• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KECEMASAN Amarilys Andaritidya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KECEMASAN Amarilys Andaritidya"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KECEMASAN

Amarilys Andaritidya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi permasalahan, penyebab masalah, maupun potensi yang dimiliki oleh subyek untuk menentukan intervensi yang tepat guna membantu subyek mengatasi permasalahannya. Untuk dapat menemukan data terkait tujuan penelitian maka peneliti melakukan observasi, wawancara dan juga sejumlah tes psikologi baik kognitif (WISC) maupun non kognitif (grafis) kepada subyek. Intervensi diberikan bukan hanya ditujukan pada subyek namun juga pada significant others, terutama ibu dan wali kelas subyek. Kata kunci: Kecemasan, pemeriksaan psikologis, remaja putri

Subyek merupakan siswi salah satu SMP favorit di kota Y, saat ini subyek duduk di kelas sembilan (9). Penampilan subyek rapi namun terkesan lusuh. Subyek merupakan anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya laki-laki. Subyek tinggal di perumahan, rumahnya sendiri tidak terlalu besar namun cukup bersih, dan ia tinggal bersama Ibu dan kakaknya sedangkan ayah subyek bertugas di luar negeri.

Subyek dirujuk oleh wali kelas untuk dapat ditangani lebih lanjut. Wali kelas menyampaikan bahwa permasalahan yang tampak dari diri subyek adalah subyek sering tidak focus pada saat belajar di kelas, subyek juga tampak sering melamun. Selain itu, subyek juga jarang mengumpulkan pekerjaan rumahnya. Subyek tidak akan menemui guru mata pelajaran tertentu untuk mengurus ujian ulangnya, bila tidak diingatkan wali kelasnya. Subyek tampak kurang perduli dengan permasalahan yang sedang ia hadapi.

(2)

Pengamatan terhadap subyek dilakukan sebanyak tiga kali yakni di kelas, saat tes psikologi berlangsung dan di kantin sekolah. Hasil observasi menunjukkan bahwa saat di kelas, subyek tampak sering berbincang-bincang dengan teman yang duduk dekat dengannya, dan tampak beberapa kali melamun saat guru sedang menerangkan pelajaran. Guru sempat menegur subyek saat ia berbicara dengan temannya dengan suara yang agak keras. Meski demkian masih ada interaksi antara subyek dengan gurunya, saat guru bertanya maka subyek menjawab begitupun sebaliknya. Ketekunan subyek saat mengerjakan soal dengan jumlah yang banyak tergolong kurang. Subyek terlihat bosan dan tidak berusaha menyelesaikan tugasnya. Namun saat diberi tugas menggambar, subyek lebih kelihatan antusias, ia mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Interaksi subyek dengan teman-temannya terlihat baik, komunikasi antar mereka cukup terbuka dan akrab. Subyek dapat mengerjakan tugasnya seorang diri meski teman-temannya ada didekatnya.

Peneliti juga mengambil data dengan menggunakan wawancara, yang dilakukan terhadap subyek, wali kelas subyek sebelumnya, wali kelas subyek saat ini, teman dekat subyek dan ibu dari subyek. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek menyadari terjadinya penurunan prestasi akademis pada dirinya di kelas delapan, ia menyatakan hal tersebut disebabkan adanya konflik antara dirinya dengan wali kelasnya di kelas delapan tersebut. Subyek merasa tidak ada gunanya ia menunjukkan prestasi akademis yang bagus karena guru yang bersangkutan tidak percaya padanya, hal ini pula yang membuat subyek menjadi malas dalam belajar. Subyek juga menyatakan bahwa saat berhadapan dengan soal ujian, bahan yang sudah dipelajari atau dihafalkan sebelumnya tiba-tiba menghilang sehingga ia tidak dapat menyelesaikan ujiannya dengan maksimal. Interaksi subyek dengan teman-temannya, ia akui tidak terlalu baik,

(3)

terutama dengan teman-temannya di kelas delapan. Hal ini terjadi saat ada kejadian yang membuatnya dijauhi dan tidak dipercayai oleh teman-temannya. Subyek juga mengakui bahwa sebenarnya ia tidak ingin bersekolah di SMP nya saat ini, karena menurutnya ia harus belajar dengan serius karena SMP ini terkenal dengan siswa-siswanya yang pintar.

