• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENYITAAN BARANG BUKTI HARTA KEKAYAAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PENYIDIK KEJAKSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENYITAAN BARANG BUKTI HARTA KEKAYAAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PENYIDIK KEJAKSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENYITAAN BARANG BUKTI HARTA KEKAYAAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PENYIDIK KEJAKSAAN

(Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung) Muhammad Taufik Abdaha

Tindak pidana korupsi pada intinya adalah perbuatan yang dapat merugikan keuangan Negara maupun perekonomian Negara. Sehingga para koruptor dapat dikenakan sanksi penjara atau denda, atau bahkan dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaanya. Penyitaan terhadap barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya sebelum disita oleh negara. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan dan faktor penghambat dalam penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan.

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, klasifikasi.

(2)

Muhammad Taufik Abdaha

(3)

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang di dunia yang pendapatan perkapita penduduknya masih rendah, bahkan sejak terjadinya krisis moneter Indonesia tergolong dalam Negara miskin. Keadaan ini semakin diperberat dengan besarnya beban hutang yang ditanggung oleh Negara yang semakin menjadi suatu permasalahan besar. Permasalahan besar lainnya yang menyebabkan Indonesia semakin terpuruk adalah tindak pidana korupsi dimana pada saat ini Indonesia merupakan Negara yang terkorup di seluruh dunia.

(4)

2

Singapura sebagai Negara yang memiliki skor IPK tertinggi yakni (9,2), disusul Brunei Darussalam (5,2), Malaysia (4,3), Thailand (3,4), Indonesia (3,0), Vietnam (2,9), Filipina (2,6), Laos (2,2), Kamboja (2,1), dan Myanmar (1,5). (http://www.tribunnews.com/digital/bpost.htm)

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela dan sangat dibenci tidak hanya oleh bangsa Indonesia akan tetapi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana, sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Korupsi pada saat ini telah sangat meluas dan sistematik dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap tahunnya perkembangannya dari tindak pidana korupsi ini semakin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

Perhatian dan usaha pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi prioritas utama karena dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, merusak penggunaan sumber-sumber nasional secara optimal, mangancam keseluruhan sistem sosial, serta merusak pembinaan aparatur Negara/Pemerintahan.

(5)

1999 yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan jenis perkara yang sulit dalam penanggulangan dan pemberantasanya. Bahkan, Kongres PBB VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offemders 1980, mengklarifikasikan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum(Offences Beyond The Reach of Law). Menurut Andi Hamzah (2007:24), bahwa aparat penegak

hukum relatif tidak berdaya atau tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi tindak pidana korupsi ini, alasan utamanya adalah:

a. Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari si pelaku(The Economic or Political Status of Their Prepararors).

b. Kedaan-keadaan sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga mengurangi keyakinan dalam melaporkan dan menuntut mereka(The Circumstanses Under Which They Had Been Commited Were Such as to Decrease The Likelihood of Their Being Reported and Prosecuted).

(6)

4

Tindak pidana korupsi dewasa ini semakin meningkat, sehingga dianggap perlu adanya pengaturan terhadap tindak pidana korupsi mengingat sifat dari tindak pidana korupsi yang telah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crime), oleh karena itu pemberantsan korupsi perlu dilakukan antara lain dengan instrumen hukum yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan standar yang berlaku secara universal.

Tindak pidana korupsi pada intinya adalah perbuatan yang dapat merugikan keuangan Negara maupun perekonomian Negara. Sehingga para koruptor dapat dikenakan sanksi berupa sanksi penjara dan denda, atau bahkan dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaannya. Penyitaan terhadap barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan sebagaimana yang dimadsud dalam Pasal 1 angka (16) KUHAP.

