• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI METODE KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLIKASI METODE KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING BANDAR LAMPUNG"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING

BANDAR LAMPUNG

(Studi pada Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung)

Oleh BAYU UTOYO

Masalah penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara fungsi Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban PKL, tidak menciptakan ketentraman dan ketertiban umum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif.

(2)
(3)

IMPLICATION OF WORK METHOD OF CIVIL SERVICE POLICE UNIT IN REGULATING STREET VENDORS AT

BAMBU KUNING MARKET OF BANDAR LAMPUNG

(Study on Civil Service Police Unit of Bandar Lampung City)

By BAYU UTOYO

This research problem is the gap between the Civil Service Police Unit functions as the assistant regional chief in the enforcement of local regulation and implementation of peace and good order of society, however, the reality on the ground indicate that the particular approach to Civil Service Police Unit in regulating street vendors, it does not create peace and public order.

The purpose of this research was to describe implication of work method of civil service police unit in regulating street vendors at Bambu Kuning Market of Bandar Lampung. Type of research used in this research is qualitative descriptive research.

(4)
(5)

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) banyak menjadi permasalahan di kota-kota besar, karena pada umumnya kebijakan tersebut berpotensi merugikan usaha masyarakat kecil dalam mencari rezekinya. Kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan penertiban PKL terutama pedagang sayur-sayuran, buah-buahan dan penjual makanan selalu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja karena mereka bertugas untuk melaksanakan penertiban dan peraturan daerah (Agustinawati, 2000: 4).

(6)

Kebijakan pemerintah dalam melakukan penertiban sering berupa penggusuran PKL selalu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja. Untuk melaksanakan tugasnya, polisi pamong praja sudah dibekali Peraturan Daerah yang selalu melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan penertiban PKL. Setiap daerah dalam menata dan mengatur sistem pemerintahannya pasti mempunyai cita-cita yang ingin dicapai. Cita-cita dan tujuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai dasar pijakan dalam melaksanakan pembangunan didaerahnya. Karena cita- cita merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maka antara negara satu dengan negara lainnya tidak sama dalam hal pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Aris Ananta, 2002: 6)

Sehubungan dengan adanya kondisi ketentraman dan ketertiban baik dalam hal PKL yang berjualan di atas trotoar jalan, maka perlu diadakan pembinaan terhadap ketentraman dan ketertiban di daerah secara terencana dan terpadu. Dalam penanggulangan ancaman gangguan ketentraman dan ketertiban diterapkan suatu sistem pembinaan ketentraman dan ketertiban menurut pola-pola tertentu, baik melalui usaha-usaha masyarakat maupun pemerintah melalui pendekatan prosperity atau kemakmuran dan security atau keamanan (Aris Ananta, 2002: 7)

(7)

mantap dan terkendali dalam masyarakat akan mendorong terciptanya stabilitas nasional dan akan menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di daerah maupun pelaksanaan pembangunan daerah maka tugas Kepala Daerah akan bertambah, terutama dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketentraman masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja (Pasal 148 Ayat 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja Daerah Kota Bandar Lampung. Pada Pasal 24 disebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Satuan yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.

Selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Produk Hukum Daerah. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi:

(1) Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, serta penegakan Produk Hukum Daerah;

(8)

(3) Pelaksanaan kebijakan penegakan Produk Hukum Daerah;

(4) Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Produk Hukum Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya;

(5) Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Produk Hukum Daerah;

(6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Permasalahan yang melatabelakangi penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara Pasal 25 Ayat (2) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2008, yang mengemukakan bahwa fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Pelaksanaan Kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di Daerah. Fungsi ini menunjukkan bahwa keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja adalah strategis sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa khususnya pendekatan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban PKL justru tidak menciptakan ketentraman dan ketertiban umum.

(9)

Selama ini kinerja Satpol PP dalam menertibkan PKL selalu menggunakan pendekatan yang bersifat refresif (mengedepankan kekerasan), dengan melakukan pembongkaran, penggusuran dan mengangkut paksa lapak-lapak sebagai tempat usaha para PKL. Hal ini dapat disebabkan karena PKL dianggap sebagai kelompok pengganggu keindahan wajah perkotaan, sehingga penertiban yang dilakukan sangat merugikan dan menimbulkan rasa tidak aman dan penuh ketidakpastian bagi PKL (Sumber: Wawancara prariset dengan Agus Franata Siregar, Ketua Persatuan PKL Kota Bandar Lampung, 31 Oktober 2011)

Menurut penjelasan Agus Franata Siregar:

Jumlah PKL di Bandar Lampung mencapai 10.000 dan keberadaannya bukan untuk digusur atau dihapuskan, tetapi seharusnya diupayakan pembinaan dan diberikan tempat usaha. Pemerintah Kota hendaknya persuasif dan proaktif melakukan upaya pencegahan dan penertiban dengan langkah yang bijaksana dan berprinsip pada konsep manajemen konflik yang saling menguntungkan (win win solution). Prinsip tersebut mutlak diperlukan agar upaya penertiban ini tidak menimbulkan gelombang reaksi dan protes dari PKL khususnya dan masyarakat luas pada umumnya yang merasa dirugikan hak-hak mereka untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak (Sumber: Wawancara prariset dengan Agus Franata Siregar, Ketua Persatuan PKL Kota Bandar Lampung, 31 Oktober 2011)

(10)

Permasalahan lain yang terjadi pada penertiban PKL adalah masih berkembangnya anggapan bahwa PKL dianggap sebagai kelompok pengganggu keindahan wajah perkotaan, sehingga upaya penertiban lebih cenderung pada tindakan represif (kekerasan), tidak mengedepankan upaya-upaya persuasif. Tindakan-tindakan penertiban dengan cara-cara kekerasan ini menimbulkan rasa tidak aman dan penuh ke tidakpastian bagi PKL dalam menjalankan usahanya.

(11)

peraturan daerah dan penjagaan ditempat rawan pelanggaran peraturan daerah. Disamping itu Polisi Pamong Praja juga solid dalam kelembagaan yang tersusun rapi setiap kegiatan dalam program kerja tahunan yang didukung dengan sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan dan kemampuan sesuai bidangnya serta kerjasama dengan instansi terkait seperti Polres, Dinas Perhubungan Serta instansi lain yang bersangkutan.

Penelitian lain yang dilakukan Wahyu Basuki (2008), yang berjudul Peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Mengimplementasikan Peraturan Daerah Tentang Pedagang Kaki Lima di Kota Malang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran Satpol PP dalam dalam Mengimplementasikan Peraturan Daerah Tentang Pedagang Kaki Lima di Kota Malang hanya dilakukan oleh dua seksi saja yaitu Seksi Ketentraman dan Ketertiban serta Seksi Penyelidikan dan Penuntutan. Sedangkan seksi lain tidak melakukan fungsi implementasi ini. Kendala yang dihadapi adalah sarana prasarana dan sumberdaya manusia professional yang belum optimal.

(12)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan implikasi metode kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima.

2. Kegunaan Praktis

(13)

A. Pengertian Implikasi

Menurut Islamy (2003, 114-115), implikasi adalah segala sesuatu yang telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan kebijakan. Dengan kata lain implikasi adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya kebijakan atau kegiatan tertentu.

