Anak daun dengan helaian berbentuk memanjang lanset bengkok,
panjang 3-10 cm, lebar 0,5-3,5 cm, pangkal runcing tidak simetri, ujung runcing
sampai mendekati meruncing, gundul. Tepi daun bergerigi kasar, remasan berasa
pahit, warna hijau muda. Bunga memiliki susunan malai, terletak di ketiak daun
paling ujung, 5-30 cm, gundul atau berambut halus pada pangkal tangkai
karangan, tangkai bunga 1-2 mm. Kelopak kekuningan, bersilia, rata-rata 1 mm.
Mahkota putih kekuningan, bersilia, panjang 5-7 mm. Benang sari membentuk
tabung benang sari, sebelah luar gundul atau berambut pendek halus, sebelah
dalam berambut rapat. Putik memiliki panjang rata rata 3 mm, gundul. Buah bulat,
hijau kekuningan 1,5-2 cm. Waktu berbunga Maret – Desember (Aradilla, 2009).
Kandungan zat pada tanaman Mimba
Tanaman mimba dikenal sebagai tanaman yang mengandung pestisida
yang ramah lingkungan, karena racun mimba tidak membunuh hama secara cepat,
namun mengganggu hama pada proses metamorfosa, makan, pertumbuhan,
reproduksi dan lainnya. Jadi, mimba termasuk dalam golongan pestisida nabati.
Wajar apabila mimba diperbolehkan pemakaiannya pada pertanian dan peternakan
organik (tercantum dalam SNI Pangan Organik), serta telah dipergunakan di
berbagai negara, termasuk Amerika yang dikenal sangat ketat peraturannya dalam
penggunaan pestisida (Sinar Tani, 2006).
Kandungan bahan pestisida pada mimba diantaranya adalah Azadirachtin,
Salanin, Mehantriol, Nimbin, dietil vilasinin, nimbandiol, 3-desasetil salanin,
salanol dan Nimbidin. Metabolit yang ditemukan dalam ekstrak ranting segar
yang larut dalam diklorometana antara lain desasetil nimbinolid, desasetil nimbin,
desasetil isonimbinolid. Kulit batang dan kulit akar mengandung nimbin,
nimbinin, nimbidin, nimbosterol, nimbosterin, sugiol, nimbiol, margosin (suatu
senyawa alkaloid). Hasil hidrolisis ekstrak bunga ditemukan kuersetin, kaemferol,
dan sedikit mirisetin. Dari bagian kayu ditemukan nimaton, 15% zat samak
terkondensasi. Buah mengandung alkaloid (azaridin) (Aradilla, 2009;
http://www.iptek.net.id/, 2011). Banyaknya zat yang terkandung dalam tanaman
ini menyebabkan tanaman ini pantas untuk disebut sebagai tanaman pestisida
nabati.
Daun tanaman Mimba mempunyai rasa yang sangat pahit karena
mengandung zat Azadirachtin dan paraisin, suatu alkaloid dan komponen minyak
pestisida dan insektisida. Azadirachtin tidak langsung mematikan serangga tetapi
memodifikasi cara kehidupannya, sehingga serangga tidak aktif lagi. Serangga
yang memakan daun-daun yang disemprot dengan insektisida Mimba akan
terpengaruh oleh Azadirachtin. Produk Mimba juga dapat dipakai sebagai obat
anti nyamuk, obat cacing untuk ternak, dan mencegah hama pada makanan selama
penyimpanan (World Agroforestry Centre, 2011).
Menurut Samsudin (2008), Azadirachtin merupakan molekul kimia
C35H44O16 yang termasuk dalam kelompok triterpenoid. Rumus bangun
azadirachtin :
Gambar 3. Struktur Molekul Azadirachtin Sumber : Aradilla, 2009
Efek primer azadirachtin terhadap serangga berupa antifeedant dengan
menghasilkan stimulan detteren spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor)
pada bagian mulut (mouth part) yang bekerja bersama-sama dengan reseptor
kimia yang mengganggu persepsi rangsangan untuk makan (phagostimulant).
Efek sekunder Azadirachtin yang dikandung Mimba berperan sebagai ecdyson
blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu suatu
terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur
menjadi larva, atau dari larva menjadi kepompong, atau dari kepompong menjadi
dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian
(Aradilla, 2009).
Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (antifeedant) yang
mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya
sendiri belum mati. Oleh karena itu, dalam proses penggunaan pestisida nabati
dari mimba, seringkali hamanya tidak mati seketika setelah diaplikasi (knock
down), namun memerlukan beberapa hari untuk mati, biasanya 4-5 hari
(Kardiman, 2006).
Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan
hama serangga enggan mendekati zat tersebut. Suatu kasus menarik terjadi ketika
belalang Schistocerca gragaria menyerang tanaman di Afrika, semua jenis
tanaman terserang belalang, kecuali satu jenis tanaman yakni mimba. Mimba pun
dapat merubah tingkah laku serangga, khususnya belalang yang tadinya bersifat
migrasi, bergerombol dan merusak menjadi bersifat solitaire yang bersifat tidak
merusak (Aradilla, 2009).
Nimbin dan Nimbidin berperan sebagai mikroorganisme seperti
anti-virus, bakterisida dan fungisida yang sangat bermanfaat untuk digunakan dalam
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Loka Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan
Galang, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian berlangsung dari Februari 2012
sampai dengan April 2012.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang dipergunakan antara lain daun mimba sebagai obat
tradisional yang akan diaplikasikan, aquadest sebagai bahan pelarut ekstrak dan
betadine sebagai obat luka untuk kambing.
Adapun alat yang dipergunakan antara lain timbangan untuk menimbang
bobot daun mimba, gelas ukur sebagai alat untuk mengukur bahan berbentuk
cairan, blender sebagai alat untuk pembuatan ekstraksi secara tradisional, serta
mikroskop sebagai alat untuk mengamati tungau.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan post test only
control group design. Desain ini dipilih karena tidak dilakukan pretest atau
pengamatan terhadap sampel atau unit percobaan sebelum mendapatkan perlakuan
(Nazir, 1985). Kelompok percobaan digolongkan menjadi kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan, yang dianggap homogen karena telah dilakukan randomisasi
terhadap unit percobaan. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap
penelitian pendahuluan (Exploratory test) dan dilanjutkan dengan penelitian
Perlakuan pada penelitian pendahuluan terdiri dari lima variasi konsentrasi
ekstrak daun mimba, yakni :
T0 = kontrol (0%)
T1 = 25 ml ekstrak + 75 ml aquadest (25%)
T2 = 50 ml ekstrak + 50 ml aquadest (50%)
T3 = 75 ml ekstrak + 25 ml aquadest (75%)
T4 = 100 ml ekstrak (100%)
Sementara perlakuan pada penelitian sesungguhnya terdiri dari enam variasi
konsentrasi ekstrak daun mimba, yakni :
T0 = kontrol (0%)
T1 = 5 ml ekstrak + 95 ml aquadest (5%)
T2 = 10 ml ekstrak + 90 ml aquadest (10%)
T3 = 15 ml ekstrak + 85 ml aquadest (15%)
T4 = 20 ml ekstrak + 80 ml aquadest (20%)
T5 = 25 ml esktrak + 75 ml aquadest (25%)
Tiap perlakuan diulang sebanyak empat kali, sehingga terdapat 20 unit
percobaan pada penelitian pendahuluan dan 24 unit percobaan pada penelitian
sesungguhnya.
Pembuatan Ekstrak Daun Mimba
Cara pembuatan ekstrak daun mimba adalah daun mimba segar ditimbang
sebanyak 100 gram. Kemudian dihaluskan dan dicampurkan ke dalam 1000 ml
air, lalu diaduk secara merata selama 15 menit. Campuran tersebut didiamkan
ditetapkan sebagai ekstrak daun mimba (100%). Berikut ini disajikan skema
pembuatan Ekstrak daun Mimba.