(7)

Tabel 1. Jumlah Penyitaan Barang Bukti Harta Kekayaan Terdakwa Tindak

2008 12 5 dalam bentuk surat berharga

3 dalam bentuk uang tunai 2 dalam bentuk kendaraan Total : 10 harta kekayaan

2009 15 8 dalam bentuk surat berharga

2 dalam bentuk uang tunai 1 dalam bentuk kendaran Total : 11 harta kekayaan

2010 17 7 dalam bentuk surat berharga

3 dalam bentuk uang tunai 3 dalam bentuk kendaraan Total : 13 harta kekayaan

2011 29

-Sumber data : Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, 2012, diolah

Proses penyitaan barang bukti oleh penyidik kejaksaan, tidak jarang menemui kendala yang mampu menghambat proses penyitaan tersebut. Misalnya, sulit melacaknya hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka, atau bahkan ada indikasi dan tersangka dan keluarganya untuk menutup-nutupi asal-muasal harta benda tersebut.

(8)

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pelaksanaan penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan ?

2. Ruang Lingkup

(9)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang :

a. Pelaksanaan penyitaan barang bukti harta kekayaan tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan.

b. Faktor penghambat dalam penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum pada umumnya, dan khususnya Kejaksaan Negeri Bandarlampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

(10)

8

mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti (Soerjono soekanto, 1984:125).

Pengertian penyitaan menurut pasal 1 angka 16 KUHAP disebutkan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau penyimpanan di bawah penguasaan benda bergerak atau tidak bergerak. Berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan.

Menurut Yudi Kristiana (2006: 16), menyatakan bahwa dalam rangka penyitaan barang bukti harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi, maka penyidik terlebih dahulu mendapat Surat izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan perlu dan mendesak, harus segera bertindak dan berkewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh persetujuan. Membuat Berita Acara Penyitaan, dibacakan, diberi tanggal, ditandatangani Penyidik, orang yang bersangkutan/keluarga/kepala desa lingkungan dan 2 (dua) orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada atasan Penyidik, keluarga yang barangnya disita dan kepala desa.

(11)

Pasal 128 KUHAP menyatakan:

Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.

Pasal 129 KUHAP menyatakan:

(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatanganya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasanya.

(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasanya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

Pasal 130 KUHAP menyatakan:

(12)

10

(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberikan catatan sebagaimana dimadsud dalam ayat (1), yang ditulis diatas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Pasal 131 KUHAP menyatakan :

(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikin rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ketempat yang dipersangkakan untuk mengeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.

(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129 undang-undang ini.

Faktor-faktor yang menghambat proses penyitaan barang bukti, meliputi : 1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu Undang-Undang.

2. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas, yaitu hal-hal yang mendukung kebijakan hukum pidana.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

2. Konseptual

(13)

merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti baik dalam penelitian normative maupun empiris.

Hal ini dilakukan dimadsudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Analisis adalah merupakan kegiatan ilmiah yang dilakukan dengan cara menguraikan atau mengupas suatu hal, kasus atau peristiwa (Surayin, 2007: 17).

b. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 angka (16) KUHAP).

c. Barang bukti adalah apa saja yang menurut Undang-Undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut Undang-Undang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya tuduhan atau gugatan (Moeljatno, 2005: 11).

d. Harta kekayaan adalah barang-barang (uang) yang menjadi kekayaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum patut untuk dimiliki (Surayin, 2007: 160).

(14)

12

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001).

f. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka (1) KUHAP).

g. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).

h. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal serta cara yng diatur oleh Undang-Undang guna mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka (2) KUHAP).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan, mengenai pengertian tindak pidana korupsi, pengertian pembuktian tindak pidana, pengertian penyitaan barang bukti, tugas dan kewenangan kejaksaan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang pelaksanaan penyitaan barang bukti harta kekayaan tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan dan kesesuaian pelaksanaan penyitaan barang bukti dalam perkara korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksan dengan peraturan perundang-undangan.

