• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Guro-Guro Aron Pada Masyarakat Karo : Kajian Folklor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Guro-Guro Aron Pada Masyarakat Karo : Kajian Folklor"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI GURO-GURO ARON PADA MASYARAKAT KARO : KAJIAN FOLKLOR

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

WINDA BR SEMBIRING NIM :060703009

Pembimbing I Pembimbing II

Dra.Rosita Ginting,M.Hum

Nip: 195905201986012002 Nip : 195904271987022001 Dra Asni Barus M.Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTERA DAERAH PROGRAM STUDI SASTRA BATAK MEDAN

(2)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2010

KETUA DEPARTEMEN SASTRADAERAH

(3)

PENGESAHAN Disetujui oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Untuk melengkapi Salah Satu Syarat Ujian SARJANA Dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Disahkan Pada : Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastara Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Penguji ujian:

(4)

FUNGSI GURO-GURO ARON PADA MASYRAKAT KARO :

KAJIAN FOLKLOR

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA :WINDA BR SEMBIRING

NIM : 060703009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTERA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……….……...i

Daftar Isi………..………...ii

BAB I PENDAHULUAN………..………...….1

1.1 Latar Belakang Masalah………..….1

1.2 Rumusan Masalah……….………..16

1.3 Tujuan Penelitian……….……...16

1.4 Manfaat Penelitian...16

BAB II KAJIAN PUSTAKA...18

2.1 Kepustakaan Yang Relevan... ...18

2.2 Teori Yang Digunakan …... ...19

BAB III METODE PENELITIAN... ...21

3.1 Metode Dasar…... 21

3.2 Lokasi Penelitian... 22

3.3 Sumber Data Penelitian... 22

3.4 Instrumen Penelitian.…………...…...……... 22

3.5 Metode Pengumpulan Data……...…..…...…….………... 23

3.6 Metode Analisis Data... 24

BAB IV PEMBAHASAN ... 25

4.1 Pengertian Guro – Guro Aron... .25

4.1.1 Pelaksanan Dalam Guro-Guro Aron...26

4.1.2 Peserta Guro-Guro Aron...32

(6)

4.1.4 Alat Musik Dalam Acara Guro- Guro Aron...34

4.1.5 Tata Cara Pelaksanan Guro- Guro Aron...42

4.2 Fungsi Guro – Guro Aron...45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...47

5.1 Kesimpulan...47

5.2 Saran...48

DAFTAR PUSTAKA………....…..…..………...…...50

DAFTAR INFORMAN...52

KOSA KATA DALAM BAHASA KARO………...54

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat lindunganya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tidak lupa mengucapakan terimakasih kepada orang yang telah membantu, memberi masukan, arahan, dukungan dan saran sehingga penulis dapat untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. Selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Drs. Baharuddin, M.Hum selaku ketua jurusan Sastra Daerah yang telah meluangkan waktu untuk penulis.

3. Drs.Warisman Sinaga, M.Hum selaku sekretaris Jurusa Sastra Daerah.

4. Dra. Rosita Ginting, M.Hum selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, waktu, tenaga, dan pikiran demi selesainya skripsi ini.

5. Dra. Asni Barus, M. Hum selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, waktu, tenaga, dan pikiran demi selesainya skripsi ini.

(8)

7. Kepada sahabat terbaikku Valentina Simalango, dan Elisabeth Manurung yang telah berbaik hati menemani dan mendengarkan suka duka penulis dalam menjalani masa perkulihan terlebih –lebih pada saat menyelesaikan skripsi ini.

(9)

KATA PENGATAR

Skripsi ini berjudu l FUNGSI GURO-GURO ARON PADA MASYRAKAT

KARO, skripsi disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar

sarjana sastra di Departemen Sastra Daerah, Program Studi Bahasa dan Sastra Batak, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini disusun berdasarkan metode pustakaan dan penelitian lapangan mengenai fungsi Guro-guro Aron pada masyrakat Karo. Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya atas lima beberapa bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang dan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II merupakan kajian pustaka yang mencakup kepustakan yang relevan dan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metodologi penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV merupakan pembahasan yang mencakup, pengertian guro – guro

aron, fungsi guro – guro aron, waktu pelaksanaan guro – guro aron, dan

perbedaan guro – guro aron pada saat dulu dan sekarang. Bab V kesimpulan dan saran.

(10)

Untuk itu penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang melindungi penulis sampai pada saat sekarang ini, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sampai selesai.

Medan, 2010

Penulis

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya suatu bangsa adalah gambaran cara hidup masyarakat dari bangsa yang bersangkutan. Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku (etnis). Masing-masing suku memiliki nilai budaya tersendiri, yang dapat membedakan ciri suku yang satu dengan yang lainya. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya

daerah yang dipandang sebagai satu cara hidup dan dianut pada setiap kelompok. Bangsa Indonesia terdiri dari aneka ragam suku (etnis) yang mempunyai latar

belakang budaya yang beraneka ragam, sehingga bangsa Indonesia terkenal dengan kaya akan budaya, dan dari keanekaragaman tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda pula, setiap suku memiliki ciri khas budaya sendiri.

Tanah Karo berada di Propinsi Sumatera Utara, jaraknya dari kotamadya Medan lebih kurang dari 63 km. Tanah Karo adalah suatu dataran tinggi dengan ketinggian 725 – 1400 meter dari permukan laut dan dikelilingi oleh dua buah gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Tinggi rendahnya budaya suatu bangsa, tercermin dari materi-materi yang ada pada bangsa itu. Suku Karo sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, pada masa lampau telah memiliki budaya yang cukup tinggi.

(12)

dengan cara belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun nilai - nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam bermasayrakat, tetapi suatu konsep nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan biasanya sangat sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan tidak kongkret, maka nilai budaya dalam satu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan yang bersangkutan. Dan budaya memiliki ungsur yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem relegi, dan kesenian. (Koentjaraninggrat 1959: 217)

(13)

daerah kecamatan Kabanjahe, Tiga Panah, Barus Jahe, Simpang Empat dan Payung. Dan yang Ketiga adalah dialek Jahe –Jahe, dialek ini dipakai di kecamatan Sibolangit, Panjurbatu, Biru – Biru, dan daerah Namo Rambe.

Sistem pengetahuan merupaka sebuah hasrat naluri manusia akan sebuah keindahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1990), ilmu adalah: ”Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersitem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk dapat menerangkan gejala-gejala tertentu terutama di dalam bidang pengetahuan itu. Misalnya pada dulu masyrakat Karo dalam membersihkan ladangnya hanya menggunakan tajak –

tajak, sekin, cangkul, cuan dan tenggala. Tapi setelah sistem penggetahuan

berkembang maka masyarakat Karo telah mengenal adanya traktor, maka traktor inilah yang dipakai dalam menggerjakan ladang, karena cara kerja traktor ini lebih cepat dari alat- alat pertanian yang lainya.

Organisasi sosial masyrakat Karo sudah ada pada saat dulu, misalnya, sistem kekerabatan dalam acara adat perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, dan upacara guro- guro aron, ataupun tatanan kehidupan masyrakat Karo

yang terikat dalam satu sistem yaitu merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Dan sampai pada saat sekarang ini organisasi sosial masyrakat Karo ini masih ada.

(14)

masyrakat Karo dalam hal memasak sudah tidak menggunakan kayu api tapi dengan memakai kompor gas.

Sesuai dengan keadan alamnya sistem mata pencaharian hidup masyarakat Karo pada umumnya adalah pertanian. Walaupun pada saat sekarang ini masyarakat Karo memiliki jenis- jenis tanaman yang bermacam- macam ditanam di ladang. Sedangkan pada saat dulu hasil pertanian masyarakat Karo hanya padi dan jagung.

