• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN TANAMAN CABAI

TERHADAP INFEKSI

CHILLI VEINAL MOTTLE VIRUS

ZAHRATUL MILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007

Zahratul Millah

NIM A351030111

(3)

Key words : chillipepper, inheritance, resistance, chilli veinal mottle virus.

ABSTRACT

ZAHRATUL MILLAH. Inheritance Study of Resistance to Chilli Veinal Mottle Virus on chillipepper.Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT

One of the major problem in chillipepper production was virus infection, with Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) as one of the most important viruses in Asia. Strategy to manage virus infection is not easy. The use of resistant varieties was considered as the best strategy to control viral disease. Important steps in plant breeding for development of resistance varieties involved obtaining of resistance source and understanding genetic control of the trait.

The research was conducted in three stages: 1) Resistance evaluation of chillipepper to ChiVMV infection (2) development of genetic material for the inheritance study and (3) inheritance study and estimation the genetic control of chillipepper resistance to ChiVMV infection.

Evaluation for resistance was undergone to find resistant and susceptible parents for further inheritance study. This evaluation involve 14 genotypes from the collection of Genetic and Plant Breeding laboratory, Department of Agronomy and Horticultura. ChiVMV isolat Cikabayan was used for the source of inoculum. From this evaluation three genotypes were identified as resistant parents i.e. PBC495, VC211a-3-1-1-1 and CCA321, and only one genotype was identified as susceptible parent.

Basic population for genetic materials in inheritance study was developed. This population consisted of: P1 (resistant parent), P2 (susceptible parent), F1

(filial of cross between resistant and susceptible parent), F1R (filial of reciprocal

cross), BC1P1 (filial of backcross with resistant parent), BC1P2 (filial of backcross

with susceptible parent) and F2 (second filial of the cross) populations.

Following the 1st and 2nd experiments above, inheritance study for chillipepper resistance to ChiVMV infection was conducted. On this study, 6 generations population from the cross between PBC495 and ICPN12#4 was used. Disease incidence (DI) and score of absorbance value at λ 405 nm were used as variables for resistance response.

(4)

Kata kunci : cabai, pewarisan, ketahanan, chilli veinal mottle virus.

ZAHRATUL MILLAH. Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus. Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT

Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) merupakan salah satu kendala utama dalam produksi cabai. Pengendalian secara konvensional terhadap ChiVMV seringkali tidak efisien. Metode pengendalian yang paling praktis dan dapat diharapkan keberhasilannya adalah dengan menggunakan kultivar tahan. Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan dan mengetahui kendali genetik dari karakter ketahanan tersebut.

Penelitian terdiri atas 3 tahapan, yaitu: (1) Evaluasi respons ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV (2) pembentukan materi kegenetikaan, (3) studi pola pewarisan dan pendugaan komponen genetik ketahanan cabai terhadap infeksi ChiVMV.

Penelitian tahap pertama bertujuan mendapatkan tetua tahan dan tetua rentan untuk studi pola pewarisan. Pada percobaan ini telah dievaluasi 14 genotipe cabai, koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB, dengan ChiVMV isolat Cikabayan. Berdasarkan respon dari dua kali evaluasi pada genotipe terpilih didapatkan tetua tahan yaitu genotipe PBC495, VC211a-1-1-1 dan CCA321 serta tetua rentan yaitu ICPN12#4 .

Kegiatan penelitian tahap kedua bertujuan untuk pembentukan populasi dasar sebagai bahan untuk studi pola pewarisan, yaitu populasi P1 (tetua tahan), P2 (tetua rentan), F1 (hasil persilangan antara tetua tahan dan tetua rentan), F1R

(hasil persilangan resiprok), BC1P1 (silang balik dengan tetua tahan), BC1P2

(silang balik dengan tetua rentan) dan F2 (keturunan kedua hasil persilangan).

Tahapan ketiga penelitian bertujuan untuk mempelajari pola pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap infeksi ChiVMV. Pada tahapan ini digunakan populasi enam generasi hasil persilangan PBC495 dengan ICPN12#4, dengan peubah ketahanan indeks gejala dan nilai absorban.

(5)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(6)

TERHADAP INFEKSI

CHILLI VEINAL MOTTLE VIRUS

ZAHRATUL MILLAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul

Pewarisan Karakter Ketahanan Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan, kritik, saran dan dukungan moril hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor, Dekan dan Ketua Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan izin untuk melanjutkan program master, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan dana melalui BPPS Dikti, Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat selaku ketua Tim Program Kerjasama Faperta IPB- AVRDC atas dukungan dana penelitiannya serta selaku Kepala Laboratorium Virologi Dept. Proteksi Tanaman IPB atas fasilitas penelitian yang diberikan, Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Dept. AGH IPB atas bantuan bahan genetik dan fasilitas di Labdik. Pemuliaan Tanaman, dan kepada Pemprov Banten atas bantuan dana melalui program bantuan biaya penelitian Dispenda Prov. Banten.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada asisten laboratorium, asisten kebun, rekan-rekan penulis dan adik-adik mahasiswa baik di Laboratorium Virologi Tumbuhan maupun di Labdik. Pemuliaan Tanaman yang telah berbagi ilmu, materi penelitian, pengalaman dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian dan menyusun tesis ini.

Kepada kedua orang tua, kakanda dan adik-adik tercinta, serta kepada ayah dan ibu mertua beserta segenap keluarga besar atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya penulis haturkan ucapan terimakasih.

Untuk anak-anak tersayang, Arifa Khairunnisa dan Batrisyia Khairunnisa, bunda mohon maaf atas waktu dan perhatian bunda untuk kalian yang banyak tersita demi menyelesaikan studi bunda. Kepada suami tersayang, Ir. Khairul M. Lubis MM., adek ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala doa, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materiil serta segenap pengorbanan yang diberikan selama ini.

Terakhir penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman di komplek IPB II, atas jalinan persaudaraan yang diberikan, semoga jalinan ini tak akan lekang oleh jarak dan waktu, serta kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan doa, bantuan, dorongan, kritik dan sarannya selama penulis kuliah dan menyelesaikan penelitian.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaaat dan memberikan tambahan informasi, khususnya dalam usaha pemuliaan tanaman cabai.

Bogor, Desember 2007

(10)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1977 sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari ayah H. Zahruddin Zen BA dan ibu Hj. Ifah Hanifah BA. Penulis menikah dengan Ir. Khairul M Lubis, MM. pada tanggal 18 Januari 2004 dan telah dikaruniai dua orang putri, Arifa Khairunnisa dan Batrisyia Khairunnisa.

Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan penulis di Jakarta pada tahun 1996. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di program studi Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran melalui jalur SPMB dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB.

(11)

PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN TANAMAN CABAI

TERHADAP INFEKSI

CHILLI VEINAL MOTTLE VIRUS

ZAHRATUL MILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007

Zahratul Millah

NIM A351030111

(13)

Key words : chillipepper, inheritance, resistance, chilli veinal mottle virus.

ABSTRACT

ZAHRATUL MILLAH. Inheritance Study of Resistance to Chilli Veinal Mottle Virus on chillipepper.Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT

One of the major problem in chillipepper production was virus infection, with Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) as one of the most important viruses in Asia. Strategy to manage virus infection is not easy. The use of resistant varieties was considered as the best strategy to control viral disease. Important steps in plant breeding for development of resistance varieties involved obtaining of resistance source and understanding genetic control of the trait.

The research was conducted in three stages: 1) Resistance evaluation of chillipepper to ChiVMV infection (2) development of genetic material for the inheritance study and (3) inheritance study and estimation the genetic control of chillipepper resistance to ChiVMV infection.

Evaluation for resistance was undergone to find resistant and susceptible parents for further inheritance study. This evaluation involve 14 genotypes from the collection of Genetic and Plant Breeding laboratory, Department of Agronomy and Horticultura. ChiVMV isolat Cikabayan was used for the source of inoculum. From this evaluation three genotypes were identified as resistant parents i.e. PBC495, VC211a-3-1-1-1 and CCA321, and only one genotype was identified as susceptible parent.

Basic population for genetic materials in inheritance study was developed. This population consisted of: P1 (resistant parent), P2 (susceptible parent), F1

(filial of cross between resistant and susceptible parent), F1R (filial of reciprocal

cross), BC1P1 (filial of backcross with resistant parent), BC1P2 (filial of backcross

with susceptible parent) and F2 (second filial of the cross) populations.

Following the 1st and 2nd experiments above, inheritance study for chillipepper resistance to ChiVMV infection was conducted. On this study, 6 generations population from the cross between PBC495 and ICPN12#4 was used. Disease incidence (DI) and score of absorbance value at λ 405 nm were used as variables for resistance response.

