• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Taksonomi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang menurut Murakami,et

al. (1992) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus argentiventer (Robb and Kloss).

Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat

badan 100-230 gram, panjang kepala-badan antara 70-208 mm, panjang tungkai belakang 32-39 mm dan panjang telinga 20-22 mm (Murakami, et al. 1992). Ekor biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal berwarna

coklat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal, dan inguinal berwarna

putih, dan sisa bagian bawahnya dan sisa bagian bawah lainnya putih keperakan atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan warna badan dan banyak yang berwana coklat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor

(2)

Biologi dan Ekologi Tikus Sawah

Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah dua belas buah. Ukuran dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang mencolok.

Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan testisnya. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5-9

minggu (Sudarmaji, et al. 2007). Tikus betina bunting selama 21 hari, tikus mampu bunting dan menyusui dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Sudarmaji, 2004).

Gambar 1. Siklus hidup tikus sawah (Rattus argentiventer) Sumber : B2PTP, 2011

Bagian punggung tikus sawah berwarna cokelat muda bercak hitam, perut

dan dada berwarna putih, panjang kepala dengan badan 130-210 mm, panjang ekor 120-200 mm dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu betina 12 buah,

3pasang di dada dan 3 pasang diperut. Kepadatan populasi tikus berkaitan

denganfase pertumbuhan tanaman padi (B2PTP, 2011).Rattusargentiventermencapai umur dewasa sangat cepat,

(3)

banyak pada setiap kebuntingan. Masa umur R.argentiventerpada saatdewasa adalah 68 hari, dan bagi betina masa bunting selama 20-22 hari.

Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina bervariasi pada

setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya jumlah embrio setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi dihasilkan oleh

induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi bunting sampai pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio 12,83 ± 0,8 embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang) 11,49±1,1 embrio dan pada

kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio (Sudarmajiet al.,2007). Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi daya

dukung perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai akan menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat berkembangbiak dengan baik (Singleton et al., 2003). Tikus sawah termasuk

binatang yang aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari tikus berlindung didalam sarang dengan membuat liang didalam tanah atau disemak-semak. Pada siang hari tikus lebih banyak berada diluar daerah pertanaman padi yaitu

ditanggul irigasi dan daerah dekat perkampungan (Sudarmaji dan Rahmini, 2002). Hadi (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang hari 82% tinggal didaerah

pematang dan sebaliknya pada malam hari 95% aktif ditengah pertanaman padi. (Brown et al., 2001) juga melaporkan tidak terdapat perbedaan nyata daya jelajah tikus sawah dihabitatnya antara tikus jantan dan betina. Rata-rata daya jelajah

tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina 1,97 ha.

Distribusi keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat berdaptasi

(4)

tadah hujan/lahan kering, maupun lahan rawa (Begon, 2003). Tikus memilih sarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan air. Sarang tikus

berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan untuk menimbun pakan.Murakami et al. (1992) setelah pertumbuhan tanaman padi mencapai

stadium generatif, konstruksi sarang tikus menjadi lebih dalam, panjang dan bercabang-cabang seta mempunyai pintu keluar lebih dari satu pintu. Pada kondisi tersebut tikus mempersiapkan diri untuk melahirkan anak-anaknya.

Tanggul irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat penting tikus sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak. Habitat tanggul

irigasi dipilih tikus sawah karena apabila terjadi banjir, sarang tikus pada tanggul irigasi tersebut tidak terendam air. Pada umumnya pada umumnya tanggul irigasi dibangun dari tanah berukuran lebar 1-2 meter dengan tinggi lebih dari satu meter

(Sudarmaji, et al. 2007). Gejala Serangan

Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau

keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.Kehilangan hasil produksi akibat serangan tikus cukup

besar, karena menyerang tanaman sejak di persemaian hingga menjelang panen. Potensi perkembangbiakan tikus sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas makanan yang tersedia (Manurung dan Ismunadji, 1998).

Sudarmajiet al. (2007) menambahkan bahwa penanganan tikus sebaiknya dilakukan sejak dini, sebelum berkembangbiak, karena pada fase generatif pemicu

(5)

merusak titik tumbuh atau memotong pangkal batang serta memakan bulir gabah. Pada kategori serangan berat semua rumpun padi bisa habis dikonsumsi. Hal ini disebabkan pada fase padi bunting, tanaman padi mengeluarkan aroma dan bulir

padi belum mengalami proses pengerasan kulit (proses pengerasan fisik) sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi, selain itu kandungan karbohidrat yang ada pada

padi sedang mengalami fase transisi dari substansi cairan ke bentuk padat, kondisi ini yang paling disukai oleh tikus.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi

mulai dari persemaian hingga padi menjelang panen. Pada persemaian padi berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam

satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata 79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi bermalai 12 batang per malam (Rochman, 1992). Tikus sawah diketahui lebih

suka menyerang tanaman padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium bunting akan mengalami kerusakan yang paling besar. Kebutuhan pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya,

sedangkan daya rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot malai padi yang dikonsumsi (Sudarmaji dan Anggara, 2006).

