• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADILAN HUKUM DALAM PASAL 12 UNDANG UND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEADILAN HUKUM DALAM PASAL 12 UNDANG UND"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KEADILAN HUKUM DALAM PASAL 12

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Syofyan Hadi, Tomy Michael

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Email: tomy@untag-sby.ac.id

Abstrak

Di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 termaktub bahwa ―Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama ya ng dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Kata ―seagama‖ dalam pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28E dan Pasal 29

ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena menjadikan peserta didik tidak memiliki hak secara utuh. Hak yang dimaksud yaitu adanya pembatasan terhadap agama tertentu yang telah dinormakan oleh pemerintah seperti yang terma ktub dalam PNPS No. 1-1965. Walaupun di dalam penafsiran ilmu hukum, tidak terdapat agama resmi sesuai acuan pemerintah dalam PNPS No. 1-1965. Kesimpulannya bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bertentangan dengan Pasal 1 UU No. 39-1999, keberagaman SARA di Indonesia dan tidak menciptakan tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan hukum. Saran yang diambil yaitu mengubah bunyi Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No.

20-2003 menjadi ―Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak

mendapatkan pendidikan agama dan/atau keperca yaan sesuai dengan agama dan/atau keperca yaan yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama dan/atau

sekepercayaan‖.

Kata kunci: agama, pendidikan, keadilan, keperca yaan.

A.Pendahuluan

Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Seluruh peraturan perundang-undangan yang dirancang harus berorientasi pada keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum agar eksistensi SARA tersebut benar-benar terjaga. Mengingat masih jamaknya pembentukan peraturan perundang-undangan yang cenderung berpihak pada SARA tertentu maka penulis tertarik untuk membahas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20-2003).

(2)

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Muncul permasalahan hukum ketika Pasal 1 angka 1 UU No. 20-2003 dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bahwa “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Kata “seagama” dapat ditafsirkan1 secara luas oleh siapapun karena akan mempersempit ruang lingkup hakikat agama di Indonesia.

Sebagai perbandingan, di Pasal 30 UU No. 20-2003 termaktub bahwa:

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Di dalam UU No. 20-2003, penjelasan pasal ini hanya tertulis “cukup jelas”. Dengan adanya fungsi pendidikan keagamaan menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama adalah hal yang bertentangan dengan hakikat masyarakat itu sendiri. Pendidikan keagamaan adalah hal yang diperoleh melalui kehidupan sehari-hari.

Pemahaman akan agama sering kali terbatas pada pengetahuan yang sempit namun pelaksanaannya dalam koridor yang luas. Ketika hal tersebut tetap terjadi maka keadilan hukum sebagai tujuan hukum tertinggi di Indonesia tidak akan tercapai dengan baik dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum.

B.Pembahasan

1. Penafsiran Hukum Kata “Seagama”

Mengacu pada penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (PNPS No. 1-1965) bahwa “selain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius) mendapatkan jaminan dari negara. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.

Isi lengkap Penjelasan Pasal 1 PNPS No. 1-1965 bahwa:

1

(3)

[Dengan kata-kata Dimuka Umum dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapa t bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Dengan kata -kata ―Kegiatan

keagamaan‖ dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan,

misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran keperca yaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.]

Maka apabila dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003, setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik seagama tidak sejalan dengan hakikat Pancasila dan PNPS No. 1-1965. Penjelasan Pasal 1 PNPS No. 1-1965 dapat ditafsirkan bahwa keenam agama tersebut bukanlah agama resmi karena proses melegalkannya hanya berdasarkan norma sinderesis yaitu dengan adanya frasa “Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia”.

Frasa demikian bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12-2011) bahwa “setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”. Selain itu, frasa tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dalam konsiderans karena ketidakjelasan hakikat didalamnya.