Menurut Winarno (2002:171-174):

Setidaknya ada lima dimensi yang harus dibahas dalam memperhitungkan implikasi dari sebuah kebijakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi: pertama, implikasi kebijakan pada masalah-masalah publik dan implikasi kebijakan pada orang-orang yang terlibat. Kedua, kebijakan mungkin mempunyai implikasi pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan.Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai implikasi pada keadaan-keadaan sekarang dan yang akan datang. Keempat, evaluasi juga menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik. Kelima, biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

(14)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka yang dimaksud dengan implikasi dalam penelitian ini adalah suatu akibat yang terjadi atau ditimbulkan pelaksanaan kebijakan atau program tertentu bagi sasaran pelaksanaan program baik yang bersifat baik atau tidak baik.

B. Tinjauan Tentang Metode Kerja

1. Pengertian Metode Kerja

Menurut A.S. Moenir (2002: 69):

Metode kerja merupakan tolok ukur dalam menilai efektivitas dan efisiensi kinerja instansi pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Secara konseptual prosedur diartikan sebagai langkah-langkah sejumlah instruksi logis untuk menuju pada suatu proses yang dikehendaki. Proses yang dikehendaki tersebut berupa pengguna-pengguna sistem proses kerja dalam bentuk aktivitas, aliran data, dan aliran kerja. Prosedur operasional standar adalah proses standar langkah- langkah sejumlah instruksi logis yang harus dilakukan berupa aktivitas, aliran data, dan aliran kerja.

(15)

Harus diakui bahwa paradigma governance membawa pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip good governance. Penerapan prinsip good governance juga berimplikasi pada perubahan manajemen pemerintahan menjadi lebih terstandarisasi, artinya ada sejumlah kriteria standar yang harus dipatuhi instansi pemerintah dalam melaksanakan aktivitas-aktivitasnya. Standar kinerja ini sekaligus dapat menilai kinerja instansi pemerintah secara internal dan eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural inilah yang disebut dengan prosedur.

Metode kerja tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal, karena prosedur selain digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik yang berkaitan dengan ketepatan program dan waktu, juga digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan tidak semua satuan unit kerja instansi pemerintah memiliki prosedur, karena itu seharusnyalah setiap satuan unit kerja pelayanan publik instansi pemerintah memiliki standar operasional prosedur sebagai acuan dalam bertindak, agar akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat dievaluasi dan terukur.

Selanjutnya menurut Handoko (2004: 43):

(16)

Metode kerja sebagai suatu dokumen/instrumen memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan suatu standar yang sudah baku. Pengembangan instrumen manajemen tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagai suatu instrumen manajemen, prosedur berlandaskan pada sistem manajemen kualitas, yaitu yakni sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

Metode kerja merupakan tahapan dalam tata kerja yang harus dilalui suatu pekerjaan baik mengenai dari mana asalnya dan mau menuju mana, kapan pekerjaan tersebut harus diselesaikan maupun alat apa yang harus digunakan agar pekerjaan tersebut dapat diselesaikan.

2. Metode Kerja Satpol PP

Menurut Agustinawati (2000: 34), metode kerja yang digunakan Satpol PP dalam konteks penegakan Peraturan Daerah dan menjaga ketentraman serta ketertiban umum dapat dilakukan secara bertahap yaitu:

1. Tahap Pre emtif Dalam tahap ini dilakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada masyarakat dan instansi yang terkait agar Peraturan Daerah dipatuhi.

(17)

3. Tahap Represif (Penegakan) Dalam hal pelanggaran Peraturan Daerah sudah tidak bisa ditoleransi, misalnya sudah ditegur secara lisan maupun tertulis tetap ada pelanggaran Peraturan Daerah maka dilakukan tindakan represif. Pelaku pelanggaran akan ditindak baik secara yustisial maupun non yustisial. Dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja dapat melibatkan aparat penegak hukum.

Berdasarkan pendapat di atas maka metode kerja Satpol PP yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tahapan pre emtif, preventif dan represif.

C. Tinjauan Tentang Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Menurut Hasibuan (2000: 176):

Kinerja (perfomance) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities). Kinerja sebagai tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan. Kinerja merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya sifat keadaan dan kondisi eksternal. Tingkat keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan antar pribadi serta kecakapan teknik.

Menurut Siagian (2004: 65), kinerja pada dasarnya adalah hasil kerja seseorang pegawai selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau kinerja yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah di sepakati bersama.

Menurut Handoko (2003: 23):

(18)

Menurut Soewarno Handayaningrat (2004: 19), kinerja adalah cara menjalankan tugas dan hasil yang diperoleh. Kinerja merupakan setiap gerakan, perbuatan, pelaksanaan, kegiatan atau tindakan sadar yang diarahkan untuk rnencapai suatu tujuan atau target tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka yang dimaksud dengan kinerja dalam penelitian ini adalah hasil kerja yang dicapai oleh suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya atau sebagai gambaran mengenai tentang besar kecilnya hasil yang dicapai dari suatu kegiatan baik dilihat secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan visi, misi suatu organisasi yang bersangkutan.

2. Ruang Lingkup Kinerja

Menurut Soewarno Handayaningrat (2004: 21, ruang lingkup kinerja dapat adalah sebagai berikut :

a. Kinerja merupakan aktivitas dasar, dan dijadikan bagian essensial dari kehidupan manusia.

b. Kinerja itu memberikan status, dan mengikat pada individu lain dan masyarakat.

c. Pada umumnya baik wanita maupun pria menyukai pekerjaan, jadi mereka suka bekerja. Jika ada orang yang tidak menyukainya maka kesalahannya terletak pada kondisi psikologis dan kondisi sosial dari pekerjaan itu dan tidak pada kondisi individu yang bersangkutan. d. Insentif kerja itu banyak sekali bentuknya; diantaranya ialah uang. e. Moral pekerja dan pegarvai itu tidak mernpunyai kaitan langsung

(19)

Sementara itu menurut A.S. Moenir (2000:4), ruang lingkup kinerja adalah: a. Pekerjaan yang diorganisir, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang:

(1) Tunduk terhadap aturan organisasi yang bersangkutan

(2) Ada analisa, uraian metode, dan hubungan antara pekerjaan itu (3) Satu dengan yang lain saling tergantung dan terikat

(4) Terbagi pada beberapa orang atau kelompok orang

(5) Pada umumnya basil akhir merupakan gabungan kesatuan dari berbagai jenis pekerjaan

(6) Hasil pekerjaan atau jerih payah tidak secara langsung dapat dinikmati oleh pekerja yang besangkutan.

(7) Menimbulkan dampak terhadap pemberian gaji, upah, dan sejenisnya yang merupakan penghasilan untuk pemangku pekerjaan yang bersangkutan

b. Pekerjaan bebas, tidak terorf;anisir mempunyai sifat-sifat pokok: (1) Tidak terikat oleh aturan tertentu kecuali norma sosial yang umum. (2) Biasanya berbentuk tunggal tidak tergantung pada hasil pekerjaan

lain.

(3) Hasil pekerjaan atau jerih payah dupat langsung dinikmati sendiri

3. Penilaian Kinerja

Menurut Siagian (2004: 67):

Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh seorang pimpinan, walaupun demikian pelaksanaan kinerja yang obyektif bukanlah tugas yang sederhana. Penilaian harus dihindarkan adanya kesukaan dan ketidaksukaan dari penilai, agar obyektifitas penilaian dapat terjaga. Kegiatan penilaian ini penting, karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para pegawai tentang kinerja mereka.

(20)

Menurut Siagian (2004: 68):

Penilaian kinerja pegawai dalam organisasi memiliki dua kegunaan, yaitu: a) Kegunaan untuk mengukur kinerja untuk tujuan memberikan

penghargaan atau dengan kata lain untuk membuat keputusan administratif mengenai si pegawai. Promosi atau punishment pegawai bisa tergantung pada hasil penilaian kinerja, yang sering membuat penilaian kinerja menjadi sulit untuk dilakukan oleh para manajer. b) Kegunaan pengembangan potensi individu yang dilakukan dengan

melakukan survey, test, atau evaluasi sehingga pengukuran tersebut dapat menghasilkan nilai yang menjadi gambaran potensi individu.