Religi adalah salah satu unsur kebudayaan, produk ide/gagasan yang percaya akan adanya Sang penguasa kekuatan alam dan jagad raya, namun tidak berwujud (adi kodrati). Religi berfungsi membangun kekuatan melalui pengolahan rasa di dalam diri manusia. Sejak masa lampau masyarakat petani telah menggantungkan hasil panennya terhadap kekuatan religi. Selama tahapan-tahapan kegiatan pertanian dari masa tanam hingga masa panen, petani selalu dihadapkan rasa was-was terhadap kegagalan panen tanaman mereka. Pada saat seperti itulah, kekuatan religi berperan penting. Berbagai bentuk aktivitas religipun tercipta seperti ritual-ritual upacara penyembahan kepada Sang penguasa alam di setiap tahapan-tahapan pertanian. Kuat dugaan aktivitas religi tersebut telah ada sejak masa prasejarah. Dalam paham lama padi memiliki roh dan ritus - ritus tersebut dilakukan dalam arti du et des yang artinya Si beru dayang . Si

beru dayang dipahami sebagai dewa yang disuruh Tuhan memberi benih padi dan

(15)

Sehubungan dengan budaya menanam tersebut terdapat mithe penanaman padi yang terkait saat merdang (waktu menanam), saat padi bunting, saat panen dan seterusnya harus melihat hari - hari yang baik untuk perkerjaan tersebut dan tujuanya adalah supaya mendapatkan hasil yang baik juga. Karena Si beru

dayang tidak selamanya disuruh Tuhan datang ke dunia ini maka kalimbubu

menjadi Dibata ni idah ( Tuhan yang nampak ). Maka kalimbubu dalam tahapan menanam padi merupakan orang atau tempat untuk meminta benih. Bila menghormati kalimbubu berarti menghormati page ( padi ) dan sekaligus menghormati Si beru dayang. Gintings (1999 : 176) ada beberapa perayaan sehubungan dengan bagian-bagian pertumbuhan benih tersebut antara lain adalah:

1. Benih padi sewaktu dalam lebeng ( tanah dilobangi dan ditaruh benih ) disebut Beru dayang ragun – ragun

2. Benih dalam tanah disebut Beru dayangbuniken

3. Benih menjelang tumbuh disebut Beru dayang melembing

4. Benih mulai berdaun disebut Beru dayang meduk – eduk 5. Benih sudah bunting disebut Beru dayang rumencet

6. Benih sudah mulai tua disebut ( masak \ padi menguning) disebut Beru

dayang printe - rinte atau pedolan - dolan.

7. Benih menjelang dimasukan ke lumbung disebut Beru dayang pegun –

gun.

Pesta - pesta tersebut ada hubunganya dengan phase perkembangan page ( padi) tersebut. Pada saat dulu sebelum benih padi ditanam ke tanah menjelang musim menanam padi di ladang, maka di dalam kehidupan desa dahulu biasanya

(16)

beru yang tujuanya adalah supaya padinya tumbuh bagus. Pada saat dulu benih

padi yang akan ditanam harus diminta kepada kalimbubu . Sebelum benih ditanam, benih tersebut diletakan terlebih dulu di tempat perbenihen ( tempat menanam ) yang sudah dikasih lau simalem - malem ( air yang bersih dan sudah didoakan ). Benih yang akan ditanam tersebut isemburi alu belo entabeh sebagai suatu tanda doa dan pengharapan. Sesudah agama masuk ke Tanah Karo menjadi dialamatkan kepada Tuhan. Dan pada saat sekarang maka hal seperti tersebut tidak dilakukan lagi.

Dan hingga kini dapat dijumpai dalam model-model yang terindikasi telah mengalami transformasi. Transformasi adalah perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya (Partanto, 2001:758). Parameter tersebut adalah wujud kebudayaan itu sendiri, yaitu: wujud ide/gagasan, wujud aktivitas/tingkah laku, dan wujud kebendaan/artefak. Bertahannya pelaksanaan sebuah tradisi disebabkan adanya kemampuan adaptasi terhadap situasi dan kondisi budaya masyarakat yang sifatnya dinamis.

Guro-guro aron pada masyarakat Karo merupakan tradisi kebudayaan

(17)

(salah satu konsep dewa dipercaya berkuasa atas tanah) berkaitan dengan tanaman pertanian mereka dapat tumbuh subur, dan hasilnya diharapkan akan melimpah.

Beraspati adalah berbagai macam konsep dewa-dewa yang memiliki kekuasaan

masing-masing. Selain Beraspati Taneh, juga dikenal Beraspati Lau (inti kehidupan air), Beraspati Rumah (inti kehidupan rumah),dan sebagainya. Hal ini yang menjadi dasar setiap guru (sebutan untuk para pemuka dalam ajarana

pemena) selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada Beraspati sebelum

melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan

(Sembiring,1992:4). Namun sesudah Agama Islam dan Kristen masuk, ajaran pemena menjadi tidak lagi rasional bagi masyarakat Karo. Hal ini diperkuat

dengan perubahan mata pencaharian mereka dari bertani menjadi bermata pencaharian yang sangat heterogen dimasa sekarang. Nilai religiusitas pemaknaan dari acara guro- guro aron tersebut pun bergeser menjadi sebuah cara untuk tetap saling mempererat ikatan kekerabatan keluarga dalam sebuah tradisi tahunan.

Kesenian tradisional karo terdiri dari gendang dan pakaian adat, acara gendang ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti acara adat perkawinan, kematian, dan mbengket rumah (memasuki rumah baru). Gendang karo terdiri

dari gong, penganak, kecapi, serune, surdam sedangkan pakaian adat karo secara

lengkap dapat dilihat ketika pesta adat perkawinan yang terdiri dari uis nipes, beka

buluh, sertali, rudang-rudang dan lain sebagainya. Adat istiadat yang paling

melekat dalam orang karo adalah (musyawarah dan mufakat). Runggu ini dilaksanakan dalam acara prosesi adat karo, pada setiap acara harus ada proses

(18)

Karateristik orang Karo sangat banyak dipengaruhi oleh lingkungan alam yang mengitarinya. Sebagai masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Karo, ternyata sebagai sebuah komunitas, dan terbentuk sebuah budaya, bagi masyarakat karo dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, alam beserta isinya dan khususnya hubungan antara masyarakat di dalamnya. Kesemuanya pola hubungan tersebut tertuang dalam sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur yang disebut dengan budaya. Aspek budaya, yang mana menurut Singarimbun (1989), merupakan indentitas masyarakat karo, yaitu terdapat empat identitas yaitu:

Merga, Bahasa, Kesenian dan Adat Istiadat.

Merga adalah identitas bagi masyarakat Karo. Setiap orang Karo

mempunyai merga, ataupun disebut dengan Merga Silima, yang terdiri dari:

Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan. Merga bagi

masyarakat Karo adalah hal yang paling utama dalam identitasnya. Dalam setiap perkenalan di dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanya adalah merga.

Merga berasal dari kata meherga yang berarti mahal, mahal dalam konteks

budaya karo berarti penting

(19)

telu si dalanen yang terdiri dari kalimbubu, sembuyak dan anak beru atau bisa

juga disebut dengan rakut sitelu.

Dengan mengenal adanya sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo dan dikenal dengan kata ertutur. Merga berasal dari bahasa sang sansekerta yang artinya jalan atau satu arah, satu keturunan sedarah ataupun bisa dikatakan masih ada hubungan keluarga. Jadi, merga adalah anggota atau bagian suku batak.

