• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion). (studi empiris di kpp pratama medan-polonia) Chapter III V"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kausalitas, yaitu penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen. Penelitian ini akan menguji pengaruh intensitas pemeriksaan pajak

(tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance),

pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system),

diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan

(fiscal fraud) terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan

pajak (Tax Evasion) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Medan-Polonia.

B. Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang pribadi yang

terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan-Polonia. Doane

dan Seward (2011) menyatakan bahwa “population is all of the items that we

are interested in”. Sugiyono (1999) menyatakan bahwa populasi adalah

“wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek/objek yang mempunyai kualitas

dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya”.

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode convenience sampling

(2)

akan melakukan penyebaran kuesioner sejumlah 50 kuesioner kepada WP OP.

Dalam metode ini, anggota sampel yang dipilih atau diambil berdasarkan

kemudahan memperoleh data yang dibutuhkan, atau unit sampel yang ditarik

mudah untuk diukurnya dan bersifat kooperatif (Hamid, 2010). Hal ini

dilakukan peneliti karena pertimbangan pengambilan sampel yang berupa data

primer yang membutuhkan lokasi yang mudah untuk dijangkau dan biaya

yang cukup murah yaitu di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Medan-Polonia. Pengambilan sampel ini dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk

mengetahui persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak, maka

peneliti memilih Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan-Polonia sebagai sampelnya.

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu menggunakan

survei literatur dan melakukan studi lapangan dengan pengumpulan data

primer secara aktif, diantaranya adalah :

1. Survei literatur merupakan dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap

karya publikasi dan nonpublikasi dari sumber sekunder dalam bidang

minat khusus bagi peneliti (Sekaran, 2007 : 82). Perpustakaan merupakan

pusat penyimpanan yang kaya bagi data sekunder, dan biasanya peneliti

menghabiskan beberapa minggu dan terkadang bulan untuk menelusuri

buku, jurnal, surat kabar, majalah, laporan konferensi, disertasi doctoral,

tesis master, publikasi pemerintah, laporan keuangan dan lainnya untuk

(3)

2. Pengumpulan Data Primer Secara Aktif (Penelitian Lapangan)

Penelitian bisnis kontemporer sangat menggantungkan pada penggunaan

metode PDF aktif. Ini didasarkan fakta bahwa bisnis pada dasarnya adalah

fenomena sosial yang berhubungan dengan manusia (Kuncoro, 2013 :

160). Akibatnya, data yang diperlukan untuk membuat keputusan harus

berasal dari manusia itu sendiri. PDF aktif dirancang terutama untuk

memperoleh informasi dari responden manusia. Kelebihan utama metode

ini adalah versatility-nya. Semua jenis opini abstrak berupa opini, sikap,

kehendak, dan pengharapan dapat diperoleh melalui survei. Kelemahan

dari metode ini adalah, kualitas informasi akan sangat bergantung pada

kemampuan dan kemauan responden untuk bekerjasama dengan peneliti.

Sering sekali responden akan menolak untuk diwawancarai atau untuk

membalas surat survei karena alasan pribadi, atau mereka memandang

topik yang sedang diteliti terlalu sensitif. Pengumpulan data kuesioner

dilakukan dengan teknik personally administered questionnaires, yaitu

kuisioner disampaikan dan dikumpulkan langsung oleh peneliti Indriantoro

dan Supomo (dalam Suryani 2013 : 154).

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data menggunakan statistik deskriptif, uji kualitas

data, uji asumsi klasik dan uji regresi berganda.

1. Statistik Deskriptif

Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan

(4)

informasi yang berguna. Statistika deskriptif hanya memberikan informasi

mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik inferensia

atau kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar. Contoh

statistika deskriptif yang sering muncul adalah tabel, diagram, grafik, dan

besaran-besaran lain di majalah dan koran-koran (Dergibson, 2002).

Dengan Statistika deskriptif, kumpulan data yang diperoleh akan tersaji

dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari

kumpulan data yang ada. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika

deskriptif ini antara la

serta kecenderungan suatu gugus data.

2. Uji Kualitas Data

Untuk melakukan uji kualitas data dalam pengolahan data

penelitian ini, maka peneliti akan melakukan uji validitas dan realibilitas.

a. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang telah

disusun dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur

secara tepat. Apabila instrumen tersebut mampu untuk mengukur apa

yang diukur, maka disebut valid dan sebalinya, apabila tidak mampu

untuk mengukur apa yang diukur, maka dinyatakan tidak valid

(Sudarmanto, 2005). Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan

pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan

(5)

dengan taraf Signifikasi 0,05. Kriteria pengujian adalah sebagai

berikut:

1. Jika rhitung ≥ rtabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau

item-item pertanyaan berkolerasi signifikan terhadap skor total

(dinyatakan valid).

2. Jika rhitung < rtabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau

item-item pertanyaan tidak berkolerasi signifikan terhadap skor

total (dinyatakan tidak valid). (Priyatno, 2010 : 94)

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas instrumen menggambarkan pada kemantapan dan keajegan

alat ukur yang digunakan. Suatu alat ukur dikatakan memiliki

reliabilitas atau keajegan yang tinggi atau dapat dipercaya, apabila alat

ukur tersebut stabil (ajeg) sehingga dapat diandalkan (dependability)

dan dapat digunakan untuk meramalkan (predictability). Dengan

demikian, alat ukur tersebut akan memberikan hasil yang tidak

berubah-ubah dan akan memberikan hasil yang serupa apabila

digunakan berkali-kali (Sudarmanto, 2005). Variabel-variabel tersebut

dikatakan cronbach alpha nya memiliki nilai lebih besar 0,70 yang

berarti bahwa instrumen tersebut dapat dipergunakan sebagai

pengumpul data yang handal yaitu hasil pengukuran relatif koefisien

jika dilakukan pengukuran ulang. Uji realibilitas ini bertujuan untuk

(6)

3. Uji Asumsi Klasik

Untuk melakukan uji asumsi klasik terhadap data primer ini, maka

peneliti melakukan uji normalitas, uji multikolonieritas, uji

heteroskedastisitas, dan uji autokeralasi.

a. Uji Normalitas

Salah satu uji persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan

analisis parametrik yaitu uji normalitas data populasi. Hal ini dapat

ditegaskan bahwa suatu penelitian yang melakukan pengujian hipotesis

dengan menggunakan uji-t dan uji-F menuntut suatu asumsi yang harus

diuji, yaitu populasi harus berdistribusi normal (Putrawan, 1990 : 133).

