• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEFEKTIFAN PELATIHAN BEKERJA DENGAN HATI UNTUK MENURUNKAN BURNOUT KARYAWAN CAKRA SEMARANG TV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEEFEKTIFAN PELATIHAN BEKERJA DENGAN HATI UNTUK MENURUNKAN BURNOUT KARYAWAN CAKRA SEMARANG TV"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

KEEFEKTIFAN PELATIHAN BEKERJA DENGAN HATI

UNTUK MENURUNKAN

BURNOUT

KARYAWAN

CAKRA SEMARANG TV

skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Jurusan Psikologi

oleh

Edwin Ibnu Margani 1550407020

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 25 Januari 2011

(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada tanggal 09 Agustus 2011.

Panitia:

Ketua Sekretaris

Drs. Hardjono, M.Pd. Drs. Sugiyarta SL, M.Si.

19510801 197903 1 007 19600816 198503 1 003

Penguji utama

Rahmawati P, S.Psi, M.Si. 19790502 200801 2 018

Penguji/Pembimbing I Penguji/Pembimbing II

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

(5)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat

(6)

vi

8. I Nyoman Winata, SE, Direktur Cakra Semarang TV yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitan di perusahaan tersebut.

(7)

vii

ABSTRAK

Margani, Edwin Ibnu. 2011. Keefektifan Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan Burnout Karyawan Cakra Semarang TV. Tahun Ajaran 2010-2011. Skripsi. Jurusan Psikologi. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Siti Nuzulia, S.Psi, M.Si, Moh. Iqbal Mabruri, S.Psi, M.Si dan Rahmawati Prihastuty, S.Psi, M.Si.

Kata Kunci: burnout, pelatihan

Burnout adalah suatu kondisi dari karyawan dimana karyawan tersebut mengalami kelelahan secara emosional, kelelahan fisik, penghargaan yang rendah terhadap dirinya sendiri, pekerjaan maupun lingkungannya akibat dari stres kerja yang berkepanjangan. Burnout yang dialami oleh karyawan dapat mengganggu kinerja karyawan dalam melakukan pekerjaan sehari-harinya di kantor. Meski burnout yang dialami masih dalam tingkatan ringan, namun jika tidak segera ditangani akan berlanjut ke burnout tingkat tinggi yang dapat lebih menghambat kinerja karyawan. Sehingga diperlukan penanganan yang serius agar burnout yang dialami karyawan tersebut dapat semakin menurun. Melalui kegiatan pelatihan bekerja dengan hati, diharapkan burnout yang dialami karyawan Cakra Semarang TV dapat menurun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pelatihan bekerja dengan hati untuk menurunkan burnout karyawan. Subjek penelitian ini adalah karyawan Cakra Semarang TV berjumlah 20 orang. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen dengan desain eksperimen non randomized pretest-posttest control group design. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan jumlah masing-masing kelompok yaitu 10 subjek tanpa randomisasi. Pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala terstandar yaitu Maslach Burnout Inventory dengan jumlah aitem 20. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon Mann-Whitney Test non Parametric.

Hasil analisis data yang diperoleh yaitu p: 0,008 artinya terdapat perbedaan tingkat burnout karyawan Cakra Semarang TV yang signifikan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah perlakuan dengan pelatihan bekerja dengan hati yaitu tingkat burnout karyawan semakin menurun sedangkan pada kelompok kontrol tingkat burnout karyawan menjadi meningkat. Burnout yang dialami oleh karyawan Cakra Semarang TV cenderung berupa kelelahan emosional.

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan Penelitian ... 15

1.4 Manfaat Penelitian ... 15

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Burnout ... 17

2.1.1 Pengertian Burnout Pengertian Intensi ... 17

2.1.2 Gejala-gejala Burnout ... 19

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Burnout ... 21

(9)

ix

2.2.1Pengertian Pelatihan ... 26

2.2.2Analisis Kebutuhan Pelatihan ... 27

2.3 Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan Burnout ... 29

2.3.1 Konteks Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan Burnout Karyawan ... 29

2.3.1.1 Kecerdasan Spiritual ... 30

2.3.1.1.1 Pengertian Kecerdasan Spiritual ... 30

2.3.1.1.2 Konteks Kecerdasan Spiritual dalam Bekerja ... 31

2.3.1.1.3 Manfaat Kecerdasan Spiritual ... 31

2.3.1.2 Kecerdasan Emosional ... 33

2.3.1.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional... 33

2.3.1.2.2 Manfaat Kecerdasan Emosional ... 34

2.3.1.3 Relaksasi ... 35

2.3.1.3.1 Pengertian Relaksasi ... 35

2.3.1.3.2 Manfaat Relaksasi ... 37

2.3.2 Metodologi Pelatihan Bekerja dengan Hati ... 38

2.3.3 Materi Pelatihan Bekerja dengan Hati ... 38

2.3.4 Evaluasi Pelatihan... 39

2.4 Kerangka Berpikir ... 41

2.5 Hipotesis ... 45

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 46

(10)

x

3.3 Identifikasi Variabel Penelitian ... 48

3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian ... 48

3.3.2 Hubungan antar Variabel ... 48

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 49

3.5 Subjek Penelitian ... 50

3.6 Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 50

3.7 Analisis Data ... 52

3.7.1 Validitas ... 52

3.7.1.1 Validitas Instrumen ... 52

3.7.1.2 Validitas Eksperimen ... 54

3.7.2 Reliabilitas... 56

3.7.3 Metode Analisis Data... 56

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Penelitian ... 57

4.2 Pelaksanaan penelitian ... 60

4.3 Uji Hipotesis ... 61

4.4 Hasil Penelitian ... 62

4.4.1 Deskripsi Burnout Sebelum Pelatihan Bekerja dengan Hati ... 62

4.4.2 Deskripsi Burnout Setelah Pelatihan Bekerja dengan Hati ... 65

4.4.3 Deskripsi Burnout Berdasarkan Mean... 67

4.4.4 Deskripsi Burnout per Aspek ... 68

4.5 Hasil Evaluasi Pelatihan ... 86

(11)

xi

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 105

5.2 Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1. Rancangan Non Randomized Pretest-Posttest Control Group Design ... 47

3.2. Susunan Penskoran Item Skala Burnout Karyawan Cakra Semarang TV .. 51

3.3. Blueprint Skala Burnout Karyawan Cakra Semarang TV... 52

3.4. Koefisien Validitas per Aitem Skala Burnout Berdasarkan MBI ... 53

3.5. Koefisien Reliabilitas Skala Burnout Berdasarkan MBI ... 56

4.1. Persiapan Penelitian ... 58

4.2. Subjek Penelitian Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 59

4.3. Rangkaian Enam Pertemuan Pelatihan Bekerja dengan Hati ... 60

4.4. Skor Selisih Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 61

4.5. Norma Kategorisasi Burnout ... 62

4.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Kelompok Eksperimen Sebelum Pelatihan ... 63

4.7. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Kelompok Kontrol Sebelum Pelatihan ... 64

4.8. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Kelompok Eksperimen Setelah Pelatihan ... 65

4.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Kelompok Kontrol Setelah Pelatihan ... 66

4.10. Tabel Mean Burnout Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 67

4.11. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Kelelahan Emosional Kelompok Eksperimen Sebelum Pelatihan ... 68

4.12. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Depersonalisasi Kelompok Eksperimen Sebelum Pelatihan ... 70

4.13. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Penghargaan Terhadap Diri Sendiri yang Rendah Kelompok Eksperimen Sebelum Pelatihan ... 72

4.14. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Kelelahan Emosional Kelompok Eksperimen Kontrol ... 73

4.15. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Depersonalisasi Kelompok Kontrol ... 74

4.16. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Penghargaan Terhadap Diri Sendiri yang Rendah Kelompok Kontrol ... 75

4.17. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Kelelahan Emosional Kelompok Eksperimen Setelah Pelatihan ... 77

4.18. Distribusi Frekuensi Tingkat Burnout Gejala Depersonalisasi Kelompok Eksperimen Setelah Pelatihan ... 78

(13)

xiii

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skala Studi Pendahuluan ... 110

2. Skor Skala Studi Pendahuluan ... 113

3. Rancangan Operasional Pelatihan ... 116

4. Modul Pelatihan Bekerja dengan Hati ... 135

5. Skala Burnout Karyawan... 217

6. Skor Pre Test Burnout Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 219

7. Skor Post Test Burnout Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 221

8. Hasil Analisis Wilcoxon Mann-Whitney Test non Parametric ... 223

9. Hasil Hasil Analisis non Parametric Correlation Sub Skala ... 234

10. Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 237

11. Surat Keterangan telah Mengadakan Penelitian ... 238

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Semakin berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini khususnya di bidang industri, menyebabkan banyak persoalan dan tuntutan di dalamnya. Hal ini dapat berpengaruh pada proses pencapaian tujuan perusahaan yang dilakukan oleh pelaku masing-masing industri. Masalah internal yang terjadi pada sebuah perusahaan dapat bermacam-macam yang dapat disebabkan oleh tidak hanya faktor lingkungan saja melainkan juga faktor dari sumber daya manusianya sendiri.