Wali kelas subyek di kelas delapan menganggap subyek sebenarnya punya potensi, terlihat dari wajahnya dan juga saat studi tur ke luar kota, subyek terlihat sangat lepas dan penuh antusias, serta dapat akrab dengan semua teman-temannya. Namun saat di kelas, subyek lebih banyak melamun dan tidak memiliki motivasi untuk belajar bahkan sering tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya dan tidak mau mengulang mata pelajaran yang nilai ujiannya rendah. Hal senada disampaikan pula oleh wali kelas subyek saat ini, subyek dianggap kurang serius dalam belajar dan cuek tidak hanya dalam pelajaran namun juga dalam hal penampilan. Meski demikian wali kelas menyampaikan, subyek sangat aktif dalam aktivitas seni. Subyek pintar menari dan sering diminta bersama teman-temannya untuk menampilkan tarian saat ada acara khusus yang diadakan sekolah.

Sahabat subyek menyampaikan, subyek mulai dijauhi teman-teman sekelasnya di kelas delapan, saat subyek dianggap telah merebut pacar teman dekatnya saat itu. Meski menganggap dekat namun subyek jarang menceritakan tentang keadaan atau kondisi keluarganya. Ibu subyek mengaku kesulitan menangani anaknya, ibu subyek telah memberikan sejumlah bantuan agar prestasi akademik anaknya membaik namun sepertinya tidak terlalu banyak membantu. Subyek juga menganggap ibunya memberikan perlakuan yang tidak sama antara dirinya dan kakaknya, subyek menganggap ibu lebih perhatian pada sang kakak. Hal ini membuat ibu sulit memberikan nasihat pada subyek, dan memang ibu subyek seringkali tidak

(4)

menuruti keinginan subyek terutama berkaitan dengan gaya hidup yang ibu subyek anggap terlalu berlebihan di luar kemampuan finansial keluarga mereka.

Hasil tes kognitif menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan subyek berada di atas rata-rata remaja seusianya. Secara potensial, subyek memiliki kemampuan dalam mengatasi permasalahan baik dalam hal akademis maupun dalam kehidupan sehari-hari yang sangat baik. subyek cukup cepat dalam memelajari hal-hal baru, menandakan bahwa kemampuan kognisi subyek cukup fleksibel. Meski demikian, hasil tes non kognitif menunjukkan bahwa subyek kurang berani tampil dan menampakkan potensi diri. Ada perasaan cemas, ragu-ragu, takut, tidak aman, tidak mantap, kendali diri yang kaku didasari atas rasa tertekan. Subyek cenderung bergantung pada orang lain. Ada keinginan untuk berprestasi dan bekerja sebaik mungkin namun kurang dapat menentukan sikap, tidak memiliki kepastian dalam menghadapi lingkungan. Dari hasil tes non kognitif, terlihat bahwa subyek sangat dikuasai emosi, masa lalu, self-oriented, introvert dan banyak dikendalikan oleh ketidaksadaran. Peran ibu dimata subyek cukup lemah, subyek merasa kurang adanya penerimaan dari sang ibu, sedangkan fungsi ayah cukup baik.

Potensi kognisi merupakan salah satu faktor yang cukup dalam menunjang proses belajar subyek di sekolah formal. Namun pada kenyataannya prestasi akademis subyek dengan nilai IQ yang berada di atas rata-rata remaja seusianya, tidak terlalu menonjol. Belajar dalam pengertian yang lebih spesifik, didefinisikan sebagai perolehan pengetahuan dan kecakapan baru. Pengertian inilah yang kemudian menjadi tujuan dari pendidikan formal di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lainnya (Azwar, 1996), dan keberhasilan dalam belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:

(5)

1. Faktor internal, yang meliputi:

a. Faktor fisik (panca indera dan kondisi fisik umum) b. Faktor psikologis:

- Variabel non kognitif seperti minat, motivasi, dan variabel kepribadian - Variabel kognitif seperti kemampuan khusus/bakat dan umum/intelijensi 2. Faktor eksternal, yang meliputi:

a. Faktor fisik (kondisi tempat dan lingkungan, sarana dan perlengkapan, serta belajar) b. Faktor social (dukungan social dan pengaruh budaya)