Dalam skripsi ini penulis memakai kajian folklor. Menurut Arief Budiman (1979 : 1) pengertian folklor adalah sebagian kebudayaan atau suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara teradisional dan versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh gerak isyarat atau alat pembantu pengigat. Kata folklor terdiri dari dua kata yaitu folk dan lore, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujut, warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencarian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama dan agama yang sama. Sedangkan yang dimaksut dengan

lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaanya,yang diwariskan secara turun

temurun secara lisan maupun tulisan.

Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainya, kita harus mengetahui dahulu ciri-ciri pengenal utama folklor pada umunya, yaitu:

a. Penyebaraan dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaknik disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat dari satu genesari ke generasi berikutnya.

(20)

c. Folklor ada dalam versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda, hal ini disebabkan karena penyebaranya dari mulut ke mulut atau secara lisan.

d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui lagi.

e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, misalnya seperti cerita rakyat.

f. Folklor mempunyai kegunaan,misalnya cerita rakyat mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik,pelipur lara,protes sosial,dan proyeksi keinginan terpendam.

g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini berlaku bagi folklor lisan maupun dan sebagian lisan.

h. Folklor menjadi milik bersama,hal ini disebabkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap orang merasa memilikinya.

i. Folklor pada umunya bersifat polos atau lugu sehingga sering sekali kelihatannya kasar , terlalu sepontan.

Sedangkan menurut James Dananjaya (1979 : 13) berpendapat tentang folklor sebagai berikut:

Sebagian dari kebudayaan yang tersebut dan diwariskan secara turun – temurun dan tradisional diantara anggota – anggota kelompok apa saja, dalam versi yang berbeda – beda baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan perbuatan. Melalui folklor dapat diketahui kebudayaanya masyarakat pada waktu berkenaan (zamanya) baik dari segi pikiran, latar belakang masyarakat, maupaun konsepnya serta keinginan mereka. Juga melalui folklor masyarakat lama menyampaikan bagaimana leluhur nenek moyang dahulu. Pikiran dan perasaanya tidak menggambarkan secara terbuka seperti sekarang namun disampaikan dengan cara tersirat dan halus sekali. Begitulah pribadi masyarakat dulu yang banyak menampilkan nilai – nilai kehidupan yang menyangkut moral dan sebagainya.

(21)

1. Folklor lisan adalah folkor yang bentuknya memang murni lisan. Contohnya; bahasa rakyat, ungkapan tradisional, prtanyaan tradisional, cerita prosa rakyat dan lain sebagainya.

2. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan.contohnya; kepercayaan rakyat atau yang sering disebut dengan takhayul, permainan rakyat, teather rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain sebagainya.

3. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun pembuatanya diajarkan secara lisan. Contohnya ; arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh ada pun, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Kajian folklor yang digunakan dalam penelitian ini adalah folklor sebagian lisan.

Sebuah etnik (suku) tidak bisa terlepas dari unsur keseniannya. Kesatuan alam, budaya dan seni merupakan perwujudan menyeluruh dari sebuah etnik. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan ragam etnik juga mempunyai keragaman kesenian yang dimiliki masing-masing etnik tersebut. sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan kesenian suku Karo inilah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya. Tapi potensi dan pengembangan kesenian Karo tidak bisa terlepaskan dari bagaimana masyarakat Karo dalam mengapresiasikan kesenian Karo itu sendiri

Guro-guro aron adalah sebuah aktivitas religi masyarakat petani sub etnis Karo yang diselenggarakan setahun sekali atau merupakan kebudayaan Karo yang

(22)

Kain adat tradisional Karo (Uis Adat Karo) merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan budaya misalnya dalam acara guro – guro aron dan dalam acara pesta adat. Uis Karo memiliki warna dan motif yang berhubungan dengan penggunaannya atau dengan pelaksanaan kegiatan budaya. Pada umumnya

Uis Adat Karo dibuat dari bahan kapas, dipintal dan ditenun secara manual dan

menggunakan zat pewarna alami (tidak menggunakan bahan kimia pabrikan). Namun ada juga beberapa diantaranya menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai) dengan memakai pewarna alami dan dijadikan kain adat Karo. Beberapa diantara uis Adat Karo tersebut sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya digunakan dalam kegiatan ritual budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi.

Dan berikut adalah jenis –jenis pakaian yang dipakai dalam upah cara adat Karo:

1. Uis nipes

Untuk tudung, maneh-maneh (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat. Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain -kain lainya dan bermacam – macam motifnya dan warnanya merah, coklat, hijau, ungu dan lain sebagaimnya. Dan dipakai sebagai selendang wanita.

(23)

Kain ini tebal seperti kain jongkit\ gatip, warnanya hitam kebiru –biruan dan ujungnya berumbai. Untuk sarung dalam upacara adat, maneh-maneh, untuk mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.

3. Gatip gewang

Warnanya hitam bercorak putih kainya agak tebal. Fungsinya untuk menggendong bayi bagi perempuan dan “abit” (sarung) bagi laki-laki.

4. Gatip jongkit

Warnanya dan bahanya sama dengan kain gatip gewang hanya kain ini memakai benang emas – emas di tengah dan motifnya melintang –lintang pada kain tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Dan dipakai untuk “gonje” (sarung) upacara adat bagi laki-laki dan selimut bagi “kalimbubu” (paman).

5. Gatip cukcak.

Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.

6. Uis pementing.

Warna dasarnya hitam bercorak putih dan agak tebal agak abu –abu dan kain lebih kecil dari kain biasa dan dipakai untuk ikat pinggang bagi laki-laki.

(24)

Untuk tudung bagi anak gadis pada pesta guro-guro aron. Boleh juga dipakai laki-laki, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis

kelam-kelam.

8. Uis arinteneng

Warnanya hitam agak pekat, karena kain ini dibuat dari benang kapas yang dicelup dengan sejenis bahan yang warnanya hitam. Kain ini dipergunakan sebagai alas waktu menjalankan mas kawin dan alas piring tempat makan pada waktu “mukul” (acara makan pada saat memasuki pelaminan), untuk memanggil roh, untuk “lanam” (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah tendi” (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi dan alas bibit padi.

9 . Uis kelam-kelam

Warnanya hitam pekat bahan kainya lebih tipis dan polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa hanya kain ini lebih keras karena proses pembutanya masih tradisional. Dan dipakai untuk tudung orang tua, untuk

morah-morah (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki dalam upacara

adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.

10. Uis cobar dibata

Untuk upacara kepercayaan, seperti uis jinujung, (memangil roh yang sudah mati) erpangir (cuci kepala ke sungai) dan ngelandekken galuh (menari sambil

(25)

11. Uis beka buluh.

Warna dasar kain ini warna merah cerah, bagian tengah bergaris kuning,

unggu, putih, dan pada tepian kain bermotif – motif Karo dengan benang emas demikian pula pada ujung kain.Pemakaiannya untuk bulang-bulang” di ikatkan di kepala laki-laki pada upacara adat, dan dipakai juga sebagai cekok – cekok

(diletakan dibahu) dan kain bisa juga diletakan diatas tudung wanita

12. Uis gara.

Warnanya merah tua, dan ada juga yang bergaris – garis kecil warnanya putih ditengah, tepian kain ini warnanya merah tua dan ujungnya berumbai, dan

sebagian kain memakai benang emas, kain ini jenisnya agak tebal dan sekarang sudah banyak motif yang baru. Dipakai untuk penggendong anak-anak, tudung untuk orang tua dan anak gadis.

13. Uis jujung-jujungen.

Warnanya merah bersulamkan benang emas dan kedua ujungnya berumbai benang emas, kain ini tidak selebar kain lainnya. Dipakai untuk melapisi bagian atas tudung bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat dan rumbainya terletak disebelah depan.