(14)

Kata kunci : cabai, pewarisan, ketahanan, chilli veinal mottle virus.

ZAHRATUL MILLAH. Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus. Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT

Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV) merupakan salah satu kendala utama dalam produksi cabai. Pengendalian secara konvensional terhadap ChiVMV seringkali tidak efisien. Metode pengendalian yang paling praktis dan dapat diharapkan keberhasilannya adalah dengan menggunakan kultivar tahan. Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan dan mengetahui kendali genetik dari karakter ketahanan tersebut.

Penelitian terdiri atas 3 tahapan, yaitu: (1) Evaluasi respons ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV (2) pembentukan materi kegenetikaan, (3) studi pola pewarisan dan pendugaan komponen genetik ketahanan cabai terhadap infeksi ChiVMV.

Penelitian tahap pertama bertujuan mendapatkan tetua tahan dan tetua rentan untuk studi pola pewarisan. Pada percobaan ini telah dievaluasi 14 genotipe cabai, koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB, dengan ChiVMV isolat Cikabayan. Berdasarkan respon dari dua kali evaluasi pada genotipe terpilih didapatkan tetua tahan yaitu genotipe PBC495, VC211a-1-1-1 dan CCA321 serta tetua rentan yaitu ICPN12#4 .

Kegiatan penelitian tahap kedua bertujuan untuk pembentukan populasi dasar sebagai bahan untuk studi pola pewarisan, yaitu populasi P1 (tetua tahan), P2 (tetua rentan), F1 (hasil persilangan antara tetua tahan dan tetua rentan), F1R

(hasil persilangan resiprok), BC1P1 (silang balik dengan tetua tahan), BC1P2

(silang balik dengan tetua rentan) dan F2 (keturunan kedua hasil persilangan).

Tahapan ketiga penelitian bertujuan untuk mempelajari pola pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap infeksi ChiVMV. Pada tahapan ini digunakan populasi enam generasi hasil persilangan PBC495 dengan ICPN12#4, dengan peubah ketahanan indeks gejala dan nilai absorban.

(15)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(16)

TERHADAP INFEKSI

CHILLI VEINAL MOTTLE VIRUS

ZAHRATUL MILLAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)
(18)
(19)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul

Pewarisan Karakter Ketahanan Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan, kritik, saran dan dukungan moril hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor, Dekan dan Ketua Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan izin untuk melanjutkan program master, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan dana melalui BPPS Dikti, Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat selaku ketua Tim Program Kerjasama Faperta IPB- AVRDC atas dukungan dana penelitiannya serta selaku Kepala Laboratorium Virologi Dept. Proteksi Tanaman IPB atas fasilitas penelitian yang diberikan, Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Dept. AGH IPB atas bantuan bahan genetik dan fasilitas di Labdik. Pemuliaan Tanaman, dan kepada Pemprov Banten atas bantuan dana melalui program bantuan biaya penelitian Dispenda Prov. Banten.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada asisten laboratorium, asisten kebun, rekan-rekan penulis dan adik-adik mahasiswa baik di Laboratorium Virologi Tumbuhan maupun di Labdik. Pemuliaan Tanaman yang telah berbagi ilmu, materi penelitian, pengalaman dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian dan menyusun tesis ini.

Kepada kedua orang tua, kakanda dan adik-adik tercinta, serta kepada ayah dan ibu mertua beserta segenap keluarga besar atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya penulis haturkan ucapan terimakasih.

Untuk anak-anak tersayang, Arifa Khairunnisa dan Batrisyia Khairunnisa, bunda mohon maaf atas waktu dan perhatian bunda untuk kalian yang banyak tersita demi menyelesaikan studi bunda. Kepada suami tersayang, Ir. Khairul M. Lubis MM., adek ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala doa, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materiil serta segenap pengorbanan yang diberikan selama ini.

Terakhir penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman di komplek IPB II, atas jalinan persaudaraan yang diberikan, semoga jalinan ini tak akan lekang oleh jarak dan waktu, serta kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan doa, bantuan, dorongan, kritik dan sarannya selama penulis kuliah dan menyelesaikan penelitian.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaaat dan memberikan tambahan informasi, khususnya dalam usaha pemuliaan tanaman cabai.

Bogor, Desember 2007

(20)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1977 sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari ayah H. Zahruddin Zen BA dan ibu Hj. Ifah Hanifah BA. Penulis menikah dengan Ir. Khairul M Lubis, MM. pada tanggal 18 Januari 2004 dan telah dikaruniai dua orang putri, Arifa Khairunnisa dan Batrisyia Khairunnisa.

Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan penulis di Jakarta pada tahun 1996. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di program studi Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran melalui jalur SPMB dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB.

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiii

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ……….. 1

Tujuan Penelitian ...…...………... 4

Hipotesis ………...……… 4

Manfaat Penelitian ………. 4

TINJAUAN PUSTAKA ……….…. 6

Syarat Tumbuh Tanaman Cabai ………... 6

Biologi Tanaman Cabai ………... 7

Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ……….... 8

Virus Sebagai Patogen Tanaman ………... 9

Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV) ….………... 10

Pemuliaan untuk Ketahanan Tanaman terhadap Virus ……..… 11

BAHAN DAN METODE PENELITIAN .………... 21

Tempat dan Waktu Penelitian ……...……… 21

Bahan dan Alat ..………. 21

Metode Penelitian ……..………... 21

Pelaksanaan Percobaan ……..………... 26

Analisis Data ………. 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 39

Respon Ketahanan Beberapa Genotipe Cabai koleksi terhadap infeksi ChiVMV ………... 39

Pembentukan Materi Kegenetikaan ... 42

Pola Pewarisan Karakter Ketahanan terhadap ChiVMV ……... 42

SIMPULAN DAN SARAN ……….... 51

Simpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ………... 53

(22)

Halaman

1. Interaksi antara gen tanaman inang dan gen virus ……… 13

2. Penentuan indeks gejala pada tanaman cabai yang terinfeksi

ChiVMV ……….. 29

3.. Penentuan peringkat ketahanan tanaman cabai terhadap ChiVMV.. 29

4. Penentuan skor titer virus berdasarkan nisbah nilai absorban dari sampel tanaman cabai yang diinokulasi oleh ChiVMV ... 30

5. Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio (hp) .. 32

6. Koefisien komponen genetik dalam Joint Scaling Test ... 36

7. Hasil evaluasi respon ketahanan cabai terhadap infeksi ChiVMV tahap I ... 39

8. Hasil evaluasi respon ketahanan cabai terhadap infeksi ChiVMV tahap II ... 41

9. Koefisien korelasi antara peubah kejadian penyakit, intensitas gejala dan titer virus ... 41

10. Nilai rata-rata, galat baku, hasil uji beda nilai tengah (Uji T) dan hasil uji kehomogenan ragam (Uji F) dari peubah indeks gejala dan peubah titer virus populasi F1 dan F1 resiprok ...

42

11. Nilai rata-rata dan galat baku peubah indeks gejala dan titer virus dari populasi P1, P2 dan F1, serta nilai potensi rasio dari kedua

peubah ... 43

12. Hasil uji kesesuaian sebaran frekuensi ketahanan terhadap ChiVMV berdasarkan indeks gejala pada populasi F2 dan BC1P2

dengan hipotesis histogram berpuncak dua terhadap beberapa model nisbah Mendel ...

46

13. Hasil uji kesesuaian sebaran frekuensi ketahanan terhadap ChiVMV berdasarkan skor titer virus pada populasi F2 dengan

hipotesis histogram berpuncak dua terhadap beberapa model nisbah Mendel ... 48

14. Uji skala individu dan skala gabungan kesesuaian model aditif dominan untuk peubah titer virus ... 49

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan Alir Penelitian Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Virus ... 22 2. Teknik Persilangan Buatan pada Cabai .……… 24

3. Teknik inokulasi virus secara mekanik ………. 27

4. Tipe Gejala Infeksi ChiVMV ……….. 28

5. Skema posisi relatif nilai rata-rata F1 terhadap nilai rata-rata tetua

tahan (P1) dan tetua rentan (P2) serta nilai tengah kedua tetua

(MP) ………... 43

6. Histogram sebaran frekuensi tanaman berdasarkan indeks gejala pada populasi P1, P2, F1, BC1P1, BC1P2 dan F2 ……….. 45

7. Sebaran frekuensi tanaman berdasarkan titer virus pada populasi P1, P2, F1, BC1P1, BC1P2 dan F2 ………. 47

8. Sebaran frekuensi tanaman berdasarkan titer virus pada populasi

F2 ………..….. 47

(24)

Halaman

1. Daftar galur cabai merah yang digunakan ………... 58

2. Penampilan buah dari delapan genotipe cabai yang dievaluasi pada tahap II ... 59 3. Genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV berdasarkan hasil

evaluasi respon ketahanan: A. PBC495; B. VC211a-3-1-1-1; C.

