PERBEDAAN KETERAMPILAN SOSIAL ANTARA SISWA HOMESCHOOLING
DAN SISWA YANG MENGIKUTI PROGRAM REGULER
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
EVI ULINA SEBAYANG 021301040
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I PENDAHULUAN
I.A.LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi
sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran
tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi
wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi (Suryabrata, 2001).
Seperti yang kita ketahui bahwa ada tiga jalur pendidikan yang dikenal
dalam sistem pendidikan di Indonesia yaitu: pertama, jalur formal atau yang
sering juga disebut dengan program reguler, seperti: SD, SMP, dan SMA. Kedua,
jalur nonformal, seperti: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar.
Selanjutnya yang terakhir yaitu jalur informal, seperti: pendidikan oleh keluarga
dan lingkungan secara mandiri dan salah satunya adalah homeschooling
(Sumardiono, 2007). Di Indonesia Proses belajar mengajar di sekolah reguler
bersifat sangat kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek paedagogis,
psikologis, dan didaktis. Aspek paedagogis merujuk pada kenyataan bahwa
belajar mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana
guru harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan,
melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Aspek psikologis merujuk pada
kenyataan bahwa siswa yang belajar di sekolah memiliki kondisi psikologis yang
berbeda-beda. Aspek psikologis tersebut merujuk pada kenyataan bahwa proses
mengandung aspek hafalan, ada belajar keterampilan motorik, ada belajar konsep,
ada belajar sikap, dan seterusnya. Adanya kemajemukan ini menyebabkan cara
siswa belajar harus berbeda-beda pula, sesuai dengan jenis belajar yang sedang
berlangsung. Aspek didaktis merujuk pada pengaturan belajar siswa oleh tenaga
pengajar, yaitu adanya berbagai prosedur didaktis. Guru harus menentukan
metode yang paling efektif untuk proses belajar mengajar tertentu sesuai dengan
tujuan instruksional yang harus dicapai. Demikian pula dengan kondisi eksternal
belajar yang harus diciptakan oleh pengajar, sangat bervariasi (Suryadi dan
Hartilaar, 1993)
Dengan berbagai macam pendidikan yang ada, para orang tua haruslah
bijak memilih pendidikan yang tepat untuk anak-anaknya sesuai dengan tugas
perkembangan yang akan mereka jalani, karena pada usia remaja terdapat
tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Salah satu tugas-tugas
perkembangan remaja yang menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola
perilaku adalah penyesuaian sosial (Santrock, 2004). Ditambahkan pula oleh
Mu’tadin (2002), bahwa kemampuan penyesuaian sosial dirasakan semakin
penting bagi perkembangan remaja. Hal ini disebabkan karena individu sudah
memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, di mana pengaruh teman-teman dan
lingkungan sosial akan sangat menentukan. Suryabrata (2001) mengatakan bahwa
remaja memiliki pula kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan
menolongnya, teman yang dapat turut serta merasakan suka dan dukanya.
Greenberger (dalam Hurlock, 1999) menyatakan untuk mencapai tujuan
dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak membuat penyesuaian baru.
dalam perilaku dan pengelompokan sosial, nilai-nilai baru dalam dukungan dan
penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan dan pemimpin.
Bertambah luasnya lingkup sosial remaja membawa konsekuensi tertentu
pula. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) semakin kompleks lingkup
sosialnya, remaja semakin dituntut untuk selalu menyesuaikan diri, dan
diharapkan mampu membina hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman
sebaya, serta mampu bertingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Menurut
Craig (1996), alasan mengapa para remaja lebih suka mencari dukungan dari
teman-teman sebaya adalah karena teman-teman sebayalah yang memiliki
pengalaman yang sama dengannya dibandingkan dengan orang-orang lain dalam
menghadapi perubahan fisik, emosional, dan perubahan sosial yang terjadi.
Kegagalan remaja dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya
menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku
kurang normatif, dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa
menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, dan tindakan kriminal
(Sarwono, 2000).
Melihat kondisi lingkungan yang semakin luas, remaja dituntut untuk
dapat memilih dan memilah hal-hal baik mana yang akan ditiru atau diikuti, serta
perilaku buruk mana yang memang seharusnya dihindari. Remaja harus mampu
bersikap tegas dan merespon secara tepat segala pengaruh yang seringkali muncul
dalam pergaulannya. Salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah
kemampuannya untuk melakukan dan membina hubungan antar pribadi dengan
orang lain (Nashori, 2000). Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa
mengelola hubungan pribadi dengan orang lain. Havighurst (dalam Hurlock,1999)
menyatakan bahwa untuk melakukan penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari,
remaja harus mampu mencapai kemampuan sosial. Kemampuan sosial dapat
dikuasai dengan baik oleh remaja apabila mereka memiliki keterampilan sosial.
Keterampilan sosial merupakan kemampuan individu untuk
berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, dimana keterampilan ini
merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan
mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan
interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam
Gimpel & Merrell, 1998).
Keterampilan sosial juga harus dimiliki remaja ketika berhadapan dengan
teman sebaya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan sesama remaja
daripada dengan orang tua atau anggota keluarga lain. Hal ini dikarenakan remaja
selalu berada di sekolah dari pagi sampai siang, belum lagi kalau ada
ekstrakurikuler, les, bahkan nonton ke bioskop atau ke mal dilakukan bersama
teman. Acara liburan pun seringkali dilewatkan untuk berekreasi bersama teman,
seperti pergi camping atau berdarmawisata ke kota lain. Fenomena ini di
Indonesia dikenal dengan istilah peer pressure atau tekanan teman sebaya.