(26)

1.2

Rumusan Masalah

Membicarakan suatu masalah atau rumusan masalah supaya masalah- masalah dapat dibahas secara terarah. Masalah merupakan suatu bentuk pernyataan yang memerlukan penyelesaian atau membuat jalan keluarnya. Permasalahaan merupakan rintangan yang harus diselesaikan. Bentuk perumusan masalah biasanya berbentuk kalimat pertanyaan dan kalimat pernyataan yang bisa mengguga h perhatian orang lain. Perumusan pokok permasalahan sebenarnya merupakan batasan-batasan dari ruang lingkup topik yang akan diteliti.

Adapun rumusan masalah dalam topik ini adalah :

1. Apa yang dimaksut dengan guro- guro aron pada masyarakat Karo ? 2. Apa Fungsi guro-guro aron Pada Masyarakat Karo ?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui pengertian guro-guro aron pada masyarakat Karo.

2. Untuk mengetahui fungsi guro-guro aron pada masyarakat Karo.

1.4

Manfaat penelitian

(27)

bermanfaat bagi masyarakat Karo. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah :

a. Meningkatkan budaya Karo khususnya tentang guro-guro aron.

b. Menunjang program pendidikan mengenai perkembangan budaya Karo. c. Bagi masyarakat awam khususnya yang belum mengerti tentang

guro-guro aron bisa lebih mengerti lagi.

d. Untuk mendukung kebudayaan Karo.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kepustakan yang Relevan

Folklor mempunyai kegunaan yang membedakaan antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain di dalam masyarakat.

Dalam penulisaan skripsi ini penulis menggunakan folklor sebagian lisan, karena di dalamnya terdapat unsur kebudayaan yaitu acara guro-guro aron dalam masyarakat Karo. Menurut Ginting 1979 : 2, Folklor merupakan sebagian kebudayaan atau suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, baik secara tradisional maupun dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengigat. Ataupun folklor sering disebut sebagai sebagian disipilin ilmu. Menurut Sarjani Tarigan Guro-guro Aron adalah salah satu kesenian tradisional Masyarakat Karo yang sering diadakan setahun sekali atau pun sering juga disebut sebagai acara syukuran seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. Sedangkan menurut GINTINGS 1999:173 dalam bukunya RELIGI KARO mengatakan bahwa Guro-guro adalah hiburan atau

(29)

Contohnya adalah permainan rakyat, teater rakyat, dan adat istiadat, upacara dan pesta rakyat. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan folklor sebagian lisan, karena di dalamnya terdapat unsur kebudayaan dalam acara guro – guro

aron dalam masyarakat karo.

2.2

Teori yang Digunakan

Teori merupakan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan jawaban terhadap masalah yang dibahas. Dengan landasan teori yang kuat, niscaya segala macam yang timbul dalam kertas kerja akan terjawab. Di dalam skripsi ini penulis mempergunakan teori folklor . Dimana dikatakan folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Ataupun folklor sering disebut sebagai sebagian disipilin ilmu

(30)

mereka warisi secara turun temurun sedikitnya dua generasi bersamanya, sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaan, yang diwariskan secara lisan atau berserta contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat.“ (Danandjaya,1986:1)

(31)

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

Metodelogi berasal dari kata metode dan kata logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu ilmu pengetahuan. Penelitian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan, mencari dan menganalisis fakta-fakta mengenai sesuatu masalah. Penelitian adalah sesuatu usaha memperoleh fakta atau prinsip, menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran. Jadi, metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman.

3.1

Metode Dasar

Metode dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi, adalah menyangkut hal yang akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian, adalah suatu usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip/menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data informasi yang dilaksanakan dengan teliti, jelas, sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan. (Simanjuntak, 2007 : 10).

(32)

deskriftip, penulis akan berusaha mengungkapkan dan memaparkan hasil yang sebenarnya sesuai dengan keadan yang sekarang.

3.2

Lokasi Penelitian

Lokasi yang akan dijadikan daerah penelitian adalah Desa Gurusinga Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Lokasi tersebut dianggap tepat oleh penulis untuk menjadi bahan penelitian dan masyrakatnya masih asli orang Batak

Karo, selain itu masih menggunakan adat istiadat Karo. Sebagai sumber data

penulis adalah informan yang masih memenuhi persyaratan. Selain dari para informan, penulis juga memperoleh data dari lapangan yakni langsung menyaksikan upacara Guro-Guro Aron tersebut di daerah tempat penelitian, tidak terlepas juga dari penelitian kepustakaan, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan judu l skripsi ini digunakan penulis.

3.3

Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini diperoleh dari lapangan, untuk mendapatkan data yang lengkap melalui informan - informan dan masyarakat desa setempat. Kemudian penulis juga melakukan penelitian kepustakaan yang tujuannya sebagai bahan pendukung dalam keakuratan data yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan tentang Guro-Guro Aron.

3.4

Instrumen Penelitian

(33)

perkerjaan lebih mudah dan hasil yang diperoleh lebih baik, maka alat-alat yang dibutuhkan dalam melaksanakan penelitian ini adalah tape recorder, kaset, buku catatan, pulpen dan kamera digital.

3.5

Metode Penggumpulan Data

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan beberapa metode yaitu metode pustaka maupun penelitian lapangan.

1. Metode pustaka adalah melakukan penelitian dengan membaca buku yang ada hubunganya dengan guro-guro aron dengan teknik kepustakaan. 2. Metode lapangan mencakup:

a. Metode observasi artinya melakukan penelitian dengan turun langsung kelapangan.

b. Metode interview artinya melakukan wawancara kepada informan yang dianggap memenuhi syarat sebagai informan untuk dapat mengumpulkan informan dengan teknik rekam atau terjun langsung ke lapangan

(34)

3.6 Metode Analisis Data.

Metode analisis data adalah sebuah metode atau cara si peneliti dalam mengolah data yang masih mentah diperolehnya sehingga menjadi data yang cermat, atau akurat dan ilmiah. Pada dasarnya analisis data adalah kegiatan untuk mendapatkan data sehingga diperoleh suatu kebenaran atau ketidak benaran. Dalam analisis data diperlukan imajinasi dan kreatifitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu. Dalam menganalis data harus dilakukan secara utuh, karena dalam analisis data tidak hanya dalam lapangan dilakukan tetapi dilakukan juga setelah kembali dari lapangan.Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menggunakan metode struktural dengan langkah-langkah sebagai berikut

1. Mengumpulkan data yang diperoleh dari beberapa orang informan

2. Menterjemakan data yang diperoleh dari lapangan menjadi bahasa Indonesia.

3. Menulis data yang diperoleh dari lapangan yang sudah diterjemahkan yaitu berupa informasi yang didapat dari informan.

(35)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1

Pengertian Guro – Guro Aron

Gendang Guro-guro Aron adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat Karo yang sering diadakan saat pesta-pesta adat dan acara syukuran seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. (Sarjani Tarigan :157). Pada Gendang Guro-guro Aron tersebut masyarakat Karo bernyanyi dan menari bersukaria yang biasanya dilakukan sepanjang malam, sambil beradu pantun di bawah cahaya bulan purnama, berikut merupakan contoh pantunya:

1. Dalan –dalan ku kota Medan, Medalit dalanna i tuntungen, Mungkin kita lenga sitandan Lalit salahna kita erkuan

Yang artinya adalah :

Jalan –jalan ke kota medan licin jalanya di tungtungan

mungkin kita belum kenal

(36)

2. Medan nari ku tanah karo, Ola kam lupa ngadi I pancurbatu, Man kerina kita kalak karo, Ola kam lupa rakut sitelu. Yang artinya adalah: Dari medan ke tanah karo

Jangan lupa singah di panjur batu Untuk kita semua orang karo Jangan lupa tentang adat karo.

