• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESELARASAN ANTARA NILAI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KESELARASAN ANTARA NILAI ISLAM DAN BUDAYA JAWA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 KESELARASAN ANTARA NILAI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

MENURUT MANGKUNEGARA IV1

Purwadi

Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Telp: 0274-550843-12; Email: purwadi@uny.ac.id

Abstract

The Javanese people make use of the life guidelines taken from the valuable

piwulang-piwulang inherited from one generation to another. Review of ethics is of great importance to be carried out to balance the progress of science and technology. Mangkunegara IV gave points out that the spectrum of human knowledge principally contains the symbolic value systems, thus the culture as a single vehicle of human existence is a symbolic system. Belief as knowledge, arts, philosophy, and science is a symbolic manifestation of human existence.

Keywords : Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Value Systems.

1. PENGANTAR

Kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai tersebut berasal dari norma-norma agama (Islam), norma adat, dan norma-norma sosial yang sudah berlangsung sepanjang usia kebudayaan itu sendiri. Kristalisasi nilai-nilai tersebut telah mengakar kuat dalam hati para pendukung kebudayaan Jawa. Salah satu contohnya adalah seorang raja dari Pura Mangkunegaran yang sangat terkenal, yaitu Mangkunegara IV.2

Dalam lingkungan kebudayaan Jawa, beliau dikenal sebagai seorang raja dan pujangga. Berbagai karya sastra yang mengandung nilai spiritual, dia

1

Dimuat dalam Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol. 8 no. 2, Juli-Desember 2010 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) STAIN Purwokerto. 2

(2)

2 wariskan sebagai pembinaan setiap insan yang mempunyai akhlaqul karimah.

Karyanya yang sering menjadi bahan kajian adalah Serat Wedhatama. Di dalamnya, memang terkandung ajaran mengenai keselarasan antara nilai Islam dan budaya.

Tulisan ini membahas persoalan tasawuf Jawa yang dikaitkan dengan akulturasi kebudayaan. Berdasarkan Serat Wedhatama,3 dapat diketahui bahwa masalah syariat yang sering menjadi perhatian umat Islam mesti mendapat pengkajian yang seksama sehingga kesalahpahaman antarwarga dapat dihindari. Dengan demikian, pengkajian makalah ini bertujuan untuk membudayakan tatanan masyarakat untuk mengakui keberagaman.

2. METODE PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI

Kajian ini menggunakan metode interpretasi dan holistika. Dalam melaksanakan penelitian, seseorang akan berhadapan dengan kenyataan. Kenyataan itu dapat dibedakan beberapa aspek. Bisa berbentuk fakta, yaitu suatu perbuatan atau kejadian, maupun data, yaitu pemberian dalam wujud hal atau peristiwa yang disajikan. Dapat pula dalam wujud sesuatu yang terdapat tentang hal, peristiwa atau kenyataan lain yang mengandung pengetahuan atau kenyataan lain yang mengandung pengetahuan untuk dijadikan dasar keterangan selanjutnya. Mungkin juga kenyataan berbentuk gejala, yaitu sesuatu yang tampak sebagai

3

(3)

3 tanda adanya peristiwa atau kejadian. Ketiga aspek itu akan mendapatkan titik berat yang berbeda menurut masing-masing disiplin ilmu.4

Serat Wedhatama berisi kesusastraan Jawa, wayang kulit, dan bentuk-bentuk kebudayaan lainnya, yaitu keris, bentuk-bentuk-bentuk-bentuk bangunan (keraton, candi), adat-istiadat (bermacam-macam upacara), dan peribahasa. Kesemuanya itu bersifat simbolis dan memerlukan penafsiran (interpretasi) menurut tata cara tertentu pula agar dapat dipahami secara rasional sehingga harus dilakukan analisis. Dalam hal ini, ketajaman dan kehalusan perasaan akan sangat memainkan peranan karena dapat memberikan bantuan dalam usaha mencapai pemahaman tersebut.

Holistika merupakan corak dalam konsepsi filosofis yang berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Dalam penelitian filsafat ini, tokoh yang menjadi objek studi tidak hanya dilihat secara otomatis, yaitu secara terisolasi dari lingkungannya, tetapi ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya. Manusia hanya dapat dipahami dengan memahami seluruh kenyataan dalam hubungan dengan dia, dan dia sendiri dalam hubungan dengan segalanya.

