• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STRATEGI URBAN RENEWAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STRATEGI URBAN RENEWAL"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STRATEGI URBAN RENEWAL

2.1. Konteks Urban Renewal

Dalam sub bab ini, terdapat tiga bahasan utama yang terkait dengan upaya urban renewal. Pertama, pengertian urban renewal dimana tujuannya untuk menjelaskan arti urban renewal. Yang kedua, latar belakang dilakukannya urban renewal. Kemudian yang terakhir, prinsip urban renewal bertujuan untuk menjelaskan bentuk upaya urban renewal dan faktor-faktor yang mempengaruhi penanganannya.

2.1.1 Pengertian Urban Renewal

Urban renewal merupakan bentuk intensifikasi kota akibat kebutuhan akan ruang dan pertumbuhan kota yang sangat pesat. Secara sederhana, urban renewal dapat diartikan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali fungsi bagian kota yang telah menurun vitalitasnya. Pengertian tersebut, disimpulkan dari pengertian-pengertian urban renewal berikut ini:

1. Buissink (1985) memberi pengertian bahwa urban renewal merupakan usaha untuk memulihkan kembali bagian kota yang menurun kualitasnya dan tidak terpakai melalui perencanaan kembali bagian kota agar dapat berfungsi kembali dan meningkat nilai ekonominya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pada saat itu. 2. Couch (1990) mengatakan bahwa urban renewal merupakan proses perubahan fisik,

perubahan fungsi, dan proses perubahan intensitas pemakaian suatu lahan dan bangunan sebagai upaya peningkatan kualitas sosial ekonomi bagian kota.

3. Sujarto (2002) menyatakan bahwa urban renewal dapat diartikan sebagai pembaharuan kota, yaitu upaya untuk memperbaharui tatanan kehidupan kota, secara menyeluruh menyangkut peningkatan perilaku, pola kehidupan, dan cara hidup perkotaan melalui suatu reformasi tatanan kota secara sosial budaya, sosial ekonomi, dan tatanan lingkungan kota.

Dari ketiga pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan urban renewal terkait dengan peningkatan kualitas lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial-budaya.

(2)

Dalam hal ini, yang termasuk dalam aspek lingkungan fisik, antara lain kondisi bangunan, jalan, dan infrastruktur kota lainnya. Kemudian, yang berkaitan dengan aspek ekonomi, seperti nilai lahan hingga investor. Sementara, yang termasuk dalam aspek sosial-budaya, diantaranya pola pikir dan cara hidup warga kota. Ketiga aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain guna meningkatkan vitalitas bagian kota.

Sebagai contohnya, pembaharuan kawasan permukiman kumuh di Jefferson, Loa Angeles. Kawasan tersebut, dirubah menjadi permukiman vertikal yang dilengkapi fasilitas umum dan komersial (Weaver, 1964; Eisner, 1993). Salah satu cara guna menarik investornya, melalui peningkatan akses menuju kawasan, sehingga pencapaiannya mudah. Kemudian untuk menghubungkan permukiman dengan fasilitas umum dan komersial yang jaraknya berdekatan, maka di buat jalan pejalan kaki. Penyediaan jalan tersebut, bertujuan juga untuk membiasakan warga berjalan kaki dalam beraktivitas. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa peningkatan kualitas fisik, dapat membantu meningkatkan kualitas ekonomi, dan merubah cara hidup warga kota.

2.1.2 Latar Belakang Urban Renewal

Pasca penemuan mesin uap, ekonomi Amerika Serikat beralih dari pertanian ke industri. Masyarakat dan sumber daya alam mengalami eksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Pabrik banyak berdiri di perkotaan, akan tetapi karena tenaga kerja manusia sudah berkurang maka mendorong arus migrasi ke kota. Selama kurun waktu 30 tahun, dari tahun 1900 hingga 1930 jumlah penduduk kota di Amerika Serikat bertambah sekitar 30 juta penduduk, atau rata-rata pertumbuhan penduduk per tahunnya mencapai 1 juta orang3.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan sarana dan prasarana kota bertambah, salah satunya permukiman. Akan tetapi karena, pemerintah kota dan swasta tidak mampu menyediakan permukiman dalam jumlah cukup, menyebabkan terbentuknya pemukiman kumuh dalam bentuk rumah petak. Berkembangnya rumah-rumah petak yang padat di pusat kota, mendorong berkembangnya protes menentang serta menyadarkan pemerintah dalam memegang tanggung jawab yang semakin besar

3

Judd, Dennis R. dan Swanstrom, Todd. (1994). City, politics, private power, and public policy. Harper Collins. New York.

(3)

atas perbaikan permukiman kota. Pada tahun 1881, beberapa industrialis Amerika mulai membangun serta memperbaiki perumahan pekerja mereka (Eisner, 1993). Akan tetapi jumlah ini sangat sedikit, sehingga tidak banyak memberi sumbangan bagi pemecahan permukiman di pusat kota.

Perkembangan kota industri di Amerika Serikat kemudian diikuti oleh masa depresi pada tahun 1930-an. Bagian kota menjadi turun vitalitas dan kualitas fisiknya, karena berkembangnya permukiman kumuh, pajak dan harga tanah yang tinggi, hingga kemacetan dan polusi yang ditimbulkan oleh transportasi kota (Wilson, 1966). Kerusakan fisik terjadi di daerah permukiman kumuh, pusat perdagangan, dan industri. Kondisi tersebut mendorong terjadinya perpindahan aktivitas ke luar pusat kota, sehingga tersebar sekumpulan bangunan industri dan perdagangan yang memburuk.

Kondisi kota yang memburuk, mendorong dilakukannya upaya urban renewal agar vitalitas bagian kota menjadi meningkat kembali. Strategi yang diterapkan dengan cara mengosongkan daerah kumuh dan usang dan membangun kembali jalan-jalan, yang kemudian menjual daerah itu kepada developer dengan harga murah (Catanese dan Snyder, 1979). Dengan demikian, developer bisa membangun kembali bagian kota menjadi tempat layak huni. Pemerintah kota pun memperoleh manfaat, karena hilangnya daerah kumuh dan usang, bertambahnya sumber pajak, serta adanya peningkatan taraf hidup masyarakat.

2.1.3 Prinsip Urban Renewal

Upaya urban renewal pada suatu bagian kota dilakukan berdasarkan penilaian atas tingkat permasalahan yang dihadapi, tingkat potensi, dan tingkat prospek yang dimiliki bagian kota tersebut. Hal itu dilakukan guna mengetahui kekuatan dan kelemahan dari bagian kota yang diremajakan. Tujuannya agar strategi urban renewal yang dilaksanakan berhasil mengatasi permasalahan dan kelemahan yang ada, serta vitalitas bagian kota tersebut dapat meningkat.

Penilaian terhadap kondisi bagian kota dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu lokasi, pelaku, dan waktu (Buissink, 1985). Faktor lokasi terkait dengan masalah fisik, sementara faktor pelaku terkait dengan masalah pembiayaan. Kemudian faktor waktu terkait dengan masalah perencanaan dan pelaksanaan. Bentuk penanganan bagian kota

(4)

yang satu tidak sama dengan bagian kota yang lain, karena urban renewal berangkat dari kekuatan dan kelemahan yang ada pada ketiga faktor tersebut. Oleh karena itu, sifat urban renewal adalah custom.

Setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu bagian kota, maka kita bisa melaksanakan strategi yang tepat untuk meningkatkan vitalitasnya. Strategi urban renewal dapat dilakukan dalam tiga bentuk (Buissink, 1985). Pertama, dengan peningkatan efisiensi, keefektifan, dan produktifitas fungsi yang ada pada saat itu. Yang kedua, dengan menghidupkan kembali fungsi lama yang telah lama pudar. Kemudian terakhir, dengan memberikan fungsi baru yang menurut pertimbangan akan lebih efisien, efektif, dan produktif di tempatkan di bagian kota tersebut.

Gambar 2.1. Diagram Kerangka Fikir Urban Renewal

Sumber: Sujarto, Djoko. (2002). Kertas Kerja; Peremajaan Kota. Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung.

Upaya untuk meningkatkan vitalitas bagian kota tidak terbatas pada sektor ekonomi saja, tetapi juga sektor sosial dan fisik. Pada prinsipnya urban renewal terkait

(5)

dengan lima upaya pembangunan kota (Wilson, 1966; Eisner, 1993). Pertama, perbaikan kondisi fisik lahan, guna meningkatkan nilai ekonomi lahan. Yang kedua, dengan memaksimalkan intensitas bangunan lahan secara efektif dan efisien. Kemudian ketiga, melakukan restrukturisasi fungsi kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan kota. Keempat adalah mengembangkan beragam tipe hunian dengan tingkat kepadatan menengah atau tinggi. Yang terakhir dengan merencanakan fungsi komersial, perkantoran, hunian, dan pelayanan kota, dan ruang terbuka publik dalam jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

2.2. Faktor-faktor dalam Pelaksanaan Urban Renewal

Dalam sub bab ini, akan dijelaskan lebih jauh mengenai tiga faktor yang mempengaruhi pelaksanaan urban renewal. Ketiga faktor tersebut adalah lokasi, pelaku, dan waktu (Buissink, 1985). Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa urban renewal berhubungan dengan permasalahan fisik, sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan lainnya, tetapi yang akan menjadi fokus dalam pembahasan sub bab ini adalah yang terkait dengan masalah-masalah fisik.

2.2.1 Faktor Lokasi

Faktor lokasi berhubungan dengan tiga faktor perencanaan kota dalam pelaksanaan urban renewal. Pertama, aksesibilitas yang berhubungan dengan akses menuju lokasi perencaanaan dan struktur jalan di sekitarnya. Kemudian, peruntukan lahan berhubungan dengan faktor lingkup kawasan dan hubungan dengan aktivitas lain di lokasi tersebut. Terakhir, intensitas bangunan berhubungan dengan kepadatan ruang di lokasi perencanaan yang dapat mempengaruhi kualitas ruang.