Untuk menafsirkan apakah data yang diuji berdistribusi normal atau

tidak, maka dapat dilakukan dengan cara menggunakan harga koefisien

Skewness atau Kurtosis. Jika koefisien Skewness atau Kurtosis berada

pada rentangan nilai -0,5 sampai dengan 0,5 maka dapat dikatakan

bahwa data masing-masing variabel penelitian terdistribusi secara

normal.

b. Uji Multikolinearitas

Uji asumsi tentang multikolinearitas ini dimaksudkan untuk

membuktikan atau menguji ada tidaknya hubungan yang linear antara

variabel bebas (independen) satu dengan dengan variabel bebas

(independen) yang lainnya. Frisch dalam Gujarati dalam Zein (1997)

menyatakan bahwa istilah multikolinearitas berarti adanya hubungan

(7)

variabel yang menjelaskan dari model regresi. Apabila menggunakan

pendekatan Variance Inflation Factor (VIF) untuk menguji

hipotesisnya maka kriteria atau ukuran yang akan digunakan adalah:

1. Apabila harga koefisien VIF hitung pada Collinearity Statistics

sama dengan atau lebih kecil daripada 10 (VIP hitung ≤ 10) maka

H0 diterima yang berarti tidak terdapat hubungan antar variabel

independen (tidak terjadi gejala multikolinearitas).

2. Apabila harga koefisien VIP hitung pada Collinearity Statistics

lebih besar daripada 10 (VIP hitung > 10), maka H0 ditolak yang

berarti terdapat hubungan antar variabel independen (terjadi gejala

multikolinearitas).

c. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah

variasi residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan

(Sudarmanto, 2005). Apabila asumsi tidak terjadinya

heteroskedastisitas ini tidak terpenuhi, maka penaksir menjadi tidak

lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (Gujarati, 1997) dan

estimasi koefisien dapat dikatakan menjadi kurang akurat (Rietveld

dan Sunaryanto, 1993). Jika menerapkan uji heteroskedastisitas

menggunakan korelasi Rank-Order dari Spearman, maka kriteria atau

ketentuan yang digunakan untuk menyatakan apakah terjadi hubungan

antara data hasil pengamatan dengan nilai residual absolutnya atau

(8)

1. Apabila koefisien Signifikansi (nilai probabilitas) lebih besar dari

alpha yang ditetapkan (Sig. > alpha), maka dapat dinyatakan tidak

terjadi heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan nilai

residual mutlaknya berarti H0 diterima.

2. Apabila koefisien Signifikansi (nilai probabilitas) lebih kecil dari

alpha yang ditetapkan (Sig. < alpha), maka dapat dinyatakan terjadi

adanya heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan nilai

residual mutlaknya berarti H0 ditolak.

d. Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi dalam penelitian ini tidak digunakan, karena

penelitian ini melakukan pengolahan data dengan menggunakan data

primer. Sehingga tidak menggunakan autokorelasi karena tidak

dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi di antara data

pengamatan atau tidak.

4. Uji Regresi Linier Berganda

Pengujian Regresi Berganda dilakukan dengan penerapan uji

persamaan regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda adalah

hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel independen (X1, X2,

X3, X4, …… Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk

mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif

atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila

(9)

2013:2). Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Model

ini digunakan untuk menguji apakah ada hubungan sebab akibat antara

kedua variabel untuk meneliti seberapa besar pengaruh antara variabel

independen, yaitu: intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax

fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib

Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud)

terhadap suatu variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai

etika penggelapan pajak (Tax Evasion). adapun rumus yang digunakan: Y = a + β1X1+β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5+ β6X6+ β7X7+e Dimana:

Y = Etika Penggelapan Pajak

X1 = Intensitas Pemeriksaan Pajak (Tax Audit)

X2 = Keadilan (Tax Fairness)

X3 = Kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance)

X4 = Pengetahuan Wajib Pajak (Tax Knowledege)

X5 = Sistem Perpajakan (Tax System)

X6 = Diskriminasi (Discrimination)

X7 = Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (Tax Fraud)

a = Bilangan Konstanta (harga Y, bila X=0)

(10)

5. Uji Hipotesis Penelitian

Pengujuan hipotesis penelitian dilakukan melalui uji statistik t, uji statistik

F (Fishier), dan uji koefisien determinan (Adjusted R2).

a. Uji statistik t (Uji Signifikansi Parsial)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu

variabel penjelas secara individual dalam menerangkan

variabel-variabel terikat (Kuncoro, 2013 : 244). Uji t bertujuan untuk

mengetahui pengaruh antara variabel independen dengan variabel

dependen secara parsial. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh

yang signifikan dari variabel masing-masing independen yaitu:

intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan

Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge),

sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan

kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) terhadap suatu variabel

dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax

Evasion). Maka nilai Signifikan t dibandingkan dengan derajat

kepercayaannya. Apabila Sig t lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima.