Pemahaman tokoh hanya mungkin dilakukan dengan melihat hubungan tidak hanya di antara ide, melainkan juga dengan manusia lain serta dengan alam sekitarnya. Hubungan dalam hidup manusia terutama bersifat vital dan komunikatif, yang satu mempengaruhi yang lain. Memahami sesuatu itu terjadi sebab peneliti mengerti relasi-relasi dan fungsi-fungsinya terhadap lingkungannya. Namun demikian, walaupun tidak ada hubungan vital dengan

4

(4)

4 banyak hal atau orang di sekitarnya, tetapi hanya dengan usaha membuat komparasi saja sudah dapat membantu untuk lebih memahami objek penelitian.5 3. PERKEMBANGAN ISLAM DI JAWA

Agama Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada mulanya hanya pada kalangan terbatas, yaitu keluarga dan sahabat terdekat. Dalam waktu yang relatif singkat, Islam berkembang dengan pesat. Sepeninggalnya, agama Islam disebarkan oleh “sahabat empat” yang terkenal dengan gelar Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Setelah Islam menyebar di daerah-daerah luar jazirah Arab, maka segera bertemu dengan berbagai peradaban dan lingkungan kebudayaan yang sudah mengakar selama berabad-abad.

Pada zaman Demak, kota-kota seperti Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus semakin bertambah kokoh dan makmur. Demak berhasil menyusun kekuasaan yang solid, dengan rajanya yang pertama, Raden Patah. Sebelum mendirikan Kerajaan Demak, Raden Patah terlebih dahulu membina basis pesantren. Peradaban Islam Jawa mulai berkembang sejak berdirinya Kerajaan Demak. Peradaban Hindu-Jawa kuno dilanjutkan oleh peradaban Islam seperti yang dikatakan oleh de Graaf, “Suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik yang heterodoks dan panteistik telah mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam di Jawa sejak abad ke-15 dan ke-16. Hal ini bisa dibuktikan dalam karya sastra Jawa”.6

Guru agama yang berkunjung ke Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 adalah kelompok mahasiswa dan sarjana yang menjelajahi dunia Islam sambil

5 Ibid. 6

(5)

5 menghimpun ilmu, dan menyebarkan pelajaran. Di samping itu, mereka juga mengurusi masalah kepentingan duniawi. Pengislaman kepulauan Indonesia merupakan jerih payah usaha mereka. Di istana, Islam yang terdapat di sepanjang pantai Jawa, mereka mendapat sambutan yang cukup meriah sebagai ahli spiritual dan intelektual. Mobilitas sosial mereka yang begitu kosmopolit, pergaulan luas, mempunyai jaringan antarbangsa, mempunyai daya pikir, dan penuh dengan kecakapan, membuat daya tarik pihak istana Islam. Mereka direkrut sebagai tenaga ahli, penasihat, bahkan diminta untuk membantu memimpin usaha.7

Ketika agama Islam masuk ke Pulau Jawa, maka cerita-cerita Islam ikut masuk juga. Kebanyakan terlebih dulu menggunakan bahasa Melayu.8 Namun demikian, perkembangan Islam di Pulau Jawa berkaitan erat dengan peranan kepustakaan Arab. Kepustakaan Arab yang kuat mempengaruhi tradisi kesusasteraan Jawa, yaitu bersumber dari karya Al-Ghazali, Al-Hallaj dan Ibnu Arabi.9 Perkembangan kesusasteraan Jawa kemudian memuat istilah Arab yang berkaitan dengan agama Islam dan ajaran tasawuf. ‘Tasawuf’ berasal dari kata ‘safa’ yang berarti suci atau mulai.

Adapun ‘suluk’ berasal dari kata ‘salaka’ yang berarti melalui, menempuh, jalan atau cara.10 ‘Salaka’ adalah kata kerja bahasa Arab berbentuk mujarad dan dalam bentuk masdar menjadi ‘sulukan’ yang bermakna perjalanan atau menempuh jalan. Sebagai ilmu, tasawuf atau suluk berarti transformasi sikap

7 Ibid. 8

Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Jakarta : Djambatan, 1964), hal 23. 9

Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Terj. Dick Hartoko (Jakarta : Gramedia, 1990), hal. 20.