Faktanya dapat dilihat dari besarnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan
sehari-hari, mulai dari cara berbicara, berpakaian, sampai bertingkah laku yang
cenderung memperhatikan dan mengikuti apa yang dilakukan oleh temannya
Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara,
mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus
menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian
ke hal-hal yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Remaja
akan memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh
pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, tahu situasi dengan siapa dan dalam
kondisi bagaimana bmereka berbicara, mampu menolak dan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan (Libet &
Lewinsohn dalam Gimpel & Merrell, 1998). Penelitian yang mendukung hal ini
dilakukan oleh Buhrmester, dkk (1988) hasilnya menunjukkan bahwa
keterampilan sosial bermanfaat dalam hal popularitas dalam peer-group,
kesuksesan dalam membina hubungan antar jenis, kepuasan dalam hubungan
perkawinan, dan sebagai benteng stres dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, Caldarella & Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998)
mengemukakan bahwa keterampilan sosial mencakup 5 dimensi yang paling
umum, yaitu:
1. Hubungan dengan teman sebaya (peer relations,) yaitu ditunjukkan
melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau
menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan
bermain bersama orang lain.
2. Manajemen diri (self-management), yaitu merefleksikan remaja
yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol
emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat
3. Kemampuan akademis (academic), yaitu kemampuan yang
ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan
tugas individual, menjalankan arahan dengan baik.
4. Kepatuhan (compliance), yaitu menunjukkan remaja yang dapat
mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan
membagikan sesuatu.
5. Perilaku assertive (assertion), adalah kemampuan yang membuat
seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang
diharapkan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kesempatan berinteraksi dengan
teman sebaya sebagian besar banyak dihabiskan di sekolah reguler, di mana peran
remaja dalam hal ini adalah sebagai siswa. Sekolah juga mempersiapkan siswa
untuk aktif berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan sosial melalui organisasi
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler-nya. Begitu pentingnya peranan sekolah
bagi siswa membuat pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk
menciptakan sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang bermutu dalam hal
teknologi dan informasi. Pemerintah harus peka dalam membentuk strategi
penyelenggaraan pendidikan melalui kurikulum yang akan diterapkan di seluruh
sekolah di Indonesia.
Pembaharuan pendidikan yang mulai digalakkan beberapa puluh tahun
yang lalu menyebabkan timbulnya berbagai usaha pemikiran di berbagai bidang
pendidikan, seperti: pembaharuan kurikulum, metode mengajar, administrasi
telah menimbulkan perubahan ukuran baik-buruk perihal kegiatan guru, kegiatan
siswa, suasana kelas, dan banyak lagi hal lainnya (Arikunto, 1996).
Namun, sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia sekarang dianggap
belum sepenuhnya mampu menampung konsepsi dan gagasan baru sejalan dengan
tantangan dan kehidupan bangsa saat ini. Banyak orang tua merasa tidak puas
pada pendidikan di sekolah reguler. Kurikulum selalu berubah, akibatnya buku
pelajaran juga ikut berubah, dan beban muatan pelajaran cukup berat. Alasan lain
yang menjadi pertimbangan orang tua adalah pergaulan di sekolah yang memberi
dampak buruk. Salah satu fakta itu, penyalahgunaan obat terlarang yang sudah
menyusup di kalangan pelajar. Semua itu membuat orangtua mempertimbangkan
kembali untuk menyekolahkan anaknya di sekolah reguler (Prasetyawati, 2006).
Widyastono (2001) menambahkan pula bahwa strategi penyelenggaraan
pendidikan bersifat klasikal-massal yang selama ini dilakukan di sekolah reguler,
memberikan perlakuan yang standar (tidak memperhatikan keberagaman peserta
didik) kepada semua siswa, padahal setiap siswa memiliki kebutuhan yang
berbeda. Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah
rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa
lainnya, akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
Demikian pula sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di
atas rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa
lainnya, akan merasa jenuh, sehingga sering berprestasi di bawah potensinya
(under achiever).
Bertolak dari situasi tersebut, akhir-akhir ini telah muncul suatu konsep
rumah. Konsep tersebut dikenal dengan homeschooling, karena pada hakikatnya
pendidikan adalah berasal dari rumah. Sewaktu anak-anak lahir dan berkembang
serta belajar merupakan tanggung jawab dari orang tua sebagai pendidik dan
menjadi role model bagi anak (Griffith, 2006). John Locke (dalam Lines, 2000)
mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah kebaikan, dan rumah
merupakan tempat yang terbaik untuk mengajarkannya. Menurut Evy (2006) cara
memulai program sekolah rumah (homeschooling) ini, ada beberapa cara
berdasarkan pengalaman yang selama ini telah dilakukan, diantaranya pertama,
kelas anak disesuaikan dengan usia, kedua tutor dari orangtua atau orang yang
ditunjuk, ketiga menggunakan buku panduan Paket A,B,C atau juga pakai buku
yang banyak di toko, keempat waktu belajar terserah, yang penting anak belajar
minimal 2x 3 jam dalam sehari. Masih banyak aturan lain dari homeschooling ini
dan penyelenggaraan sekolah rumah tidak hanya setara SD saja bahkan sampai
SMA pun ada programnya.
