BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kausalitas, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen. Penelitian ini akan menguji pengaruh intensitas pemeriksaan pajak
(tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance),
pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system),
diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan
(fiscal fraud) terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan
pajak (Tax Evasion) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Medan-Polonia.
B. Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang pribadi yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan-Polonia. Doane
dan Seward (2011) menyatakan bahwa “population is all of the items that we
are interested in”. Sugiyono (1999) menyatakan bahwa populasi adalah
“wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek/objek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya”.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode convenience sampling
akan melakukan penyebaran kuesioner sejumlah 50 kuesioner kepada WP OP.
Dalam metode ini, anggota sampel yang dipilih atau diambil berdasarkan
kemudahan memperoleh data yang dibutuhkan, atau unit sampel yang ditarik
mudah untuk diukurnya dan bersifat kooperatif (Hamid, 2010). Hal ini
dilakukan peneliti karena pertimbangan pengambilan sampel yang berupa data
primer yang membutuhkan lokasi yang mudah untuk dijangkau dan biaya
yang cukup murah yaitu di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Medan-Polonia. Pengambilan sampel ini dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk
mengetahui persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak, maka
peneliti memilih Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan-Polonia sebagai sampelnya.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu menggunakan
survei literatur dan melakukan studi lapangan dengan pengumpulan data
primer secara aktif, diantaranya adalah :
1. Survei literatur merupakan dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap
karya publikasi dan nonpublikasi dari sumber sekunder dalam bidang
minat khusus bagi peneliti (Sekaran, 2007 : 82). Perpustakaan merupakan
pusat penyimpanan yang kaya bagi data sekunder, dan biasanya peneliti
menghabiskan beberapa minggu dan terkadang bulan untuk menelusuri
buku, jurnal, surat kabar, majalah, laporan konferensi, disertasi doctoral,
tesis master, publikasi pemerintah, laporan keuangan dan lainnya untuk
2. Pengumpulan Data Primer Secara Aktif (Penelitian Lapangan)
Penelitian bisnis kontemporer sangat menggantungkan pada penggunaan
metode PDF aktif. Ini didasarkan fakta bahwa bisnis pada dasarnya adalah
fenomena sosial yang berhubungan dengan manusia (Kuncoro, 2013 :
160). Akibatnya, data yang diperlukan untuk membuat keputusan harus
berasal dari manusia itu sendiri. PDF aktif dirancang terutama untuk
memperoleh informasi dari responden manusia. Kelebihan utama metode
ini adalah versatility-nya. Semua jenis opini abstrak berupa opini, sikap,
kehendak, dan pengharapan dapat diperoleh melalui survei. Kelemahan
dari metode ini adalah, kualitas informasi akan sangat bergantung pada
kemampuan dan kemauan responden untuk bekerjasama dengan peneliti.
Sering sekali responden akan menolak untuk diwawancarai atau untuk
membalas surat survei karena alasan pribadi, atau mereka memandang
topik yang sedang diteliti terlalu sensitif. Pengumpulan data kuesioner
dilakukan dengan teknik personally administered questionnaires, yaitu
kuisioner disampaikan dan dikumpulkan langsung oleh peneliti Indriantoro
dan Supomo (dalam Suryani 2013 : 154).
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data menggunakan statistik deskriptif, uji kualitas
data, uji asumsi klasik dan uji regresi berganda.
1. Statistik Deskriptif
Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan
informasi yang berguna. Statistika deskriptif hanya memberikan informasi
mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik inferensia
atau kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar. Contoh
statistika deskriptif yang sering muncul adalah tabel, diagram, grafik, dan
besaran-besaran lain di majalah dan koran-koran (Dergibson, 2002).
Dengan Statistika deskriptif, kumpulan data yang diperoleh akan tersaji
dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari
kumpulan data yang ada. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika
deskriptif ini antara la
serta kecenderungan suatu gugus data.
2. Uji Kualitas Data
Untuk melakukan uji kualitas data dalam pengolahan data
penelitian ini, maka peneliti akan melakukan uji validitas dan realibilitas.
a. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang telah
disusun dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur
secara tepat. Apabila instrumen tersebut mampu untuk mengukur apa
yang diukur, maka disebut valid dan sebalinya, apabila tidak mampu
untuk mengukur apa yang diukur, maka dinyatakan tidak valid
(Sudarmanto, 2005). Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan
pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan
dengan taraf Signifikasi 0,05. Kriteria pengujian adalah sebagai
berikut:
1. Jika rhitung ≥ rtabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau
item-item pertanyaan berkolerasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan valid).
2. Jika rhitung < rtabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau
item-item pertanyaan tidak berkolerasi signifikan terhadap skor
total (dinyatakan tidak valid). (Priyatno, 2010 : 94)
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas instrumen menggambarkan pada kemantapan dan keajegan
alat ukur yang digunakan. Suatu alat ukur dikatakan memiliki
reliabilitas atau keajegan yang tinggi atau dapat dipercaya, apabila alat
ukur tersebut stabil (ajeg) sehingga dapat diandalkan (dependability)
dan dapat digunakan untuk meramalkan (predictability). Dengan
demikian, alat ukur tersebut akan memberikan hasil yang tidak
berubah-ubah dan akan memberikan hasil yang serupa apabila
digunakan berkali-kali (Sudarmanto, 2005). Variabel-variabel tersebut
dikatakan cronbach alpha nya memiliki nilai lebih besar 0,70 yang
berarti bahwa instrumen tersebut dapat dipergunakan sebagai
pengumpul data yang handal yaitu hasil pengukuran relatif koefisien
jika dilakukan pengukuran ulang. Uji realibilitas ini bertujuan untuk
3. Uji Asumsi Klasik
Untuk melakukan uji asumsi klasik terhadap data primer ini, maka
peneliti melakukan uji normalitas, uji multikolonieritas, uji
heteroskedastisitas, dan uji autokeralasi.
a. Uji Normalitas
Salah satu uji persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan
analisis parametrik yaitu uji normalitas data populasi. Hal ini dapat
ditegaskan bahwa suatu penelitian yang melakukan pengujian hipotesis
dengan menggunakan uji-t dan uji-F menuntut suatu asumsi yang harus
diuji, yaitu populasi harus berdistribusi normal (Putrawan, 1990 : 133).
Untuk menafsirkan apakah data yang diuji berdistribusi normal atau
tidak, maka dapat dilakukan dengan cara menggunakan harga koefisien
Skewness atau Kurtosis. Jika koefisien Skewness atau Kurtosis berada
pada rentangan nilai -0,5 sampai dengan 0,5 maka dapat dikatakan
bahwa data masing-masing variabel penelitian terdistribusi secara
normal.
b. Uji Multikolinearitas
Uji asumsi tentang multikolinearitas ini dimaksudkan untuk
membuktikan atau menguji ada tidaknya hubungan yang linear antara
variabel bebas (independen) satu dengan dengan variabel bebas
(independen) yang lainnya. Frisch dalam Gujarati dalam Zein (1997)
menyatakan bahwa istilah multikolinearitas berarti adanya hubungan
variabel yang menjelaskan dari model regresi. Apabila menggunakan
pendekatan Variance Inflation Factor (VIF) untuk menguji
hipotesisnya maka kriteria atau ukuran yang akan digunakan adalah:
1. Apabila harga koefisien VIF hitung pada Collinearity Statistics
sama dengan atau lebih kecil daripada 10 (VIP hitung ≤ 10) maka
H0 diterima yang berarti tidak terdapat hubungan antar variabel
independen (tidak terjadi gejala multikolinearitas).