Pelaksanaan urban renewal guna meningkatkan vitalitas bagian kota, berdampak terjadinya perubahan pada 3 faktor perencanaan kota. Pertama, terjadi perubahan pada peruntukan lahan. Penurunan vitalitas bagian kota telah mendorong dilakukannya pembaharuan fungsi kegiatan agar menjadi lebih menarik, baik untuk warga kota maupun para investor (Weaver, 1964; Eisner, 1993). Contoh kasusnya adalah daerah industri yang usang di ganti fungsinya menjadi mall dan apartemen.

(6)

Yang kedua, adanya perubahan pada intensitas bangunan. Upaya ini dilakukan untuk menyelamatkan bagian kota yang menurun vitalitasnya. Tujuannya untuk mengoptimalkan lahan, sehingga bisa menarik investor. Sebagai contoh, pembaharuan daerah permukiman kumuh menjadi apartemen 6 lantai di kawasan Jefferson, Los Angeles, pasca perang dunia ke-2 (Weaver, 1964; Eisner, 1993). Di kawasan sekitarnya dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, fasilitas umum, dan fasilitas perdagangan.

Kemudian yang terakhir adalah perubahan aksesibilitas. Seiring adanya perubahan dan peningkatan fungsi kegiatan, maka jangkauan pelayanan ikut meningkat. Kondisi tersebut akan menimbulkan daya tarik kegiatan, sehingga akan menyebabkan timbulnya masalah pergerakan orang. Sebagai pencegahannya, perlu direncanakan aksesibilitas yang baik, bagi kendaraan dan pejalan kaki (Sujarto, 2002).

a) Peruntukan lahan

Perkembangan kota ke arah pinggiran pada masa industrialisasi di Amerika menyebabkan terpisahnya tempat bekerja dengan tempat bermukim. Hal ini berdampak pada tidak terciptanya keanekaragaman kegiatan di kota yang mengarah pada matinya kegiatan di bagian kota lain (Tiesdell, 1996). Sebagai contoh, kegiatan komersial dan perkantoran di pusat kota akan hidup pada siang hari, karena pada saat itulah waktu penduduk kota beraktivitas. Kemudian daerah hunian di luar kota menjadi daerah mati, karena ditinggalkan oleh penghuninya. Sebaliknya, pada malam hari daerah komersial dan perkantoran akan mati, karena para pekerja telah kembali ke tempat tinggalnya.

Ketika masa depresi, kegiatan menjadi vakum karena banyak aktivitas industri dan perdagangan yang pindah dari pusat kota ke pinggir kota. Akibat dari perpindahan aktivitas tersebut, pusat kota menjadi hilang vitalitasnya (Eisner, 1993). Sementara itu pusat kota masih dipadati oleh permukiman kumuh dan masyarakat miskin. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu strategi dalam upaya urban renewal.

Strategi pertama yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di pusat kota. Caranya dengan merencanakan daerah industri baru didaerah pinggiran kota secara teratur yang dilengkapi dengan daerah permukiman pekerja beserta prasarananya (Eisner, 1993). Upaya tersebut diperkuat dengan adanya peraturan (Housing Act) mengenai peningkatan standar dan kondisi perumahan dari pemerintah

(7)

pusat. Melalui strategi ini diharapkan dapat menarik masyarakat dari pusat kota untuk datang dan menetap di daerah tersebut.

Setelah pusat kegiatan baru dibangun, maka strategi selanjutnya memperbaiki bagian kota yang mengalami kerusakan fisik dan menurun vitalitasnya. Perbaikan dilakukan dengan memperbaharui kota kembali dan mempercantik bagian kota. Daerah industri dan perdagangan yang sudah ditinggalkan mulai ditata ulang kembali pemanfaatan dan fungsinya agar lebih efektif dan menarik lagi. Kemudian daerah permukiman kumuh diremajakan, sehingga huniannya menjadi lebih beragam dari mulai tipe hingga tingkat kepadatannya (Eisner, 1993). Pada daerah permukiman tersebut disediakan juga berbagai fasilitas pelayanan umum bagi penghuninya.

Dari penelusuran latar belakang urban renewal, diketahui bahwa salah satu konsep urban renewal untuk meningkatkan vitalitas, dengan cara peruntukan lahan multi fungsi. Perencanaan fungsi bagian kota dengan peruntukan lahan multi fungsi melalui penggabungan tempat hunian dengan tempat kerja, dapat memperpendek jarak tempuh warga kota, menghemat energi, dan mengurangi polusi (Coupland, 1997). Penggabungan kedua aktivitas tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan aktivitas pendukung, sehingga memperkaya keragaman aktivitas dan menghidupkan aktivitas bagian kota dari pagi hingga malam. Aktivitas pendukung yang mungkin untuk berkembang diantaranya toko-toko, cafe, dan restoran.

Perencanaan kegiatan multi fungsi merupakan salah satu aspek penting dalam merencanakan suatu bagian kota agar menjadi lebih hidup aktivitasnya. Keuntungan dari peruntukan lahan multi fungsi adalah tingkat pencapaian tinggi, yang dapat memberikan kemudahan dan efisien waktu kepada pengguna (Coupland, 1997). Hal tersebut berkaitan erat dengan peningkatan kualitas ekonomi sebagai bagian dari upaya urban renewal, karena nilai lahan akan meningkat bila aksesibilitasnya tinggi.

Terdapat tiga kegiatan dalam perencanaan kegiatan multi fungsi yaitu, komersial yang meliputi komersial-perkantoran dan komersial-retail, hunian, dan fasilitas pelayanan umum kota. Berdasarkan hasil survey pembangunan multi fungsi di kawasan perkotaan, fungsi komersial memiliki nilai rata-rata pembangunan sebesar 70%, fungsi hunian rata-rata pembangunannya sebesar 25%, sementara fungsi pelayanan umum kota nilai rata-rata pembangunan sebesar 5% (ULI, 1987).

(8)

Tabel 2.1. Proporsi Fungsi dalam Pembangunan Multi Fungsi

No Proyek Luas

Lahan

Hunian Komersial Pelayanan Umum

1 Waterfront Place, Seattle. 1.6 Ha 25 % 72 % 3 %

2 Omni Internasional Atalanta 2.3 Ha 30 % 60 % 10 %

3 Horton Plaza, California. 4.5 Ha 32 % 66 % 2 %

4 IDS Centre Minneapolis. 10.1 Ha 13 % 84 % 3 %

5 The Gateaway, Utah. 12.5 Ha 34 % 58 % 8 %

6 The Galleria, Houston. 13.3 Ha 21 % 79 % 0 %

7 Kensington Galleria, Oklahoma. 19.0 Ha 38 % 55 % 7 %

8 Atlanta Galleria 34.4 Ha 14 % 76 % 10 %

Nilai rata-rata pembangunan 25 % 70 % 5 %

Sumber: ULI (1987), Mixed-Use Development Handbook. b) Intensitas Bangunan

Intensitas bangunan dan proporsi kegiatan pada pembangunan multi fungsi adalah dinamis, artinya intensitas dan proporsi pembangunan lokasi satu dengan lokasi lain belum tentu sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu tingkat aksesibilitas (kendaraan dan pejalan kaki), nilai lahan, potensi lokasi dilihat dari tatanan kota yang lebih luas, daya dukung lahan, serta intervensi teknologi yang dapat meningkatkan kemampuan lahan4.

Tinggi rendahnya aksesibilitas berbanding lurus dengan intensitas bangunan. Semakin tinggi aksesibilitas berdampak pada besarnya intensitas bangunan, karena adanya kemudahan pergerakan orang. Sebaliknya, apabila aksesibilitas rendah maka intensitas bangunannya tidak akan tinggi, karena sulitnya pergerakan orang dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Lokasi yang memiliki aksesibilitas rendah berdampak pada sepinya aktivitas, sehingga dapat menyebabkan penurunan vitalitas kota. Lokasi dengan aksesibilitas tinggi umumnya digunakan untuk fungsi komersial retail dan komersial perkantoran. Kualitas aksesibilitas dipengaruhi oleh fungsi dan hirarki jalan, serta jarak dengan sarana transportasi kota (Soesilo, 1999).

Umumnya lokasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi digunakan untuk fungsi komersial guna memperoleh keuntungan ekonomi, sementara fungsi perumahan biasanya berada pada lokasi dengan nilai ekonomi rendah. Nilai ekonomi tersebut dipengaruhi oleh jarak lokasi (lahan perencanaan) terhadap pusat kota atau central

4

Danisworo, Mohammad. (1996). Rangkuman Kuliah AR 602, Teori dan Prinsip Perancangan Kota. Program Magister Arsitektur, Institut Teknologi Bandung.

(9)

busiess district, sarana transportasi kota, aktivitas lain yang mendukung aktivitas di lahan tersebut, serta kualitas lingkungan di sekitarnya (Soesilo, 1999). Dalam hal ini faktor jarak berfungsi secara negatif dalam hubungannya dengan nilai ekonomi lahan, artinya makin besar jarak-jarak tersebut maka nilai ekonomi lahan menjadi rendah. Implikasinya, semakin tinggi nilai lahan maka intensitas bangunannya tinggi, begitu juga sebaliknya.

Potensi lokasi (lahan perencanaan) dilihat berdasarkan fungsi lokasi secara makro. Berdasarkan fungsinya, perkotaan terdiri atas fungsi perumahan, perdagangan, jasa, pemerintahan, industri, militer, dan fasilitas umum. Intensitas bangunan pada fungsi jasa dan perdagangan cenderung tinggi. Kemudian untuk fungsi industri, militer, dan pemerintahan, intensitas bangunannya termasuk dalam klasifikasi menengah. Fungsi perumahan dan fasilitas umum merupakan fungsi yang intensitas bangunannya cenderung rendah5.

Intensitas bangunan berbanding lurus dengan kemampuan daya dukung lahannya. Daya dukung lahan tersebut ditentukan oleh sifat-sifat tanah meliputi kemiringan tanah, jenis batuan, jenis tanah, kedalaman tanah keras, dan hidrologi6. Lahan yang memiliki kemampuan tanah baik, maka intensitas bangunannya akan tinggi. Sebaliknya, apabila kemampuan tanahnya tidak baik maka intensitas bangunannya akan rendah. Sebagai contoh, intensitas bangunan di lahan dengan kemiringan tinggi akan lebih kecil dibandingkan dengan intensitas bangunan di lahan yang memiliki kemiringan tanah rendah (relatif datar).