Menurut Wichers (2001) homeschooling didesain sebagai situasi
pembelajaran di mana anak diajarkan pada umumnya oleh orang tua mereka,
dalam lingkungan yang non tradisional. Orang tua merasa lebih nyaman bila
menerapkan homeschooling bagi anak-anaknya. Selain lebih aman, orang tua akan
dapat lebih intensif membantu tumbuh kembang anak. Dalam homeschooling
penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang tua dalam merancang
pendidikan anak-anaknya, karena pada dasarnya orang tua-lah yang lebih
mengenal karakter anak-anaknya. Orang tua dapat merancang pola didik yang
paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat anaknya. Holt (dalam Griffith,
dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada
pembelajaran yang terpusat pada anak. Menurut Yulfiansyah (2006)
homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan
kepada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang
homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
dan bernalar secara komprehensif, optimal dan mengoptimalkan kreativitasnya.
Pelaksanaan dari program pendidikan homeschooling mulai dari awal
hingga sekarang masih menimbulkan pro dan kontra (Yulfiansyah, 2006). Pro dan
kontranya terutama dari segi psikologis. Siswa yang homeschooling
melaksanakan pendidikan di rumah yang akan lebih fleksibel, sehingga terkesan
tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas. Sebagian orang
berpendapat bahwa pendidikan homeschooling membuat anak kurang
bersosialisasi dan tidak realistis terhadap dunia. Siswa akan kehilangan waktu
senggang dan masa bermainnya, serta menghambat dan membatasi siswa untuk
berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan demikian hubungan interpersonal
dengan orang lain pun juga akan semakin merenggang. Prasetyawati (2006)
menambahkan pula bahwa kelemahan dari homeschooling, yaitu kemungkinan
kurangnya sosialisasi anak dengan teman sebaya. Anak hanya bisa bertemu
saudara dan orang tuanya yang biasanya juga ada di rumah. Sementara di sekolah
reguler, anak bisa bertemu banyak orang dengan karakter dan budaya yang
berbeda. Di sekolah reguler anak juga lebih banyak kesempatan untuk belajar
tentang rasa toleransi, dan bagaimana bersikap pada teman, guru, lingkungan
sekitar, dan lain-lain. Pada umumnya orang lebih menganjurkan pendidikan di
Namun di sisi lain Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa anak yang
homeschooling juga bersosialisasi dengan orang lain sehingga memiliki
keterampilan untuk bersosialisasi. Bersosialisasi berarti berinteraksi dengan
individu-individu lain dan tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Anak
yang homeschooling berinteraksi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka
yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekali pun. Mereka diajar untuk bisa
menempatkan diri di lingkungan mana pun, dengan siapa pun, dan menjalin
hubungan atau interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan tetapi karena
kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna.
Di Indonesia, yaitu di beberapa kota seperti di Jakarta penerapan program
homeschooling sudah banyak dilaksanakan. Kebanyakan orang tua mereka
menyarankan anaknya untuk bersekolah dengan cara homeschooling. Peneliti
sendiri sudah menanyakan kepada beberapa orang tua yang anaknya mengikuti
program homeschooling, dan para orang tua tersebut mengatakan bahwa alasan
mereka adalah bahwa mereka kurang percaya dengan sekolah reguler karena
pergaulan di Jakarta yang begitu bebas sehingga ia takut kalau anaknya akan salah
pergaulan. Selain itu dengan homeschooling, anak dapat mengatur jadwal
belajarnya sendiri tetapi penuh dengan kedisiplinan yang tinggi dan juga dapat
memfokuskan pelajaran mana yang paling digemari. Karena itu di Jakarta sudah
banyak sekali siswa yang memilih program homeschooling tanpa adanya rasa
keraguan. Di Jakarta sendiri sudah banyak terdapat komunitas homeschooling,
sehingga jika kita ingin memasukkan anak kita bersekolah melalui program
homeschooling sudah dapat melalui sekretariatnya. Itulah sebabnya peneliti
mengikuti program homeschooling, sedangkan di Medan sendiri peminatnya
masih sedikit, yang biasanya diutamakan kepada anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus (special needs).
Setiap siswa pastilah berbeda-beda, begitu juga dengan keterampilan sosial
yang dimiliki siswa belum tentu sama antara satu dengan yang lainnya. Bertolak
dari perbedaan pandangan di atas, pertanyaan yang muncul dan harus segera
dijawab dalam hal ini adalah apakah siswa yang mengikuti program
homeschooling berbeda keterampilan sosialnya dengan siswa yang mengikuti
program reguler di sekolah. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk melakukan
suatu penelitian mengenai perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang
mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler.
I.B TUJUAN PENELITIAN
Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan
siswa program reguler
I.C. MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, yaitu manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang
berguna dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang
informasi mengenai bagaimana perbedaan keterampilan sosial antara siswa
yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dan
menambah wacana dalam ilmu psikologi sendiri, khususnya yang
berkaitan dengan tema program homeschooling yang sedang marak
akhir-akhir ini.
2. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan masukan kepada para siswa dalam menjalani
sebuah program pendidikan, sehingga mereka dapat
mempersiapkan diri sebelum mereka mengecap suatu program
pendidikan tertentu.
b. Memberikan informasi kepada pihak keluarga dan
masyarakat agar lebih memperhatikan pola pendidikan anak, dan
memberikan perlakuan yang tepat bagi pendidikan anak, sehingga
para anak tidak merasakan adanya suatu paksaan dalam bersekolah.
c. Memberikan informasi yang telah didapatkan kepada pihak
yang berwenang dalam program pendidikan, yaitu pemerintah,
sehingga homeschooling semakin mendapat dukungan yang lebih
I.D. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan sosial
antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa
program reguler
Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari keterampilan
sosial, homeschooling, dan program reguler.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi
operasional, subyek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode
pengambilan sampel, dan metode analisis data.
Bab IV Analisa dan Interpretasi Data
Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan
interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian
ini.
Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bagian ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan hasil dari penelitian
itu sendiri yang dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan
berbagai kemungkinan yang terjadi mengenai alasan dari hasil penelitian
teori lain yang mendukung. Selain itu bagian ini juga memberikan
saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan interpretasi data
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Keterampilan Sosial
II. A.1. Definisi Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi
efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan
perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu
mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan
interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam
Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih
berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang
dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka
tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri
maupun orang lain.
Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995)
mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk
menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh
lingkungan. Kelly (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mendefinisikan keterampilan
sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu
pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik
dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di
sekelilingnya (Matson, dalam Gimpel & Merrell, 1998).
Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan
yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja
madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk
dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari.
Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin
hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain,
mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima
feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang
berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase
tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek
psikososial dengan maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial
merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap
perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian
yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh
pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.
II.A.2. Arti Penting Keterampilan sosial
Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6 hasil penting dari memiliki
1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas
Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas
karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya
dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain,
individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat
mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk
mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang
dirinya.
2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan
Kesuksesan Karir
Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja,
produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum
yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling
penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi,
mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi
situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain
yang berhubungan dengan dunia kerja.
3. Meningkatkan Kualitas Hidup
Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari
keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang
4. Meningkatkan Kesehatan Fisik
Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi
kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi
berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat
dari sakit.
5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat
dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain.
Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang
positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi,
frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun
hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress
psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.
6. Kemampuan Mengatasi Stress
Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan
sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling
mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan
mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu
dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan
feedback.
II.A.3. Ciri-ciri Keterampilan Sosial
Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998)
1. Perilaku Interpersonal
Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut
keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang
disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.
2. Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri
Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur
dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi
stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan
sebagainya.
3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis
Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi
belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan
sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.
4. Penerimaan Teman Sebaya
Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan
sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena
mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang
dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi, dapat menangkap
dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.
5. Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan
sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap
Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial, menurut
Eisler dkk (L’Abate & Milan, 1985) adalah: orang yang berani berbicara,
memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat,
memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat
meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik,
serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya. Sementara Philips (dalam
L’Abate & Milan, 1985) menyatakan ciri-ciri individu yang memiliki
keterampilan sosial meliputi: proaktif, prososial, saling memberi dan menerima
secara seimbang.
II.A.4. Dimensi Keterampilan Sosial
Caldarella dan Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan 5
(lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu :
1. Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation), ditunjukkan
melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau
menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan
bermain bersama orang lain.
2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang
memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya,
mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima
kritikan dengan baik.
3. Kemampuan akademis (Academic), ditunjukkan melalui
pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual,
4. Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat
mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan
membagikan sesuatu.
5. Perilaku assertive (Assertion), didominasi oleh
kemampuan-kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku
yang tepat dalam situasi yang diharapkan.
Tabel 1
Dimensi Umum Keterampilan Sosial
Dimensi Pola Perilaku
Hubungan dengan teman sebaya (peer
relation)
Interaksi sosial, prososial, empati,
partisipasi sosial, sociability-leadership,
kemampuan sosial pada teman sebaya.
Manajemen diri (Self-management) Kontrol diri, kompetensi sosial,
tanggung jawab sosial, peraturan,
toleransi terhadap frustasi.
Kemampuan akademis (academic) Penyesuain sekolah, kepedulian pada
peraturan sekolah, orientasi tugas,
tanggung jawab akademis, kepatuhan di
kelas, murid yang baik.
Kepatuhan (Compliance) Kerjasama secara sosial, kompetensi,
cooperation-compliance
Perilaku Asertif (Assertion) Keterampilan sosial asertif, social
II.A.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial
Hasil studi Davis dan Forsythe (Mu’tadin, 2006), terdapat 8 aspek yang
mempengaruhi keterampilan sosial dalam kehidupan remaja, yaitu :
1. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam
mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam
keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap
lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak
harmonis (broken home) di mana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis
yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan ketrampilan sosialnya.
Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan
suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin
komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya.
Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka
segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang
kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, dsb. hanya akan
memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana
menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan
sosial antara satu sama lain menjadi rusak.
2. Lingkungan
Sejak dini anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan.
Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah,
pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga). Lingkungan juga meliputi
dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak
dini anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang
luas, tidak hanya terdiri dari orang tua, saudara, atau kakek dan nenek saja.
2. Kepribadian
Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari
kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil
tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang
sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai
seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki
penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya
orang tua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan
martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau
penampilan.
3. Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri
Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal
anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan
kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat
bereaksi secara wajar dan normatif. Agar anak dan remaja mudah
menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua / pendidik
adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima
dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb.
Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan
memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain /
kelompok.
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial
dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor keluarga, lingkungan, serta
kemamapuan dalam penyesuaian diri.
II.B. Homeschooling
II.B.1. Sejarah Homeschooling
Setiap kegiatan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses yang
sangat penting dan diharapkan dapat mengarah ke suatu tujuan. Gambaran
kepercayaan masyarakat abad 20 ini terhadap pendidikan berkembang sama
luasnya dengan perluasan pendirian sekolah-sekolah umum dan diberlakukannya
undang-undang wajib belajar. Asumsi sekolah sebagai hal yang dibutuhkan dalam
pendidikan anak didik begitu besar, sehingga meskipun banyak perdebatan
mengenai bentuk sekolah dan bahan-bahan yang harus diajarkan, tetap saja
sekolah menjadi suatu lembaga yang tidak tergantikan (Griffith, 2006).
Tapi, seiring perkembangan zaman, timbullah suatu
pengecualian-pengecualian. Sebagian anak yang tinggal di daerah yang terpencil dan terlalu
jauh dari sekolah formal menyulitkan mereka untuk datang ke sekolah. Kemudian
sebagian lainnya merasa tidak tahan berada di sekolah atau datang dari keluarga
dengan ide-ide yang tidak tradisional mengenai makna pembelajaran (Griffith,
2006).
Para pembelajar yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur
mempelopori terbentuknya sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977,
Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak 4 halaman, yang berjudul
‘Growing Without Schooling’ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga
yang menginginkan ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka
belajar di luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang juga
memikirkan hal yang serupa, dan dalam waktu singkat banyak yang
mendukungnya.
Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk
menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun,
hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah
(homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan
menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus
sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya
terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari
homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith,
2006).
Menurut data dari National Household Education Surveys Program
(NHES) seperti dikutip dari National Center for Education Statistics, di Amerika
Serikat, pada tahun 2003 terdapat sekitar 1,096,000 anak yang homeschooling.
Empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999, terdapat sekitar 850.000 anak (sekitar
1,7 % dari populasi usia sekolah) yang homeschooling. Hal ini berarti terjadi
peningkatan sekitar 0,5 % jumlah anak yang mengikuti program pendidikan
Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap para orang tua,
mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka.
Sekitar 31 % orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30 %
mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan
berikutnya, sekitar 16 % adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di
sekolah.
II.B.2. Sejarah Homeschooling di Indonesia
Negara menjamin adanya pendidikan di Indonesia, seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Garis-Garis Besar
Haluan Negara di sektor pendidikan.
Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan
sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan
sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa
kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan
bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk
menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan
pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan
jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2001).
Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk
ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam
sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai
dengan menyiksa anak, namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan
resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya.
Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan
tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang
juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung
es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).
Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang
diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat
tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif
yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak,
sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini
yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah
(homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal.
Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai
permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian
dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).
Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan
dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua
terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran
sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang
menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan
pelajaran oleh orang tua.
Ibuka (dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan
anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri.
Pendidikan anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru
pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam
rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih
cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada
homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah
orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk
memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk
bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah kesehatan, seorang satpam
untuk belajar bela diri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan
kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada
dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik menjadi
lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa
saja.
Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap
kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri
anaknya di rumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang
berlaku. Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh
ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh
pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai
tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh
ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan
pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.
II.B.3. Pengertian Homeschooling
Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sebagai suatu situasi
pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam
subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau
orang yang ahli.
Homeschooling merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada
umumnya anak diajarkan oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkungan yang
non-tradisional (Wichers, 2001).
Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana
pembelajaran yang menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan
sedikit supervisi. Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal,
dan mengoptimalkan kreativitasnya.
Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan
sebuah pendidikan yang dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah,
serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak.
Pada dasarnya homeschooling bersifat unik, karena setiap keluarga
mempunyai nilai dan latar belakang berbeda, setiap keluarga akan melahirkan
Sekolah rumah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Sekolah Rumah Tunggal
Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh orang
tua dalam satu keluarga yang dalam pelaksanaannya dengan sengaja
tidak bergabung dengan keluarga lain yang menerapkan sekolah rumah
tunggal lainnya.
Format sekolah rumah tunggal biasanya dipilih oleh keluarga yang
ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan
homeschooling. Mereka bertanggunjawab sepenuhnya atas seluruh
proses yang ada dalam homeschooling, mulai perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana
pendidikan. Dalam format ini, keluarga biasanya menggunakan
fasilitas keluarga atau sarana-sarana umum sebagai penunjang kegiatan
belajar putra-putrinya.
2. Sekolah Rumah Majemuk
Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh dua atau
lebih keluarga sekolah rumah yang memilih untuk menyelenggarakan
satu atau lebih kegiatan bersama-sama. Dalam sekolah rumah
majemuk setiap keluarga tetap memiliki fleksibilitas untuk
menjalankan kegiatan inti maupun kegiatan lainnya secara mandiri.
Format sekolah rumah ini memberikan kemungkinan pada
keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang
dimiliki tiap keluarga. Sebuah keluarga dapat melakukan pertukaran
dimiliki oleh sebuah keluarga. Selain itu, format sekolah rumah ini
juga dapat menambah sosialisasi sebaya (horizontal socialization)
dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling.