dihaluskan
diaduk merata
didiamkan selama 24 jam
difiltrasi
Penelitian ini menggunakan 10 ekor tungau untuk setiap ulangan. Aplikasi
perlakuan adalah tanpa perlakuan untuk T0 (kontrol); diteteskan untuk T1, T2, T3
dan T4. Tungau yang dipergunakan diambil dari kambing kacang yang terinfeksi
scabies pada tingkat parah (lebih dari 2/3 bagian tubuh terserang dan
menimbulkan keropeng). Kambing kacang tersebut dikerok menggunakan scapel
sampai lapisan kulit epidermis, ditandai dengan kemunculan sedikit bintik-bintik
darah. Area kulit yang dikerok kemudian dioleskan dengan alkohol dan obat 100 gram daun Mimba
Tambahkan 1 Liter Air
Ekstrak 100%
merah untuk mencegah infeksi sekunder dan mempercepat masa penyembuhan
luka. Kerokan kulit ditampung pada cawan petri kemudian tungau diseleksi di
bawah mikroskop di laboratorium dan ditempatkan ke dalam cawan petri yang
telah dipersiapkan. Setiap cawan petri diisi dengan 10 ekor tungau. Kriteria
tungau yang dimasukkan ke dalam cawan petri adalah tungau jantan dewasa,
ditandai dengan ukurannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan tungau betina
dewasa, namun telah memiliki kaki yang lengkap (4 pasang). Pengambilan tungau
dilakukan menggunakan jarum suntik dengan cara dicuplik dari kerokan kulit,
kemudian segera ditempatkan pada cawan petri baru. Setelah terkumpul 10 ekor
tungau untuk setiap petri, tungau tersebut kemudian diberi perlakuan ekstrak daun
mimba yang telah dipersiapkan dengan cara diteteskan, satu tetes untuk setiap unit
percobaan. Tiap tetes mampu menampung 10 ekor tungau. Penetesan dilakukan
sebanyak satu kali dan tungau tidak diberi makan selama masa pengamatan.
Parameter Penelitian
1. Jumlah tungau mati (mortality mite numbers)
Jumlah tungau yang mati setelah selang waktu tertentu (24 jam sekali pada
penelitian pendahuluan dan 6 jam sekali pada penelitian sesungguhnya)
kemudian diamati dibawah mikroskop. Kriteria tungau mati adalah tungau
yang tidak memberikan respon gerak terhadap tekanan ataupun sentuhan dari
ujung jarum suntik.
2. Kecepatan kematian tungau per satuan waktu (rate of mite mortality)
Perhitungan kecepatan kematian tungau per satuan waktu adalah dengan
pengamatan. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi
kecepatan ekstrak daun mimba dalam membunuh tungau Sarcoptes scabiei.
3. Konsentrasi mematikan (Lethal Concentration)
Konsentrasi mematikan (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi
ekstrak daun mimba yang menyebabkan kematian tungau Sarcoptes scabiei.
Untuk penentuan dosis efektif, umumnya dilakukan pengamatan terhadap LC50
atau konsentrasi mematikan yang menyebabkan kematian dari 50% hewan uji.
Nilai LC50 merupakan nilai tengah dari efek suatu obat terhadap hewan yang
diujikan.
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Cawan Petri
Cawan petri yang akan dipergunakan untuk penelitian diberi label (labelling)
untuk tiap perlakuan dan ulangan. Jumlah cawan petri pada penelitian
pendahuluan adalah 20 buah dan pada penelitian sesungguhnyha adalah 24 buah.
2. Pengambilan Tungau
Tungau diperoleh melalui kerokan kulit (skin scrapping) pada kambing
kacang yang terinfeksi penyakit scabies. Kerokan kulit ditampung dalam cawan
petri bersih. Keropeng yang terkumpul kemudian dibawa ke laboratorium untuk
diseleksi.
3. Aklimatisasi tungau
Aklimatisasi merupakan usaha untuk mengadaptasi tungau dari induk semang
aklimatisasi dengan cara dipuasakan selama 24 jam, namun pada kasus penelitian
ini, daur hidup tungau Sarcoptes scabiei yang dipergunakan cukup singkat,
berkisar antara 3-5 hari, sehingga aklimatisasi untuk tungau dipersingkat menjadi
6 jam pemuasaan sebelum mendapatkan perlakuan. Aklimatisasi bertujuan untuk
menghilangkan pengaruh external dari hewan uji, seperti makanan, yang
kemungkinan akan memberi kontribusi terhadap efek dari ekstrak daun mimba
yang akan diberikan kepada hewan uji.
4. Seleksi tungau
Tungau yang telah dipuasakan selama 6 jam kemudian diseleksi untuk
selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri penelitian. Kriteria tungau yang
diseleksi adalah tungau yang belum mencapai dewasa penuh, ditandai dengan
ukurannya yang relatif lebih kecil dari tungau dewasa tetapi telah memiliki kaki
yang lengkap (4 pasang).