V. PENUTUP

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyitaan Barang Bukti

Menurut Yudi Kristiana (2006 : 16), menyatakan bahwa dalam rangka penyitaan barang bukti harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi, maka penyidik terlebih dahulu mendapat Surat Izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan perlu dan semangat mendesak, harus segera bertindak dan berkewajiban segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh persetujuan. Membuat berita acara penyitaan, dibacakan, diberi tanggal, ditandatangani Penyidik, orang yang bersangkutan/keluarga/kepala desa lingkungan dan 2 (dua) orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada atasan penyidik, keluarga yang barangnya disita dan kepala desa.

Pengertian penyitaan menurut pasal 1 angka 16 KUHP disebutkan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau penyimpanan di bawah penguasaan benda bergerak atau tidak bergerak. Berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntuttan dan peradilan.

(17)

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka penyidik harus mengikuti pedoman sebagaimana di atur dalam pasal 128 sampai dengan Pasal 129 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disingkat dengan KUHAP) sebagai berikut :

Di dalam Pasal 128 KUHAP, disebutkan bahwa dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.

Selanjutnya di dalam pasal 129 KUHAP dijelaskan sebagai berikut :

(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa

(18)

16

(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, cirri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandangani oleh penyidik.

(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Kemudian dalam Pasal 131 disebutkan bahwa :

(1) Dalam hal tersebut tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menitanya.

(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129 undang-undang ini.

B. Pengertian Tindak Pidana korupsi

(19)

Pengertian korupsi berasal dari bahasa latin “corruption” yang artinya penyuapan, gejala dimana para penjabat badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainya. Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk. Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh penjabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum (http//:hukumonline.com/korupsi)

J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar peraturan kewajibab-kewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status, dan gengsi untuk kepentingan pribadi (keluarga,golonan,karyawan,teman) (Andi Hamzah, 2007: 9).

Korupsi dipandang dari kepentingan umum, menurut Carl J. Friesrich adalah apabila seorang yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu mengharapkan imbalan uang atau semacam hadiah lainya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum.

(20)

18

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian dari tindak pidana korupsi adalah :

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 UUPTPK Tahun 1999). b. Setiap orang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara (Pasal 3 UUPTPK Tahun 1999).

Webster’s Third New International Dictionary mencantumkan definisi korupsi

sebagai “ajakan (dari seorang penjabat Publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”. Suatu

tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut : adanya pelaku dan beberapa orang pelaku, adanya tindakan yang melanggar norma-norma hukum, adanya unsure merugikan keuangan atau kekayaan Negara baik langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok/golongan tertentu.

Menurut Gurnal Myrdal dalam Edi Yunara (2005: 33), korupsi adalah ;

(21)

aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut serta kegiatan lainya seperti penyogokan)”

Pengertian KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dimuat dalam pasal 1 butir (3), (4) dan (5) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada pasal 1 butir (3) dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “Korupsi adalah tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.”

Pengertian kolusi dimuat pada pasal 1 butir (4) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, sebagai berikut : “Pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum

antara penyelenggaraan Negara atau antara penyelenggaraan Negara dan yang lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau Negara”.

Pengertian Nepotisme dirumuskan pada pasal 1 butir (5) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, sebagai berikut : “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggaraan Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat bangsa dan Negara.”

Tindak pidana korupsi berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dapat diartikan sebagai : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

(22)

20

Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dimuat pengertian korupsi sebagai berikut : “Penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. (Surayin, 2007 : 257)

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi secara sederhana ada 3 (tiga) antara lain, pertama menguasai atau mendapatkan uang dari Negara dengan berbagai cara secara tidak sah dan dipakai untuk kepentingan sendiri; kedua, menyalah gunakan wewenang (abuse of power). Wewenang disalah gunakan untuk memberikan fasilitas dan keuntungan yang lain; yang ketiga adalah pungli atau pungutan liar yang dilakukan karena jabatannya.