2. Apabila harga koefisien VIP hitung pada Collinearity Statistics
lebih besar daripada 10 (VIP hitung > 10), maka H0 ditolak yang
berarti terdapat hubungan antar variabel independen (terjadi gejala
multikolinearitas).
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah
variasi residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan
(Sudarmanto, 2005). Apabila asumsi tidak terjadinya
heteroskedastisitas ini tidak terpenuhi, maka penaksir menjadi tidak
lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (Gujarati, 1997) dan
estimasi koefisien dapat dikatakan menjadi kurang akurat (Rietveld
dan Sunaryanto, 1993). Jika menerapkan uji heteroskedastisitas
menggunakan korelasi Rank-Order dari Spearman, maka kriteria atau
ketentuan yang digunakan untuk menyatakan apakah terjadi hubungan
antara data hasil pengamatan dengan nilai residual absolutnya atau
1. Apabila koefisien Signifikansi (nilai probabilitas) lebih besar dari
alpha yang ditetapkan (Sig. > alpha), maka dapat dinyatakan tidak
terjadi heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan nilai
residual mutlaknya berarti H0 diterima.
2. Apabila koefisien Signifikansi (nilai probabilitas) lebih kecil dari
alpha yang ditetapkan (Sig. < alpha), maka dapat dinyatakan terjadi
adanya heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan nilai
residual mutlaknya berarti H0 ditolak.
d. Uji Autokorelasi
Pengujian autokorelasi dalam penelitian ini tidak digunakan, karena
penelitian ini melakukan pengolahan data dengan menggunakan data
primer. Sehingga tidak menggunakan autokorelasi karena tidak
dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi di antara data
pengamatan atau tidak.
4. Uji Regresi Linier Berganda
Pengujian Regresi Berganda dilakukan dengan penerapan uji
persamaan regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda adalah
hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel independen (X1, X2,
X3, X4, …… Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk
mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif
atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila
2013:2). Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Model
ini digunakan untuk menguji apakah ada hubungan sebab akibat antara
kedua variabel untuk meneliti seberapa besar pengaruh antara variabel
independen, yaitu: intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax
fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib
Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi
(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud)
terhadap suatu variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai
etika penggelapan pajak (Tax Evasion). adapun rumus yang digunakan: Y = a + β1X1+β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5+ β6X6+ β7X7+e Dimana:
Y = Etika Penggelapan Pajak
X1 = Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit)
X2 = Keadilan (Tax Fairness)
X3 = Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance)
X4 = Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledege)
X5 = Sistem Perpajakan (Tax System)
X6 = Diskriminasi (Discrimination)
X7 = Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Tax Fraud)
a = Bilangan Konstanta (harga Y, bila X=0)
5. Uji Hipotesis Penelitian
Pengujuan hipotesis penelitian dilakukan melalui uji statistik t, uji statistik
F (Fishier), dan uji koefisien determinan (Adjusted R2).
a. Uji statistik t (Uji Signifikansi Parsial)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel penjelas secara individual dalam menerangkan
variabel-variabel terikat (Kuncoro, 2013 : 244). Uji t bertujuan untuk
mengetahui pengaruh antara variabel independen dengan variabel
dependen secara parsial. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh
yang signifikan dari variabel masing-masing independen yaitu:
intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan
Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge),
sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan
kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) terhadap suatu variabel
dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax
Evasion). Maka nilai Signifikan t dibandingkan dengan derajat
kepercayaannya. Apabila Sig t lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima.
Demikian pula sebaliknya jika Sig t lebih kecil dari 0,05, maka H0
ditolak. Bila H0 ditolak ini berarti ada hubungan yang signifikan antara
variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2011 : 101).
b. Uji Statistik F (Uji Signifikansi Simultan)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara
mengetahui pengaruh antara variabel independen dengan variabel
dependen secara simultan. Untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh yang signifikan dari variabel masing-masing independen
yaitu: intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),
kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak
(tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi
(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal
fraud) terhadap suatu variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak
mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion). Secara bebas dengan
Signifikan sebesar 0,05, dapat disimpulkan (Ghozali, 2011:98).
1. Jika nilai Signifikan < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak, ini
berarti menyatakan bahwa semua variabel independen atau bebas
tidak mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen atau terikat.
2. Jika nilai Signifikan > 0,05 maka Ha ditolak dan H0 diterima, ini
berarti menyatakan bahwa semua variabel independen atau bebas
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen atau terikat.
c. Koefisien Determinasi (Adjusted R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai
koefisien determinasi adalah diantara 0 dan 1. Nilai R2 yang kecil
variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu
berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua
informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen (Kuncoro, 2013 : 247). Insukindro menekankan bahwa
koefisien determinasi hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya
kriteria memilih model yang baik. Alasannya, bisa suatu estimasi
regresi linear menghasilkan koefisien determinasi yang tinggi, tetapi
tidak konsisten dengan teori ekonomika yang dipilih oleh peneliti, atau
tidak lolos dari uji asumsi regresi linear asumsi klasik, misalnya, maka
model tersebut bukanlah model penaksir yang baik dan seharusnya
tidak dipilih menjadi model empirik (Insukindro, 1998).
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan penafsiran mengenai variabel yang
dipilih oleh peneliti sekaligus dengan definisi operasional dan cara
pengukurannya.
1. Variabel Independen
a. Intensitas Pemeriksaan Pajak (X1)
Pengertian pemeriksaan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 24
sebagai berikut: pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk
mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan
lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan
pajak sebagai sarana untuk melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap Wajib Pajak, selain mempunyai tujuan untuk menguji tingkat
kepatuhan Wajib Pajak di dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,
juga mempunyai tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
Perundang-Undangan Perpajakan.
Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sangat
penting untuk dilakukan, mengingat sistem perpajakan yang diterapkan
di Indonesia adalah Self Assesment System. Pemeriksaan pajak akan
memberikan partisipasi aktif untuk mengontrol penghitungan pajak
bahkan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Instrumen
pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang
dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan
menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan
menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2)
Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.
b. Keadilan (X2)
Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh keadilan yang sama
dalam penerapan sistem perpajakan yang ada di Indonesia. Menurut
Hidayat (2013 : 188) menyatakan bahwa “pemungutan pajak yang adil
berarti pajak yang dipungut harus adil dan merata sehingga harus
sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan
manfaat yang diminta Wajib Pajak dari pemerintah”. Untuk
memberikan kepastian hukum bagi negara dan warga negaranya. Oleh
karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan atas Undang-Undang
yang disahkan oleh lembaga legislatif. Untuk mewujudkannya,
pemungutan pajak dilandaskan atas Undang-Undang Pasal 23 Ayat 2
UUD 1945. Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah
pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing
pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item
pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1)
Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak
setuju.
c. Kepatuhan Wajib Pajak (X3)
Menurut Erard dan Feinstein yang di kutip oleh Chaizi Nasucha
dan di kemukakan kembali oleh Kurnia (2006 : 111) pengertian
kepatuhan Wajib Pajak adalah “rasa bersalah dan rasa malu, persepsi
Wajib Pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka
tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah”.