Intelijensi hanya merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar, intelijensi juga merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam proses belajar. Berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara IQ dan prestasi belajar di sekolah, namun peran IQ pada prestasi belajar hanya berkisar antara 35 hingga 45 persen (Wirawan, 2000). Permasalahan yang dihadapi subyek menunjukkan bahwa faktor non kognitif tampak lebih memengaruhi proses belajar subyek, faktor non kognitif tersebut berupa faktor psikologis seperti minat, motivasi dan kepribadian. Perilaku yang tampak dari subyek saat berada di kelas adalah melamun, tampak sering tidak bersemangat dan tidak langsung mengerjakan tugas yang diberikan guru. Perilaku yang ditunjukkan subyek mengarah pada perilaku siswa yang memiliki orientasi tak berdaya (helpless orientation). Siswa yang memiliki orientasi tak berdaya berfokus pada ketidakmampuan personal mereka, seringkali mereka mengatribusikan kesulitan pada kurangnya kemampuan, dan menunjukkan sikap negative (termasuk kejemuan dan kecemasan). Orientasi ini dapat melemahkan kinerja mereka (Santrock, 2008).

Selain orientasi tak berdaya yang dapat dijelaskan dari perilaku yang tampak dari subyek. Permasalahan yang terjadi pada subyek dapat pula dijelaskan dengan teori atribusi. Atribusi

(6)

adalah sebab-sebab yang dianggap menimbulkan hasil. Beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab kesuksesan atau kegagalan adalah kemampuan, usaha, tingkat kesulitan dan kemudahan tugas, keberuntungan, suasana hati dan bantuan serta rintangan yang didapat dari orang lain. Ada tiga dimensi atribusi kausal yaitu : (1) lokus, persepsi tentang kesuksesan atau kegagalan sebagai akibat dari faktor internal dan eksternal yang memengaruhi harga diri siswa; (2) kemampuan, persepsi terhadap stabilitas dari suatu sebab yang memengaruhi ekspektasi kesuksesannya dimana sebab-sebab itu dapat tak bisa diubah atau dapat diubah; dan (3) daya control. Persepsi tentang daya control atas suatu sebab berhubungan dengan sejumlah emosional seperti kemarahan, rasa bersalah, rasa kasihan dan malu dan sejauh mana individu dapat mengontrol sebab tersebut (Santrock, 2008).

Subyek tampak tidak berusaha menghadapi dan menyelesaikan masalahnya, ia menganggap masalahnya akan selesai seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini tampak pula dari perilakunya yang dianggap kurang bertanggung jawab oleh guru, seperti tidak mencari guru mata pelajaran saat ia harus mengulang ulangan atau ujian mata pelajaran tertentu. Berdasarkan wawancara dengan subyek, subyek menganggap kegagalannya disebabkan karena adanya faktor dari otakutrang lain. Konflik yang terjadi pada saat subyek berada di kelas delapan tampak masih sangat memengaruhi subyek hingga saat ini, gambaran tersebut menunjukkan bahwa lokus yang dimiliki subyek adalah lokus eksternal, dimana ia tidak dapat mengontrol penyebab kegagalannya. Selain itu subyek juga lebih melihat faktor keberuntungan daripada kemampuan, ia menganggap faktor keberuntungan akan sangat memengaruhi keberhasilannya. Hal ini menggambarkan subyek menghubungkan kesukesan atau kegagalannya dengan sebab yang tidak stabil. Subyek menyatakan bahwa setiap kali ia dihadapkan pada soal ujian atau ulangan, bahan materi yang sudah dihafalkan atau dipelajari

(7)

sebelumnya tiba-tiba menghilang sehingga ia tidak dapat memberikan hasil yang maksimal, hasil tes kepribadian menunjukkan subyek memiliki perasaan cemas, ragu-ragu, takut, tidak aman.

Kecemasan adalah perasaan takut dan kegundahan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan. Adalah normal jika seseorang terkadang merasa cemas saat menghadapi kesulitan di sekolah, seperti saat akan menyelesaikan soal ujian. Namun beberapa orang punya tingkat kecemasan yang tinggi dan konstan, sehingga dapat mengganggu kemampuan mereka utk meraih prestasi. Beberapa penyebab tingginya tingkat kecemasan pada anak adalah orangtua yang membebankan standar prestasi yang tidak realistis pada anak mereka. Banyak anak bertambah cemas saat mereka naik kelas, karena mereka menghadapi lebih banyak ujian, perbandingan social dan beberapa kegagalan (Santrock, 2008).