Korupsi menurut sifatnya dapat terbagi menjadi dua yaitu : a. Korupsi yang bermotif terselubung

Korupsi yang bermotif terselubung yakni korupsi secara sepintas kelihatanya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.

b. Korupsi yang bermotif ganda

Korupsi yang bermotif ganda yakni seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.(Edi Yunara, 2005: 10)

Dalam perbuatan tindak pidana korupsi dapat dilihat beberapa ciri yaitu :

(23)

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang ada didalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik dan kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikan Korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan public atau umum (masyarakat).

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.

Berdasarkan ciri-ciri dari korupsi diatas dapat di ketahui bahwa perbuatan korupsi dilakukan secara rahasia dan senantiasa melibatkan lebih dari satu orang dan pelaku korupsi biasanya berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik kebenaran hukum dan keuntungan tidak selalu berupa uang.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

(24)

22

menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus dan berbeda dengan tindak pidana umum lainya.

Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dinyatakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 416 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Berdasarkan uraian pasal diatas, dapat diketahui bahwa upaya pemidanaan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih mengacu pada KUHP, dimana bagi pelaku tindak pidana korupsi dapat dikenai dengan dua sanksi pidana sekaligus yaitu berupa sanksi pidana penjara dan denda. Dengan adanya sanksi tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap para pelaku, sehingga kedepannya tindak pidana korupsi dapat diminimalkan atau bahkan dapat diberantas sampai tuntas.

(25)

Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa dasar hukum baik Undang-Undang yang mengatur pengertian tindak pidana korupsi secara umum seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme maupun yang mengatur secara khusus pengertian tindak pidana korupsi sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Pengertian Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

Poerwadarminta menyatakan bahwa pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa dan sebagainya); apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya). Pembuktian sama dengan perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan; membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti. (Soedirjo, 2002: 47)

Selanjutnya R. Subekti, berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang ditemukan dalam suatu persengketaan . (R. Subekti, 1993: 7)

(26)

24

bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya , maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

Pada dasarnya dalam proses pembuktian dikenal adanya empat sistem pembuktian yaitu :

1. Sistem pembuktian positif menurut Undang-Undang. 2. Sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang. 3. Sistem pembuktian bebas

4. Sistem pembuktian yang hanya didasarkan atas keyakinan Hakim.

Ad 1. Sistem pembuktian Positif Menurut Undang-Undang

Menurut sistem ini, untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung kepada ada atau tidaknya sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan dan mencocokan apakah sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang sudah ada atau belum, apabila sudah ada maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi, terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

Ad 2. Sistem pembuktian Negatif menurut Undang-Undang

(27)

Ad 3. Sistem pembuktian Bebas

Menurut sistem ini, Undang-Undang, tidak memerlukan peraturan pembuktian yang harus ditaati oleh Hakim. Sistem ini juga mengakui adanya alat-alat bukti tertentu. Akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam Undang-Undang seperti halnya pada sistem 1 dan 2 di atas, sehingga apabila dirasakan sudah cukup macam dan banyaknya alat-alat bukti yang menentukan kesalahan terdakwa, maka hakim mempunyai kekuasaan penuh untuk menjatuhkan putusan. Adapun satu-satunya peraturan yang mengikat Hakim menurut sistem ini adalah bahwa dalam putusan tersebut Harus menyebutkan pula alasan-alasannya.

Ad 4. Sistem pembuktian yang hanya didasarkan atas keyakinan Hakim.

Menurut sistem ini, Hakim tidak terikat pada alat-alat bukti tertentu. Untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa, hanya didasarkan atas keyakinan Hakim saja. Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan penuh dengan tidak dikontrol sama sekali. Selain itu Hakim juga tidak dituntut untuk menyebutkan alasan-alasan dalam putusaannya.

(28)

26

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang ini adalah sangat tepat sekali, karena dengan sistem ini dapat dihindari kesewenang-wenangan dari hakim yang memeriksa. Selain itu juga dapat menghindari korban pemfitnahan terhadap seseorang. Sebab dari sistem pembuktian negatif dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa harus didasarkan pada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.