Berikutnya frasa “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

(4)

dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, maka Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism tidak dilarang karena terdapat frasa “asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Frasa ini dapat ditafsirkan bahwa pada hakikatnya, keenam agama lazim (penulis menggunakan istilah ini dikarenakan norma sinderesis) dan Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism serta diluarnya tetaplah diakui karena bersandarkan pada Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam kajian ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetzgebung swissenschaft) yang terdiri dari teori Perundang-undangan (gesetzgbungs theorie) dan ilmu perundang-undangan (gesetzgebungs lehre) secara umum penafsiran hukum yang digunakan adalah penafsiran tekstual. Craig Ducat menyatakan bahwa secara objektif proses pemaknaan konstitusi dilakukan melalui dua perangkat penafsiran (tools of constitutional interpretation) yaitu penafsiran konstitusi didasarkan pada pemaknaan naskah konstitusi secara umum (konstitusi diberi makna biasa atau umum sebagaimana bunyi naskah konstitusi itu sendiri) dan kedua adalah intent of framers (konstitusi ditafsirkan berdasarkan kehendak para perumusnya yaitu seperti apa para perumus konstitusi memberi makna pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu disusun). Pendapat lainnya menyatakan bahwa penafsiran tekstual disebut juga textualism, literalism atau plain word approach. Metode ini mendasarkan interpretasi pada kata yang secara aktual terdapat dalam suatu aturan jika arti dari kata-kata tersebut tidak mendua.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan penafsiran hukum milik Hans-Georg Gadamer dengan argumen menemukan kesimpulan yang tepat dan mempersempit penafsiran hukum yang luas karena dengan merujuk pemikiran satu tokoh akan memperkaya tulisan ini. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa metode bukanlah sebagai sarana untuk mencapai kebenaran sebab metode ketidakmampuan mengeksplisitkan kebenaran sendiri. Sehingga yang menjadi persoalan bukanlah terletak pada kebenaran semata melainkan pada uraiannya tentang implikasi dari kenyataan bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis” pengalaman aktual manusia ketika memahami sesuatu. Secara lugas pemikiran Hans-Georg Gadamer terkait penafsiran bukanlah berpusat pada soal metode dan bukan membuat aturan-aturan pemahaman yang “secara objektif sah”, melainkan memahami pemahaman sekomprehensif mungkin. Hans-Georg Gadamer mengembangkan ontologi pemahaman menjadi hermeneutika dialektik menjadi hermeneutika spekulatif yang mempersiapkan dasar filsafat bagi pendalaman yang kritis tentang berbagai konsepsi interpretasi.2 Pemikiran Hans-Georg Gadamer sejalan dengan tidak ada acuan resmi apakah itu agama resmi di Indonesia.

2 Lebih lanjut dalam Joko Siswanto, Horizon Hermeneutika, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2016, h. 63-65.

(5)

Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut jika ditelaah lebih lanjut sebetulnya merupakan kebebasan yang wajib diakui negara karena tidak terdapat definisi pasti apakah yang disebut dengan Tuhan3 atau tuhan4.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah ditafsirkan sebagai sila yang melingkupi keempat sila lainnya. Keenam agama lazim memiliki kedudukan

3

Write up the name of God [Christ] in some spot and setup His image opposite and you will see which will be most reverenced. Painting comprehends in itself all the forms of nature, while you have nothing but words, which are not universal as form is, and if you have the effects of the representation, we have the representation of the effects. Take a poet who describes the beauty of a lady to her lover and a painter who represents her and you will see to which nature guides the enamoured critic. Certainly the proof should be allowed to rest on the verdict of experience. You have ranked painting among the mechanical arts but, in truth, if painters were as apt at praising their own works in writing as you are, it would not lie under the stigma of so base a name. If you call it mechanical because it is, in the first place, manual, and that it is the hand which produces what is to be found in the imagination, you too writers, who set down manually with the pen what is devised in your mind. And if you say it is mechanical because it is done for money, who falls into this errorif error it can be calledmore than you? If you lecture in the schools do you not go to whoever pays you most? Do you do any work without pay? Still, I do not say this as blaming such views, for every form of labour looks for its reward. And if a poet should say: "I will invent a fiction with a great purpose," the painter can do the same, as Apelles painted Calumny. If you were to say that poetry is more eternal, I say the works of a coppersmith are more eternal still, for time preserves them longer than your works or ours; nevertheless they have not much imagination [29] . And a picture, if painted on copper with enamel colours may be yet more permanent. We, by our arts may be called the grandsons of God. If poetry deals with moral philosophy, painting deals with natural philosophy. Poetry describes the action of the mind, painting considers what the mind may effect by the motions [of the body] . If poetry can terrify people by hideous fictions, painting can do as much by depicting the same things in action. Supposing that a poet applies himself to represent beauty, fer ocity, or a base, a foul or a monstrous thing, as against a painter, he may in his ways bring forth a variety of forms; but will the painter not satisfy more? are there not pictures to be seen, so like the actual things, that they deceive men and animals? , can be read on Leonardo Da Vinci, The Notebooks of Leonardo Da Vinci, The Project Gutenberg EBook of The Notebooks of Leonardo Da Vinci, 2004, Complete by Leonardo Da Vinci. p. 531.6.