Persentase kerusakan tanaman padi tertinggi ditemui pada saat umur padi telah siap untuk di panen, pada saat ini tikus cenderung lebih menyukai padi dari pada umpan yang ada di dalam perangkap. Rasio tikus yang banyak terperangkap

(6)

Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss)

Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan oleh masyarakat petani seperti kultur teknis, sanitasi, maupun secara fisik dan biologis. Namun

teknik-teknik pengendalian tersebut tidak selalu memberikan pengaruh yang besar terhadap menurunnya populasi dari hama tersebut. Begitu pula halnya dengan

pengendalian kimiawi yang menggunakan bahan-bahan kimia baik berupa umpan beracun, bahan fumigan, penolak dan penarik maupun pemandul (Pakki et al., 2009).

Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan lingkungan sawah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan

tikus. Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan tanaman perdu dan gulma pada sekitar pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah, karena tikus tidak akan nyaman pada kondisi yang bersih. Tikus sawah pada

umumnya menyukai habitat pematang dan tanggul sawah yang tinggi dan lebar, maka dari itu pematang sawah dianjurkan dibuat rendah dengan tinggi kurang dari 30cm (Sudarmaji, 2004).

Pengendalian dengan fisik mekanis dilakukan apabila tindakan yang telah dilakukan tidak mendapat hasil yang optimal. Pengendalian secara mekanis yaitu

membongkar liang, mengguyur liang dengan air, membunuh dengan gropyokan, pengemposan dengan asap blerang dan membuat tanaman perangkap/TBS. Pengemposan lubang tikus yang aktif dianjurkan untuk dilakukan selama masa

reproduksi pada tanaman, yaitu pada saat umpan beracun menjadi tidak efektif. Pengemposan dihentikan apabila tikus tidak lagi hidup di lubang yakni pada saat

(7)

Pengemposan sarang tikus hanya berpengaruh sebagian saja karena hanya tikus yang masih tinggal disarangnya saja yang mati. Pengemposan tidak hanya akan membunuh tikus dewasa tetapi juga anak-anak tikus (Baco, 2011).

Penggunaan perangkap merupakan metode pengendalian fisik mekanis terhadap tikus yang paling tua digunakan. Dalam aplikasinya, metode ini

merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat digunakan beberapa kali dan pemasangan umpan pada perangkap dapat mengintensifkan jumlah tenaga kerja. Perangkap dapat dikelompokkan menjadi

empat jenis yaitu live-trap (perangkap hidup), snap-trap (perangkap yang dapat membunuh tikus), sticky board-trap (perangkap berperekat), dan pit fall-trap

(perangkap jatuhan) (Mutiarani, 2009).

Pengendalian secara biologis yaitu pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami tikus. Musuh alami tikus yang paling dikenal adalah kucing, anjing,

ular, dan burung hantu. Predator ini sangat membantu usaha menjaga tetap rendahnya tingkat populasi tikus. Sayangnya predator berkembang biak jauh lebih lambat dibandingkan tikus. Oleh karena itu predator tidak dapat mengurangi

populasi tikus yang tinggi dalam jumlah besar. Predator akan membantu petani menjaga populasi tikus agar tetap rendah. Predator juga mungkin memakan tikus

yang keracunan, oleh karena itu diperlukan perhatian besar untuk memusnahkan bangkai tikus dari sawah sesudah pengumpanan guna menghindari keracunan pada predator dan hewan pemakan bangkai (Syamsuddin, 2007).

Pengendalian dengan rodentisida merupakan tindakan akhir yang dilakukan apabila semua pengendalian tidak mendapatkan hasil yang optimal.