Intervensi teknologi dilakukan pada lahan yang memiliki kondisi tanah kurang baik untuk pembangunan kota. Melalui intervensi teknologi diharapkan kemampuan daya dukung lahan menjadi meningkat, sehingga intensitas bangunannya pun berubah dan pembangunan kota dapat dilaksanakan di lahan tersebut (Danisworo, 1996).

c) Aksesibilitas

Peruntukan lahan tidak bisa terlepas dari keberadaan aksesibilitas sebagai jalur pergerakan orang. Untuk mendukung fungsi perkantoran, komersial, hunian, dan

5

Pemerintah Kota Bandung. (2005). Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pusat Kota Bandung Tahun 2005.

6

(10)

aktivitas pendukung pada penggunaan lahan multi fungsi, perlu direncanakan aksesibilitas yang memiliki keragaman rute pencapaian, keragaman suasana, hingga adanya jalan tembusan (Coupland, 1997). Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan warga kota pergi berkativitas dari satu fungsi ke fungsi lainnya. Ruang kota yang baik adalah ruang kota yang memiliki multi akses.

Pencapaian kendaraan

Susunan penempatan kegiatan pada lahan multi fungsi dipengaruhi oleh hirarki jalan, yaitu berdasarkan fungsi dan sistem jalan. Lokasi (lahan perencanaan) yang dilalui jalan utama umumnya direncanakan untuk fungsi komersial perkantoran dan komersial retail, karena nilai ekonomi lahannya tinggi (Coupland, 1997). Sementara yang tidak dilalui jalan utama, bisa difungsikan untuk fungsi hunian.

Menurut Undang-undang RI No.38 Tahun 2004 tentang jalan, fungsi jalan terbagi menjadi 4, yaitu jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani pergerakan lalu lintas antar kotam, dengan lebar jalan minimal 8 meter. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang memiliki lebar jalan minimal 7 meter, dan berfungsi melayani pergerakan lalu lintas antar wilayah dalam kota. Kemudian, jalan lokal merupakan jalan umum yang melayani pergerakan lalu lintas antar persil dalam kota. Jalan-jalan yang terintegrasi dapat mengurangi tingkat kepadatan kendaraan, karena memudahkan pergerakan orang dari satu aktivitas ke aktivitas lain.

Berdasarkan sistemnya jalan dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Jalan primer merupakan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan, seperti pusat industri, terminal barang, pelabuhan, bandara udara, pasar induk, dan pusat perdagangan. Jalan primer memiliki lebar jalan minimal 8 meter dan panjang jalan minimal 1.2 Kilometer7. Jalan sekunder merupakan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa

7

-. (1990). Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan Di Wilayah Perkotaan. No. 010/T/BNKT/1990. Pembinaan Jalan Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga.

(11)

untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Jalan sekunder memiliki lebar jalan minimal 7 meter8.

Seluruh jalan itu diperuntukan untuk kendaraan pribadi dan umum/transportasi kota. Pemakaian kendaraan pribadi dalam jumlah besar dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan, polusi udara, hingga kurangnya sarana parkir. Guna menguranginya perlu ditingkatkan penggunaan transportasi kota, seperti bis. Selain itu, perlu disediakan juga sarana pendukung, seperti area transit dan jalur pedestrian yang terhubung dengan moda transportasi lain (kereta bawah tanah) serta tempat kerja (Calthrope, 1993). Transportasi kota memberikan banyak keuntungan bagi kota, antara lain kapasitas penumpang yang dilayaninya lebih besar serta membantu menghidupkan aktivitas di sekitar area transit.

Bahaya dan dampak negatif dari kendaraan bukan hanya polusi udara dan suara, tetapi termasuk bahaya akibat kecepatan laju kendaraan. Tabrakan antar sesama kendaraan ataupun tertabraknya pejalan kaki oleh kendaraan merupakan bahaya yang bisa ditimbulkannya. Oleh karena itu, perlu usaha untuk memperlambat laju kendaraan. Prinsipnya dengan memperpendek jarak antar persimpangan jalan, yaitu jarak panjang minimumnya 90 meter dan panjang maksimumnya 200 meter (Katz, 1994). Perencanaan jarak tersebut, bertujuan juga untuk memberikan kemudahan pencapaian dari satu aktivitas ke aktivitas lain.

Seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan, maka akan meningkatkan kebutuhan akan sarana parkir. Kekurangan kapasitas jumlah parkir pada fungsi bangunan dapat memberikan beban baru pada lingkungannya. Maka dari itu, kapasitas parkir harus direncanakan sesuai dengan fungsi kegiatannya. Kemudian, untuk menghindari konflik antara kendaraan dengan pejalan kaki, parkir kendaraan dapat direncanakan di basement, di belakang atau di samping bangunan (Katz, 1994).

Pencapaian pejalan kaki

Terdapat tiga hal yang terkait dengan keberhasilan jalan pejalan kaki dalam menghidupkan bagian kota, yaitu kualitas fisik, keamanan dan kenyamanan, serta keragaman aktivitas. Intensitas penggunaan jalan pejalan kaki berbanding lurus dengan

8

-. (1990). Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan Di Wilayah Perkotaan. No. 010/T/BNKT/1990. Pembinaan Jalan Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga.

(12)

kualitas fisik yang dimilikinya (Zeeger, 2002). Jika memiliki kualitas fisik yang baik maka dapat mendorong orang untuk pergi dengan berjalan kaki. Sebaliknya, jika tidak memiliki kualitas yang baik maka orang enggan untuk berjalan kaki dalam melakukan aktivitas. Street furniture, jalur hijau (pohon), dan lampu penerangan merupakan elemen-elemen yang dapat meningkatkan kualitas jalan pejalan kaki.

Faktor keselamatan pengguna jalan pejalan kaki tidak hanya dari bahaya akibat kendaraan bermotor tetapi juga berasal dari tindakan kejahatan manusia. Jalan pejalan kaki yang sulit pencapaiannya dan tidak memiliki lampu penerangan di malam hari, umumnya tidak bisa memberikan rasa aman kepada pengguna (Zeeger, 2002). Oleh karena itu, elemen jalan pejalan kaki bertujuan juga untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna.

Untuk menghindari bahaya akibat dari kendaraan bermotor, perlu dibuat batas yang tegas antara jalan kendaraan dan pejalan kaki. Beberapa perancangannya adalah pemberian rambu lalu lintas, memperpendek jarak persimpangan, dan penyediaan jalur hijau diantara kedua jalan sirkulasi. Standar perencanaan jalur hijau, yang dapat ditanami pepohonan adalah antara 1.8 sampai 2.4 meter (Jacobs, Macdonald, dan Rofe, 2001). Jalur hijau tersebut umumnya ditanami oleh pohon yang berfungsi untuk mengurangi polusi udara kendaraan dan memberikan kenyamanan dari pengaruh cuaca.

Gambar tampak atas, potongan, dan foto suasana di jalan Saint Michel Paris. Jalan pejalan kaki yang nyaman, aman, dan memiliki keragaman aktfitas dapat mendorong orang untuk berjalan kaki, mengurangi

penggunaan kendaraan pribadi, dan mengurangi pencemaran polusi udara dan suara. Gambar 2.2. Saint Michel Paris

(13)

Keragaman fungsi dan aktivitas sepanjang jalan pejalan kaki diperlukan untuk mendukung vitalitas kehidupan ruang kota, seperti kafe dan retail (fungsi komersil), ruang pertunjukan (plaza), dan penjual koran. Keragaman tersebut berpengaruh pada perancangan lebar jalannya. Lebar standar jalan pejalan kaki untuk fungsi sirkulasi saja adalah 1.5 – 2.4 meter, sementara jalan pejalan kaki untuk fungsi campuran termasuk komersil-retail memiliki lebar antara 3.6 – 4.8 meter (De Chiara, 1984; Jacobs, 1993). Jalan pejalan kaki yang memiliki kualitas fisik baik dan memiliki fungsi beragam dapat menciptakan identitas suatu bagian kota.

Akses pejalan kaki dan daerah transit adalah dua hal yang saling melengkapi. Orang harus dengan mudah pergi menuju ke tempat transit melalui jalan pejalan kaki, untuk menggunakan transportasi umum. Apabila jalan pejalan kaki dan daerah transit sudah terintegrasi, maka dapat mendorong orang menggunakan transportasi umum untuk beraktivitas (Zeeger, 2002). Kenyamanan transportasi umum yang sudah baik jika tidak ditunjang oleh kualitas jalan pejalan kaki dan daerah transit, maka dapat membuat orang beralih menggunakan moda lain (contoh: kendaraan pribadi).

2.2.2 Faktor Pelaku

Faktor pelaku dalam pelaksanaan urban renewal, terkait dengan sistem kerjasama dan pengadaan keuangan. Sistem kemitraan antara pemerintah dan swasta perlu dilaksanakan, karena sulitnya pengadaan lahan dan keuangan. Sistem tersebut bisa dilakukan melalui tanggung jawab pemerintah dalam pengadaan lahan. Kemudian, tanggung jawab swasta dalam pengadaan dana, pengadaan lapangan kerja, meningkatkan kualitas lingkungan, dan pengelolaan proyek peremajaan. Sumber pembiayaan dalam sistem kerjasama dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu revenue financing, debt financing, dan equity financing (Hirawan, 1995).

a) Revenue financing

Land readjustment/konsolidasi tanah merupakan salah satu sistem kerjasamanya. Pada dasarnya program ini bertujuan untuk menata dan mengatur kembali fungsi tanah, terutama di daerah permukiman penduduk (Blanco, 2005). Melalui konsolidasi tanah, luas tanah yang dimiliki oleh seseorang akan berkurang tapi nilainya bertambah, karena

(14)

kualitas lingkungan fisiknya menjadi lebih baik. Keuntungannya, pemerintah dapat mengatur kepemilikan privat, dapat melibatkan pemilik lahan dalam program, serta dapat menyeimbangkan nilai lahan kota secara optimal.

b) Debt financing

Ada dua jenis sumber pembiayaannya, yaitu excess condemnation dan linkage. Excess condemnation dikenal dengan metode pembiayaan secara tidak langsung, dimana sejumlah tanah diperuntukan pembangunan prasarana dan sejumlah lainnya diberikan kepada investor untuk pembangunan komersial. Sebagai imbalannya, investor berkewajiban membangun prasarana yang dibutuhkan. Upaya ini biasa digunakan untuk membangun kembali daerah kumuh (Hirawan, 1995).

