RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI
Bakau Minyak (
Rhizopora apiculata
BI)
TERHADAP SALINITAS DAN
KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON
HASIL PENELITIAN
Oleh:
PRAYUNITA
081202033/BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI
Bakau Minyak (
Rhizopora apiculata
BI)
TERHADAP SALINITAS DAN
KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON
HASIL PENELITIAN
Oleh:
PRAYUNITA
081202033/BUDIDAYA HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon
Nama : Prayunita
NIM : 081202033
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Mohammad Basyuni S.Hut, M.Si, Ph.D Dr.Ir. Lollie Agustina P. Putri M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
PRAYUNITA. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian salinitas terhadap pertumbuhan dan bioamassa mangrove jenis non sekresi Rhizopora apiculata pada tingkat semai dan kandungan lipid dan NSL pada tingkat pohon. Tingkat salinitas dibuat dengan 5 perlakuan yaitu 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% dan bibit ditanam selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik semai Rhizopora apiculata berada di salinitas 1,5%, jumlah daun dan luas daun di salinitas 0,5%. Biomassa batang dan akar terbaik di 1,5%, sedangkan biomassa daun terbaik di salinitas 0,5%. Kandungan total lipid pada pohon Rhizopora apiculata di daun lebih banyak yaitu 9,60 mg daripada di akar yaitu 6,40 mg. Kandungan NSL pada pohon Rhizopora apiculata lebih banyak di akar yaitu 0,226 mg daripada di daun yaitu 0,10 mg. Penelitian ini dapat memberikan informasi untuk program rehabilitasi agar dapat memperoleh bibit Rhizopora apiculata yang pertumbuhannya paling baik pada berbagai tingkat salinitas.
ABSTRACK
PRAYUNITA. Growth and biomass seedling of Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) against Salinity and Lipid Contain at Tree Level. MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.
This study aims to see the effect of salinity on the growth bioamassa mangrove non secretion species Rhizophora apiculata in seedling and content of lipid and NSL at tree level. Made with 5 levels of salinity treatments of 0%, 0.5%, 1.5%, 2% and 3% and the seed is planted for 5 months. The results showed the best height and diameter growth of Rhizophora apiculata seedlings at salinity 1.5%, leaf number and leaf area in the salinity of 0.5%. Stem and root biomass best at salinity 1.5%, while the best leaf biomass in the salinity of 0.5%. Total lipid content of the tree Rhizophora apiculata leaves more in the 9.60 mg than in the root is 6.40 mg. NSL content of the tree Rhizophora apiculata NSL roots more in the 0.226 mg than in the leaves is 0.10 mg. This study may provide information to the rehabilitation program in order to obtain Rhizophora apiculata seedlings growing best at different levels of salinity.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 4 Oktober 1990 dari pasangan
Bapak Mujiono dan Ibu Tri Handayani. Penulis merupakan putri ke dua dari
empat bersaudara.
Lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 094153 Kabupaten Simalungun
pada tahun 2002, pada tahun 2005 lulus dari SMP Negeri 1 Siantar, dan pada
tahun 2008 lulus dari SMA Negeri 3 Pematang Siantar. Pada tahun yang sama
penulis di terima menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara (USU) melalui jalur Ujian Masuk Bersama. Penulis memilih jurusan
Budidaya Hutan, Program Studi Kehutanan.
Selama mengikuti kuliah, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Hasil
Hutan Non Kayu tahun 2010, Asisten Ekologi Hutan tahun 2010 dan 2011,
Asisten Praktikum Silvika tahun 2012, Asisten Praktik Pengenalan Ekosistem
Hutan (P2EH) tahun 2011.
Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Hutan
Dataran Tinggi Gunung Sinabung dan TWA Deleng Lancuk Kabupaten Karo
tahun 2010. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman
NAsional Baluran, Situbondo, Jawa Timur dari tanggal 3 Februari sampai 3 Maret
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Adapun proposal penelitian ini berjudul “Respon Pertumbuhan dan
Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan
Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon”. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada ketua komisi pembimbing Mohammad. Basyuni S.Hut, M.si, Ph.D dan
anggota komisi pembimbing Dr.Ir. Lollie Agustina P. Putri M.Si yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan proposal ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu angkatan yang telah
mendukung penulis serta pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan proposal penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa pembuatan proposal ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca demi penyempurnaan proposal ini.
Akhirnya penulis berharap proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kehutanan.
Medan, Agustus 2012
DAFTAR ISI
Hutan Mangrove dan Karakteristiknya ... 5Penyebaran Hutan Mangrove ... 6
Zonasi di Hutan Mangrove ... 7
Taksonomi dan Morfologi Rhizopora apiculata ... 8
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove ... 10
Potensi Triterpenoid pada Mangrove ... 13
Mekanisme Toleransi Tanaman Terhadap Cekaman Garam ... 14
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17
Penanaman ... 17
Pengambilan Sampel dan Ekstraksi ... 17
Kondisi Umum Lokasi Pengambilan Sampel ... 17
Alat dan Bahan Penelitian ... 19
Penanaman ... 19
Ekstraksi dan Analisis ... 20
Prosedur Penelitian ... 20
Penyiapan Media Tanam... 20
Berat Basah Tajuk (g) ... 23
Berat Basah Batang (g) ... 23
Berat Kering Akar (g) ... 23
Berat Kering Tajuk (g) ... 23
Berat Kering Batang (g) ... 23
Ratio Tajuk dan Akar ... 23
Ratio Batang dan Akar ... 23
Analisis Data ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Semai ... 25
Pengaruh Salinitas Terhadap Biomassa Semai ... 29
Rasio Tajuk/Akar dan Rasio Batang/Akar Semai ... 31
Total Lipid dan Kandungan NSL (Nonsaponifiable Lipid) ... 35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38
Saran ……….. 38
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Halaman
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta Lokasi Pulau Semnilan ... 18
2. Tinggi dan diameter semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 5 bulan. Data merupakan rata-rata ± SE (n=13-15). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05
dan tanda ** menandakan P < 0,01
... 26
3. Rata-rata Jumlah Daun (A) dan Luas Daun Rhizopora apiculata (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n = 13-15) untuk rata-rata jumlah daun dan SE (n= 5) untuk luas daun. Tanda * mengindikasikan secara statistik
P<0,05 dan tanda ** menandakan
P<0,01... 28
4. Pengaruh Salinitas terhadap Berat Basah (A) dan Berat Kering (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets
... 26
5. Rasio Tajuk dan Akar (A), Rasio Batang dan Akar (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets... 32
6. Zonasi Mangrove di Pulau Sembilan Kabupaten Langkat
ABSTRAK
PRAYUNITA. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidnya pada Tingkat Pohon. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian salinitas terhadap pertumbuhan dan bioamassa mangrove jenis non sekresi Rhizopora apiculata pada tingkat semai dan kandungan lipid dan NSL pada tingkat pohon. Tingkat salinitas dibuat dengan 5 perlakuan yaitu 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% dan bibit ditanam selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik semai Rhizopora apiculata berada di salinitas 1,5%, jumlah daun dan luas daun di salinitas 0,5%. Biomassa batang dan akar terbaik di 1,5%, sedangkan biomassa daun terbaik di salinitas 0,5%. Kandungan total lipid pada pohon Rhizopora apiculata di daun lebih banyak yaitu 9,60 mg daripada di akar yaitu 6,40 mg. Kandungan NSL pada pohon Rhizopora apiculata lebih banyak di akar yaitu 0,226 mg daripada di daun yaitu 0,10 mg. Penelitian ini dapat memberikan informasi untuk program rehabilitasi agar dapat memperoleh bibit Rhizopora apiculata yang pertumbuhannya paling baik pada berbagai tingkat salinitas.