Demikian pula sebaliknya jika Sig t lebih kecil dari 0,05, maka H0

ditolak. Bila H0 ditolak ini berarti ada hubungan yang signifikan antara

variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2011 : 101).

b. Uji Statistik F (Uji Signifikansi Simultan)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel

bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara

(11)

mengetahui pengaruh antara variabel independen dengan variabel

dependen secara simultan. Untuk mengetahui apakah terdapat

pengaruh yang signifikan dari variabel masing-masing independen

yaitu: intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness),

kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak

(tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal

fraud) terhadap suatu variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak

mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion). Secara bebas dengan

Signifikan sebesar 0,05, dapat disimpulkan (Ghozali, 2011:98).

1. Jika nilai Signifikan < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak, ini

berarti menyatakan bahwa semua variabel independen atau bebas

tidak mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel

dependen atau terikat.

2. Jika nilai Signifikan > 0,05 maka Ha ditolak dan H0 diterima, ini

berarti menyatakan bahwa semua variabel independen atau bebas

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel

dependen atau terikat.

c. Koefisien Determinasi (Adjusted R2)

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai

koefisien determinasi adalah diantara 0 dan 1. Nilai R2 yang kecil

(12)

variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu

berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua

informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel

dependen (Kuncoro, 2013 : 247). Insukindro menekankan bahwa

koefisien determinasi hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya

kriteria memilih model yang baik. Alasannya, bisa suatu estimasi

regresi linear menghasilkan koefisien determinasi yang tinggi, tetapi

tidak konsisten dengan teori ekonomika yang dipilih oleh peneliti, atau

tidak lolos dari uji asumsi regresi linear asumsi klasik, misalnya, maka

model tersebut bukanlah model penaksir yang baik dan seharusnya

tidak dipilih menjadi model empirik (Insukindro, 1998).

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian

Pada bagian ini akan diuraikan penafsiran mengenai variabel yang

dipilih oleh peneliti sekaligus dengan definisi operasional dan cara

pengukurannya.

1. Variabel Independen

a. Intensitas Pemeriksaan Pajak (X1)

Pengertian pemeriksaan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 24

sebagai berikut: pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk

mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan

lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan

(13)

pajak sebagai sarana untuk melakukan pengawasan dan pembinaan

terhadap Wajib Pajak, selain mempunyai tujuan untuk menguji tingkat

kepatuhan Wajib Pajak di dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,

juga mempunyai tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan

Perundang-Undangan Perpajakan.

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sangat

penting untuk dilakukan, mengingat sistem perpajakan yang diterapkan

di Indonesia adalah Self Assesment System. Pemeriksaan pajak akan

memberikan partisipasi aktif untuk mengontrol penghitungan pajak

bahkan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Instrumen

pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang

dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan

menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan

menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2)

Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

b. Keadilan (X2)

Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh keadilan yang sama

dalam penerapan sistem perpajakan yang ada di Indonesia. Menurut

Hidayat (2013 : 188) menyatakan bahwa “pemungutan pajak yang adil

berarti pajak yang dipungut harus adil dan merata sehingga harus

sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan

manfaat yang diminta Wajib Pajak dari pemerintah”. Untuk

(14)

memberikan kepastian hukum bagi negara dan warga negaranya. Oleh

karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan atas Undang-Undang

yang disahkan oleh lembaga legislatif. Untuk mewujudkannya,

pemungutan pajak dilandaskan atas Undang-Undang Pasal 23 Ayat 2

UUD 1945. Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah

pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing

pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item

pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1)

Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak

setuju.

c. Kepatuhan Wajib Pajak (X3)

Menurut Erard dan Feinstein yang di kutip oleh Chaizi Nasucha

dan di kemukakan kembali oleh Kurnia (2006 : 111) pengertian

kepatuhan Wajib Pajak adalah “rasa bersalah dan rasa malu, persepsi

Wajib Pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka

tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah”.

Setiap Wajib Pajak sangat diharapkan mampu mematuhi berbagai

Peraturan Undang-Undang Perpajakan. Wajib Pajak yang patuh dan

taat dalam membayar pajak, maka sudah seharusnya memperoleh

keadilan dari penerimaan perpajakan yang diperoleh pemerintah.

Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban

perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka

(15)

di dalam pemenuhannya diberikan secara sukarela. Kepatuhan Wajib

Pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia

menganut

mutlak memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk

menghitung, membayar dan melapor kewajibannya.

Variabel kepatuhan Wajib Pajak menjadi tolok ukur untuk

menentukan seberapa besar kemungkinan Wajib Pajak melakukan

penggelapan pajak (tax evasion). Instrumen pengukuran variabel ini

menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti,

dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing

variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang

terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju,

(5) Sangat tidak setuju.

d. Pengetahuan Wajib Pajak (X4)

Dalam kaitannya dengan Wajib Pajak, kepatuhan dapat

didefinisikan sebagai perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh motivasi. Biasanya motivasi

akan berpengaruh terhadap intensitas perilaku (termotivasi, tanpa

motivasi, dan apatis), dan kesesuaian dengan tujuan perilaku (efektif,

tidak efektif).

Salah satu unsur yang bisa ditekankan oleh aparat dalam

(16)

mensosialisasikan peraturan pajak baik itu melalui penyuluhan, seruan

moral baik dengan media billboard, baliho, maupun membuka situs

peraturan pajak yang setiap saat bisa diakses Wajib Pajak. Sehingga

dengan adanya sosialisasi tersebut pengetahuan Wajib Pajak terhadap

kewajiban perpajakannya bertambah tinggi. Pengetahuan tentang

peraturan perpajakan penting untuk menumbuhkan perilaku patuh,

karena bagaimana mungkin Wajib Pajak disuruh patuh apabila mereka

tidak mengetahui bagaimana peraturan perpajakan, artinya bagaimana

Wajib Pajak disuruh untuk menyerahkan SPT tepat waktu jika mereka

tidak tahu kapan waktu jatuh tempo penyerahan SPT.