Selanjutnya menurut Siagian (2004: 67), komponen-komponen penilaian kinerja adalah sebagai berikut:

a. Komponen input, mengukur sumber daya yang diinvestasikan dalam suatu proses, program, maupun aktivitas untuk menghasilkan keluaran (output maupun outcome). Komponen ini mengukur jumlah sumberdaya seperti anggaran (dana), sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan perundang-undangan dan sebagainya yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan.

b. Komponen output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari sesuatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan / atau non fisik. Komponen ini digunakan untuk mengukur output yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Dengan membandingkanoutput yang direncanakan dan yang betul-betul terealisir, instansi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Komponen output hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Komponen output harus sesuai dengan lingkup dan kegiatan instansi.

c. Komponen outcome, adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output (efek langsung) pada jangka menengah. Dalam banyak hal, informasi yang diperlukan untuk mengukur outcome seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karena itu, setiap instansi perlu mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur outcome dari output suatu kegiatan. Pengukuran komponen outcome seringkali rancu dengan pengukuran komponen output. Contohnya, penghitungan jumlah bibit unggul yang dihasilkan oleh sesuatu kegiatan merupakan tolok ukur output. Akan tetapi perhitungan besar produksi per hektar yang dihasilkan oleh bibit-bubit unggul tersebut merupakan komponenoutcome.

(21)

benefit menunjukan hal-hal yang diharapkan untuk dicapai bila output dapat diselesaikan dan berfungsi optimal (tepat lokasi dan tepat waktu). e. Komponen impact memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan dari

benefit yang diperoleh. Seperti halnya komponen benefit, komponen impact juga baru dapat diketahui dalam jangka waktu menengah atau jangka panjang. Komponen impact menunjukan dasar pemikiran dilaksanakannya kegiatan yang menggambarkan aspek makro pelaksanaan kegiatan, tujuan kegiatan secara sektoral, regional dan nasional.

D. Tinjauan Tentang Satuan Polisi Pamong Praja

1. Pembentukan, Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, untuk membantu kepala daerah menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satpol PP. Pembentukan organisasi Satpol PP ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah (Pasal 2).

Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat (Ayat 1) Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

(22)

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman dan perlindungan masyarakat;

b. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

Sehubungan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang semakin maju memerlukan anggota Polisi Pamong Praja yang mempunyai wawasan pengetahuan yang luas profesionalisme dan sikap disiplin serta ketahanan mental yang tinggi, sehingga dimungkinkan terwujudnya aparatur Polisi Pamong Praja yang mempunyai pola pikir yang cepat, produktif, proaktif dan berwibawa disertai dengan amal perbuatan dharma bhakti dan pengabdian yang nyata. Terlebih dalam rangka pemantapan penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada daerah otonom.

2. Wewenang, Hak, Dan Kewajiban Satuan Polisi Pamong Praja

Menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP berwenang:

a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

(23)

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Memperhatikan tugas Polisi Pamong Praja terutama di lapangan sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat tersebut, maka Polisi Pamong Praja dituntut untuk tanggap dan mampu menciptakan suatu kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap dan terkendali, oleh sebab itu perlu dilakukan suatu pembinaan yang meliputi berbagai usaha maupun tindakan dan segala kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pembangunan, pengarahan serta pengendalian segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban secara berdayaguna dan berhasil guna sehingga peranan Polisi Pamong Praja lebih dirasakan manfaatnya di semua bidang termasuk pembangunan pemerintah dan kemasyarakatan yang tertib aman dan teratur dalam kepedulian terhadap peraturan daerah.

(24)

akan membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat dengan tingkat kebutuhan yang cenderung mengalami peningkatan yang semakin kompleks.

Menurut Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP mempunyai hak sarana dan prasarana serta fasilitas lain sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Polisi Pamong Praja dapat diberikan tunjangan khusus sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib:

a. Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat; b. Menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik polisi pamong

praja;

c. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. Melaporkan kepada kepolisian negara republik indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana; dan

e. Menyerahkan kepada penyidik pegawai negeri sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap perda dan/atau peraturan kepala daerah.

3. Kerja Sama dan Koordinasi Satuan Polisi Pamong Praja

(25)

fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hierarki dan kode etik birokrasi yang berlaku.

E. Pedagang Kaki Lima (PKL)

1. Pengertian Pedagang Kaki Lima

Menurut Aris Ananta (2002: 12), pengertian pedagang kaki lima adalah orang-orang golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari, makanan, atau jasa yang modalnya relatif sangat kecil, modal sendiri atau modal orang lain, baik berjualan di tempat terlarang ataupun tidak.

Menurut Aris Ananta (2002: 13):

Istilah “pedagang kaki lima” sudah sangat populer di negara Indonesia. Kepopuleran ini mempunyai arti yang positif maupun negatif. Positifnya, pedagang kaki lima secara pasti dapat memberikan kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang menganggur. Para penganggur ini kemudian berkreasi, berwirausaha dengan modal sendiri ataupun tanpa modal. Barang yang dijual umumnya merupakan barang convenien, yang dibeli secara emosional. Harga yang mereka tawarkan mula-mula sangat tinggi namun pada akhirnya dapat ditawar dengan harga yang relatif rendah. Dengan cara demikian, maka baik pedagang maupun pelanggan merasa mendapatkan keuntungan. Negatifnya, pedagang kaki lima tidak menghiraukan masalah ketertiban, keamanan, kebersihan dan kebisingan, sehingga dapat menimbulkan ketidak rapian, bising, dan banyak sampah. Akibat dari arti negatif ini, sebagian besar masyarakat merasa enggan untuk mendatangi usahanya.

(26)

Menurut Agustinawati (2000:17):

Pandangan atau persepsi pemerintah kota tentang keberadaan pedagang kaki lima akan mempengaruhi sikap dan kebijakan penanganannya, yang dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa pedagang kaki lima merupakan sektor liar dan sektor yang mengganggu, akan menyebabkan pedagang kaki lima tidak banyak mendapatkan perhatian dan penanganan serta pembinaan. Sebaliknya, apabila pemerintah kota memberikan pengakuan terhadap kegiatan pedagang kaki lima sebagai lapangan usaha yang potensial dalam membantu penyediaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah maka akan melahirkan kebijakan yang berusaha mempertahankan eksistensinya.

Pedagang kaki lima merupakan satu hal yang sangat menarik untuk diteliti dan dipahami secara lebih mendalam, mengingat golongan ini mampu bertahan dan bahkan membengkak meskipun berbagai kebijaksanaan yang membatasi mereka. Menurut gambaran yang paling buruk, pedagang kaki lima dipandang sebagai parasit dan sumber kejahatan yang tergolong dalam masyarakat kelas jelata atau semata-mata dipandang sebagai pekerjaan yang tidak relevan sedang menurut pandangan yang paling baik, mereka dipandang sebagai korban dari langkanya kesempatan kerja yang produktif di kota, mereka dipandang sebagai alternatif terakhir dari kesempatan kerja bagi banyak orang agar terhindar dari predikat pengangguran.

Menurut Winardi (2000: 17):

(27)

2. Ciri-Ciri Pedagang Kaki Lima

Ciri-ciri pedagang kaki lima menurut Aris Ananta (2002) yaitu: 1) kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, 2) tidak memiliki surat ijin usaha, 3) tidak teratur dalam kegiatan usaha, baik ditinjau dari tempat usaha maupun jam kerja, 4) bergerombol di trotoar atau di tepi jalan protokol, di pusat-pusat keramaian, 5) menjajakan barang dagangannya sambil teriak-teriak, kadang berlari sambil mendekati konsumennya.