5. Aplikasi ekstrak daun mimba
Aplikasi dilakukan dengan cara meneteskan hewan uji yang telah diseleksi
dan ditempatkan ke dalam cawan petri dengan larutan yang mengandung ekstrak
daun mimba, dengan berbagai konsentrasi (0%, 25%, 50%, 75% dan 100% pada
penelitian pendahuluan dan 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% pada penelitian
sesungguhnya). Penetesan dilakukan satu kali dan tungau tidak diberi makan
selama masa pengamatan. Tiap cawan petri ditetesi sebanyak satu tetes ekstrak
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian pendahuluan (Exploratory test) Jumlah tungau mati per satuan waktu
Pengamatan tungau di bawah mikroskop dilakukan untuk mengetahui
jumlah tungau mati setiap 24 jam sekali. Hasil pemeriksaan jumlah tungau yang
mati setelah perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Rataan jumlah tungau mati per satuan waktu
Jam Konsentrasi ekstrak daun mimba
0% 25% 50% 75% 100%
0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
24 1,00 7,50 9,50 9,50 10,00
48 2,00 8,00 10,00 9,75 10,00
72 2,75 9,25 10,00 10,00 10,00
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah tungau mati pada perlakuan
kontrol sebesar 1 ekor pada jam ke-24, 2 ekor pada jam ke-48, dan 2,75 ekor pada
jam 72, perlakuan 25% sebesar 7,5 ekor pada jam 24, 8 ekor pada jam
48, dan 9,25 ekor pada jam 72, perlakuan 50% sebesar 9,5 ekor pada jam
ke-24, dan 10 ekor pada jam ke-48, perlakuan 75% sebesar 9,5 ekor pada jam ke-ke-24,
9,75 ekor pada jam ke-48 dan 10 ekor pada jam ke-72, serta perlakuan 100%
sebesar 10 ekor pada jam ke-24.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa hewan uji yakni tungau
Sarcoptes scabiei var. caprae yang diperlakukan pada konsentrasi ekstrak daun
mimba sebesar 100%, tidak ada yang dapat hidup pada rentang waktu 24 jam. Hal
ini mengindikasikan bahwa konsentrasi tersebut masih terlalu tinggi untuk
rataan kematian hewan uji yang terjadi adalah 9,5ekor, 9,5 ekor dan 7,5 ekor pada
jam ke-24. Data ini menunjukkan bahwa kematian hewan uji 50% (5 ekor) terjadi
antara rentang 0% sampai dengan 25% dan pada waktu antara 0 sampai dengan 24
jam. Oleh sebab itu, pada penelitian tahap sesungguhnya (Full scale test)
digunakan konsentrasi ekstrak daun mimba yang lebih rendah, yakni 0%, 5%,
10%, 15%, 20% dan 25%, serta waktu pengamatan yang diperpendek menjadi
setiap 6 jam sekali serta pengamatan dilakukan selama kurun waktu 24 jam.
Kecepatan kematian tungau
Kecepatan kematian tungau ditentukan dari jumlah kematian tungau per
satuan waktu. Satuan waktu yang dimaksud di sini adalah setiap jam. Kecepatan
kematian tungau selama penelitian dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Kecepatan kematian tungau Sarcoptes scabiei var. caprae
Jam Konsentrasi ekstrak daun mimba
0% 25% 50% 75% 100%
0 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
24 0,042 0,312 0,395 0,395 0,416
48 0,042 0,166 0,208 0,203 0,208
72 0,038 0,128 0,138 0,138 0,138
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kecepatan kematian tungau pada
perlakuan kontrol sebesar 0,042 ekor/jam pada jam ke-24, 0,042 ekor/jam pada
jam ke-48, dan 0,038 ekor tungau/jam pada jam ke-72, perlakuan 25% sebesar
0,312 ekor/jam pada jam ke-24, 0,166 ekor/jam pada jam ke-48, dan 0,128
ekor/jam pada jam ke-72, perlakuan 50% sebesar 0,395 ekor/jam pada jam ke-24,
0,208 ekor/jam pada jam ke-48, dan 0,138 ekor/jam pada jam ke-72, perlakuan
0,138 ekor/jam pada jam ke-72, dan perlakuan 100% sebesar 0,416 ekor/jam pada
jam ke-24, 0,208 ekor/jam pada jam ke-48, dan 0,138 ekor/jam pada jam ke-72.
