commit to user
HUBUNGAN TAHAP KEMOTERAPI PADA PENDERITA LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DENGAN STATUS GIZI DI BANGSAL
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD DR. MOEWARDI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
MEGA ASTRININGRUM G0008129
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan Penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Desember 2011
Mega Astriningrum NIM G0008129
commit to user
iv
ABSTRAK
Mega Astriningrum. G0008129, 2011. Hubungan Tahap Kemoterapi pada
Penderita Leukemia Limfoblastik Akut dengan Status Gizi di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi., Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan
tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan status gizi di bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2011 di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposive random sampling dengan kriteria inklusi adalah (1) penderita Leukemia Limfoblastik Akut berumur 0 - 18 tahun, (2) mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi, (3) status gizi tergolong baik atau kurang. Sampel tidak dapat dipilih jika (1) penderita leukemia tipe lain, (2) tidak mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi, (3) status gizi tergolong lebih atau buruk. Data sekunder berupa catatan rekam medik di Bagian Rekam Medik RSUD Dr. Moewardi. Diperoleh 52 data dan dianalisis menggunakan (1) Uji Chi Square (X2) (2) Odds Ratio melalui program SPSS 17.0 for Windows.
Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan (1) tahap induksi dengan status gizi
baik sebesar 54,55% dan status gizi kurang sebesar 45,45% (2) tahap konsolidasi dengan status gizi baik sebesar 26,67% dan status gizi kurang sebesar 73,33% (3) tahap maintenance dengan status gizi baik sebesar 73,33% dan status gizi kurang sebesar 26,67% (4) hasil uji Chi Square tahap induksi menunjukkan p = 0.026 dengan Odds Ratio sebesar 5,2 (5) hasil uji Chi Square tahap konsolidasi menunjukkan p = 0.122 dengan Odds Ratio sebesar 5,45 (6) hasil uji Chi Square tahap rumatan (maintenance) menunjukkan p = 0.010 dengan Odds Ratio sebesar 8,0.
Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan yang kuat dan bermakna antara tahap
induksi serta tahap rumatan (maintenance) dengan status gizi penderita Leukemia Limfoblastik Akut. Terdapat hubungan yang kuat tetapi kurang bermakna antara tahap konsolidasi dengan status gizi penderita Leukemia Limfoblastik Akut.
commit to user
ABSTRACT
Mega Astriningrum. G0008129, 2011. The Correlation between Chemotherapy
Stages in Acute Lymphoblastic Leukemia Patients with Nutrient Status at Department of Pediatric Ward RSUD Dr. Moewardi. Medical Faculty of Sebelas Maret Univesity.
Objectives: This research aims to know the relationship between chemotherapy
stages in Acute Lymphoblastic Leukemia patients with nutrient status at Department of Pediatric ward RSUD Dr. Moewardi.
Methods: This research was an analytical descriptive research using cross
sectional approach and had been done in April-August 2011 at Department of Pediatric ward RSUD Dr. Moewardi. The sample data collecting was done by using simple purposive sampling method with the inclusion criteria (1) patients suffered from Acute Lymphoblastic Leukemia were 0-18 age, (2) got the chemotherapy, (3) the nutrient status was good or less, (3) the nutrient status was more or poor. The data was secondary data which was taken at Medical Record RSUD Dr. Moewardi. It got 52 data and they were analyzed by (1) Chi Square test (X2) (2) Odds Ratio, by using SPSS 17.0 for windows program.
Results: This research shows (1) induction stage with good nutrient status is
54,55% and the less one is 45,45% (2) consolidation stage with good nutrient status is 26,67% and the less one is 73,33% (3) maintenance stage with good nutrient status is 73,33% and the less one is 26,67% (4) the result from Chi Square test of induction stage shows p = 0.026 with the odds ratio is 5,2 (5) the result from Chi Square test of consolidation stage shows p = 0.122 with the odds ratio is 5,45 (6) the result from Chi Square test of maintenance stage shows p = 0.010 with the odds ratio is 8,0.
Conclusion: This study shows strong and meaningful correlation between
induction and maintenance stage with the nutrient status of Acute Lymphoblastic Leukemia Patients. And this study shows strong but no meaningful correlation between concolidation stage with the nutrient status of Acute Lymphoblastic Leukemia Patients.
commit to user
vi
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang telah Ia berikan kepada hamba-Nya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad saw, utusan Allah yang menjadi teladan seluruh ummat manusia.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD., K-R., FINASIM, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku ketua tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Annang Giri Moelyo, dr., Sp.A., M.Kes., selaku tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Muhammad Riza, dr., Sp.A., M.Kes., selaku pembimbing utama yang secara intensif telah memberikan bimbingan dan motivasi bagi penulis.
5. Yulidar Hafidh, dr., Sp.A(K), selaku pembimbing pendamping yang secara intensif telah memberikan bimbingan dan motivasi bagi penulis.
6. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A(K), selaku penguji utama yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.
7. Suci Murti Karini, dra., M.Si., selaku anggota penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini.
8. Dosen dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi, seluruh staf RSUD Dr.Moewardi, dan Tim Skripsi FK UNS Surakarta yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.
9. Ayah dan Ibu tercinta, serta Mas Gembong dan Mbak Wika tersayang yang senantiasa berkorban dan berjuang tanpa pamrih serta memberikan dukungan dan semangat.
10. Rifki Effendi Suyono untuk dukungan, kesabaran, dan kebersamaan dalam menyelesaikan ini semua.
11. Sahabat-sahabat tercinta (Chanif Lutfiyati, Cherelia Dinar, Nugroho Jati, Gilda Ditya, Amora Fadila, Aila Mustofa, Izzatika) yang telah memberikan support, motivasi, dan mendampingi penulis dalam suka duka.
12. Teman seperjuangan skripsi, Cholifatur Ravita Fauzi, yang tiada habis memberi motivasi.
13. Teman-teman Pendidikan Dokter Angkatan 2008 dan semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk kesempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan masukan, kritik, dan saran dari pembaca.
Surakarta, Desember 2011
commit to user
DAFTAR ISI
PRAKATA ... ... ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 5
1. Leukemia ... . ... 5
2. Leukemia Limfoblastik Akut ... 6
a. Definisi ... 6
b. Epidemiologi ... ... 7
c. Etiologi ... ... 7
d. Gejala dan Tanda Klinis ... ... 7
e. Diagnosis ... .... 9
f. Terapi ... 9
commit to user
viii
h. Komplikasi ... ... ... 10
3. Kemoterapi Kanker ... 11
a. Dasar Kemoterapi ... .. 11
b. Kemoterapi pada Leukemia Limfoblastik Akut ... 13
c. Efek Samping Obat-obat Kemoterapi ... 16
4. Status Gizi ... 18
a. Definisi ... 18
b. Klasifikasi Status Gizi ... 21
5. Hubungan Tahap Kemoterapi dengan Status Gizi ... 22
B. Kerangka Pemikiran ... 24
C. Hipotesis ... 24
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 25
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
C. Subjek Penelitian ... 26
D. Teknik Sampling ... 27
E. Indentifikasi Variabel ... .. 27
F. Definisi Operasional Variabel ... 27
G. Alur Penelitian ... ... 29
H. Instrumen Penelitian ... 30
commit to user BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel ... 31 B. Uji Statistik ... 35 BAB V. PEMBAHASAN ... 39 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ... 44 B. Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik sampel menurut usia pada tahap induksi. Tabel 2. Karakteristik sampel menurut usia pada tahap konsolidasi. Tabel 3. Karakteristik sampel menurut usia pada tahap maintenance. Tabel 4. Karakteristik sampel menurut jenis kelamin pada tahap induksi. Tabel 5. Karakteristik sampel menurut jenis kelamin pada tahap.