Setiap Wajib Pajak sangat diharapkan mampu mematuhi berbagai
Peraturan Undang-Undang Perpajakan. Wajib Pajak yang patuh dan
taat dalam membayar pajak, maka sudah seharusnya memperoleh
keadilan dari penerimaan perpajakan yang diperoleh pemerintah.
Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban
perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka
di dalam pemenuhannya diberikan secara sukarela. Kepatuhan Wajib
Pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia
menganut
mutlak memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, membayar dan melapor kewajibannya.
Variabel kepatuhan Wajib Pajak menjadi tolok ukur untuk
menentukan seberapa besar kemungkinan Wajib Pajak melakukan
penggelapan pajak (tax evasion). Instrumen pengukuran variabel ini
menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti,
dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing
variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang
terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju,
(5) Sangat tidak setuju.
d. Pengetahuan Wajib Pajak (X4)
Dalam kaitannya dengan Wajib Pajak, kepatuhan dapat
didefinisikan sebagai perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh motivasi. Biasanya motivasi
akan berpengaruh terhadap intensitas perilaku (termotivasi, tanpa
motivasi, dan apatis), dan kesesuaian dengan tujuan perilaku (efektif,
tidak efektif).
Salah satu unsur yang bisa ditekankan oleh aparat dalam
mensosialisasikan peraturan pajak baik itu melalui penyuluhan, seruan
moral baik dengan media billboard, baliho, maupun membuka situs
peraturan pajak yang setiap saat bisa diakses Wajib Pajak. Sehingga
dengan adanya sosialisasi tersebut pengetahuan Wajib Pajak terhadap
kewajiban perpajakannya bertambah tinggi. Pengetahuan tentang
peraturan perpajakan penting untuk menumbuhkan perilaku patuh,
karena bagaimana mungkin Wajib Pajak disuruh patuh apabila mereka
tidak mengetahui bagaimana peraturan perpajakan, artinya bagaimana
Wajib Pajak disuruh untuk menyerahkan SPT tepat waktu jika mereka
tidak tahu kapan waktu jatuh tempo penyerahan SPT.
Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah
pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing
pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item
pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1)
Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak
setuju.
e. Sistem Perpajakan (X5)
Sistem perpajakan di Indonesia diharapkan mampu
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak untuk menyetorkan pajak
mereka. Sistem perpajakan di Indonesia, telah diterapkan sedemikian
rupa dimana setiap Wajib Pajak harus menghitung, dan menyetorkan
pajak mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya
kepada setiap Wajib Pajak untuk turut serta dan menjadi Wajib Pajak
yang aktif. Sedangkan yang menjadi kontrolnya adalah pihak fiskus,
sistem ini disebut dengan Self Assesment System. Pajak menurut Pasal
1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan
tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.
Dengan demikian, sistem perpajakan di Indonesia diharapkan
dapat memberikan motivasi untuk setiap Wajib Pajak bahwa pihak
Ditjen pajak tidak akan menerapkan sebuah sistem yang ribet dan
merepotkan. Analoginya, sebuah sistem perpajakan yang baik akan
memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk membayarkan
kewajiban pajak mereka. Maka dari itu, Instrumen pengukuran
variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan
oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan
masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5
poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4)
f. Diskriminasi (X6)
Pengertian diskriminasi dalam ruang lingkup hukum hak asasi
manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat dalam Pasal 1
Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Sedangkan yang dimaksudkan diskriminasi di dalam bidang
perpajakan adalah adanya suatu perlakuan yang beda yang disebabkan
oleh hal-hal tertentu terhadap Wajib Pajak. Mulai dari perbedaan
perlakuan dalam bentuk pelayanan, perbedaan tarif perpajakan, dan
bahkan adanya sikap memberikan peluang untuk melakukan
penggelapan pajak. Oleh karena itu, sebuah sikap ataupun tindakan
diskriminasi menyebabkan etika penggelapan pajak semakin tinggi.
Maka dari itu, Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan
sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana
Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri
dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5)
Sangat tidak setuju.
g. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan (X7)
G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells
mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended to
financially benefit the deceiver ( 1993 : 3 )” yaitu kecurangan adalah
penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan
kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan
serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat
tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara
finansial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1)
tindakan/the act (2) Penyembunyian/the concealment dan (3)
konversi/the conversion.
Dalam bidang perpajakan, yang dimaksudkan dengan
kecurangan adalah adanya perlakuan untuk melakukan penggelapan
pajak, meminimalisir pajak secara ilegal dan bahkan tidak
mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Instrumen pengukuran variabel
ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh
peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan
masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5
poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4)
2. Variabel Dependen
a. Etika Penggelapan Pajak (Y)
Salah satu upaya yang dilakukan Wajib Pajak dalam
meminimalisir pajaknya adalah dengan melakukan penggelapan pajak
(tax evasion). Tax evasion adalah perbuatan melanggar
Undang-Undang Perpajakan, misalnya menyampaikan di dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) jumlah penghasilan yang lebih rendah
daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak
dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya
(overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion
yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak (WP) sama sekali tidak
melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Adanya
perlakuan tax evasion dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tarif pajak
terlalu tinggi, kurang informasinya fiskus kepada WP tentang hak dan
kewajibannya dalam membayar pajak, kurangnya ketegasan
pemerintah dalam menanggapi kecurangan dalam pembayaran pajak
sehingga WP mempunyai peluang untuk melakukan tax evasion.
Penggelapan pajak pada dasarnya dimotivasi oleh tarif yang
terlalu tinggi, tetapi tidak hanya itu melainkan setiap Wajib Pajak tidak
ingin membagi penghasilannya kepada pihak lain. Terlebih lagi apabila
laba yang diperoleh perusahaannya besar, maka pajaknya juga akan
semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan setiap Wajib Pajak
variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan
oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan
masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5
poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4)
Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.
Tabel 3.1
Operasional Variabel penelitian
Variabel Sub Variabel Indikator Butir
Pertanyaan
1.Penerapan pemeriksaan pajak untuk mencegah penggelapan pajak.
1.Pemeriksaan pajak dilakukan atas dasar hukum yang telah ada dan seharusnya dipatuhi.
1.Pemeriksan pajak dilakukan atas dasar sebuah kebijakan yang seharusnya dilaksanakan
1.Prinsip keadilan harus di terapkan di dalam bidang perpajakan.
2.Setiap Wajib Pajak mengharapkan realisasi dari pajak yang mereka setorkan
1.Salah satu yang menjadi parameter di dalam penerapan keadilan tersebut adalah
Perpajakan. pemberlakuan tarif yang sesuai terhadap setiap Wajib Pajak.
2.Keadilan yang merupakan hak bagi Wajib Pajak sering sekali menjadi sebuah permasalahan karena adanya kasus penggelapan pajak oleh pihak fiskus, seperti korupsi.
1.Kepatuhan Wajib Pajak diharapkan mampu
meningkatkan penerimaan negara dalam sektor perpajakan.