Ciri-ciri pedagang kaki lima menurut Agustinawati (2000: 18) adalah:

a) Umumnya tergolong angkatan kerja produktif, banyak pedagang yang berusia produktif tetapi tidak mendapat pekerjaan di sektor formal sehingga banyak yang berusaha di sektor informal.

b) Umumnya sebagai mata pencaharian pokok. Seorang pedagang kaki lima tidak mempunyai pekerjaan lain selain sebagai pedagang kaki lima sehingga pekerjaan itu menjadi pekerjaan utama untuk keluarganya.

c) Tingkat pendidikan relatif rendah. Banyak pedagang kaki lima yang tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi, mereka hanya mengandalkan pengalaman yang mereka punya selama menekuni sebagai pedagang.

d) Pekerjaan sebelumnya umumnya sebagai petani atau buruh, karena hasil yang didapatkan sebagai petani dan buruh tidak dapat mencukupi kebutuhannya maka banyak dari mereka yang kemudian beralih menjadi pedagang kaki lima.

e) Permodalannya lemah dan omzet penjualannya kecil. Pedagang kaki lima tidak mau mengambil kredit dari lembaga perbankan menyebabkan mereka kekurangan modal dan kesulitan untuk mengembangkan usahanya sehingga menyebabkan omzet mereka pun menjadi kecil.

f) Barang dagangannya umumnya adalah bahan pangan, sandang, dan kebutuhan sekunder. Banyak pedagang yang menjual makanan, minuman, dan banyak pula pedagang yang meniru pedagang lain yang berhasil dengan barang dagangannya.

g) Tingkat pendapatannya relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan keluarga di perkotaan.

(28)

a) Merupakan pedagang pada umumnya namun kadang-kadang juga memproduksi barang-barang atau menyelenggarakan jasa-jasa yang sekaligus dijual kepada konsumen

b) Mereka umumnya menjajakan barang-barang dagangan dengan gelaran tikar di pinggir-pinggir jalan atau toko-toko yang dianggap strategis, menggunakan meja, kereta dorong, maupun kios kecil.

c) Umumnya menjajakan bahan-bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya, termasuk didalamnya barang-barang-barang-barang konsumsi tahan lama secara eceran.

d) Umumnya bermodal kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya merupakan alat bagi pemilik modal, dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atas jerih payahnya.

e) Pada umumnya kelompok pedagang kecil merupakan kelompok marginal, bahkan ada pula yang tergolong pada kelompok sub marginal.

f) Umumnya kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah.

g) Volume omzet para pedagang kecil relatif tidak seberapa besar karena juga dipengaruhi jumlah modal yang kecil pula.

h) Para pembeli umumnya mempunyai tingkat daya beli yang rendah. i) Kasus pedagang kecil berhasil secara ekonomis, sehingga akhirnya

memiliki tangga dalam jenjang hirarki pedagang yang sukses agak langka.

j) Pada umumnya usaha pedagang kecil merupakan usaha family enterprises, yaitu ibu, anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

k) Barang-barang yang diperdagangkan pedagang kecil biasanya tidak berstandar dan penggantian barang-barang yang diperdagangkan sering terjadi.

(29)

3. Kekuatan dan Kelemahan Pedagang Kaki Lima

Kekuatan pedagang kaki lima menurut menurut Winardi (2000: 38-39) adalah sebagai berikut:

a) Pedagang kaki lima memberikan kesempatan kerja yang umumnya sulit didapat pada negara-negara yang sedang berkembang.

b) Dalam prakteknya mereka biasa menawarkan barang dan jasa dengan harga bersaing mengingat mereka tidak dibebani pajak.

c) Sebagian masyarakat kita lebih senang berbelanja pada pedagang kaki lima mengingat faktor kemudahan dan barang-barang yang ditawarkan relatif lebih murah (terlepas dari pertimbangan kualitas).

Kelemahan pedagang kaki lima menurut menurut Winardi (2000: 38-39) adalah sebagai berikut:

a) Mereka dimasukkan ke dalam kelompok marginal dan sub marginal dengan modal kecil. Modal yang relatif kecil menyebabkan laba relatif kecil padahal pada umumnya banyak anggota keluarga bergantung pada hasil yang minim ini. Oleh karena itu terciptalah keadaan dimana hasil yang mereka capai pas-pasan untuk sekedar hidup. Bahkan tidak ada kemungkinan untuk akumulasi modal.

b) Karena rendahnya pendidikan dan kurangnya keterampilan, maka unsur efisiensi kurang mendapat perhatian, sehingga akan mempengaruhi kelancaran usaha

c) Ada kalanya pedagang kaki lima melihat padagang kaki lima lainnya yang sukses dengan jenis barang dagangan tertentu mengikuti jejak mereka menyebabkan suatu jenis usaha tertentu menjadi terlampau padat, sehingga akhirnya sebagian dari mereka berguguran dan terpaksa harus gulung tikar di tengah jalan.

d) Seringkali terdapat unsur penipuan dan penawaran dengan harga yang tinggi, sehingga menyebabkan citra masyarakat tentang pedagang kaki lima kurang positif. Di samping itu, tidak jarang diantara mereka terjadi persaingan yang tidak sehat dan merugikan banyak pihak.

F. Sektor Informal

(30)

Menurut Winardi (2000: 14):

Sektor informal telah menjadi pusat perhatian para perencana pembangunan terutama di negara-negara berkembang. Sektor informal dipandang merupakan salah satu alternatif yang cukup penting dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam beberapa periode terakhir ini, sektor informal di perkotaan Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Membengkaknya sektor informal mempunyai kaitan dengan menurunnya kemampuan sektor formal dalam menyerap angkatan kerja di kota yang semakin lama semakin meningkat. Pertambahan angkatan kerja di kota juga disebabkan karena urbanisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kesempatan kerja yang ada. Akibatnya tidak sedikit yang datang ke kota hanya akan menambah pengangguran, terutama di kalangan penduduk usia muda dan alternatif kesempatan kerja yang dapat diambil adalah masuk dalam usaha sektor informal

Sektor informal sering dijadikan kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalulintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah kebawah.

Menurut Agustinawati (2000: 20):

Timbulnya sektor informal sebagai sumber kesempatan kerja di kota merupakan manifestasi dari tidak sebandingnya pertumbuhan angkatan kerja dengan kesempatan kerja pada satu pihak dan ketidakmampuan sektor formal untuk menampung kelebihan tenaga kerja di lain pihak. Sektor informal dapat bertindak sebagai katup pengaman bagi sejumlah orang yang menganggur di kota. Sektor informal merupakan suatu kegiatan bisnis yang dilakukan sambilan, oleh seseorang yang dibantu oleh sanak keluarga

(31)

yang tidak dapat masuk ke sektor formal terlempar ke luar, kemudian berusaha masuk ke sektor informal yang memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk masuk ke dalamnya. Karena itu sektor informal dikenal juga sebagai katup pengaman dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan.