Sedangkan linkage dikenal dengan metode pembiayaan secara langsung. Investor diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana sejenis di lokasi lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di lokasi yang mereka inginkan (Hirawan, 1995). Metode ini mulai digunakan di Indonesia dalam pengadaan perumahan. Investor diberikan ijin untuk membangun perumahan mewah dan sebagai kompensasinya pemerintah mewajibkan investor untuk membangun perumahan sederhana di lokasi lain.

c) Equity Financing

Joint ventures dan concessions merupakan sumber pembiayaan yang biasa digunakan dalam sistem kerjasama ini. Sistem joint ventures dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, yang dapat melibatkan pihak swasta dan pemerintah. Masing-masing pihak memiliki posisi yang seimbang dalam proyek yang bersangkutan, seperti besarnya biaya yang dibagi rata atau dalam hal pengambilan keputusan (Rodney dan Clark, 2000). Tujuannya untuk menggabungkan keunggulan dan keahlian masing-masing pihak, seperti swasta dalam hal keunggulan teknologi dan kemampuan manajemen, sementara pemerintah dalam hal kewenangan. Dalam pelaksanaanya, sistem ini sering mengalami kendala, karena salah satu pihak merasa dirugikan dan tidak puas.

Sedangkan dalam sistem concessions, salah satu pihak di berikan kewenangan guna menjalankan proyek. Dalam hal ini, pemerintah memberikan wewenang kepada

(15)

swasta untuk membangun, mengembangkan, dan memanfaatkan lahannya dalam kurun waktu tertentu. Tujuannya untuk mendorong kompetisi pembangunan kota yang dilakukan swasta dalam memberikan usulan/proposal kepada pemerintah, baik dari segi pembiayaan atau kualitas perancangannya (Kerf, 1998). Sistem concessions cukup beragam, diantaranya kontrak jasa, kontrak manajemen, kontrak sewa (leases), BOT (Built, Operate, Transfer), BOO (Built, Operate, Own), dan divestiture (sektor swasta mengambil alih seluruh kontrol perusahaan dengan membeli seluruh aset pemerintah).

Beberapa sistem kerjasama yang mulai di terapkan di Indonesia diantaranya adalah linkage, land readjustment, joint ventures, dan concessions. Sistem kerjasama linkage masih terbatas dalam sektor perumahan, dimana pemerintah menetapkan perlu menyeimbangkan pembangunan perumahan mewah, sedang, dan sederhana (Hirawan 1995). Adanya ketentuan ini, secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam penyediaan rumah sederhana atau sangat sederhana.

Contoh proyek nyata dari kerjasama antara pemerintah dan swasta adalah Proyek Ex-Bandar Udara Kemayoran Jakarta. Yang menerapkan sistem joint ventures dalam pelaksanannya (Danisworo, 1996). Dalam kerjasama ini terjadi keseimbangan antara besarnya sumbangan yang diberikan oleh investor dengan besarnya konsesi yang diberikan oleh pemerintah kepada investor.

2.2.3 Faktor Waktu

Faktor waktu terkait dengan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses tersebut dapat dipengaruhi oleh kemampuan dana, pengadaan lahan, serta peran pemerintah (Gale, 1984). Proyek urban renewal merupakan proyek pembangunan kembali suatu bagian kota dari awal, sehingga akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apabila memiliki kemampuan dana yang kuat, maka proses perencanaan dan pelaksanaan dapat berjalan dengan cepat. Sebaliknya, apabila tidak mimiliki kemampuan dana, maka prosesnya berjalan lambat. Maka, perlu dilakukan sistem kerjasama dengan investor guna mengatasi masalah dana.

Sedangkan lamanya waktu pengadaan lahan dipengaruhi oleh kepemilikan lahan. Kondisi yang mungkin terjadi, diantaranya lahan dimiliki oleh private dan dimiliki oleh pemerintah tetapi sudah menjadi permukiman liar (Gale, 1984). Apabila

(16)

lahan dimiliki oleh private, pemerintah bisa membeli lahan tersebut. Sedangkan untuk memindahkan permukiman liar, pemerintah selain memberikan uang pengambilalihan kembali lahan, perlu juga menyediakan tempat bermukim baru bagi mereka.

Permasalahan kesulitan dana dan pengadaan lahan dapat di atasi apabila pemerintah ikut serta dalam pelaksanaan urban renewal. Peran pemerintah terutama dalam hal pemberian kebijakan, seperti kemudahan perizinan, keringanan pajak usaha dan bangunan, serta kebijakan lain yang mendukung upaya urban renewal (Gale, 1984). Investor asing maupun lokal banyak yang bekerjasama apabila pemerintah memberikan kemudahan perizinan usaha maupun bangunan. Begitu juga halnya dengan pengadaan lahan, apabila ada kepastian hukum dan penegakan peraturan dari pemerintah, maka akan memudahkan proses pengadaan tanah.

2.3. Studi Banding Proyek Urban Renewal

Studi banding dilakukan untuk melihat sejauh mana kemungkinan suatu bagian kota untuk dilakukan upaya urban renewal, serta sejauh mana keberhasilan pengadaan hunian dalam upaya urban renewal. Penentuan objek studi banding adalah dengan cara mencari objek kawasan yang memiliki kemiripan dalam beberapa aspek dengan lokasi penelitian. Aspek-aspek tersebut antara lain perencanaan bagian kota melalui pemanfaatan fungsi campuran, upaya urban renewal melalui pengadaan hunian, lokasi perencanaan jaraknya dekat dengan stasiun kereta api dan pusat industri, serta properti pada lokasi perencanaan dimiliki oleh pihak kereta api.

Dari pertimbangan aspek-aspek tersebut, maka diambil 3 objek studi banding: a) Roppongi Hills di Tokyo merupakan proyek urban renewal di pusat kota melalui

pemanfaatan lahan dengan penggunaan campuran.

b) King’s Cross Central di London merupakan proyek urban renewal di kawasan stasiun kereta api dengan penggunan campuran.

c) The Makkasan Complex di Bangkok merupakan proyek urban renewal di dekat pusat kota dengan konsep “city with in city”.

(17)

2.3.1 Roppongi Hills, Tokyo. a) Faktor lokasi

Roppongi Hills didirikan di distrik Roppongi, sebuah bagian pusat kota Tokyo yang terkenal dengan berbagai fasilitas hiburan dan komersial. Daerah ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Utara dan Selatan. Pintu masuk utama berada di daerah Utara, yang bisa dicapai dari stasiun kereta api bawah tanah maupun jalan utama kota9. Oleh karena itu, daerah Utara diperuntukan untuk fungsi perkantoran. Di daerah Selatan yang memiliki suasana lebih tenang difungsikan sebagai daerah hunian agar nyaman dihuni. Untuk menghubungkan kedua fungsi ini, pada bagian tengahnya diperuntukan untuk fungsi komersial dan ruang terbuka kota.

b) Faktor pelaku

Permasalahan awal yang dihadapi proyek Roppongi Hills serupa dengan proyek pembangunan kembali bagian kota lainnya, yaitu kesulitan dalam pengadaan tanah. Melalui program konsolidasi tanah, Minori Mori telah berhasil merangkul 400 lebih orang yang memiliki tanah untuk mewujudkan idenya10. Selama pengambilalihan, para pemilik tanah sudah disediakan fasilitas pengganti. Prinsip kerjasamanya bagi hasil dengan pemilik tanah, Minori Mori sendiri berfungsi sebagai developer dan investor. Partisipasi pemilik tanah dilibatkan dalam memberikan persetujuan lokasi konsolidasi tanah, penyuluhan mengenai rencana pengembangan area dan pembangunan prasarana, serta pengawasan pada pelaksanaan proyek.

c) Faktor Waktu

Roppongi Hills merupakan salah satu proyek yang dianggap telah berhasil dalam memperkenalkan budaya hidup vertikal dengan keragaman kebutuhan hidup sehari-hari. Proyek dengan ide compact city, memerlukan waktu pembangunan yang tidak sebentar yaitu 17 tahun11. Hal yang mendasarinya adalah untuk lebih memperkenalkan budaya hidup baru yang dikembangkan di Roppongi Hills kepada warga Tokyo. Tujuannya agar dalam kurun waktu tersebut terjadi proses adaptasi dari warga kota.

9 http://www.jerde.com/press/ (di akses April 2007). 10

http://www.mori.co.jp/projects/roppongi/en_history.html (di akses April 2007)

11

(18)

d) Konsep pengembangan

Gambar 2.3. Roppongi Hills, Tokyo. Sumber: http://www.mori.co.jp (di akses 28 Maret 2007)

Roppongi Hills didirikan oleh Minoru Mori. Proyek ini dinilai berhasil oleh sebagian pengamat kota Jepang sebagai proyek cukup besar dalam pembangunan kembali (urban renewal) bagian kota Tokyo sejak perang dunia kedua berakhir. Pemikiran Minoru Mori berawal dari melihat cara hidup warga kota Tokyo, yang setiap hari menghabiskan rata-rata 3 jam lebih perjalanan komuter antara rumah dan tempat kerja12. Dari situ rasa keprihatinan timbul, bahwa warga Tokyo akan jarang berkumpul dengan keluarganya, untuk pergi ke museum, berbelanja bersama, yang intinya membuat hidup lebih nikmat. Rasa kagum terhadap arsitek Le Corbusier dan idenya tentang hidup vertikal merupakan faktor lain yang mengilhami Minoru Mori.