ABSTRACK
PRAYUNITA. Growth and biomass seedling of Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) against Salinity and Lipid Contain at Tree Level. MOHAMMAD BASYUNI S.Hut, M.Si, Ph.D dan Dr. Ir. LOLLIE AGUSTINA P PUTRI M.Si.
This study aims to see the effect of salinity on the growth bioamassa mangrove non secretion species Rhizophora apiculata in seedling and content of lipid and NSL at tree level. Made with 5 levels of salinity treatments of 0%, 0.5%, 1.5%, 2% and 3% and the seed is planted for 5 months. The results showed the best height and diameter growth of Rhizophora apiculata seedlings at salinity 1.5%, leaf number and leaf area in the salinity of 0.5%. Stem and root biomass best at salinity 1.5%, while the best leaf biomass in the salinity of 0.5%. Total lipid content of the tree Rhizophora apiculata leaves more in the 9.60 mg than in the root is 6.40 mg. NSL content of the tree Rhizophora apiculata NSL roots more in the 0.226 mg than in the leaves is 0.10 mg. This study may provide information to the rehabilitation program in order to obtain Rhizophora apiculata seedlings growing best at different levels of salinity.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara luas hutan mangrove dalam zona pasang surut daerah tropis dan
subtropis, membentuk ekosistem penting bagi ikan dan melindungi dari erosi
pantai (Tomlinson, 1986; Alongi, 2002; Basyuni et al., 2007). Posisinya yang
berada di sepanjang permukaan daratan-laut, mangrove sangat rentan terhadap
perubahan permukaan laut dan sedimen sungai (Nicholls et al., 1999; Basyuni et
al., 2007).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif di bumi,
dan jatuhnya sampah mangrove merupakan sumber karbon organik yang paling
penting pada siklus biogeokimia dalam ekosistem mangrove (Wafar et al, 1997.;
Clough et al., 2000) dan indikator yang berharga dalam produktivitas mangrove
(Clough, 1998). Oleh karena itu produktivitas yang tinggi, tingkat perputaran
bahan organik dan pertukaran ekosistem darat dan laut, mangrove merupakan
bagian yang penting dalam siklus ulang biogeokimia karbon dan elemen yang
terkait di sepanjang pesisir wilayah tropis.
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 21% dari luas
total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Spalding et al., 2010).
Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang hidup diantara daratan dan lautan
daerah pasang surut, kondisi tanah berlumpur dan salinitas tinggi di daerah tropis
dan subtropis (Kathiresan and Bingham, 2001).
mangrove telah diakui bagi ekosistem global, namun terdapat sedikit informasi
yang menjelaskan mengapa tanaman mangrove dapat tumbuh di lingkungan
salinitas yang tinggi, terutama yang berasal dari mangrove Indonesia. Menurut
karakteristik morfologinya dalam manajemen garam, tanaman mangrove dibagi
ke dalam dua kelompok besar (Scholander et al., 1962). Kelompok pertama
adalah spesies yang mensekresi garam (jenis sekresi/secreting species) yang
memiliki kelenjar garam di daunnya atau rambut garam untuk menghilangkan
kelebihan garam. Yang kedua adalah spesies non-sekresi (non-scereting species)
yang tidak memiliki fitur morfologi tersebut untuk ekskresi kelebihan garam
(Scholander et al., 1962; Tomlinson, 1986). Dengan demikian, hutan mangrove
merupakan model tanaman yang ideal untuk mempelajari mekanisme toleransi
garam pada tingkat seluler.
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang
berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas,
temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya
struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai
dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan
lautan. Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
perkembangan hutan mangrove.
Mangrove terkenal kaya sebagai sumber senyawa triterpenoid dan
fitosterol (isoprenoid) (Koch et al, 2003; Basyuni et al, 2007a). Salah satu
kemampuan mencolok spesies mangrove adalah tumbuh dalam berbagai tingkat
salinitas mulai dari air tawar sampai ke tingkat di atas air laut. Beberapa studi
konsentrasi triterpenoid di mangrove jenis non-sekresi (Oku et al., 2003; Basyuni
et al., 2007b, 2009). Tambahan lagi, senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai
chemical defense bagi dirinya (Williams, 1999).
Selain itu, telah ditemukan bahwa tanaman mangrove menghasilkan
metabolit sekunder dalam merespon berbagai faktor eksternal (Parida and Das,
2005). Jadi lipid pada membran sel dapat memainkan peran penting dalam
adaptasi tanaman terhadap tekanan lingkungan. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa triterpenoid memainkan peran penting untuk melindungi
mangrove dari cekaman garam (Oku et al., 2003; Basyuni et al., 2007a, 2009,
2011). Meskipun demikian, sedikit studi yang difokuskan pada komposisi
triterpenoid dan fitosterol dari hutan mangrove, terutama dari hutan mangrove
Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan pada isolasi dan karakterisasi
senyawa isoprenoid dari mangrove jenis non-sekresi Rhizophora apiculata dan
relevansinya dengan toleransi garam.
Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan biomassa semai bakau
minyak (Rhizophora apiculata) pada berbagai konsentrasi salinitas.
2. Untuk mengetahui gambaran zonasi mangrove di Pulau Sembilan.
3. Untuk mengetahui kandungan lipid di daun dan akar Rhizopora apiculata
Hipotesis Penelitian
Pertumbuhanan dan biomassa semai Rhizopora apiculata berpengaruh
paling baik pada salinitas 1,5%.
Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Informasi untuk program rehabilitasi agar dapat memperoleh bibit
Rhizopora apiculata yang pertumbuhannya lebih baik pada berbagai
tingkat salinitas.
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan mangrove dan karakeristiknya
Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan
bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia
(api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak
mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove (Jayatissa dkk., 2002).
Menurut MacNae (1968) kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis
mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (semak-belukar), menjadi
mangrove yakni semak-belukar yang tumbuh di tepi laut. Dalam bahasa Inggris
kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
pasang-surut maupun untuk individu-individu tergenang pada saat pasang dan
bebas dari genangan pada saat surut yangkomunitas tumbuhannya bertoleransi
terhadap garam.
Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang tumbuh diantara daratan dan
lautan di daerah tropis dan subtropis. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan
khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi
tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang
stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove
mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan
garam dari jaringan lewat kelenjar daun. Sementara jenis yang lainnya
mengembangkan sistem perakaran untuk membantu memperoleh oksigen bagi
sistem perakarannya. Dalam hal yang lain, beberapa jenis mangrove berkembang
(vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora
(Tomlinson, 1986; Kathiresan and Bingham, 2001).
Selanjutnya Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga
kelompok, yakni: (1) Flora mangrove mayor (flora mangrove sejati), yakni flora
yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan
membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas,
secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan
viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis
dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa. (2) Flora
mangrove sejati minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk
tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur
komunitas, contohnya Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis,
Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. (3)
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus, dan lain-lain.
Penyebaran Hutan Mangrove
Indonesia merupakan negara yang kaya, Indonesia mempunyai hutan
mangrove yang terluas didunia, sebaran terumbu karang yang eksotik, rumput laut
yang terdapat dihampir sepanjang pantai, sumber perikanan yang tidak ternilai
banyaknya. menurut Noor, dkk., (2006) Indonesia merupakan negara yang
mempunyai luas hutan mangrove terluas didunia dengan keragaman hayati
Hutan mangrove atau yang biasa disebut hutan bakau, walaupun
penyebutan hutan bakau itu tidak pas sebenarnya karena bakau hanya merupakan
salah satu dari jenis mangrove itu sendiri yaitu jenis Rhizopora spp. Hutan
mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak
dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah
yang landai di daerah tropis dan sub tropis (FAO, 2007).