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah

pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing

pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item

pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1)

Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak

setuju.

e. Sistem Perpajakan (X5)

Sistem perpajakan di Indonesia diharapkan mampu

meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak untuk menyetorkan pajak

mereka. Sistem perpajakan di Indonesia, telah diterapkan sedemikian

rupa dimana setiap Wajib Pajak harus menghitung, dan menyetorkan

pajak mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya

(17)

kepada setiap Wajib Pajak untuk turut serta dan menjadi Wajib Pajak

yang aktif. Sedangkan yang menjadi kontrolnya adalah pihak fiskus,

sistem ini disebut dengan Self Assesment System. Pajak menurut Pasal

1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan

terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan

tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.

Dengan demikian, sistem perpajakan di Indonesia diharapkan

dapat memberikan motivasi untuk setiap Wajib Pajak bahwa pihak

Ditjen pajak tidak akan menerapkan sebuah sistem yang ribet dan

merepotkan. Analoginya, sebuah sistem perpajakan yang baik akan

memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk membayarkan

kewajiban pajak mereka. Maka dari itu, Instrumen pengukuran

variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan

oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan

masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5

poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4)

(18)

f. Diskriminasi (X6)

Pengertian diskriminasi dalam ruang lingkup hukum hak asasi

manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat dalam Pasal 1

Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau

pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada

pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,

keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau

penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi

manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual

maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,

budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Sedangkan yang dimaksudkan diskriminasi di dalam bidang

perpajakan adalah adanya suatu perlakuan yang beda yang disebabkan

oleh hal-hal tertentu terhadap Wajib Pajak. Mulai dari perbedaan

perlakuan dalam bentuk pelayanan, perbedaan tarif perpajakan, dan

bahkan adanya sikap memberikan peluang untuk melakukan

penggelapan pajak. Oleh karena itu, sebuah sikap ataupun tindakan

diskriminasi menyebabkan etika penggelapan pajak semakin tinggi.

Maka dari itu, Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan

sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana

(19)

Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri

dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5)

Sangat tidak setuju.

g. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan (X7)

G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells

mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended to

financially benefit the deceiver ( 1993 : 3 )” yaitu kecurangan adalah

penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan

kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan

serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat

tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara

finansial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1)

tindakan/the act (2) Penyembunyian/the concealment dan (3)

konversi/the conversion.

Dalam bidang perpajakan, yang dimaksudkan dengan

kecurangan adalah adanya perlakuan untuk melakukan penggelapan

pajak, meminimalisir pajak secara ilegal dan bahkan tidak

mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Instrumen pengukuran variabel

ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh

peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan

masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5

poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4)

(20)

2. Variabel Dependen

a. Etika Penggelapan Pajak (Y)

Salah satu upaya yang dilakukan Wajib Pajak dalam

meminimalisir pajaknya adalah dengan melakukan penggelapan pajak

(tax evasion). Tax evasion adalah perbuatan melanggar

Undang-Undang Perpajakan, misalnya menyampaikan di dalam Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT) jumlah penghasilan yang lebih rendah

daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak

dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya

(overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion

yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak (WP) sama sekali tidak

melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Adanya

perlakuan tax evasion dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tarif pajak

terlalu tinggi, kurang informasinya fiskus kepada WP tentang hak dan

kewajibannya dalam membayar pajak, kurangnya ketegasan

pemerintah dalam menanggapi kecurangan dalam pembayaran pajak

sehingga WP mempunyai peluang untuk melakukan tax evasion.

Penggelapan pajak pada dasarnya dimotivasi oleh tarif yang

terlalu tinggi, tetapi tidak hanya itu melainkan setiap Wajib Pajak tidak

ingin membagi penghasilannya kepada pihak lain. Terlebih lagi apabila

laba yang diperoleh perusahaannya besar, maka pajaknya juga akan

semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan setiap Wajib Pajak

(21)

variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan

oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan

masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5

poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4)

Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

Tabel 3.1

Operasional Variabel penelitian

Variabel Sub Variabel Indikator Butir

Pertanyaan

1.Penerapan pemeriksaan pajak untuk mencegah penggelapan pajak.

1.Pemeriksaan pajak dilakukan atas dasar hukum yang telah ada dan seharusnya dipatuhi.

1.Pemeriksan pajak dilakukan atas dasar sebuah kebijakan yang seharusnya dilaksanakan

1.Prinsip keadilan harus di terapkan di dalam bidang perpajakan.

2.Setiap Wajib Pajak mengharapkan realisasi dari pajak yang mereka setorkan

1.Salah satu yang menjadi parameter di dalam penerapan keadilan tersebut adalah

(22)

Perpajakan. pemberlakuan tarif yang sesuai terhadap setiap Wajib Pajak.

2.Keadilan yang merupakan hak bagi Wajib Pajak sering sekali menjadi sebuah permasalahan karena adanya kasus penggelapan pajak oleh pihak fiskus, seperti korupsi.

1.Kepatuhan Wajib Pajak diharapkan mampu

meningkatkan penerimaan negara dalam sektor perpajakan.

2, 4 Interval

2. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak.

1.Sosialisasi yang diberikan oleh pihak KPP

diharapkan mampu memberikan motivasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

2.Pelayanan yang baik dari pihak Ditjen Pajak akan meningkatkan kepatuhan

1.Setiap Wajib Pajak harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai perpajakan.