2, 4 Interval
2. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak.
1.Sosialisasi yang diberikan oleh pihak KPP
diharapkan mampu memberikan motivasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
2.Pelayanan yang baik dari pihak Ditjen Pajak akan meningkatkan kepatuhan
1.Setiap Wajib Pajak harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai perpajakan.
2.Pengetahuan Wajib Pajak yang cukup baik, akan mampu menghindari
1.Setiap Wajib Pajak perlu mengetahui asas-asas perpajakan agar mereka memahami pemungutan pajak yang dilakukan oleh
(2010)). negara.
2. Sistem Pemungutan Pajak.
1.Sistem pemungutan pajak yang diterapkan di
Indonesia membutuhkan kontrol yang ketat.
3, 4 Interval
1.Diskriminasi dapat menyebabkan
penggelapan pajak akan semakin marak untuk dilakukan.
1.Diskriminasi dalam bidang perpajakan disebabkan oleh tindakan fiskus yang memberikan perlakuan yang berbeda-beda kepada setiap Wajib Pajak.
2.Diskriminasi
menyebabkan Wajib Pajak enggan untuk membayar pajak dan tidak percaya lagi kepada pihak fiskus.
1, 2, 6
1.Kecurangan dalam bidang perpajakan salah satunya adalah melakukan penggelapan pajak.
2.Kecurangan dalam bidang perpajakan sangat mudah dilakukan karena sistem perpajakan di Indonesia memberikan kebebasan kepada Wajib Pajak untuk menghitung jumlah hutang pajaknya.
1.Etika penggelapan pajak sangat bergantung pada kinerja fiskus.
2.Penerapan hukum di
2, 4
3, 6
(2013)). dalam bidang perpajakan, akan sangat
mempengaruhi etika penggelapan pajak.
3.Penggelapan pajak terjadi karena adanya
diskriminasi dan
rendahnya keadilan yang diterapkan.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan penyebaran
kuesioner sejumlah 50 kuesioner, dengan objek penelitian adalah Wajib
Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Medan-Polonia yang beralamat di Jalan Sukamulia No. 17-A,
Medan-20151. Sampel diambil dengan metode convenience sampling,
yaitu anggota sampel yang dipilih atau diambil berdasarkan kemudahan
memperoleh data yang dibutuhkan, atau unit sampel yang ditarik mudah
untuk diukurnya dan bersifat kooperatif (Hamid, 2010). Teknik pemilihan
sampel ini dipilih karena pertimbangan lokasi yang mudah untuk
dijangkau sehingga dapat memudahkan peneliti dalam pengumpulan
sampel yang akan digunakan dalam penelitian dan dilakukan dengan
penyebaran atau pembagian kuesioner di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Medan-Polonia yang di lakukan mulai dari 2 Desember 2014
sampai dengan 24 Desember 2014. Dimana data distribusi sampel
penelitian dapat di lihat dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1
Data Distribusi Sampel Penelitian No. Nama KPP Kuesioner Yang di
Bagikan
Kuesioner Yang di Kembalikan
Kuesioner yang dibagikan ataupun disebarkan berjumlah 50 buah
kuesioner, dan yang kembali berjumlah 50 buah kuesioner. Dengan
demikian kuesioner yang kembali sejumlah 100% dan kuesioner yang
dapat diolah sejumlah 50 buah kuesioner atau 100%.
Tabel 4.2 Sampel Penelitian
No. Keterangan Wajib Pajak Persentase
1. Jumlah kuesioner yang
disebar 50 100%
2. Jumlah kuesioner yang
tidak kembali 0 0
3. Jumlah kuesioner yang
tidak dapat diolah 0 0
4. Jumlah kuesioner yang
dapat diolah 50 100%
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
2. Data Responden
Karakteristik responden pada penelitian ini diukur dengan skala
interval yang menunjukkan besarnya frekuensi absolut dan persentase
jenis kelamin, umur responden, pendidikan terakhir responden dan jenis
pekerjaan responden. Responden yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Wajib Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama Medan-Polonia. Dalam hal ini peneliti dibantu oleh para pegawai
di yang berkedudukan bagian pelayanan di KPP Pratama Medan-Polonia
untuk melakukan penyebaran kuesioner, dengan tujuan agar kuesioner
tersebut dapat dijawab oleh para Wajib Pajak yang memang memiliki
keseriusan untuk memberikan respon mereka terhadap kuesioner
berdasarkan kebijakan pegawai. Berdasarkan pegawai disini bermaksud
bahwa para pegawai yang merupakan bagian pelayanan pada KPP Pratama
Medan-Polonia tersebut telah lebih mengenal dan bahkan memahami
karakter setiap Wajib Pajak yang terdaftar, maka dari itu kerja sama
dengan para pegawai tersebut akan sangat membantu proses penelitian ini.
Pada karakteristik reponden, terdapat 50 responden yang terdiri dari para
Wajib Pajak Orang Pribadi yang dapat mewakili dan menjadi responden.
Data mengenai karakteristik responden ditampilkan pada tabel berikut ini.
Tabel 4.3
Data Statistik Responden
Deskripsi Jumlah Persentase (%) Jenis Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Tabel di atas menjelaskan mengenai data responden dilihat dari
responden. Data-data tersebut menjelaskan identitas Wajib Pajak Orang
Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia. Adapun penjelasan
mengenai data responden di jelaskan di dalam gambar grafik sebagai
berikut:
Gambar 4.1
Data Statistik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah
diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yaitu pria berjumlah 23
responden atau 46% sedangkan wanita berjumlah 27 responden atau 54%.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang
terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia mayoritas yang melakukan
penyetoran pajak adalah wanita.
46% 54%
Gambar 4.2
Data Statistik Responden Berdasarkan Umur Responden
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah
diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yaitu yang berumur 20-24
Tahun berjumlah 20 responden atau 40% sedangkan yang berumur 25-35
berjumlah 16 responden atau 32%. Dan yang berumur > 35 Tahun
berjumlah 14 responden atau 28%. Dengan demikian, Wajib Pajak Orang
Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yang melakukan
penyetoran pajak mayoritas berumur 20-24 Tahun dan ini merupakan
sesuatu hal yang sangat baik, karena ada suatu kesadaran untuk melakukan
pembayaran pajak yang dilakukan oleh responden yang dapat dikatakan
masih berusia lebih muda.
40%
32% 28%
Gambar 4.3
Data Statistik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah
diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia menurut jenjang
pendidikan terakhirnya yaitu D3 berjumlah 21 orang atau 42%, S1
berjumlah 19 orang atau 38%, S2 berjumlah 4 orang atau 8%, S3 tidak ada
dan Lainnya berjumlah 4 orang atau 12 %. Dengan demikian, menurut
jenjang pendidikan terakhirnya maka mayoritas Wajib Pajak Orang
Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia adalah yang berasal
dari Diploma 3.