Zonasi Hutan Mangrove
Zonasi yang terjadi dihutan mangrove adalah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain adalah frekuensi genangan, salinitas, dominasi jenis tumbuhan,
gerakan air pasang-surut dan keterbukaan lokasi hutan mangrove terhadap angin
dan hempasan ombak, serta jarak tumbuhan dari garis pantai.
Bengen (2002) mengemukakan bahwa jenis-jenis pohon penyusun hutan
mangrove, di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan dapat dibedakan
menjadi 4 zonasi, yaitu :
• Zona api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah
berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan
organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis
api-api (Avicennia sp.), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora sp.). • Zona bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur
dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang
(Bruguiera sp.).
• Zona Tanjang (Bruguiera)
Terletak dibelakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera sp.) dan dibeberapa tempat berasosiasi dengan
jenis lain.
• Zona Nipah (Nypa fructican)
Zona ini terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona
ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,
tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada
ditepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fructican) dan
beberapa spesies palem lainnya.
Taksonomi dan Morfologi Rhizopora apiculata
Bakau minyak memiliki nama ilmiah Rhizophora apiculata Bl. (atau
sering pula disebut R. conjugata L.), bakau minyak juga disebut dengan nama
bakau tandok, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain. Tandanya, dengan warna
kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun.
Bakau Minyak (Rhizophora apiculata BI.) mempunyai taksonomi sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Famili :
Genus
Spesies : Rhizophora apiculata Bl.
Rhizophora apiculata dikenal dengan berbagai nama seperti bakau
minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau kacang, bakau leutik,
donggo akit, jankar, abat, parai, mangi-mangi, slengkreng, tinjang, wako. Pohon
dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm.
Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter dan
kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna
abu-abu tua dan berubah-ubah. Daunnya berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda
pada bagian tengah dan kemerahan dibagian bawah. Gagang daun panjangnya
17-35 mm dan warnanya kemerahan. Sederhana dan letaknya berlawanan. Berbentuk
elips menyempit. Ujungnya meruncing dan ukuran 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga
biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran < 14
mm. Terletak di ketiak daun dengan formasi kelompok (2 bunga perkelompok).
Daun mahkota 4 kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak
bunga berwarna kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari 11-12 dan tak
bertangkai. Buah kasar dan berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir,
warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertile. Hipokotil silindris,
berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotiledon berwarna merah jika sudah
matang. Ukuran hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.
Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat
pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan
lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air
tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara
abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting darat
juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan.
Tumbuh lambat, tetapi pembungaan terdapat sepanjang tahun. Kayu dimanfaatkan
untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang, kulit kayu berisi hingga 30% tanin
(persen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar dengan
diberati batu. Di jawa acapkali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi
pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan (Noor et al., 2006).
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove
Cahaya
Cahaya merupakan satu faktor yang penting dalam proses
fotosintesisdalam melakukan pertumbuhan tumbuhan hijau. Cahaya
mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiolagi dan struktur fisik tumbuhan.
Intensitas cahaya didalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan satu
faktor penting untuk tumbuhan. Umumnya tumbuhan di ekosistem mangrove juga
membutuhkan intensitas tinggi ( Mac Nae, 1968).
Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi.
Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju
tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk bruguiera spp
adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC
Tanah
Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi
lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi
lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah
dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi
yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai
nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah
tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 2006).
Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai
sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di
dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove
sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorgansme, seperti
bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel
kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya
tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi
dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).
Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah-
tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai
kadar garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat
masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat atau debu umumnya tinggi,
kecuali tanah-tanah atau pecahan batu karang. Lapisan gambut dengan kandungan
garam tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu
Salinitas
Bagi kebanyakan pohon-pohon mangrove dan fauna penggali liang dalam
tanah, salinitas air pasang mungkin kurang penting dibandingkan dengan salinitas
air tanah. Salinitas air tanah umumnya lebih rendah dibandingkan dengan air
pasang diatasnya, hal ini disebabkan karena terjadinya pengenceran oleh air tawar
(hujan) yang merembes kedalam tanah. Bagi akar-akar pohon dan fauna penggali
lubang, faktor terpenting bukan hanya kadar NaCl tetapi tekanan osmotik.
Salinitas bervariasi dari hari ke hari dan dari musim kemusim. Selama
siang hari salinitas lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Demikian pula
pada musim pasang, salinitas akan turun dan cenderung untuk naik bila surut
kembali. Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai
jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari
media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan
garam dari kelenjar khusus pada daunnya.
Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk
membuang kelebihan garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah
masuknya garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih
dari 90% masuknya garam dengan proses filtrasi pada akar. Garam yang terserap
dengan cepat diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit
kayu dan daun tua yang hampir gugur. Konsentrasi garam dalam cairan biasanya
tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar
garam dan selanjutnya diuapkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan
di permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara
selektif menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi (Soeroyo, 1993).
Potensi triterpenoid pada tanaman mangrove
Mangrove terkenal kaya sebagai sumber senyawa triterpenoid dan
fitosterol (isoprenoid) (Koch et al, 2003; Basyuni et al, 2007a). Karena memiliki
berbagai aktivitas biologis, isoprenoidnya dianggap penting sebagai sumber alam
yang potensial untuk senyawa obat (Sparg et al., 2004). Beberapa aktivitas biologi
dari triterpenoid di mangrove telah dilaporkan. Misalnya, ekstrak dari Rhizophora
apiculata telah diguanakan sebagai obat tradisional dan biologi senyawa aktifnya
diindentifikasi sebagai triterpenoid (Kokpol et al., 1990). Triterpenoid dari
Acanthus illicifolius telah dilaporkan memiliki aktivitas anti-leukimia
(Kokpol et al., 1986).
Penelitian sebelumnya menyarankan bahwa triterpenoid mungkin terlibat
dalam perlindungan mangrove dari stres garam (Oku et al., 2003). Demikian pula,
telah dilaporkan bahwa triterpene synthases dari Arabidopsis thaliana
menunjukkan tanggapan positif terhadap salinitas (Zwenger dan Basu, 2007).
Selain fungsi mereka terhadap stres garam, triterpenoid juga dianggap
memainkan peran defensif terhadap herbivora serangga. Triterpenoid dari
Rhizophora mangle dapat berfungsi sebagai zat pertahanan kimia karena
menunjukkan aktivitas insektisida (William, 1999). Selain itu, publikasi
sebelumnya telah menunjukkan bahwa ekspresi PgTPS terpenoid syntase
meningkat oleh stres garam dalam Panax ginseng (Kim et al, 2008). Tingkat
gymnorrhiza dan Rhizophora stylosa ditingkatkan oleh salinitas (Basyuni et al.,
2009; Basyuni et al., 2011).
Mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman garam
Mekanisme sel tanaman untuk beradaptasi terhadap cekaman garam dan
strateginya belum banyak dipahami (Yeo, 1998; Munns, 2005). Meskipun
mekanisme toleransi garam tanaman tampak kompleks dan bervariasi, beberapa
mekanisme telah dilaporkan: penyesuaian tekanan osmotik oleh akumulasi
molekul kecil seperti osmolytes, glisin-betain atau alkohol gula (Popp, 1984;
Sakamoto and Murata, 2000); garam ekstrusi melewati membran plasma
menggunakan ion transporter (Allen et al., 1995); akumulasi garam dalam vakuola
menggunakan tonoplast transporter (Blumwald dan Poole, 1987; Mimura et al.,
2003).