Roppongi Hills didirikan di atas lahan tidak lebih dari 12 hektar. Melalui konsep, menciptakan bagian kota yang kompak, komplit, dan terintegrasi dalam pola vertikal sehingga nyaman dan terjangkau untuk dihuni13. Tanpa harus jauh-jauh pergi dari sebuah lokasi, warga kota bisa melakukan segala aktivitas dengan mudah pada satu lokasi. Jangka panjangnya, Minori Mori ingin membuat Tokyo sebagai sebuah kota yang mudah ditinggali melalui sebuah konsep kota kompak (compact city).

Roppongi Hills menggabungkan beberapa fasilitas dalam satu lokasi, seperti perkantoran, pendidikan, hiburan, dan hunian. Dari keseluruhan luas lahan, hanya 50 %

12

http://www.mori.co.jp/projects/roppongi/en_history.html (di akses April 2007)

13

(19)

saja yang digunakan untuk bangunan sementara sisanya berupa taman dan ruang terbuka. Upaya ini dilakukan guna mengimbangi keragaman kegiatan dan kepadatan bangunan di kawasan sekitar. Fasilitas yang dikembangkannya adalah14:

‚ fasilitas perkantoran dan komersial berupa kantor sewa, stasiun TV Asahi, pertokoan, restoran, kafe, dan bioskop. Luasan areanya mencapai 75% dari luas area terbangun. Hal tersebut didasarkan pada kepentingan ekonomi, karena daerahnya berada di pusat kota dan dekat dengan sarana transportasi kota.

‚ fasilitas hunian berupa apartemen dengan 4 tower rendah dan tinggi, yang terdiri atas 800 kamar. Luasan areanya mencapai 20% dari luas area terbangun.

‚ fasilitas umum berupa museum, perpustakaan, dan observatorium. Luasan areanya mencapai 5% dari luas area terbangun.

2.3.2 King’s Cross Central (KXC), London. a) Faktor lokasi

Proyek King’s Cross Central berada pada lahan milik London and Continental Railways (perusahaan kereta apinya London) dan DHL Exel, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang logistik. King’s Cross Station dan Pancras Station berada di pusat kota London, dan letaknya saling bersebelahan yang hanya dipisahkan oleh Pancras road. King’s Cross Station dikenal sebagai sarana transportasi kota yang memiliki aksesibilitas tinggi. Kawasan perencanaan meliputi kawasan yang berada di sebelah Utara kedua stasiun tersebut, seluas 27.2 hektar15. Kawasan perencanaan dibatasi oleh kanal, jalur rel kereta api, dan jalan kendaraan disekililingnya.

Fungsi kawasan sekitarnya berupa bangunan heritage, gudang, fungsi perindustrian, fungsi komersial, hunian, dan taman. Kawasan ini juga dilalui oleh Regents Canal. Cubitt’s King’s Cross, Great Northern Hotel, dan St. Pancras Hotel merupakan bangunan bersejarah yang dilestarikan. Sementara di sebelah Selatan terdapat Regents Park yang berfungsi sebagai ruang terbuka kota.

14

http://en.wikipedia.org/wiki/Roppongi_Hills (di akses April 2007).

15

(20)

b) Faktor pelaku

Pembangunan dan pengembangan dilaksanakan oleh Argent (developer) dan pemilik tanah London and Continental Railways (LCR) dan DHL Exel, melalui sistem kerjasama joint venture. Dalam sistem kerjasama joint venture semua pihak yang terlibat memiliki hak dan kewajiban yang sama. Langkah awal yang dilakukan adalah mereka membuat rencana pengembangan kawasan dan membuat tujuan yang hendak dicapai dalam proyek ini16. Dalam proses ini, mereka bekerjasama dengan warga sekitar, masyarakat pengguna transportasi kereta, serta pemerintah setempat agar pengembangan kawasan sesuai dengan kebutuhan warga kota London.

Pihak LCR dan DHL difokuskan untuk mengembangkan serta membangun infrastruktur kawasan dan stasiun. Salah satunya melalui penambahan jalur rel kereta api dan menghubungkan semua stasiun kereta yang ada di London dengan stasiun King’s Cross17. Bertambahnya jalur rel kereta api, dapat meningkatkan aksesibilitas area King’s Cross. Argent sebagai developer difokuskan untuk membangun fungsi-fungsi lain yang telah direncanakan dan desain, seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan.

c) Faktor Waktu

Proyek ini berawal dari ide London and Continental Railways untuk memanfaatkan area brownfield pada lahan miliknya, agar dapat mendukung fungsi stasiun. Proses dari pengajuan proposal hingga persetujuan pengembangan memakan waktu yang tidak sedikit. Dibutuhkan waktu ±17 tahun untuk meyakinkan pemerintah dan warga kota London sampai proyek ini bisa dibangun, pada pertengahan tahun 2006.

Proses perencanaan masterplannya sendiri memakan kurun waktu hingga 4 tahun dengan melibatkan pihak pemerintah setempat, pemilik lahan, dan forum masyarakat kota London. Masyarakat ikut berperan serta dalam memberikan masukan mengenai perencanaan fungsi apa yang harus dibuat, dan menyetujui perencanaan yang diberikan oleh developer. Affordable housing dan ruang publik merupakan fungsi yang

16

-. (2003). Planning Statement. KXC, London. (www.argentkingcross.co.uk., di akses Mei 2007).

17

(21)

dianjurkan untuk dikembangkan oleh warga kota18. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi King’s Cross Station sebagai transportasi publik terbesar di kota London.

Proses pembangunan kawasan baru King’s Cross direncanakan akan memakan waktu kira-kira 15 tahun. Argent selaku pihak developer menyadari bahwa perubahan dari masterplan awal akan selalu terjadi, setelah pembangunan tahap pertama dilaksanakan. Maka dari itu, developer akan terus melakukan evaluasi masterplan pasca tiap tahapan pembangunan King’s Cross Central19. Upaya ini dimaksudkan agar perencanaan dan pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan proyek ini.

d) Konsep Pengembangan

Gambar 2.4. Masterplan King’s Cross, London.

Sumber: http://www.kingscrosscentral.com dan http://www.argentkingcross.co.uk (di akses Maret 2007)

Revolusi industri dan pembangunan yang mengedepankan kendaraan bermotor di London, mengakibatkan terciptanya daerah tak bertuan dan menurun kualitas lingkungannya. King’s Cross Central merupakan salah satu contoh daerah itu. Agar vitalitasnya meningkat, maka dilakukan urban renewal. Konsep pengembangannya adalah pembangunan multi fungsi, dengan mengedepankan kemudahan aksesibilitas, preservasi, keragaman ruang terbuka kota, ramah lingkungan dan hemat energi, serta

18

http://www.kxrlg.org.uk/news/index.htm (di akses Mei 2007).

19

(22)

pembangunan hunian20. Ruang terbuka yang dapat diakses oleh warga kota menjadi perhatian utama, karena dapat mendorong warga beraktivitas dengan berjalan kaki.

Sekitar 40 % luas area King’s Cross dipergunakan untuk ruang terbuka kota, seperti 3 buah taman dan ruang terbuka, 5 plaza dan 20 jaringan jalan. Sisanya diperuntukan untuk pengembangan kegiatan multi fungsi, diantaranya21:

‚ fungsi perkantoran dan komersial, seperti pusat perbelanjaan, restoran, hingga cafe luasan areanya mencapai 70% dari luas are terbangun. Melalui pengembangan kegiatan multi fungsi, diperkirakan nantinya dapat mendatangkan 30.000 lowongan kerja bagi warga kota. Fungsi komersial berada di lantai dasar dan terdapat diseluruh kawasan. Lantai atasnya digunakan untuk fungsi perkantoran, hunian, dan fasilitas umum. Fungsi perkantoran dan komersial berada di Utara dan Selatan kawasan yang dekat dengan jalan utama kota .

‚ fungsi hunian berupa apartemen, luasan areanya mencapai 25% dari luas area terbangun. Pembangunan apartemen bertujuan untuk menghidupkan kawasan serta untuk mengurangi jumlah kebutuhan hunian kota London. Apartemen berada di Utara dan tengah kawasan, karena letaknya dekat dengan kawasan perkantoran. ‚ fungsi umum seperti pusat kebudayaan, sekolah, gedung olahraga, dan pusat

kesehatan memiliki luas area mencapai 5% dari total luas area terbangun.

2.3.3 The Makkasan Complex, Bangkok. a) Faktor lokasi

The Makkasan Complex lokasinya dekat dengan pusat kota Bangkok yang memiliki lahan seluas 162 hektar. Lahan yang biasa digunakan sebagai gudang dan bengkel kereta api dimiliki oleh State Railway of Thailand. Sudah lebih dari satu dekade lahan tersebut ditinggalkan, sehingga mengalami kerusakan dan memberikan dampak negatif kepada kawasan sekitarnya seperti polusi udara hingga rasa tidak aman22. Kondisi tersebut mendorong dilakukannya urban renewal.

20

-. (2004). Regeneration Strategy. Kings Cross Central, London.

http://www.argentkingscross.co.uk/live/planning_application/index.cfm?id=149 (di akses Mei 2007).

21

Ibid.