(8)

akan mengganggu metabolisme tikus sehingga menyebabkan tikus keracunan dan mati. Rodentisida dibagi menjadi dua jenis yaitu rodentisida kronis dan akut. Rodentisida kronis atau antikoagulan merupakan racun yang bekerja lambat,

gejala keracunan pada hewan sasaran akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu 24 jam atau lebih. Rodentisida akut merupakan racun yang bekerja dengan

cepat dan dapat menyebabkan kematian tikus lebih cepat dibandingkan rodentisida kronis. Gejala keracunan hewan sasaran akan terlihat dalam waktuyang relatif singkat yaitu kurang dari 24 jam bahkan dalam waktu beberapa

jam saja (Syamsuddin, 2007). Alternatif pengendalian

Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan bahan kimiawi untuk mengendalikan tikus, maka perlu dicari alternatif-alternatif pengendalian yang lainnya. Penggunaan bahan-bahan yang tidak disukai oleh tikus atau

penggunaan bahan-bahan yang bersifat toksik bagi tubuh racunmerupakan salah satu cara pengendalian tikus yang relatif lebih aman.

Penggunaan bahan-bahan nabati yang bersifat ramah lingkungan sudah

sangat berkembang menjadi alternatif pengendalian hama. Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi

di alamsehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan. Dengan pemanfaatan pestisida nabati, para petani diharapkandapat memenuhi kebutuhan bahan pengendali OPT dengan memanfaatkansumberdaya alam yang ada di

(9)

Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan dasar rodentisida seperti serai (Cymbopogon nardus), cengkeh (Syzygium aromaticum), akar tuba (Deris eliptica), gadung (Dioscorea hispida), tembakau

(Nicotiana tabacum), Sirsak (Annona muricata), jengkol (Archidendron pauciflorum), mengkudu (Morinda citrifolia), biji jarak (Jathropha curcas),

babadotan (Ageratum conyzoides) dan lainnya (PUSLITBANGBUN, 2012). Umbi Gadung (Dioscorea hispida L.)

Gadung (Dioscorea hispida) merupakan tumbuhan perambat, berumur

menahun (perenial), panjang bisa mencapai 10 m. Batang berkayu, silindris, membelit, warna hijau, bagian dalam solid, permukaan halus, berduri. Daun

majemuk, bertangkai, beranak daun tiga (trifoliolatus), warna hijau, panjang 20 – 25cm, lebar 1 - 12 cm, helaian daun tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing (acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, pertulangan melengkung

(dichotomous), permukaan kasap (scaber). Bunga majemuk, bentuk bulir (spica),muncul dari ketiak daun (axillaris). Buah lonjong, panjang kira-kira 1 cm. Akar serabut.

Kardinan (2005) melaporkan bahwa umbi gadung dapat juga dipakai sebagai rodentisida dengan mencampur dalam umpan yang berupa pakan untuk

tikus. Dalam umbi gadung terkandung senyawa alkaloid yang bersifat racun dan diosgenin yang tidak beracun, juga saponin berupa dioscin yang bersifat racun yang dapat mematikan tikus dengan beberapa gejala tertentu, selain itu juga

(10)

Umbi gadung mengandung bahan yang mempunyai efek penekan kelahiran (aborsi atau kontrasepsi) yang mengandung steroid dan efek penekan populasi yang mengandung alkaloid. Posmaningsih, et al (2014) mendapatkan

hasil bahwa rodentisida kadar 30 % adalah yang paling efektif. Selain itu umbi gadung bersifat antifeedant sehingga menurunkan nafsu makan tikus dan

membuat tikus tidak dapat bergerak lincah.

Dengan penggunaan umpan gadung dengan dosis yang kurang atau kebal dosis (sub-lethal) meskipun tidak sampai membunuh tetapi dapat menyebabkan

kemandulan, sehingga secara tidak langsung dapat menekan populasi tikus. Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses pembuatan,

aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus, namun memiliki kelemahan juga yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis serta tidak tahan simpan. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus

dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati ditempat. Bahan tambahan yang digunakan pada umpan dapat berasal dari olahan hewan atau tumbuhan. Bahan baku penyedap atau penarik pada umpan harus mudah didapat dan mudah

dibuat. Bahan penyedap dalam umpan dapat meningkatkan kesempatan tikus menemukan umpan dan makan banyak (Posmaningsihet al., 2014).

(11)

Tembakau (Nicotiana tabacum)

Tembakau merupakan tanaman semusim yang berbentuk perdu, merupakan anggota dari famili Solanaceae. Tingginya dapat mencapai 2 m.