Berdasarkan data ini diketahui bahwa kecepatan kematian tungau paling
besar terdapat pada perlakuan 100% pada jam ke-24 yakni sebesar 0,416
ekor/jam, dimana pada perlakuan 75%, 50%, dan 25% masing-masing sebesar
0,395 ekor/jam, 0,395 ekor/jam, dan 0,312 ekor/jam pada jam ke-24. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba tidak membunuh tungau secara cepat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam majalah Sinar Tani (2006) bahwa bahan
pestisida yang dikandung dalam mimba, antara lain Azadirachtin, Salannin,
Meliantriol, Nimbin dan Nimbidin, tidak membunuh hama secara cepat.
Konsentrasi mematikan (Lethal concentration)
Pengukuran konsentrasi mematikan (Lethal Concentration) didapat
melalui analisis regresi dan dilakukan pada waktu dimana terjadi kematian 50%
(LC50) pada hewan uji. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kematian hewan uji telah
melampaui 50% pada jam ke-24, sehingga nilai LC50 didapatkan melalui analisis
regresi antara konsentrasi ekstrak daun mimba sebagai variabel bebas dan jumlah
tungau mati sebagai variabel terikat pada jam ke-24. Rataan kematian tungau pada
jam ke 24 dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Rataan kematian tungau pada jam ke 24
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa kematian hewan uji sebesar 1 ekor
pada perlakuan kontrol, 7,5 ekor pada perlakuan konsentrasi ekstrak daun mimba
25%, 9,5 ekor pada perlakuan 50%, 9,5ekor pada perlakuan 75%, dan 10 ekor
pada perlakuan 100%.. Untuk dapat menduga konsentrasi yang menyebabkan
kematian hewan uji sebesar 50%, maka data di atas diuji menggunakan analisis
regresi. Nilai LC50 adalah 18,75%, didapat dengan cara sebagai berikut
Persamaan regresi linear : Y = a + bX
dimana a = 3,5
b = 0,08
maka Y = 3,5 + 0,08X
50% kematian hewan uji = 50% x Jumlah hewan uji
= 50% x 10 = 5 ekor
Masukkan nilai Y = 5, maka diperoleh nilai X = 18,75%
Nilai LC50 ini menunjukkan bahwa konsentrasi yang efektif diduga pada 18,75%.
Data ini diperlukan mengingat belum pernah ada penelitian sebelumnya yang
Penelitian sesungguhnya (Full scale test) Jumlah tungau mati per satuan waktu
Pengamatan untuk mengetahui jumlah tungau yang mati di bawah
mikroskop yang dilakukan setiap 6 jam sekali. Hasil pemeriksaan jumlah tungau
yang mati setelah perlakuan dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Jumlah tungau mati per satuan waktu
Jam Konsentrasi ekstrak daun mimba
0% 5% 10% 15% 20% 25%
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan jumlah tungau mati pada
perlakuan kontrol sebanyak 0 ekor pada jam ke-6, 0,5 ekor pada jam ke-12, 1 ekor
pada jam ke-18, dan 2,25 ekor pada jam ke-24, perlakuan 5% sebesar 0,75 ekor
pada jam ke-6, 2,75 ekor pada jam ke-12, 4,25 ekor pada jam ke-18, dan 5,75 ekor
pada jam ke-24, perlakuan 10% sebesar 0,5 ekor pada jam ke-6, 3 ekor pada jam
ke-12, 5,5 ekor pada jam ke-18, dan 7,25 ekor pada jam ke-24, perlakuan 15%
sebesar 3 ekor pada jam ke-6, 4,5 ekor pada jam ke-12, 6 ekor pada jam ke-18,
dan 6,5 ekor pada jam ke-24, perlakuan 20% sebesar 1,5 ekor pada jam ke-6, 4,25
ekor pada jam ke-12, 6,5 ekor pada jam ke-18, dan 7,5 ekor pada jam ke-24, serta
perlakuan 25% sebesar 2 ekor pada jam ke-6, 4,25 ekor pada jam ke-12, 6 ekor
pada jam ke-18, dan 8 ekor pada jam ke-24.