3. Sekolah Rumah Komunitas
Merupakan gabungan beberapa sekolah rumah majemuk yang
menyusun dan menentukan silabus serta bahan ajar bagi anak-anak
sekolah rumah. Berbeda dengan sekolah rumah tunggal / majemuk,
Komunitas Sekolah Rumah menyelenggarakan proses belajar mengajar
dalam keluarga dengan komitmen orang tua dan komunitas dengan
perbandingan tertentu, misalnya: 50 : 50.
Menurut panduan yang diterbitkan Depdiknas, pertimbangan
pelaksanaan Komunitas Sekolah Rumah adalah untuk membuat
struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas
pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia,
pengembangan intelegensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran,
penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standard mutu tertentu tanpa
menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam
keluarga dan lingkungannya.
II.B.4. Legalitas Homeschooling di Indonesia
Ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di
Indonesia (http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=
view&id=314&Itemid=80), yaitu:
2. non formal, yaitu: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan
sejenis.
3. informal, yaitu: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri,
salah satunya adalah homeschooling.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, homeschooling merupakan jalur
pendidikan informal. Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20 / 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 27 ayat (1), yaitu:
"Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri"
Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal,
kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal
dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20 / 23, pasal 27 ayat
(2).
Ketika banyak pihak yang melaksanakan homeschooling bergabung dan
menyusun atau menentukan silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka
itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar.
Komunitas Belajar merupakan satuan pendidikan jalur non formal. Acuan
dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (4):
"Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis."
Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat
mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal.
"Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan."
Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan
melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan
Komunitas Belajar sebagai berikut:
1. Mendaftarkan kesiapan orang tua / keluarga untuk menyelenggarakan
pembelajaran di rumah / lingkungan kepada Komunitas Belajar.
2. Berhimpun dalam suatu komunitas.
3. Mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan
kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota setempat.
4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar
yang diikutinya.
5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara menyeluruh
dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar yang
diselenggarakannya.
6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.
7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara
berkala per semester.
8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam
Ujian Nasional.
Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah
1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang
menjadi anggotanya.
2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.
3. Memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta didik
sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.
II.B.5. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling
Alifa (2006) mengatakan bahwa keberhasilan homeschooling dipengaruhi
oleh beberapa faktor berikut ini (http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3
?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:
1. Kedisiplinan dan Komitmen
Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang
disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu. Namun,
orang tua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama perihal
waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak melanggarnya.
Terlewat satu hari berarti telah melewatkan beberapa materi yang harus
dipelajari.
2. Mengenali Kemampuan Anak
Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor
dapat memberikan materi yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh
memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya
3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan
Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi
belajar di mana saja, di dalam ruangan, di luar ruangan, dan di sekitar
rumah, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.
4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi
Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan
cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang melibatkan
anak-anak sebayanya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat anak
sehingga semangat selalu menyertainya.
5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran
Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam
hal teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang
disampaikan. Mengakses informasi di internet, televisi, surat kabar, buku,
dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan sangat membantu.
II.C Program Reguler
Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur,
tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat
menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara
umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang
memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan
selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD
maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai
dengan delapan jam (Balitbag Depdikbud, 1986)
Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan
kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau
siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan
mereka.
II.D Remaja
Istilah adolescence atau remaja (Hurlock, 1999) berasal dari kata latin
adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Pengertian adolescence atau
remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Masa remaja adalah suatu masa peralihan, periode transisi antara masa
kanak-kanak dan dewasa yang mensyaratkan suatu perubahan-perubahan biologis,
kognitif dan psikososial individu (Santrock, 2001). Awal masa remaja
berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun enam belas tahun, dan akhir masa
remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas
tahun, yaitu usia matang secara hukum. Lazimnya masa remaja dianggap mulai
pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia
matang secara hukum. Pada umumnya remaja masih belajar di Sekolah Menengah
atau Perguruan tinggi (Hurlock, 1999).
Hurlock (1998) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan
remaja adalah untuk mencapai kematangan emosional. Perkembangan emosi yang
terjadi pada masa remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh seperti
aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Jadi seberapa jauh remaja dapat
mengadakan hubungan dengan orang lain tergantung pada kualitas interpersonal
yang diciptakannya.
II.E. Perbedaan Keterampilan Sosial antara siswa Homeschooling dan siswa yang mengikuti Program Reguler
Saat ini di Indonesia program pendidikan homeschooling sudah semakin
meluas dan cukup dikenal. Banyak para para pendidik dan tokoh masyarakat
menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program
pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orang tua di dalamnya.
Pemerintah juga telah memberikan perhatian pada homeschooling, karena
homeschooling sudah ada landasan hukumnya, dan telah diakui oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Saat ini para peserta homeschooling bisa mendapatkan
ijazah juga seperti di sekolah formal.
Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang
tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan mendidik anak
yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua. Dewey
mengatakan (dalam Lines, 2000) orang tua yang lebih mengenal karakter, minat,
dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang paling
sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Dan tentu saja orang tua
juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang
metode belajar dan pembelajaran. Selanjutnya orang tua bisa mengundang siapa
saja untuk memberikan transfer keahlian untuk anak-anaknya, bisa seorang
kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang cleaning service untuk
kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain
sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka wawasan anak-anak akan
menjadi lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh
siapa saja (Yulfiansyah, 2006).