10

(6)

6 mental spiritual dari yang belum sempurna dengan cara menyucikan diri lahir batin untuk mencapai kehidupan ruhani yang lebih sempurna,11 yaitu dalam tempat yang sedekat-dekatnya dengan Tuhan, namun tidak sampai meninggalkan kehidupan duniawi. Seseorang yang menganut tasawuf mendapat gelar sebagai sufi.12

Sementara itu, mistik berasal dari bahasaYunani, 'mistikos' yang berarti misteri atau rahasia. Berkaitan dengan tasawuf, mistik mempunyai makna kesatuan makhluk dengan Tuhan. Meskipun antarakata tasawuf, mistik, dan suluk ada perbedaan, namun ketiga kata itu sering dipakai dalam arti yang sinonim.13

Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan alas dukungan sunan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar "Mangkunegara I" dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe di pusat kota yang sekarang bernama Solo. Pura Mangkunegaran yang sebetulnya awalnya lebih tepat disebut tempat kediaman pangeran daripada istana, yang dibangun mengikuti model kraton, tapi bentuknya lebih kecil.

Pangeran Hadiwijaya I yang menikah dengan puteri Mangkunegara II, melahirkan jabang bayi yang diberi nama Sudiro, anak ke-7, pada hari Sabtu bertepatan dengan Ahad Legi, 1 Sapar Jimakir 1736 tahun Jawa atau 3 Maret 1811, di

11

Zahri Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hal. 44. 12

Harun Nasution, Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), hal. 34. 13

(7)

7 Surakarta. Eyang Sudiro dari pihak ayah gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Kaliabu. Kejadian itu terkenal dengan sebutan Hadiwijaya Seda

Kaliabu. Eyangnya dari pihak ibu adalah Mangkunegara II, anak kandung Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyowo.14

Pendidikannya tidak formal karena sistem ini belum muncul ketika itu. Dia dididik kakeknya. Setelah berusia 10 tahun, oleh kakeknya, dia diserahkan kepada Pangeran Rio, saudara sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegara III. Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro membaca, menulis, berbagai cabang kesenian dan kebudayaan serta kawruh lainnya. Sudiro, lima tahun penuh belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio. Menurut pengakuannya sendiri, pada masa muda, dia sangat tertarik kepada pelajaran agama. Dia berguru kepada para ulama sampai mengenai aturan ibadah haji.

Belum cukup sempurna menuntut pelajaran agama, dia telah dipanggil untuk menerimatugas mengabdi kepada pemerintah. Karena sibuknya menjalankan tugas, maka tidak jarang tertinggal sembahyangnya. Sekalipun demikian, sembahyang lima waktu tetap diyakininya sebagai kewajiban yang mesti dipatuhi seperti diungkapkannya sendiri dalam Serat Wedhatama. Sembahyang lima waktu tersebut bagi Mangkunegara IV agaknya tidak ditinggalkannya begitu saja, betapapun sibuknya bertugas. Setidak-tidaknya, dia mencari cara lain dalam menunaikannya, misalnya ia melakukan sembahyang itu dengan jama’

(mengumpulkan dua waktu sembahyang) apabila ia benar-benar sibuk dalam

14

(8)

8 tugas kedinasan, yang memang diperkenankan menjamakkan dua waktu shalat tanpa

uzur, demikian menurut kebanyakan fukaha, tetapi menurut ahli Dhohir dan sementara golongan Maliki cara yang demikian itu diperkenankan sekalipun tanpa uzur. 4. PEM IK IRAN TASAWUF M USLIM JAWA

Mangkunegara IV merupakan pujangga yang memiliki arti yang amat besar bagi orang Jawa. Mangkunegara IV menegaskan nasihat dan petunjuk kepada kerabat dan rakyat Mangkunegaran, terutama yang berfungsi sebagai prajurit mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sikap disiplin, setia dan patuh dan kesediaan menjaga kehormatan diri. Menurut Mangkunegara IV, karena soal mati bukan kewenangan manusia, maka berserah dirilah kepada kehendak Ilahi, di sampingharus berikhtiar secara maksimal. Jika ajal telah tiba, maka pantang ditunda-tunda. Sebagai prajurit gugur di medan perang lebih utama daripada meninggal di rumah. Sebaliknya, jika takdir Tuhan belum tiba dan ajal pun belum smmpai, walaupun dihujani panah (peluru) beribu-ribu, tak akan terkena. Dalam perang, seorang prajurit harus tunduk pada perintah panglima sebagai wujud perbuatan lahiriah, namun dalam hati hendaklah berserah diri kepada Ilahi. Ia tidak diperkenankan membunuh dan menganiaya musuh yang menyerah. Tindakan membunuh dan menganiaya musuh yang menyerah adalah tercela.15