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah
tungau mati seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak yang diaplikasikan.
mimba mengandung zat Azadirachtin yang efektif sebagai pestisida dan
insektisida. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba juga
bersifat skabisida (membunuh tungau Sarcoptes scabiei).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol (tanpa
perlakuan) terjadi kematian tungau, yakni sebanyak 2,25 ekor pada jam ke-24. Hal
ini terjadi akibat kondisi cuaca pada saat penelitian memasuki musim kering,
sehingga tungau tidak dapat bertahan lama dalam kondisi seperti ini. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Soulsby (1982) yang menyatakan bahwa jumlah tungau
akan berkurang dan gejala penyakit skabies seolah-olah mereda, diakibatkan
karena tungau peka terhadap kekeringan dan tidak dapat bertahan hidup lebih
lama dalam kondisi tersebut.
Kecepatan kematian tungau
Kecepatan kematian tungau ditentukan dari jumlah kematian tungau per
satuan waktu. Satuan waktu yang dimaksud di sini adalah setiap jam. Kecepatan
kematian tungau selama penelitian dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Kecepatan kematian tungau Sarcoptes scabiei var. caprae
Jam Konsentrasi Ekstrak Daun Mimba
0% 5% 10% 15% 20% 25%
Sumber : Data primer yang diolah
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kecepatan kematian tungau pada
perlakuan Kontrol sebesar 0 ekor/jam pada jam ke-6, 0,0416 ekor/jam pada jam
ekstrak daun mimba konsentrasi 5% sebesar 0,1250 ekor/jam pada jam ke-6,
0,2291 ekor/jam pada jam ke-12, dan 0,2361 ekor/jam pada jam ke-18, dan 0,2395
ekor/jam pada jam ke-24, perlakuan 10% sebesar 0,0833 ekor/jam pada jam ke-6,
0,2500 ekor/jam pada jam ke-12, 0,305 ekor/jam pada jam ke-18, dan 0,3021
ekor/jam pada jam ke-24, perlakuan 15% sebesar 0,500 ekor/jam pada jam ke-6,
0,375 ekor/jam pada jam ke-12, 0,333 ekor/jam pada jam ke-18, dan 0,271
ekor/jam pada jam ke-24, perlakuan 20% sebesar 0,250 ekor/jam pada jam ke-6,
0,354 ekor/jam pada jam ke-12, 0,361 ekor/jam pada jam ke-18, dan 0,3125
ekor/jam pada jam ke-24, serta perlakuan 25% sebesar 0,333 ekor/jam pada jam
ke-6, 0,354 ekor/jam pada jam ke-12, 0,333 ekor/jam pada jam ke-18, dan 0,3333
ekor/jam pada jam ke-24.
Konsentrasi mematikan (Lethal concentration)
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kematian hewan uji telah melampaui 50%
pada jam ke 18, sehingga nilai LC50 didapatkan melalui analisis regresi antara
konsentrasi ekstrak daun mimba sebagai variabel bebas dan jumlah tungau mati
sebagai variabel terikat pada jam ke 18. Rataan kematian tungau pada jam ke 18
dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Rataan kematian tungau pada jam ke 18
n x(%) Y(ekor)
Nilai LC50 adalah 13,18%, didapat dengan cara sebagai berikut
Masukkan nilai Y = 5, maka diperoleh nilai X = 13,18%
Nilai LC50 ini kemudian menjadi dasar acuan untuk menentukan dosis
aplikasi perlakuan di lapangan. Konsentrasi ekstrak daun mimba yang lebih kecil
dari 13,18% tidak disarankan karena kurang efektif dalam membunuh tungau. Hal
ini dibuktikan dari rataan jumlah tungau mati hanya mencapai 4,25 ekor pada
konsentrasi yang lebih rendah, sedangkan untuk konsentrasi lebih dari 13,18%
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap individu ternak yang terserang. Hasil
analisis sidik ragam dari data di atas disajikan pada tabel berikut
Tabel 7. Hasil Analisis korelasi menggunakan bantuan SPSS 18,0 for Windows
Model Summaryb a. Predictors: (Constant), Konsentrasi Mimba
b. Dependent Variable: Tungau Mati
Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang erat
antara peningkatan konsentrasi ekstrak daun mimba dengan jumlah tungau yang
mati. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi (r) yakni sebesar 0,842
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ekstrak daun tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) yang diolah
secara tradisional efektif dalam membunuh tungau Sarcoptes scabiei yang
menyerang kambing (Sarcoptes scabiei var. caprae). Hal ini dibuktikan dari nilai
LC50 pada uji sesungguhnya yakni 13,18%, yang berarti ekstrak daun mimba
efektif untuk diaplikasikan dengan dosis aplikasi mulai dari 13,18%.