42%
38% 8%
0%
12%
D3
S1
S2
S3
Gambar 4.4
Data Statistik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah
diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia menurut pekerjaannya yaitu
wiraswasta berjumlah 23 orang atau 46%, pegawai negeri tidak ada, dan
pegawai swasta berjumlah 27 orang atau 54%. Hal ini menunjukkan
bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama
Medan-Polonia dan melakukan penyetoran pajak, mayoritas berasal dari pegawai
swasta berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif
Pengukuran statistik deskriptif variabel dilakukan untuk
memberikan gambaran umum mengenai kisaran teoritis, dan beberapa
besaran statistik yang berupa mean, sum, standar deviasi, variance, range,
minimum, maximum, s.e mean, kurtosis dan skweness dari masing-masing 46%
0% 54%
variabel yaitu: intensitas pemeriksaan pajak, keadilan pajak, kepatuhan
wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi
perpajakan, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi
Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak. Hasil analisis deskriptif
disajikan sebagai berikut:
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil analisis deskriptif dapat dilihat pada tabel di atas, dimana
dapat di ketahui bahwa intensitas pemeriksaan pajak memiliki nilai range
3.75, nilai minimum 1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.6750, nilai
standar deviasi .99904, dan nilai variance .998. Keadilan pajak dengan
sampel 50, memiliki nilai range 3.75, nilai minimum 1.25, nilai maksimum Tabel 4.4
Statistik Deskriptif Descriptive Statistics
N Range Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation Variance Intensitas Pemeriksaan
Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak
50 3.00 1.00 4.00 1.7850 .90211 .814
5.00, nilai mean 3.6750, nilai standar deviasi .86516, dan nilai variance
.748. Kepatuhan Wajib Pajak memiliki nilai range 3.75, nilai minimum
1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.5600, nilai standar deviasi
.88289, dan nilai variance .779. Pengetahuan Wajib Pajak memiliki nilai
range 3.75, nilai minimum 1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.9300,
nilai standar deviasi .88069, dan nilai variance .776.
Sistem perpajakan memiliki nilai range 3.75, nilai minimum 1.25,
nilai maksimum 5.00, nilai mean 2.8350, nilai standar deviasi .97626, dan
nilai variance .953. Diskriminasi perpajakan memiliki nilai range 3.75,
nilai minimum 1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.3150, nilai standar
deviasi 1.01997, dan nilai variance 1.040. Kemungkinan terdeteksinya
kecurangan memiliki nilai range 3.00, nilai minimum 1.00, nilai
maksimum 4.00, nilai mean 2.4450, nilai standar deviasi .86202, dan nilai
variance .743. Persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak
memiliki nilai range 3.00, nilai minimum 1.00, nilai maksimum 4.00, nilai
mean 1.7850, nilai standar deviasi .90211, dan nilai variance .814.
Dengan demikian hasil analisis deskriptif tersebut menunjukkan
bahwa N merupakan banyaknya sampel yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi
yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia. Nilai range menunjukkan
besarnya rentangan nilai yang dicapai pada setiap variabel, nilai minimum
menunjukkan nilai terkecil dari setiap variabel, sedangkan nilai maksimum
menunjukkan nilai terbesar dari setiap variabel. Nilai mean menunjukkan
menunjukkan besarnya simpangan baku dan skor untuk setiap variabel,
dan nilai variance menunjukkan besarnya kuadrat simpangan baku untuk
masing-masing variabel.
2. Hasil Uji Kualitas Data a. Hasil Uji Validitas
Pengujian validitas dari instrumen penelitian dilakukan dengan
menghitung angka korelasional atau r hitung dari nilai jawaban setiap
responden untuk setiap butir pertanyaan, kemudian dibandingkan
dengan r tabel. Nilai r tabel 0,284, didapat dari jumlah sampel yaitu 50
kemudian dikurangkan 2 untuk mengetahui tingkat df, atau 50-2 = 48,
tingkat signifikansi 5%, maka didapat r tabel 0.284. Setiap butir
pertanyaan dikatakan valid bila angka korelasional yang diperoleh dari
perhitungan lebih besar atau sama dengan r tabel (Imam Ghozali,
2011:53). Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa semua
pertanyaan dikatakan valid, karena koefisien korelasi (r hitung) > r
tabel
.
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil uji validitas dari variabelIntensitas Pemeriksaan Pajak dengan sampel berjumlah 50.
Tabel 4.5
Hasil Uji Validitas Variabel Intensitas Pemeriksaan Pajak
Item Pertanyaan
Hasil uji validitas variabel intensitas pemeriksaan pajak dapat
dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang
terkait dengan variabel intensitas pemeriksaan pajak dapat dikatakan
valid karena seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada
harga koefisien r tabel. Untuk IPP1 harga koefisien r hitung 0.699 >
0.284 r tabel maka dinyatakan valid begitu juga dengan IPP2 (0.841 >
0.284), IPP3 (0.777 > 0.284), dan IPP4 (0.850 > 0.284).
Tabel 4.6
Hasil Uji Validitas Variabel Keadilan Pajak
Item Pertanyaan
Harga Koefisien r
Hitung
Harga Koefisien r
Tabel
Simpulan
KPP1 0.624 0.284 Valid
KPP2 0.913 0.284 Valid
KPP3 0.813 0.284 Valid
KPP4 0.740 0.284 Valid
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil uji validitas variabel keadilan pajak dapat dilihat pada
tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait dengan
variabel keadilan pajak dapat dikatakan valid karena seluruh harga
koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r tabel. Untuk
KPP1 harga koefisien r hitung 0.624 > 0.284 r tabel maka dinyatakan
valid begitu juga dengan KPP2 (0.913 > 0.284), KPP3 (0.813 > 0.284),
Tabel 4.7
Hasil Uji Validitas Variabel Kepatuhan Wajib Pajak
Item Pertanyaan
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil uji validitas variabel kepatuhan wajib pajak dapat dilihat
pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait
dengan variabel kepatuhan wajib pajak dapat dikatakan valid karena
seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r
tabel. Untuk KWPP1 harga koefisien r hitung 0.860 > 0.284 r tabel
maka dinyatakan valid begitu juga dengan KWPP2 (0.821 > 0.284),
KWPP3 (0.828 > 0.284), dan KWPP4 (0.679 > 0.284).
Tabel 4.8
Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan Wajib Pajak
Item Pertanyaan
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil uji validitas variabel pengetahuan wajib pajak dapat
dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang
terkait dengan variabel pengetahuan wajib pajak dapat dikatakan valid
koefisien r tabel. Untuk PWPP1 harga koefisien r hitung 0.728 > 0.284
r tabel maka dinyatakan valid begitu juga dengan PWPP2 (0.917 >
0.284), PWPP3 (0.863 > 0.284), dan PWPP4 (0.900 > 0.284).
Tabel 4.9
Hasil Uji Validitas Variabel Sistem Perpajakan
Item Pertanyaan
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil uji validitas variabel sistem perpajakan dapat dilihat pada
tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait dengan
variabel sistem perpajakan dapat dikatakan valid karena seluruh harga
koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r tabel. Untuk
SPP1 harga koefisien r hitung 0.834 > 0.284 r tabel maka dinyatakan
valid begitu juga dengan SPP2 (0.822 > 0.284), SPP3 (0.761 > 0.284),
dan SPP4 (0.750 > 0.284).