Mangkunegara IV juga memberi petunjuk cara bersikap dan bertingkah laku dalam mencapai kehidupan yang baik. Petunjuk tersebut dapat dibedakan pada petunjuk yang berlaku umum bagi siapa saja yang ingin meraih keberhasilan dalam hidup duniawi, terpenuhi kebutuhan primernya secara wajar. Petunjuk yangberlaku khusus

(9)

9 untuk yang sudah berkeluarga sebagai suami atau istri.

Petunjuk yang pertama disebut "Astagina" (delapan faedah), sebagai kunci meraih sukses apa yang dihajatkan seseorang, yaitu: (1) mengupayakan secara optimal apa yang ia inginkan menurut kondisi zamannya; (2) mampu mencari pemecahan apabila ia menghadapi kesulitan; (3) hemat dan hati-hati menggunakan dana; (4) cermat dan teliti dalam pengamatan untuk memperoleh kepastian; (5) mampu memperhitungkan situasi; (6) menuntut ilmu dan gemar bertanya kepada ahlinya; (7) mencegah keinginan yang tak bermanfaat dan menambah pemborosan; dan (8) bertekad bulat tanpa ragu-ragu.16 Delapan sikap tersebut mencerminkan sifat-sifat yang utama. Siapapun agaknya tidak mengingkari kemantapan sikap yang demikian sebagai kunci keberhasilan. Apabila dilaksanakan secara menyeluruh, maka Astagina akan membawa hasil yang diinginkan seseorang, jika ia dilaksanakan secara utuh, tidak dipereteli atau dilepaskan keterkaitan dengan yang lainnya.

Segala sesuatu yang diinginkannya terkabul, demikian Mangkunegara IV, apabila Astagina diterapkan baik-baik. Petunjuk kedua disebutkan Serat Wulang Estri

ditujukan terutama kepada wanita yang hendak berkeluarga.17 Petunjuk ini menyangkut hubungan suami-istri dan pengelolaan harta bawaan dan harta bersama gono-gini. Seorang wanita, begitu nasihatnya, sebelum ia menikah, bahkan sebelum adanya lamaran, hendaklah bersikap dewasa dengan mengadakan pengamatan yang cermat kepada calon suami, mengenai kelakuannya, wataknya, pantangannya, kehalusan budinya; dengan kata lain penelitian mengenai

16 Ibid. 17

(10)

10 akhlaknya. Di samping itu, perlu juga saling mengenal dalam batas-batas kesopanan akan keadaan pribadi masing-masing agar terdapat kesesuaian keduanya.

Sistem pemikiran tasawuf muslim Jawa lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat; yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa. Singkatnya, Jawanisme memberikan suatu dunia pemikiran secara umum sebagai pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Kejawen bukanlah suatu katagori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara berpikir Jawanisme. Dasar pandangan manusia Jawa mengatakan bahwa tatanan dunia dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya, jadi mereka harus menanggung kesulitan hidupnya dengan sabar.

(11)

11 yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam yang dapat dianggap sebagai Kejawen.

Dalam khasanah sastra Jawa, terdapat jenis sastra suluk yang mengandung keterangan tentang konsep-konsep ajaran mistik dalam Islam atau tasawuf. Sastra suluk

ialah jenis karya sastra Jawa Baru yang bernafaskan Islam dan yang berisi ajaran tasawuf. Kata 'suluk' itu sendiri diperkirakan berasal dari Bahasa Arab sulukan bentuk jamak 'silkun' yang berarti 'perjalanan pengembara’, atau 'kehidupan pertapa'. Arti tersebut dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf yang mengharuskan para sufi berlaku sebagai pertapa pengembara dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya, menurut ahli-ahli tasawuf, diberi arti "mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji”.18 Suluk sering disebut juga mistik, yaitu jalan ke arah kesempurnaan batin, ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin; melalui tanggapan batinnya manusia dapat berkomunikasi langsung atau bersatu dengan bersemedi; khalwat, pengasingan diri.