CCA321 ………. 60

4. Genotipe ICPN12#4 yang rentan terhadap ChiVMV berdasarkan hasil evaluasi respon ketahanan ... 60

5. Buah dari masing-masing generasi keturunan persilangan genotype PBC495 dengan ICPN12#4 ... 61 6. Uji normalitas sebaran frekuensi populasi F2 untuk peubah titer

virus ………... 61

(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu tanaman ekonomis penting

di dunia dan telah dibudidayakan secara meluas (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Kegunaannya yang beragam menjadikan cabai sebagai salah satu komoditas

andalan yang bernilai ekonomis tinggi. Selain dimanfaatkan sebagai bumbu

masak pada skala rumah tangga, cabai juga digunakan sebagai bahan campuran

dalam berbagai industri pengolahan makanan dan minuman, serta untuk

pembuatan obat-obatan dan kosmetik (Duriat 1996a; Suwandi et al. 2002).

Kandungan vitamin A dan C pada buah cabai yang cukup tinggi merupakan

nilai tambah dari komoditas ini (Kalloo 1988; Rubatzky dan Yamaguchi 1997;

Kusandriani 1996). Rata-rata setiap 100 g buah cabai mengandung 58 kilo kalori,

2.8 g protein, 2.3 g lemak dan 6.6 g karbohidrat, 3 mg kalsium, 18 mg fosfor, 1.3

mg zat besi, 10 000 IU vitamin A dan 16 mg vitamin C (Thai Horticulture 2006).

Sejalan dengan kebutuhan manusia dan teknologi yang semakin

berkembang, permintaan akan ketersediaan cabai semakin meningkat. Sayangnya

peningkatan ini belum diikuti oleh produktivitas nasional cabai yang masih

tergolong rendah. Produktivitas nasional cabai pada tahun 2004 hanya sebesar

6.49 ton/ha dan bahkan mengalami penurunan menjadi 6.39 ton/ha pada tahun

2005 (Deptan 2006). Nilai ini masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi

produksi nasional yang dapat mencapai 18 ton/ha (Kusandriani 1996).

Salah satu kendala utama dalam produksi cabai adalah penyakit yang

disebabkan oleh virus. Diketahui terdapat sekitar 45 jenis virus yang dapat

menyerang tanaman cabai (Duriat 1996b). Salah satu virus yang cukup penting

secara ekonomi, yang mengganggu budidaya tanaman cabai adalah chilli veinal

mottle virus (ChiVMV).

ChiVMV merupakan satu dari lima virus yang paling sering menyerang

cabai di Asia (Yoon 1987, diacu dalam Duriat et al. 1995b). Laporan tahunan

AVRDC (2003) menyatakan bahwa ChiVMV adalah virus paling penting yang

menyerang cabai di Asia subtropis dan tropis, dimana virus ini terdapat di 10 dari

(26)

Di Indonesia, keberadaan ChiVMV telah dilaporkan oleh Duriat et al. pada

tahun 1989 (Sulyo et al. 1995). Berdasarkan hasil survei lapangan yang dilakukan

Taufik et al. (2005) pada 11 lokasi survei yang menyebar di Jawa dan Sulawesi

Selatan dibuktikan bahwa penyebaran ChiVMV di Indonesia cukup luas. Virus ini

selalu ditemukan pada setiap pertanaman cabai yang diamati.

Infeksi ChiVMV pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun

yang diikuti dengan distorsi, serta produksi buahnya lebih sedikit dan lebih kecil

(Shah dan Khalid 2001). Selain itu, akibat infeksi virus ini telah dilaporkan dapat

menyebabkan kehilangan hasil hingga 100% (AVRDC 2003). Ong et al. (1980),

diacu dalam Ang (1995) melaporkan bahwa ChiVMV tidak hanya mengurangi

keseluruhan hasil, tetapi juga kualitas dari buah cabai.

ChiVMV dapat menimbulkan gejala yang bervariasi pada daun tanaman

cabai yang terinfeksi. Gejala pada daun cabai dapat berupa bercak berwarna hijau

tua yang tidak beraturan (belang) dan penebalan tulang daun, permukaan daun

tidak rata, daun menjadi lebih kecil dan kadang diikuti dengan malformasi daun

serta tanaman menjadi kerdil (Siriwong et al. 1995). Keparahan penyakit pada

tanaman tergantung pada kultivar dan waktu infeksi (Chiemsombat dan

Kittipakorn 1996; CABI 2000).

Penyakit yang disebabkan oleh virus pada umumnya sulit dikendalikan.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) tanaman yang terinfeksi

tidak dapat disembuhkan dan dapat menjadi sumber inokulum untuk tanaman

disekitarnya; (2) kebanyakan penularan virus di alam terjadi melalui kutu daun

dan bersifat non persisten (Palukaitis et al. 1992); (3) virus umumnya memiliki

kisaran inang yang luas (Matthews 1991) sehingga target pengendalian menjadi

lebih sulit karena penyebaran virus ke seluruh areal pertanaman dapat berlangsung

dalam waktu singkat; dan (4) virus umumnya memiliki keragaman genetik yang

tinggi yang ditunjukkan oleh banyaknya strain virus tersebut yang dapat

menimbulkan gejala atau keparahan penyakit yang berbeda-beda (Palukaitis et al.

1992).

Pengendalian secara konvensional terhadap ChiVMV seringkali tidak

efisien, karena penyebarannya yang sangat cepat secara non-persisten melalui

(27)

3

keberhasilannya adalah dengan menggunakan kultivar tahan (Green dan Kim

1994). Strategi pengendalian penyakit menggunakan kultivar tahan cukup

menjanjikan karena murah, aman dan tidak mencemari lingkungan, tidak

memerlukan keterampilan khusus bagi petani dan dapat mengendalikan virus

kapanpun (Fraser 1992; Duriat 1996b).

Diantara tujuan pemuliaan tanaman cabai di Indonesia adalah perbaikan

daya ketahanan cabai terhadap penyakit. Evaluasi ketahanan beberapa kultivar

cabai terhadap ChiVMV telah beberapa kali dilakukan, namun informasi tentang

pewarisan karakter ketahanan terhadap ChiVMV pada cabai masih sangat sedikit.

Chew dan Ong (1990), diacu dalam Shah dan Khalid (2001) melaporkan

bahwa sepasang gen resesif memberikan ketahanan kepada genotipe-genotipe

terhadap infeksi ChiVMV. Menurut Chew (1993), diacu dalam Green dan Kim

(1994) ketahanan terhadap ChiVMV dikendalikan oleh sepasang gen resesif

(kemungkinan sejumlah gen resisten independen terlibat). Sementara Caranta dan

Palloix (1995) melaporkan bahwa ketahanan terhadap ChiVMV berdasarkan

pengujian terhadap keturunan F1 double haploid hasil persilangan cabai perennial

India dengan “Yolo wonder” dikendalikan oleh dua gen independen, dengan efek

dominan yang jelas.

Informasi tentang pewarisan suatu karakter yang meliputi ada tidaknya efek

maternal, jumlah gen pengendali, aksi gen dan heritabilitas adalah sangat penting

dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman selanjutnya agar perbaikan

karakter tersebut menjadi lebih efektif. Dengan mengetahui pola pewarisan suatu

karakter pada tanaman akan memungkinkan bagi kita untuk mengendalikan

pewarisan tanaman dan membentuk tipe baru (Hermiati 2000).

Pada tanaman cabai, ketahanan terhadap ChiVMV dilaporkan telah

ditemukan pada galur tertentu spesies C. annuum, C. frustecens dan C. chinensis

(Green dan Kim 1994). Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa tingkat

ketahanan terhadap ChiVMV antar genotipe cabai tidak sama. Hal ini

menunjukkan adanya variabilitas genetik ketahanan terhadap ChiVMV pada

(28)

Melalui pesilangan antara genotipe cabai yang berbeda karakter

ketahanannya diharapkan mampu memperlihatkan model pewarisannya

berdasarkan sebaran fenotipe pada keturunan F2-nya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Mengevaluasi respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi

ChiVMV

2. Mengetahui ada tidaknya efek maternal dalam pewarisan karakter ketahanan

terhadap ChiVMV

3. Menduga jumlah dan aksi gen yang mengendalikan karakter ketahanan

terhadap ChiVMV

4. Menduga nilai heritabilitas dari karakter ketahanan terhadap ChiVMV

Hipotesis

1. Terdapat respon ketahanan yang berbeda dari genotipe cabai terhadap infeksi

ChiVMV

2. Tidak terdapat efek maternal pada pewarisan karakter ketahanan terhadap

ChiVMV

3. Pewarisan karakter ketahanan terhadap ChiVMV pada tanaman cabai

dikendalikan oleh sedikit gen dengan aksi gen sederhana (simple genic)

4. Nilai duga heritabilitas karakter ketahanan terhadap ChiVMV ini adalah

tinggi.

Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai:

1. Derajat ketahanan beberapa genotipe cabai koleksi yang diuji terhadap infeksi

ChiVMV.

2. Peubah yang efektif untuk seleksi ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi

ChiVMV

3. Kendali genetik pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi

(29)

5

Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam menentukan

strategi pemuliaan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan kultivar cabai

(30)

Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Tanaman cabai dapat ditanam mulai dari ketinggian permukaan laut hingga

13.000 m. Tanaman ini memerlukan cuaca yang panas untuk pertumbuhannya.

Suhu siang yang ideal untuk pertumbuhan tanaman cabai rata-rata adalah 20oC

hingga 25oC. Pertumbuhan tanaman meningkat ketika suhu malam tidak melebihi

20oC. Bunga tidak terbuahi pada suhu udara di bawah 16°C atau di atas 32°C

karena produksi tepung sari yang tidak baik. Pembungaan dan pembuahan akan

optimum pada suhu antara 20oC dan 25oC (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah,

karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit, terutama

yang disebabkan oleh cendawan. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan

tanaman cabai adalah sekitar 600-1250 mm per tahun (Sumarni 1996).

Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal drainase dan

aerasi tanah cukup baik. Bila diharapkan panen yang lebih cepat, cabai sebaiknya

ditanam pada tanah lempung berpasir. Bila diharapkan panen lebih lambat cabai

lebih cocok ditanam pada tanah yang lebih berat atau tanah liat. Tanah juga harus

mengandung cukup bahan organik, unsur hara, dan air, serta bebas dari gulma,

nematoda dan bakteri layu. Tingkat kemasaman (pH) tanah: 5.5-6,8 merupakan

keadaan yang baik untuk tanaman cabai (Knott dan Deanon 1970; Knott 1962,

diacu dalam Sumarni 1996). Keadaan pH tanah sangat penting karena erat

kaitannya dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Apabila ditanam pada

tanah yang mempunyai pH lebih dari 7, tanaman cabai akan menunjukkan gejala

klorosis, yakni tanaman kerdil dan daun menguning yang disebabkan oleh

kekurangan unsur hara besi (Fe). Sebaliknya, pada tanah yang ber-pH kurang dari

5, tanaman cabai juga akan tumbuh kerdil, karena kekurangan unsur hara kalsium

(Ca) dan magnesium (Mg) atau keracunan alumunium (Al) dan mangan (Mn)

(Knott 1962, diacu dalamSumarni1996).

Tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah yang mengandung

bahan organik sekurang-kurangnya 1.5% dan mempunyai pH 6.0-6.5. Suhu tanah

juga merupakan faktor penting karena sangat erat hubungannya dengan

(31)

7

peningkatan suhu tanah dari 13.3oC menjadi 14.4°C dapat meningkatkan produksi

buah cabai (Knott dan Deanon 1970, diacu dalamSumarni,1996).

Biologi Tanaman Cabai

Cabai termasuk tanaman dikotil berbentuk semak, batangnya berkayu, tipe

percabangannya tegak atau menyebar dengan karakter yang berbeda-beda

tergantung spesiesnya. Struktur perakarannya diawali dari akar tunggang yang

sangat kuat, yang bercabang-cabang ke samping dengan akar rambut. Pola

pertumbuhannya vegetatif berupa percabangan-percabangan dikotomi dari batang

utama dan tunas-tunas lateralnya. Daun cabai merupakan daun tunggal dengan

helai daun berbentuk bulat telur lebar atau lanset. Daun berwarna hijau atau hijau

tua, tumbuh pada tunas-tunas samping berurutan, pada batang utama dan tunggal

tersusun secara spiral (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Bunga tanaman cabai umumnya bersifat tunggal dan tumbuh pada ujung

ruas, serta merupakan bunga sempurna (hermaprodit). Mahkota bunga berwarna

putih atau ungu tergantung kultivarnya, helaian mahkota bunga berjumlah lima

atau enam helai. Diameter mahkota bunga antara 8 – 15 mm, tergantung pada

spesiesnya. Pada dasar bunga terdapat daun buah berjumlah lima helai,

kadang-kadang bergerigi. Setiap bunga memiliki satu putik (stigma), dengan kepala putik

berbentuk bulat. Terdapat lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala

sari berbentuk lonjong, berwarna biru keunguan (Greenleaf 1986; Kusandriani

1996).

Pada saat bunga mekar, kotak sari masak dan dalam waktu relatif singkat

tepung sari keluar mencapai kepala putik dengan perantaraan serangga atau angin.

Tepung sari berbentuk lonjong, terdiri dari tiga segmen, berwarna kuning

mengkilat. Dalam satu kotak sari berkembang sekitar 11.000 sampai 18.000 butir

tepung sari. Tepung sari umumnya mempunyai ukuran hampir sama antar kultivar

(Kusandriani 1996).

Ukuran buah cabai beragam dari pendek sampai panjang, sedangkan

ujungnya runcing atau tumpul. Bentuk buah umumnya memanjang. Kedudukan

buah adalah buah tunggal pada masing-masing ruas (ketiak daun) atau

kadang-kadang fasciculate. Permukaan kulit dan warna buah bervariasi dari halus sampai

(32)

kadang-kadang ungu pada waktu muda dan menjadi merah waktu matang (Greenleaf

1986; Kusandriani 1996).

Buah cabai berongga dengan jumlah rongga bergantung pada kultivarnya. Di

dalam rongga buah terdapat plasenta tempat melekatnya biji. Ukuran rongga buah

berbeda-beda tergantung ukuran buah. Daging buah renyah, tetapi kadang-kadang

lunak tergantung pada kultivarnya. Buah mengandung banyak biji yang terletak di

dalam buah, melekat pada plasenta. Umumnya biji cabai berwarna putih

kekuningan berbentuk ginjal dan keras, kecuali biji C. pubescens yang berwarna

hitam (Kusandriani 1996).

Cabai termasuk tanaman yang menyerbuk sendiri, meskipun demikian

penyerbukan silang dapat terjadi di lapangan, terutama oleh serangga dan angin.

Di antara kultivar-kultivar cabai terdapat perbedaan dalam hal letak kepala putik

terhadap kotak sari yang disebut heterostyly. Persilangan sering terjadi pada bunga

yang memiliki tangkai putik (stylus) yang panjang dan kepala putik (stigma) yang

lebih tinggi daripada kotak sari. Penyerbukan sendiri terjadi pada bunga yang

memiliki tangkai putik yang pendek, sehingga letak kepala putik lebih rendah

daripada kotak sari (Greenleaf 1986; Kusandriani 1996).

Protogyny, yaitu fase dimana putik mencapai masa siap dibuahi (receptive)

sebelum tepung sari (pollen) masak, terjadi pada beberapa spesies cabai. Hal ini

penting dalam mencegah terjadinya penyerbukan silang untuk menjaga kemurnian

varietas cabai (Kusandriani 1996).

Kemampuan bersilang antar spesies (species crossability) bervariasi,

walaupun semua populasi alami adalah diploid dengan jumlah kromosom 2n = 2x

= 24. Namun demikian, pada persilangan antar spesies tertentu terdapat halangan

(barrier) (Greenleaf 1986; Kusandriani 1996).

Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

Hama dan penyakit adalah kendala biologis yang sering dihadapi dalam

usahatani cabai. Hama yang paling sering merugikan meliputi trip (Thrips

parvispinus Karny), tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks.) dan kutu daun

(Myzus parsicae Sulz. dan Aphis gossypii) (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Penyakit yang sangat merugikan dan merupakan kendala biologis terpenting

(33)

9

gloeosporioides. Patogen ini mulai menyerang saat buah menjelang matang dan

seringkali menjadi penyakit pascapanen (Black et al. 1991).

Selain cendawan, patogen lain yang seringkali sangat merugikan usahatani

cabai adalah virus (Black et al. 1991). Diketahui terdapat sekitar 45 jenis virus

yang dapat menyerang tanaman cabai (Duriat 1996b). Berbeda dengan antraknosa

yang serangan awalnya terjadi pada buah, virus terutama menyerang bagian

vegetatif tanaman. Oleh karena itu serangan virus pada perkembangan awal

tanaman dapat menyebabkan kerugian hingga 100% (Green dan Kim 1991).

Virus sebagai Patogen Tanaman

Virus adalah satu unit molekul asam nukleat yang biasanya terbungkus

dalam protein atau lipoprotein pembungkus, berukuran sangat kecil, dapat

berreplikasi hanya di dalam sel inang yang sesuai, dan berkemampuan

menyebabkan penyakit (Matthews 1991). Dari 2000 virus yang telah diketahui,

seperempatnya dapat menyerang dan menyebabkan penyakit pada tumbuhan.