The laws governing inheritance are quite unknown; no one can say why the same peculiarity in different individuals of the same species, and in individuals of different species, is sometimes inherited and sometimes not so; why the child often reverts in certain characters to its grandfather or grandmother or other much more remote ancestor; why a peculiarity is often transmitted from one sex to both sexes or to one sex alone, more commonly but not exclusively to the like sex. It is a fact of some little importance to us, that peculiarities appearing in the males of our domestic breeds are often transmitted either exclusively, or in a much greater degree, to males alone, can be read on Charles Darwin, The Origin Of Species, 2013, The Project Gutenberg EBook of On the Origin of Species. p. 48.3. Penulis tetap menggunakan bahasa Inggris agar tercipta pemahaman yang utuh, lebih lanjut dalam Tomy Michael, The Correlation Of Oath And God In The Constitution Of Republic Of Indonesia 1945, 2016, The 2016 International Conference and Call for Papers (ICCP) UNS Theme ―The Administration of Justice‖, h. 209-216.

4 Perhatikan juga Pasal 3 UU No. 20-2003 bahwa “Sebagai perbandingan pertama, penulis mengutip

(6)

yang sama dengan Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism serta diluarnya. Dapat dipahami juga bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan petunjuk yang sekaligus norma melindungi ketika munculnya permasalahan terkait SARA.

Kata “seagama” apabila ditafsirkan secara mendalam berdasarkan gaya penafsiran Hans-Georg Gadamer maka akan ditemukan bahwa agama merupakan kesatuan manusia dengan apa yang dipercayainya. Selain itu, seagama dalam konteks ke-Indonesia-an adalah pembatasan terhadap eksistensi SARA itu sendiri. Penafsiran ini dapat menimbulkan polemik karena berusaha mengedepankan pemikiran subjektif tetapi dengan bersandar pada pemikiran Hans-Georg Gadamer maka kata “seagama” menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri. Pemahaman kita satu sama lain membentuk sebuah horizon yang melampaui subjektivitas kita masing-masing, dan horizon itu – yang adalah ruang yang memiliki batas-batas – memungkinkan sekaligus membatasi kita dalam memahami sesuatu. Dapat dipahami juga, memahami adalah peleburan antara horizon masa silam dari pengarang dan horizon masa kini dari pembaca.5

Kata “seagama” pun juga tidak serta merta menunjukkan kesatuan agama didalamnya, “seagama” dapat ditafsirkan dengan segala aliran-aliran didalamnya karena tidak terdapat satu agama yang sama persis didalamnya akibat banyak hal yang mempengaruhinya. Apabila mengacu pada pemikiran Aristocles atau yang lebih dikenal dengan Platon6 dan Francois-Marie Arouet atau yang lebih dikenal dengan Voltaire7 diketahui bahwa agama dalam suatu peraturan negara memiliki dampak yang besar ketika tokoh-tokoh agama dan parlemen berbeda pandangan.

5 F Budi Hardiman, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015, h. 163. 6

Penulis menggunakan nama Platon sesuai teks dialog Socrates dalam Republik.