Tabel 6. Karakteristik sampel menurut jenis kelamin pada tahap maintenance. Tabel 7. Karakteristik sampel menurut status gizi pada tahap induksi.
Tabel 8. Karakteristik sampel menurut status gizi pada tahap konsolidasi. Tabel 9. Karakteristik sampel menurut status gizi pada tahap maintenance. Tabel 10. Hubungan tahap kemoterapi leukemia limfoblastik akut dengan status
gizi.
Tabel 11. Besar Odds Ratio dan Interpretasi tentang Kekuatan Hubungan antara
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran. Gambar 3.1 Alur Penelitian.
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Diklit
RSUD Dr. Moewardi.
Lampiran 3. Frekuensi Tahap Kemoterapi Berdasarkan Umur.
Lampiran 4. Frekuensi Tahap Kemoterapi Berdasarkan Jenis Kelamin. Lampiran 5. Frekuensi Tahap Kemoterapi Berdasarkan Status Gizi. Lampiran 6. Crosstab Data Kemoterapi Tahap Induksi.
Lampiran 7. Crosstab Data Kemoterapi Tahap Konsolidasi. Lampiran 8. Crosstab Data Kemoterapi Tahap Maintenance. Lampiran 9. Data Pasien Kemoterapi Tahap Induksi.
Lampiran 10. Data Pasien Kemoterapi Tahap Konsolidasi. Lampiran 11. Data Pasien Kemoterapi Tahap Maintenance.
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Hubungan Tahap Kemoterapi pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut dengan Status Gizi di Bangsal
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi
Mega Astriningrum, NIM : G.0008129, Tahun : 2011
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada hari Selasa, Tanggal 27 Desember 2011
Pembimbing Utama
Nama : Muhammad Riza, dr., Sp.A., M.Kes
NIP : 19761126 201001 1 005 (...)
Pembimbing Pendamping
Nama : Yulidar Hafidh, dr., Sp.A(K)
NIP : 140071958 (...)
Penguji Utama
Nama : Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A(K)
NIP : 19441226 197310 1 001 (...)
Anggota Penguji
Nama : Suci Murti Karini, dra., M.Si.
NIP : 19540527 198003 2 001 (...)
Surakarta, ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Leukemia adalah penyakit keganasan yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dimana terhitung kira-kira 41% semua penyakit keganasan terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (Behrman, 2004). Leukemia adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang secara maligna melakukan transformasi, yang menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal (Price, 2007). Secara umum, leukemia diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu Leukemia Limfoblastik Akut, Leukemia Limfoblastik Kronik, Leukemia Mieloblastik Akut, dan Leukemia Mieloblastik Kronik (Porth, 2005; Behrman, 2004). Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan pada anak-anak, yang terdiri dari 80 - 85%. Puncak insiden LLA ini terjadi pada anak berusia 2 - 4 tahun (Porth, 2005). Dari hampir semua kasus LLA, penyebab pasti dari LLA sampai sekarang belum diketahui, walaupun beberapa faktor genetik dan lingkungan sering dihubungkan dengan leukemia pada anak-anak. Terpaparnya sinar radiasi juga telah dihubungkan dengan naiknya kejadian LLA. Selain itu, beberapa deskripsi dan penelitian tentang berbagai tingkatan geografi pada setiap kasus telah menimbulkan perhatian bahwa faktor lingkungan bisa menyebabkan naiknya kejadian LLA (Behrman, 2004).
Penatalaksanaan Leukemia Limfoblastik Akut sampai sekarang masih mengandalkan kemoterapi sebagai terapi utama. Kemoterapi LLA dibagi menjadi beberapa tahap yaitu induksi remisi, konsolidasi atau intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat (SSP), dan pemeliharaan jangka panjang atau rumatan (maintenance). Namun sayangnya, obat-obat kemoterapi ini memiliki banyak efek samping terutama pada sistem hematopoietik dan gastrointestinal (Nafrialdi and Sulistia, 2003; Fianza, 2009).
Efek terhadap sistem hematopoietik adalah berupa supresi hemopoiesis terlihat sebagai leukopenia, trombositopenia, atau anemia. Supresi sistem hemopoietik ini masih dapat berlanjut walaupun pemberian obat telah dihentikan. Sedangkan, gangguan pada sistem gastrointestinal saluran cerna berupa anoreksia ringan, mual, muntah, diare, dan stomatitis sampai yang berat yaitu ulserasi oral dan intestinal, perforasi, diare hemoragik. Hampir semua obat anti kanker menyebabkan efek samping ini, tapi jarang sampai menimbulkan kematian (Nafrialdi and Sulistia, 2003).
Efek samping pada sistem pencernaan bisa mengakibatkan penyerapan nutrisi pada anak menurun, padahal kebutuhan nutrisi anak digunakan untuk proses tumbuh kembang. Gangguan penyerapan nutrisi ini berakibat langsung pada status gizi anak tersebut. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan
Bertolak dari beberapa teori yang dikemukakan sebelumnya, Penulis bermaksud mengadakan penelitian yang dapat menjelaskan apakah ada keterkaitan antara tahap kemoterapi pada pasien anak penderita Leukemia Limfoblastik Akut dengan status gizi anak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan antara tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan status gizi di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan status gizi di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan memberikan manfaat : 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk sedini mungkin melakukan screening pada leukemia limfoblastik akut pada anak mengingat kasus leukemia limfoblastik akut adalah kejadian terbanyak pada kelompok
keganasan. Selain itu, bagi dunia penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan acuan untuk penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada para dokter dan tenaga medis untuk dapat memberikan penatalaksanaan yang adekuat dengan efek samping seminimal mungkin sehingga komplikasi yang ditimbulkan dari kemoterapi pada kasus leukemia bisa ditekan angka kejadiannya. Serta dapat mempertahankan atau memperbaiki status gizi pasien menjadi lebih baik dengan pemberian nutrisi secara langsung maupun melalui konseling gizi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Leukemia
Leukemia, mula-mula dijelaskan oleh Virchow pada tahun 1987 sebagai "darah putih", adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang secara maligna melakukan transformasi, yang menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal (Price, 2007). Sel-sel ini bisa berkembang dan memperbanyak diri melebihi jumlah sel tersebut dalam batas normal, atau bisa diakibatkan menurunnya kemampuan apoptosis secara spontan, atau bisa keduanya. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan fungsi normal sumsum tulang dan bisa lebih parah lagi yaitu kegagalan sumsum tulang (Behrman, 2004). Kegagalan sumsum tulang akibat sel-sel abnormal ini dapat menyebabkan timbulnya gejala yaitu anemia, netropenia, trombositopenia, dan juga sel-sel abnormal ini akan menginfiltrasi ke organ-organ misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meninges, otak, kulit, atau testis (Hoffbrand, 2005).