Karyawan mempunyai peranan penting dalam proses pencapaian tujuan perusahaan. Kinerja dan kualitas karyawan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan dari sistem pekerjaan yang dibuat perusahaan berdasarkan komitmen perusahaan dan manajemen organisasi yang telah dibentuk. Sehingga, dibutuhkan kerja sama yang baik antar karyawan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing agar hasilnya dapat maksimal.

Proses pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan pada kenyataannya tidak berjalan dengan lancar melainkan banyak terjadi masalah-masalah yang muncul yang berakibat dapat menghambat dan mengganggu kinerjanya tersebut. Masalah yang dialami oleh karyawan dapat muncul karena faktor internal (dalam diri karyawan) dan dapat pula karena faktor

(17)

eksternal (berasal dari luar diri karyawan). Faktor internal yaitu masalah-masalah pribadi pada diri karyawan yang dapat berasal dari masalah keluarganya, pasangan, relasi dengan orang lain, dan lain-lain. Faktor eksternal yaitu berasal dari luar diri karyawan meliputi lingkungan pekerjaan, manajemen organisasi, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, tuntutan pekerjaan, beban kerja yang berat, dan lain-lain.

Salah satu persoalan yang muncul berkaitan dengan individu di dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres. Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik ataupun mental. Keadaan seperti ini disebut burnout, yaitu kelelahan fisik, mental dan emosional yang terjadi karena stres diderita dalam jangka waktu yang cukup lama, di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi (Leatz & Stolar, dikutip Rosyid & Farhati) dalam Sihotang (2004: 2).

(18)

merasa lelah baik fisik maupun emosi. Padahal, ketika karyawan pada kondisi tersebut, sebenarnya karyawan tersebut telah mengalami burnout.

Permasalahan yang dihadapi karyawan di tempat kerja bisa bermacam-macam, baik itu masalah yang berkaitan lingkungan maupun organisasi. Apabila masalah tidak terselesaikan sehingga individu mengalami ketegangan dalam jangka waktu yang lama maka individu terancam mengalami burnout. Dampaknya, konsentrasi individu menurun, tidak bersemangat untuk bekerja dan banyak melakukan kesalahan atau bahkan keluar dari pekerjaannya (Muriz,2007:1).

Burnout merupakan suatu situasi dimana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, dan menarik diri dari pekerjaan (Davis dan Newstrom, 1993: 197). Pekerja yang mengalami burnout akan lebih mudah mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah dan menjadi sinis terhadap karier mereka. Sikap pimpinan yang menekan dan beratnya beban kerja yang berlebihan akan semakin memperburuk keadaan karyawan.

(19)

yang baik sehingga memunculkan rasa kesetiakawanan, rasa aman, rasa diterima dan dihargai serta perasaan berhasil pada diri karyawan (Sihotang, 2004: 2).

Menurut La Fellete (dikutip Sumaryani, 1997) dalam Sihotang (2004: 2) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis tidak nampak tetapi nyata ada dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya. Karyawan yang mempunyai penilaian yang positif terhadap lingkungan kerja psikologisnya berarti karyawan merasa bahwa lingkungan kerja psikologisnya baik, sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi dan akan menghambat lajunya tingkat burnout pada karyawan.

(20)

2). Hal ini disebabkan karena pria dan wanita berbeda bukan saja secara fisik, tetapi juga sosial dan psikologisnya dan mempunyai cara yang berbeda dalam menghadapi masalahnya.

Fenomena burnout terjadi pada sejumlah karyawan PT. Mataram Cakrawala Televisi Indonesia yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang media pertelevisian lokal di Semarang Jawa Tengah dengan nama chanel yaitu Cakra Semarang TV. Dari jumlah total karyawan Cakra Semarang TV yaitu 65 karyawan diambil 35 karyawan sebagai sampel untuk studi pendahuluan menggunakan skala burnout. Hasilnya, dari 35 karyawan tersebut terdapat 11,43% karyawan mengalami burnout tingkat tinggi dan 88,57% karyawan berada pada kategori burnout tingkat rendah. Skala yang digunakan berisi 20 item pernyataan dari penelitian Sulistyaningsih dengan judul Hubungan Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan dengan Burnout pada Karyawan PT. Sinar Plataco Demak Tahun 2006 yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya sebesar 0,934. Studi pendahuluan dilakukan pada hari Selasa tanggal 27 April 2010 pukul 16.30 sampai 20.00 WIB dan hari Rabu tanggal 28 April 2010 pukul 09.00 sampai 14.00 WIB.

(21)

mengumpulkan, mengolah berita sampai berita tersebut disiarkan melalui program berita, menyebabkan karyawan dalam bekerja selalu dikejar deadline waktu agar berita yang dibuat harus sesuai dengan target perusahaan. Lingkungan sosial dari divisi ini juga kurang mendukung dimana ada hubungan antar karyawan yang kurang bagus. Selain itu, peralatan kerja seperti fasilitas komputer juga kurang mendukung. Hal itu ditandai dengan seringnya komputer mengalami gangguan, dan koneksi internet yang juga sering terganggu. Sehingga karyawan mudah stres, mudah marah, sampai kondisi kesehatan tubuhnya terganggu ketika banyak sekali hambatan yang muncul dalam proses pekerjaannya.

Hal yang sama juga dialami oleh karyawan pada divisi program yaitu lingkungan kerja dan fasilitas yang kurang mendukung. Sedangkan perusahaan menuntut agar program-program yang tayang harus sesuai dengan target. Karyawan cenderung mudah marah dengan pekerjaannya dan terganggu hubungan sosialnya. Berbeda halnya dengan divisi master kontrol, dimana waktu karyawan lebih banyak diruang tertutup yang bertugas mengoperasikan komputer dan peralatan-peralatan lain yang digunakan untuk mengatur jalannya program acara-acara televisi yang disiarkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut mengakibatkan karyawan merasa jenuh karena kondisi lingkungan kerjanya yang monoton.

(22)

langsung maupun tidak langsung. Karyawan dituntut untuk mengawasi kelancaran program acara yang selalu berada di dalam studio untuk divisi studio dalam dan di luar studio untuk divisi studio luar, sehingga seperti halnya master kontrol, karyawan studio dalam juga mudah jenuh hingga mengakibatkan karyawan tersebut mudah marah, sensitif, dan kurang bisa menghargai pekerjaannya hingga rekan kerjanya. Karyawan studio luar juga mudah mengalami kelelahan fisik dan kejenuhan karena beban kerja yang lebih berat dibanding dengan karyawan divisi studio dalam.

(23)

Karyawan yang bekerja pada divisi transmisi juga rentan mengalami burnout, hal itu dikarenakan bentuk pekerjaan dari divisi ini yang berhubungan dengan jaringan stasiun televisi beserta peralatannya. Setiap hari karyawan ini bertanggung jawab untuk mengoperasikan jaringan dari mulai televisi siap tayang sampai berhenti tayang setiap harinya, dan apabila ada kerusakan jaringan maka karyawan ini yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Karena bentuk pekerjaan yang monoton itu, maka karyawan mengalami kejenuhan kerja apalagi ketika terjadi kerusakan peralatan.