Selanjutnya menurut Agustinawati ( 2000: 24):

Banyaknya angkatan kerja yang terserap dalam sektor informal merupakan refleksi ketidakmampuan sektor formal dalam membuka kesempatan kerja lebih luas terhadap sebagian besar penduduk angkatan kerja. Sektor formal sebagai sektor ekonomi yang mendapat bantuan dan perlindungan pemerintah dewasa ini kurang mampu membuka kesempatan kerja lebih banyak bagi angkatan kerja meskipun penyediaan kesempatan kerja oleh sektor formal terbuka untuk semua orang, namun dalam kenyataannya kesempatan kerja ini membutuhkan syarat-syarat keterampilan dan pendidikan khusus yang tidak banyak dimiliki oleh sebagian besar pencari kerja

Menurut Aris Ananta (2002) ciri-ciri sektor informal adalah:

a. Kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik b. Belum mempunyai ijin usaha yang resmi c. Teknologi yang digunakan sangat sederhana d. Modal serta perputaran usahanya sangat terbatas

e. Pendidikan formal dari para pengelolanya tidak menjadi pertimbangan dalam mengelola usahanya

f. Usahanya bersifat mandiri, jika ada karyawan biasanya dari keluarga sendiri.

(32)

G. Kerangka Pikir

Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja pada dasarnya adalah strategis karena mempunyai fungsi sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, namun kenyataan di lapangan khususnya pendekatan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban PKL. PKL dianggap sebagai kelompok pengganggu keindahan wajah perkotaan, sehingga penertiban yang dilakukan bersifat represif dengan berbagai tindakan dilakukan secara mendadak dan menimbulkan rasa tidak aman dan penuh ketidakpastian bagi PKL.

Keberadaan PKL bukan untuk digusur atau dihapuskan, tetapi seharusnya diupayakan pembinaan dan diberikan tempat usaha. Pemerintah Kota hendaknya persuasif dan proaktif melakukan upaya pencegahan dan penertiban dengan langkah yang bijaksana dan berprinsip pada konsep manajemen konflik yang saling menguntungkan (win win solution), sebelum PKL yang berjualan di trotoar sepanjang jalan protokol kota tumbuh pesat. Prinsip tersebut mutlak diperlukan agar upaya penertiban ini tidak menimbulkan gelombang reaksi dan protes dari PKL khususnya dan masyarakat luas pada umumnya yang merasa dirugikan atau disabotase hak-hak mereka untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak.

(33)
[image:33.595.162.438.142.594.2]

Gambar 1.

Kerangka Pikir Penelitian Metode Kerja

Satuan Polisi Pamong Praja Bandar Lampung

Penertiban PKL di Pasar Bambu

Kuning Tahap Preventif Tahap

Preemtif

Tahap Represif

Implikasi

(34)

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang diterapkan adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bugdon dan Taylor dalam Moleong (2005: 5-6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif adalah prosedur analisis yang tidak menggunakan analisis statistik atau cara kuantifikasi/ perhitungan.

Berdasarkan pengertian di atas maka tipe kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui dan menjelaskan fenomena berupa Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung.

B. Fokus Penelitian

(35)

Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung, yang terdiri dari:

a) Tahapan Pre Emtif

Tahap Pre emtif adalah suatu proses pelaksanaan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada masyarakat dan instansi yang terkait agar Peraturan Daerah dipatuhi. Indikatornya adalah pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada PKL terkait dengan penertiban PKL Pasar Bambu Kuning

b) Tahapan Preventif (pencegahan)

Tahapan preventif adalah proses pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran Perda oleh Pedagang Kaki Lima. Indikatornya adalah pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan patroli dan penjagaan dalam rangka mencegah adanya pelanggaran Peraturan Daerah dan memberikan teguran lisan maupun tertulis para PKL yang mengganggu ketertiban di Pasar Bambu Kuning

c) Tahapan Represif (Penegakan)

(36)

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif pada umumnya mengambil jumlah informan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk penelitian lainnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu atau perorangan. Untuk memperoleh informasi yang diharapkan, peneliti terlebih dahulu menentukan informan yang akan dimintai informasinya. Dalam penelitian ini informan peneliti dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan informan secara tidak acak, tetapi dengan pertimbangan dan kriteria tertentu, yaitu sebagai berikut:

1. Informan merupakan subyek telah lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menadi sasaran atau perhatian peneliti dan ini biasanya ditandai dengan kemampuan memberikan informasi mengenai suatu yang ditanya peneliti.

2. Informan merupakan subyek yang masih trika secara penuh aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran dan perhatian peneliti. 3. Informan merupakan subyek yang dalam memberikan informasi tidak

cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka informan peneliti ini adalah: 1. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung : 1 orang 2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung: 2 orang 3. Perwakilan Persatuan PKL Kota Bandar Lampung : 2 orang +

(37)

D. Jenis Data

Jenis data penelitian ini meliputi:

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber atau lokasi penelitian, yaitu dengan melakukan wawancara pada informan penelitian, yaitu Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung, Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dan Perwakilan Persatuan PKL Kota Bandar Lampung.

2. Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian, yaitu Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi, Visi dan Misi, Tujuan Struktur dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

(38)

2. Dokumentasi, yaitu teknik untuk mendapatkan data dengan cara mencari informasi dari berbagai sumber atau referensi yang terkait dengan penelitian.

Kegiatan yang penulis lakukan adalah mengambil data dokumentasi berupa Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi, Visi dan Misi, Tujuan Struktur dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Bandar Lampung pada hari Rabu- Kamis tanggal 11- 12 Januari 2012.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan mengatur catatan lapangan, dan bahan lainnya yang ditemukan di lapangan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif yang berpijak dari data yang didapat dari hasil wawancara serta hasil dokumentasi, melalui tahapan sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan dituangkan ke dalam bentuk laporan selanjutnya direduksi, dirangkum, difokuskan pada hal-hal penting. Dicari tema dan polanya disusun secara sistematis. Kegiatan yang dilakukan pada tahap reduksi data adalah memilih dan merangkum data dari hasil wawancara dan dokumentasi yang sesuai dengan fokus penelitian ini.

2. Penyajian Data (Display Data)

(39)

menceritakan hasil wawancara ke dalam bentuk kalimat dan disajikan pada Bab V skripsi.

3. Mengambil Kesimpulan atau Verifikasi Data.

(40)

Pada subbab hasil penelitian dan pembahasan ini akan dideskripsikan Implikasi Metode Kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Bambu Kuning Bandar Lampung, yang terdiri dari tahapan preemtif, tahapan preventif dan tahapan represif.

A. Tahapan Preemtif

Pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan sosialisasi dan langkah-langkah persuasif kepada PKL terkait dengan penertiban PKL Pasar Bambu Kuning. Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Hi. Cik Raden S.Pd. selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja maka diperoleh penjelasan bahwa dalam tahapan preemtif, pihak Satuan Polisi Pamong Praja berupaya seoptimal mungkin untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam hal penertiban PKL, oleh karena itu setiap personil Polisi Pamong Praja harus memahami dengan benar makna perencanaan penertiban PKL di Pasar Bambu Kuning.

(41)

Keberhasilan suatu pelaksanaan kegiatan penertiban Pedagang Kaki Lima oleh Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dapat berjalan etektif apabila dapat menyusun dan melaksanakan program kerja yang efekrif. Program tersebut dapat dikatakan efektif apabila dapat mengatasi masalah-masalah ketertiban umum yang sering ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima, seperti kemacetan lalu lintas, kebersihan, penataan parkir serta pengendalian perkembangan dan pertumbuhan jumlah Pedagang Kaki Lima.

Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Larnpung memiliki program kerja yang terkait ketentraman dan ketertiban umum yaitu :

1. Menyusun personil yang akan melaksanakan operasi penyelenggaraan transtibum.

2. Melaksanakan patroli kota bersama instansi terkait untuk menjaga ketentraman dan ketertiban Kota Bandar Lampung. Patroli yang diselenggarakan setiap harinya dari pukul 09.00 wib dan 15.00 wib.