Leukemia adalah penyakit keganasan yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dimana terhitung kira-kira 41% semua penyakit keganasan terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (Behrman, 2004). Secara umum, leukemia diklasifikasikan menurut tipe sel yang paling banyak
berada di dalam tubuh (limfoblastik atau mieloblastik) dan juga tergantung dari kondisi akut atau kronis. Klasifikasi leukemia terdiri dari empat tipe yaitu Leukemia Limfoblastik Akut (LLA), Leukemia Limfoblastik Kronik (LMK), Leukemia Mieloblastik Akut (LMA), dan Leukemia Mieloblastik Kronik (LMK). Leukemia limfoblastik terdiri dari sel-sel limfosit yang imatur dan sel-sel induk limfosit yang berasal dari sumsum tulang tetapi menginfiltrasi splen atau limpa, nodus limfatikus, susunan saraf pusat, dan jaringan-jaringan lainnya. Sedangkan leukemia mieloblastik, terdiri dari sel-sel mieloid pluripoten yang berasal dari sumsum tulang (Porth, 2005).
Leukemia Limfoblastik Akut terhitung kira-kira 71% dari kasus keganasan pada anak-anak, untuk Leukemia Mieloblastik Akut kira-kira 11%, Leukemia Mieloblastik Kronik kira-kira 2 - 3%, dan untuk Leukemia Mieloblastik Kronik Juvenil kira-kira 1 - 2% (Behrman, 2004).
2. Leukemia Limfoblastik Akut a. Definisi
Leukemia akut adalah suatu keganasan pada sel progenitor pembentuk sel darah. Leukemia akut biasanya terjadi dengan tanda dan gejala yang berhubungan dengan menurunnya fungsi sumsum tulang. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah leukemia akut yang paling sering ditemukan pada anak-anak, yang terdiri dari 80 - 85% kasus. Puncak insiden LLA ini terjadi pada anak berusia 2 - 4 tahun. Leukemia Limfoblastik Akut meliputi kelompok sel-sel tumor yang terdiri dari
prekursor limfosit B atau limfosit T yang imatur. Sebagian besar kasus LLA, sekitar 80% kasus, berasal dari prekursor limfosit B (Porth, 2005).
b. Epidemiologi
Insidensi LLA adalah 1 dari 60.000 orang per tahun, dengan 75% penderita berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3 - 5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan (Fianza, 2009).
c. Etiologi
Dari hampir semua kasus LLA, penyebab pasti dari LLA sampai sekarang belum diketahui, walaupun beberapa faktor genetik atau keturunan dan lingkungan sering dihubungkan dengan leukemia pada anak-anak. Terpaparnya sinar radiasi juga telah dihubungkan dengan naiknya kejadian LLA. Sebagai tambahannya, beberapa deskripsi dan penelitian tentang berbagai tingkatan geografi pada setiap kasus telah menimbulkan perhatian bahwa faktor lingkungan bisa menyebabkan naiknya kejadian LLA. Selebihnya, belum ada faktor lain yang ditemukan selain faktor paparan radiasi (Behrman, 2004; Fianza, 2009).
d. Gejala dan Tanda Klinis
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan
perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh penderita LLA, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga penderita yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terjadi. Gejala-gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan:
1) Anemia menyebabkan mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada.
2) Anoreksia atau berat badan yang menurun karena proliferasi dan metabolisme sel-sel leukemia yang begitu cepat.
3) Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel- sel leukemia).
4) Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme).
5) Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur. Infeksi ini sering terjadi berulang yang disebabkan karena neutropeni atau berkurangnya jumlah neutrofil.
6) Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak, dimana perdarahn-perdarahan ini terjadi karena kurangnya jumlah trombosit. 7) Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati yang disebabkan
infiltrasi sel-sel leukemia ke berbagai jaringan dan organ. 8) Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T).
9) Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal, kejang, sampai terjadi koma.
10) Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil.
(Price, 2007; Fianza, 2009; Hoffman, 2009)
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (CBC, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, ABO dan Rh, penentuan HLA), foto toraks atau CT, pungsi lumbal, aspirasi dan biopsi sumsum tulang dengan pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis imunofenotip, analisis molekular BCR-ABL (Yinski, 2010).
f. Terapi
Keberhasilan terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian kemoterapi dan terapi pencegahan SSP (Kemoterapi intratekal dan/atau sistemik dosis tinggi, dan pada beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata terapi LLA bervariasi antara 1,5 - 3 tahun dengan tujuan untuk eradikasi populasi sel leukemia (Fianza, 2009).
Kemoterapi LLA dibagi menjadi beberapa tahap induksi remisi, konsolidasi atau intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat (SSP), dan pemeliharaan jangka panjang atau rumatan (maintenance) (Fianza, 2009). Program pengobatan menggunakan kombinasi vinkristin, prednison, L-asparaginase, siklofosfamid, dan atrasiklin seperti daunorubisin. Karena meningen mengandung sel leukemia, kemoterapi intratekal profilaktik (ke dalam ruang subarakhnoid) juga dimasukkan untuk mencegah relaps SSP (Price, 2007).
g. Prognosis
Awitan LLA biasanya mendadak disertai perkembangan dan kematian yang cepat jika tidak diobati. Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak saja 90 sampai 95 % anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap, dengan sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang, serta SSP. Transplantasi sumsum tulang harus dipikirkan untuk orang dewasa dengan prognosis agresif dan buruk untuk memperpanjang harapan hidup bebas penyakit. Anak-anak dengan remisi kurang dari 18 bulan harus dipikirkan untuk transplantasi sumsum tulang (Price, 2007).
h. Komplikasi
dan obesitas. Perburukan neuropsikologi ini diketahui merupakan efek samping dari radiasi kranial, kemoterapi intratekal, dan kemoterapi sistemik (terutama metroteksat) yang juga dapat menyebabkan atrofi otak dan disfungsi medulla spinalis. Kemoterapi intratekal dan kemoterapi sistemik menambah perkembangan keracunan neurokognitif. Obesitas paling banyak terjadi pada anak perempuan penderita LLA yang dikaitkan dengan efek radiasi kranial dan kortikosteroid (Hoffman, 2009).
3. Kemoterapi Kanker a. Dasar Kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan penyakit dengan agen kimiawi, dimana bahan kimiawi tersebut merugikan organisme penyebab suatu penyakit tetapi tidak membahayakan bagi pasien (Dorland, 2006).
Konsep mengenai pemberian kemoterapi kanker didasarkan pada siklus pertumbuhan dan pembelahan sel, sifat sel kanker itu sendiri yang berbeda dari sel normal, dan sasaran yang dapat dicapai. Kemoterapi bersifat sistemik dan hanya dihalangi oleh pembatasan anatomik pasca bedah dan efek radiasi dan pengaruhnya tetap ada walaupun sel-sel tumor sudah menyebar. Khasiat antikanker sebagian besar obat sitostatik disebabkan oleh kemampuan obat-obat tersebut dalam menghambat pembentukan DNA dalam sel. Seperti diketahui, DNA mempunyai dua fungsi penting yakni sebagai lahan bagi duplikasi dirinya (proses baru selesai bila sudah terbentuk DNA dalam jumlah yang dua kali lipat
sebelumnya) dan pembentukan RNA untuk sintesis protein (Reksodiputro, et al., 2004).
Pemberian kemoterapi direncanakan berdasarkan hasil pengamatan terhadap perbedaan dalam reaksi sel tumor dan sel normal terhadap obat sitostatik. Walaupun beberapa sel yang sedang tidak membelah sensitif terhadap zat-zat sitostatik, zat anti-neoplastik (radiasi, obat) terutama efektif dalam fase pertumbuhan sel, pada saat mana terjadi rangkaian peristiwa menuju pembelahannya. Hal ini mendasari pertimbangan para ahli dalam pemberian kemoterapi kanker (Reksodiputro, et al., 2004).