Pada karyawan yang bekerja sebagai security juga menurutnya mudah mengalami kebosanan kerja, dan mempunyai bentuk pekerjaan yang selain harus menjaga keamanan kantor juga dituntut untuk melayani tamu dengan baik meskipun kondisi diri sedang tidak mendukung. Menurutnya, bentuk pekerjaan yang dilakukannya itu monoton dan mempunyai tanggung jawab yang besar apalagi ketika harus bertugas malam sampai pagi.

(24)

Sikap tidak berdaya, jenuh, dan lelah secara fisik juga terlihat ketika mereka melakukan tugasnya apalagi pada waktu mereka mempunyai kendala dalam menyelesaikan tugasnya. Terkadang mereka juga saling mengeluh mengenai beban kerja yang berat dan tuntutan perusahaan mengenai tugas barunya atau tugas sehari-harinya dapat terus ditingkatkan. Adapula yang menderita sakit ketika beban kerja yang ditanggung sangat berat dan kurangnya dukungan atau bantuan dari rekan kerjanya sesama divisi.

Karyawan dengan burnout tingkat rendah lebih banyak dibanding karyawan dengan burnout tingkat tinggi. Untuk mencegah karyawan dengan burnout tingkat rendah tersebut agar tidak berlanjut pada burnout tingkat tinggi maka diperlukan suatu upaya untuk mengantisipasi agar burnout yang dialaminya tidak bertambah berat.

Burnout yang dialami karyawan tersebut walaupun masih berada pada tingkat rendah, tentunya berpengaruh terhadap jalannya pelaksanaan tugas-tugas kantor serta menghambat proses pencapaian tujuan perusahaan. Selain itu, apabila hal itu dibiarkan terus menerus, maka interaksi dan kerja sama antar karyawan dapat terganggu. Seharusnya, ketika karyawan mengalami kondisi seperti burnout dengan gejala-gejala diatas, maka karyawan dapat mengatur, mengontrol dan mengendalikan emosinya dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga proses pencapaian tujuan perusahaan dapat berjalan dengan baik dan pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara maksimal.

(25)

karyawan dapat mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang burnout tersebut dan karyawan dapat mengelola emosinya ketika menjalankan tugasnya serta adanya perubahan pada dirinya secara kognitif maupun afektif. Sehingga ketika ada masalah yang muncul dalam proses pekerjaan, karyawan dapat mengatur emosinya dengan berpikir secara positif dengan hati yang tenang.

Penelitian dari Widhianingtanti dan Murcitasari (2008) mengenai Efektivitas Achievement Motivation Training terhadap Peningkatan Motivasi Berprestasi dalam Menghadapi Ujian Nasional Pada Siswa Kelas XII SMA menunjukkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi dalam menghadapi Ujian Nasional pada subjek. Motivasi berprestasi subjek setelah mendapat perlakuan (pelatihan) lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi berprestasi subjek sebelum mendapat perlakuan. Hal tersebut dikarenakan skor rata-rata posttes (mean = 103,50) lebih tinggi daripada skor rata-rata pretest (mean = 97,79).

(26)

pengalaman dan latihan yang telah mereka peroleh selama pelatihan berlangsung yang pada akhirnya mampu mengembangkan aspek kognitif mereka.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kartikawati (2007), tentang Peran Program Academic Achievement Behavior Training (AABT) terhadap Perubahan Motif Berprestasi pada Mahasiswa Underachiever, ternyata hasilnya mampu mengubah motif berprestasi mahasiswa underachiever pada mahasiswa psikologi di Universitas Kristen Maranatha Bandung. Pelatihan tersebut menggunakan prinsip experimental learning dari suatu kejadian dengan satu atau lebih tujuan belajar yang ditetapkan dan mengajak keterlibatan aktif dari partisipan dalam satu atau lebih rangkaian kejadian tersebut. Inti dari experimental learning tersebut adalah belajar baik melalui mengalami, dimana keterlibatan dari partisipan dapat menjadikan pengalaman dan masukan bagi diri (insight). Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa penelitian di atas mengenai pengaruh pelatihan untuk mengubah perilaku individu bahwa pada dasarnya pelatihan mampu mengubah aspek kognitif, afektif, dan konatif dari subjek yang menjadi peserta pelatihan itu sendiri.

(27)

Burnout pada dasarnya terjadi karena seseorang mengalami kelelahan fisik, emosi, dan mental yang di dalamnya mengalami stres kerja yang berkepanjangan. Sehingga stres kerja termasuk ke dalam bagian dari penyebab burnout tersebut. Menurut Robbins (2008: 379), individu dapat melatih diri untuk mengurangi ketegangan lewat teknik pengenduran seperti meditasi, hipnotis, dan umpan balik (biofeedback). Teknik-teknik penenang pikiran untuk memanajemeni stres antara lain pelatihan relaksasi autogenik, pelatihan relaksasi neuromuscular, dan meditasi (Munandar, 2008: 406).

Schultz & Schultz (1994: 377) berpendapat bahwa teknik-teknik dari organisasi yang dapat menghilangkan stres diantaranya mengontrol suasana emosi karyawan, dukungan sosial, penataan ulang peran dan tugas karyawan, dan menghilangkan beban maupun tekanan pekerjaan. Sedangkan teknik-teknik individu diantaranya yaitu latihan fisik, pelatihan relaksasi, biofeedback, modifikasi perilaku, liburan, dan cukup istirahat untuk menghindari stres kerja.

Burnout yang dialami oleh karyawan Cakra Semarang TV dapat di atasi dengan pelatihan yang didalamnya terdapat manajemen stres. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis kebutuhan pelatihan pada tingkat organisasi dan individu dengan teknik wawancara dan observasi yang hasilnya bahwa diperlukan suatu upaya seperti pelatihan untuk mengatasi burnout yang telah menghambat proses kinerjanya.

(28)

membutuhkan suatu upaya untuk mengatasi hal itu. Atasan dan bagian sumber daya manusia kemudian menyetujui adanya pelatihan bekerja dengan hati karena pelatihan tersebut berlandaskan aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi. Sehingga pelatihan tersebut diyakini dapat menurunkan tingkat burnout karyawan dan dapat memperbaiki sikap kerja karyawan.

Analisis kebutuhan pelatihan juga dilakukan ditingkat individu khususnya kepada karyawan yang mengalami burnout. Analisis kebutuhan pelatihan dilakukan dengan teknik wawancara kepada masing-masing karyawan yang mengalami burnout dan observasi terhadap kinerja mereka dengan permasalahan yang mereka alami. Sebenarnya burnout yang mereka alami sudah cukup lama, namun belum ada upaya untuk mengatasi hal itu baik dari perusahaan maupun dari individu itu sendiri. Mereka belum mengetahui dengan baik bagaimana caranya untuk mengatasi gejala-gejala burnout yang mereka alami. Sehingga mereka menginginkan adanya program yang terencana dengan baik untuk mengatasi burnout agar tidak semakin tinggi tingkatannya.

(29)

dalam memberikan materi atau perlakuan sesuai dengan gejala-gejala yang dialami oleh karyawan tersebut.

Stres yang berkepanjangan merupakan salah satu penyebab terjadinya burnout pada karyawan. Maka dalam pelatihan untuk mengurangi burnout karyawan, diperlukan adanya manajemen stres. Menurut Arifin, pelatihan manajemen stres bagi karyawan bisa meningkatkan kemampuan pekerja untuk coping dengan situasi kerja yang rumit. Pelatihan manjemen stres mengajarkan pekerja mengenai sifat dan sumber stres, pengaruh stres bagi kesehatan dan kemampuan individu untuk mengurangi stres, contohnya yaitu manajemen waktu dan latihan penenangan. Pelatihan manajemen stres bisa secara signifikan mengurangi tanda akibat stres, seperti kecemasan dan gangguan tidur. Meskipun demikian, program manajemen stres memiliki kekurangan seperti efek pengurangan tanda akibat stres bersifat jangka pendek yaitu terkadang penyebab utama stres kerja seringkali terabaikan karena lebih fokus kepada karyawan dan bukan lingkungannya (http://genkeis.multiply.com/journal/item/214, diunduh pada 07/05/2010).