[If a man wants to know the origin of states and societies, he should behold them from the point of view of time. Thousands of cities have come into being and have passed away again in infinite ages, every one of them having had endless forms of government; and if we can ascertain the cause of these changes in states, that will probably explain their origin. What do you think of ancient traditions about deluges and destructions of mankind, and the preservation of a remnant? Every one believes in them. Then let us suppose the world to have been destroyed by a deluge. The survivors would be hill-shepherds, small sparks of the human race, dwelling in isolation, and unacquainted with the arts and vices of civilization. We may further suppose that the cities on the plain and on the coast have been swept away, and that all inventions, and every sort of knowledge, have perished. 'Why, if all things were as they now are, nothing would have ever been invented. All our famous discoveries have been made within the last thousand years, and many of them are but of yesterday.‘], dapat dilihat pada Plato, Laws, The Project Gutenberg, 2003, h. 115,9.

7 Anda menjawab bahwa perbedaan begitu besar. Semua agama yang ada adalah karya manusia dan

(7)

Pemikiran lain menurut Immanuel Kant bahwa agama adalah perluasan dari bidang moral. Hukum tertinggi perbuatan manusia ditemukan di dalam kehendak bebas manusia yang adalah akal budi dalam fungsi praktis akal budi yaitu kemampuan akal budi untuk menentukan perbuatan manusia. Fungsi praktis akal budi dipandang sebagai prinsip tertinggi yang menjadi hukum moral perbuatan yang bersifat formal, imperatif, universal dan kategoris. Hukum itu berbunyi “Lakukanlah sedemikian rupa, sehingga prinsip kehendakmu bisa berlaku setiap saat sekaligus sebagai prinsip penetapan hukum umum”. Agama bersumber pada hukum moral tersebut, dan secara praktis agama menurut Immanuel Kant berisikan ajaran-ajaran moral yang berhubungan dengan “kebaikan tertinggi” dan dalam ranah akademis, agama adalah bagian hakiki dari filsafat moral. Diartikan juga agama sebagai perintah ilahi, bukan sebagai sanksi-sanksi tetapi sebagai hukum hakiki setiap kehendak bebas.8

Penulis juga membandingkan agama menurut Sumartana seharusnya mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan, yakni misi agama yang humanistis, bukan sekedar mentobatkan orang yang belum masuk Kristen. Sehingga misiologi tidak menjadi heresiologi yaitu upaya untuk mengutuk orang lain yang dianggap diberikan Tuhan untuk memperbaiki kehidupan umat dan masyarakat secara menyeluruh. Menurut Sumartana, sekarang sudah saatnya untuk merubah paradigma misi dari misi ekstensif-kuantitatif1 ke misi intensif-kualitatif. Jika misi ekstensif-kuantitatif cenderung menjadikan orang lain sebagai objek penderita yang harus ditobatkan sehingga mau berpindah agama, maka misi intensif- kualitatif lebih bersifat humanis dengan menjadikan manusia sebagai subjek. Misi intensif-kualitatif sendiri bergerak dalam dua aras, yakni ke dalam (intensif) dan ke luar (ekstensif). Ke dalam misi ditujukan kepada upaya untuk memperdalam kerohanian warga komunitas agama. Dengan kata lain menjadikan orang beragama semakin beragama, Muslim menjadi semakin Muslim, Kristen semakin Kristen, Hindu semakin Hindu, Buddha semakin Buddha. Sedangkan misi ke luar dilakukan atas dasar dialog, di mana tujuan yang hendak dicapai bersama adalah agar umat beragama bisa semakin bersikap hormat kepada agamanya sendiri dan juga hormat kepada agama orang lain. Dengan demikian, sasaran yang menjadi objek misi intensif-kualitatif adalah persoalan kemanusiaan yang ada seperti kemiskinan, kesehatan, dan persoalan lain yang dihadapi bersama.9

Keadilan di antara kedua pihak memiliki makna yang berbeda. Disini timbul pertentangan ketika suatu norma hukum memuat larangan tetapi acuannya memperbolehkan maka tidak akan dicapai apapun olehnya. Pada hakikatnya, norma hukum merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan.