2.Pengetahuan Wajib Pajak yang cukup baik, akan mampu menghindari

1.Setiap Wajib Pajak perlu mengetahui asas-asas perpajakan agar mereka memahami pemungutan pajak yang dilakukan oleh

(23)

(2010)). negara.

2. Sistem Pemungutan Pajak.

1.Sistem pemungutan pajak yang diterapkan di

Indonesia membutuhkan kontrol yang ketat.

3, 4 Interval

1.Diskriminasi dapat menyebabkan

penggelapan pajak akan semakin marak untuk dilakukan.

1.Diskriminasi dalam bidang perpajakan disebabkan oleh tindakan fiskus yang memberikan perlakuan yang berbeda-beda kepada setiap Wajib Pajak.

2.Diskriminasi

menyebabkan Wajib Pajak enggan untuk membayar pajak dan tidak percaya lagi kepada pihak fiskus.

1, 2, 6

1.Kecurangan dalam bidang perpajakan salah satunya adalah melakukan penggelapan pajak.

2.Kecurangan dalam bidang perpajakan sangat mudah dilakukan karena sistem perpajakan di Indonesia memberikan kebebasan kepada Wajib Pajak untuk menghitung jumlah hutang pajaknya.

1.Etika penggelapan pajak sangat bergantung pada kinerja fiskus.

2.Penerapan hukum di

2, 4

3, 6

(24)

(2013)). dalam bidang perpajakan, akan sangat

mempengaruhi etika penggelapan pajak.

3.Penggelapan pajak terjadi karena adanya

diskriminasi dan

rendahnya keadilan yang diterapkan.

(25)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan penyebaran

kuesioner sejumlah 50 kuesioner, dengan objek penelitian adalah Wajib

Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama Medan-Polonia yang beralamat di Jalan Sukamulia No. 17-A,

Medan-20151. Sampel diambil dengan metode convenience sampling,

yaitu anggota sampel yang dipilih atau diambil berdasarkan kemudahan

memperoleh data yang dibutuhkan, atau unit sampel yang ditarik mudah

untuk diukurnya dan bersifat kooperatif (Hamid, 2010). Teknik pemilihan

sampel ini dipilih karena pertimbangan lokasi yang mudah untuk

dijangkau sehingga dapat memudahkan peneliti dalam pengumpulan

sampel yang akan digunakan dalam penelitian dan dilakukan dengan

penyebaran atau pembagian kuesioner di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama Medan-Polonia yang di lakukan mulai dari 2 Desember 2014

sampai dengan 24 Desember 2014. Dimana data distribusi sampel

penelitian dapat di lihat dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1

Data Distribusi Sampel Penelitian No. Nama KPP Kuesioner Yang di

Bagikan

Kuesioner Yang di Kembalikan

(26)

Kuesioner yang dibagikan ataupun disebarkan berjumlah 50 buah

kuesioner, dan yang kembali berjumlah 50 buah kuesioner. Dengan

demikian kuesioner yang kembali sejumlah 100% dan kuesioner yang

dapat diolah sejumlah 50 buah kuesioner atau 100%.

Tabel 4.2 Sampel Penelitian

No. Keterangan Wajib Pajak Persentase

1. Jumlah kuesioner yang

disebar 50 100%

2. Jumlah kuesioner yang

tidak kembali 0 0

3. Jumlah kuesioner yang

tidak dapat diolah 0 0

4. Jumlah kuesioner yang

dapat diolah 50 100%

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

2. Data Responden

Karakteristik responden pada penelitian ini diukur dengan skala

interval yang menunjukkan besarnya frekuensi absolut dan persentase

jenis kelamin, umur responden, pendidikan terakhir responden dan jenis

pekerjaan responden. Responden yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Wajib Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Pratama Medan-Polonia. Dalam hal ini peneliti dibantu oleh para pegawai

di yang berkedudukan bagian pelayanan di KPP Pratama Medan-Polonia

untuk melakukan penyebaran kuesioner, dengan tujuan agar kuesioner

tersebut dapat dijawab oleh para Wajib Pajak yang memang memiliki

keseriusan untuk memberikan respon mereka terhadap kuesioner

(27)

berdasarkan kebijakan pegawai. Berdasarkan pegawai disini bermaksud

bahwa para pegawai yang merupakan bagian pelayanan pada KPP Pratama

Medan-Polonia tersebut telah lebih mengenal dan bahkan memahami

karakter setiap Wajib Pajak yang terdaftar, maka dari itu kerja sama

dengan para pegawai tersebut akan sangat membantu proses penelitian ini.

Pada karakteristik reponden, terdapat 50 responden yang terdiri dari para

Wajib Pajak Orang Pribadi yang dapat mewakili dan menjadi responden.

Data mengenai karakteristik responden ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.3

Data Statistik Responden

Deskripsi Jumlah Persentase (%) Jenis Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Tabel di atas menjelaskan mengenai data responden dilihat dari

(28)

responden. Data-data tersebut menjelaskan identitas Wajib Pajak Orang

Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia. Adapun penjelasan

mengenai data responden di jelaskan di dalam gambar grafik sebagai

berikut:

Gambar 4.1

Data Statistik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah

diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi

yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yaitu pria berjumlah 23

responden atau 46% sedangkan wanita berjumlah 27 responden atau 54%.

Hal ini dapat diasumsikan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang

terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia mayoritas yang melakukan

penyetoran pajak adalah wanita.