Obat kemoterapi kanker terbagi menjadi beberapa macam kriteria, yaitu:
1) Kemoterapi Induksi
Kemoterapi induksi adalah kemoterapi sebagai pengobatan awal untuk kanker, terutama sebagai bagian dari terapi kombinasi modalitas (Dorland, 2006).
2) Kemoterapi Tunggal
Kemoterapi tunggal merupakan kemoterapi yang hanya memberikan satu jenis atau satu macam obat saja. Pada tahun 1970 dasar penggunaaan kemoterapi tunggal adalah memberikan satu macam obat dan menggantikannya bila ternyata tidak efektif (Reksodiputro, et al., 2004; Dorland, 2006).
3) Kemoterapi Kombinasi
Kemoterapi kombinasi adalah penggunaan beberapa agen berbeda pada saat bersamaan untuk meningkatkan efektivitas dari masing-masing obat. Kemoterapi ini paling sering digunakan pada kemoterapi kanker (Reksodiputro, et al., 2004; Dorland, 2006).
4) Kemoterapi Adjuvan
Merupakan kemoterapi kanker yang diberikan setelah tumor primer diangkat dengan cara lain, misalkan pembedahan. Konsep kemoterapi adjuvan merupakan pendekatan terapeutik terpenting dalam pengobatan modern penyakit keganasan. Prinsipnya ialah pemberian obat sistemik, baik secara tunggal maupun kombinasi, bersama dengan suatu modalitas pengobatan regional-lokal seperti pembedahan atau radioterapi. Cara ini bertujuan memberantas mikrometastasis yang tersebar jauh sehingga diharapkan terjadi peningkatan angka kesembuhan (Reksodiputro, et al., 2004; Dorland, 2006).
b. Kemoterapi pada Leukemia Limfoblastik Akut
Kemoterapi pada kasus Leukemia Limfoblastik Akut tidak jauh berbeda dari kemoterapi pada umumnya. Kemoterapi LLA terbagi menjadi empat tahapan yang terdiri dari:
1) Induksi remisi
Seorang penderita yang menderita leukemia akut, biasanya mempunyai beban tumor yang tinggi dan berada dalam risiko tinggi
akibat komplikasi kegagalan sumsum tulang dan infiltrasi leukemik. Tujuan induksi remisi adalah untuk membunuh sebagian besar sel tumor secara cepat dan menyebabkan penderita memasuki keadaan remisi. Keadaan ini didefinisikan sebagai jumlah sel blas yang kurang dari 5% dalam sumsum tulang, hitung darah tepi yang normal, dan tidak ada gejala atau tanda-tanda lain penyakit itu. Terapi ini hampir selalu menggunakan glukokortikoid (prednison, prednisolon, deksametason), vinkristin, dan sedikitnya obat golongan lain (biasanya asparaginase, antrasiklin, atau keduanya) yang sangat efektif sehingga dapat mencapai remisi pada lebih dari 90% anak dan 80 - 90% orang dewasa (pada orang dewasa sering ditambahkan daunorubisin). Penelitian telah membuktikan terapi induksi remisi yang intensif, cepat, dan secara utuh mereduksi sel-sel leukemia muda dapat mencegah resistensi obat dan meningkatkan rasio kesembuhan (Hoffbrand, 2005; Pui and Evans, 2006).
Walaupun demikian, harus diingat bahwa remisi tidak sama dengan sembuh. Pada remisi, dalam tubuh penderita mungkin masih terdapat sejumlah besar sel tumor dan tanpa pemberian kemoterapi lebih lanjut hampir semua penderita akan mengalami relaps. Walaupun begitu, pencapaian remisi merupakan langkah awal yang berharga dalam perjalanan pengobatan, dan penderita yang gagal mencapai remisi mempunyai prognosis buruk (Hoffbrand, 2005).
2) Terapi Konsolidasi/Intensifikasi
Ketika hematopoiesis kembali normal, penderita yang mendapatkan terapi remisi selanjutnya akan mendapatkan terapi konsolidasi atau terapi intensif. Tahapan-tahapan ini menggunakan kemoterapi multi-obat dosis tinggi untuk mengurangi beban tumor sampai tingkat yang sangat rendah. Dosis kemoterapi dekat dengan batas toleransi penderita dan selama masa intensifikasi, penderita mungkin memerlukan banyak sekali dukungan (Hoffbrand, 2005; Pui
and Evans, 2006).
Protokol yang umum mencakup penggunaan vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosida, dauronubisin, etoposid, thioguanin, atau merkaptopurin yang diberikan dalam kombinasi yang berbeda-beda. Pemakaian asparaginase yang intensif selama masa pasca induksi memberikan hasil yang sangat memuaskan dengan angka morbiditas rendah, terutama komplikasi trombotik dan hiperglikemia, yang dibarengi dengan pemberian glukokortikoid selama pemberian terapi induksi remisi. Jumlah blok intensifikasi yang optimal masih dalam penelitian, tetapi dua tiga blok biasanya khas pada anak, dan lebih banyak pada dewasa (Hoffbrand, 2005; Pui and Evans, 2006). 3) Terapi Profilaksis Susunan Saraf Pusat (SSP)
Beberapa obat yang diberikan secara sistemik dapat mencapai cairan serebrospinal (CSF) dan perlu diberikan pengobatan spesifik.
Pilihannya adalah metotreksat dosis tinggi yang diberikan secara intravena, metotreksat atau sitosin arabinosida intratekal, atau radiasi kranial. Percobaan klinis untuk membandingkan regimen-regimen ini sedang dilakukan. Relaps CNS masih terjadi dan muncul dengan sakit kepala, muntah, papiledema, dan sel blas dalam CSF. Pengobatan dengan metroteksat, sitosin arabinosida, dan hidrokortison intratekal, dengan atau tanpa radiasi intrakranial dan reinduksi sistemik karena biasanya juga terdapat penyakit sumsum tulang (Hoffbrand, 2005). 4) Rumatan (maintenance)
Rumatan (maintenance) diberikan 2 tahun pada anak perempuan dan orang dewasa, dan 3 tahun pada anak laki-laki, dengan merkaptourin oral harian dan metotreksat oral sekali seminggu. Vinkristin intravena dengan kortikosteroid oral singkat (5 hari) ditambahkan dengan interval bulanan atau 3 bulan (pada dewasa). Selama terapi rumatan pada anak yang tidak mempunyai imunitas terhadap virus-virus tersebut memiliki risiko yang tinggi menderita varisela atau campak. Apabila terjadi pemajanan terhadap infeksi tersebut, harus diberikan imunoglobulin profilaktik. Selain itu, diberikan kotrimoksazol oral untuk mengurangi risiko terkena
Pneumocystis carinii (Hoffbrand, 2005).
c. Efek Samping Obat-obat Kemoterapi
mungkin sampai menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Karena obat-obat antikanker umumnya bekerja pada sel yang sedang aktif, maka efek sampingnya juga terutama mengenai jaringan dengan proliferasi tinggi yaitu sistem hematopoietik dan gastrointestinal (Nafrialdi and Sulistia, 2003).