22

(23)

Lahan milik State Railway of Thailand (SRT) ini punya banyak potensi, baik dari segi pencapaian, fungsi kawasan sekitar, hingga jarak terhadap pusat kota. The Makkasan Complex memiliki bentuk lahan yang memanjang dan dikelilingi oleh jalan kota dan rel kereta. Kemudian jaraknya dekat dengan daerah Central Business District serta di kelilingi oleh fungsi komersial dan hunian kepadatan tinggi23. Di sebelah Utara terdapat Makkasan Lake dan sungai Klong Samsen yang mengalir ke pelabuhan.

b) Faktor pelaku

Permasalahan yang dihadapi proyek Makkasan Complex adalah masalah dana. Permasalahan ini umumnya serupa dengan proyek sejenis yang lahannya dimilki oleh negara, karena negara memiliki dana yang terbatas. Akan tetapi setelah menjalani proses perencanaan sejak tahun 2003, banyak investor yang mengajukan kerjasama. Pengembangan kawasan dilakukan oleh lebih dari satu investor dengan sistem joint venture, diantaranya Gordon Wu’s Hopewell Holdings mengembangkan monorail, hotel dan apartemen dikembangkan Land and House, serta Central Group mengembangkan mall24. Kemudian perencanaan kawasan akan dilakukan oleh Design Concept Company.

c) Faktor waktu

Proyek pengembangan kawasan seluruhnya ditawarkan kepada pihak swasta karena pemerintah kota Bangkok dan pemerintah pusat belum pernah melaksanakan proyek sejenis. Waktu pembangunan direncanakan tidak akan memakan waktu yang lama, yaitu hanya lima tahun dan dibagi dalam tiga tahapan pembangunan25. Tujuannya untuk mempercepat peningkatan ekonomi kota Bangkok.

d) Konsep pengembangan

Ada dua konsep besar yang dikembangkan pada Makkasan Complex. Konsep pertama, “city within city” yang menggabungkan beberapa aktivitas dalam satu lokasi, seperti pusat bisnis dan perkantoran, apartemen dan hotel, mall dan pusat perbelanjaan,

23

BCI Asia. (2007). architecture@08. BCI Asia Construction Information Pte Ltd, Jakarta.

24

www.2bangkok.com (di akses November 2007)

25

(24)

hingga pusat hiburan (BCI Asia, 2007). Setiap aktivitas tersebut dihubungkan oleh skywalk sehingga memudahkan pergerakan orang dan terhindar dari pengaruh iklim.

Kemudian konsep yang kedua, menjadikan Makkasan Complex sebagai “all in-one transportaion terminal”(BCI Asia, 2007). Tujuannya untuk mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas dan meningkatkan aksesibilitas kawasan. Terdapat 3 transportasi masal yang dikembangkan, yaitu kereta (skytrain, monorail, subway), perahu (water boat), dan bis kota. Setiap stasiun dari masing-masing moda dihubungkan dengan stasiun di bagian kota Bangkok lainnya. Salah satunya stasiun monorail yang terhubung dengan Suvarnabhumi International Airport. Kemudian water boat yang memanfaatkan sungai Klong Samsen sebagai jalur transportasinya.

Gambar 2.5. The Makkasan Complex Bangkok.

Sumber: BCI Asia. (2007). architecture@08. BCI Asia Construction Information Pte Ltd, Jakarta.

Lokasi yang dekat dengan pusat kota dan daerah CBD mempengaruhi intensitas pengembangan masing-masing fungsi kegiatan. Fungsi komersial mendominasi kompleks ini dengan luas area mencapai 75% dari luas area terbangun26. Kemudian fungsi hunian (apartemen), luas areanya mencapai 20% dari luas area terbangun. Sedangkan sisanya untuk fungsi pelayanan umum, berupa museum dan perpustakaan.

2.3.4 Kesimpulan Studi Banding a) Faktor Lokasi

Ketiga proyek sama-sama berada pada lokasi yang memiliki potensi besar, yaitu dekat dengan sarana transportasi kota dan jalan utama kota. Permasalahan yang

26

(25)

dihadapinya pun sama, yaitu aksesibilitas menuju lokasi. Maka guna mendorong datangnya investor untuk mengembangkan kawasan, dilakukan upaya peningkatan aksesibilitas agar lebih banyak dan beragam.

b) Faktor Pelaku

Perbedaan sistem kerjasama ketiga proyek, didasari atas perbedaan kepemilikan tanah. Pada proyek Roppongi Hills, tanah awalnya dimiliki sepenuhnya oleh warga kota. Namun, melalui sistem konsolidasi tanah, developer dapat mengembangkan tanah-tanah tersebut. Kemudian pada proyek King’s Cross dan Makkasan Complex, tanah-tanah dimiliki oleh pihak kereta api yang berencana mengembangkan kawasannya, sehingga yang perlu dilakukan hanya mencari investor yang mau mengembangkan kawasannya. Kerjasamanya dilakukan dengan sistem joint venture, karena sistem tersebut dinilai sama-sama menguntungkan oleh kedua belah pihak.

c) Faktor Waktu

Dua proyek peremajaan di London dan Tokyo direncanakan memakan waktu pembangunan antara 15-17 tahun, sementara di Bangkok memakan waktu 5 tahun. Yang membedakannya adalah pemerintah kota Bangkok mengharapkan dengan pembangunan yang lebih cepat dapat segera mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara rencana pembangunan di London dan Tokyo bertujuan agar proyek berjalan dinamis. Maksudnya, pentahapan pembangunannya harus bersinergi dengan kawasan sekitar yang disesuaikan dengan strategi bisnis dan pertumbuhan aktivitas baru. Selain itu, jangka waktu yang lama dapat memberikan waktu kepada warga kota untuk beradaptasi dengan fungsi dan aktivitas yang hadir di lingkungannya.

d) Konsep Pengembangan

Ketiga proyek mengembangkan konsep yang sama yaitu menciptakan kawasan terpadu melalui pembangunan multi fungsi. Fungsi komersial dan perkantoran berada pada daerah dengan aksesibilitas tinggi. Fungsi hunian berada di daerah yang jauh dari jalan utama, dengan maksud memberikan suasana tenang dan bertujuan menghidupkan kawasan. Ruang terbuka pada ketiga proyek tersebut memakan ruang yang cukup besar,

(26)

antara 40%-50% dari luas lahan. Ada tiga hal yang mendasarinya. Pertama, sebagai upaya untuk mengimbangi kepadatan bangunan di sekitar kawasan. Yang kedua, untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka kota yang dinilai kurang. Kemudian yang terakhir, untuk menghidupkan vitalitas kawasan sebagai esensi dari upaya urban renewal.

e) Manfaat Studi Banding

Hasil dari kajian studi kasus Roppongi Hills, King’s Cross, dan Makkasan Complex yang bisa digunakan pada lokasi studi adalah pengembangan multi fungsi guna menciptakan kawasan terpadu. Melalui ide ini penghuni dapat mengakses kebutuhan hidup sehari-hari dengan jarak yang dekat dan mudah, mulai dari tinggal, bekerja, hingga mencari hiburan. Keuntungan lain yang dapat diperoleh adalah mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan mendorong orang untuk berjalan kaki.

Penempatan fungsi kegiatan menjadi sangat penting, agar dapat meningkatkan vitalitas kawasan. Berikut ini beberapa strategi penempatan tiap fungsi kegiatannya: ‚ fungsi perkantoran dan komersial diletakan di daerah yang mudah dicapai atau dekat

degan jalur utama kota, dengan alasan pertimbangan nilai ekonomi.

‚ fungsi komersial difungsikan juga sebagai penghubung antara fungsi perkantoran dan stasiun transportasi kota dengan fungsi hunian. Tujuannya agar penghuni tidak merasa jenuh dan bosan ketika berangkat atau pulang kerja, karena penghuni dapat melakukan aktivitas lain seperti window shopping (melihat-lihat etalase toko).

‚ fungsi pelayanan umum diletakan dekat fungsi hunian, agar penghuni mudah melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki.

2.4 Pengadaan Hunian di Perkotaan

Perkembangan lingkungan hunian di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana hunian akan meningkat, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Pembangunan dan pengembangan hunian di perkotaan dapat dilakukan melalui upaya urban renewal (Komarudin, 1997; Santoso, 2002).

(27)

Terdapat beberapa upaya urban renewal yang terkait dengan pengadaan hunian. Yang pertama, peremajaan permukiman kumuh yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan ruang kota (Komarudin, 1997). Upaya ini dilakukan melalui perbaikan lingkungan dan penyediaan prasarana umum. Peremajaan permukiman kumuh bisa dilaksanakan dengan melakukan relokasi penghuni atau tidak sama sekali. Upaya merelokasi penghuni ke tempat baru dilaksanakan, apabila tempat lamanya berada pada daerah ilegal dan berbahaya, seperti di bantaran sungai.

Gambar 2.6. Tanah Abang Jakarta adalah Contoh Peremajaan Permukiman Kumuh

Sumber: Foto koleksi pribadi (Pebruari 2007)

Yang kedua, konsolidasi tanah sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan langka dan mahalnya tanah di perkotaan. Melalui konsolidasi tanah, tanah dan lingkungan kota di tata dan di atur kembali pemanfaatannya agar lebih sehat, menyenangkan dan teratur untuk berbagai keperluan (Komarudin, 1997; Blanco, 2005). Salah satu prinsip kerjanya dengan pemindahan hak-hak atas tanah tetapi bukan suatu tindakan penggusuran. Pemilik lahan yang lama dapat tetap tinggal di lokasi yang sudah dikembangkan fungsi penggunaan dan intensitas pemanfaatannya.

Gambar 2.7. Roppongi Hills Tokyo sebagai Contoh Proyek Konsolidasi Tanah Sumber: www.roppongihills.com/en/information/ (di akses April 2007)

Kemudian yang ketiga dengan cara membangun rumah susun oleh pemerintah, dan swasta. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan fungsi hunian seluruh lapisan masyarakat di perkotaan (Komarudin, 1997).

(28)

Pemerintah umumnya membangun rusun sederhana untuk masyarakat menengah kebawah, seperti pembangunan rusun Jatirawsari Jakarta. Kemudian pihak swasta banyak membangun rusun mewah (apartemen) untuk masyarakat menengah ke atas, seperti apartmen Ciumbuleuit Bandung (Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Contoh Program Pembangunan Rusun dan Apartemen Sumber: Indonesia Architecture Magazine, Edisi 9, 2007.

2.5 Klasifikasi Hunian

Hunian berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dan tempat berlindung dari pengaruh alam, yang terdiri atas struktur bagian dinding dan atap. Model hunian dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologi bangunannya, antara lain:

1. Detached house (rumah tunggal), sebagai tempat tinggal manusia (dalam bentuk rumah) yang berdiri sendiri pada persilnya dan terpisah dari rumah sebelahnya. Detached house umumnya dalam bentuk rumah dengan tipe besar dengan luas persil diatas 400 meter persegi27.