Tabel 4.10
Hasil Uji Validitas Variabel Diskriminasi Perpajakan
Item Pertanyaan
Hasil uji validitas variabel diskriminasi perpajakan dapat dilihat
pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait
dengan variabel diskriminasi perpajakan dapat dikatakan valid karena
seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r
tabel. Untuk DPP1 harga koefisien r hitung 0.877 > 0.284 r tabel maka
dinyatakan valid begitu juga dengan DPP2 (0.865 > 0.284), DPP3
(0.709 > 0.284), dan DPP4 (0.611 > 0.284).
Tabel 4.11
Hasil Uji Validitas Variabel Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil uji validitas variabel kemungkinan terdeteksinya
kecurangan dapat dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian semua
pertanyaan yang terkait dengan variabel kemungkinan terdeteksinya
kecurangan dapat dikatakan valid karena seluruh harga koefisien r
hitung lebih besar dari pada harga koefisien r tabel. Untuk DPP1 harga
koefisien r hitung 0.727 > 0.284 r tabel maka dinyatakan valid begitu
juga dengan KTKP2 (0.854 > 0.284), KTKP3 (0.755 > 0.284), dan
Tabel 4.12
Hasil Uji Validitas Variabel Persepsi Wajib pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Hasil uji validitas variabel persepsi wajib pajak mengenai etika
penggelapan pajak dapat dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian
semua pertanyaan yang terkait dengan variabel persepsi wajib pajak
mengenai etika penggelapan pajak dapat dikatakan valid karena
seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r
tabel. Untuk DPP1 harga koefisien r hitung 0.917 > 0.284 r tabel maka
dinyatakan valid begitu juga dengan PWPMEPPP2 (0.696 > 0.284),
PWPMEPPP3 (0.889 > 0.284), dan PWPMEPPP4 (0.890 > 0.284).
b. Hasil Uji Reliabilitas
Suatu instrumen penelitian atau alat ukur dikatakan memiliki
reliabilitas yang tinggi atau baik apabila instrumen penelitian atau alat
ukur tersebut selalu memberikan hasil yang sama ketika digunakan
berkali-kali, baik oleh peneliti yang sama maupun oleh peneliti yang
berbeda. Oleh karena itu, pengujian reliabilitas instrumen penelitian
atau angket dimaksudkan untuk mengetahui tingkat konsistensi atau
keajegan hasil yang diperoleh dari penggunaan alat ukur tersebut.
memberikan hasil pengukuran yang relatif sama apabila dilakukan
pengulangan atas penggunaan instrumen atau alat ukur tersebut.
Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini untuk menunjukan
tingkat reliabilitas konsistensi internal teknik yang digunakan adalah
dengan mengukur koefisien Cronbach’s Alpha dengan bantuan
program SPSS 22. Nilai alpha bervariasi dari 0–1, suatu pertanyaan
dapat dikategorikan reliabel jika nilai alpha lebih besar dari 0.70 dalam
(Ghozali, 2011 : 48).
Tabel 4.13 Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach’s
Alpha N of items Keterangan
Intensitas
Pemeriksaan Pajak 0.813 4 Reliabel
Keadilan Pajak 0.804 4 Reliabel
Kepatuhan Wajib
Pajak 0.812 4 Reliabel
Pengetahuan Wajib
Pajak 0.829 4 Reliabel
Sistem Perpajakan 0.812 4 Reliabel
Diskriminasi
Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak
0.826 4 Reliabel
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Dari tabel 4.13 tersebut dapat dilihat hasil dari uji reliabilitas
dimana variabel intensitas pemeriksaan pajak memiliki nilai
alpha 0.804, kepatuhan wajib pajak memiliki nilai cronbach’s alpha
0.812, pengetahuan wajib pajak memiliki nilai cronbach’s alpha
0.829, sistem perpajakan memiliki nilai cronbach’s alpha 0.812,
diskriminasi perpajakan memiliki nilai cronbach’s alpha 0.806,
kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki nilai cronbach’s
alpha 0.805, dan persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan
pajak memiliki nilai cronbach alpha 0.826. Dengan demikian semua
variabel tersebut adalah reliabel karena memiliki cronbach’s alpha
lebih besar dari 0.70.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap item pertanyaan yang
digunakan akan mampu memperoleh data yang konsisten yang berarti
bila pertanyaan itu diajukan kembali akan diperoleh jawaban yang
relatif sama dengan jawaban sebelumnya. Uji validitas digunakan
untuk mengetahui apakah item-item pertanyaan yang ada di dalam
kuesioner mampu mengukur perubahan yang didapatkan dalam
penelitian ini (Ghozali dalam Suryani, 2011 : 45).
3. Hasil Uji Asumsi Klasik a. Hasil Uji Normalitas
Ada beberapa hal yang perlu dikaji berkaitan dengan
normalitas sehingga memperoleh gambaran yang lebih lengkap.
Pembahasan yang berkaitan dengan normalitas antara lain berupa,
kurva normal dan juga pengujian normalitas itu sendiri. Uji normalitas
yaitu intensitas pemeriksaan pajak, keadilan pajak, kepatuhan wajib
pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi
perpajakan, kemungkinan terjadi kecurangan dan persepsi wajib pajak
mengenai etika penggelapan pajak semuanya memiliki distribusi
normal atau tidak, berikut ini gambar grafik uji normalitas data pada
grafik pp – plot.
Gambar 4.5
Hasil Uji Normalitas Data
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Berdasarkan plot di atas yang merupakan hasil dari pengujian
SPSS 22, maka dapat dilihat pada grafik plot tersebut terlihat titik-titik
disimpulkan bahwa model regresi ini memenuhi asumsi normalitas.
Dengan demikian, setiap variabel bergerak mengikuti garis diagonal
secara normal.
Gambar 4.6
Hasil Uji Normalitas Data
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Selain itu histogram ini juga membuktikan bahwa data tersebut
berdistribusi secara normal. Gambar histogram ini menunjukkan
bahwa pola distribusinya melenceng ke kanan yang artinya adalah data
Tabel 4.14
Hasil Uji Normalitas Data Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak
.215 50 .218 .806 50 .135
a. Lilliefors Significance Correction
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Untuk lebih memahami dan memberikan keyakinan yang lebih
baik bahwa data tersebut berdistribusi secara normal, maka dapat di
lihat bahwa tabel signifikansi pada kalmogrov-smirnov dan
Shapiro-wilk di atas tingkat signifikansinya lebih tinggi jika dibandingkan
dengan tingkat signifikansi alpha (0.05). Hal ini dapat di lihat bahwa
pada variabel intensitas pemeriksaan pajak nilai signifikansi 0.102 >
0.05, kemudian keadilan pajak memiliki tingkat signifikansi 0.230 >
0.05 maka variabel ini berdistribusi normal, begitu juga dengan nilai
b. Hasil Uji Multikolinearitas
Ada tidaknya hubungan atau korelasi antarvariabel independen
atau variabel bebas (multikolinearitas) dapat diketahui atau dideteksi
dengan memanfaatkan statistik korelasi Variance Inflation factor
(VIF). VIF dalam hal ini merupakan suatu harga koefisien statistik
yang menunjukkan pada Collinearity. Cara ini dapat dilakukan dengan
melihat apakah harga masing-masing VIP untuk masing-masing
variabel independen lebih besar dari pada 10 atau tidak. Apabila harga
koefisien VIP untuk masing-masing variabel independen lebih besar
daripada 10, maka variabel tersebut di indikasikan memiliki gejala
multikolinearitas. Dari hasil statistik yang telah dilakukan dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 4.15
Hasil Uji Multikolinearitas Data
Coefficientsa
Tabel 4.15 memaparkan hasil dari pengujian untuk mengetahui
apakah setiap variabel tersebut memiliki hubungan multikolinearitas
atau tidak, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua variabel tersebut
tidak ada yang memiliki hubungan multikolinearitas. Hal ini dapat
dilihat dari nilai VIP pada tabel Collinearity Statistics. Pada tabel
tersebut tidak ada variabel independen yang memiliki nilai VIP lebih
dari 10. Intensitas pemeriksaan pajak memiliki nilai VIP 1.737,
keadilan pajak memiliki nilai VIP 2.553, kepatuhan wajib pajak
memiliki nilai 3.069, pengetahuan wajib pajak memiliki nilai VIP
2.246, sistem perpajakan memiliki nilai VIP 2.033, diskriminasi
perpajakan memiliki nilai VIP 2.695, dan kemungkinan terdeteksinya
kecurangan memiliki nilai VIP 1.646. Dengan demikian, pada data
tersebut tidak terdapat multikolinearitas karena secara keseluruhan
nilai VIP pada tabel tersebut kurang dari 10.
c. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Dengan menggunakan bantuan program SPSS 22 untuk
mengecek ada atau tidaknya heteroskedastisitas dengan rumus Rank
Order dari Spearman, maka perhitungan yang diperlukan untuk
menguji hipotesis tersebut dilakukan dengan tiga tahap. Pada tahap
pertama yaitu menghitung nilai residual masing-masing variabel
independen, tahap kedua menghitung nilai absolut dari residual
masing-masing variabel independen, dan tahap ketiga menghitung
variabel dengan nilai absolutnya. Perhitungan tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 4.16
Hasil Uji Heteroskedastisitas Data Coefficientsa
a. Dependent Variable: Ares
Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Untuk menentukan apakah variabel tersebut memiliki
hubungan heteroskedastisitas atau tidak, maka dapat dilihat dari tingkat
signifikansi yang terdapat pada tabel tersebut. Apabila nilai
signifikansi di tabel lebih besar daripada nilai signifikansi alpha (0.05)
maka tidak terjadi heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan
lebih kecil daripada nilai signifikansi alpha (0.05) maka terjadi
heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan nilai residual
mutlaknya. Intensitas pemeriksaan pajak dengan nilai signifikansi
(0.146 > 0.05), keadilan pajak dengan nilai signifikansi (0.328 > 0.05),
kepatuhan wajib pajak dengan nilai signifikansi (0.903 > 0.05),
pengetahuan wajib pajak dengan nilai signifikansi (0.942 > 0.05),
sistem perpajakan dengan nilai signifikansi (0.300 > 0.05),
diskriminasi perpajakan dengan nilai signifikansi (0.492 > 0.05), dan
kemungkinan terdeteksinya kecurangan dengan nilai signifikansi
(0.402 > 0.05). Dengan demikian, tidak terjadi heteroskedastisitas
diantara data pengamatan dengan nilai residual mutlaknya.
4. Hasil Uji Regresi Linier Berganda
Regresi linier berganda digunakan untuk memodelkan hubungan
antara variabel dependen dengan variabel independen, dengan jumlah
variabel independen lebih dari satu. Secara umum, analisis regresi
biasanya adalah studi mengenai ketergantungan variabel dependen dengan
satu atau lebih variabel independen dengan tujuan untuk mngestimasi dan
atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen
berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui. Model regresi
berganda bertujuan untuk memprediksi besar variabel dependen dengan
menggunakan data variabel independen yang sudah diketahui besarnya
Tabel 4.17
Hasil Uji Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) 2.468 2.327
Intensitas Pemeriksaan Pajak -.047 .130 -.052
Keadilan pajak .115 .182 .110
Kepatuhan Wajib Pajak -.128 .195 -.125
Pengetahuan Wajib Pajak -.080 .159 -.082
Sistem Perpajakan -.327 .144 -.354
Diskriminasi Perpajakan .249 .159 .282
Kemungkinan Terdeteksinya
Kecurangan -.625 .147 -.597
a. Dependent Variable: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Koefisien regresi pada variabel keadilan berarah negatif dan
signifikan sebesar –0.047, hal ini berarti jika variabel intensitas
pemeriksaan pajak bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib
pajak mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar 0.047 satuan
atau sebesar 4.7%. Koefisien regresi pada variabel keadilan pajak berarah
positif dan signifikan sebesar 0.115, hal ini berarti jika variabel keadilan
pajak bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib pajak mengenai
etika penggelapan pajak bertambah sebesar 0.115 satuan atau sebesar
11.5%. Koefisien regresi pada variabel kepatuhan wajib pajak berarah
negatif dan signifikan sebesar -0.128, hal ini berarti jika variabel
pajak mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar 0.128 satuan
atau sebesar 12.8%. Koefisien regresi pada variabel pengetahuan wajib
pajak berarah negatif dan signifikan sebesar -0.080, hal ini berarti jika
variabel pengetahuan wajib pajak bertambah satu satuan maka variabel
persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar
0,080 satuan atau sebesar 8%.
Koefisien regresi pada variabel sistem perpajakan berarah negatif
dan signifikan sebesar -0.327, hal ini berarti jika variabel sistem
perpajakan bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib pajak
mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar 0.327 satuan atau
sebesar 32.7%. Koefisien regresi pada variabel diskriminasi perpajakan
berarah positif dan signifikan sebesar 0.249, hal ini berarti jika variabel
diskriminasi perpajakan bertambah satu satuan maka variabel persepsi
wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak bertambah sebesar 0.249
satuan atau sebesar 24.9%. Koefisien regresi pada variabel kemungkinan
terdeteksinya kecurangan berarah negatif dan signifikan sebesar -0.625,
hal ini berarti jika variabel kemungkinan terdeteksinya kecurangan
bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib pajak mengenai etika
penggelapan pajak berkurang sebesar 0.625 satuan atau sebesar 62.5%.
Berdasarkan hasil uji persamaan regresi berganda maka dapat dilihat
variabel independen yang paling dominan mempengaruhi persepsi wajib
pajak mengenai etika penggelapan pajak adalah variabel diskriminasi
5. Hasil Uji Hipotesis Penelitian
a. Hasil Uji Statistik t (Uji Signifikansi Parsial)
Uji statistik t berguna untuk menguji pengaruh dari
masing-masing variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen.
Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh masing-masing variabel
independen secara parsial terhadap variabel dependen dapat dilihat
pada tingkat signifikansi 0.05. Hasil uji statistik t dapat dilihat pada
tabel 4.18, jika nilai probability t < 0.05 maka Ha diterima, sedangkan
jika nilai probability t > 0.05 maka Ha ditolak. (Ghozali, 2011: 101).
Tabel 4.18
Hasil Uji Statistik t (Uji Signifikansi Parsial)
Coefficientsa
Model
Intensitas Pemeriksaan Pajak -.047 .130 -.052 -3.363 .018
Keadilan pajak .115 .182 .110 2.632 .031
a. Dependent Variable: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.