Supresi hemopoiesis terlihat sebagai leukopenia, trombositopenia, atau anemia. Supresi sistem hemopoietik ini masih dapat berlanjut walaupun pemberian obat telah dihentikan. Gangguan saluran cerna berupa anoreksia ringan, mual, muntah, diare, dan stomatitis sampai yang berat yaitu ulserasi oral dan intestinal, perforasi, diare hemoragik. Hampir semua obat anti kanker menyebabkan efek samping ini, tapi jarang sampai menimbulkan kematian. Lesi selaput lendir mulut umumnya terjadi pada pemberian metroteksat, fluorourasil, daktinomisin, vinblastin, dan antrasiklin (daunorubisin, doksorubisin). Reaksi kulit dapat berupa eritem, urtikaria, dan erupsi makulopapular sampai sindrom Stevens-Johson (Nafrialdi and Sulistia, 2003).
Alkilator dapat menyebabkan depresi hemopoietik yang ireversibel, terutama bila diberikan setelah pengobatan antikanker yang lain atau radiasi. Alkilator aktif mempunyai efek langsung lepuh dan dapat merusak jaringan pada tempat jaringan dan menimbulkan toksisitas sistemik. Mual muntah merupakan efek yang umum dilaporkan pada pemberian intravena mekloretamin, siklofosfamid, dan karmustin, dan kadang-kadang pada siklofosfamid oral. Efek toksik obat alkilator bisa
menyebabkan depresi sumsum tulang dan terjadi leukopenia serta trombositopenia. Siklofosfamid bisa lebih menyebabkan trombositopenia dibandingkan alkilator lain (Salmon and Alan, 2001; Nafrialdi and Sulistia, 2003).
Antimetabolit, selain menyebabkan depresi hemopoietik dan gangguan saluran cerna, sering menyebabkan stomatisis aftosa, dimana efek samping ini paling banyak disebabkan setelah pemberian metotreksat, fluorourasil, dan bisa juga merkaptopurin. Stomatitis, diare, ulserasi pada saluran cerna bagian distal, infeksi, hemoragik, trombositopenia, leukopenia, atau trombositopenia adalah kumpulan efek samping obat antimetabolit. Antimetabolit dikontraindikasikan pada penderita dengan status gizi buruk, leukopenia berat, atau trombositopenia (Nafrialdi and Sulistia, 2003).
Efek toksik asparaginase terhadap sumsum tulang minimal, demikian juga kerusakan pada saluran cerna. Namun, obat ini toksik terhadap hati, ginjal, pankreas, susunan saraf pusat, dan mekanisme pembekuan darah serta dapat menekan sistem imun tubuh (Nafrialdi and Sulistia, 2003).
4. Status Gizi a. Definisi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini dibedakan menjadi
optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan (Almatsier, 2003).
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.
2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, rambut, mata, dan mukosa oral atau pada
organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical survey). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Di samping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak monolog untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. 4) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic
of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap
(Supariasa, 2002).
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga macam penilaian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor etiologi (Supariasa, 2002).
Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan cara mengukur beberapa parameter, antara lain umur, berat badan, panjang badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Kombinasi dari beberapa parameter tersebut disebut Indeks Antropometri (Supariasa, 2002).
Indeks Antropometri yang paling sering digunakan adalah berat badan dibanding umur (BB/U). Hal ini dikarenakan berat badan merupakan indikator yang paling mudah diukur. BB/U ini sangat tepat digunakan untuk menilai status gizi kurang atau baik, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan status gizi lebih atau obesitas (WHO, 2006).
b. Klasifikasi Status Gizi
Di Indonesia, ukuran baku hasil pengukuran status gizi belum ada (Supariasa, 2002). Sehingga, klasifikasi status gizi dalam penelitian ini mengacu pada baku rujukan WHO 2005, yaitu sebagai berikut:
2) Status gizi baik, dengan kriteria: Z-score BB/U antara -2 dan 1. 3) Status gizi kurang, dengan kriteria: Z-score BB/U antara -3 dan -2. 4) Status gizi buruk, dengan kriteria: Z-score BB/U kurang dari -3. (WHO, 2005)
5. Hubungan Tahap Kemoterapi dengan Status Gizi
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang salah satunya adalah faktor zat kimia dari luar tubuh yang bisa diartikan sebagai pemakaian obat-obatan. Berdasarkan teori sebelumnya, hampir semua jenis obat anti kanker atau kemoterapi dapat menyebabkan efek toksik berat, yang mungkin sampai menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Karena obat-obat antikanker umumnya bekerja pada sel yang sedang aktif, maka efek sampingnya juga terutama mengenai jaringan dengan proliferasi tinggi yaitu sistem hematopoietik dan gastrointestinal (Nafrialdi and Sulistia, 2003; Supariasa, 2002). Hampir semua obat anti kanker menyebabkan efek samping berupa gangguan saluran cerna berupa anoreksia ringan, mual, muntah, diare, dan stomatitis sampai yang berat yaitu ulserasi oral dan intestinal, perforasi, diare hemoragik. Hal ini dapat menyebabkan penurunan status gizi pada penderita yang diberikan pengobatan antikanker berupa kemoterapi (Nafrialdi and Sulistia, 2003).
yang sering digunakan pada tahap induksi adalah glukokortikoid (prednison, prednisolon, deksametason), vinkristin, dan sedikitnya obat golongan lain (biasanya asparaginase, antrasiklin, atau keduanya). Pada tahap konsolidasi berupa vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosida, dauronubisin, etoposid, thioguanin, atau merkaptopurin, dan asparaginase. Kemudian pada tahap rumatan (maintenance) obat-obatnya berupa merkaptourin, metotreksat, vinkristin intravena dengan pemberian kort ikosteroid (Hoffbrand, 2005; Pui and Evans, 2006).
Obat-obat yang diberikan pada kemoterapi leukemia limfoblastik akut hampir sama di tiap tahapannya. Hal yang berbeda adalah pemberian kortikosteroid atau glukokortikoid pada tahap induksi dan rumatan (maintenance). Sebuah penelitian menyatakan bahwa efek dari penggunaan kortikosteroid dapat memberikan kontrol yang baik terhadap sistemik dan sistem saraf pusat sehingga mampu menjaga status gizi penderita yang menjalani kemoterapi (Pui and Evans, 2006). Selain itu penelitian lain juga menyebutkan bahwa kortikosteroid dapat digunakan sebagai anti mual dan muntah yang manjur pada kemoterapi (Ioannidis JP, Hesketh PJ, Lau J, 2000). Sehingga dapat dikatakan status gizi penderita leukemia limfoblastik akut akan tetap membaik pada kemoterapi tahap induksi dan rumatan (maintenance) dan akan mengalami penurunan status gizi ketika tahap konsolidasi.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
: diteliti
: tidak diteliti
Sistem gastrointestinal atau pencernaan Tahap Kemoterapi Leukemia
Limfoblastik Akut
Efek samping obat
Gangguan asupan nutrisi Ulserasi atau perforasi oral dan intestinal Pengaruh terhadap status gizi anak Anoreksia
ringan Mual, muntah
Diare, diare
Keterangan:
Pengobatan yang digunakan pada tahap kemoterapi leukemia limfoblastik akut umumnya bekerja pada sel yang sedang aktif, sehingga efek samping yang ditimbulkan juga mengenai jaringan dengan proliferasi tinggi terutama pada sistem gastrointestinal atau pencernaan berupa anoreksia ringan, mual, muntah, diare, dan stomatitis sampai yang berat yaitu ulserasi oral dan intestinal, perforasi, diare hemoragik. Adanya gangguan pada sistem gastrointestinal atau pencernaan tersebut akan mempengaruhi kemampuan penyerapan nutrisi yang selanjutnya akan mempengaruhi status gizi anak.