3. Melaksanakan penjagaan terhadap keramaian kota (pasar, mall dan keramaian lainnya).

4. Memantau dan menerima laporan keadaan trantibum pada seluruh kecamatan 5. Melaksanakan koordinasi dengan Kasi Penegakan Perda dalam rangka

menunjang penegakan Perda.

6. Melaksanakan koordinasi dengan Kasi Bimas Umum dalam rangka pengamanan izin keramaian yang telah ditertibkan

7. Mengamankan keramaian kota berkerjasama dengan irstansi terkait.

(42)

9. Melaksanakan penindakan terhadap masyarakat/badan hukum yang melakukan pelanggaran Perda.

Berdasarkan program kerja yang disusun oleh seksi ketertiban umum nampaknya upaya untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum yang dilakukan penertiban Pedagang Kaki Lima oleh Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dapat berjalan efektif dengan memperhatikan sumberdaya organisasi serta keadaan lingkungan yang dihadapi. Petunjuk teknis operasi penertiban lebih mengarah pada Protap Operasional yang penyusunan secara nasional sehingga penertiban ini berjalan mengalir begitu saja.

Drs. Hi. Cik Raden S.Pd. selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung menjelaskan:

(43)

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung telah melakukan koordinasi dengan Dinas/instansi terkait dalam menegakkan Peraturan Daerah, Keputusan Walikota dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk gangguan ketertiban umum adalah terkait keberadaan Pedagang Kaki Lima yang menggunakan fasilitas umum seperti trotoar-trotoar jalan, lahan parkir di pasar, taman kota yang bukan peruntukkannya. Hal ini jelas tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pernbinaan Umurn, Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Kesehatan dan Keapikan dalam wilayah Kota Bandar Lampung pasal 16. Sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, maka wewenang yang dimiliki Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung adalah: mengawasi, menertibkan dan menindak Pedagang Kaki Lima yang rnengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta melakukan tindakan represif non yustisial terhadap Pedagang Kaki Lima.

(44)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa seluruh kerja yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam protap operasional yang berlaku dan Perda yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar seluruh anggota Satuan Polisi Pamong Praja memiliki persamaan dasar atau pemahaman yang sama untuk melakukan tindakan yang terkait dengan tugas-tugasnya sebagai aparat yang memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Peraturan yang menjadi dasar bagi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung dalam melaksanakan penertiban terhadap Pedagang Kaki Lima di wilayah Kota Bandar Lampung menjadi referensi bagi seluruh anggota Satuan Polisi Pamong Praja terutama tim operasional yang dibentuk agar memiliki persamaan pemaharnan dalam prosedur pelaksanaan tugas-tugasaya. Selain itu peraturan tersebut juga berperan sebagai pembatas agar kerja tim penertiban dapat berjalan sebagaimana mestinya dan memiliki arah yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Herman Karim:

(45)

Langkah penertiban yang dilakukan tidak serta merta dengan operasi penertiban, ada penyuluhan dan pembinaan terhadap para Pedagang Kaki Lima untuk menghilangkan atau mengurangi segala bentuk ancaman dan gangguan ketertiban dikarenakan keberadaan lokasi berjualan mereka yang tidak memperhatikan kenyamanan penggunaan jalan lainnya.

(46)
[image:46.595.114.513.124.421.2]

Tabel 1. Sosialiasi Internal Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Tahun 2011

No Sosialisasi Internal Pemateri Waktu

1 Penentuan sasaran sosialisasi seperti perorangan, kelompok atau Badan Usaha

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampung

 Kepala Seksi Ketertiban Umum

Januari– Maret 2011

2 Penetapan Materi Sosialisasi yang disesuaikan dengan subjek, objek dan sasaran sosialisasi.

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampung

 Kepala Seksi Ketertiban Umum

April–Juni 2011

3 Penentuan dukungan Administrasi

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampung

 Kepala Seksi Ketertiban Umum

Juli– September 2011 4 Penetapan tempat, sosialisasi

yang dilakukan dapat bersifat formal dan Informal, hal tersebut sangat tergantung kepada kondisi dilapangan

 Kasatpol PP Kota Bandar Lampun

 Kepala Seksi Ketertiban Umum

Oktober– Desember 2011

Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Tahun 2012

Penyuluhan dan pembinaan merupakan kegiatan dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima secara persuasif yaitu untuk menumbuhkan kesadaran para Pedagang Kaki Lima bahwa mereka selama ini telah melanggar peraturan yang berlaku yaitu dilarang berjualan disepanjang trotoar-trotoar jalan maupun lahan parkir.

(47)

Penyuluhan ini biasanya dilakukan sekali dalam seminggu yang berkoordinasi dengan Dinas Pasar, penyampaian informasi juga dilakukan melalui kelompok/paguyuban Pedagang Kaki Lima yang ada di setiap pasar. Namun untuk penyuluhan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima yang berada diluar lingkungan pasar dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja secara langsung bersamaan dengan patroli dan operasi penertiban. Informasi yang biasanya disampaikan kepada para pedagang ialah terkait lokasi berjualan yang dilarang, masalah kebersihan dan kerapihan tempat berjualan agar tidak mengganggu aktivitas lainnya. Sosialisasi materi yang disampaikan oleh petugas baik itu dan Dinas Pasar atau Satuan Polisi Pamong Praja kepada semua Pedagang Kaki Lima terkait dengan lokasi yang tidak diperbolehkan untuk berdagang, kebersihan dan kerapihan tempat berjualan.

(48)

Penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung dilakukan secara langsung ke lapangan dan media tulis seperti koran dan papan larangan dengan harapan para Pedagang Kaki Lima dan masyarakat dapat mengambil manfaatnya. Walaupun ada koordinasi dan komunikasi dengan instansi terkait dan Persatuan Pedagang Kaki Lima dalam pelaksanaan kegiatan ini, namun tindak lanjut setelah diadakan penyuluhan ini belum berjalan karena sampai saat ini kesadaran para pedagang kaki lima untuk tidak berjualan di lokasi-lokasi yang terlarang masih kurang, bahkan tujuan untuk mengendalikan jumlah Pedagang Kaki Lima tidak tercapai.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Hi. Cik Raden S.Pd, maka diperoleh penjelasan sebagai berikut:

Penertiban PKL berkaitan dengan permasalahan ekonomi para PKL, oleh karena itu penertiban PKL harus selaras dengan upaya mengembangkan Kota Bandar Lampung sebagai pusat jasa dan perdagangan berbasis ekonomi kerakyatan, tujuan misi ini antara lain adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ekonomi kerakyatan. maka kebijakan yang ditempuh untuk mencapai misi ini antara lain adalah pengembangan ekonomi kerakyatan.

(49)

Sehubungan dengan hal ini Pemerintah Kota Bandar Lampung mengupayakan adanya alokasi lahan untuk usaha sektor informal seperti PKL. Hal ini diperkuat dengan visi Bandar Lampung sebagai kota perdagangan dan jasa, dengan visi pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan. Untuk menuju visi kota pedagangan dan jasa, diperlukan aturan komprehensif, untuk mengatur kegiatan ekonomi, baik sektor formal maupun sektor informal. Namun PKL selama ini masih selalu diposisikan sebagai usaha sektor informal yang mempunyai stigma tidak baik bagi pemerintah kota. Hal ini karena keberadaan PKL dianggap merusak keindahan, kumuh, mengganggu ketertiban dan penyebab kemacetan lalu lintas (kongesti).

Sesuai dengan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa tujuan penertiban PKL di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut:

1) Adanya perlindungan hukum dari institusi pemerintahan daerah terhadap keberadaan PKL di Bandar lampung, sehingga keberadaan PKL tidak lagi dianggap sebagai penggangu namun diberikan penghargaan yang layak sebagai salah satu penopang PAD dan sendi dasar ekonomi global.