Sedangkan menurut Darwan Prinst Guro-guro Aron adalah suatu pesta muda – mudi yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan Karo dengan memakai musik tradisional Karo dan perkolong – kolong. Jadi Guro-guro Aron merupakan kesenian suku Karo yang dilaksanakan setahun sekali dan dilakukan setelah selesai panen di ladang.

4.1.1 Pelaksanaan Guro – Guro Aron

Jika kita lihat pelaksanan guro- guro aron pada saat dahulu sangat jauh perbedanya dengan saat sekarang. Pada saat dahulu masyarakat Karo mengadakan

acara guro-guro aron selama tujuh hari lamanya, dan setiap hari memiliki

kegiatan yang telah ditentukan yaitu:

1. Hari Pertama, Cikor-kor.

(37)

dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

2. Hari Kedua, Cikurung (jangkrik) .

Pada hari kedua ini dilakukan acara cikurung, seperti halnya pada hari pertama, hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung atau jangkrik adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, kegiatan harus dimulai dengan cara harus dulu memgambil di ladang masing –masing dan selanjutnya boleh ditempat yang lain dan biasanya dijadikan lauk oleh masyarakat Karo dengan cara digulai. Pada jaman dulu cikurung merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyrakat Karo, karena sebelum acara hari H dilakukan maka suku Karo banyak pergi ke ladang atau sawah untuk mencari kurung sebagai ikan, karena menurut orang tua jaman dulu kurung ini sangat enak rasanya dan tidak susah dicari. Dan untuk mencari kurung maka masyarakat desa pergi beramai – ramai untuk mencarinya ke ladang. Makna

kurung ini adalah mengkurung tendi (jiwa) di rumah.

3. Hari Ketiga, Ndurung.

Pada hari ketiga ini ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya‘ nurung mas‘ (ikan emas),ikan

(38)

4. Hari Keempat, Mantem atau Motong.

Pada hari tersebut atau sehari menjelang hari perayaan puncak, pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk. Kulit kerbau (kuli mbok –mbok) dikeringkan sebagai penanam padi atau disatukan dengan bibit padi, yang bertujuan agar bibit padi tersebut tumbuh subur dan dapat memperoleh hasil yang lebih banyak lagi.

5. Hari Kelima, Matana.

Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk

saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya diadakan di los atau jambur, adalah semacam balai tempat perayaan pesta. Acara di los atau jambur dimeriahkan dengan gendang

guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah berhias dengan memakai pakaian

adat menarikan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tersebut tetapi dimeriahkan oleh masyrakat atau kerabat dari luar kampung yang diundang untuk menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu kegiatan yang paling utama dianjurkan untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan berupa nasi dan lauk pauk, dan setiap kali berkunjung ke rumah kerabat, aturannya wajib makan.

6. Hari Keenam adalah nimpa.

(39)

tepung pulut, gula merah, dan kelapa parut, dan dibungkus dengan daun singkut

(sejenis tumbuhan yang tumbuh di hutan). Cimpa tersebut biasanya, selain untuk

hidangan tambahan setelah makan, maka tidak lengkap rasanya guro-guro aron tanpa kehadiran cimpa. Cimpa atau rires daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu, cimpa atau rires banyak dibuat dan cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu yang datang dari luar kampung.

7. Hari Ketujuh, yang disebut dengan Rebu.

Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu adalah tidak saling menegur, hari itu adalah hari menenangkan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besoknya telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Guro –guro merupakan sebuah perayaan suku Karo di Tanah Karo. Konon Guro- guro aron tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya

(40)

muda-mudi sebagai arena mencari jodoh. Setiap acara gendang guro-guro aron menampilkan tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan acara guro –guro aron pada bulan yang berbeda. Misalnya Desa Batu Karang dibuat pada bulan satu, kecamata Tiga Binaga dibuat pada bulan enam, kecamatan Tiga Panah dibuat pada bulan tujuh, sedangkan pada bulan delapan ada daerah yang mengadakan acara guro – guro

aron sekaligus memperigati hari tujuh belas Agustus misalnya daerah Juma Raja,

dan pada bula sepuluh di kecamatan Berastagi.

Walau pun berbeda bulan pelaksananya tapi tujuanya tetap sama yaitu ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang telah diberikanNya. Pada saat dulu pelaksanan guro – guro aron ini harus berdasarkan perhitunggan hari atau dan ditetapkan pada hari yang baik yang maksudnya adalah hari yang membawa berkah. Perhitungan hari ini dilakukan oleh orang yang pintar atau yang disebut dalam bahasa Karonya adalah meniktik wari. Sedangkan pada saat sekarang berdasarkan tanggal atau harinya ditetapkan oleh warga desa dengan Kepala desa tersebut atau pun bedasarkan oleh biduan yang telah dipilih untuk menghibur warga desa tersebut. Acara Guro- guro aron ini dilaksanakan setahun sekali seperti acara perayan tahun baru.

(41)

keluarga yang jauh tempat tinggalnya. Acara ini diadakan dengan harapan agar panen padi yang ditanam dapat memberikan hasil yang baik dan mencukupi kebutuhan. Perubahan pelaksanan guro-guro aron ini disebabkan oleh penggaruh masuknya agama pada masyarakat Karo. Selain itu perubahan terjadi akibat masyarakat Karo yang pola pikirnya terhadap penggunan waktu, terlihat dengan menggunakan waktu yang efisien untuk memperoleh penghasilan yang lebih banyak mengingat kebutuhan dalam kehidupan yang sekarang ini lebih banyak lagi.

Selain itu perubahan fungsi gendang guro-guro aron terjadi adalah akibat terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Karo sebagai masyarakat pendukung. Demikian pula terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Karo adalah disebabkan faktor-faktor perkembangan sumber mata pencaharian, adanya alat musik yang baru, dengan masuk dan berkembangannya agama, kemajuan teknologi pengeras suara, dan pengaruh perkembangan repertoar yang ditampilkan. Dengan demikian pelaksanaan gendang guro-guro aron pada saat ini terjadi perubahan yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi

gendang guro-guro aron. Perubahan fungsi gendang guro-guro aron akibat

perubahan kebudayaan masyarakat Karo, bukan berarti membuat gendang

guro-guro aron tersebut tidak lagi diminati oleh masyarakatt Karo, akan tetapi secara

(42)

memprihatinkan. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mendapat perhatian, agar fungsi gendang guro-guro aron tersebut tidak hilang begitu saja.

Guro – guro aron ini, dapat juga dikatakan sebuah pesta yang merupakan

simbol kejayaan ekonomi orang Karo. Ketika guro –guro aron ini dilaksanakan tentu terdapat padi yang tersisa di keben (lumbung) untuk bahan makanan, serta terdapat ternak peliharan sebagai lauk pauk.

4.1.2. Peserta Dalam Acara Guro - Guro Aron

Kesuksesan sebuah acara tergantung bagaimana masyrakat yang

melihatnya dan meyikapinya. Yang menjadi peserta dalam acara guro – guro aron ini adalah:

1. Muda - mudi desa yang dipilih terutama kelima sub merga tersebu. Menjelang guro - guro aron semua muda - mudi desa mengadakan persiapan seperti dana untuk pakaian yang akan dipakai, perhisan dan dana untuk memangil perkolong - kolong (biduan yang akan menghibur ) dengan perangkat alat musik tradisional karo. Selain itu harus juga sibuk dengan latihan – latihan agar nanti tampak fasih dan indah dalam hari yang sudah ditentukan.

2. Orang tua atau pengetua adat dalam kampung tersebut.

(43)

yang paham akan adat, karena di sini muda mudi tersebut menari harus berdasarkan aturan adat dan norma – norma yang berlaku, karena disini dilarang satu merga menari bersama.