2. Keadilan Hukum Yang Dikehendaki

Keadilan tidak dapat diartikan secara konkrit dalam wujud kalimat karena keadilan dapat bersifat ide atau ide yang dikonkritkan. Socrates dalam pemikirannya menyatakan bahwa keadilan itu hanya dalam tataran ide. Keadilan tidak dapat dijelaskan secara spesifik, keadilan kadang dipandang sebagai kebaikan individual dan para tokoh-tokoh agama yang mengambil keputusan buruk, dapat dilihat pada Voltaire, Traktat Toleransi, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, h. 75-76.

8

Donatus Sermada Kelen, Dosa Dan Pembebasan Dalam Sorotan Filsafat Agama, h. 10-11 dalam Dosa Dan Pengampunan: Pergulatan Manusia Dengan Allah Vol. 26 No. Seri 25, 2016, Malang: STFT Widya Sasana.

9 Lebih lanjut dalam Nugroho, Keragaman Keyakinan Sebuah Tantangan Da n Harapan Bagi

(8)

kadang dipandang sebagai kebaikan negara. Keadilan hukum memiliki perbedaaan dengan keadilan atas agama karena keadilan agama secara umum hanyalah kebaikan tetapi apabila keadilan agama yang sebenar-benarnya ditarik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka keadilan agama memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada keadilan hukum. Keadilan agama hanyalah berlaku bagi subjek hukum yang memiliki keyakinan atas ajaran agama tersebut. Socrates menjelaskan negara sebagai hasil dari keinginan seseorang yang pada akhirnya seseoang tersebut mengumpulkan berbagai orang lainnya yang dikumpulkan dalam suatu tempat – perkumpulan daripada penghuninya inilah yang disebut negara.10 Dari sinilah, suatu keadilan dapat berasal. Keadilan adalah melakukan pekerjaan sendiri, bukan menjadi orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain maka melakukan pekerjaan atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu boleh dianggap sebagai keadilan.

Penulis menolak keadilan yang dikehendaki oleh Socrates seperti yang tertulis dalam beberapa literatur ilmu hukum umumnya yang memberikan definisi secara tegas yaitu keadilan komutatif (perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang telah dilakukannya), keadilan distributif (perlakuan kepada seseorang sesuai ajsa-jasa yang telah dilakukannya), keadilan kodrat alam (perlakuan kepada seseoang sesuai hukum alam) dan keadilan konvensional (keadilan yang ditetapkan melalui sebuah kekuasaan khusus). Keadilan tersebut sering kali disamakan dengan keadilan Aristoteles sedangkan keadilan menurut Socrates tergantung teks yang dituju. Dalam dialog lainnya, Socrates mengatakan bahwa keadilan adalah seni pencurian akan tetapi demi praktisnya untuk hal yang baik bagi teman dan hal yang buruk bagi lawan. Perhatikan juga karya A Setyo wibowo yang berfokus terhadap kajian Platon, Sokrates mengisahkan tentang pendidikan yang diberikan kepada empat pendidik kerajaan. Dimana masing-masing mewakili keutamaan kebijaksanaan, keadilan, keugaharian dan keberanian. Pendidik yang paling bijak akan mengajarkan tentang pekerjaan seorang raja; pendidik yang paling ugahari akan mendidik anak supaya tidak membiarkan dirinya diperintah oleh jenis kenikmatan apapun supaya ia terbiasa menjadi orang yang lepas bebas dan benar-benar memerintah sebagai raja. Kewajiban mengikuti Kebenaran mengalahkan kehangatan eksklusif pertemanan dua orang.11

Maka keadilan menurut pemikiran Socrates sesuai Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights 1948 bahwa “All human beings are born free and equal in dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”, tetapi Indonesia belum melakukan ratifikasi walaupun telah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39-1999) dimana dalam Pasal 1 angka 1 bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Pasal 1 angka 1 dapat ditafsirkan sebagai:

Tidak adanya penjarahan. Ini adalah prinsip keadilan, perdamaian, perintah, stabilitas, konsiliasi dan pikiran yang sehat, bahwa saya akan menyatakan dengan semua kekuatan jiwa saya (yang sangat tidak memadai, sayangnya!)