(30)

bekerja dengan hati ini bertujuan untuk mengubah aspek kognitif dan afektif karyawan mengenai burnout yang dialaminya. Materi pelatihan ini secara garis besar terdiri dari aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pelatihan bekerja dengan hati efektif untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV?

1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik kegiatan pelatihan ini untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV. Peneliti ingin mengetahui apakah pelatihan bekerja dengan hati efektif untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan wawasan dan sumbangan pengetahuan di bidang Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi, yaitu mengenai pelatihan yang bertujuan untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Karyawan

Sebagai bentuk upaya agar karyawan yang mengalami burnout tingkat rendah tersebut tidak berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga, ketika ada

(31)

mengelola emosinya baik secara kognitif maupun afektif sehingga karyawan dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik. Setelah mendapatkan pelatihan, karyawan memiliki sikap syukur, sabar dan ikhlas dalam melakukan pekerjaan sehari-harinya.

1.4.2.2 Bagi Perusahaan

(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Burnout

2.1.1 Pengertian Burnout

Dalam dunia kerja, istilah burnout merupakan suatu istilah yang berkaitan dengan stres kerja. Konsepsi dan bahasan-bahasan yang dilakukan oleh para ahli mengenai burnout, tidak satupun yang tidak dikaitkan dengan lingkungan kerja dan jenis pekerjaan. Burnout ialah suatu situasi dimana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi, dan menarik diri dari pekerjaan. Pekerja yang mengalami burnout lebih gampang mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah, dan menjadi sinis tentang karier mereka (Davis & Newstrom, 1993: 197).

The effect of job stress that result from overwork can be seen in the condition called burnout. Employees suffering from burnout become less energetic, and less interested in their place. They are emotionally exhaustion, apathetic, depressed, irritable, and bored (Schultz & Schultz, 1994: 370). (Efek stres kerja yang diakibatkan dari beban kerja yang berlebihan dapat dijumpai pada suatu kondisi tertentu yang disebut dengan burnout. Karyawan yang menderita burnout menjadi kurang bersemangat, dan kurang tertarik pada tempat kerjanya. Mereka mengalami kelelahan emosional, apatis, depresi, lekas marah, dan merasa bosan.)

Burnout can be defined as a syndrome of emotional, physical, and mental

exhaustion coupled with feelings of low self-esteem or low self eficacy, resulting

from prolonged exposure to intense stress (Greenberg dan Baron, 1995: 260). Burnout dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom yang berisikan gejala

(33)

kelelahan emosional, kelelahan fisik, dan kelelahan mental disertai dengan perasaan rendahnya pengahargaan terhadap diri sendiri akibat dari stres yang berkepanjangan.

Burnout is a work-related syndrome that stems from an individual’s perception of significant discrepancy between effort (input) and reward (output), this perception being influenced by individual, organizational, and social factors. It occurs most often in those who work face to face with troubled or needy clients and is typically marked by withdrawal from and cynicism toward clients, emotional and physical exhaustion, and various psychological symptoms, such as irritability, anxiety, sadness, and lowered self-esteem (Farber, 1991: 24). (Burnout adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan pekerjaan yang berasal dari persepsi individu mengenai ketidaksesuaian yang berarti antara usaha (tenaga yang dipakai) dan imbalan (hasil), persepsi ini dipengaruhi oleh faktor individual, faktor organisasional, dan faktor sosial. Ini sangat sering terjadi pada seseorang yang bekerja berhadapan langsung dengan masalah atau kebutuhan banyak klien dan ini ditandai dengan penarikan diri dan sikap sinis terhadap klien, kelelahan emosional dan kelelahan fisik, serta berbagai gejala psikologis, seperti lekas marah, kecemasan, perasaan sedih, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri.)

Maslach (1976) dalam Cherniss (1987: 16) defined burnout as the “loss of concern for people with whom one is working” in response to job-related

(34)

keadaan yang berhubungan dengan hilangnya antusiasme, kegembiraan, dan arti dari misi dalam sebuah pekerjaan.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa burnout adalah suatu kondisi dari karyawan dimana karyawan tersebut mengalami kelelahan secara emosional, kelelahan fisik, penghargaan yang rendah terhadap dirinya sendiri, pekerjaan maupun lingkungannya akibat dari stres kerja yang berkepanjangan.

2.1.2 Gejala-gejala Burnout

Maslach, dkk. (2001) dalam Schultz & Schultz (1994: 371) memandang burnout sebagai suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga gejala, yaitu: a. Emotional Exhoustion (Kelelahan Emosional)

Yang ditandai dengan adanya perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan yang diajukan pada dirinya, yang kemudian menguras sumber-sumber emosional yang ada. Dalam hal ini pemberi layanan merasa tidak memiliki energi lagi untuk melakukan pekerjaannya. Orang yang mengalami kelelahan emosionalnya biasanya mudah marah, mudah tersinggung, sikap bermusuhan terhadap orang lain, dan kurang kendali diri.

b. Depersonalization (Depersonalisasi)

(35)

c. Reduced Sense of Personal Accomplishment (Penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah)

Merupakan penilaian diri yang negatif dalam kaitannya dengan pekerjaan, antara lain muncul perasaan tidak efektif atau tidak kompeten dalam pekerjaan, menarik diri dari kontak sosial, merasa tidak berdaya dalam pekerjaan.

Greenberg dan Baron (1995: 260) mengemukakan bahwa ada empat gejala burnout, yaitu:

a. Kelelahan Fisik

Ditandai dengan serangan sakit kepala, mual, sulit tidur, dan kurang nafsu makan.

b. Kelelahan Emosional

Ditandai dengan depresi, perasaan tidak berdaya serta merasa terperangkap didalam tugasnya.

c. Kelelahan Mental (Depersonalisasi)

Ditandai dengan persepsi sinis terhadap orang lain, curiga tanpa alasan, dan cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan, maupun organisasi.

d. Feeling of Low Personal Accomplishment

(36)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa gejala-gejala burnout antara lain yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Burnout

Menurut Maslach & Leiter (1997: 38), terdapat enam faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan, diantaranya:

a. Work Overload

Beban kerja yang dimaksud meliputi apa dan seberapa banyak tugas yang dilakukan oleh karyawan. Pekerjaan yang lebih sering dilakukan, permintaan tugas yang berlebihan, dan pekerjaan yang lebih komplek dapat menyebabkan burnout.

b. Lack of Control

Merupakan kemampuan untuk mengatur prioritas pekerjaan sehari-hari, memilih pendekatan untuk melakukan pekerjaan, dan membuat keputusan dalam menggunakan sumber dayanya untuk menjadi karyawan yang profesional. Jika karyawan memiliki kontrol yang rendah maka mudah terkena burnout.

c. Insufficient Reward

(37)

d. Breakdown in Community

Gangguan dalam komunitas di tempat kerja yang dapat memicu burnout yang meliputi konflik dengan rekan kerja, dukungan sosial, perasaan terisolasi, serta perasaan bekerja secara terpisah dan merasa kurang kerja sama.

e. Absence of Fairness

Ketiadaan keterbukaan meliputi tiga aspek yaitu tidak adanya kepercayaan, keterbukaan, dan rasa hormat. Hal tersebut berpengaruh langsung terhadap burnout.

f. Conflicting Values

Nilai-nilai yang bertentangan antara karyawan dengan pekerjaannya dapat memicu terjadinya burnout karyawan.