Virus menyebabkan penyakit tidak dengan cara mengkonsumsi sel atau

membunuhnya dengan toksin, tetapi dengan menggunakan substansi sel inang,

mengisi ruangan dalam sel dan mengganggu proses dan komponen seluler, yang

selanjutnya mengacaukan metabolisme sel dan menyebabkan kondisi dan

substansi sel abnormal yang mengganggu fungsi dan kehidupan sel atau

organisme (Agrios 1997).

Virus masuk ke dalam jaringan tumbuhan antara lain melalui luka yang

dibuat secara mekanik atau oleh vektor atau masuk ke dalam ovule bersama

tepung sari yang terinfeksi. Infektivitas virus sangat ditentukan oleh bagian asam

nukleatnya, yang pada sebagian besar virus tumbuhan berupa RNA. Beberapa

jenis virus tumbuhan membutuhkan enzim RNA transkriptase untuk

memperbanyak diri dan menginfeksi. Kemampuan RNA virus memproduksi baik

RNAnya sendiri maupun protein tertentu, menunjukkan bahwa RNA membawa

faktor genetik tertentu (Matthews 1991; Bos 1994).

lnfeksi tanaman oleh virus terjadi jika virus mampu memperbanyak diri di

dalam sel awal yang terinfeksi dan mampu pindah dari sel yang satu ke sel yang

lain sehingga menyebar secara sistemik di dalam jaringan tanaman (Mathews

(34)

merupakan penghubung antar sel. Perpindahan melalui plasmodesmata tersebut

terjadi antara lain dengan bantuan movement proteins (MPs) yang berfungsi

meningkatkan ukuran plasmodesmata dan mengikat RNA virus untuk melewati

plasmodesmata. Adanya MPs tersebut menyebabkan virus dapat melewati

plasmodesmata walaupun diameter virus lebih besar daripada diameter

plasmodesmata. Sebagian besar virus dapat dengan cepat terangkut dalam jarak

jauh melalui floem. Apabila virus telah masuk ke dalam floem, maka selanjutnya

virus tersebut dengan cepat menuju titik tumbuh atau menuju daerah pemanfaatan

bahan makanan seperti umbi dan rhizome (Agrios 1997; Mathews 1991).

Chilli Veinal Mottle Virus (ChiVMV)

Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) adalah virus paling penting yang

menyerang cabai di Asia subtropis dan tropis, dimana virus ini terdapat di 10 dari

11 negara yang disurvei (AVRDC 2002). Hasil survei lapangan yang dilakukan

Taufik et al. (2005a) pada 11 lokasi yang menyebar di Jawa dan Sulawesi Selatan

membuktikan bahwa penyebaran ChiVMV di Indonesia cukup luas. Virus ini

selalu ditemukan pada setiap pertanaman cabai yang diamati.

ChiVMV tergolong ke dalam genus Potyvirus, famili Potyviridae. Potyvirus

merupakan kelompok terbesar diantara virus-virus yang menyerang tanaman

(Agrios 1997). Partikel virus berbentuk filamen, tidak beramplop dan lentur.

Panjang partikel 750 sampai 765 nm dan diameter 12 sampai 13 nm (Siriwong et

al. 1995, diacu dalam CABI 2000). Genom ChiVMV merupakan utas tunggal

RNA dan genom diekspresikan sebagai poliprotein, dengan berat molekul sekitar

9.7 kb (Hull 2002). ChiVMV membentuk badan inklusi yang berbentuk cakra

(pinwheel) (Hull 2002; Samad 1986, diacu dalam Lee et al. 1994).

ChiVMV dapat ditularkan secara mekanik, melalui penyambungan dan

serangga vektor. Serangga yang menjadi vektor bagi ChiVMV adalah A.

craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, M. persicae, Toxoptera citricidus,

Hysteroneura setariae, dan Rhopalosiphum maydis. ChiVMV bersifat non

persisten dan tidak dapat ditularkan melalui benih (Ong et al. 1978, diacu dalam

Ang 1995; Ong et al. 1979, diacu dalam Murayama et al. 1998).

ChiVMV memiliki kisaran inang yang cukup luas, meliputi gulma dan

(35)

11

tabaccum, N. glutinosa, N. megalosiphon, N. benthamiana, N. sylvestris, Physalis

floridana, P. minima, Datura stramonium, D. metel, L. esculentum, Nicandra

physalodes, Petunia hybrida, dan S. melongena (CABI 2000). Infeksi ChiVMV

pada fase pertumbuhan awal mengurangi ukuran daun yang diikuti dengan

distorsi, serta produksi buahnya lebih sedikit dan lebih kecil (Shah dan Khalid,

2001). Selain itu, akibat infeksi virus ini telah dilaporkan dapat menyebabkan

kehilangan hasil lebih dari 50 % di Malaysia (Ong et al.1979, 1980, diacu dalam

Shah dan Khalid 2001). AVRDC (2003) bahkan melaporkan bahwa kehilangan

hasil akibat infeksi ChiVMV bisa mencapai 100%. Ong et al. (1980), diacu

dalam Ang (1995) melaporkan bahwa ChiVMV tidak hanya mengurangi

keseluruhan hasil, tetapi juga kualitas dari buah cabai.

ChiVMV dapat menimbulkan gejala yang bervariasi pada daun tanaman

cabai yang terinfeksi. Gejala pada daun cabai dapat berupa bercak berwarna hijau

tua yang tidak beraturan (belang) dan penebalan tulang daun, permukaan daun

tidak rata, daun menjadi lebih kecil dan kadang diikuti dengan malformasi daun

serta tanaman menjadi kerdil (Siriwong et al 1995, diacu dalam Taufik et al.

2005b). Keparahan penyakit pada tanaman tergantung pada kultivar dan waktu

infeksi (Chiemsombat dan Kittipakorn 1996; CABI 2000).

Pemuliaan untuk Ketahanan Tanaman terhadap Virus

Secara umum ada tiga metode yang biasa digunakan untuk mengendalikan

virus. Pertama, menghilangkan sumber inokulum di lapangan diantaranya dengan

cara melakukan eradikasi tanaman yang telah terinfeksi virus, dan membersihkan

gulma yang menjadi inang virus. Kedua, mencegah atau menghambat penyebaran

virus dari satu pertanaman ke pertanaman lain. Karena virus sebagian besar

ditularkan oleh serangga, maka pencegahan penyebaran virus dapat dilakukan

dengan mengendalikan serangga vektor, baik secara kimiawi maupun biologis.

Ketiga adalah dengan menggunakan kultivar tahan (Harrison 1987).

Diantara berbagai metode pengendalian virus tersebut, penggunaan kultivar

tahan adalah yang paling baik. Di samping memberikan kepastian pengendalian

virus yang lebih baik, metode ini merupakan yang paling murah, aman, tidak

mencemari lingkungan, tidak memerlukan ketrampilan khusus bagi petani dan

(36)

1992). Namun demikian, oleh karena virus umumnya memiliki kisaran inang yang

sangat luas, penggunaan kultivar tahan harus dibarengi dengan metode

pengendalian lain, seperti pembersihan gulma inang virus dan pengendalian

serangga vektor (Palukaitis et al.).

Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu

menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau perkembangan

gejala (Russell 1981). Tahan adalah karakter tanaman yang berkebalikan dari

rentan, dan dapat dikelompokkan menjadi sangat tahan, tahan, dan rentan.

Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi

perkembangan virus dalam sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel

yang lain (Greenleaf 1986; Matthews 1991). Matthews (1991) juga menyatakan

bahwa mekanisme ketahanan dalam tanaman dapat berupa penghambatan dalam

penyebaran virus dari: 1) sel yang terinfeksi ke sel sekitarnya (penyebaran antar

sel), 2) sel parenkima ke jaringan pengangkut (penyebaran antar jaringan), dan 3)

jaringan pengangkut ke sel parenkima daun baru (penyebaran antar organ

tanaman).

Ketahanan tanaman terhadap virus dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe,

yaitu ketahanan non-inang (non-host resistance), ketahanan kultivar, dan

ketahanan terinduksi (Fraser 1987). Ketahanan non-inang adalah bila seluruh

individu dari suatu spesies tidak dapat terinfeksi oleh suatu jenis virus tertentu.