Usaha-usaha yang direkomendasikan pada subyek untuk mengatasi permasalahannya, adalah membuat strategi yang digunakan untuk membantu subyek dengan memberikan serangkaian pengalaman prestasi yang terencana yang dapat ditiru olehnya. Informasi yang didapat akan berisi tentang strategi, praktik, dan umpan balik yang digunakan untuk membantu mereka: (1) berkosentrasi pada tugas sehingga tidak takut gagal; (2) mengatasi kegagalan dengan merunut kembali langkah-langkah mereka untuk menemukan kesalahan atau menganalisis masalah untuk menemukan pendekatan yang lebih baik; dan (3) mengatribusikan kegagalan mereka pada kurangnya usaha, bukan pada kurangnya kemampuan. Strategi ini dimaksudkan bukan untuk menghadapkan subyek pada seseorang yang menangani tugas dengan mudah dan menunjukkan kesuksesan, akan tetapi menghadapkan mereka pada seseorang yang berjuang keras mengatasi kesalahan sebelum mencapai kesuksesan. Dengan

(8)

cara ini, subyek akan belajar cara mengatasi frustrasi, gigih menghadapi kesulitan dan menghadapi kegagalan secara konstruktif (Santrock, 2008).

Usaha yang direkomendasikan kepada Ibu subyek, adalah dengan mempertahankan komunikasi empatik yang penuh dengan kasih saying dengan subyek. Mencoba untuk menerima pemikiran dan perasaan yang dirasakan subyek, tidak membandingkannya dengan orang lain. Ibu subyek diminta untuk menyatakan secara verbal bahwa orangtua tetap sayang dan bangga padanya, bagaimanapun kondisinya saat ini. Bila memungkinkan, lakukan kontak fisik dengannya seperti memeluk atau membelainya saat berbicara dari hati ke hati (Megawangi, 2004). Memberi penghargaan dan dukungan atas usaha yang dilakukan atau perubahan positif yang ditunjukkannya, sekecil apapun itu. Nyatakan penghargaan dan dukungan tersebut secara verbal. Pola pembiasaan pemberian tanggung jawab perlu diterapkan pada subyek misalnya dengan membiasakan subyek membereskan kamar tidurnya sendiri atau membantu ibu mencuci piring kotor.

Usaha yang direkomendasikan kepada wali kelas adalah membangun komunikasi dan memberikan dukungan positif pada subyek. Subyek memerlukan penguatan bahwa wali kelas sepenuhnya percaya pada kemampuan subyek dan bersedia membantu bila diperlukan. Bangun kepercayaan dirinya dengan memberinya kesempatan untuk dapat merasakan keberhasilan dalam bidang akademik.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 1996. Pengantar psikologi inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Megawangi, R. 2004. Pendidikan karakter: Solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Indonesia Heritage Foundation

Santrock, J. W. 2008. Educational psychology. Third Edition. New York: McGraw Hill Wirawan, Y. G. 2000. Tes inteligensi dan asumsi-asumsi dibaliknya. Bunga Rampai Psikologi

Pendidikan. Yogyakarta: Bagian Psikologi Pendidikan dan Psikometri Fakultas Psikologi UGM bekerjasama dengan Pustaka Pelajar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil menunjukkan bahwa pernyataan tingkat kecemasan remaja putri saat mengalami menarche dari aspek psikologis mayoritas mengalami ketidaknyamanan dalam menggunakan pembalut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perilaku seksual yang paling menonjol pada kedua subyek adalah khayalan mengenai lawan jenis maupun khayalan mengenai perlakuan

Ketika subyek merasa lelah dengan aktifitasnya sehari-hari subyek selalu meminta bantuan pada anaknya yang sudah dewasa untuk menemani Srf bermain dan mengajari Srf belajar,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap pada remaja putri kelas VII dan VIII tentang Premenstrual Syndrome di SMPN 9 Bandung Tahun 2018... Mengetahui

Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “GAMBARAN

Dari latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dijabarkan diatas, permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh antara dukungan orang tua

Apakah anda merasa semuanya baik-baik saja ketika mengalami haid pertama kali 6 Apakah anda pernah mimpi buruk yang. berkaitan dengan situasi

Berdasarkan keterangan dari wali kelas, subyek kasus merupakan siswa yang penyendiri juga termasuk anak yang biasa saja dalam akademiknya. Dalam bidang belajar juga