Batangnya berkayu, bulat berbulu dengan diameter sekitar 2 cm dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, berbulu, bulat telur, tepinya rata, ujung runcing,

pangkalnya tumpul. Panjang daun antara 20-50 cm dan lebarnya 5-30 cm. Bunganya majemuk dan tumbuh di ujung batang. Kelopak bunga berbulu, pangkal berlekatan dan ujungnya terbagi lima. Buah bulat telur, bewarna hijau ketika

masih muda dan bewarna coklat dan memiliki akar tunggang. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun dan batangnya. Batang dan sisa-sisa daun yang tidak

terpakai mengandung bahan aktif yangsangat tinggi, yaitu nikotin senyawa organik yang sangat spesifik(PUSLITBANGBUN, 2012).

Nikotin pada tembakau dapat bersifat repelent (penolak serangga),

fungisida, akarisida, dan rodentisida(PUSLITBANGBUN, 2012).Bagian tanaman pada tembakau yang dapat digunakan yaitu bunga, buah, biji, kulit batang, daun dan akar (Rachmawati, 2013). Mekanisme kerja pestisida dengan bahan aktif

tembakau antara lain sebagai repellent, sebagai antifeedant, dapat mengganggu proses pencernaan dan mengakibatkan kemandulan(Indrarosa, 2013).

Kemampuan tembakau dalam membunuh hama disebabkan karena kandungan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya yaitu nikotin (Rudiyanti, 2010). Dalam kadar rendah tembakau bersifat membius, namun dalam kadar yang

(12)

sangat cepat. Alkaloid nikotin, sulfat nikotin dan kandungan nikotin lainnya dapat digunakan sebagai racun kontak, fumigan dan racun perut (Hasanah, et al, 2012).

Kardinan (2012) menambahkan bahwa nikotin bekerja sebagai fumigan

yang akan menguap dan menembus secara langsung ke integumen. Secara umum gejala-gejala keracunan nikotin yaitu rangsangan, kejang-kejang, cacat dan

kematian (Matsumura, 1975). Filtrat daun tembakau mengandung senyawa aktif seperti terpenoid yang bersifat antifeedantyang dapat menghambat aktivitas makan serta bersifat sebagai repellent (Anggriani, et al (2013) ; Mayanti, et al

(2006). Senyawa ini berperan sebagai racun saraf dan racun perut yang dapat mematikan jika masuk ke dalam saluran pencernaan melalui makanan yang

mereka makan, kemudian diserap oleh saluran pencernaan tengah (Junar, 2000); Endah dan Heri (2000).

Pestisida nabati yang dihasilkan dari tanaman tembakau dilaporkan yang

paling toksik dibanding dari jenis tanaman lainnya dan memiliki nilai LD-50antara 50 dan 60 ppm. Pestisida nabati ini merupakan racun saraf yang bekerja cepat dan bekerja secara kontak.

(13)

Biji jarak (Jathropha curcas)

Jarak pagar termasuk kedalam famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu, sehingga tanaman ini dapat setinggi ubi kayu (+ 2 m). Batang

berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah, percabangan tidak teratur. Daunnya tunggal berlekuk bersudut 3-5, tulang menjari dengan 5-7 tulang utama.

Permukaan daun bagian atas dan bawah bewarna hijau, tapi bagian bawah lebih pucat. Bunga tersusun dalam rangkaian (influorescen), biasanya terdiri atas 100 bunga atau lebih. Buah sedikit berdaging bewarna hijau muda, kemudian kuning

lalu mengering dan pecah (PUSLITBANGBUN, 2012).

Selain daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, tikus sawah

memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dalam waktu singkat, sehingga populasi tikus sawah dapat meningkat dengan cepat Untuk mengatasi hal ini, diperlukan suatu teknik pengendalian, dengan mempengaruhi tingkat fertilitasnya.

Biji jarak (Jathropha curcasL.) diduga mempunyai efek antifertilitas yang diharapkan dapat mengurangi jumlah populasi tikus sawah.

Di alam terdapat banyak sumber nabati yang bersifat antifertilitas, di

antaranya adalah biji jarak (Jathropha curcasL.), yang mengandung bahan aktif ricin. Menurut Yong (2000) ricin mempunyai aktifitas 6000 kali lebih beracun

daripada sianida dan 12.000 kali lebih beracun daripada bisa ular rattlesnake. Menurut Sandhyakumari et al (2003),J. curcasdapat menyebabkan penurunan jumlah spermatozoa tikus, kelainan gerakan dan morfologi spermatozoa serta

(14)

Biji jarak mengandung senyawa yang bersifat racun. Pengaruh racun tersebut perlu diuji untuk rnengetahui daya bunuh dan antifertilitas terhadap tikus sawah. Menurut Yong (2000), senyawa ricin yang dicampur dalam umpan

terbukti untuk menanggulangi hama tikus. Berdasarkan hal tersebut dan dari hasil penelitian Istriyati dan Febri (2008), maka diuji efek biji jarak terhadap struktur

histologis testis tikus.