2) Menjadikan sektor PKL sebagai satu unit Usaha Mikro dan kecil yang diarahkan untuk ikut mengambil bagian secara aktif, berdisiplin, tertib dan bertanggung jawab dalam rangka pembangunan perekonomian daerah.

(50)

PKL merupakan jenis pekerjaan yang ditekuni masyarakat dari sektor informal atau sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal ini merupakan sumber kesempatan kerja terutama dan mendapatkan penghasilan. PKL pada umumnya adalah penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan berusaha dalam kegiatan ekonomi yang menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. PKL adalah penjual barang/ jasa yang independen yang berdagang di tempat-tempat umum namun usahanya terkait dengan jaringan sosial-ekonomi yang melingkupinya.

Menurut penjelasan Agus Pranata Siregar selaku Ketua Persatuan Pedagang Kaki Lima Kota Bandar Lampung maka diketahui:

Pejabat kota dan kaum elite lokal yang lain biasanya memandang PKL sebagai gangguan yang membuat kotor dan tidak rapi, menyebabkan kemacetan lalu lintas, pembuangan sampah di sembarang tempat, gangguan para pejalan kaki, saingan pedagang toko yang tertib membayar pajak, serta penyebar penyakit lewat kontak fisik dan penjualan makanan yang kotor (Sumber: Hasil wawancara, 13 Januari 2012)

(51)

Pembangunan dalam perspektif hak asasi manusia dimaknai sebagai upaya pembangunan yang berpusat pada manusia, partisipatif, dan memperhatikan lingkungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi tetap dibutuhkan, akan tetapi proses pembangunan juga harus menjamin distribusi yang merata, peningkatan kemampuan manusia dan ditujukan untuk memperbanyak pilihan-pilihan bagi mereka. Pembangunan dilihat sebagai suatu proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif. Obyek pembangunan adalah kemajuan yang terus menerus pada kesejahteraan dari segenap penduduk dan individu yang didasarkan pada partisipasi bebas, aktif dan berarti dan mereka dalam proses pembangunan.

Penjelasan di atas sesuai dengan Pasal 28D ayat (2) UUD RI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa "setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Ketentuan tersebut mengafirmasi konstitusionalitas hak atas pekerjaan dan hak dalam bekerja sebagai HAM. Konsekusi dari pasal tersebut bahwa negara wajib memberikan fasilitas keterbukaan dan ketersediaan lapangan pekerjaan berikut juga memberikan ruang aktualisasi kehidupan bermartabat dalam dunia kerja yang dijalankan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk merealisasikan hak-hak tersebut dengan sebaik-baiknya.

(52)

di-PHK karena perusahaan sudah tidak mampu lagi membayar gaji karyawannya merupakan kenyataan yang dirasakan akibat terpuruknya roda perekonomian kita. Sementara kebutuhan menghidupi anak dan isteri, membayar sewa rumah, membayar rekening listrik, rekening air, membayar SPP sekolah anak merupakan beban tetap yang harus ditanggung oleh sebuah keluarga. Pemecahan masalah yang paling sederhana muncul dari pemikiran sekelompok masyarakat kecil (PKL) untuk bertahan hidup antara lain adalah berjualan mencari sedikit keuntungan dengan menjajakan berbagai jenis barang, makanan/minuman.

Menurut penjelasan Agus Pranata Siregar maka diketahui:

Penertiban PKL sebagai bagian dari kebijakan publik harus menimbulkan hasil yang dapat dinikmati terutama oleh kelompok sasaran. Oleh karena itu kebijakan itu harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, sebagai serangkaian tindakan yang direncanakan, ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat (Sumber: Hasil wawancara, 13 Januari 2012)

PKL adalah mereka yang dalam usahanya menggunakan sarana dan atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang serta mempergunakan tempat-tempat untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan bagi tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Dalam definisi defisit yang demikian maka tidak ada keharusan bagi Pemerintah Kota untuk menyediakan ruang tersendiri yang legal dan bermartabat bagi PKL.

(53)

Tabel 2. Pelaksanaan Tahapan Metode Kerja Pre Emtif Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung Tahun 2011

No Tahapan Metode Kerja Pre Emtif

Materi/Bentuk Tempat/Sasaran Waktu

1 Pemasangan spanduk Larangan bagi PKL untuk berjualan dengan cara membuka lapak, mendirikan bangunan baik permanen maupun tidak permanen

Enam titik lokasi di Komplek Pasar Bambu Kuning a) Sebelah utara

Jalan Batu Sangkar

b) Sebelah Selatan Jalan Batu Sangkar c) Sebelah Timur

Jalan Batu Sangkar d) Sebelah Barat

Jalan Batu Sangkar e) Bagian Muka

Pasar Bambu Kuning

f) Bagian Belakang Pasar Bambu Kuning Maret s.d. November 2011 2 Pelaksanaan sosialiasi/penyuluhan Pertemuan langsung dengan para pedagang Kaki Lima, dengan materi mengenai larangan berdagang bagi PKL di Pasar Bambu Kuning. Jumlah PKL yang hadir 684 PKL dari 893 PKL atau kehadiran PKL mencapai 76,56%.

Komplek Pasar Bambu Kuning (Halaman Depan Pasar Bambu Kuning)

Maret Mei Agustus November 2011

(54)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat penulis nyatakan bahwa implikasi tahap preemptif Penertiban PKL oleh Satuan Polisi Pamong Praja adalah berdampak baik atau bagi PKL, karena dengan adanya kegiatan penyuluhan atau pembinaan tersebut maka para PKL mengetahui adanya perlindungan hukum bagi PKL dan mengetahui kewajiban yang harus dipenuhi oleh PKL di Kota Bandar Lampung. Implikasi atau dampak yang baik atau positif ini merupakan hal yang diharapkan oleh para PKL sebab mereka yang sudah lama berjualan di Komplek Pasar Bambu Kuning merasakan bahwa hak-hak mereka sebagai pedagang, yaitu memperoleh rasa aman dan nyaman dalam berjualan untuk mendapatkan penghasilan dari usaha mereka sebagai Pedagang Kaki Lima.

B. Tahapan Preventif (Pencegahan)

Pada tahap ini Satuan Polisi Pamong Praja melakukan patroli dan penjagaan dalam rangka mencegah adanya pelanggaran Peraturan Daerah dan memberikan teguran lisan maupun tertulis para PKL yang mengganggu ketertiban di Pasar Bambu Kuning.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Hi. Cik Raden S.Pd. selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung maka diperoleh penjelasan:

Dalam tahapan preventif, pihak Satuan Polisi Pamong Praja berupaya untuk menghindari adanya kekerasan dengan para PKL (Sumber: Hasil wawancara, 11 Januari 2012)

(55)

Lampung Nomor 328/26/HK/2007. Tim mempunyai tugas mengawasi dan membina serta menertibkan masyarakat yang melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban umum dalam wilayah Kota Bandar Lampung. Susunan tim yang ada telah menunjukkan adanya koordinasi antara instasi yang terkait dengan menjaga keamanan suatu wilayah, hal ini dapat dilihat dari keterlibatan unsur Marinir, Poltabes, TNI-AD, Denpom 11/3 Lampung.

Pada dasarnya pelaksanaan penertiban PKL yang dilaksanakan oleh Satuan Poiisi Pamong Praja Kota Bandar lampung dilakukan dua macam pendekatan yaitu preventif dan represif. Preventif melalui penyuluhan, bimbingan serta pembinaan kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gangguan ketertiban umum. Wujud penertiban refresif melalui razia/operasi penertiban. Wujud pelaksanaan penertiban preventif dan represif tersebut sesuai dengan yang tersirat dalam Protap Opersional Satpol PP.