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan status gizi di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan metode cross sectional dimana sampel berupa data sekunder yang diambil dari catatan rekam medik penderita. Alasan pemilihan metode cross sectional antara lain:
1. Penelitian ini tidak menggunakan case control karena data kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut dan pengukuran status gizi anak dilakukan pada waktu yang sama.
2. Metode cohort tidak dipilih karena membutuhkan waktu yang lebih lama dan mengharuskan intervensi pada sampel. Merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji bila peneliti sengaja mengatur lama pemberian kemoterapi pada penderita anak Leukemia Limfoblastik Akut.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak dan Bagian Rekam Medik RSUD Dr. Moewardi selama bulan April - Agustus 2011.
C. Subjek Penelitian 1. Populasi
Penderita Leukemia Limfoblastik Akut yang dirawat di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi.
2. Sampel
Penderita Leukemia Limfoblastik Akut yang dirawat di Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi dengan kriteria:
a. Kriteria inklusi:
1) Penderita Leukemia Limfoblastik Akut berumur 0 - 18 tahun.
2) Mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi baik itu induksi, konsolidasi maupun rumatan (maintenance).
3) Status gizi penderita tergolong kategori baik atau kurang. b. Kriteria eksklusi:
1) Penderita Leukemia tipe lain seperti Leukemia Limfoblastik Kronik atau Leukemia Mieloblastik Akut maupun Kronik.
2) Tidak mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi baik itu induksi, konsolidasi maupun rumatan (maintenance).
3) Status gizi penderita tergolong kategori lebih atau buruk.
3. Besar Sampel
Menentukan ukuran sampel pada penelitian ini dipergunakan rumus untuk analisis bivariat, yaitu analisis yang melibatkan sebuah variabel dependen dan sebuah variabel independen dengan menggunakan patokan umum Rule of Thumb, yaitu digunakan ukuran sampel sebanyak minimal 30
penderita setelah dilakukan restriksi dengan kriteria yang telah ditentukan (Murti, 2006).
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara
Purposive Random Sampling karena sampel dipilih berdasarkan pertimbangan
tertentu dan berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi (Sugiyono, 2005; Taufiqqurahman, 2004).
E. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas (Independent Variable)
Tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA). 2. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Status gizi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) yang mendapatkan penatalaksaan kemoterapi.
F. Definisi Operasional Variabel
1. Tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Tahap kemoterapi pada leukemia limfoblastik akut digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok yang terdiri dari penderita yang menjalani kemoterapi tahap induksi remisi (minggu 1 - 6).
b. Kelompok yang terdiri dari penderita yang menjalani kemoterapi tahap konsolidasi (minggu 7 - 12).
c. Kelompok yang terdiri dari penderita yang menjalani kemoterapi tahap rumatan (maintenance) (minggu 13 - 62).
Skala: nominal
2. Status gizi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) yang mendapatkan penatalaksaan kemoterapi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dapat diukur dengan berbagai cara. WHO (2005) telah membuat panduan status gizi anak berdasarkan Z-score dengan membandingkan berat badan dan umur (BB/U). Penggolongan status gizi berdasarkan Z-score yaitu:
a. Status gizi baik, dengan kriteria: Z-score BB/U antara -2 dan 1. b. Status gizi kurang, dengan kriteria: Z-score BB/U antara -3 dan -2. Skala: nominal
G. Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Anak penderita Leukemia Limfoblastik Akut yang
mendapat Kemoterapi
Uji Analisis Bivariat Diukur status gizi dengan menggunakan Z-score Status gizi baik Tahap Konsolidasi (minggu 7 - 12)
Sampel anak yang diberikan kemoterapi
tahap konsolidasi
Status gizi kurang
Diukur status gizi dengan menggunakan Z-score Status gizi baik Tahap Rumatan (minggu 13 - 62) Status gizi kurang Sampel anak yang diberikan kemoterapi
tahap rumatan
Diukur status gizi dengan menggunakan
Z-score
Status gizi baik
Tahap Induksi Remisi (minggu 1- 6)
Status gizi kurang Sampel anak yang diberikan kemoterapi
tahap induksi remisi
H. Instrumen Penelitian
Catatan rekam medik (Medical Record) penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) yang dirawat di Unit Rawat Inap Bangsal Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi dan skala Z-score untuk mengukur status gizi.
I. Teknik Analisis Data
Untuk membuktikan apakah tahap kemoterapi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) berpengaruh terhadap status gizi penderita anak tersebut, data yang diperoleh diuji dengan uji analisis Bivariat dengan menggunakan Chi
Square (X2) – SPSS 17 for Windows untuk melihat ada tidaknya asosiasi antar
variable (Taufiqurrahman, 2004).
Sedangkan untuk menguji kekuatan hubungan antara tahap kemoterapi LLA terhadap status gizi penderita anak menggunakan Odds Ratio (OR) (Murti, 2006).
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel
Penelitian yang dilakukan selama bulan April - Agustus 2011 didapatkan 52 sampel dari catatan rekam medis penderita Rawat Inap di Bangsal Anak RSUD Dr. Moewardi, yang terbagi menjadi 3 kategori berdasarkan tahap kemoterapi:
1. Tahap induksi: 22 penderita 2. Tahap konsolidasi: 15 penderita
3. Tahap rumatan (maintenance): 15 penderita
Dari data tersebut, diperoleh karakteristik sampel sebagai berikut:
Tabel 1. Karakteristik Sampel Menurut Usia pada Tahap Induksi
Usia Jumlah Persentase
0 tahun sampai 5 tahun 16 72,73% 5 tahun sampai 10 tahun 5 22,73% 10 tahun sampai 18 tahun 1 4,54%
Jumlah Total 22 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas, sampel yang berusia antara 0 tahun sampai 5 tahun berjumlah 16 (72,73%) orang, 5 tahun sampai 10 tahun berjumlah 5 (22,73%) orang, dan 10 tahun sampai 18 tahun berjumlah 1
Tabel 2. Karakteristik Sampel Menurut Usia pada Tahap Konsolidasi
Usia Jumlah Persentase
0 tahun sampai 5 tahun 7 46,67%
5 tahun sampai 10 tahun 2 13,33% 10 tahun sampai 18 tahun 6 40,00%
Jumlah Total 15 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas, sampel yang berusia antara 0 tahun sampai 5 tahun berjumlah 7 (46,67%) orang, 5 tahun sampai 10 tahun berjumlah 2 (13,33%) orang, dan 10 tahun sampai 18 tahun berjumlah 6 (40,00%) orang.
Tabel 3. Karakteristik Sampel Menurut Usia pada Tahap Rumatan
(Maintenance)
Usia Jumlah Persentase
0 tahun sampai 5 tahun 8 53,34%
5 tahun sampai 10 tahun 5 33,33%
10 tahun sampai 18 tahun 2 13,33%
Jumlah Total 15 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas, sampel yang berusia antara 0 tahun sampai 5 tahun berjumlah 8 (53,34%) orang, 5 tahun sampai 10
tahun berjumlah 5 (33,33%) orang, dan 10 tahun sampai 18 tahun berjumlah 2 (13,33%) orang.