10 Plato, Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002, h. 72.

11 Lebih lanjut dalam A Setyo Wibowo, Platon: Lysis (Tentang Persahabatan), Yogyakarta: Kanisius,

(9)

sampai dengan hari kematian saya. Dan, di dalam semua kesungguhan, dapatkah sesuatu lainnya lebih diperlukan lagi di tangan hukum? Dapatkah hukum, bahwa sanksi penting yang diperlukan adalah kekuatan, menjadi layak dilakukan pada apapun diluar jaminan pada setiap haknya masing-masing? Saya menentang siapa pun untuk menghapusnya dari lingkaran ini tanpa menyesatkannya, dan akibatnya kekuatan berbalik terhadap hak. Dan karena ini adalah yang paling fatal, penyimpangan sosial yang paling tidak masuk akal yang mungkin dapat dibayangkan, hal itu harus diakui bahwa solusi yang benar dari masalah sosial sehingga banyak dicari, yang terkandung da lam kalimat sederhana HUKUM DIATUR OLEH KEADILAN. Sekarang hal ini penting untuk diucapka n bahwa untuk mengatur keadilan dengan hukum, dikatakan dengan kekera san, tidak termasuk pengaturan ide oleh hukum, a tau dengan kekuatan setiap manifestasi apapun dari aktivitas manusia-tenaga kerja, amal, pertanian, perdagangan, industri, instruksi, seni rupa atau agama; pada siapa pun dari pengaturan ini pasti menghancurkan kepentingan organisasi. Pada kenyataannya, bagaimana bisa kita membayangkan gangguan kekuatan pada kebebasan warga tanpa melanggar keadilan dan juga bertindak menentang dari tujuannya yang tepat? Di sini saya mengambil prasangka yang paling populer pada masa kita. Hal ini dianggap tidak cukup bahwa hukum seharusnya adil, hukum harus menjadi dermawan. Hal ini tidak cukup bahwa itu harus menjamin setiap warga negara menggunakan ba katnya secara bebas dan tidak mengganggu, menerapkan pada jasmaninya, intelektual dan pengembangan moral; itu diperlukan untuk mengembangkan kesejahteraan, aturan dan moralitas atas bangsa secara langsung. Ini adalah sisi yang menarik dari sosialisme. Tapi, saya ulangi, dua misi hukum ini bertentangan satu sama lain. Kita harus memilih di antara mereka. Seorang warga negara tidak dapat bebas dan tidak bebas pada saat yang sama.12 Sementara itu, keadilan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g UU No. 12-201113 adalah keadilan yang mencerminkan secara proporsional bagi setiap warga negara. Proporsional tidak memiliki batasan minimal apakah yang dikehendaki dan bagi setiap warga negara akan menimbulkan banyaknya keadilan yang dimaksud. Dari definisi tersebut, seharusnya korelasi pemahaman akan hak asasi manusia dengan keadilan yang bersandarkan diri akan hakikat Tuhan cenderung lebih luas daripada pemahaman hak asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. Dengan adanya pemahaman yang salah maka menjadikan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 tidak sesuai tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan hukum.

Keadilan hukum tidak melihat apa yang menjadi teleologinya melainkan hakikat yang dimilikinya. Keadilan hukum dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 hanya melingkupi keenam agama lazim. Hal ini sejalan teleologi milik Aristoteles untuk memberikan saran tersebut yaitu [these four causes are: the material cause, or what a thing is made of; the formal causes, or the arrangement or shape of a thing; the efficient cause, or how a thing is brought into being; and the final cause, or

the function or purpose of a thing. And it is this last type of cause, the ―final cause‖ that

relates to ethics] .14

12 Lebih lanjut dalam Frédéric Bastiat, Hukum, Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2015, h. 22-24.

13 Setiap peraturan perundang-undangan memiliki tujuan hukum yang berbeda-beda. Terdapat peraturan

perundang-undangan yang mengutamakan kepastian hukum namun mengesampingkan keadilan hukum dan kemanfaatan hukum dan terdapat yang mengutamakan keadilan hukum namun mengesampingkan kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