Menurut Schultz & Schultz (1994: 371-372) terdapat tiga kelompok faktor-faktor yang dapat dikaitkan dengan sindrom burnout, yaitu faktor demografi, faktor organisasional dan faktor individual atau kepribadian.

a. Faktor Demografi

Faktor demografi ini meliputi: a) Usia

(38)

b) Jenis Kelamin

Perempuan umumnya lebih sering mengalami kelelahan emosional, sedangkan laki-laki mengalami depersonalisasi. Laki-laki lebih rentan terkena burnout dibanding perempuan. Namun jenis kelamin bukan merupakan prediktor yang signifikan pada proses terjadinya burnout.

c) Status Pernikahan

Status pernikahan berpengaruh pada burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih rentan terhadap burnout.

d) Tingkat Pendidikan dan Masa Kerja

Tingkat pendidikan dan masa kerja yang semakin tinggi, akan menimbulkan kecenderungan burnout dalam diri individu. Tingkat pendidikan dan masa kerja berpengaruh positif terhadap burnout, karena kedua faktor ini akan mempengaruhi harapan individu terhadap organisasi. Ketika harapan tidak tercapai, maka individu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami burnout.

b. Faktor Organisasional

Faktor organisasional yang menyebabkan terjadinya burnout antara lain: a) Beban Kerja

Beban kerja merupakan jumlah tugas yang harus diselesaikan oleh individu dan derajat kesulitas tugas tersebut.

b) Konflik Peran

(39)

c) Ambiguitas peran

Ambiguitas peran terjadi pada saat individu tidak memiliki informasi yang memadai untuk menyelesaikan kinerja. Adanya beban kerja, konflik peran, ambiguitas peran akan membuat individu sulit memenuhi tuntutan yang ada secara adekuat sehingga mengalami kelelahan emosional.

d) Dukungan rekan kerja yang tidak adekuat e) Dukungan atasan yang tidak adekuat c. Faktor Individual atau Kepribadian

Faktor individual atau kepribadian yang terkait dengan burnout antara lain:

a) Kurangnya ketangguhan (lack of hardiness)

Hardiness dianggap menjaga seseorang tetap sehat walaupun mengalami kejadian-kejadian yang penuh stres. Orang yang berpribadi kurang tangguh lebih mudah terkena stres daripada yang berpribadi tangguh (hardiness). b) Lokus kontrol yang berorientasi eksternal

(40)

c) Perilaku tipe A

Ciri-ciri tipe A yaitu memiliki orientasi persaingan prestasi, berjuang melawan waktu dan tidak sabaran. Individu dengan tipe A cenderung lebih mudah terkena burnout.

d) Kurangnya kontrol diri

Kontrol berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi, keseluruhan ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Individu yang kurang memiliki kontrol diri lebih mudah terserang burnout. e) Harga diri yang rendah

Individu yang memiliki harga diri rendah, ia merasa tertekan di dalam kehidupannya dan merasa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan menyalahkan diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya. Ia cenderung tidak percaya diri dalam melakukan sesuatu pekerjaan atau tidak yakin akan ide-ide yang dimilikinya. Individu yang memiliki harga diri yang rendah lebih mudah terkena burnout.

(41)

2.2 Pelatihan

2.2.1 Pengertian Pelatihan

(42)

dicapai penguasaan akan keterampilan, pengetahuan, dan sikap-sikap yang relevan terhadap pekerjaan. Sedangkan Jewell dan Siegall (1998: 169), berpendapat bahwa pelatihan adalah pengalaman belajar terstruktur dengan tujuan mengembangkan kemampuan menjadi keterampilan khusus, pengetahuan atau sikap tertentu. Kemampuan adalah potensi fisik, mental, dan psikologis. Keterampilan merupakan penerapan potensi ini secara khusus.

Berdasarkan beberapa pendapat yang ada di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pelatihan adalah suatu proses jangka pendek yang terencana menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir yang tujuannya untuk mengubah sikap, pengetahuan, dan tingkah laku melalui pengalaman, untuk mencapai kinerja yang efektif bagi karyawan.

2.2.2 Analisis Kebutuhan Pelatihan

Setiap pelatihan didasarkan pada analisis sistematis terhadap kontribusinya untuk keefektifan organisasi. Analisis ini meliputi penentuan kebutuhan pelatihan dan penilaian sampai seberapa jauh hambatan untuk mencapai tujuan organisasi dapat dihilangkan melalui pelatihan.

Kebutuhan pelatihan muncul bila kelemahan tertentu dapat ditanggulangi dengan mengadakan pelatihan yang sesuai. Menurut Cushway (1996: 118) kebutuhan ini harus dinilai dari tiga tingkatan:

a. Tingkat Organisasi

(43)

kelemahan nyata atau potensial yang dapat dikoreksi oleh pelatihan. Semua ini harus terlihat jelas dalam rencana SDM yang akan mengidentifikasi jumlah, tipe, dan tingkatan pegawai yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan mendatang.

b. Tingkat Grup atau Pekerjaan

Pada tingkat grup atau pekerjaan, kebutuhan dapat ditentukan oleh analisis pekerjaan dan dengan menganalisis kinerja dan produktivitas. Analisis pekerjaan ini akan menentukan pertanggungjawaban dan tugas-tugas dari berbagai pekerjaan tersebut, dan untuk tujuan manajemen dan pelatihan kinerja, harus menentukan kriteria dan standar kinerja dan mengidentifikasi tingkat pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi standar tersebut.

c. Tingkat Individu

Pada tingkat individu, kebutuhan dapat dinilai melalui penilaian kinerja. Setiap penilaian kinerja harus merupakan peninjauan di area, di mana kinerja yang ada dapat diperbaiki oleh pelatihan, dan pengembangan mungkin diperlukan untuk memberikan sarana kepada penjabat untuk melaksanakan peranan yang lebih daripada biasanya.

(44)

penjabat, meminta mereka untuk melengkapi kuesioner, juga melalui observasi (Cushway, 1996: 120-121).

2.3 Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan

Burnout

2.3.1 Konteks Pelatihan Bekerja dengan Hati Untuk Menurunkan Burnout Karyawan

Pelatihan bekerja dengan hati merupakan suatu pelatihan yang mempunyai tujuan untuk menurunkan burnout pada karyawan yang akan merubah aspek kognitif dan afektif dari karyawan yang berhubungan dengan aspek-aspek dari burnout tersebut agar karyawan dapat mengelola emosinya dan melakukan tugas pekerjaannya dengan bersumber pada qalbu (hati).

Menurut Saleh (2009: 52), bekerja dengan hati adalah bekerja dengan berlandaskan pada pusat kesadaran manusia, yaitu qalbu. Hati nurani atau atau qalbu digunakan sebagai alat pertimbangan yang utama dalam menentukan sikap dan perilaku di dunia kerja.

(45)

2.3.1.1 Kecerdasan Spiritual

2.3.1.1.1 Pengertian Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theis-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian (Sinetar dalam Nggermanto,2002: 117).

Zohar dan Marshall (2000: 4) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi kita. Lebih lanjut, Agustian (2008: 13) mendefinisikan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif.

(46)

2.3.1.1.2 Konteks Kecerdasan Spiritual dalam Bekerja

Kecerdasan spiritual dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari. Menurut Saleh (2009: 5), sesungguhnya pusat kesadaran tertinggi yang ada dalam diri manusia termasuk karyawan ketika melakukan tugas pekerjaannya adalah bersumber pada kalbunya (hati). Kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantar manusia pada penemuan hakikat diri yang sejati. Lebih dari itu, kecerdasan ini telah terbukti sebagai media untuk mengantarkan pada kesuksesan hidup (Saleh, 2009: 6).

Masalah-masalah dalam bekerja muncul dan dialami oleh individu, kecerdasan spiritual menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah eksistensial dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut (Zohar dan Marshall, 2000: 12). Kecerdasan spiritual memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain khususnya dalam bekerja.

2.3.1.1.3 Manfaat Kecerdasan Spiritual

Menurut Saleh (2009: 6), manfaat dari kecerdasan spiritual akan

menghasilkan integritas, energi, inspirasi, kearifan, dan keberanian (Saleh, 2009: 6). Kecerdasan spiritual yang diaplikasikan dalam bekerja akan

(47)

Sedangkan menurut Zohar dan Marshall (2000: 12), manfaat dari kecerdasan spiritual diantaranya:

a. Kecerdasan spiritual dapat menjadikan diri kita kreatif

Kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.

b. Berguna untuk menghadapi masalah eksistensial

(48)

2.3.1.2 Kecerdasan Emosional

2.3.1.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasa, yang kuncinya adalah pada kejujuran individu pada suara hatinya (Agustian, 2008: 9). Salah satu keterampilan utama dalam kecerdasan emosional adalah keterampilan mengatur tindakan dengan menggunakan emosi. Ini berarti belajar mengendalikan dorongan untuk bertindak berdasarkan perasaan. Cara terbaik untuk mengatur emosi adalah mengetahui jati diri kita dan ambang keterampilan kita untuk bertahan (Patton, 2002: 168-169).