2. Semi detached houses, merupakan rumah yang berada pada 1 persil, yaitu dua unit rumah tinggal terdapat dalam satu bangunan dan satu atap. Dari segi kepemilikan rumah biasanya satu persil dibagi menjadi dua kepemilikan sehingga masing-masing unit rumah mempunyai kepemilikan sendiri28.

3. Terraced house (di Inggirs) atau townhouse (di Amerika Serikat) atau rumah deret, merupakan tempat tinggal manusia yang bangunan/unit rumahnya menempel satu

27

Baiche, Bousmaha., dan Walliman, Nicholas. (2000). Neufert Architects Data 3rd edition. Blackwell Science, United Kingdom.

28

(29)

dengan lainnya. Dalam setiap rumah deret biasanya terdapat 6 unit tipe rumah kecil dengan luas persil di bawah 200 meter persegi(Baiche dan Walliman, 2000).

Gambar 2.9. Detached house (a), Semi detached house (b), dan Terraced house (c)

Sumber: Davies, Llewelyn (2000), Urban Design Compedium, English Partnership, The Housing Corporation, 46.

4. Apartment, adalah sebuah bangunan bertingkat banyak dan terdiri dari beberapa unit hunian keluarga. Bangunan apartment terdiri atas walk-up apartment yang memilki ketinggian 3 – 5 lantai, dan elevated apartment yang memiliki ketinggian minimal enam lantai (De Chiara, 1984). Perencanaan apartmen biasanya terletak pada pusat kota, yang didasari akan mahalnya harga tanah di perkotaan. Model apartment cukup bervariasi, yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan penghuninya.

5. Hotel, merupakan hunian yang dikelola secara komersial, untuk disewakan kepada pengunjung dengan dipungut bayaran. Tipologi hotel beragam yang disesuaikan berdasarkan fungsi hotel tersebut, seperti resort hotel yang umumnya berupa rumah tunggal dan city hotel yang memiliki tipologi bangunan tinggi (Hermawan, 1986).

2.5.1 Rumah Susun atau Apartemen

Permasalahan pengadaan hunian di perkotaan karena kecenderungan langkanya tanah dan tingginya harga tanah di perkotaan. Untuk mengefektifkan penggunaan tanah yang terbatas, pembangunan hunian dapat dilakukan secara vertikal yaitu dalam bentuk rumah susun (Komarudin, 1997). Adapun pengertian dari rumah susun, seperti:

a) Sebagai bangunan bertingkat banyak yang tujuan pembangunannya untuk menyediakan tempat hunian bagi masyarakat.

b) Rumah Susun dapat diartikan sebagai permukiman gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah, terutama untuk tempat hunian

(30)

yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. (UU No.16 Tahun 1985, PP No.4 Tahun 1988).

Rumah susun/apartemen dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologi bangunan. Klasifikasi rumah susun/apartemen tersebut dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem kepemilikan, sistem penyusunan lantai, dan sistem pencapaian vertikal.

1) Sistem kepemilikan.

Berdasarkan sistem kepemilikan rumah susun/apartemen dikategorikan jadi 3. Pertama, rusun/apartemen rental yang di pakai dengan cara di sewa. Dalam sistem ini, perawatan unit hunian dan beban biaya listrik, air, atau telepon menjadi tanggung penghuni. Sementara perawatan lingkungan, menjadi tanggung jawab penghuni dan pemilik rusun/apartemen29.

Sistem yang kedua, coorperative dimana rusun/apartemen dijual kepada suatu perusahaan untuk disewakan kepada karyawannya. Pihak perusahaan dapat menjual kembali rusun/apartemen kepada perusahaan lain atau kepada pemilik lama, dengan sarat seluruh biaya gedung (listrik, air, telepon, dll) sudah dilunasi30.

Sistem yang terkahir, condominium yang di pakai dengan cara di beli. Setiap pemilik mempunyai surat hipotik, fasilitas milik bersama, serta berhak memindahkan kepemilikan, menjual kepemilikan, atau menyewakan unit huniannya. Perawatan dan pengelolaan bangunan menjadi tanggung jawab bersama penghuni31.

2) Sistem penyusunan lantai

Berdasarkan sistem penyusunan lantai, rusun/apartemen dibagi mejadi 3 sistem. Pertama, simplex Apartment/ Flat yang seluruh ruangannya berada pada satu lantai. Sistem tersebut banyak dipakai, karena lebih ekonomis dalam pembangunan. Simplex apartment juga memiliki kemudahan dalam sistem sirkulasi, karena seluruh aktivitas kegiatan penghuni berada pada satu unit hunian yang satu lantai32.

29

De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York.

30 Ibid. 31 Ibid. 32 Ibid.

(31)

Yang kedua, duplex apartment dimana ruangannya terdapat pada dua lantai. Ruag dapur, ruang makan, dan ruang keluarga biasanya terletak pada lantai yang di bawah. Sementara ruang tidur, dan ruang privat lainnya berada pada lantai yang diatas. Keuntungan apartemen model ini adalah adanya pemisahan aktivitas yang dapat memberikan privasi lebih pada penghuninya33.

Kemudian yang terakhir, triplex apartment yang ruangannya terdapat pada tiga lantai. Apartemen model ini biasanya dikategorikan dengan apartemen mewah pada high rise apartment karena luas unit hunian yang lebih besar, serta perencanaan dan perancangan unit hunian yang sengaja dibuat lebih mewah34.

Gambar 2.10. Sistem Penyusunan Lantai Rumah Susun/Apartemen

Sumber: De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York.

3) Sistem pencapaian vertikal

Berdasarkan sistem pencapaiannya, apartemen diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, elevated apartment dimana sistem pencapaian vertikalnya menggunakan elevator. Sistem ini digunakan pada rusun/apartemen yang memiliki ketinggian lebih dari 5 lantai. Maksudnya untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi penghuni menuju unit huniannya35.

Kemudian, walk-up apartment yang memiliki ketinggian bangunan antara 3 sampai 5 lantai dimana sistem pencapaian vertikalnya memakai tangga. Jumlah ketinggian lantai pada tiap negara tidak sama, karena faktor kenyamanan fisik, kemampuan ekonomi, dan sosial budaya.

33

De Chiara, Joseph. (1984). Time Saver Standard for Residential Development. McGraw-Hill Book Company, New York.

34

Ibid.

35

(32)

Walk-up apartment yang banyak dikembangkan di Indonesia memiliki ketinggian 4-5 lantai, seperti Rusun Tanah Abang, Rusun Kebon Kacang, dan Flat Sarijadi. Hal yang mendasarinya, untuk memberikan kenyamanan bagi penghuni dalam mencapai unit huniannya dan penghuni belum terbiasa hidup dengan pola vertikal (Mauliani, 2002). Keinginan penghuni tinggal dekat dengan tanah mengakibatkan harga unit hunian di lantai bawah lebih mahal dibanding di lantai atas.

Gambar 2.11. Rusun Tanah Abang (1), Kebon Kacang (2), dan Sarijadi Bandung (3).

Sumber: Foto Koleksi Pribadi

Di India ketinggian lantai walk-up apartment umumnya 3 sampai 4 lantai. Yang menjadi pertimbangannya adalah biaya pembangunan yang tidak terlalu besar, dapat menggunakan material lokal, memudahkan dalam perawatan bangunan, serta memudahkan adaptasi penghuni dalam hidup di hunian vertikal (Vestbro 2004).

Gambar 2.12. Housing-sheikh sarai dan housing cidco new mumbai di India.

Sumber: www.rajrewal.in

Berdasarkan hasil hasil survey lapangan dan literature, di Indonesia terdapat dua model rusun, yaitu rusun mewah yang dikenal dengan apartment/condominium, serta rusun sederhana untuk masyarakat menengah ke bawah. Berikut ini merupakan tabel perbedaan dari kedua model rusun tersebut:

(33)

Tabel 2.2. Klasifikasi Rumah Susun di Indonesia

Rumah Susun Sederhana Rumah Susun Mewah

Pengguna Masyarakat berpenghasilan menengah

dan menengah kebawah

Masyarakat berpenghasilan menengah keatas

Sistem kepemilikan Rusuna milik dan rusuna sewa Milik.

Sistem penyusunan lantai

Simplex Simplex/dulex/triplex

Sistem pencapaian vertikal

Tangga dengan ketinggian max. 5 lantai. Elevator dengan ketinggian min. 6 lantai

Elevator / elevated apartment

Ketinggian bangunan

4-5 lantai(low rise) sejak th. 1978. 10 lantai sejak th. 1996 pilot projek DKI

High rise (lebih dari 6 lantai)

Fasilitas penunjang Ruang terbuka, parkir kendaraan bersama, fasilitas sosial, fasilitas

olahraga, dll.

Tempat hiburan, parkir kendaraan pribadi, kolam renang dan fasilitas olahraga lainnya, restaurant,dll.

Sistem Perawatan Gedung

Untuk sistem milik: pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemilik. Untuk sistem sewa : pemeliharaan menjadi tanggung jawab pengelola.

Pemeliharaan dilakukan oleh pihak yang mengelola rusun tsb.

Luasan unit hunian Minimal 21 m2 dengan mengeluarkan biaya maksimal sekitar 1/3 bagian dari

pendapatan per bulan.

Minimal 36 m2.

Sistem pembangunan

Rusun dapat dibangun dengan dua cara: Dilaksanakan atau disubsidi oleh pihak

Pemerintah/Perumnas. Kerjasama antara pihak swasta dengan

Pemerintah/Perumnas.

Rusun/apartemen dibangun oleh pihak swasta.

Sumber: Analisis Lapangan.

2.5.2 Kepemilikan Rumah Susun Sederhana

Sistem kepemilikan rumah susun sederhana yang ditetapkan oleh Perumnas ada dua, yaitu milik dan sewa. Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dari segi bisnis, sistem milik dapat memberikan keuntungan bagi pengelola karena waktu pengembalian modal yang relatif cepat yaitu antara 2-3 tahun. Sementara sistem sewa pengembalian modalnya relatif lama, yaitu dalam jangka waktu 8-15 tahun (Komarudin, 1997).