(10)

C.Penutup 1. Kesimpulan

Penulis tidak dapat memberikan kesimpulan secara lugas karena terkait penafsiran. Namun berdasarkan pemikiran Hans-Georg Gadamer, kesimpulan yang lebih mendekati bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 20-2003 bertentangan dengan Pasal 1 UU No. 39-1999 karena adanya unsur Tuhan dalam UU No. 39-1999 karena keadilan hukum lebih tinggi daripada keadilan agama. Pemberian kedudukan lebih tinggi ini berupaya untuk menghasilkan pemahaman yang tepat. Keadilan hukum dapat bersumber dari keadilan agama namun tidak keseluruhan yang terpada dalam keadilan agama disebut dalam keadilan hukum.

Kesimpulan kedua bahwa dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai milik seluruh masyarakat tanpa adanya perkecualian. Apabila sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditujukan pada keenam agama lazim maka keberagaman SARA di Indonesia hanya bersifat artifisial.

2. Saran

(11)

Daftar Pustaka

Bastiat, Frédéric, Hukum, Surabaya: R.A.De.Rozarie, 2015.

Darwin, Charles, The Origin Of Species, 2013, The Project Gutenberg EBook of On the Origin of Species, 2013.

Gadamer, Hans-Georg, Kebenaran Dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hardiman, F Budi, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Kelen, Donatus Sermada, Dosa Dan Pembebasan Dalam Sorotan Filsafat Agama, dalam Dosa Dan Pengampunan: Pergulatan Manusia Dengan Allah Vol. 26 No. Seri 25, Malang: STFT Widya Sasana, 2016.

London, DK, The Philosophy Book, London: Dorling Kindersley Limited, 2011.

Nugroho, Keragaman Keyakinan Sebuah Tantangan Dan Harapan Bagi Kerukunan Beragama (Studi Pemikiran Th Sumartana Tentang Keragaman Keyakinan), Jurnal Ilmu Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2 205.

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.

Plato, Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002. Plato, Laws, The Project Gutenberg, 2013.

Siswanto, Joko, Horizon Hermeneutika, 2016, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016.

Tomy Michael, The Correlation Of Oath And God In The Constitution Of Republic Of Indonesia 1945, 2016, The 2016 International Conference and Call for Papers (ICCP ) UNS Theme―The Administration of Justice‖.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Vinci, Leonardo Da, The Notebooks of Leonardo Da Vinci, The Project Gutenberg EBook of The Notebooks of Leonardo Da Vinci, Complete by Leonardo Da Vinci, 2004.

Voltaire, Traktat Toleransi, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004.

Wibowo, A Setyo, Platon: Lysis (Tentang Persahabatan), Yogyakarta: Kanisius, 2015.

(12)

Biodata:

1. Syofyan Hadi lahir di Pepao. S-1 Fakultas Hukum Universitas Mataram dan S-2 Magister Hukum Universitas Airlangga. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

yang mempengaruhi para online seller di Yogyakarta untuk memilih situs jejaring.. Instagram sebagai media

Kemudian dari wawancara singkat penulis dengan penjaga makam tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa keluarga dari orang Jepang yang dikuburkan pada pemakaman ini sudah

Dalam konteks Indonesia, konvergensi IFRS dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin daya sa- ing nasional.. Suatu

Detection of Dermatophyte between Toes of Medical Students Wearing and not Wearing Socks in Universitas Padjadjaran using Direct..

Data yang diolah pada sistem berupa nilai instrumen dari delapan unsur supervisi mutu yakni Nilai Standar Nasional Pendidikan yang terdiri dari Standar isi, standar proses,

kendala yang dialami oleh mahasiswa praktikan sendiri ialah adanya. rasa malas dan mudah bosan sehingga hafalan tak

Diajukan Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini..

Konsep yang digunakan adalah pengambilan region of interest (ROI) dari video, dilakukan background subtraction untuk mendapatkan latar depan, deteksi kendaraan