Spesies tersebut memang bukan inang bagi virus yang dimaksud. Ketahanan

kultivar adalah kultivar tertentu tahan terhadap virus yang dapat menginfeksi

kultivar lain dalam spesies tersebut. Sedangkan ketahanan terinduksi adalah

ketahanan yang muncul pada suatu spesies rentan akibat terinduksi oleh suatu

kondisi tertentu, seperti ketahanan yang timbul akibat proteksi silang strain atau

jenis virus lain. Di antara ketiga tipe ketahanan tersebut, hanya ketahanan kultivar

saja yang dapat bermanfaat bagi program pemuliaan.

Konsep ketahanan terhadap penyakit diungkapkan oleh Flor pada tahun

1942 melalui hipotesis gene for gene (Plank Van der 1986). Dalam konsep ini

dikemukakan bahwa setiap gen yang mengendalikan sifat tahan pada tanaman

inang memiliki pasangan gen komplementer yang mengendalikan sifat virulensi

(37)

13

mengendalikan sifat tahan pada tanaman inang berpasangan dengan gen avirulen

patogen. Bila patogen memiliki gen virulen pada pasangan tersebut, maka inang

akan menunjukkan reaksi rentan (Plank Van der 1986; Fehr 1987) . Interaksi

[image:37.595.119.509.200.351.2]

inang dan virus dapat digambarkan dalam model interaksi seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Interaksi antara gen tanaman inang dan gen virus

Virus Inang

Avirulen

(V)

Virulen

(V+)

Rentan

(H)

(VH)

rentan

(V+H)

rentan

Tahan (VH+) (V+H+)

(H+) tahan rentan

sumber: van der Plank, 1968

Respon tahan hanya terjadi jika inang tahan berinteraksi dengan virus

avirulen. Respon rentan terjadi jika inang rentan berinteraksi dengan virus

avirulen atau virulen, atau inang tahan berinteraksi dengan virus virulen.

Fraser (1992) menyatakan bahwa alel resisten dominan sempurna umumnya

berkaitan dengan mekanisme lokalisasi virus yang melibatkan lesio lokal. Alel

dominan atau resesif tidak sempurna memungkinkan virus menyebar ke seluruh

tanaman, tetapi menghambat multiplikasi virus atau perkembangan gejala.

Sedangkan alel resesif penuh mungkin berkaitan dengan kekebalan.

Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk

menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber

ketahanan dan menentukan pola pewarisan sifat ketahanan tanaman inang serta

sifat genetik dan interaksi antara inang dengan patogen (Hayes dan Johnson 1971;

Allard 1960; Russel 1981). Tahapan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika

pengkajian dilakukan pada lingkungan epidemik bagi patogen, baik dalam

laboratorium, rumah kaca maupun di lapang. Masalah yang sering dihadapi

adalah: 1) penentuan dan penilaian ketahanan, 2) identifikasi genetik dari sifat

ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak sealel, kaitan gen, serta

(38)

Penentuan dan penilaian ketahanan diperlukan untuk membedakan antara

tanaman yang tahan dan rentan secara tepat. Untuk keperluan tersebut maka

dalam setiap pengujian dan seleksi ketahanan tanaman perlu diusahakan

terciptanya kondisi lingkungan epidemik yang mampu memberikan kondisi

epifitotik patogen (Russell 1981).

Metode yang umum dilakukan untuk membuat kondisi seluruh tanaman

yang teruji terinfeksi virus adalah melakukan inokulasi buatan. Hal yang perlu

diperhatikan untuk mendapatkan keberhasilan inokulasi buatan adalah: 1)

inokulum harus tetap bermutu tinggi, 2) penerapan inokulasi sedapat mungkin

diusahakan seragam untuk setiap tanaman, 3) kondisi lingkungan pada saat

inokulasi dan dalam jangka waktu inkubasi harus sesuai bagi pertumbuhan parasit

yang bersangkutan, dan 4) tanaman inang yang akan diuji harus bebas dari

penyakit lain dan harus dalam keadaan fisiologik yang cocok untuk terjadinya

infeksi atau serangan patogen (Green 1991).

Tanaman tahan dan tanaman rentan dapat dibedakan dengan mudah jika

ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor. Pada keadaan tersebut

ragam ketahanan akan menunjukkan sebaran terputus atau diskontinyu. Seringkali

pada ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen, tidak ada perbedaan yang

jelas antara individu tanaman tahan dan tanaman rentan dalam populasi yang

bersegregasi dan ragam ketahanan tersebut akan menunjukkan sebaran yang

kontinyu dengan perubahan perbedaan ketahanan yang kecil. Oleh karena itu

Russell (1981) menyatakan sangat penting sekali untuk melakukan pengukuran

atau pendugaan terhadap besarnya intensitas serangan dengan sistem pemberian

nilai skor atas gejala yang muncul (indeks penyakit).

Varietas tanaman yang tahan virus dapat dirakit melalui seleksi plasma

nutfah dan persilangan antar tetua terpilih. Sifat tahan ini dapat berasal dari

varietas yang berbeda, varietas komersial, spesies liar sekerabat, spesies lain

dalam satu genus, atau genus lain (Kallo 1988; Niks et al. 1993). Dalam upaya

tersebut diperlukan adanya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:

(1) diantara tanaman yang dibudidayakan, terdapat genotipe yang tahan terhadap

(39)

15

dengan sifat agronomis yang tidak diinginkan, dan (3) pemindahan gen dari

tanaman tahan ke tanaman penerima harus dapat dilakukan melalui hibridisasi.

Evaluasi genotipe dan kultivar cabai untuk ketahanan terhadap ChiVMV

telah banyak dilakukan, dan dilaporkan adanya genotipe-genotipe atau kultivar

yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap

ChiVMV (Green dan Kim 1994; Duriat et al. 1995a,1995b; Ang 1995; Dolores

1995; Chiemsombat dan Kittipakorn 1995, Sulyo et al. 1995).

Transfer gen ketahanan terhadap virus dari genotipe donor ke genotipe

penerima umumnya dilakukan melalui seri persilangan silang balik. Persilangan

antar varietas dalam satu spesies adalah yang paling mudah karena memiliki

tingkat keberhasilan yang tinggi. Apabila sifat yang diharapkan berada pada

spesies lain maka perlu dilakukan persilangan antar spesies. Salah satu hal yang

sering menjadi kendala adalah adanya inkompatibilitas antar spesies yang cukup

tinggi (Greenleaf 1986).

Agar program pemuliaan yang dilakukan menjadi efektif, pola pewarisan

karakter dimaksud terlebih dahulu harus diketahui. Informasi tentang ada tidaknya

efek maternal, aksi dan jumlah gen pengendali, serta nilai duga heritabilitas adalah

sangat penting. Karakter yang pewarisannya dikendalikan oleh efek maternal

menandakan bahwa gen pengendali karakter tersebut berada di luar inti (Mather

dan Jink 1982). Ada tidaknya efek maternal dapat diuji dengan membandingkan

data pengamatan pada F1 dan F1-resiprok (F1R).

Apabila terdapat pewarisan sitoplasmik atau pengaruh tetua betina maka

keturunan persilangan resiproknya masing-masing akan berbeda, dan

keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Gardner et al. 1991),

sehingga untuk mempelajari pola pewarisannya antara keturunan F1 dan F1R-nya

tidak dapat digabung, karena segregasi populasi F2-nya akan berbeda dan

menyimpang dari hukum Mendel. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pewarisan

secara sitoplasmik atau pengaruh tetua betina, persilangan resiproknya akan

memberikan hasil yang sama, sehingga antara keturunan F1 dan F1R-nya dapat

digabungkan.

Petr dan Frey (1966) menggunakan pendugaan terhadap nilai potensi rasio

(40)

resesif. Potensi rasio adalah nisbah selisih nilai tengah kedua tetua (mid parent)

dari rata-rata populasi F1 terhadap nilai tengah kedua tetua (mid parent) dari

rata-rata tetua tertinggi. Mather dan Jink (1982) mengemukakan bahwa aksi gen

dominan atau resesif dapat juga diketahui melalui besaran nilai pendugaan

parameter genetik dominan [h].

Aksi gen dominan atau resesif sangat menentukan dalam pelaksanaan

metode silang balik (back cross). Pada karakter yang dikendalikan oleh gen

resesif, diperlukan uji progeni pada setiap tahapan seleksi karena individu yang

mengandung gen ketahanan tidak dapat dipisahkan langsung pada populasi silang

balik yang dihasilkan Pada karakter yang dikendalikan oleh gen dominan, maka

individu tahan dapat langsung diseleksi dari populasi silang balik tanpa harus

melalui uji progeni (Halloran et al. 1979; Fehr 1947).

Penampilan karakter suatu tanaman dapat digolongkan menjadi dua

kelompok, yaitu karakter kualitatif dan karakter kuantitatif (Poehlman 1987).