3. Kepala desa dengan seluruh anggotanya.

Kepala desa harus ikut serta dalam acara ini, karena tanpa persetujuan kepala desa tidak bisa dilasanakan acara ini.

4. Perkolong – kolong.

Perkolong – kolong adalah orang yang bertugas untuk menghibur dalam

acara guro – guro aron tersebut dengan menyanyikan lagu Karo ataupun lagu yang diminta warga tersebut utuk dinyayikan.

4.1.3 Pakaian yang Digunakaan.

Pakaian yang digunaka dalam acara guro – guro aron ini, khususnya pengulu

aron dan kemberahen aron haruslah rose tapi tidak memakai emas - emas

(berpakaian adat Karo lengkap tapi tidak memakai emas - emas). Dan mereka dibantu oleh pembantu pengulu aron dan pembantu nande aron yang juga rose sebagai simantek guro – guro aron yang terdiri dari kelima merga tersebut

Rose ( pakaian ) laki – laki simantek. 1. Memakai sarung palekat.

2 Erbulang dengan memakai beka buluh,

3 Cekok –cekok, ini dilipat berbentuk segi tiga dan diletakkan di atas bahu, dan memakai kain beka buluh juga. Sedangkan pakaian perempuan:

(44)

3.Memakai baju kebaya

4. Memakai bunga erpalas sebagai rudang – rudang atau hisan tudung sebagai simbol kepeminpinan.

5. Dan khusus bagi nande aron maka di atas tudungnya dia harus erjungjungen atau pun diletakan di atas tudungnya kampil kecil beserta dengan tikar kecil yang berwarna putih ( amak cur).

Sedangkan pada saat sekarang nande aron tidak lagi erjungjungen lagi, dan pada saat sekarang ini nande aron atau bapa aron hanya dipilih satu saja, dan itulah yang mewakilkan dari kelima merga baik bapa aron dan nande aron. Sedangkan pada saat dulu nande aron atau bapa aron dari setiap merga harus ada satu yang mewakili.

4.1.4. Alat Musik yang Digunakan

Dalam acara guro – guro aron ini pada saat dulu memakai alat musik tradisional. Sierjabaten adalah panggilan untuk pemain musik tradisional Karo. Pada saat dulu masyarakat dalam melakukan acara guro – guro aron hanya memakai alat musik lima sedalanen (lima sejalan) yaitu: gendang, sarune,

penganak, kulcapi, dan keteng –keteng. Sendangkan pada saat sekarang dalam

acara guro – guro aron ini masyrakat Karo sudah menggunakan keyboard.

Sierjabaten ini (orang yang bertugas memainkan musik tradisional karo)

memiliki keahlian dalam bermain berbagai macam alat musik tradisoanal Karo yang terdiri atas Sarune, Gendang singanaki, Gendang singindungi, Gendang

(45)

pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggual, dan pemain

penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung

(pemukul gung ). Pada saat dulu alat musik yang digunakan dalam acara

guro-guro aron ini adalah gendang. Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasan

mengenai setiap alat musik Tradisonal Karo :

A. Sarune.

a. Anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3 - 4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut,

b. Tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sama dengan jarak antara satu lobang nada dengan nada yang lain pada lobang sarune,

c. Ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampung bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dengan diameter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak,

(46)

e. Gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sama dengan batang sarune. Bentuk bagian dalamnya

barel, sedangkan bentuk bagian luarnya konis. ukuran panjang gundal sarune

tergantung panjang batang sarune yaitu 5/9.

B. Gendang

Alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasi ke dalam kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindung (induk). Gendang

singanaki di tambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk

adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang itu adalah:

Tutup gendang, yaitu bagian ujung atas tutup gendang ini terbuat dari kulit

napuh ( kancil ). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang gendang.

Bingkainya terbuat dari bambu.

(47)

Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampangnya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri. Panjang keduanya sama 14 cm.

C. Gung dan penganak

(48)

kebudayaan lainnya. Konsep endek harus dilihat dari kebudayaan karo itu sendiri sebagai pemilik kosa kata tersebut.

Konsep-konsep seperti ini juga dapat kita lihat pada istilah musik bagi masyarakat Karo. Pada masyarakat Karo tidak dikenal istilah musik, dan tidak ada kosa kata musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait dengan berbagai hal dalam ‘musik’ atau bahkan dapat diterjemahkan juga sebagai musik. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna,

(1) Gendang sebagai ensambel musik,

(2) Gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya;

(3) gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional,

(4) gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak, (5) gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya. Konsep seperti ini juga berlaku bagi tarian.

Endek dapat diartikan sebagai gerakan dasar, yaitu gerakan kaki yang

(49)

Dengan demikian makna dari setiap gerakan-gerakan mempunyai makna dan filosofi tergantung jenis tarinya. Meskipun demikian ada beberapa hal yang terkait dengan tari karo, misalnya gerakan tangan yang lempir atau jari tangan agak dimerengkan bedasarkan pandangan mata, endek nahe, bukan buta-buta atau bukan asal – asalan . Di samping itu juga makna gerakan-gerakan tangan juga mempunyai makna tersendiri. Ada beberapa makna dari gerakan tari Karo berupa perlambangan, yaitu:

Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah melambangkan

tengah rukur, yaitu maknanya selalu menimbang segala sesuatunya dalam

bertindak; gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya saling tolong menolong dan saling membantu, gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la

banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun tidak boleh dekat kalau

(50)

melambangkan penuh tanggung jawab, dan gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri, melambangkan ise pereh adi enggo ertutur

ialo-alo alu mehuli, artinya siapapun yang datang jika sudah berkenalan dan

mengetahui hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai keluarga

(kade-kade). (Sumber : tanah karo.com mulai dari hal 34-40)

(51)

Setelah semua marga (ada 5 marga), panitia, petugas keamanan dan kelompok-kelompok lain yang ada pada acara, mendapat giliran menari maka adegan ini biasanya diadakan tengah malam yang merupakan puncak acara. Gendang Guro-guro Aron sejak dahulu juga sering dimanfaatkan oleh para penguasa (pemimpin/tokoh adat) untuk menyampaikan pesan-pesan, biasanya pesan perdamaian dan semangat kerja kepada masyarakat. Buktinya, banyak lagu-lagu karo yang tercipta dengan nada riang penuh semangat mengajak masyarakat bekerja keras . Pada masa revolusi seni tradisional ini dijadikan pula sebagai penggelora semangat perjuangan kemerdekaan. Hal ini tercermin dari lagu-lagu perjuangan yang bernada heroik. Pada masa Orde Baru, kesenian interaktif ini dimanfaatkan oleh partai politik sebagai media untuk berkampanye.

(52)

Semakin hebat keahlian mereka dalam bermain musik maka makin tinggi pula pamor mereka (Sierjabaten) dimata masayarakat Karo. Guro - guro aron di tengah - tengah masyrakat karo merupakan satu alat perekat ataupun merupakan sistem kekerabatan bagi masyrakat karo, karena setiap tahun orang karo datang ke kampung halamanya untuk berkumpul dengan keluarganya dalam acara guro -

guro aron tersebut.

4.1.5.Tata Cara Pelaksanaan Guro – guro Aron.