Menurut Drs. Hi. Cik Raden S.Pd, selaku Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung maka diketahui:

Penertiban juga dilakukan dengan memberikan teguran atau peringatan secara lisan maupun tertulis/surat. pemberian surat teguran ini bertajuan untuk mengingat Pedagang Kaki Lima untuk mencari lokasi baru atau menempati lokasi yang sudah disediakan sebelum diambil tindakan represif. (Sumber: Hasil wawancara, 11 Januari 2012)

(56)

Penyampaian surat teguran inilah yang nantinya memberikan legalitas bagi Satuan Polisi Pamong Praja untuk melakukan operasi penertiban atau tindakan represif non yustisial. Secara tertulis PP Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong memberikan wewenang urtuk melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Namun PP Nomor 32 Tahun 2004 ini tidak memberikan penjelasaii lebih lanjut atas bentuk tindakan represif tersebut. Sehingga terjadi kecenderungan dihampir semua Pemerintah Kota/Kabupaten bahwa tindakan represif yang dilakukan yaitu dengan membongkar lapak atau mengangkut gerobak Pedagang Kaki Lima yang melanggar peraturan daerah berdasarkan Surat Perintah Walikota.

Penertiban PKL dengan cara kekerasan cenderung menimbulkan permasalahan baru seperti pemindahan lokasi usaha PKL yang justru akan membawa dampak yang dikhawatirkan menurunnya tingkat pendapatan PKL tersebut bila dibandingkan dengan di lokasi asal karena lokasinya menjauh dari konsumen, adanya permasalahan perlawanan dari PKL karena tidak mau lokasi usahanya dipindahkan dan berbagai permasalahan ikutan lainnya yang timbul dari adanya penertiban tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Herman Karim diketahui:

(57)

Padahal, bila ditinjau lebih jauh PKL mempunyai kekuatan atau potensi yang besar dalam penggerak roda perekonomian kota sehingga janganlah dipandang sebelah mata bahwa PKL adalah biang ketidaktertiban wilayah perkotaan sehingga harus dilenyapkan dari lingkungan kota, tetapi bagaimana dengan potensi yang dimilikinya tersebut dapat diberdayakan sebagai suatu elemen pendukung aktivitas perekonomian kota. Langkah utama yang dapat ditempuh untuk memberdayakan keberadaan PKL ini adalah perlu adanya pengakuan secara resmi terhadap keberadaan PKL dalam rencana tata ruang kota.

Pertumbuhan PKL berimplikasi terhadap permasalahan ruang yang harus disediakan oleh kota, karena biasanya PKL menempati lokasi-lokasi yang sudah memiliki fungsi lain dengan kegiatan yang cukup tinggi yaitu area-area strategis perkotaan seperti pusat kota, trotoar sepanjang jalan, dan ruang publik yang ramai dilewati orang menjadi tempat pilihan PKL untuk mengembangkan usahanya sehingga pada akhirnya terjadilah penurunan kualitas ruang kota. Penurunan kualitas ruang kota ditunjukan oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga seolah-olah semua lahan kosong yang strategis maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak para PKL. Alasannya karena aksesibilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga adanya faktor aglomerasi (pengelompokkan) pedagang sejenis dengan sifat dan komoditas sama untuk lebih menarik minat pembeli.

(58)

demikian produk-produk rencana tata ruang kota haru bertujuan pemanfaatan ruang yang dapat menjangkau kepentingan seluruh masyarakat dan pemerintah, tidak semata-mata kepentingan pemerintah kota dengan alasan untuk mendapatkan keuntungan pemerintah kota yaitu peningkatan pendapatan asli daerah. Kondisi ini dapat dilihat pada wilayah perkotaan dengan adanya perubahan ruang terbuka atau ruang yang tidak produktif, pembangunan pada lokasi-loksi strategis menjadi bangunan-bangunan yang memiliki nilai kegiatan ekonomi (mall, ruko, pusat perdagangan).

Hal di atas menunjukan kurang berpihaknya pemerintah kota terhadap kegiatan sektor informal (dalam hal penempatan lokasi tempat usaha) yang menempati ruang kota terlebih dahulu dibandingkan dengan keberadaan bangunan-bangunan baru tersebut, sehingga menimbulkan kesan bahwa sektor informal merupakan kaum terpinggir (termarjinalkan) di areal perkotaan sehingga keberadaannya seperti tidak dihiraukan. Padahal sekali lagi ditekankan bahwa sektor informal tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan ekonomi kota. Hal ini nampaknya tidak dilihat oleh pembuat kebijakan di kota malah cenderung mengdiskreditkan keberadaan sektor ini.

Beberapa aspek yang menjadi fokus dalam tahapan preventif oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam melakukan patroli terhadap PKL adalah sebagai berikut: a. Memantau Persyaratan Perizinan PKL

Beberapa syarat izin yang harus dilengkapi oleh PKL dalam menjalankan usahanya adalah sebagai berikut:

(59)

(2) Membuat surat pernyataan belum memiliki tempat usaha.

(3) Membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menjaga ketertiban, keamanan, kesehatan, kebersihan, dan keindahan serta fungsi umum. (4) Membuat surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan lokasi

usaha apabila Pemerintah Kota akan mempergunakan untuk kepentingan umum yang lebih luas tanpa syarat apapun.

(5) Mendapatkan persetujuan dari pemilik/kuasa hak atas bangunan/tanah yang berbatasan langsung dengan jalan dan atau persil.

(6) Mendapatkan persetujuan dari pemilik/pengelola fasilitas umum, apabila menggunakan fasilitas umum.

b. Memantau Pelaksanaan Kewajiban Usaha PKL

Beberapa kewajiban PKL di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut: 1) Kewajiban menjaga kebersihan lingkungan

(a) PKL bertanggung jawab atas kebersihan lokasi dan sekitarnya baik sebelum, selama maupun setelah kegiatan dagang dilakukan.

(b) PKL dilarang membuang sampah dan air limbah disembarang tempat. (c) PKL harus menyediakan tempat guna menampung sementara sampah

dan air limbah yang timbul akibat kegiatan yang dilakukannya.

Gambar

Gambar 1.Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 1. Sosialiasi Internal Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar LampungTahun 2011
Tabel 3. Pelaksanaan Tahapan Metode Kerja Preventif Satuan Polisi Pamong PrajaKota Bandar Lampung Tahun 2011
Tabel 4. Pelaksanaan Tahapan Metode Kerja Represif oleh Satuan Polisi Pamong PrajaKota Bandar Lampung Tahun 2011
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini adalah Peran Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mojokerto dalam menata pedagang kaki lima yang menempati kawasan yang dilarang untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Padang Lawas Utara dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima

Peran Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sanggau dalam penertiban dan pembinaan Pedagang Kaki Lima belum maksimal dilaksanakan, hal ini dikarenakan beberapa

a) Produktivitas Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir kurang efektif. Hal ini dapat

Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan solusi yang dilakukan Polisi Pamong Praja dalam rangka Melakukan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kota Kediri Pilihan tema

Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan solusi yang dilakukan Polisi Pamong Praja dalam rangka Melakukan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kota Kediri Pilihan tema

Konsep kedua adalah penertiban , penertiban dilakukan bermaksud untuk meningkatkan kepatuhan oleh pedagang kaki lima yang liar terhadap peraturan daerah yang berlaku, akan tetapi

Maka penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Pelaksanaan Tugas Pokok Dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Rangka Penertiban Kegiatan Pedagang Kaki