Biji jarak mengandung 40-50% minyak jarak dan juga mengandung alkaloida risinin sementara daunnya mengandung saponin dan senyawa-senyawa

flavonoida. Keracunan ricin dapat melalui pernapasan, pencernaan dan injeksi. Risin merupakan suatu protein enzim yang memiliki 2 rantai yaitu rantai A dan

rantai B. Rantai A yang bersifat toksik akan menginaktivasi ribosom yang mengakibatkan kematian pada sel (Hadi, 2006).

Biji jarak memiliki mekanisme kerja sebagai racun perut pada tikus

melalui proses memakan hingga masuk kedalam organ pencernaan hingga disebarkan oleh tubuh tikus ataupun serangga ke sistem saraf ( Djojosumarto, 2008). Sedangkan Lisdianita (2010) menyatakan bahwa Ekstrak biji dan daun

jarak efektif mengendalikan tikus.

(15)

Babadotan (Ageratum conyzoidesL.)

Ageratum conyzoides (babadotan) adalah sejenistanaman perdu yang

tumbuh di daerah basah danberawa. Tanaman ini termasuk ke dalam famili

Asteraceae dan banyak dijumpai tumbuh di berbagaidaerah di Indonesia. Secara umum tanaman inimemiliki rasa yang pahit dan mengeluarkan aromayang kurang

sedap sehingga kurang diminati olehternak sebagai pakan hijauan .

Sekelompok tikusWistar diberi diet yang mengandung tanamanbabadotan sebesar 10-30% setiap hari secara laboratorikmenunjukkan perubahan pada

jaringan hatinya secara konsisten (Sani andStoltz, 1993). Perubahanhistopatologis umumnya terlihat berupa anisokariosissel hati, megalositosis dan proliferasi sel

saluranempedu. Analisis yang dilakukan Sani et al., (1998) mencoba untuk mengidentifikasisenyawa toksik daun babadotan secara kimiawi danmelaporkan, bahwa tanaman tersebut mengandungsenyawa pirolizidin alkaloida dengan

struktur kimiaberupa lycopsamin dan echinatin.

Semua kegunaan atau khasiat dari babadotan dikarenakan kandungan senyawa aktif yang terdapat dibagian tubuhnya. A. conyzoides mengandung

banyak komposisi senyawa aktif diantaranya flavonoid, fenolik, alkaloid, kumarin, minyak esensial krom, benzofuran, saponin, steroid, terpenoid dan tanin

(Roder and Wiedenfeld, 1991).

Gambar

Gambar 1. Siklus hidup tikus sawah (Rattus argentiventer) Sumber : B2PTP, 2011
Gambar 2.Tanaman umbi gadung ( Dioscorea hispida L.) (sumber : Sari,2015)
Gambar 3. Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) (sumber : Nuryanti, 2015
Gambar 4. Tanaman jarak ( Jathropha curcas) (sumber :Sitorus, 2011)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Karena daun ruku- ruku memiliki manfaat sebagai penambah nafsu makan sehingga tingkat konsumsi tikus sawah lebih banyak pada perlakuan P3 dibandingkan kontrol yang

Preferensi umpan padi/gabah lebih disukai oleh tikus dari pada umpan umpan beras utuh, beras pecah, jagung utuh, jagung pecah dan tepung jagung karena umpan padi mudah

Skripsi berjudul “Uji Efikasi Rodentisida Nabati Daun Ruku-ruku ( Ocimum sanctum L.) Terhadap Mortalitas Tikus Sawah ( Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss. )

Nabati Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) Terhadap Mortalitas Tikus Sawah (Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss.) di Laboratorium” dibawah bimbingan Maryani Cyccu Tobing

Penggunaan bio rodensia diduga lebih menguntungkan dalam pengendalian populasi tikus karena dapat mengatasi adanya sifat tikus yang sangat curiga terhadap benda

Pemanfaatan bagian daun dan biji tumbuhan kacang babi (Tephrosia sp.) sebagai bahan rodentisida nabati untuk mengendalikan tikus sawah (Rattus argentiventer) dan tikus rumah (Rattus

Preferensi tikus (R attus argentiventer ) terhadap jenis Umpan pada tanaman padi sawah.. Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Tanaman Jengkol

Pada saat persemaian populasi tikus masih tidak terlalu tinggi, tetapi pada fase tanaman tua populasi tikus sudah mulai meningkat sampai pada fase pematangan bulir populasi