Adapun guro-guro aron ini dalam pelaksanaannya ada tugas-tugas yang dibagi seperti:

1. Pengulu Aron/Kemberahen aron/ketua aron, atau bisa juga disebut dengan

bapa aron dan nande aron. Biasanya gendang guro-guro aron dipinpin oleh pengulu aron dan seorang kemberahen aron. Pengulu aron biasanya dipilih

dari pemuda keturunan bangsa tanah (si mantek kuta), sementara kemberahen

aron dipilih dari pemudi kampung tersebut atau anak kalimbubu kuta. Atau

hal ini tidak memungkinkan, maka pengulu aron diangkat dari pemuda dari

anak beru kuta dan kemberahen aron dari anak simantek kuta. Adakalanya pengulu aron dikenakan bunga empalas, yaitu ruas buluh ( bambu) yang dialisi sehingga tipis dan diurai sehingga menyerupai bunga pinang

(mayang). Disamping itu juga membawa sebuah tikar kecil ( amak cur ) sebagai tempat duduk.

2. Si mantek guro-guro aron. (perserta dalam guro-guro aron)

(53)

Simantek guro-guro aron berkewajiban membayar biaya yang disebut adangen, sebesar yang telah ditentukan dalam musyawarah.

3. Pengelompokan aron.

Aron dikelompokkan menurut beru-nya masing-masing, misalnya aron beru Ginting, aron beru Karo, aron beru Perangin-angin, aron beru Sembiring, aron beru Tarigan. Si pemuda menyesuaikan tempat duduknya dengan

kelompok pemudi itu, misalnya bere-bere Karo di aron beru Karo, bere-bere

Sembiring di aron beru Sembiring, bere-bere Ginting di aron beru Ginting dan bere-bere Tarigan di aron beru Tarigan. Aron ini dipimpin bapa /nande aron.

4. Kundulen guro-guro aron.

Adalah tempat duduk guro-guro di tempatkan pada salah satu rumah adat. Ini untuk menjaga sesuatu hal pelaksanaan guro-guro tidak dapat dilaksanakan di lapanangan (kesain). Untuk itu pengulu aron dan kemberahen aron datang

minta izin kepada pemilik rumah. 5. Aturan Menari

Dalam praktik untuk meramaikan pembukaan guro-guro aron, ada kalanya

perkolong-kolong diadu berpantun sambil bernyanyi. Atau ada kalanya

diadakan pencak silat (ndikkar), dan setelah orang berkumpul guro-guro aron pun dimulai menurut arutan adat karo.

a. Gendang Adat/ pengulu aron mereka yang dulu sebagai pembuka dalam

acara menari. Dan mereka bisanya dikawani oleh nande aron berserta dengan

perkolong – kolong yang perempuan dan perkolong – kolong yang laki – laki

(54)

(lagu pemberkatan) atau lagu Simalugen rayat dengan tujuan agar semua warga kampung sehat- sehat, murah rejeki, dan hasil panenya untuk tahun depan lebih banyak lagi.

b. Landek Permerga-merga. Setelah selesai menari pengulu aron maka

menarilah berdasarkan kelima sub merga Karo, misalnya yang pertama khusus untuk merga Ginting, dan selesai itu menari lagi merga Karo – Karo, dan setelah itu menari lagi merga Sembiring, dan setelah itu menari lagi

merga Tarigan dan setelah selesai menari merga Tarigan maka menari lagi

seluruh merga peragin – agin. Dan bisa yang menari ini di kawani oleh nade

aron yang tutur mereka tidak berturang ataupun bisa juga dikawani oleh perkolong – kolong.

c. Landek Aron. Maka setelah selesai permerga – merga menari maka giliran aron, disini yang khusus hanya mereka aron ( pembantu nande aron dan pembantu bapa aron). Mereka menari sesama khusus mereka aron saja

dengan menampikan tari tradisional karo misalnya tari lima serangkai. Dan mereka dalam menari ini tidak boleh berpasangan yang berturang.

d. Landek Pekuta-kutaken. Setelah selesai ladek (menari) aron maka yang

menari setelah itu menarilah tamu undangan atau pun perkuta- kuta. Dan

perkuta – kuta atau tamu undangan ini dikawani nande aron atau bisa juga

jika mereka memintanya di kawani oleh perkolong –kolong.

Pengulu aron dan nande aron biasanya disahkan salah seorang anak pengulu atau anak si manteki kuta. Pembantu mereka adalah merga silima dan salah

(55)

diangkat putri raja ataupun anak simanteki kuta. Pengulu aron dengan nande

aron rose lengkap (berpakaian lengkap) tapi tidak pakai emas – emas.

6. Tepuk dan ndehile ( acara terakhir untuk menari )

Untuk mengakhiri guro-guro aron biasanya juga diakhiri dengan acara menari menurut adat atau menurut aturan adat, malahan dalam acara penutupan ini si

erjabaten (pemusik) pun diberi kesempatan untuk menari. (Sumber: Darwin Prinst, Adat Karo 2004).

4.2 Fungsi Guro-Guro Aron

Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :

1. Latihan Kepemimpinan ( Persiapan Suksesi )

Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin,

mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu

aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari.

2. Belajar Adat Karo

Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat

Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana

yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain.

3. Hiburan

Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga

(56)

4. Metik ( tata arias )

Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni

anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri.

Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain

sebagainya.

5. Belajar Etika

Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda- nguda

juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.

6. Arena cari Jodoh

Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda - nguda (muda –mudi). Oleh karena itu adakalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan

tua dan lajang tua di kampungnya. Pada acara guro- guro aron banyak juga

tamu-tamu yang datang dari luar dan mungkin datang ke tempat keluarganya untuk

bersilaturahmi dengan keluarganya, dan pada saat itu juga dimanfaatkan untuk

mencari kawan yang baru. Dan banyak juga para muda mudi setelah acara guro –

guro aron tersebut bertemu dengan jodohnya, dan ada juga yang bertemu dengan keluarga yang baru, karena mungkin sudah lama dia tidak ingat lagi dan pada saat

itulah dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dengan keluarganya tersebut.( Darwin

(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan .

Berdasarkan penelitian dan uraian mengenai Fungsi Guro –Guro Aron pada masyrakat Karo kajian folklor yang diuraikan dalam skripsi ini maka disimpulkan sebagai berikut:

1. guro aron berasal dari dua kata, yaitu: guro-guro dan aron.

Guro-guro berarti hiburan atau pesta, sedangkan aron berarti muda-mudi. Jadi guro-guro aron adalah suatu pesta muda-mudi yang dilaksanakan

berdasarkan adat dan kebudayaan Karo, dengan memakai musik karo dan

perkolong-kolong atau biduan karo.

2. Guro – guro aron merupakan pesta seni khususnya bagi kaum muda – mudi.

3. Guro-guro aron berfungsi sebagai: latihan kepemimpinan, belajar adat Karo, hiburan, metik (tata rias), belajar etika, dan arena cari jodoh.

4. Dalam pelaksanan acara Guro –guro aron pada masyarakat Karo harus berdasarkan hari yang baik.

5. Dalam masyarakat Karo, dalam pelaksanan upacara adat sangat penting dan haruslah berdasarkan daliken sitelu. Karena tanpa daliken sitelu ini upacara adat yang dilakukan tidak akan dapat selesai dilaksanakan.

(58)

7. Merga bagi masyarakat Karo merupakan lambang yang sangat penting,

karena marga merupakan sebagai penentu hubungan kekerabatan bagi masyrakat Karo

8. Sistem organisasi pada masyarakat Karo menganut sistem patrilineal

yakni menggikut garis keturunan ayah. 5.2 Saran

Adapun saran yang akan disampaikan adalah :

1. Penelitian terhadap karya sastra sangat penting, terutama terhadap

Guro- guro Aron dan karya –karya sastra daerah yang kita miliki sangat

perlu untuk kita kembangkan, karena karya sastra merupukan sumber kebudayaan Indonesia yang tidak akan habis –habis.

2. Bagi generasi muda lebih diharapkan agar lebih peduli terhadap kebudayaan daerah, dan melestarikannya supaya budaya daerah lebih maju dan berkembang.