Uraian dalam sastra suluk sering diberikan dalam bentuk tanya jawab antara murid dengan guru atau antara anak dengan orangtua, dan antara istri dengan suami. Meskipun ciri khas jenis sastra suluk tersurat secara eksplisit demikian, bahkan kadang-kadang dinyatakan dengan jelas terjalin dalam kandungan isi yang lebih mewarnai jenis sastra suluk itu. Pendidikan budi pekerti dalam sastra suluk biasanya dikaitkan dengan empat tahap perjalanan menuju kesempurnaan manusia, yaitu tahap syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.

18

(12)

12 5 . J A L A N M E N U J U K E S EM PU R N A A N

Serat-seratPiwulang selain Wedhatama tampak lebih banyak mengajarkan kehidupan praktis, kehidupan lahiriah yang disertai budi luhur seperti mematuhi aturan berumah tangga, aturan pemerintah, aturan agama, mendidik bawahan, mendidik anak, bercita-cita luhur, mencintai tanah air, mengendalikan hawa nafsu, berbudi luhur dan menjauhi budaya jahat. Dengan kata lain, ajaran ini merupakan syariat lahiriah yang disertai akhlak mulia. Di samping itu, dalam serat-serat tersebut meski tidak menonjol, terdapat pula ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang dikenal dengan sufisme untuk mendasari motivasi ajaran lahiriah itu. Selanjutnya,

Wedhatama berisi pendalaman dan peningkatan ajaran dalam Serat-serat Piwulang

itu. Ajaran syariat lahiriah yang disertai akhlak dan sufisme sederhana, ditingkatkan mutunya dan diperdalam maknanya. Untuk itu, Serat Wedhatama mempertajam perbedaan orang yang hanya menekankan syariat lahir dengan orang yang mementingkan syariat lahir-batin, perbedaan antara perbuatan jahat dengan budi luhur, lalu menekankan pentingnya catur sembah kepada Allah, yang berpengaruh besar bagi pengendalian nafsu, sebagai perjalanan yang intensif dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.19

Teori sembah dikemukakan Mangkunegara IV dalam berbagai karyanya, namun lebih banyak terdapat dalam Serat Wedhatama. Setelah dijelaskan secara tajam kemuliaan budi luhur dan kehinaan budi jahat dengan kritiknya yang keras, diajarkan sembah kepada Tuhan Yang Kuasa. Dia mengaitkan secara terpadu antara sembah dan budi luhur sebagai dua hal yang menyatu, senafas dan saling kait berkait.

19

(13)

13 Hal itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya. Inti pandangan dunia Jawa terdiri atas pandangan bahwa di belakang gejala-gejala lahiriah terdapat kekuatan-kekuatan kosmis numinus sebagai realitas yang sebenarnya. Realitas sebenarnya dari manusia adalah batinnya yang berakar dalam dunia numinus itu.

Kehidupan manusia akan berhasil sejauh ia berhasil untuk menyesuaikan diri dengan realitas itu, atau sejauh ia dapat menembus sampai padanya. Kriteria keberhasilannya pada akhirnya adalah keadaan psikologis, yaitu keadaan slamet, atau ketenteraman batin yang tenang. Hal itu tampak dalam keadaan hanya dapat tercapai apabila memiliki sikap batin yang tepat. Dengan pertanyaan tentang sikap batin yang tepat itu, dia menggambarkan ciri khas etika Jawa.

Mangkunegara IV menjalankan rumusan semboyan sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Dalam hal ini, menjadi bebas dari kepentingan sendiri, melakukan kewajiban-kewajibannya, memperindah dunia. Kemudian dia mengutarakan kategori "tempat yang tepat" sebagai titik acuan fundamental bagi pandangan-pandangan moral yang diuraikan sebelumnya. Selanjutnya, pembicaraan sifat kognitif yang khas etika itu.

(14)

14 Tarekat adalah tahap yang lebih maju setapak. Dalam tahap ini, segala tingkah laku pada tahap yang pertama lebih ditingkatkan dan diperdalam, yaitu dengan bertobat dan menyesali segala dosa; menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya, melakukan puasa yang diwajibkan, mengurangi makan, minum, dan tidur.20 Sikap demikian itu disebutkan pula bahwa orang yang telah mencapai tahap tarekat di antaranya ia akan sabar dan tenang dalam segala tindakan; meninggalkan segala hal yang di dalamnya terdapat keraguan; dan tawakal atau berserah diri kepada keputusan serta ketetapan Tuhan.21

Hakikat adalah tahap yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang sempurna dengan cara berdoa terus-menerus;menyebut nama Tuhan dan mencintai-Nya; mengenali Tuhan dan dirinya sendiri; acuh terhadap kesenangan dan kesusahan, karena semuanya berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mengaku saja. Tahap ini disebut tahap keadaan mati dalam hidup, dan hidup dalam mati; maknanya yang mati di sini adalah nafsunya.