2. Walaupun bukti telah memenuhi minimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang, akan tetapi jika Hakim tidak berkeyakinan akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa.

Di dalam sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang ini ada hubungan yang erat antara keyakinan Hakim dan alat-alat pembuktian yang sah menurut undang-undang. Keyakinan Hakim dapat diperoleh atau ditimbulkan dari adanya alat-alat pembuktian yang sah, begitu juga sebaliknya alat-alat pembuktian tersebut harus dapat memberikan keyakinan pada Hakim. Misalnya, walaupun ada sejumlah saksi, maka Hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala hukuman, sebab bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa saksi-saksi tersebut adalah orang-orang yang dibayar untuk menjerumuskan terdakwa.

(29)

Menurut kamus hukum, alat bukti adalah apa saja yang menurut Undang-Undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut Undang-Undang dapat dipakai untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan atau gugatan. (Sumarsono, 2005: 650)

Menurut Van Bummelen, alat bukti adalah untuk memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi apa sebabnya demikian halnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian hukum acara pidana Indonesia secara tegas memberikan legalitas bahwa di samping berdasarkan unsur keyakinan hakim, pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah adalah sangat diperlukan untuk mendukung unsur kesalahan dalam hukum pidana untuk menetukan seseorang benar-benar terbukti melakukan tindak pidana atau tidak.

(30)

28

1. Benda berwujud yang berupa :

a. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

b. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyelidikan.

c. Benda yang dibuat khusus atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. d. Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan langsung atau tidak

langsung dengan dilakukannya tindak pidana masuk dalam bagian ini adalah benda yang dihasilkan suatu tindak pidana.

2. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana. (Adami Chazawi, 2007 : 208-209 )

Alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 183 KUHAP diatur pada ketentuan Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa macam-macam alat bukti adalah sebagai berikut :

1. Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa :

“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat

(31)

Berdasarkan ketentuan pasal 184 KUHAP, kecuali dalam acara pemeriksaan cepat, untuk mendukung keyakinan hakim diperlukan alat bukti lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Setelah alat bukti tersedia perlu segera dilakukan penanggulangan lebih lanjut, jangan sampai penanggulangan tindak pidana dilakukan jauh setelah peristiwa itu terjadi sehingga mengakibatkan alat bukti menjadi hilang.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP ini bila dikaitkan dengan prinsip minimum pembuktian mengandung arti bahwa untuk membuktikan kesalahannya 2 (dua) alat bukti yang sah diantara 5 (lima) alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Menurut Pasal 184 KUHAP di atas telah disebutkan bahwa ada lima macam alat bukti yang sah menuruh Undang-Undang, maka untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut :

1. Keterangan saksi

Menurut Soedirjo, keterangan saksi ialah apa yang ia nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP) mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 butir (27) KUHAP).

(32)

30

pengadilan dan apabila orang tersebut tidak hadir di sidang atau meninggal dunia atau tidak dipanggil karena jauh tempat tinggalnya atau sebab lain yang berhubungan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah diberikan itu tetap akan dibacakan dimuka persidangan.

Selanjutnya saksi-saksi yang memberikan keterangan di muka sidang harus disumpah, sebab keterangan yang diberikan oleh seorang saksi yang tidak disumpah, bukan merupakan alat bukti, tetapi dapat dijadikan sebagai bahan tambahan atau bahan pertimbangan dari adanya alat bukti yang sah. Apabila seorang saksi tidak bersedia untuk disumpah maka ia harus mengucap janji. Penyumpahan atau janji ini dimaksudkan agar ia memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Kemudian apabila keterangan saksi itu palsu, maka setelah diperingatkan oleh Hakim , ia tetap pada keterangan maka ia dapat ditahan dan dituntut memberikan sumpah palsu sesuai dengan ketentuan Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 242 ayat (21) dan ayat (2) KUHP. Adapun bunyi selengkapnya ketentuan Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut :

(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. (2) Apabila saksi tetap pada keterangan itu, hakim ketua sidang karena

(33)

Dari ketentuan Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) KUHP adalah sebagai berikut : (1) Barangsiapa yang dalam hal-hal di mana Undang-Undang menentukan

supaya memberikan keterangan diatas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan tersebut, dengan sengaja memberikan keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau dengan surat oleh dia sendiri atau oleh wakilnya yang ditunjuk untuk itu pada khsusunya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Kalau keterangan palsu atau sumpah itu diberikan dalam suatu perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau tersangka, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama sembilan tahun.

Berdasarkan uraian pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa keterangan saksi harus mengenai peristiwa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Oleh karena itu keterangan saksi tersebut hanya berupa pendapat atau dugaan hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. Apabila keterangan tersebut menyudutkan atau menyulitkan terdakwa dan tidak didasarkan pada fakta dan kenyataan yang ada, maka saksi dapat dikenakan hukuman penjara karena sumpah palsu.

2. Keterangan Ahli

(34)

32

3. Surat

Surat merupakan alat buku tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Surat menurut bentuknya diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu surat akta dan bukan surat akta. Surat akta adalah surat yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang digunakan untuk pembuktian. Surat akta diklasifikasikan lagi menjadi 2 yaitu surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (di bawah tangan).

4. Petunjuk

Petunjuk di sini dapat diidentikkan dengan suatu pemeriksaan di tempat kejadian perkara. Pemeriksaan di tempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu oleh panitera. Dalam melakukan pemeriksaan ditempat, panitera bersangkutan. Dengan melakukan pemeriksaan di tempat, hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang dikemukakan di persidangan. Hasil pemeriksaan di tempat yang dituangkan dalam berita acara itu merupakan bahan resmi, sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang tepat.

5. Keterangan Terdakwa

(35)

Pengakuan yang diucapkan di persidangan dapat berupa pengakuan lisan dan dapat pula pengakuan tertulis yang dibacakan di persidangan. Pengakuan sifatnya membenarkan seluruh atau salah hak atau hubungan hukum yang dikemukakan oleh penggugat. Pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan yang berhubungan dengan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak itu sendiri.

D. Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Tugas Pokok Kejaksaan dapat dilihat dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan yaitu “Tugas Pokok Kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan Negara di bidang

penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan Peraturan Perundang-undangan serta turut menyelenggarakan sebagai tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang hukum”.

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa Kejaksaan di bidang pidana, mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :

a. Melakukan Penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekautan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat ;

(36)

34

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Selanjutnya didalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004, disebutkan bahwa wewenang Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha Negara, yaitu dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau penerima.

Dalam bidang ketertiban dan keterangan umum, menurut Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2004, disebutkan bahwa kejaksaan turut menyelenggaran kegiatan antara lain :

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

(37)

tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Undang-Undang ini juga menentukan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang secara bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.

(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori dan konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok penulisan, yaitu penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

(39)

penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Bandarlampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literature-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan, yaitu penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan.

Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari : 1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

(40)

38

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2) Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-007/A/JA/11/2004 tentang Pedomana Penuntutan Tindak Pidana Korupsi.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari literature-literatur, mass media dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1989 : 152). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi yaitu Aparat Kejaksaan Negeri Bandarlampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi, penulis melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

(41)

Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kasi Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejati Lampung 1 orang b. Jaksa Penyidik Kejaksaan Tinggi dan Negeri 2 orang c. Dosen Pidana Fakuktas Hukum Universitas Lampung 1 orang Jumlah 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

Yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan hukum primer berupa undang-undang dan peraturan pemerintah maupun dari bahan hukum skunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literature maupun pendapat para sarjana atau ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini. b. Studi Lapangan

(42)

40

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis

c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan seacra sistematis sehingga memperoleh pembahasan