Namun, tidak sedikit pula pihak yang pesimis dengan pelaksanaan
program homeschooling ini. Pelaksanaan homeschooling kebanyakan dilakukan di
rumah dengan melibatkan peran orang tua sebagai guru atau tutor yang
didatangkan. Sebagian kekhawatiran mereka adalah homeschooling hanya mampu
dilaksanakan oleh keluarga dari kalangan mampu sehingga memunculkan suatu
elitisme baru. Kekhawatiran lainnya adalah pertanyaan mengenai apakah
homeschooling menyentuh aspek sosial dan afektif anak didik. Ada anggapan
bahwa homeschooler (sebutan bagi anak didik homeschooling), kurang
bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia, dan bahkan tidak demokratis (Lines,
2000). Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta
menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan
dengan demikian hubungan interpersonal pun juga akan semakin merenggang
(Griffith, 2006).
Karena itu sebagai mahluk sosial, individu dituntut untuk mampu
mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan
linkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma
yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai
keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap
sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak
masih anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat
anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan
tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan
mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak
dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat
berkembang secara normal dan sehat (Mu’tadin, 2002).
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin
penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini
disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan
yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat
menentukan (Mu’tadin, 2002). Sejumlah hal yang dapat memudahkan remaja
dalam proses sosialisasinya tercakup dalam keterampilan sosial. Keterampilan
sosial memudahkan remaja untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif
dengan orang lain, selektif terhadap berbagai pengaruh yang ada di lingkungan,
bertanggung jawab dan penuh pertimbangan atas semua yang dilakukan, serta
mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tepat.
Remaja yang mempunyai keterampilan sosial tidak akan mudah lagi
terjebak dalam sikap, perilaku, kebiasaan ataupun hal-hal lain yang justru akan
menghambat perkembangannya menuju dewasa. Keterampilan sosial yang tinggi
pada masa remaja akan membawa individu untuk dapat menempatkan diri pada
posisi yang semakin baik di masyarakat (Sunarti, 2004). Sedangkan kegagalan
remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia
menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku
yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam
perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa,
kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sebagainya.
Siswa-siswa yang mengikuti pendidikan homeschooling diperkirakan
memiliki keterampilan sosial yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa
reguler yang belajar di sekolah formal. Siswa-siswa yang mengikuti program
homeschooling lebih terfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan
di dalam rumah, sehingga menimbulkan anggapan bahwa mereka lebih sedikit
mengadakan sosialisasi dan partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas sosial
lainnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada keterampilan sosial siswa tersebut.
Namun, keterampilan sosial belum tentu sama antara siswa yang satu dengan
siswa lainnya. Dengan demikian keterampilan sosial siswa yang homeschooling
belum tentu sama dengan keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa di sekolah
reguler.
II.F. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian
ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan
yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah :“Ada perbedaan keterampilan sosial antara siswa homeschooling dengan
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut
cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan
keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi:
identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, dan metode
analisis data (Hadi, 2000). Atas dasar hal tersebut maka dalam bab ini akan
dibahas mengenai masalah-masalah metodologis yang digunakan untuk menjawab
masalah penelitian.
III. A. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Tergantung : Keterampilan Sosial
2. Variabel Bebas : Program Homeschooling
Program Reguler
III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Keterampilan sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
untuk menciptakan suatu interaksi yang efektif dalam suatu konteks hubungan
dengan teman atau orang lain di lingkungan sosialnya. Keterampilan sosial terdiri
atas kemampuan menjalin hubungan dengan teman sebaya, kemampuan
memanajemen diri, kemampuan akademis, kepatuhan serta kemampuan dalam
pada skala keterampilan sosial. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek
maka akan menggambarkan semakin tinggi tingkat keterampilan sosialnya, dan
demikian sebaliknya apabila semakin rendah skor total subjek, maka akan
semakin rendah tingkat keterampilan sosialnya.
b. Program Homeschooling
Program homeschooling adalah sebuah wacana pembelajaran yang
menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik, di mana anak dididik
dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain,
teman-teman, atau orang yang ahli di beberapa bidang yang akan diajarkan. Pihak
yang melaksanakan homeschooling akan bergabung dan menyusun / menentukan
silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu merupakan suatu
kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar
c. Program Reguler
Program reguler merupakan program pendidikan secara umum, di mana
siswa menyelesaikan studinya selama tiga tahun, baik untuk Sekolah Menengah
Pertama maupun Sekolah Menengah Umum, dan menggunakan kurikulum yang
diterapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.
III.C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel III.C.1.Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki dan
(Hadi, 2000). Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari
manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau
peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu
penelitian (Nawawi, 2000).
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berada pada taraf
pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU). Sampel dalam penelitian ini adalah
remaja SMU dengan karakteristik berusia 15 – 17 tahun, baik pria maupun wanita
yang mengikuti program Homeschooling maupun Program Reguler di Morning
Star Academy (MSA) Jakarta dan SMU Negeri 30 Jakarta, dengan jumlah 80
orang, 40 orang untuk siswa yang mengikuti Program Homeschooling dan 40
orang untuk siswa yang mengikuti Program Reguler. Sedangkan untuk uji coba
( try out) digunakan sampel sebanyak 50 orang.