Menurut Goleman dalam Saleh (2009: 3), kecerdasan emosional meliputi dua kecakapan, yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi terdiri atas tiga faktor, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi. Sementara itu, kecapakan sosial terdiri atas dua faktor, yaitu kesadaran sosial dan keterampilan sosial.

(49)

2.3.1.2.2 Manfaat Kecerdasan Emosional

Menurut Patton (2002: 60-65), manfaat dari kecerdasan emosional diantaranya:

a. Mengelola emosi

Kemampuan individu untuk mengelola emosi sangat diperlukan ketika individu menghadapi situasi tertentu yang rumit. Pada saat itu, individu dituntut untuk bisa menggunakan emosinya dengan kecerdasan emosionalnya yang memadai.

b. Mengidentifikasi emosi

Kecerdasan emosional berguna untuk mengenali emosi yang kita punya. Dengan begitu kita dapat merespon tekanan-tekanan, situasi yang tidak menentu dan kesengsaraan.

c. Mengenal emosi-emosi orang lain

Mengenal emosi orang lain memerlukan kualitas waktu, perhatian, dan konsentrasi. Dengan berusaha mengenali perilaku orang lain dan respon yang kita terima, melalui kontak mata dan bahasa tubuh mereka, kita dapat mengembangkan keterampilan pemahaman tentang orang lain. Jika kita tidak menghargai orang lain, maka kesempatan yang kita miliki untuk membangun hubungan dengannya sirna begitu saja.

d. Merasakan empati

(50)

Sehingga, kita dapat lebih mementingkan untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain

e. Memotivasi, melatih disiplin, dan menyeimbangkan diri

Ketiga hal tersebut merupakan kekuatan untuk mengembangkan diri dari gerakan kecerdasan emosional kita. Kecerdasan emosional berguna untuk menyeimbangkan keterampilan kita dengan keinginan dan mengarahkan emosi menuju akhir produktif. Selain itu juga untuk melatih penggunaan waktu guna mempelajari pelajaran-pelajaran, sepanjang cara dan berada pada pelajaran untuk mencapai tujuan.

f. Menghadapi emosi-emosi destruktif

Kecerdasan emosional berfungsi untuk mengontrol kemarahan-kemarahan. Sehingga, kita dapat mengetahui tanda-tanda yang mencetuskan kemarahan dan membantu menemukan cara-cara mengurangi pengaruhnya. Emosi destruktif lainnya yaitu kesedihan, penyesalan, kebencian, dan ketakutan. g. Membangun hubungan

Membangun hubungan adalah keterampilan yang paling diperlukan dalam beberapa arena profesional dan personal. Hal ini dilakukan dengan membiasakan emosi dengan orang lain. Dengan kata lain, kita tahu bagaimana mensinkronisasikan perasaan kita dengan perasaan orang lain.

2.3.1.3 Relaksasi

2.3.1.3.1 Pengertian Relaksasi

(51)

bahwa relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan (Beech dkk, 1982) dalam Prawitasari,dkk (2003: 140). Ketegangan otot yang merupakan akibat dari stress berkepanjangan dapat dikurangi dengan latihan relaksasi. Ketegangan juga menunjuk pada suasana yang bermusuhan, perasaan-perasaan negatif terhadap individu dan sebagainya.

Oleh orang awam, relaksasi dapat diartikan sebagai partisipasi dalam aktivitas olah raga, melihat TV, dan rekreasi. Sebaliknya ketegangan dapat menunjuk pada suasana yang bermusuhan, perasaan-perasaan negatif terhadap individu dan sebagainya. Menurut pandangan ilmiah, relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot sekletal, sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot (Beech dkk, 1982) dalam (Prawitasari,dkk 2003: 140).

Relaxation training is a stress-reduction technique that concentrates on

relaxing one part of the body after another (Schultz & Schultz, 1994: 375). Dari definisi itu, pelatihan relaksasi merupakan teknik penurunan stres yang berkonsentrasi pada pengenduran suatu bagian dari tubuh setelah itu bagian lainnya.

(52)

2.3.1.3.2 Manfaat Relaksasi

Menurut Burn (dikutip oleh Beech dkk, 1982) dalam Prawitasari,dkk (2003: 142) menyebutkan beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi, antara lain:

a. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres.

b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia, dan keluhan fisik lainnya dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi.

c. Meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan keterampilan fisik. Hal ini mungkin terjadi sebagai hasil pengurangan tingkat ketegangan.

d. Kelelahan, aktivitas mental, dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi lebih cepat dengan menggunakan keterampilan relaksasi.

e. Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil latihan relaksasi, sehingga memungkinkan individu untuk menggunakan keterampilan relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis.

f. Konsekuensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri dan keyakinan diri individu meningkat sebagai hasil kontrol yang meningkat terhadap reaksi stres.

(53)

2.3.2 Metodologi Pelatihan Bekerja dengan Hati

Pelatihan ini dilaksanakan dalam enam kali pertemuan dalam satu minggu (hari Senin sampai Sabtu) dengan pelaksananya yaitu trainer ESQ sekaligus terapis relaksasi yang berkompeten dalam bidang ini. Setiap pertemuan dimulai pada waktu sebelum karyawan bekerja yaitu pada jam 06.10 sampai 06.50 (sesi pertama) dan dilanjutkan pada jam istirahat yaitu jam 12.00 sampai jam 13.50 (sesi kedua).

Dalam pelatihan ini, peserta akan dituntun untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan burnout mulai dari penyebab terjadinya burnout, sampai pada cara-cara untuk mencegah atau mengatasi burnout tersebut. Cara-cara atau upaya-upaya yang akan diberikan kepada peserta untuk mengurangi burnout karyawan dalam pelatihan ini meliputi aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi.

Sebagai materi pendukung, peserta juga akan diajak terlibat beberapa aktifitas dalam pelatihan seperti permainan, simulasi, serta saling berbagi informasi atau pengalaman antar peserta (sharing). Pelatihan ini akan dilakukan di lingkungan kantor Cakra Semarang TV yaitu dengan menggunakan ruang studio dalam dan ruang serba guna.

2.3.3 Materi Pelatihan Bekerja dengan Hati

(54)

menjalankan pekerjaannya) serta didukung dengan relaksasi sebanyak 30% dalam pelatihan ini . (lihat lampiran)

2.3.4 Evaluasi Pelatihan

Menurut Anthony, dkk. (2006: 339), evaluasi pelatihan terbagi menjadi empat tahap, diantaranya:

a. Reaction (Reaksi)

Reaksi dari peserta pelatihan merupakan tahap pertama dalam evaluasi. Informasi mengenai reaksi peserta tersebut dapat berupa apa yang mereka rasakan mengenai pelatihan secara umum, fasilitas-fasilitas yang terdapat pada pelatihan, dan content atau isi dari pelatihan tersebut.

b. Learning (Pengetahuan)

Tahap kedua dari evaluasi pelatihan adalah tingkat pengetahuan yang di dapat oleh peserta. Secara khusus, hasilnya ialah menentukan apakah peserta dapat menguasai keadaan dirinya, teknik-teknik, kemampuan, dan proses yang diajarkan selama pelatihan.

c. Behavior (Perilaku)

(55)

d. Results (Hasil)

(56)

2.4 Kerangka Berpikir

Berikut bagan yang menggambarkan kefektifan pelatihan bekerja dengan hati untuk menurunkan burnout karyawan:

Penyebab Burnout: 1. Faktor eksternal

a. Tekanan pekerjaan b. Dukungan sosial c. Karakteristik pekerjaan d. Imbalan yang diberikan

tidak mencukupi 2. Faktor internal

a. Karakteristik/kepribadian b. Harga diri

c. Usia

d. Jenis kelamin e. Status pernikahan f. Tingkat pendidikan dan

masa kerja

BURNOUT

Gejala-gejala Burnout:

1. Kelelahan fisik: a. Sakit kepala b. Mual c. Sulit tidur d. Nafsu makan

berkurang

2. Kelelahan emosional: a. Depresi

b. Merasa terperangkap dalam tugasnya c. Mudah marah d. Mudah tersinggung e. Perasaan tidak berdaya

3. Depersonalisasi:

a. Memperlakukan orang lain secara kasar b. Sikap sinis terhadap

orang lain

c. Tidak berperasaan d. Kurang perhatian e. Sikap curiga terhadap

orang lain f. Kurang sensitif

terhadap kebutuhan orang lain

4. Penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah: a. Perasaan tidak efektif

dalam bekerja

b. Menarik diri dari kontak sosial

c. Merasa tidak berdaya dalam pekerjaan PELATIHAN

BEKERJA DENGAN HATI

Manfaat Pelatihan Bekerja dengan Hati

Aspek kecerdasan spiritual: Mengubah cara pandang konsep bekerja dan rezeki sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan.