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa stres salinitas
meningkatkan ekspresi dari sejumlah gen dan tingkat protein (Sugihara et al.,
2000; Ueda et al., 2002; Yamada et al., 2002.). Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa cekaman garam menginduksi perubahan konsentrasi
triterpenoid dan ekspresi gen triterpenoid di mangrove jenis non-sekresi
(Oku et al., 2003; Basyuni et al., 2007b, 2009).
Dalam kondisi cekaman garam, tanaman dapat mengubah tingkat
metabolit sekunder seperti triterpenoid atau senyawa fenolik untuk meningkatkan
sistem pertahanan mereka terhadap stres oksidatif (Kim et al, 2008). Membran
plasma telah memainkan peran penting dalam toleransi tanaman untuk cekaman
garam. Komposisi lipid membran mengontrol membran permeabilitas
Karena lipid terdiri dari proporsi yang signifikan dalam pengeluaran karbon
dari mangrove (Wannigama et al, 1981.; Hogg dan Gillan, 1984; Basyuni et al.,
2007), pengetahuan dari komposisi lipid mangrove menjanjikan kontribusi untuk
memperkirakan sumber dan tingkat akumulasi materi sedimen organik. Lipid
Nonsaponifiable (NSLS) pada dasarnya menunjukkan fraksi lipid sederhana
kecuali untuk asam lemak (saponifiable lipid) setelah hidrolisis basa dari lipid
total, dan mengandung sterol, rantai panjang alkohol dan alkana. Pada umumnya,
NSL mewakili sebagian kecil lipid lebih stabil dibandingkan fraksi lipid
saponifiable (asam lemak), dan resisten terhadap degradasi mikroba telah
dianggap faktor yang relatif penting dalam mengontrol jalur diagenetic (Killops
dan Frewin, 1994;. Koch et al,2005; Basyuni et al., 2007). Triterpenoid adalah
konstituen kimia umum yang lebih tinggi pada tanaman, terdiri dari proporsi
utama dari NSLS, dan telah diidentifikasi dalam lilin kutikula mangrove dan
spesies tanaman lain (Beaton et al, 1955;. Wannigama et al, 1981;. Ghosh et al,
1985;. Koch et al, 2003; Basyuni et al., 2007). Beberapa studi telah menjadikan
terpenoid pentasiklik sebagai pelacak untuk sumber utama organik yang ada pada
mangrove karena stabilitas mangrove selama sedimentasi dan diagenesis (Killops
dan Frewin, 1994; Versteegh et al, 2004;. Koch et al, 2005; Basyuni et al., 2007).
Jadi, analisis dari terpenoid adalah prasyarat untuk interpretasi sinyal biomarker di
sedimen mangrove. Selanjutnya, telah dilaporkan bahwa daun mangrove
merupakan sumber asam lemak (lipid saponifiable) dan lipid lainnya untuk
ekosistem sekitarnya (Basyuni et al., 2007).
Pengamatan ini juga sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa cekaman
serta berkontribusi terhadap toleransi garam di hutan mangrove (Oku et al., 2003;
Basyuni et al., 2007a, 2009). Selanjutnya, triterpenoid ada dalam proporsi yang
lebih besar di bagian luar akar, menunjukkan peran pelindung triterpenoid pada
spesies pohon mangrove (Basyuni et al., 2007b). Meskipun banyak penelitian
bahwa skrining gen yang terlibat dalam toleransi terhadap garam, tidak ada yang
menggambarkan ekspresi garam-responsif dari gen untuk sintasa triterpenoid. Hal
ini bisa karena perbedaan antara spesies tanaman, jaringan dipelajari, durasi dan
perlakuan garam, dan mungkin indikasi dari beragamnya mekanisme toleransi
garam antara pohon-pohon mangrove (Ezawa and Tada, 2009; Basyuni et al.,
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penananam
Penanaman propagul Rhizopora apiculata dengan berbagai perlakuan
salinitas dalam kurun waktu 5 bulan dilakukan pada 24 agustus 2011 sampai 24
januari 2012 di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Pengambilan Sampel dan Ekstraksi
Sampel daun dan akar Rhizopora apiculata diambil dari pohon dewasa di
Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pengambilan sampel
dilakukan pada tanggal 14 April 2012. Ekstraksi lipid dan Analisis NSL
(Nonsaponifieble Lipids) dilakukan pada 25 juni-juli 2012, di Laboratorium
Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
Kondisi Umum Lokasi Pengambilan Sampel
Pulau Sembilan merupakan nama suatu Desa yang berada digugusan
pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan
Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten
Langkat. Pulau Sembilan secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan
Susu Kabupaten Langkat. Desa ini dapat ditempuh dengan menggunakan
kendaraan roda empat hingga pelabuhan penyebrangan di Pangkalan Susu yang
terletak sekitar 90 km dari Kota Medan. Jarak Pulau Sembilan dengan ibu kota
Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten
Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km2 atau ± 9,67% dari total
luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km2). Jumlah total penduduk
di Pulau Sembilan ini ± 2.047 dengan bermata pencarian antara lain sebagai
pertani sebanyak 413 KK, pengrajin 9 KK, pegawai negeri 19 KK, pedagang 29
KK, supir angkutan 11 KK dan buruh 161 KK. Luas berdasarkan penggunaan
lahan antara lain sawah seluas 1,90 km2, tanah kering seluas 9,29 km2 dan
lainnya seluas 4,46 km2 . Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang
termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak
termasuk dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat.
Namun, sebagian masyarakat memelihara tegakan mangrove khususnya yang
terletak pada areal kawasan lindung seperti ka nan kiri sungai dan tepi pantai
(BPS, 2010).
Di Pulau Sembilan tersebar pantai-pantai yang sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi obyek Ekowisata. Namun masyarakat masih tertumpu
pada pengembangan budidaya ikan kerambah dan mutiara serta pengolahan kulit
kerang. Di Pulau Sembilan ini juga dapat dijumpai ekosistem lahan kering yang
dimanfaatkan masyarakat untuk aktifitas pertanian tadah hujan maupun pengairan.
Kondisi air tanah masih cukup baik dimana tidak ditemukan adanya air sumur
yang asin atau terkena intrusi air laut (BPS, 2009). Adapun peta lokasi Pulau
Alat dan Bahan Penelitian
Penanaman
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka sorong, penggaris,
kamera, oven, timbangan, cutter, hand refractometer dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah propagul Rhizopora
apiculata yang sehat dan matang, bubuk garam komersial (marine salt), pasir dari
sungai (tidak memiliki salinitas), pot plastik, amplop coklat, dan label.
Ekstraksi dan Analisis
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun dan akar pohon
mangrove yang berasal dari jenis Rhizopora apiculata. Sedangkan bahan kimia
dan bahan lainnya yang digunakan adalah nitrogen cair, klorofom, methanol,
hexane, KOH, ethanol, cholesterol, garam buatan, aluminium foil, kertas tisu.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah salinity refractometer
S/Mill-E (Atago Co. Ltd, Tokyo, Jepang), tabung reaksi untuk mengekstrak daun
dan akar pohon mangrove, rak kultur untuk tempat peletakan tabung reaksi yang
digunakan dalam pengekstrakan, Eyela Evaporator, waterbath, kertas filtrasi No. 2
(Advantec, Tokyo, Jepang).