46% 54%

(29)

Gambar 4.2

Data Statistik Responden Berdasarkan Umur Responden

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah

diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi

yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yaitu yang berumur 20-24

Tahun berjumlah 20 responden atau 40% sedangkan yang berumur 25-35

berjumlah 16 responden atau 32%. Dan yang berumur > 35 Tahun

berjumlah 14 responden atau 28%. Dengan demikian, Wajib Pajak Orang

Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia yang melakukan

penyetoran pajak mayoritas berumur 20-24 Tahun dan ini merupakan

sesuatu hal yang sangat baik, karena ada suatu kesadaran untuk melakukan

pembayaran pajak yang dilakukan oleh responden yang dapat dikatakan

masih berusia lebih muda.

40%

32% 28%

(30)

Gambar 4.3

Data Statistik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah

diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi

yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia menurut jenjang

pendidikan terakhirnya yaitu D3 berjumlah 21 orang atau 42%, S1

berjumlah 19 orang atau 38%, S2 berjumlah 4 orang atau 8%, S3 tidak ada

dan Lainnya berjumlah 4 orang atau 12 %. Dengan demikian, menurut

jenjang pendidikan terakhirnya maka mayoritas Wajib Pajak Orang

Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia adalah yang berasal

dari Diploma 3.

42%

38% 8%

0%

12%

D3

S1

S2

S3

(31)

Gambar 4.4

Data Statistik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan data yang telah

diperoleh, jumlah responden yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi

yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia menurut pekerjaannya yaitu

wiraswasta berjumlah 23 orang atau 46%, pegawai negeri tidak ada, dan

pegawai swasta berjumlah 27 orang atau 54%. Hal ini menunjukkan

bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama

Medan-Polonia dan melakukan penyetoran pajak, mayoritas berasal dari pegawai

swasta berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.

B. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Uji Statistik Deskriptif

Pengukuran statistik deskriptif variabel dilakukan untuk

memberikan gambaran umum mengenai kisaran teoritis, dan beberapa

besaran statistik yang berupa mean, sum, standar deviasi, variance, range,

minimum, maximum, s.e mean, kurtosis dan skweness dari masing-masing 46%

0% 54%

(32)

variabel yaitu: intensitas pemeriksaan pajak, keadilan pajak, kepatuhan

wajib pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi

perpajakan, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi

Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak. Hasil analisis deskriptif

disajikan sebagai berikut:

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil analisis deskriptif dapat dilihat pada tabel di atas, dimana

dapat di ketahui bahwa intensitas pemeriksaan pajak memiliki nilai range

3.75, nilai minimum 1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.6750, nilai

standar deviasi .99904, dan nilai variance .998. Keadilan pajak dengan

sampel 50, memiliki nilai range 3.75, nilai minimum 1.25, nilai maksimum Tabel 4.4

Statistik Deskriptif Descriptive Statistics

N Range Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation Variance Intensitas Pemeriksaan

Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak

50 3.00 1.00 4.00 1.7850 .90211 .814

(33)

5.00, nilai mean 3.6750, nilai standar deviasi .86516, dan nilai variance

.748. Kepatuhan Wajib Pajak memiliki nilai range 3.75, nilai minimum

1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.5600, nilai standar deviasi

.88289, dan nilai variance .779. Pengetahuan Wajib Pajak memiliki nilai

range 3.75, nilai minimum 1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.9300,

nilai standar deviasi .88069, dan nilai variance .776.

Sistem perpajakan memiliki nilai range 3.75, nilai minimum 1.25,

nilai maksimum 5.00, nilai mean 2.8350, nilai standar deviasi .97626, dan

nilai variance .953. Diskriminasi perpajakan memiliki nilai range 3.75,

nilai minimum 1.25, nilai maksimum 5.00, nilai mean 3.3150, nilai standar

deviasi 1.01997, dan nilai variance 1.040. Kemungkinan terdeteksinya

kecurangan memiliki nilai range 3.00, nilai minimum 1.00, nilai

maksimum 4.00, nilai mean 2.4450, nilai standar deviasi .86202, dan nilai

variance .743. Persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak

memiliki nilai range 3.00, nilai minimum 1.00, nilai maksimum 4.00, nilai

mean 1.7850, nilai standar deviasi .90211, dan nilai variance .814.

Dengan demikian hasil analisis deskriptif tersebut menunjukkan

bahwa N merupakan banyaknya sampel yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi

yang terdaftar di KPP Pratama Medan-Polonia. Nilai range menunjukkan

besarnya rentangan nilai yang dicapai pada setiap variabel, nilai minimum

menunjukkan nilai terkecil dari setiap variabel, sedangkan nilai maksimum

menunjukkan nilai terbesar dari setiap variabel. Nilai mean menunjukkan

(34)

menunjukkan besarnya simpangan baku dan skor untuk setiap variabel,

dan nilai variance menunjukkan besarnya kuadrat simpangan baku untuk

masing-masing variabel.

2. Hasil Uji Kualitas Data a. Hasil Uji Validitas

Pengujian validitas dari instrumen penelitian dilakukan dengan

menghitung angka korelasional atau r hitung dari nilai jawaban setiap

responden untuk setiap butir pertanyaan, kemudian dibandingkan

dengan r tabel. Nilai r tabel 0,284, didapat dari jumlah sampel yaitu 50

kemudian dikurangkan 2 untuk mengetahui tingkat df, atau 50-2 = 48,

tingkat signifikansi 5%, maka didapat r tabel 0.284. Setiap butir

pertanyaan dikatakan valid bila angka korelasional yang diperoleh dari

perhitungan lebih besar atau sama dengan r tabel (Imam Ghozali,

2011:53). Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa semua

pertanyaan dikatakan valid, karena koefisien korelasi (r hitung) > r

tabel

.

Tabel di bawah ini menunjukkan hasil uji validitas dari variabel

Intensitas Pemeriksaan Pajak dengan sampel berjumlah 50.