Tabel 4. Karakteristik Sampel Menurut Jenis Kelamin pada Tahap Induksi
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 15 68,18%
Perempuan 7 31,82%
Jumlah Total 22 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa sampel jenis kelamin laki-laki berjumlah 15 (68,18%) orang dan perempuan berjumlah 7 (31,82%) orang.
Tabel 5. Karakteristik Sampel Menurut Jenis Kelamin pada Tahap
Konsolidasi
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 9 60,00%
Perempuan 6 40,00%
Jumlah Total 15 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa sampel jenis kelamin laki-laki berjumlah 9 (60,00%) orang dan perempuan berjumlah 6
Tabel 6. Karakteristik Sampel Menurut Jenis Kelamin pada Tahap Rumatan
(Maintenance)
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 11 73,33%
Perempuan 4 26,67%
Jumlah Total 15 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa sampel jenis kelamin laki-laki berjumlah 11 (73,33%) orang dan perempuan berjumlah 4 (26,67%) orang.
Tabel 7. Karakteristik Sampel Menurut Status Gizi pada Tahap Induksi
Status gizi Jumlah Persentase
Baik 12 54,55%
Kurang 10 45,45%
Jumlah Total 22 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas didapatkan 12 (54,55%) orang dengan status gizi baik dan 10 (45,45%) orang dengan dengan status gizi kurang.
Tabel 8. Karakteristik Sampel Menurut Status Gizi pada Tahap Konsolidasi
Status gizi Jumlah Persentase
Baik 4 26,67%
Kurang 11 73,33%
Jumlah Total 15 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas didapatkan 4 (26,67%) orang dengan status gizi baik dan 11 (73,33%) orang dengan dengan status gizi kurang.
Tabel 9. Karakteristik Sampel Menurut Status Gizi pada Tahap Rumatan
(Maintenance)
Status gizi Jumlah Persentase
Baik 11 73,33%
Kurang 4 26,67%
Jumlah Total 15 100%
Sumber : data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel tersebut di atas didapatkan 11 (73,33%) orang dengan status gizi baik dan 4 (26,67%) orang dengan dengan status gizi kurang.
B. Uji Statistik
Data penelitian yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan dengan menggunakan analisis bivariat (analisis Chi Square) antara variabel dependen (tahap kemoterapi leukemia limfoblastik akut) dengan variabel independen (status gizi BB/U). Dilakukan analisis ini karena data tersebut merupakan data dengan skala pengukuran kategorikal, tidak berpasangan, dan termasuk data non parametrik.
Tabel 10. Hubungan Tahap Kemoterapi Leukemia Limfoblastik Akut
dengan Status Gizi.
Variabel Status Gizi
Kurang Baik Total OR X2 p Tahap Kemoterapi Induksi 10 12 22 5.2 4.967 0.026 (45,45%) (54,55%) (100%) Konsolidasi 11 4 15 5.45 2.386 0.122 (73,33%) (26,67%) (100%) Rumatan 4 11 15 8.00 6.652 0.010 (Maintenance) (26,67%) (73,33%) (100%)
Sumber : data sekunder, 2011
Perhitungan menggunakan uji statistik Chi Square dengan p < 0,05 yang berarti signifikan atau bermakna. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kemoterapi leukemia tahap induksi dan
rumatan (maintenance) dengan status gizi pada penderita LLA. Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara kemoterapi leukemia tahap konsolidasi dengan status gizi pada penderita LLA.
Selanjutnya, untuk mengetahui kuatnya hubungan antara tahap kemoterapi leukemia fase induksi, konsolidasi, dan rumatan (maintenance) dihitung dengan rumus Odds Ratio sebagai berikut :
1. Tahap Induksi OR = ad/bc = (13)(12) / (10)(3) 5,2 2. Tahap konsolidasi OR = ad/bc = (15)(4) / (1)(11) 5,45
3. Tahap rumatan (maintenance)
OR = ad/bc
= (12)(10) / (5)(3)
Tabel 11. Besar Odds Ratio Dan Interpretasi tentang Kekuatan Hubungan
antara Paparan dan Risiko.
OR Interpretasi Meningkatkan Risiko Menurunkan Risiko
1.0 1.0 Tidak terdapat Hubungan
> 1.0 - < 1.5 > 0.67 - < 1.0 Hubungan lemah > 1.5 - < 3.0 > 0.33 - ≤ 0.67 Hubungan sedang ≥ 3.0 - < 10.0 > 0.10 - ≤ 0.33 Hubungan Kuat
≥ 10.0 ≤ 0.10 Hubungan sangat Kuat
Hasil analisis data dengan menggunakan rumus odds ratio pada tahap induksi memberikan hasil 5,2, pada tahap konsolidasi memberikan hasil 5,45, dan pada tahap rumatan (maintenance) memberikan hasil 8,00. Dimana ketiga hasil tersebut berkisar antara ≥ 3.0 - < 10.0 yang dapat diinterpretasikan sebagai hubungan yang kuat antara tahap kemoterapi leukemia limfoblastik akut baik tahap induksi, konsolidasi, maupun rumatan (maintenance) dengan status gizi penderita anak. Meskipun pada tahap konsolidasi hubungan tersebut dalam penelitian secara statistik tidak signifikan (p < 0,05).
BAB V PEMBAHASAN
Leukemia Limfoblastik Akut merupakan leukemia yang paling sering terjadi terhitung kira-kira 71% dari kasus keganasan pada anak-anak, untuk Leukemia Mieloblastik Akut kira-kira 11%, Leukemia Mieloblastik Kronik kira-kira 2 - 3%, dan untuk Leukemia Mieloblastik Kronik Juvenil kira-kira 1 - 2%. Puncak insiden LLA ini terjadi pada anak berusia 2 - 4 tahun (Behrman, 2004; Porth, 2005).
Pada tabel 1. yaitu tabel karakteristik sampel menurut usia pada tahap induksi didapatkan distribusi sampel terbanyak terdapat pada kelompok usia 0 tahun sampai 5 tahun sebanyak 72,73%. Begitu pula pada tabel 2. yaitu tabel karakteristik sampel menurut usia pada tahap konsolidasi dan pada tabel 3. yaitu tabel karakteristik sampel menurut usia pada tahap rumatan (maintenance), didapatkan distribusi sampel terbanyak pada kelompok usia 0 tahun sampai 5 tahun. Hasil ini sesuai dengan penjelasan Porth, 2005 sebelumnya bahwa puncak insiden LLA ini terjadi pada anak berusia 2 - 4 tahun. Kemudian ada pula yang menyatakan bahwa puncak insiden LLA terjadi pada anak usia 3 - 5 tahun (Fianza, 2009).
Pada tabel 4. yaitu tabel karekteristik sampel menurut jenis kelamin pada tahap induksi didapatkan sampel dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada wanita. Pada tabel 5. yaitu tabel karekteristik sampel menurut jenis kelamin pada tahap konsolidasi dan tabel 6. yaitu tabel karakteristik sampel
serupa dimana sampel dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada wanita. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fianza, 2009 bahwa LLA lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita.