Prosedur Penelitian
Percobaan toleransi garam
1. Penyiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah pasir sungai (tidak memiliki
salinitas). Konsentrasi garam dibuat dengan melarutkan bubuk garam komersial
metode ini mengacu pada penelitian Basyuni et al., (2009, 2012). Dimana garam
yang dipakai adalah marine salt. Untuk membuat konsentrasi salinitas 0,5%,
1,5%, 2%, 3% dengan cara melarutkan 5,67 gram, 17 gram, 22,66 gram, 34 gram
bubuk garam komersial masing-masing dalam 1 liter air. Salinitas adalah massa
serbuk garam/ massa larutan. Konsentrasi garam pada setiap perlakuan pot
diperiksa seminggu sekali selama percobaan dengan hand refraktometer.
2. Pemilihan Propagul
Propagul R. apiculata yang digunakan berasal dari pohon induk yang
berumur 5 tahun atau lebih. Propagul yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang
oleh hama dan penyakit dan telah matang secara fisiologi dengan warna propagul
hijau kecoklatan.
3. Penanaman Propagul
Propagul R. apiculata yang telah disediakan ditanam ke dalam pot plastik
yang telah berisi media tumbuh yang telah disesuaikan dengan perlakuannya
masing-masing. Kemudian polibag diberi tanda/label sesuai dengan perlakuan
yang diberikan.
4. Ekstraksi Lipid
Daun R. apiculata sebanyak 2-4 lembar atau 4-5 gram akar digerus dengan
Nitrogen cair, kemudian di ekstrak dengan chloroform-methanol 2:1 (CM21),
dinding sel yang berisi kotoran yang tidak larut dalam CM21 disaring dengan
kertas saring No. 2 (Advantec, Tokyo, Jepang) dan yang tersisa adalah lipid
ekstrak di dalam chloroform. Sebagian ekstrak dimurnikan untuk dianalisis
kandungan lipidnya seperti yang digambarkan sebelumnya (Folch et al., 1957;
di dapatkan berat lipidnya. Secara langsung dapat diketahui kandungan total
lipid/tisue (mg/g tisue).
5. Analisis NSL (Nonsaponifieble Lipids)
Lipid ekstrak di dalam chloroform (yang telah diketahui berat total
lipidnya) dikeringkan kemudian ditambahkan 2ml KOH 20% dalam Ethanol 50%
di refluxed selama 10 menit dengan suhu 90º C, ditambahkan 2 ml Hexane (NSL)
kemudian diaduk. Lapisan Hexane dipindahkan kedalam tube yang telah
diketahui beratnya, kemudian cairan di keringkan dengan Nitrogen stream,
kemudian dikeringkan di bawah vakum selama 10 menit,selanjutnya ditimbang
berat NSLnya. Secara langsung dapat diketahui kandungan NSL/tisue (mg/g tisue)
atau kandungan NSL/total lipid (mg/mg total lipid) (Basyuni et al., 2007)
Parameter Penelitian
Pengamatan dilakukan ketika tanaman berumur 5 bulan dengan parameter
yang diamati adalah :
1. Tinggi semai (cm)
Pengukuran tinggi semai diukur dengan penggaris. Pengambilan data
dilakukan pada umur 5 bulan sebelum pemanenan. Tinggi semai diukur mulai dari
bagian plumula sampai titik tumbuh tertinggi.
2. Diameter semai (cm)
Pengukuran diameter batang dilakukan pada tanda awal dengan
menggunakan jangka sorong dengan dua arah yang berlawanan dan saling tegak
3. Jumlah daun
Perhitungan jumlah daun dilakukan pada pada saat semai berumur 5 bulan
sesaat sebelum dilakukan pemanenan. Pengambilan data dilakukan bersamaan
dengan pengambilan data tinggi dan diameter semai.
4. Luas permukaan daun
Pengukuran luas permukaan daun dilakukan pada akhir penelitian. Luas
permukaan daun diukur dengan menggunakan program Image J dari NIH
(National Institute of Health).
5. Berat basah akar, batang dan tajuk (g)
Untuk mendapatkan berat basah akar, batang dan tajuk bagian akar, tajuk
dan daun yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai
dengan perlakuan. Ditimbang berat awal R.apiculata.
6. Berat kering akar, batang dan tajuk
Pengamatan berat kering semai dilakukan setelah selesai kegiatan
pemanenan semai R. apiculata. Untuk mendapatkan berat kering akar, batang dan
daun dimasukkan kedalam amplop sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar,
batang, dan daun R. apiculata dioven pada temperatur 75° sampai berat kering
konstan lalu ditimbang berat keringnya.
7. Ratio tajuk dan akar
Perhitungan ratio tajuk dan akar dilakukan setelah semai berumur 6 bulan.
Perhitungan ratio tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus
8. Rasio batang dan akar
Perhitungan ratio batang dan akar dilakukan setelah semai berumur 6
bulan. Perhitungan ratio batang dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan
rumus sebagai berikut : Rasio =
Pengujian data-data tersebut diolah dengan menggunakan model rancangan
acak lengkap. Dengan menggunakan 5 perlakuan dan masing-masing 5 ulangan
yaitu dengan konsentrasi garam sebagai berikut 0%, 0,5% , 1,5%, 2% dan 3%.
Model linear dari rancangan tersebut adalah:
Yij = µ + αi + ε i( j) Dimana:
Yij = Respon pengaruh bagian ke-i ulangan ke-j
i = 1, 2, 3, 4, 5
j = 1, 2, 3, 4, 5
µ = Rata-rata umum
αi = Pengaruh konsentrasi gaaram ke-i
εi ( j) = Kesalahan (galad) percobaan
Data dianalisis dengan analisis varian satu arah (ANOVA) yang diikuti
dengan uji Dunnett untuk perbandingan dari semua perlakuan terhadap kontrol.
Signifikansi koefisien korelasi dilakukan dengan menggunakan uji t. Nilai P<0,05
dan P<0,01 dipilih sebagai batas signifikansi statistik. Semua analisa statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengaruh Salinitas Terhadap Pertambahan Tinggi dan Diameter Semai Rhizopora apiculata
Hasil dari pengukuran morfologi Rhizopora apiculata disajikan dalam
bentuk grafik. Tinggi Rhizopora apiculata paling tinggi pada salinitas 1,5% yaitu
12,58 cm dan paling rendah pada kontrol yaitu 6,31 cm. Berdasarkan hasil uji
Dunnet P<0,05 menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh nyata di salinitas 1,5%
dan 2% dan P<0,01 menunjukkan bahwa salinitas 1,5% berpengaruh nyata
terhadap kontrol. Pertambahan tinggi semai Rhizopora apiculata dapat dilihat di
Gambar 2A.
Gambar 2. Tinggi dan diameter semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 5 bulan. Data merupakan rata-rata ± SE (n=13-15). Tanda * mengindikasikan secara statistik P<0,05 dan tanda ** menandakan P<0,01.
Pertumbuhan diameter semai Rhizopora apiculata paling tinggi
0,463 cm. Hasil uji Dunnet P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa salinitas
0,5% dan 1,5% berpengaruh nyata dibandingkan dengan kontrol terhadap
pertambahan diameter semai Rhizopora apiculata. Pertambahan diameter semai
Rhizopora apiculata dapat dilihat pada Gambar 2B.
Berdasarkan hasil uji Dunnet yang telah dilakukan bahwa pemberian
berbagai salinitas berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi semai
Rhizopora apiculata. Pertambahan tinggi semai Rhizopora apiculata yang optimal
terdapat di salinitas 1,5% yaitu 12,58 cm. Ini berarti pertumbuhan tinggi semai
Rhizopora apiculata menunjukkan respon positif di salinitas 1,5%. Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya pada Avicennia marina dan Rhizopora stylosa
pertumbuhan terbaik berada pada salinitas 1,5% (Basyuni et al., 2012). Hal ini
membuktikan bahwa Rhizopora apiculata merupakan jenis mangrove yang
toleran terhadap garam. Pada umumnya respon pertumbuhan tinggi yang baik
diperoleh pada salinitas yang rendah. Hal ini terjadi karena tumbuhan
mangrove bukan merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam (salt
demand) tetapi tumbuhan yang toleran terhadap garam (salt tolerance).