Saran
Untuk aplikasi di lapangan (In Vivo) sebaiknya digunakan ekstrak daun
mimba dengan konsentrasi minimal 13,18%, namun untuk tingkat serangan
scabies yang parah (lebih dari 2/3 bagian tubuh yang terinfeksi), konsentrasi
ekstrak daun mimba dapat ditingkatkan untuk mengurangi serangan tungau atau
menyembuhkan ternak yang terinfeksi. Perlu diteliti lebih jauh mengenai
penggunaan daun mimba terhadap telur dan larva sarkoptes untuk melengkapi
DAFTAR PUSTAKA
Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) Terhadap Larva Aedes aegepty; Laporan Akhir Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Budiantono. 2004. Kerugian Ekonomi Akibat Scabies dan Kesulitan dalam Pemberantasannya. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI, Denpasar.
Colleville, J.L., and D.L Berryhill, 1991. Handbook of zoonoses; identification and prevention. Ellsevier, Missouri
Devendra, C., 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Disnak Provinsi Jawa Barat, 2011. Tanya Jawab Seputar Scabies. http://www.dis-nak.jabarprov.go.id/index.php/TanyaJawab&idMenuKiri=686&id=417& aksi=detail&page=7 [20 Desember 2011].
Eleser, S., Junjungan, J. Manurung, dan Toni Suibu, 2005. Efektivitas Pemberian Monolaurin dan Obat Alternatif Lainnya dalam Memberantas Penyakit Scabies pada Kambing. Seminar Nasional Tekonologi Peternakan dan Veteriner 2005, Galang.
Flynn, J.R., 1973. Parasites of Laboratory Animal. The Iowa State University Press, USA.
Foster, R., dan Smith, 2000. Sarcoptic Mange. http://www.peteducation.com/ article.cfm [20 Desember 2011].
Grant, D.I., 1986. Skin Disease in The Dog and Cat. Black Well Scientific Publications Oxford, London.
Kardiman, A. 2006. Mimba (Azadirachta indica) Bisa Merubah Perilaku Hama. Sinar Tani Edisi 29 Maret – 4 April 2006
Kelly, J.D., 1977. Canine Parasitology. University of Sydney, Sydney.
Leuvine, N. D.1990. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nazir, M., 1985. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.
Oktora, S., 2009. Scabies pada Hewan Peliharaan http://pietklinik.com/ [20 Desember 2011]
Roitt, I., Brostoff, J., and Male, D., 1998. Immunology, 4th Edition. Mosby International Publishers Limited, Barcelona
Samsudin, 2008. Azadirachtin, Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat, Bogor.
Setiawan, N., 2006. Perkembangan Konsumsi Protein Hewani di Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animal. Balliere Tindall, London.
Subronto, 2008. Ilmu Penyakit Ternak 1-b. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sukrasno, dkk., 2004. Mimba: Tanaman Obat Multifungsi. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner, dan T.R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Urguhart, G. M., J. Armour, J.L. Duncan., A.m. Dunn and F.W. Jennings. 1987. Veterinary Parasitology. Churchill Livingstone Inc. Newyork.
Williams, R. E., R.D. Hall, A.B. Broce, P.J.Scholl. 1985. Livestock Entomology. John Wiley & Sons. Newyork.
World Agroforestry Centre, 2011. Leaflet Mimba (Azadirachta indica) dan manfaatnya._http://www.worldagroforestry.org/Sea/Publications/files/leafl et/LE0016-04.pdf_[20 Desember 2011]
http://www.bestpractice.bmj.com [30 Juni 2012]
http://www.obatherbalalami.com/2011/05/penyakit-kudis-scabies.html. [20 Desember 2011].
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=240 [20 Desember 2011].