Berdasarkan hasil pengujian dari tabel 4.18, maka dapat ditarik
1. Hasil Uji Hipotesis Satu: Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.
Hasil uji hipotesis 1 yang ditunjukkan pada tabel 4.18, variabel
intensitas pemeriksaan pajak mempunyai tingkat signifikasi sebesar
0.018 dan nilai t sebesar -3.363. Hal ini berarti Ha1 diterima sehingga
dapat dikatakan bahwa intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak karena tingkat
signifikasi yang dimiliki variabel intensitas pemeriksaan pajak < 0.05
(0.018 < 0.05) dan nilai t hitung > 1.68 (-3.363 > 1.68). Intensitas
pemeriksaan pajak merupakan salah satu aplikasi ataupun tindakan
antisipasi untuk mencegah terjadinya penggelapan pajak. Semakin
intensif pemeriksaan pajak dilakukan maka setiap Wajib Pajak akan
semakin takut untuk melakukan penggelapan pajak. Pada dasarnya,
penerapan self assessment system harus memiliki kontrol yang tinggi
dan salah satunya dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas
pemeriksaan pajak.
Pada penelitian ini, hipotesis diterima bahwa intensitas
pemeriksaan pajak berpengaruh negatif. Apabila pihak fiskus
melakukan pemeriksaan secara baik maka penggelapan pajak dapat di
minimalisir. Singkatnya, intensitas pemeriksaan pajak akan
memberikan peranan yang lebih baik untuk menghindarkan terjadinya
penggelapan pajak. Tidak terbatas hanya berfokus pada Wajib Pajak,
penerapan Undang-Undang Perpajakan juga. Dengan demikian, segala
tindakan yang tidak baik dalam bidang perpajakan harus dilakukan
evaluasi baik bagi pihak pemerintahan maupun pihak Wajib Pajak.
2. Hasil Uji Hipotesis Dua: Keadilan berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak.
Hasil uji hipotesis 2 yang ditunjukkan pada tabel 4.18, variabel
keadilan pajak mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0.031 dan nilai t
sebesar 2.632. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat dikatakan
bahwa keadilan pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap etika
penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel
keadilan pajak < 0.05 (0.031 < 0,05) dan nilai t hitung > 1.68 (2.632 >
1.68). Keadilan pajak ataupun tax fairness diharapkan mampu
meningkatkan kesadaran Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran
pajak. Apabila keadilan yang diberikan oleh pihak Ditjen pajak
semakin baik, maka penggelapan pajak akan semakin berkurang
tentunya.
Kadang kala penggelapan pajak dianggap suatu hal yang etis
ataupun tidak etis tergantung bagaimana pemerintah mengelola dana
yang bersumber dari pajak negara, dimana masyarakat/WP
menganggap bahwa perwujudan keadilan dalam perpajakan belumlah
maksimal. Dalam hal ini Pemerintah harus mengantisipasi masalah
yang sangat mendasar yang selalu dijumpai dalam pemungutan dan
keadilan pajak, hal ini tidak mudah diterapkan karena keadilan
memiliki perspektif yang sangat luas, dimana menurut Siahaan dalam
Suryani (2010 : 114) keadilan antara masing-masing individu
berbeda-beda.
Keadilan di dalam bidang perpajakan memiliki pemahaman
yang cukup luas dan sulit untuk di deskripsikan. Namun demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa keadilan akan dapat dirasakan oleh
masyarakat apabila telah direalisasikan. Pertanyaan yang sangat
mendasar adalah, sejauh mana pemerintah sudah mampu memberikan
keadilan yang layak untuk diterima masyarakat atas dana perpajakan
yang telah mereka setorkan dan sejauh mana pula masyarakat telah
melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak untuk melakukan
penyetoran pajak. Dengan demikian masalah keadilan ini memang
harus lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Setidaknya ada tiga aspek keadilan yang perlu diperhatikan
dalam penerapan pajak, yaitu: pertama, keadilan dalam penyusunan
undang-undang pajak terkait penyusunan undang-undang merupakan
salah satu penentu dalam mewujudkan keadilan perpajakan, karena
dengan melihat proses dan hasil akhir pembuatan undang-undang
pajak yang kemudian diberlakukan masyarakat akan dapat melihat
apakah pemerintah juga mengakomodasi kepentingan WP dalam
penetapan peraturan perpajakan, seperti ketentuan tentang siapa yang
pembayaran pajak, tindakan yang dapat diberlakukan oleh fiskus
kepada WP, sanksi yang mungkin dikenakan kepada WP yang tidak
melaksanakan kewajibannya secara tidak benar, hak WP, perlindungan
WP dari tindakan fiskus yang dianggapnya tidak sesuai dengan
ketentuan, keringanan pajak yang dapat diberikan kepada WP, dan hal
lainnya (Suryani, 2013).
Kedua, keadilan dalam penerapan ketentuan perpajakan yang
merupakan hal yang harus diperhatikan benar oleh Negara/pemerintah
sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh hukum pajak untuk
menarik/memungut pajak dari masyarakat. Dalam mencapai keadilan
ini, Negara/pemerintah melalui fiskus harus memahami dan
menerapkan asas-asas pemungutan pajak dengan baik. Ketiga, keadilan
dalam penggunaan uang pajak yang menjadi tolok ukur penerapan
keadilan perpajakan, berkaitan dengan harapan sampai dimana manfaat
dari pemungutan pajak tersebut dipergunakan untuk kepentingan
masyarakat banyak.
Keadilan yang bersumber pada penggunaan uang pajak sangat
penting karena membayar pajak tidak menerima kontraprestasi secara
langsung yang “dapat” ditunjuk atau yang seimbang pada saat
membayar pajak. Sehingga manfaat pajak untuk pelayanan umum dan
kesejahteraan umum harus benar-benar mendapatkan perhatian dan
dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang menjadi
menilai keadilan di dalam penggunaan uang pajak oleh pemerintah
(Suryani, 2013).
3. Hasil Uji Hipotesis Tiga: Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.
Hasil uji hipotesis 3 yang ditunjukkan pada tabel 4.18, variabel
kepatuhan Wajib Pajak mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0.018
dan nilai t sebesar -2.652. Hal ini berarti Ha3 diterima sehingga dapat
dikatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap etika penggelapan pajak karena tingkat signifikasi
yang dimiliki variabel kepatuhan Wajib Pajak < 0.05 (0.018 < 0.05)
dan nilai t hitung > 1.68 (-2.652 > 1.68). Setiap Wajib Pajak yang
memiliki kesadaran yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak,
diasumsikan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi pula untuk
melakukan pembayaran pajak dan mematuhi undang-undang
perpajakan yang dibuat oleh pemerintah.
Kepatuhan Wajib Pajak memiliki hubungan yang negatif
dengan etika penggelapan pajak. Mereka yang mematuhi
undang-undang perpajakan akan mampu menyadari kewajibannya sebagai
Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak. Dengan demikian,
semakin tinggi tingkat kepatuhan Wajib Pajak maka akan semakin
minim tingkat penggelapan pajak. Baik kepatuhan secara materil
maupun formal memiliki hubungan yang negatif dengan etika