Aksornkoae (1993) meneliti unsur-unsur mineral yang dibutuhkan tanaman
mangrove untuk pertumbuhan, dan disebutkan bahwa unsur mineral yang
dibutuhkan terdiri dari unsur makro yaitu N, P, S, K, Ca dan Mg serta
unsur mikro yang terdiri dari Zn, Mn dan Cu. Noakes (1951) menyatakan
bahwa mangrove bukan halofit obligat, yang berarti bahwa tumbuhan
mangrove dapat tumbuh pada air tawar, tetapi ditambahkan bahwa mangrove akan
Pertambahan dimeter semai Rhizopora apiculata memberikan respon yang
baik di salinitas 1,5% (Gambar 2B). Berdasarkan hasil uji Dunnet juga dibuktikan
bahwa pada salinitas 1,5% berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter
semai Rhizopora apiculata. Seiring dengan pertambahan tinggi yang optimal di
salinitas 1,5%, pertumbuhan diameter juga optimal di 1,5%. Hal ini dikarenakan
kandungan garam yang berada di salinitas 1,5% cukup untuk pertumbuhan semai
Rhizopora apiculata, karena kandungan garam dan cadangan makanan yang ada
akan mempengaruhi pertumbuhan semai itu sendiri. Proses pertumbuhan yang
baik dan berlangsung cepat karena adanya energi yang tersimpan pada benih
untuk melakukan perkecambahan dengan sempurna. Hal ini didukung oleh
Kramer dan Kozlowski (1960) yang menyatakan bahwa keberhasilan
pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh cadangan makanan yang ada
dalam jaringan sel tanaman tersebut.
Gambar 3. Rata-rata Jumlah Daun (A) dan Luas Daun Rhizopora apiculta (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n = 13-15) untuk rata-rata jumlah daun dan SE (n= 5) untuk luas daun.
Jumlah daun semai Rhizopora apiculata paling tinggi terdapat pada
Berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa pemberian
perlakuan salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun semai
Rhizopora apiculata. Jumlah daun semai Rhizopora apiculata dapat dilihat pada
Gambar 3A.
Luas daun semai Rhizopora apiculata paling tinggi terdapat di salinitas
0,5% yaitu 127,84 cm2 dan paling rendah pada salinitas 3% yaitu 83,86 cm2.
Berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa pemberian
berbagai perlakuan salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun. Luas
daun pada berbagai salinitas dapat dilihat pada Gambar 3B.
Berdasarkan hasil uji Dunnet salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan jumlah daun dan luas permukaan daun. Pertambahan daun tidak
selalu diikuti dengan pertambahan tinggi, karena pertambahan daun tidak selalu
dari pucuk tetapi dapat juga terjadi di cabang anakan. Hal ini diduga berkaitan
dengan Rhizopora apiculata merupakan jenis mangrove non ekskresi (
non-scereting species), yaitu jenis mangrove yang tidak memiliki fitur morfologi
untuk ekskresi kelebihan garam (Scholander et al., 1962; Tomlinson, 1986).
Kelebihan garam pada jenis Rhizopora apiculata akan disimpan didalam daun
yang akan brakibat dengan produksi daun. Sehingga semai Rhizopora apiculata
tidak akan memproduksi daun dalam jumlah yang besar di salinitas yang tinggi
dan juga akan berpengaruh terhadap luas daun. Tidak seperti Avicennia marina
untuk mencegah akumulasi garam, anakan Avicennia marina akan
mengeluarkannya melalui kelenjar tersebut, sehingga anakan ini merespon
konsentrasi garam yang tinggi dengan memproduksi daun dalam jumlah
tumbuhan yang mempunyai kelenjar pengeluaran garam ditemukan jumlah
dan konsentrasi Na+ dan Cl- yang tinggi pada daun muda. Tingkat konsentrasi
garam yang tinggi juga dapat mengakibatkan daun cepat gugur.
Pengaruh Salinitas Terhadap Biomassa Semai Rhizopora apiculata
Berat basah akar semai Rhizopora apiculata tertinggi pada salinitas 1,5 %
yaitu 5,74 gr dan terendah pada kontrol yaitu 2,58 gr. Berat basah batang
Rhizopora apiculata paling tinggi berada pada salinitas 1,5 % yaitu 1,78 gr dan
paling rendah pada kontrol 0,42 gr. Berat basah daun paling tinggi berada pada
salinitas 0,5% yaitu 6,36 gr dan paling rendah pada kontrol yaitu 3,54 gr.
Berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 pada salinitas 0,5% dan 1,5% dan P<0,01
salinitas 1,5% menunjukkan bahwa berat basah akar semai Rhizopora apiculata
pada pemberian salinitas berpengaruh nyata terhadap kontrol. Hasil uji Dunnett
P<0,05 menunjukan bahwa berat basah batang pada salinitas 0,5%, 1,5%, 2% dan
3% dan P<0,01 pada salinitas 0,5%, 1,5% dan 3% berpengaruh nyata terhadap
kontrol. Berat basah daun berdasarkan hasil uji Dunnett P<0,05 dan P<0,01
berpengaruh nyata di salinitas 0,5% dan 1,5%. Pertambahan berat basah akar,
batang dan daun dapat dilihat pada Gambar 4A.
Berat kering akar pada semai Rhizopora apiculata paling tinggi terdapat
pada salinitas 1,5 % yaitu 2,54 gr dan paling rendah pada kontrol 1,02 gr. Berat
kering batang juga pada salinitas 1,5 % merupakan yang paling tinggi yaitu 1,08
% dan paling rendah pada kontrol. Berat kering daun paling tinggi pada salinitas
0,5% yaitu 3,34 gr dan paling rendah pada salinitas 3 % yaitu 1,52 gr. Hasil uji
Dunnet P<0,05 dan P<0,01 menunjukkan bahwa berat kering akar berpengaruh
salinitas 0,5%, 1,5% dan 2%, sedangkan berat kering daun tidak berpengaruh
nyata pada berbagai perlakuan salinitas. Pertambahan berat kering semai
Rhizopora apiculata dapat dilihat pada Gambar 4B.
Gambar 4. Pengaruh Salinitas terhadap Berat Basah (A) dan Berat Kering (B). Data merupakan rata-rata ± SE (n=5). Tanda * mengindikasikan secara statistik P < 0,05 dan tanda ** menandakan P < 0,01 dengan Uji Dunnets.
Perlakuan salinitas memberikan respon yang berbeda terhadap
pertambahan tinggi dan diameter dengan jumlah daun yang dihasilkan. Pada
salinitas yang rendah semai Rhizopora apiculata akan memproduksi jumlah daun
yang lebih besar daripada salinitas tinggi, sebaliknya respon yang rendah untuk
pertumbuhan tinggi dan diameter. Ini dikarenakan Rhizopora apiculata tidak
memiliki kelenjar untuk mengeluarkan kelebihan garam sehingga pertumbuhan
Pengukuran biomassa ini dilakukan dapat dijadikan sebagai acuan untuk
melihat cadangan karbon yang ada. Karena didalam akar, batang dan daun
tersimpan karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya
terseimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan
hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di
atmosfer. Carbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang
lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan ini
mewakili jumlah carbon yang terserap dari atmosfer. (Sutaryo, 2009).