E. Analisis Data

(43)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi oleh penyidik kejaksaan yang telah dilakuakn oleh penulis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :

(44)

62

2. Faktor penghambat dalam proses penyitaan barang bukti harta kekayaan terdakwa tindak pidana korupsi, antara lain sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri atau peraturanya itu sendiri. Contohnya, tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-Undang dan belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-Undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapanya. Dalam pengertiannya disini adalah yang terdapat di KUHAP dalam pasal 128 sampai dengan 129 yang mengatur tentang proses penyitaan, dimana rumusan pasalnya sering menimbulkan multitafsir. Konsekuensi logis dari perbedaan penafsiran ini, akan memunculkan kegamangan atau keragu-raguan dalam penerapannya, sehingga berimplikasi terhadap kepastian hukum dalam penerapannya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan peraturan pelaksana yang secara rinci atau jelas dan baru dalam proses penyitaan.

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, berupa struktur hukum menyangkut kelembagaan. Isu yang sering muncul kepermukaan adalah menyangkut sumber daya manusia (SDM) atau brain ware, karena dipandang selama ini profesionalitas aparat penegak hukum belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan.

(45)

itu, meskipun dipandang sebagai problematika klasik, tetapi sarana dan prasarana pendukungnya, baik yang terkait dengan hardware maupun software cukup menentukan keberhasilan suatu penegakan hukum seperti gedung kantor, penghasilan aparat penegak hukum seperti gedung kantor, penghasilan aparat penegak hukum baik berupa gaji maupun tunjangan fungsionalnya, anggaran, alat transportasi, alat perekam, kamera, komputer, internet dan lain sebagainya.

d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.Selanjutnya dalam factor masyarakat ini, budaya hukum yang terkait dengan perilaku hukum masyarakat, menimbulnya gejala degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat ditandai dengan meningkatnya sikap apatisme seiring menurunnya tingkat apresiasi masyarakat baik kepada substansi hukum maupun kepada struktur hukum.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan, penulis ingin menyampaikan saran sebagi berikut :

(46)

64

pembinaan karier. Upaya pembaruan yang meliputi urusan sarana dan prasarana, anggaran/keuangan Kejaksaan secara keseluruhan, anggaran penanganan tertentu dan tunjangan jabatan fungsionalis Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum.

(47)

(Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung) (Skripsi)

Oleh

MUHAMMAD TAUFIK ABDAHA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(48)

ANALISIS PENYITAAN BARANG BUKTI HARTA KEKAYAAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI

OLEH PENYIDIK KEJAKSAAN

(Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung)

Oleh

Muhammad Taufik Abdaha

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(49)

Halaman ABSTRAK

RIWAYAT HIDUP MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan... 12

II. TINJUAN PUSTAKA A. Pengertian Penyitaan Barang Bukti ... 14

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 16

C. Pengertian Pembuktian Tindak pidana Korupsi... 23

D. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ... 33

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

(50)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden... 41 B. Pelaksanaan Pernyitaan Barang Bukti Harta Kekayaan Terdakwa

Tindak Pidana Korupsi Oleh Penyidik Kejaksaan... 42 C. Faktor Penghambat Dalam Penyitaan Barang Bukti Harta Kekayaan

Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Oleh Penyidik kejaksaan ... 56 V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran... 63

(51)

Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2007. Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Indonesia.Grafindo Persada. Jakarta.

Kristiana, Yudi. 2006. Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Moeljatno. 2005.Asas-asas Hukum Pidana.Rineka Cipta. Jakarta. Singarimbun, Masri. 1989.Metode Penelitian Survei.LP3ES. Jakarta

Soedirjo. 2002.Rekayasa Lalu lintas.Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Soekanto, Soejono. 1984.Penelitian Hukum Normatif.Rajawali Press. Jakarta. ---. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum.Edisi 1 Cetakan ketujuh. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Subekti, R. 1993.Hukum Pembuktian.Pradnya Paramitha. Jakarta.