Karakter-karakter kualitatif umumnya dikendalikan oleh sedikit gen (monogenic

ataupun oligogenic) yang dicirikan dengan sebaran fenotipe pada generasi F2-nya

diskontinyu, pengaruhnya secara individu mudah dikenali (gen mayor), cara

pewarisannya sederhana, tidak atau sedikit dipengaruhi lingkungan, sehingga

memiliki nilai duga heritabilitas yang tinggi, dan penyidikan pengaruh gen dapat

dilakukan dengan genetika Mendel (Allard 1961; Fehr 1987, Poehlman 1987).

Karakter-karakter kuantitatif umumnya dikendalikan oleh banyak gen (poligenic)

yang dicirikan dengan variasi fenotipik pada generasi F2-nya menyebar normal

(kontinyu) dengan pembagian kelas fenotip yang perbedaannya tidak jelas dan

sulit diidentifikasi karena pengaruh masing-masing gen secara individu terhadap

ekspresi suatu sifat adalah kecil (gen minor) dan bersifat kumulatif, ekspresinya

sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga memiliki nilai duga heritabilitas

yang rendah (Allard 1961; Fehr 1987; Poehlman 1987).

Pendugaan awal apakah suatu karakter dikendalikan oleh gen mayor, gen

minor atau keduanya sekaligus dilakukan melalui pengamatan sebaran frekuensi

pada populasi F2. Sebaran frekuensi F2 diskret menandakan bahwa karakter

dimaksud dikendalikan oleh gen mayor. Sebaran terusan satu puncak dan normal

(41)

17

sebaran terusan dengan dua puncak atau lebih, maka karakter tersebut

dikendalikan oleh beberapa gen mayor dan gen minor sekaligus (Fehr 1987)

Analisis genetik untuk karakter yang dikendalikan oleh gen mayor biasanya

dilakukan dengan analisis genetika Mendel, yaitu membandingkan nisbah

frekuensi fenotipik hasil pengamatan pada populasi F2 terhadap nisbah Mendel,

atau nisbah fenotipik tertentu dengan uji Chi-Kuadrat (Fehr 1987; Crowder 1993).

Untuk keperluan ini fenotipe pada populasi F2 dikelompokkan ke dalam

kelas-kelas tertentu sesuai dengan jumlah kelas-kelas dalam nisbah pembanding. Pendekatan

ini menghasilkan dugaan jumlah dan aksi gen yang bersegregasi untuk karakter

yang dipelajari.

Tidak semua turunan yang bersegregasi dapat dipisahkan ke dalam

kategori-kategori tertentu yang nyata dengan rasio yang sederhana. Variasi rasio Mendel

dijelaskan dengan dasar interaksi gen, yaitu: pengaruh satu alel dengan alel

lainnya pada lokus yang sama (intra alelik) dan pengaruh satu gen pada satu lokus

terhadap gen pada lokus yang lainnya (inter alelik).

Persilangan yang melibatkan satu pasangan alel (interaksi alel-alel pada

lokus yang sama), berdasarkan hukum Mendel, dapat memberikan konsekuensi

rasio fenotipik keturunan F2 hasil hibridisasi sebagai berikut (Strickberger 1972):

(1) 3:1 (satu gen bersifat dominan sempurna atau satu gen dengan aksi gen alel

ganda), (2) 1:2:1 (satu gen bersifat dominan sebagian), dan (3) 1:2 (satu gen

dengan aksi gen lethal).

Persilangan yang melibatkan dua pasang alel yang memberikan pengaruh

pada penampilan karakter yang sama (interalelik), berdasarkan hukum segregasi

dan kombinasi secara bebas dari Mendel, akan memberikan konsekuensi rasio

fenotipik keturunan F2 hasil hibridisasi sebagai berikut (Strickberger 1972):

(1) 9:3:3:1 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna; fenotipe baru

dihasilkan dari interaksi di antara homozigos dominan maupun resesif)

(2) 9:3:4 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna, tetapi satu pasang gen

bila berada dalam keadaan homozigot resesif akan memberikan pengaruh

kepada pasangan yang lain).

(3) 9:7 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna, tetapi keduanya bila berada

(42)

(4) 12:3:1 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna, tetapi satu pasang gen

bila berada dalam keadaan homozigot dominan akan memberikan pengaruh

kepada pasangan yang lain).

(5) 15:1 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna, tetapi keduanya bila

berada dalam keadaan homozigot resesif akan saling memberikan

pengaruh).

(6) 13:3 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna, tetapi satu pasang gen bila

berada dalam keadaan dominan akan memberikan pengaruh kepada

pasangan gen ke-dua, dan pasangan gen ke-dua bila berada dalam keadaan

homozigot resesif akan memberikan pengaruh kepada pasangan gen

pertama).

(7) 9:6:1 (dua pasang gen bersifat dominan sempurna; interaksi di antara

pasangan dominan akan memunculkan fenotipe baru).

(8) 7:6:3 (dua pasang gen, dengan satu pasang gen bersifat dominan sempurna

dan pasangan gen yang lain bersifat dominan sebagian; pasangan gen yang

pertama jika berada dalam keadaan homozigos resesif akan memberikan

pengaruh kepada pasangan gen ke-dua).

(9) 6:3:3:4 (dua pasang gen, dengan satu pasang gen bersifat dominan

sempurna dan pasangan gen yang lain bersifat dominan sebagian;

masing-masing bila berada dalam keadaan homozigot resesif saling memberikan

pengaruh, dan bila kedua pasangan gen hadir bersama dalam keadaan

homozigos resesif, pasangan gen ke-dua akan memberikan pengaruh pada

pasangan gen pertama).

(10) 7:4:3:2 (dua pasang gen, dengan satu pasang gen bersifat dominan

sempurna dan pasangan gen yang lain bersifat dominan sebagian; fenotipe

heterozigot gen dominan sebagian sama dengan homozigot resesif pada

pasangan gen dominan sempurna, dan menimbulkan suatu pengaruh aditif

bila keduanya muncul bersama).

(11) 1:2:2:1:4:1:2:2:1 (dua pasang gen bersifat dominan sebagian dan

menimbulkan pengaruh aditif untuk setiap bagian gen dominan).

Nilai duga heritabilitas adalah parameter yang sangat penting dalam

(43)

19

didefinisikan sebagai proporsi total variabilitas yang disebabkan oleh faktor

genetik terhadap variabilitas fenotipik suatu karakter (Allard 1960; Fehr 1987;

Crowder 1993). Heritabilitas tipe ini dikenal sebagai heritabilitas arti luas (broad

sense heritability) (h2bs), dan dihitung sebagai nisbah ragam genetik terhadap

ragam fenotipe.

Kontribusi genetik suatu individu merupakan nilai kumulatif dari komponen

genetik aditif, komponen genetik dominan dan komponen interaksi (epistasis).

Komponen genetik aditif merupakan komponen yang dapat tetap diwariskan,

karena itu karakter-karakter yang memiliki proporsi komponen aditif yang besar

sangat diharapkan dalam bidang pemuliaan. Falconer (1989) merumuskan

heritabilitas sebagai proporsi ragam genetik aditif terhadap ragam fenotip, yang

menggambarkan seberapa besar suatu karakter diwariskan ke keturunannya.

Heritabilitas tipe ini dikenal sebagai heritabilitas arti sempit (narrow sense

heritability) (h2ns), dan dihitung sebagai nisbah ragam genetik aditif terhadap

ragam fenotip (Falconer 1989).

Heritabilitas bukan merupakan besaran yang konstan. Besarnya nilai duga

heritabilitas sangat bergantung pada metode pendugaan yang digunakan. Beberapa

metode yang biasa digunakan meliputi: metode pendugaan komponen ragam,

metode regresi tetua dan keturunan, dan metode pendugaan ragam lingkungan

secara tidak langsung (Fehr 1987). Metode lain, yang biasa digunakan untuk

menduga heritabilitas arti sempit, adalah dengan menggunakan populasi silang

balik (Warner 1952). Klasifikasi tinggi rendahnya heritabilitas suatu karakter

ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai duga yang diperoleh. Menurut Stansfield

(1983), heritabilitas dianggap rendah bila h2 < 0.2, sedang bila 0.2 ≤ h2 ≤ 5 0.5,

dan tinggi bila h2> 0.5.

Apapun metode yang digunakan, ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi

untuk mendapatkan nilai duga heritabilitas yang akurat. Asumsi tersebut meliputi:

1) tidak ada interaksi non-alelik, 2) tidak ada interaksi genetik x lingkungan, 3)

tidak ada interaksi antar gen, dan 4) ragam lingkungan pada populasi F2 dan silang

balik adalah sama (Warner 1952). Tidak terpenuhinya asumsi-asumsi

(44)

Uji Skala (Scaling Test) dan Uji Skala Gabungan (Joint Scaling Test) adalah

metode yang dapat digunakan untuk menguji ada tidaknya interaksi non-alelik

(epistasis) ataupun interaksi genetik x lingkungan melalui pengujian kesesuaian

model aditif - dominan (Singh dan Chaudary 1979; Mather dan Jink 1982).