Makrifat adalah tahap terakhir atau tertinggi, yaitu tahap manusia telah menyatukan dirinya dengan Ilahi, tahap manusia telah mencapai manunggaling kawula Gusti. Dalam tahap ini, jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta, tindakan manusia semata-mata menjadi laku. Pada tahap ini, manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka-duka dunia, berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi,

20

Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (Jakarta : Sinar Harapan, TT), hal. 70.

21

(15)

15 membuat dunia indah dan damai, menjadi khalifatullah di dunia dan menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya, dan memberi inspirasi kepada sesama.

Dalam tahap ini, terdapat bahaya yang mengancam cara hidup manusia yang tepat; yaitu nafsu-nafsu atau hawa nepsu dan egoisme atau pamrih. Oleh karena itu, manusia harus mampu nutupi babahan hawa sanga, mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan pamrihnya. Dalam agama Islam, ada beberapa aliran yang disebut mazhab: mazhab Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Mazhab yang berpengaruh di Indonesia adalah mazhab Syafi'i. Perbedaan antara mazhab-mazhab ini terletak pada pandangan mereka masing-masing terhadap interpretasi dari rukun Islam seluruhnya, yang terdiri dari lima bagian: syahadat, yaitu pengakuan bahwa tidak ada Tuhan lain daripada Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah; salat, yaitu, kewajiban untuk bersembahyang lima kali sehari; puasa, yaitu, kewajiban untuk tidak makan, minum, dan hal-hal lain yang terlarang dari matahari terbit sampai matahari terbenam selama bulan puasa; zakat, yaitu, kerelaan memberikan harta benda pada waktu-waktu tertentu kepada orang miskin, untuk keperluan agama; naik haji, yaitu, ziarah ke tanah suci Mekah. Kelima rukun Islam ini adalah wajib, dan bukan sunnah.22

Nafsu-nafsu adalah perasaan-perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia dan membelenggunya secara buta pada dunia lahir. Nafsu-nafsu memperlemah manusia karena memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa guna. Kecuali itu, nafsu-nafsu dalam mata Jawa berbahaya karena manusia yang dikuasai olehnya tidak lagi menuruti akal budinya. Manusia semacam itu tidak lagi bisa

22

(16)

16 mengembangkan segi-segi halusnya, ia semakin mengancam lingkungannya sehingga menimbulkan konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat dan dengan demikian membahayakan ketenteraman. Salah satu contoh yang sangat popular dari hawa nafsu adalah malima, yaitu kelima nafsu yang mulai dengan 'm' atau 'ma': madat, madon, minum, mangan, dan main. Untuk mengontrol hawa nafsu

dapat dilakukan dengan laku tapa, sedikit mengurangi makanan dan tidur, menguasai diri di bidang seksual, dan lain sebagainya.

Pamrih merupakan bahaya kedua yang harus diperhatikan orang. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan sendiri individualnya saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial,

pamrih itu selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial. Pamrih sekaligus memperlemah manusia dari dalam karena siapa yang mengejar pamrih memutlakkan keakuannya sendiri. Dengan demikian, ia mengisolasikan dirinya sendiri dan memotong diri dari sumber kekuatan batin yang tidak terletak dalam individualitasnya yang terisolir, rnelainkan dalam dasar

numinus yang mempersatukan semua keakuan pada dasar jiwa mereka. Ia mencari kepentingan-kepentingannya dalam dunia sehingga mengikat diri pada dunia luar. Oleh karena itu, ia kehilangan kesanggupan untuk memusatkan kekuatan batin dalam dirinya sendiri. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu selalu mau menjadi orang pertama atau nepsu menange dhewe, menganggap diri selalu betul atau

(17)

17 keuntungan sendiri dari setiap situasi tanpa memperhatikan masyarakat atau aji mumpung.