Aspek kecerdasan emosional: a. Mengenali emosi diri b. Mengelola emosi diri c. Memotivasi diri

d. Mengenali emosi orang lain e. Menjalin hubungan

Relaksasi: Mengurangi ketegangan otot dan keluhan fisik, meningkatkan performa kerja dan sosial serta

[image:56.612.70.554.170.710.2]

keterampilan fisik, mengatasi kelelahan emosi dan mental, meningkatkan harga diri dan percaya diri, meningkatkan hubungan interpersonal. BURNOUT KARYAWAN MENURUN Aplikasi: Materi, simulasi, permainan, perenungan, sharing, latihan relaksasi.

(57)

Berdasarkan bagan di atas, burnout yang dialami oleh karyawan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, yang kemudian dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Burnout yang disebabkan oleh faktor eksternal meliputi tekanan pekerjaan, dukungan, karakteristik pekerjaan, imbalan yang diberikan dari perusahaan tidak mencukupi.

Tekanan pekerjaan tersebut dapat dirasakan oleh karyawan ketika pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan tersebut dinilai ambigu atau tidak jelas job descreptionnya. Hal itu akan menyebabkan konflik peran dalam diri karyawan, sehingga menyebabkan terbebani dan menimbulkkan stres kerja. Kurangnya dukungan dari rekan kerja, keluarga, dan lingkungan serta imbalan yang tidak dinilai tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak juga dapat memicu terjadinya burnout pada karyawan.

(58)

Ketika karyawan mengalami burnout, maka karyawan tersebut akan menderita gejala-gejala tertentu diantaranya kelelahan fisik, kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Kelelahan fisik terjadi ketika karyawan sering mengalami pusing atau sakit kepala, mual, nafsu makan berkurang, dan sulit tidur (insomnia). Kelelahan emosional dapat dilihat dari tanda-tandanya, yaitu karyawan mengalami depresi, merasa tertangkap dalam tugasnya, mudah marah dan tersinggung serta merasa tidak berdaya.

Gejala selanjutnya yaitu depersonalisasi dimana karyawan memperlakukan orang lain secara kasar, bersikap sinis dan kurang perhatian terhadap orang lain, sikap curiga terhadap orang lain, kurang berperasaan dan kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain. Selain itu juga, penghargaan karyawan terhadap dirinya rendah yaitu merasa tidak efektif dalam bekerja, menarik diri dari kontak sosial dan merasa tidak berdaya dalam pekerjaan.

(59)

dengan gejala-gejala yaitu karyawan merasa tertangkap atau terpaksa dalam menjalankan tugasnya, mudah marah dan tersinggung ketika ada masalah, perasaan tidak efektif dalam bekerja, serta merasa tidak berdaya dalam pekerjaan.

Manfaat dari aspek kecerdasan emosional diantaranya yaitu karyawan dapat mengenali dan mengelola emosinya ketika menjalankan tugas pekerjaannya. Selain itu, karyawan mampu mengenali emosi rekan kerjanya sehingga dapat membina hubungan dengan karyawan lain dengan baik. Dalam pelatihan ini juga terdapat relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan otot dan keluhan fisik akibat dari stres kerja, meningkatkan performa kerja dan sosial serta keterampilan fisik karyawan dalam bekerja, mengatasi kelelahan emosi dan mental, meningkatkan harga diri dan percaya diri, serta dapat meningkatkan hubungan interpersonal karyawan.

(60)

2.5 Hipotesis

(61)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif eksperimental. Metode kuantitatif adalah metode analisis data dengan menggunakan angka. Sedangkan penelitian eksperimental menurut Latipun (2004: 8), merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku individu yang diamati. Manipulasi yang dilakukan dapat berupa situasi atau tindakan tertentu yang diberikan kepada individu atau kelompok, dan setelah itu dilihat pengaruhnya.

3.2 Desain Penelitian

Desain penelitian eksperimen ini adalah eksperimen kuasi, disebut pula eksperimen semu merupakan desain eksperimen yang pengendaliannya terhadap variabel-variabel non-eksperimental tidak begitu ketat, dan penentuan sampelnya dilakukan dengan tidak randomisasi (Latipun, 2004: 97). Desain eksperimen kuasi yang dipakai adalah non randomized pretest-posttest control group design merupakan desain eksperimen yang dilakukan dengan prates sebelum perlakuan diberikan dan pascates sesudahnya, sekaligus ada kelompok kontrol (Latipun, 2004: 116). Dalam eksperimen ini sampel ditetapkan dengan tidak random. Keefektifan atau pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat dilihat dari

(62)
[image:62.612.135.503.177.664.2]

perbedaan antara pretest dengan posttest. Desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 3.1. Rancangan Non Randomized Pretest-Posttest Control Group Design

Pretest Posttest

Non R KE Non R KK

Y1 Y1 X - Y2 Y2 Keterangan:

Non R = non random

KE = kelompok eksperimen KK = kelompok kontrol

Y1 = pengukuran burnout sebelum pelatihan bekerja dengan hati (pretest)

Y2 = pengukuran burnout sesudah pelatihan bekerja dengan hati (posttest)

X = pemberian perlakuan pelatihan bekerja dengan hati

Skema desain eksperimen non randomized pretest-posttest control group design adalah sebagai berikut:

nonR O1 Þ (X) Þ O2

nonR O3Þ (-) Þ O4

Keterangan:

nonR(X) = kelompok yang diberikan pelatihan bekerja dengan hati untuk menurunkan burnout karyawan (kelompok eksperimen).

O1 = pengukuran burnout dengan menggunakan skala burnout karyawan

(pretest) pada kelompok eksperimen.

O2 = pengukuran burnout dengan menggunakan skala burnout karyawan (posttest) pada kelompok eksperimen.

nonR (-) = kelompok yang tidak diberikan pelatihan bekerja dengan hati untuk menunurunkan burnout karyawan (kelompok kontrol).

O3 = pengukuran burnout dengan menggunakan skala burnout karyawan

(pretest) pada kelompok kontrol.

O4 = pengukuran burnout dengan menggunakan skala burnout karyawan

(63)

3.3 Identifikasi Variabel Penelitian

3.3.1 Identifikasi Variabel

Identifikasi dari variabel perlu dilakukan untuk membantu penetapan rancangan penelitian. Dalam penelitian ini terdapat dua macam variabel penelitian yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

a. Variabel X (Variabel bebas)

Variabel bebas adalah variabel yang keberadaannya mempengaruhi variabel lain. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah pelatihan bekerja dengan hati.

b. Variabel Y (Variabel terikat)

Variabel terikat adalah variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah burnout karyawan Cakra Semarang TV.

3.3.2 Hubungan antar Variabel

[image:63.612.131.511.241.608.2]

Variabel-variabel dalam penelitian tentunya saling berhubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 3.1 Bagan Pengaruh Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan Burnout Karyawan

Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa hubungan antar variabel bersifat interaksi dimana (X) merupakan variabel bebas (independent) yaitu Pelatihan

Pelatihan Bekerja dengan Hati (X)

(64)

Bekerja dengan Hati dan (Y) merupakan variabel terikat (dependent) yaitu Burnout Karyawan Cakra Semarang TV. Berdasarkan keterangan di atas, (X) yaitu Pelatihan Bekerja dengan Hati dapat mempengaruhi atau menurunkan (Y) yaitu Burnout karyawan Cakra Semarang TV.