III.C.2. Metode Pengambilan Sampel
Sampel penelitian menurut Azwar (2000) adalah sumber utama data
penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel penelitian yang
akan diteliti. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk
yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus memiliki paling sedikit satu
sifat yang sama (Hadi, 2000). Penelitian terhadap sampel dilakukan untuk
menggeneralisasikan sampel, yaitu untuk mengambil kesimpulan penelitian
sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi (Azwar, 2000).
Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penekanannya adalah pada kesesuaian
tujuan penelitian dengan populasi yang diperoleh yang mengarah pada
karakteristik sampel saja (Hadi, 2000).
Karakteristik sampel penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitas
dari sampel penelitian. Adapun karakteristik sampel penelitian adalah siswa yang
berada pada taraf pendidikan Sekolah Menengah Umum baik pria maupun wanita,
yang mengikuti Program Homeschooling dan Program Reguler di sekolah.
III. C. 3. Jumlah Sampel Penelitian
Mengenai jumlah sampel tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal
sampel penelitian, seperti yang dikatakan Siegel (1997) bahwa kekuatan tes
statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel. Jumlah total
dalam penelitian adalah 130 orang. Dengan perincian 50 orang untuk uji coba dan
80 orang untuk penelitian.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Guilford & Frutcher (1978), bahwa:
“A frequency distribution will be close to the normal from when the population distribution is not seriously skewed and when N is not small (i.e, not less than about 30).”
III. D. Metode Pengumpulan Data
Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode.
Metode pengumpulan data dalam suatu kegiatan penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar, 2000).
Adapun prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
Definisi dari skala itu sendiri menurut Hadi (2000) adalah suatu metode
pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab
oleh subjek secara tertulis.
Skala merupakan suatu prosedur pengambilan data, yaitu suatu alat ukur
aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang
menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2000).
Metode skala ini dipilih dengan pertimbangan, antara lain karena metode
skala mempunyai kebaikan-kebaikan dengan alasan sebagai berikut (Hadi, 2000):
a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya
b. Apa yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan
dapat dipercaya.
c. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya cenderung sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.
Selain itu menurut Azwar (2000) metode skala sering digunakan karena
mempunyai kebaikan-kebaikan dengan alasan sebagai berikut :
a. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan
refleksi dari keadaan diri subjek yang tidak disadari.
b. Digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal
(undimensional).
c. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan
kesimpulan yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala keterampilan sosial.
terdiri sejumlah item yang merefleksikan suatu gagasan atau daerah yang sedang
diperhatikan (Hadi, 2000).
Metode ini dimodifikasi dengan menghilangkan pilihan jawaban tengah,
yaitu netral (N), sehingga setiap item meliputi empat pilihan jawaban yaitu:
Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).
Pada pernyataan yang favorable (F), diberikan penilaian 4 pada jawaban Sangat
Setuju (SS), nilai 3 pada jawaban Setuju (S), nilai 2 diberikan pada jawaban yang
Tidak Setuju (TS), dan nilai 1 diberikan pada jawaban Sangat Tidak Setuju (STS).
Dan sebaliknya pada pernyataan yang unfavorable (UF), diberikan nilai 1 pada
jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 2 pada jawaban Setuju (S), nilai 3 diberikan
pada jawaban yang Tidak Setuju (TS), dan nilai 4 diberikan pada jawaban Sangat
Tidak Setuju (STS).
Blue print skala disajikan dalam bentuk tabel yang memuat uraian
komponen-komponen atribut yang diukur, proporsi item dalam masing-masing
komponen, serta memuat indikator-indikator perilaku dalam setiap komponen.
Dalam penulisan item, blue print akan memberikan gambaran mengenai isi skala
dan menjadi acuan serta pedoman bagi penulis untuk tetap berada dalam lingkup
ukur yang benar (Azwar, 1999).
Berikut ini blue print yang menyajikan distribusi item-item skala
Tabel 1
Blue Print Skala Kterampilan Sosial
No Dimensi Indikator Item Item Jumlah
Favorable Unfavorable
1
Hubungan dengan
teman sebaya (Peer
relation)
Interaksi Sosial 2 2 4
Prososial 2 3 5
Empati 3 2 5
2 Pengaturan Diri
(Self Management)
Kontrol Diri 3 2 5
Tanggung Jawab Sosial 2 2 4
Toleransi 2 3 5
3
Kemampuan
Akademis
(Academic)
Penyesuaian Sekolah 2 2 4
Tanggung Jawab Akademis 3 3 6
Classroom compliance 2 2 4
4 Kepatuhan (Compliance)
Kerja sama Sosial 4 4 8
Kompetensi 3 3 6
5 Perilaku Asertif (Assertion)
Social Initiation 2 2 4
Social Activator 3 3 6
Gutsy 2 2 4
Jumlah 35 35 70
Adapun distribusi itemnya adalah sebagai berikut :
Tabel 2
Blue Print Skala Keterampilan Sosial sebelum uji coba
No Dimensi Indikator Item Item Jumlah
Favorable Unfavorable
1
Hubungan dengan
teman sebaya (Peer
relation)
Interaksi Sosial 1, 2 11, 12 4
Prososial 21,22 31, 32, 51 5
Empati 41, 42, 61 52, 66 5
[image:48.595.97.527.622.753.2](Self Management) Tanggung Jawab Sosial 34, 53 23, 24 4
Toleransi 54, 67 43, 44, 62 5
3
Kemampuan