Suehartono, Irawan. 1999.Metode Penelitian Sosial.Alumni. Bandung.

Sumarsono. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Surayin. 2007.Kamus Umum Bahasa Indonesia.Yrama Widya. Bandung

Universitas Lampung. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.

(52)

2

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 2C Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. (http://www.tribunnews.com/digital/bpost.htm)

(53)

(Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung)

Nama Mahasiswa :Muhammad Taufik Abdaha

No. Pokok Mahasiswa : 0852011140

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.

NIP 19611231 198903 1 023 NIP 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.

(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

...

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003

(55)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung 13 Agustus 1990, yang merupakan anak ke-tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Akmal Hakim dan Ibunda Hj. Mustika.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Sriwijaya, Bandar Lampung pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 1 Sukarame, Bandar Lampung pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bandar Lampung pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

(56)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan

ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Papa H. Akmal Hakim dan Mama Hj. Mustika yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do a demi

keberhasilanku

Kakak-kakakku Arinal Abdaha dan Baran Abdaha serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas

kasih sayang, do a dan dukunganya.

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu.

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do anya untuk

keberhasilanku, terimakasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama.

Almamaterku tercinta fakultas Hukum Universitas

(57)

Cita-cita manusia tidak ada yang tidak mungkin terwujud didunia ini

terkecuali ingin menjadi Tuhan dan rosul/nabi.

masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah impian dan masa sekarang

adalah anugrah. Jadikanlah anugrah dan sejarah untuk

(58)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “ANALISIS PENYITAAN BARANG BUKTI HARTA KEKAYAAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH PENYIDIK KEJAKSAAN (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Bandarlampung)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(59)

selama penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah banyak memberikan saran, masukan dan kritik membangunnya dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. 8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan

satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Terima Kasih Kepada Kedua Orang Tuaku, Kakak-kakakku, Sepupu-sepupuku dan Keponakan-keponakanku yang selama ini menyemangati. 11. Terima Kasih Kepada keluarga besar Bapak Jarman dan Bapak Hadi beserta

(60)

12. Kepada teman-teman, sahabat-sahabat yang dimanapun berada tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan, do’a, kebersamaan, kekompakan serta persahabatannya.

13. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan 2008 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas motivasi dan bantuanya.

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 30 April 2012 Penulis

Gambar

Tabel 1.Jumlah Penyitaan Barang Bukti Harta Kekayaan Terdakwa TindakPidana Korupsi oleh Penyidik Kejaksaan.

Referensi

Dokumen terkait

Bila dibandingkan dengan jumlah wisman yang berkunjung ke Provinsi Kepulauan Riau pada bulan yang sama tahun 2014, wisman yang berkunjung pada bulan September 2015

Dinoyo dan Pasar Blimbing Kota Malang Pasar tradisional yang ada di Kota Malang saat ini kondisinya kumuh dan sudah tidak layak yang tidak bisa dikatakan sebagai pasar

Penempatan unsur tembung „kalimat‟ pada fungsi subjek dalam wujud tembung iki „kalimat ini‟ pada kalimat (2) dan tembung kang pada „kalimat yang sama‟ pada kalimat

Pembahasan terkait penemuan penelitian yang kedua : Upaya –upaya apa saja yang dilakukan jamaah Maulid Watta’lim Roudlotussalaf Tulungagung dalam mengembangkan rasa cinta

Titik Setiawati, A.210 090 098 Program Studi Pendidikan Akuntansi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013. Untuk mengetahui pengaruh

Pada tahap pengujian, program dari Augmented Reality akan di uji apakah akan menghasilkan gambar yang sesuai dengan konsep bangun ruang yang akan dijelaskan

Kesimpulan: Dari perspektif gender, wanita lebih takut mengoperasikan komputer jka dibandingkan dengan pria; Kegelisahan atau ketakutan menggunakan komputer dapat menyebabkan