3.4 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional berarti meletakkan arti pada suatu variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur variabel itu (Latipun, 2004: 59)

a. Burnout

Adalah suatu kondisi karyawan dimana karyawan tersebut mengalami kelelahan secara emosional, kelelahan fisik, penghargaan yang rendah terhadap dirinya sendiri, pekerjaan maupun lingkungannya akibat dari stres kerja yang berkepanjangan.

Burnout karyawan ini akan diukur dengan menggunakan skala psikologi yang dibuat berdasarkan Maslach Burnout Inventory (MBI) dengan aspek-aspeknya yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Semakin tinggi skor yang didapat oleh subjek, maka semakin tinggi burnout yang dialami olehnya.

b. Pelatihan Bekerja dengan Hati

(65)

berlangsung selama dua jam. Dalam pelatihan ini porsi materi kecerdasan spiritual yaitu 35%, kecerdasan emosional 35% serta relaksasi 30%.

3.5 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 20 orang. Subjek tersebut merupakan subjek studi pendahuluan yang telah diukur menggunakan skala burnout dan merupakan karyawan tetap Cakra Semarang TV yang memiliki karakteristik diantaranya yaitu mengalami burnout tingkat rendah, belum pernah mengikuti pelatihan bekerja dengan hati ataupun pelatihan yang sejenisnya, usia dibawah 40 tahun, belum menikah, masa kerja minimal satu tahun, dan status pendidikan minimal D3. Pengelompokkan subjek kedalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara non random. Hal itu dilakukan atas dasar jumlah subjek yang terbatas, waktu dan tempat yang tidak memungkinkan semua subjek yang akan dijadikan kelompok eksperimen bisa selalu mengikuti pelatihan bekerja dengan hati yang diadakan di kantor. Sepuluh orang subjek dipilih sebagai kelompok eksperimen dilakukan secara non random yang dapat mengikuti pelatihan secara penuh. Sisanya yaitu 10 orang lainnya dipilih secara non random sebagai kelompok kontrol.

3.6 Metode dan Alat Pengumpulan Data

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Skala burnout karyawan Cakra Semarang TV

(66)

(favourable) dan item yang tidak searah dengan pernyataan (unfavourable). Pada skala tersebut terdapat alternatif jawaban: Tidak Pernah, Sangat Jarang, Jarang, Kadang-kadang, Sering, Sangat Sering, Selalu.

Pada item favourable, jawaban Selalu mendapat skor 6, jawaban Sangat Sering mendapat skor 5, jawaban Sering mendapat skor 4, jawaban Kadang-kadang mendapat skor 3, jawaban Jarang mendapat skor 2, jawaban Sangat Jarang mendapat skor 1, dan jawaban Tidak Pernah mendapat skor 0.

[image:66.612.134.504.274.594.2]

Pada item unfavourable, jawaban Selalu mendapat skor 0, jawaban Sangat Sering mendapat skor 1, jawaban Sering mendapat skor 2, jawaban Kadang-kadang mendapat skor 3, jawaban Jarang mendapat skor 4, jawaban Sangat Jarang mendapat skor 5, dan jawaban Tidak Pernah mendapat skor 6.

Tabel 3.2. Susunan Penskoran Item Skala Burnout Karyawan Cakra Semarang TV

Kategori Jawaban Favourable Unfavourable

Selalu 6 0

Sangat Sering 5 1

Sering 4 2

Kadang-kadang 3 3

Jarang 2 4

Sangat Jarang 1 5

Tidak Pernah 0 6

(67)

kelelahan mental (depersonalisasi), dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah.

[image:67.612.135.504.209.550.2]

Blue-print skala Maslach Burnout Inventory sebagai berikut: Tabel 3.3. Blueprint Skala Burnout Karyawan Cakra Semarang TV

Variabel Aspek Fav Unfav Jumlah

Burnout

a. Kelelahan emosional

1,2,3,6, 8,12,13,18

- 8

b. Depersonalisasi 10,11,14,20 5, 5

c. Penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah

- 4,7,9,15, 16,17,19

7

Total item 12 8 20

3.7 Analisis Data

3.7.1 Validitas

3.7.1.1 Validitas Instrumen

(68)

Untuk menguji suatu validitas alat ukur dapat dilakukan dengan pendekatan konsistensi internal, dengan menggunakan skor total keseluruhan item sebagai kriterianya. Indeks validitas item dihitung dengan cara mengkorelasikan skor total masing-masing item.

[image:68.612.79.562.248.692.2]

Penelitian ini menggunakan alat ukur yang telah terstandar yaitu Maclach Burnout Inventory (MBI) dan berikut adalah tingkat validitas alat ukur baku tersebut pada tiap-tiap aitem per aspek:

Tabel 3.4. Koefisien Validitas per Aitem Skala Burnout Berdasarkan MBI

Nomor Aitem

Sampel 1 Sampel 2

Kelelahan Emosional

Depersonalisasi Penghargaan terhadap Diri Sendiri

Kelelahan Emosional

Depersonalisasi Penghargaan terhadap Diri Sendiri

1 0,76 0,71

2 0,74 0,72

3 0,57 0,62

6 0,57 0,60

8 0,86 0,79

12 0,60 0,60

13 0,74 0,59

18 0,62 0,55

5 0,68 0,62

10 0,77 0,74

11 0,79 0,78

14 0,53 0,43

20 0,46 0,54

4 0,49 0,42

7 0,55 0,54

9 0,63 0,69

15 0,55 0,52

16 0,48 0,50

17 0,65 0,64

19 0,56 0,53

(69)

Penelitian ini menggunakan alat ukur yang telah terstandar yaitu Maclach Burnout Inventory (MBI) dan berikut adalah tingkat validitas alat ukur baku

3.7.1.2 Validitas Eksperimen

Validitas dalam suatu eksperimen terdiri dari dua macam, yaitu validitas yang berhubungan dengan efek yang ditimbulkan atau biasa disebut dengan validitas internal dan validitas yang berhubungan dengan penerapan hasil eksperimen atau biasa disebut dengan validitas eksternal.

Validitas internal merupakan validitas penelitian yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana perubahan yang diamati (Y) dalam suatu eksperimen benar-benar hanya terjadi karena X yaitu perlakuan yang diberik

Gambar

Gambar 2.1. Pengaruh Pelatihan Bekerja terhadap Burnout
Tabel 3.1. Rancangan Non Randomized Pretest-Posttest Control Group Design
Gambar 3.1 Bagan Pengaruh Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan Burnout Karyawan
Tabel 3.2. Susunan Penskoran Item Skala Burnout Karyawan Cakra
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian terdapat beberapa strategi marketing jasa pendidikan di MI Muhammadiyah Program Khusus Kartasura dalam memasarkan program adalah pertama;

Pemanfaatan energi matahari yang dikonversikan menjadi energi listrik atau disebut dengan pembangkit lisrik tenaga surya (PLTS) merupakan salah satu potensi energi

Tahap perencanaan tindakan dilakukan berdasarkan hasil kondisi awal. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan tindakan adalah :.. • Membuat rencana kegiatan

HUBUNGAN PENERAPAN PROGRAM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN PENYAKIT AKIBAT KERJA PADA KARYAWAN DI AFDELING I KEBUN KELAPA SAWIT PT.CILIANDRA PERKASA

Diskominfo dengan adanya inovasi PIP tersebut sehingga meningkatkan rasa bangga dan kepuasan pengguna jasa yaitu masyarakat pada umumnya. Jangkauan terhadap Diskominfo

nengalamj lorodegnddi pada daodn I = 375450nn trBksi al wana buah sago dalm bentuk i.nik relatilsodikir kuEnA $abit dibanding densan leubn.. PENDAT]I]T,UAN.. Zat

Dimana input data yang diperlukan untuk melakukan pengolahan pada algoritma ini yaitu waktu proses setiap produk. Alteratif

PPL bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa agar bisa melakukan praktik mengajar secara langsung dan dapat memperoleh pengalaman serta