Rasio Daun/Akar Dan Ratio Batang/Akar Semai
Rasio daun dan akar semai Rhizopora apiculata paling tinggi pada kontrol
yaitu 2,74 gr dan paling rendah pada salinitas 1,5 % yaitu 1,35 gr. Hasil uji
Dunnet P<0,05 menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap
rasio daun/akar semai Rhizopora apiculata. Rasio daun dan akar semai Rhizopora
apiculata dapat dilihat pada Gambar 5A.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Lingga dan Marsono (2011) bahwa
pertumbuhan tanaman dapat didefinisikan sebagai proses bertambahnya ukuran
dan jumlah sel-sel tanaman yang diikuti adanya pertumbuhan berat kering
tanaman, sedangkan perkembangan tanaman dapat diartikan sebagai suatu proses
menuju tercapainya kedewasaan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
terbagi menjadi dua fase yaitu fase pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan
generatif. Pada fase pertumbuhan vegetatif, perbandingan atau rasio daun (pucuk)
dan akar sangat menentukan perkembangan selanjutnya terutama dalam hal
produksi. Bila pertumbuhan akar lebih cepat dari daun (pucuk) maupun
sebaliknya akan berpengaruh kurang baik pada pertumbuhan dan produksi
tanaman itu sendiri. Disini jelas dibutuhkan adanya keseimbangan antara rasio
pertumbuhan daun dengan akar. Artinya agar baik pertumbuhan akar maupun
daun sama-sama tumbuh dan berkembang secara normal dan seimbang tanpa
saling mendominasi.
Rasio batang dan akar tertinggi terdapat di salinitas 2 % yaitu 0,53 gr dan
rasio terendah pada kontrol yaitu 0,17%. Berdasarkan hasil uji Dunnet P<0,05
menunjukkan bahwa salinitas 1,5% dan 2% dan P<0,01 pada salinintas 2%
berpengaruh nyata terhadap rasio batang dan akar semai Rhizopora apiculata.
Rasio batang dan akar dapat dilihat pada Gambar 5B. Rasio berat kering
batang/akar merupakan karakter fisiologi yang dapat membantu untuk memahami
pertumbuhan relatif batang-akar. Hal ini berkaitan dengan sinar matahari atau
naungan dan dengan tanah yang lembab atau tanah yang kering serta salinitas.
Perbandingan batang/akar menunjukkan bahwa rerata berat kering akar lebih
Produksi bahan kering pada vegetasi menggambarkan keragaman tekanan
lingkungan, terutama berhubungan dengan penyedian energi matahari, air dan
mineral/nutrien. Spesies tumbuhan yang sama secara genotip dapat menunjukkan
perbedaan tanggapan terhadap bentuk-bentuk stres dan masing-masing terlatih
menghadapi bermacam-macam stres yang berbeda-beda. Menurut Crime (1980),
stres dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tekanan dari luar yang
membatasi rata-rata produksi biomassa kering seluruh atau sebagian vegetasi.
Berdasarkan pengamatan parameter tinggi , diameter dan biomassa diatas
dapat dilihat bahwa Rhizopora apiculata dapat tumbuh baik di salinitas
0,5%-1,5%. Dari hasil ini dapat digambarkan posisi Rizopora apiculata pada zonasi
mangrove di Pulau Sembilan berada berada di zonasi tengah yaitu di antara zona
Avicennia sp dan zona Bruguiera sp (dapat dilihat di Gambar 6). Zona Rhizopora
biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek
(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizopora sp.) dan dibeberapa tempat
dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp.) (Bengen,
2002).
Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona
ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun di Karang Agung
didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang
ditemukan di Karang Agung adalah Bruguiera eriopetala, Bruguiera
gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, Rhizopora mucronata, Xylocarpus granatum
Zonasi mangrove Pulau Sembilan berbeda dengan zonasi mangrove di
Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Terdapat empat
zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa, yaitu : Zona pertama, R.mucronata,
yang merupakan zona yang paling luar dan langsung berbatasan dengan laut dan
selalu tergenang air laut pada saat pasang harian, pertumbuhan R. mucronata
menunjukkan indikasi asosiasi dengan B. gymnorrhiza. Di Pulau Kaledupa,
R.mucronata merupakan jenis pionir pada endapan lumpur yang terbentuk di
depan formasi mangrove paling luar (arah laut). Zona kedua, R.apiculata,
pertumbuhan R. apiculata berasosiasi dengan B. gymnorrhiza, dan dengan
Ceriops tagal. Zona ketiga, C. tagal, berkembang pada bagian belakang
umumnya berupa belukar dengan ketinggian yang hampir seragam, dengan
rata-rata ukuran diameter batang relatif lebih kecil dibandingkan jenis lain yang
menyusun tegakan pada kawasan ini. Zona keempat, C. decandra, yang
merupakan zona yang paling dalam (berbatasan dengan tumbuhan darat) yang
hanya digenangi air laut pada pasang tertinggi. Spesies lain yang juga ditemukan
pada zona ini adalah Avicennia marina dan Xylocarpus granatum (Jamili et al.,
Gambar 6. Zonasi mangrove di Pulau Sembilan
Total Lipid dan Kandungan NSL (Nonsaponifiable Lipid) Rhizopora apiculata
pada Tingkat Pohon
Hasil ekstraksi daun dan akar Rhizopora apiculata didapat nilai total lipid
dan NSL (Nonsaponifiable Lipid). Adapun hasil ekstraksi dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Total Lipid dan Kandungan NSL pada jenis Rhizopora apiculata
Tabel 1 menunjukkan total lipid dan NSL dari daun dan akar mangrove.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kandungan total lipid/tissue lebih banyak di
daun dibandingkan di akar yaitu di daun sebedar 9,60 mg/tissue dan di akar
sebesar 6,40 mg/tissue. Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya
kandungan total lipid dari daun Rhizopora stylosa juga yaitu 7,49 mg/tissue
(Basyuni et al, 2007). Mfline dkk (2005) dalam Basyuni (2007) mempelajari
perubahan total lipid dan asam lemak pada daun mangrove terhadap mikroba pada
dua jenis spesies mangrove di Okinawa yaitu Kandelia candel dan Bruguiera
gymnorhiza. Mereka melaporkan bahwa daun mangrove merupakan sumber
utama asam lemak dan kemungkinan ada kandungan lipid yang lain.
Nilai NSL lebih tinggi di akar dibandingkan di daun yaitu 0,10 mg di akar
dan 0,226 mg di daun. Hal ini berbanding terbalik dengan total lipid yang lebih
banyak di daun dibandingkan di akar. Ini kemungkinan dikarenakan hasil
ekstraksi NSL pada akar terdapat kandungan air. Sehingga kadar NSL lebih
banyak di daun daripada di akar yang seharusnya lebih banyak di daun. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Basyuni et al (2007) bahwa kandungan NSL terdiri dari
8% sampai 23% dari lipid total.
Triterpenoid merupakan kandungan kimia yang cukup tinggi didalam
mangrove, yang memiliki proporsi utama NSL dan telah diidentifikasi dalam lilin
kutikula mangrove dan beberapa spesies tanaman lain (Beaton et al, 1955;
Wannigama et al, 1981; Ghosh dkk, 1985; Koch et al, 2003). Dengan demikian
dari analisis lipid dan NSLS ini dapat digunakan sebagai biomarker bahan organik
di hutan mangrove atau sebagai lipid input. Lipid merupakan proporsi yang
al, 1981;Hogg dan Gillan, 1984). Pengetahuan tentang kompisisi lipid dapat
menjadi kontribusi untuk memperkirakan sumber dan tingkat akumulasi bahan
organik.