Salah satu ciri khas cerita pewayangan adalah adanya pesan moral di dalamnya. Sembah, menurut Mangkunegara IV, yang menunjukkan sistematika yang beruntun secara teratur ada empat macam, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dengan catur sembah itu, apabila seseorang dapat mencapai tingkat terdekat sedekat-dekatnya dengan Tuhan, maka ia memperoleh anugerah Tuhan.

Empat macam sembah tersebut apabila diperbandingkan dengan konsep syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, maka format yang pertama lebih kecil karena hanya menjangkau sebagian perintah Tuhan, sedangkan yang kedua menjangkau seluruh perintah dan larangan Tuhan. Konsep yang pertama sama halnya dengan konsep yang kedua merupakan satu paket perjalanan hidup yang utuh. Catur sembah itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, yang satu berkait dan bersambung dengan yang lain, namun keempatnya memformula suatu susunan yang berurutan dan perlu dilakukan tahap demi tahap.

6. PENUTUP

(18)

18 peninggalan kuno dan catatan para musafir memberikan penjelasan penyebaran Islam di Indonesia.

Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk "kosmos" masyarakat Jawa, yang unsur-unsurnya dibangun lewat percampuran antarelemen yang juga datang dari luar Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara itu, kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur ”rendah” yang harus mengalah kepada Islam karena jenis setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur baru. "Sinkretisme Islam" tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang peyoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya "dialog".

Tingkah laku hidup duniawi tersebut, meski dalam ruang lingkup terbatas, menurut Mangkunegara IV dipandang cukup memadai apabila diangkat sebagai tuntunan hidup praktis terutama bagi masyarakat Jawa. Petunjuk-petunjuk tersebut, seperti telah disebut di muka, terdapat dalam Serat Wedhatama.

Mangkunegara IV memiliki cara tersendiri dalam memberikan pelajaran. Ia memberikan penjelasan dan contoh-contoh antara yang baik dan jahai; lalu ia kontraskan secara tajam hingga mudah dicamkan dan dipahami.

Budaya Jawa memahami kepercayaan pada berbagai macam ruh-ruh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semua itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang

dipercayadapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.

(19)

19

sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa yang selaras dengan

syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat. Dia adalah raja binathara telah menempuh jalan hakikat, melalui laku nutupi babahan hawa sanga, meper hawa nepsu, cegah dhahar lawan gumuling, ambyur ing segara makrifat.

DAFTAR PUSTAKA

Anjar Ani. 1982. Serat Wedhatama. Semarang: Dahara Prize.

Anton Bakker dan A. Charris Z. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Filsafat.

H.A.R dan J.H. Kramers. 1953. Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill. H.J de Graaf dan Pigeaud, Th. G.Th. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa

Terjemahan Javanologi. Jakarta: Grafiti Pers.

Harun Hadiwijono. Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Harun Nasution. 1983. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Kamajaya. 1992. Karangan Pilihan KGPAA. Mangkunegara IV. Yogyakarta: Yayasan Centhini.

Mohammad Ardhani. 1990. Pemikiran KGPA Mangkunegara IV. Semarang: Dahara Prize.

Poerbatjaraka.1964. KapustakanJawi. Jakarta: Djambatan.

Simuh. 1988. Mistik lslam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.

Sri Mulyono. 1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Haji Masagung.

Zahri Mustafa. 1984. Kunci Memahami Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kepadatan ayam didalam kandang sebesar 4 ekor / 1200 cm 2 (perlakuan P4) atau setara dengan 300 cm 2 /ekor memberikan

Setelah terbentuk matrik perbandingan maka dilihat bobot prioritas untuk perbandingan kriteria. Dengan cara membagi isi matriks perbandingan dengan jumlah kolom yang

lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan 4) Perusahaan angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di

1. Melakukan wawancara secara tim. Membentuk suatu format wawancara yang berstruktur untuk setiap klasifikasi lowongan pekerjaan. Membuat wawancara model scenario, untuk

Jual beli dengan sistem taksir yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara mengira-ngira dalam mengukur dan menentukan banyaknya jumlah barang dengan harga

“ segala sesuatu yang dapat dipakai untuk memberikan rangsangan sehingga terjadi interaksi belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan instruksional terten tu” 25. Media

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpah rahmah hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengevaluasi kesesuaian tingkat kenyamanan termal, visual, dan akustik lingkungan pabrik dengan standard yang berlaku, dan