Permasalahan rusuna salah satunya dari faktor pengelolaan gedung. Sulitnya pengelola rusuna dalam mengontrol perilaku penghuni merupakan kekurangan dari sistem milik. Hal tersebut dikarenakan penghuni (pemilik) merasa berhak melakukan apa saja pada unit huniannya. Kemudian kerugian dengan sistem sewa adalah pengelola harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeliharaan dan perawatan bangunan (Verawati, 2007). Akan tetapi kendali pengelolaan berada di pihak pengelola, sehingga memudahkan dalam mengontrol perilaku penghuni agar kualitas bangunan tetap terjaga.

(34)

Semenjak tahun 1995 Perum Perumnas hanya menerapkan sistem sewa pada bangunan rusuna yang baru. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi pengambilan keputusan tersebut, diantaranya:

1. Penghuni sebagai pemegang hak milik unit hunian sering memindahtangankan kepemilikan ke pihak lain, karena alasan keuntungan finansial yang bisa diperoleh. (Mauliani, 2002). Masyarakat merasakan hidup di rusun memerlukan biaya yang besar dan tidak sebanding dengan penghasilan mereka yang dapatkan per bulannya. 2. Untuk memudahkan pengelolaan dalam mengontrol perilaku penghuni dan

perawatan bangunan rusuna. Selain itu apabila masa penggunaan bangunan rusuna telah habis maka pihak Perum Perumnas/pengembang bisa melakukan upaya peremajaan kembali bangunan rusuna (Verawati, 2007).

Dalam sistem sewa, uang sewa digunakan untuk biaya pengelolaan lingkungan rusuna. Besarnya uang sewa yang ditetapkan oleh Perumnas, antara 25%-30% dari upah minimum regional tiap kota. Akan tetapi karena uang sewa tidak cukup untuk menutupi semua biaya pengelolaan rusun, maka pembiayaannya dibantu oleh subsidi pemerintah (Komarudin, 1997). Selain itu, subsidi masih diperlukan karena rusuna diperuntukan untuk masyarakat menengah ke bawah yang secara kemampuan ekonomi masih kurang. Subsidi tersebut bisa berasal dari pajak properti lain (rumah mewah, fungsi komersil, dan fungsi perkantoran) yang berada disekitar lingkungannya.

Berikut ini merupakan data beberapa rusunami dan rusunawa di kota Jakarta dan Bandung, yang dibangun dan dikelola oleh Perumnas.

Tabel 2.3. Studi Banding Rusuna di Jakarta dan Bandung

No Tahun Dibangun & Nama Rusun

Luas Lahan (Ha)

Tipe Unit Hunian dan Jumlah Hunian Keterangan Lain 1 1981 Tanah Abang 3.94 F 36 = 960 unit 4 lantai. Peremajaan lingkungan. Pengembang Perum Perumnas. Rusuna milik dan rusuna sewa. 2 1982

Klender

9.30 F 36 = 1216 unit

F 54 = 64 unit 4 lantai.

Pengembang Perum Perumnas. Rusuna milik dan sewa. 3 1983 Kebon Kacang 1.80 F21 = 128 unit, F36 = 240, F42 = 166 unit, F54 = 66 unit. 4 lantai Peremajaan lingkungan. Pengembang Perum Perumnas. Rusuna milik dan rusuna sewa. 4 1990

Pulo gadung

2.98 F18 = 154 unit

4 lantai

Peremajaan lingkungan. Pengembang Perum Perumnas. Rusun sewa.

(35)

5 1991 Kemayoran 1 6.00 F18= 12 blok= 902unit. F21= 6 blok= 600unit F36= 3 blok= 360unit 5 lantai

Pengembang Perum Perumnas. Peremajaan lingkungan. Rusuna milik dan sewa. 6 1998 Kemayoran 2 8.00 F21 F27 F36 F 42 12 lantai

Pengembangan tahap ke-2 oleh Perum Perumnas.

Sistem campuran. Rusun milik dan sewa. 7 1996-2000

Pasar Jum’at

0.93 F36 = 120 unit

10 lantai.

Kerjasama antara Dep. Kimpraswil dan Perumnas.

Rusun sewa.

8 Bidaracina 2.30 F18 = 688 unit

5 lantai dan 4 blok.

Peremajaan lingkungan oleh Dinas Perumahan DKI Jakarta. Rusun milik dan rusun sewa. 9 2002

Tzu Chi Cengkareng

51.00 F36 = 1100 unit

5 lantai & 55 blok.

Kerjasama antara Yayasan Budha Tzu Chi, Pemda DKI, dam Perum Perumnas.

Rusun sewa.

10 Jatirawasari - F36 = 96 unit

F21 = 72 unit 6 lantai dan 2 blok.

Pengembang Dinas Perumahan DKI.

Rusun sewa.

Lantai dasar sebagai daerah fasum dan komersial.

11 Seruni Pulogebang 3000 m2 F21 = 240 unit

5 lantai dan 4 blok.

Pengembang perum Perumnas. Rusun sewa.

Lantai dasar sebagai daerah fasum dan komersial.

12 1979

Sarijadi, Bandung.

3.80 F36 = 864 unit

4 lantai dan 9 blok.

Pengembang Perum Perumnas. Rusun milik dan dinas. 13 1990 Industri Dalam, Bandung. 2.40 F18 = 156 unit. 4 lt dan 3 blok. Rusun sewa.

Sumber: Survey lapangan dan www.perumnas.co.id (di akses Mei 2007).

2.6 Pembangunan Rumah Susun Sederhana

Pembangunan rumah susun sederhana merupakan salah satu upaya dalam memenuhi kebutuhan hunian pada lahan perkotaan yang terbatas. Pembangunan rusun menyangkut berbagai aspek non fisik, seperti masalah sosial, ekonomi, kelembagaan, hingga manusia sebagai penghuni. Selain aspek non fisik terdapat aspek-aspek bersifat fisik yang perlu diperhatikan, yaitu lokasi dan bangunan rusun (Panudju, 1997). Kedua aspek fisik tersebut akan dibahas lebih lanjut karena dapat mempengaruhi keberlanjutan dan kehidupan penghuni rusun, sesuai dengan esensi urban renewal.

(36)

2.6.1 Lokasi Rumah Susun Sederhana

Yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rumah susun sederhana adalah menentukan lokasi. Pemilihan lokasi akan menentukan tingkat kenyamanan, keamanan, ekonomi, keberlanjutan rusun, dan keberhasilan pembangunan rusun. Terdapat dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi terkait dengan masalah hubungan dengan struktur kota, yaitu jarak terhadap tempat kerja dan jarak terhadap fasilitas pelayanan umum(De Chiara, 1984; Panudju, 1997).

2.6.1.1 Jarak terhadap Tempat Kerja

Penentuan lokasi rusun tidak bisa terlepas dari peraturan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, salah satunya berhubungan dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Dalam RUTRK setiap kawasan kota telah direncanakan arah dan kebijaksanaan pembangunannya. Maka penentuan lokasi rusun harus disesuaikan dengan RUTRK agar fungsi rusun dapat bersinergi dengan fungsi sekitarnya.

Strateginya dengan membangun rusun pada lokasi yang dekat dengan tempat kerja, seperti daerah perkantoran, komersial, dan industri. Jarak maksimum antara fungsi hunian dengan tempat kerja adalah 1.6 Km, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan (De Chiara, 1984). Tujuannya untuk mendorong penghuni bekerja hanya dengan berjalan kaki, sehingga dapat mengurangi biaya transportasi kendaraan sehari-hari.

Ada dua faktor yang dapat mendorong penghuni untuk berjalan kaki menuju tempat kerja. Pertama, kemudahan pencapaian yang terkait dengan kualitas jalan pejalan kaki yang memberikan rasa aman dan nyaman, serta akses menuju rusun. Intensitas pemakaian jalan pejalan kaki berbanding lurus dengan kualitas fisik jalannya (Zeeger, 2002). Penghuni akan banyak yang berjalan kaki apabila kualitas fisiknya bagus, dan akan sedikit penggunanya apabila kualitas fisiknya jelek. Kemudian keragaman akses menuju rusun dapat memudahkan pergerakan penghuni dari berbagai arah.

Yang kedua, rusun harus memiliki kemudahan pencapaian dari atau menuju sarana transportasi kota. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat kemampuan ekonomi penghuni, tidak semua penghuni memiliki kendaraan pribadi untuk pergi bekerja. Oleh karena itu, jaringan jalan yang ada di sekitar lokasi rusun harus terintegrasi dengan

Gambar

Gambar 2.1. Diagram Kerangka Fikir Urban Renewal
Tabel 2.1. Proporsi Fungsi dalam Pembangunan Multi Fungsi
Gambar tampak atas, potongan, dan foto suasana di jalan Saint Michel Paris. Jalan pejalan kaki yang  nyaman, aman, dan memiliki keragaman aktfitas dapat mendorong orang untuk berjalan kaki, mengurangi
Gambar 2.3. Roppongi Hills, Tokyo.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini mendeskripsikan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan pembelajaran combo terpadu.Penelitian ini menggunakan

Keterlibatan Indonesia dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan salah satu bentuk upaya untuk melihat sejauh mana keberhasilan

Untuk melihat sampai sejauh mana keberhasilan program pembinaan yang dilakukan, maka dilaksanakan penelitian yang merupakan penelitian Evaluasi program untuk mengetahui

Selain menggunakan beberapa medium dasar, upaya lain yang juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kakao adalah dengan penambahan

Skripsi ini mendeskripsikan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan pembelajaran combo terpadu.Penelitian ini menggunakan

Berdasarkan dari penjelasan tersebut tentunya akan mendukung konteks dalam penelitian ini, yaitu akan melihat sejauh mana upaya yang dilakukan BUMDes untuk tetap

Analisis kawasan berdasarkan kerangka fikir urban renewal yang diperoleh dari kajian teori, yang bertujuan untuk melihat permasalahan kawasan, potensi yang dimiliki kawasan , serta

Sejauh fakta-fakta yang telah dipaparkan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana upaya “Ngayogjazz” melawan mitos jazz sebelumnya dengan menciptakan paradigma