3. Perlunya kesinambungan dalam melestarikan sastara daerah dalam pelaksanan upacara adat disetiap daerah sehingga tercermin kehidupan budaya yang tinggi.

4. Bagi generasi muda supaya lebih mencintai budaya daerah sendiri, agar budaya daerah lebih maju dan lebih berkembang.

(59)
(60)

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Tanah Karo & Kantor Pengolahan Data Kabupaten Tanah Karo, 2003. Kabupaten Karo Dalam Angka 2003. Kabanjahe: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo dan Kantor Pengolahan Data Kab. Karo

Bagun,Roberto.1989, Mengenal Orang Karo. Jakarta.

Bangun Teridah, 1986.Manusia Batak Karo:Idayu Press Jakarta Damano,Supardi,Djoko,1984. Sosiologi Sastra. Bandung: Angkasa.

Danadjaya, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-lain. Grafiti Press. Jakarta.

Evans, Pritchard, E. E., 1984. Teori-teori Tentang Agama Primitif. Jakarta: PLP2M press.

Ginting, E P. Pdt. DR,1999. Religius Karo,Kabanjahe, Abdi Karya Ginting, Herlina. 1999. Folklor Batak. USU Medan.

Ginting, E.P., 1999. Religi Karo, Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru. Kabanjahe: Abdikarya

Hidayat, Andy Riza, 2006. Tradisi Karo: Ketika Pesta Tahunan Itu Tiba, dalam KOMPAS, Jumat, 23 Juni 2006

http://www.karokab.go.id

(61)

Koentjaraningrat, 1959 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Balai PustakA.

Poerwadarminta,W,J,S 1984. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Prinst,Darwan. 2004 Adat Karo. Bina Media Prints Medan Sembiring. Mberguh, 1993 Sejemput Adat Budaya Karo Medan Sitepu ddk,1996. Pilar Budaya Karo. Medan: Fkk.

Sukapiring,Peraturen, 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Fakultas Sastra USU. Medan

Sembiring, Sri Alem, 1992. “Guru Si Baso”: Peranan dan Fungsi Sosial Dukun Wanita Sebagai ‘Spirit Medium’ di Lingkungan Sosial Masyarakat Karo,

Setiadi, Elly M. dkk, 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana

Simanjuntak, Bungaran Antonius, 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak, Parapat: Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM)

Singaribun, Masri. Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak. USA: University of California Press,Ltd, 1975.

Tamboen, P. Adat Istiadat Karo.Jakarta. Balai Pustaka 1952

Teew,A,1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta Dunia Pustaka Jaya. Tarigan,Sarjani 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya Tarigan,.HG 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

(62)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Sada Arih Br Sembiring Tempat \Tgl Lahir : Berastagi 22 Nopember 1967 Pekerjan : Petani

Agama : Kristen

Pendidikan : SMA

Alamat sekarang : Desa Gurusinga.

2. Nama : Kapdesta Gurusinga

Tempat \Tgl Lahir : Gurusinga 13 Mei 1990 Pekerjan : Kepala Desa

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Alamat sekarang : Desa Gurusinga 3. Nama : Bergiat Gurusinga

Tempat \Tgl Lahir : Gurusinga 11 April 1984 Pekerjan : Petani

Agama : Kristen

Pendidikan : SMA

Alamat sekarang : Desa Gurusinga

4. Nama : Putra Ginting

Tempat \Tgl Lahir : Gurusinga 12 Oktober 1972 Pekerjan : Petani

Agama : Kristen

Pendidikan : SMA

Alamat sekarang : Desa Gurusinga

5. Nama : Jaya Tarigan

(63)

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Alamat sekarang : Desa Gurusinga.

6. Nama : Karim Karo- Karo

Tempat \Tgl Lahir : Gurusinga 31 Agustus 1964 Pekerjan : Petani

Agama : Kristen

Pendidikan : SMA

(64)

KOSA KATA DALAM BAHASA KARO

Agama pemena : Agama yang pertama asli masyrakat karo. Anak beru : Orang yang menerima darah.

Ampang : Benda yang berbentuk bundaran yang dipasang pada sarune yang dimasukan ke dalam mulut.

Abit : Sarung yang dipakai untuk wanita.

Begu : Arwah atau roh orang yang sudah meninggal. Belo : Sirih, digunakan waktu acara – acara adat.

Busan – busan : Tabung bambu dan dipakai sebagai tempat menyimpan beras dan tutupnya sebagai takaran beras. Belobat : Nama alat musik tradisional karo yang di tiup

Beras pati : Dewa yang berkuasa atas tanah. Bapa aron : Kepala rombongan bagi laki –laki.

Cuan : Alat pertanian yang dipakai untuk mengerjakan ladang. Cangkul : Alat yang dipakai untuk mengerjakan ladang tapi bentuknya

lebih kecil dari cuan. Cimpa : Kue yang dibungkus dengan daun. Cikor – cikor : Kegiatan mencari cangkrik di ladang. Daliken : Tungku untuk tempat memasak. Dibata kaci – kaci : Allah pencipta.

(65)

.Endek : Gerakan tangan atau gerakan kaki. Gantang : Takaran beras.

Gendang : Alat musik karo denmgan cara dipukul.

Guro – guro aron : Pesta ucapan rasa sukur atas hasil panen Gati gewang : kain untuk mengendong bayi dan bisa juga dipakai untuk

sarung.

Gatip jongkit : Dipaki juga sebagai sarung pada acara adat Gonje : Pakaian yang dipakai di badan.

Impal : Pariban Isap : Rokok Kade – kade : Keluarga. Kampil : Tempat sirih.

Kudin : Tempat untuk memasak nasi. Kerpe : Alas panci atau periuk.

Keteng – keteng : Permainan anak yang terbuat dari bambu. Kemalangen : Orang yang mengalami musibah.

Kalimbubu : Orang yang di hormati.

Keben : Lumbung tempat penyimpanan padi. Kiniteken : Kepercayaan.

Merga : Klain, kelompok ayah

Maneh – maneh : Kain orang yang sudah meninggal yang yang dikasi kepada hula- hula.

(66)

Ngelandeken galuh :Menari sambil menjungjung pisang diatas kepala dan acara ini biasanya di adakan

pada acara pesta bunga dan buah di tanah karo. Nampuh : Kulit kancil.

Nande aron : Kepala rombongan bagi perumpuan .

Pingan pasu : Piring dari bahan porseling berwarna putih Pemasu – masu : Orang yang memberikan berkat.

Perkolong –

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada

Guro-guro aron merupakan salab satu bentuk kesenian tradisional masyarakat Karo yang sampai saat ini masih tetap eksis meskipun telah melewati perjalanan waktu dari

Adapun judul yang akan diteliti adalah : “ Keberadaan Musik Dalam Acara Ritual Perumah Begu Pada Masyarakat Karo Di Desa Gamber KecC. Simpang Empat

“Saat ini masih ada beberapa Orang Karo yang saya tahu terutama jemaat GBKP melakukan praktik ritual tradisinonal Suku Karo, seperti ritual Erpangir ku lau yang jelas-jelas hal

Ada beberapa tujuan yang dapat dilihat dari budaya cokong-cokong ini pada beberapa acara adat masyarakat karo, antara lain:... Pada

Media yang digunakan dalam ritual ini adalah tuturan- tuturan lisan dalam bentuk Tanya-jawab antara tetua adat yang bertanya dengan tetua adat yang

Media yang digunakan dalam ritual ini adalah tuturan-tuturan lisan dalam bentuk tanyajawab antara tetua adat yang bertanya dengan tetua adat yang menjawab. Ritual ini