Terlepas dari perubahan metabolis untuk mengatasi masalah cekaman
lingkungan, membran sel tanaman itu sendiri adalah dasar dan penghalang yang
potensial untuk mengatasi beberapa faktor eksternal. Dengan demikian, lipid pada
membran sel memiliki peranan yang penting dalam adaptasi tanaman terhadap
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pertumbuhan dan biomassa terbaik semai Rhizopora apiculata berada
pada salinitas 1,5%.
2. Posisi Rhizopora apiculata dalam zonasi mangrove berada di zonasi
tengah yaitu zonasi yang memiliki salinitas 1,5%.
3. Kandungan total lipid pada pohon Rhizopora apiculata di daun lebih
banyak yaitu 9,60 mg daripada di akar yaitu 6,40 mg.
4. Kandungan NSL pada pohon Rhizopora apiculata lebih banyak di akar
yaitu 0,226 mg daripada di daun yaitu 0,10 mg.
Saran
Sebaiknya pembibitan R. apulata dilakukan pada salinitas 1,5% karena
menunjukkan tingkat pertumbuhan yg paling baik. Diperlukan penelitian lanjutan
untuk melihat kandungan lipid dan NSL pada semai Rhizopora apiculata di
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S., 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN. Bangkok.
Allen, G.J., Wyn-Joens, R.G., Leigh, R.A., 1995. Sodium transport measured in plasma membrane vesicles isolated from wheat genotypes with differing K+/Na+ determination traits. Plant Cell Environ. 18, 105-115.
Basyuni, M., Oku, H., Baba, S., Takara, K., Iwasaki, and Oku, H., 2007. Isoprenoids of Okinawan mangroves as lipid input into estuarine ecosystem. J. Oceanogr.63, 601-608.
Basyuni, M., Oku, H., Tsujimoto, E., Kinjo, K., Baba, S., Takara, K., 2007b. Triterpene synthases from the Okinawan mangrove tribe, Rhizophoraceae. FEBS J. 274, 5028-5042.
Basyuni, M., Baba, S., Inafuku, M., Iwasaki, H., Kinjo, K., Oku, H., 2009. Expression of terpenoid synthase mRNA and terpenoid content in salt stressed mangrove. J. Plant Physiol. 166, 1786-1800.
Basyuni, M., Kinjo, Y., Baba, S., Shinzato, N., Iwasaki, H., Siregar, E.B.M., Oku, H., 2011. Isolation of Salt Stress Tolerance Genes from Roots of Mangrove Plant, Rhizophora stylosa Griff., using PCR-based Suppression Subtractive Hybridization. Plant Mol. Biol. Rep. 29, 533-543.
Basyuni, M., S. Baba, Y. Kinjo, H. Oku. 2012. Salinity Increase the Triterpenoid Content of a Salt Secretor and a Non Salt Secretor Mangrove. Aquatic Botany 97, 17-23.
Bengen, D. G. dan Adrianto. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Blumwald, E., Poole, R.J., 1987. Salt tolerance in suspension cultures of sugar beet: induction of Na+/H+ antiport activity at the tonoplast by growth in salt. Plant Physiol. 83, 884-887.
BPS. 2010. Kecamatan Pangkalan Susu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Langkat.
BPS. 2009. Kecamatan Pangkalan Susu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Langkat.
Clough, B. (1998): Mangrove forest productivity and biomass accumulation in Hichinbrook Channel, Australia. Mang. Salt Marsh., 2, 191–198.
Crime, J.P., 1980. Plant Strategies and Vegetation Processes. Chichester: John Wiley and Sons.
Ezawa, S., Tada, Y., 2009. Identification of salt tolerance genes from the mangrove plant Bruguiera gymnorrhiza using Agrobacterium screening. Plant Sci. 176, 272-278.
FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Hutching, P. and P. Saenger, 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press, St. Lucia. Australia.
Jamili, Dede, S, Ibnul, Q, Edi, G. 2009. Struktur Dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Desember 2009 Vol 14 (4) : 36-45.
Jayatissa, dkk. 2002. The Citanduy River Diversion Project some critical thoughts. In Good Governance or Bad Mangement; An Overview of the ADB's Decision.
Kathiresan, K. and B. L. Bingham. 2001. Biology of mangrove and mangrove ecosystem. Adv. Mar. Biol. 40, 81-151.
Kim, Y.J., Ham, A.R., Shim, J.S., Lee, J.H., Jung, D.Y., In J.G., Lee, B.S.,Yang, D.C., 2008. Isolation and characterization of terpene synthase gene from Panax ginseng. J. Ginseng Res. 32,114–119.
Koch, B.P., Rullkotter, J., Lara, R.J., 2003. Evaluation of triterpenoids and sterols as organic matter biomarkers in a mangrove ecosystem in northen Brazil. Wetl. Ecol. Manag. 11, 257-263.
Kokpol, U., Chittawong, V., Miles, D.H., 1986. Chemical constituents of the roots of Acanthus illicifolius. J. Nat. Prod. 49, 355-356.
Kokpol, U., Chavasiri, W., Chittawong, V., Miles, D.H., 1990. Taraxeryl cis-p-hydroxycinnamate, a novel taraxeryl from Rhizophora mucronata. J. Nat. Prod. 53, 953-955.
Kramer, D. J dan T. T Kozlowsky. 1960. Physiology of tree. McGraw Hill Book Company Inc. New York.
Lingga, P. dan Morsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mansour, M.M.F., van Hasselt, P.R., Kuiper, P.J.C., 1994. Plasma membrane lipid alternations induced by NaCl in winter wheat roots. Physiol. Plant. 92: 473–478.
Mimura, T., Kura-Hotta, M., Tsujimura, T., Ohnishi, M., Miura, M., Okazaki, Y., Mimura, M., Maeshima, M., Washitani-Nemoto, S., 2003. Rapid increase of vascular volume in response to salt stress. Planta 216, 397-402.
Mulyani, N, Kusmana, C dan Supryanto. 1999. Pengkajian Penerapan Teknik Budidaya Rhizophora sp dengan Stek Hipokotil. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. V No 1 : 57-65.
Munns, R., 2005. Genes and salt tolerance: bring them together. New Phytol. 167, 645-663.
Noakes, 1951. Mangrove. FAO Tropical Silviculture (2) : 379 - 404.
Noor, Y. R, M. Khazali dan I.N.N Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands Internasional-Indonesia Programe. Bogor.
Oku, H., Baba, S., Koga, H., Takara, K., Iwasaki, H., 2003. Lipid composition of mangroves and its relevance to salt tolerance. J. Plant Res. 116, 37-45. Parida, A.K., Das, A.B., 2005. Salt tolerance and salinity effects on plants: a
review. Ecotoxicol. Environ. Saf. 60, 324-349.
Popp, M., 1984. Chemical composition of Australian mangroves II. Low molecular weight carbohydrates. Z. Pflanzenphysiol. 113, 411-421.
Sakamoto, A., Murata, N., 2000. Genetic engineering of glycinebetaine synthesis in plants: current status and implication for enhancement of stress tolerance. J. Exp. Bot. 51, 81-88.
Scholander, P.F., Hammel, H.T., Hemmingsen, E., Garey, W., 1962. Salt balance in mangroves. Plant Physiol. 37, 722-729.
Soeroyo, 1993. Pertumbuhan Mangrove dan Permasalahannya. Buletin Ilmiah INSTIPER. Yogyakarta.
Spalding, M., Kainuma, M., Collins, L., 2010. World Atlas of Mangroves. Earthscan. London.
Sparg, S.G., Light, M.E., van Staden, J., 2004. Biological activities and distribution of plant saponins. J. Ethnopharmacol. 94, 219-243.