Hubungan nilai tengah antar generasi yang mengikuti model aditif-dominan

merupakan indikasi tidak ada interaksi non-alelik ataupun interaksi genetik x

lingkungan.

Uji skala gabungan juga dapat digunakan untuk melacak model genetik yang

sesuai, sekaligus menduga nilai parameter nilai tengah generasi (m), parameter

genetik aditif [d], dominan [h], interaksi genetik aditif x aditif [i], interaksi genetik

aditif x dominan [j], dan interaksi dominan x dominan [1]. Berdasarkan nilai duga

parameter genetik tersebut dapat diketahui komponen genetik yang

(45)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Kebun UF IPB, Tajur dan di rumah

kaca kedap serangga Departemen Proteksi Tanaman Faperta IPB, Cikabayan, dari

bulan Juli 2005 sampai dengan bulan Oktober 2006. Analisis laboratorium

dilakukan di laboratorium Virologi Faperta IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 13 genotipe cabai koleksi

AVRDC serta 2 kultivar lokal Tit Super dan Jatilaba koleksi Bagian Genetika dan

Pemuliaan Tanaman. Sebagai bahan penguji digunakan inokulum ChiVMV isolat

Cikabayan, koleksi laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi

Tanaman Faperta IPB.

Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis yang telah disajikan pada bab sebelumnya maka

metode dan pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahapan seperti yang dapat

dilihat pada bagan alir penelitian (Gambar 1) yaitu:

1. Evaluasi respon ketahanan tanaman terhadap infeksi ChiVMV

Kegiatan ini dimaksudkan untuk meguji hipotesis 1, yaitu bahwa terdapat

respon ketahanan terhadap infeksi ChiVMV yang bervariasi pada genotipe cabai

yang diuji. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memilih tetua yang

paling tahan dan yang paling rentan sebagai bahan pembuatan populasi dalam

studi pewarisan ketahanan terhadap inveksi ChiVMV.

Percobaan dilakukan dalam 2 tahap. Evaluasi tahap I, yang merupakan

evaluasi pendahuluan, dilakukan terhadap 13 genotipe cabai. Pengamatan

dilakukan terhadap kejadian penyakit (KP) berdasarkan ELISA. Paling sedikit

digunakan 30 tanaman untuk setiap genotipe yang diinokulasi. Evaluasi ketahanan

tahap II dilakukan terhadap genotipe terpilih hasil evaluasi tahap I, yang mewakili

genotipe dengan karakter tahan dan sangat rentan. Evaluasi tahap II ini dilakukan

dengan rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktor (genotipe dan perlakuan

(46)

pada genotipe-genotipe terpilih. Pengamatan dilakukan terhadap kejadian

[image:46.595.124.585.132.430.2]

penyakit, intensitas gejala, dan titer virus.

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Infeksi chilli veinnal motle virus

Kejadian penyakit (KP) adalah proporsi tanaman yang menunjukkan reaksi

ELISA positif dalam suatu populasi tanaman tertentu pada 14 HSI. Intensitas

gejala diukur berdasarkan tingkat keparahan gejala yang muncul (indeks gejala)

secara visual. Titer virus diduga melalui nilai absorban ELISA yang dapat

menggambarkan tinggi rendahnya konsentrasi virus pada tanaman setelah

tanaman terinfeksi. Peubah tersebut merupakan tolok ukur ketahanan tanaman

terhadap infeksi virus (Green 1991). Genotipe yang paling tahan adalah yang

menunjukkan respon KP paling rendah, intensitas serangan paling rendah, dan

tingkat konsentrasi virus paling rendah.

Perbedaan respon antar genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV dilihat

berdasarkan peringkat ketahanan mengikuti peringkat yang dikemukakan oleh

(47)

23

koefisien variasi fenotipik menggunakan rumus Singh dan Chaudhary (1979);

Steel dan Torrie (1981).

% 100

× =

X s

KK ……..(rumus 1)

Dengan KK, s dan X berturut-turut adalah koefisien keragaman, standar deviasi,

dan nilai rata-rata pengamatan. Untuk menentukan tinggi rendahnya keragaman

respon berdasarkan koefisien keragaman mengikuti pengelompokan yang

dikemukakan oleh Mattjik dan Sumertajaya (2000), yaitu rendah (KK < 20%),

sedang (20% ≤ KK ≤ 25%), dan tinggi (KK > 25%).

Koefisien korelasi antar peubah yang diamati dihitung berdasarkan rumus

Singh dan Chaudhary (1979); Steel dan Torrie (1981) sebagai berikut:

y x

xy

s s Cov r

2 2

= …….(rumus 2)

Keterangan : r = koefisien korelasi

Covxy = koefisien keragaman peubah XY

s2x = ragam peubah X

s2y = ragam peubah Y

Menurut Young (1982) dikutip Djarwanto dan Subagyo (1993) derajat

keeratan hubungan antar peubah yang dianalisis dapat dilihat dari nilai koefisien

korelasinya (r). Nilai 0.7 < r < 1.0 menunjukkan keterkaitan yang erat, 0.4 < r ≤

0.7 sedang, dan r ≤ 0.2 adalah tidak berkaitan.

2. Pembuatan materi kegenetikaan untuk studi pola pewarisan

Persilangan dilakukan secara buatan (Gambar 2) antara tetua yang memiliki

karakter tahan terhadap infeksi ChiVMV dengan tetua rentan. Persilangan

dilakukan antara pukul 9.00 – 11.00 pagi (saat hari cerah). Bunga tetua betina

dipilih yang masih kuncup, tetapi telah mencapai ukuran penuh. Pada fase ini

diperkirakan putik sudah matang tetapi kotak sari belum pecah. Emaskulasi

dilakukan dengan cara membuka mahkota bunga dan membuang seluruh benang

(48)
[image:48.595.117.509.84.480.2]

Gambar 2. Teknik persilangan buatan pada cabai. A. Bunga betina yang siap diserbuki; B. Kastrasi; C. Emaskulasi; D. Hasil kastrasi dan emaskulasi; E. Bunga jantan siap diambil serbuksarinya; F. Pengambilan serbuksari; G. Hasil pengumpulan serbuksari; H. Pernyerbukan dengan pinset; I. Penyerbukan menggunakan tabung; J. Pemasangan label; K. Isolasi menggunakan isolatif; L. Setelah diisolasi dan dilabel (Sumber: Yunianti 2007)

Setiap kali akan digunakan untuk emaskulasi, pinset terlebih dahulu

dicelupkan ke dalam alkohol 70% dan dikeringkan. Hal ini dilakukan untuk

menghindari kontaminasi terhadap bunga yang diemaskulasi oleh serbuk

Gambar

Tabel 1. Interaksi antara gen tanaman inang dan gen virus
Gambar 1. Bagan  Alir  Penelitian  Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman Cabai
Gambar 2. Teknik persilangan buatan pada cabai. A. Bunga betina yang siap diserbuki; B
Gambar 3. Teknik inokulasi virus secara mekanis. A. Tanaman cabai yang siap diinokulasi (± umur 4 mss); B
+7

Referensi

Dokumen terkait

A akan memiliki energi sinyal yang besar dan dapat mengurangi noise yang terjadi pada saat transmisi, sehingga jaringan ini lebih efisien jika digunakan untuk layanan

Hal ini dibutuhkan, karena pelaksa- naan Pemilihan Umum sebagai cerminan kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sering mencuatkan sengketa yang berkaitan dengan

Latar belakang Mahkamah Konstitusi memperoleh kewenangan menyelesaikan seng- keta Pemilukada adalah berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Peru- bahan

Namun saat ini terjadi perluasan mengenai makna perselisihan hasil pemilu yang dapat ditangani oleh MK, dimana berdasarkan tafsiran MK dalam Putusan nomor

Permasalahan sering kali timbul jika rencana produksi ditetapkan berdasarkan target pasar yang ingin diraih tanpa melihat keterbatasan resources dari perusahaan, akibatnya

 Kombinasi perubahan kebijakan pada proses pemenuhan kebutuhan retailer, pasokan gudang pemasaran dan pasokan gudang utama tidak berpengaruh pada tingkat

Strategy maka di ganti dengan strategi alternatif yang kerdua yaitu Mix Strategy, dalam. segi biaya Mix Strategy berada pada urutan

Tujuan yang ingin dicapai Yayasan Wisnu tahun 2007 diuraikan dalam setiap program kerja, di mana secara umum sama dengan tujuan sebelumnya: 1.. Masyarakat mampu mengelola