Pada tabel 7. yaitu tabel menurut status gizi pada tahap induksi diperoleh sampel bahwa pada tahap ini jumlah penderita yang memiliki status gizi baik lebih banyak daripada penderita yang memiliki status gizi kurang, walaupun tidak begitu jauh perbedaannya. Sedangkan pada tabel 8. yaitu tabel menurut status gizi pada tahap konsolidasi diperoleh sampel dimana jumlah penderita yang memiliki status gizi baik lebih sedikit daripada penderita yang memiliki status gizi kurang, dimana jumlahnya jauh berbeda. Kemudian pada tabel 8. yaitu tabel menurut status gizi pada tahap rumatan (maintenance) diperoleh sampel dimana jumlah penderita yang memiliki status gizi baik mengalami peningkatan sehingga jumlahnya lebih banyak daripada penderita yang memiliki status gizi kurang. Salah satu obat pada kemoterapi tahap induksi dan rumatan (maintenance) menggunakan kortikosteroid, baik prednison maupun deksametason (Hoffbrand, 2005). Dalam sebuah studi kecil menyatakan bahwa penggunaan prednison atau deksametason pada kemoterapi memberikan kontrol yang baik pada sistem saraf pusat dan sistemik dalam kaitannya menjaga status gizi seorang penderita (Pui
and Evans, 2006). Obat-obat yang diberikan pada kemoterapi tahap induksi
hampir selalu menggunakan glukokortikoid (prednison, prednisolon, deksametason), vinkristin, dan sedikitnya obat golongan lain (biasanya asparaginase, antrasiklin, atau keduanya). Obat-obat yang diberikan pada kemoterapi tahap konsolidasi berupa vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosida,
dauronubisin, etoposid, thioguanin, atau merkaptopurin. Lalu pada tahap rumatan (maintenance), obat-obat yang diberikan berupa merkaptourin oral, metotreksat oral, vinkristin intravena, dan juga pemberian kortikosteroid oral (Hoffbrand, 2005; Pui and Evans, 2006). Sebuah penelitian menyatakan bahwa efek dari penggunaan kortikosteroid dapat memberikan kontrol yang baik terhadap sistemik dan sistem saraf pusat sehingga mampu menjaga status gizi penderita yang menjalani kemoterapi (Pui and Evans, 2006). Selain itu penelitian lain juga menyebutkan bahwa kortikosteroid dapat digunakan sebagai anti mual dan muntah yang manjur pada kemoterapi (Ioannidis JP, Hesketh PJ, Lau J, 2000). Penelitian yang dilakukan Dalton, et al. pada tahun 2003 menyatakan bahwa penurunan berat badan pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut terjadi selama pengobatan dengan kemoterapi kemudian membaik karena pemberian glukokortikoid atau kortikosteroid. Penjelasan ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa jumlah penderita yang memiliki status gizi baik lebih banyak dibandingkan penderita dengan status gizi buruk karena pada tahap induksi diberikan kortikosteroid. Sedangkan pada tahap konsolidasi, penderita dengan status gizi kurang meningkat lebih banyak dibandingkan penderita dengan status gizi lebih, dikarenakan pada tahap konsolidasi tidak diberikan obat golongan kortikosteroid. Kemudian pada tahap rumatan (maintenance), penderita dengan status gizi baik meningkat lebih banyak daripada penderita dengan status gizi buruk karena ada pemberian kortikosteroid, selain itu pada tahap ini sebagian besar sel-sel tumor telah mati oleh pengobatan 2 tahap sebelumnya.
Data selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan Chi Square yang dijelaskan dalam tabel 9. didapatkan nilai p pada tahap induksi adalah 0.026, nilai p pada tahap konsolidasi adalah 0,122 dan nilai p pada tahap rumatan (maintenance) adalah 0,010. Hasil penelitian dikatakan signifikan apabila nilai p < 0,05, yang berarti tahap induksi dan rumatan (maintenance) memberikan hasil yang signifikan terhadap status gizi, sedangkan tahap konsolidasi tidak signifikan dalam mempengaruhi status gizi. Pada uji tersebut didapatkan odds ratio pada tiap tahap kemoterapi, OR induksi = 5,2, OR konsolidasi = 5,45, dan OR rumatan (maintenance) = 8,00. Ketiga odds ratio ini terletak pada kisaran angka ≥ 3.0 - < 10.0 yang menunjukkan bahwa penelitian ini memiliki hubungan yang kuat antara tahap kemoterapi baik tahap induksi, konsolidasi, dan rumatan (maintenance) dengan status gizi penderita anak. Pada tahap konsolidasi memiliki nilai p > 0,05 yang menunjukkan bahwa hasil ini tidak signifikan, akan tetapi hasil odds ratio menunjukkan hubungan yang kuat sehingga bisa disimpulkan bahwa tahap konsolidasi memiliki hubungan yang kuat dengan penurunan status gizi namun kurang bermakna. Tahap konsolidasi memberikan hasil yang tidak signifikan dalam menurunkan status gizi dikarenakan faktor-faktor yang menurunkan status gizi pada penderita LLA tidak hanya bersumber dari pengobatan saja tetapi juga dari sel kanker itu sendiri. Studi pada manusia maupun pemeriksaan eksperimen pada binatang percobaan menunjukkan adanya peningkatan protein turnover pada penderita kanker. Selanjutnya ditemukan adanya kenaikan sintesis protein dalam jaringan hepar, penurunan sintesis protein dalam otot rangka. Kurangnya massa otot terutama akibat penurunan sintesis protein dan adanya kenaikan aktivitas
sintesis protein dalam hepar. Selain itu hilangnya massa lemak bebas sering ditemukan pada penderita kanker. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengurangan jumlah lemak. Di samping itu juga pada penderita kanker terjadi oksidasi lemak yang meningkat yang berarti terdapat peningkatan lipolisis (Velde
et al., 2005). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyaningrum,
2009 menguji tentang hubungan kemoterapi dengan status gizi dan asupan protein didapatkan hasil adanya hubungan bermakna antara kemoterapi dengan status gizi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, tetapi didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara kemoterapi dengan asupan protein. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang Peneliti lakukan, karena penelitian sebelumnya tidak menguji hubungan tiap tahap kemoterapi dengan status gizi akan tetapi menguji semua tahap kemoterapi dengan status gizi pasien.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah jumlah sampel penderita Leukemia Limfoblatik Akut masih tergolong sedikit. Peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan waktu yang lebih panjang sehingga dapat meningkatkan jumlah sampel serta dapat mengontrol faktor-faktor perancu yang belum sempat diteliti.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian mengenai hubungan antara tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan status gizi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan kuat dan bermakna antara tahap kemoterapi pada penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan status gizi, meskipun pada tahap konsolidasi memberikan hasil yang kurang bermakna secara statistik.
2. Penderita dengan status gizi baik lebih banyak daripada status gizi kurang pada tahap induksi dan rumatan (maintenance). Sedangkan penderita dengan status gizi baik lebih sedikit daripada status gizi kurang pada tahap konsolidasi.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka saran-saran penulis adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya sedini mungkin melakukan screening pada leukemia limfoblastik akut pada anak mengingat kasus leukemia limfoblastik akut adalah kejadian terbanyak pada kelompok keganasan.
2. Bagi para dokter dan tenaga medis agar dapat memberikan penatalaksanaan yang adekuat dengan efek samping seminimal mungkin sehingga komplikasi yang ditimbulkan dari kemoterapi pada kasus leukemia bisa ditekan angka kejadiannya.
3. Selain itu, baik dokter maupun tenaga medis dapat mempertahankan atau memperbaiki status gizi pasien menjadi lebih baik dengan pemberian nutrisi secara langsung maupun melalui konseling gizi terhadap keluarga pasien.