Tabel 4.5

Hasil Uji Validitas Variabel Intensitas Pemeriksaan Pajak

Item Pertanyaan

(35)

Hasil uji validitas variabel intensitas pemeriksaan pajak dapat

dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang

terkait dengan variabel intensitas pemeriksaan pajak dapat dikatakan

valid karena seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada

harga koefisien r tabel. Untuk IPP1 harga koefisien r hitung 0.699 >

0.284 r tabel maka dinyatakan valid begitu juga dengan IPP2 (0.841 >

0.284), IPP3 (0.777 > 0.284), dan IPP4 (0.850 > 0.284).

Tabel 4.6

Hasil Uji Validitas Variabel Keadilan Pajak

Item Pertanyaan

Harga Koefisien r

Hitung

Harga Koefisien r

Tabel

Simpulan

KPP1 0.624 0.284 Valid

KPP2 0.913 0.284 Valid

KPP3 0.813 0.284 Valid

KPP4 0.740 0.284 Valid

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil uji validitas variabel keadilan pajak dapat dilihat pada

tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait dengan

variabel keadilan pajak dapat dikatakan valid karena seluruh harga

koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r tabel. Untuk

KPP1 harga koefisien r hitung 0.624 > 0.284 r tabel maka dinyatakan

valid begitu juga dengan KPP2 (0.913 > 0.284), KPP3 (0.813 > 0.284),

(36)

Tabel 4.7

Hasil Uji Validitas Variabel Kepatuhan Wajib Pajak

Item Pertanyaan

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil uji validitas variabel kepatuhan wajib pajak dapat dilihat

pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait

dengan variabel kepatuhan wajib pajak dapat dikatakan valid karena

seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r

tabel. Untuk KWPP1 harga koefisien r hitung 0.860 > 0.284 r tabel

maka dinyatakan valid begitu juga dengan KWPP2 (0.821 > 0.284),

KWPP3 (0.828 > 0.284), dan KWPP4 (0.679 > 0.284).

Tabel 4.8

Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan Wajib Pajak

Item Pertanyaan

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil uji validitas variabel pengetahuan wajib pajak dapat

dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang

terkait dengan variabel pengetahuan wajib pajak dapat dikatakan valid

(37)

koefisien r tabel. Untuk PWPP1 harga koefisien r hitung 0.728 > 0.284

r tabel maka dinyatakan valid begitu juga dengan PWPP2 (0.917 >

0.284), PWPP3 (0.863 > 0.284), dan PWPP4 (0.900 > 0.284).

Tabel 4.9

Hasil Uji Validitas Variabel Sistem Perpajakan

Item Pertanyaan

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil uji validitas variabel sistem perpajakan dapat dilihat pada

tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait dengan

variabel sistem perpajakan dapat dikatakan valid karena seluruh harga

koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r tabel. Untuk

SPP1 harga koefisien r hitung 0.834 > 0.284 r tabel maka dinyatakan

valid begitu juga dengan SPP2 (0.822 > 0.284), SPP3 (0.761 > 0.284),

dan SPP4 (0.750 > 0.284).

Tabel 4.10

Hasil Uji Validitas Variabel Diskriminasi Perpajakan

Item Pertanyaan

(38)

Hasil uji validitas variabel diskriminasi perpajakan dapat dilihat

pada tabel di atas. Dengan demikian semua pertanyaan yang terkait

dengan variabel diskriminasi perpajakan dapat dikatakan valid karena

seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r

tabel. Untuk DPP1 harga koefisien r hitung 0.877 > 0.284 r tabel maka

dinyatakan valid begitu juga dengan DPP2 (0.865 > 0.284), DPP3

(0.709 > 0.284), dan DPP4 (0.611 > 0.284).

Tabel 4.11

Hasil Uji Validitas Variabel Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil uji validitas variabel kemungkinan terdeteksinya

kecurangan dapat dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian semua

pertanyaan yang terkait dengan variabel kemungkinan terdeteksinya

kecurangan dapat dikatakan valid karena seluruh harga koefisien r

hitung lebih besar dari pada harga koefisien r tabel. Untuk DPP1 harga

koefisien r hitung 0.727 > 0.284 r tabel maka dinyatakan valid begitu

juga dengan KTKP2 (0.854 > 0.284), KTKP3 (0.755 > 0.284), dan

(39)

Tabel 4.12

Hasil Uji Validitas Variabel Persepsi Wajib pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Hasil uji validitas variabel persepsi wajib pajak mengenai etika

penggelapan pajak dapat dilihat pada tabel di atas. Dengan demikian

semua pertanyaan yang terkait dengan variabel persepsi wajib pajak

mengenai etika penggelapan pajak dapat dikatakan valid karena

seluruh harga koefisien r hitung lebih besar dari pada harga koefisien r

tabel. Untuk DPP1 harga koefisien r hitung 0.917 > 0.284 r tabel maka

dinyatakan valid begitu juga dengan PWPMEPPP2 (0.696 > 0.284),

PWPMEPPP3 (0.889 > 0.284), dan PWPMEPPP4 (0.890 > 0.284).

b. Hasil Uji Reliabilitas

Suatu instrumen penelitian atau alat ukur dikatakan memiliki

reliabilitas yang tinggi atau baik apabila instrumen penelitian atau alat

ukur tersebut selalu memberikan hasil yang sama ketika digunakan

berkali-kali, baik oleh peneliti yang sama maupun oleh peneliti yang

berbeda. Oleh karena itu, pengujian reliabilitas instrumen penelitian

atau angket dimaksudkan untuk mengetahui tingkat konsistensi atau

keajegan hasil yang diperoleh dari penggunaan alat ukur tersebut.

(40)

memberikan hasil pengukuran yang relatif sama apabila dilakukan

pengulangan atas penggunaan instrumen atau alat ukur tersebut.

Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini untuk menunjukan

tingkat reliabilitas konsistensi internal teknik yang digunakan adalah

dengan mengukur koefisien Cronbach’s Alpha dengan bantuan

program SPSS 22. Nilai alpha bervariasi dari 0–1, suatu pertanyaan

dapat dikategorikan reliabel jika nilai alpha lebih besar dari 0.70 dalam

(Ghozali, 2011 : 48).

Tabel 4.13 Hasil Uji Reliabilitas

Variabel Cronbach’s

Alpha N of items Keterangan

Intensitas

Pemeriksaan Pajak 0.813 4 Reliabel

Keadilan Pajak 0.804 4 Reliabel

Kepatuhan Wajib

Pajak 0.812 4 Reliabel

Pengetahuan Wajib

Pajak 0.829 4 Reliabel

Sistem Perpajakan 0.812 4 Reliabel

Diskriminasi

Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak

0.826 4 Reliabel

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Dari tabel 4.13 tersebut dapat dilihat hasil dari uji reliabilitas

dimana variabel intensitas pemeriksaan pajak memiliki nilai

(41)

alpha 0.804, kepatuhan wajib pajak memiliki nilai cronbach’s alpha

0.812, pengetahuan wajib pajak memiliki nilai cronbach’s alpha

0.829, sistem perpajakan memiliki nilai cronbach’s alpha 0.812,

diskriminasi perpajakan memiliki nilai cronbach’s alpha 0.806,

kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki nilai cronbach’s

alpha 0.805, dan persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan

pajak memiliki nilai cronbach alpha 0.826. Dengan demikian semua

variabel tersebut adalah reliabel karena memiliki cronbach’s alpha

lebih besar dari 0.70.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap item pertanyaan yang

digunakan akan mampu memperoleh data yang konsisten yang berarti

bila pertanyaan itu diajukan kembali akan diperoleh jawaban yang

relatif sama dengan jawaban sebelumnya. Uji validitas digunakan

untuk mengetahui apakah item-item pertanyaan yang ada di dalam

kuesioner mampu mengukur perubahan yang didapatkan dalam

penelitian ini (Ghozali dalam Suryani, 2011 : 45).

3. Hasil Uji Asumsi Klasik a. Hasil Uji Normalitas

Ada beberapa hal yang perlu dikaji berkaitan dengan

normalitas sehingga memperoleh gambaran yang lebih lengkap.

Pembahasan yang berkaitan dengan normalitas antara lain berupa,

kurva normal dan juga pengujian normalitas itu sendiri. Uji normalitas

(42)

yaitu intensitas pemeriksaan pajak, keadilan pajak, kepatuhan wajib

pajak, pengetahuan wajib pajak, sistem perpajakan, diskriminasi

perpajakan, kemungkinan terjadi kecurangan dan persepsi wajib pajak

mengenai etika penggelapan pajak semuanya memiliki distribusi

normal atau tidak, berikut ini gambar grafik uji normalitas data pada

grafik pp – plot.

Gambar 4.5

Hasil Uji Normalitas Data

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Berdasarkan plot di atas yang merupakan hasil dari pengujian

SPSS 22, maka dapat dilihat pada grafik plot tersebut terlihat titik-titik

(43)

disimpulkan bahwa model regresi ini memenuhi asumsi normalitas.

Dengan demikian, setiap variabel bergerak mengikuti garis diagonal

secara normal.

Gambar 4.6

Hasil Uji Normalitas Data

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Selain itu histogram ini juga membuktikan bahwa data tersebut

berdistribusi secara normal. Gambar histogram ini menunjukkan

bahwa pola distribusinya melenceng ke kanan yang artinya adalah data

(44)

Tabel 4.14

Hasil Uji Normalitas Data Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak

.215 50 .218 .806 50 .135

a. Lilliefors Significance Correction

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Untuk lebih memahami dan memberikan keyakinan yang lebih

baik bahwa data tersebut berdistribusi secara normal, maka dapat di

lihat bahwa tabel signifikansi pada kalmogrov-smirnov dan

Shapiro-wilk di atas tingkat signifikansinya lebih tinggi jika dibandingkan

dengan tingkat signifikansi alpha (0.05). Hal ini dapat di lihat bahwa

pada variabel intensitas pemeriksaan pajak nilai signifikansi 0.102 >

0.05, kemudian keadilan pajak memiliki tingkat signifikansi 0.230 >

0.05 maka variabel ini berdistribusi normal, begitu juga dengan nilai

(45)

b. Hasil Uji Multikolinearitas

Ada tidaknya hubungan atau korelasi antarvariabel independen

atau variabel bebas (multikolinearitas) dapat diketahui atau dideteksi

dengan memanfaatkan statistik korelasi Variance Inflation factor

(VIF). VIF dalam hal ini merupakan suatu harga koefisien statistik

yang menunjukkan pada Collinearity. Cara ini dapat dilakukan dengan

melihat apakah harga masing-masing VIP untuk masing-masing

variabel independen lebih besar dari pada 10 atau tidak. Apabila harga

koefisien VIP untuk masing-masing variabel independen lebih besar

daripada 10, maka variabel tersebut di indikasikan memiliki gejala

multikolinearitas. Dari hasil statistik yang telah dilakukan dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4.15

Hasil Uji Multikolinearitas Data

Coefficientsa

(46)

Tabel 4.15 memaparkan hasil dari pengujian untuk mengetahui

apakah setiap variabel tersebut memiliki hubungan multikolinearitas

atau tidak, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua variabel tersebut

tidak ada yang memiliki hubungan multikolinearitas. Hal ini dapat

dilihat dari nilai VIP pada tabel Collinearity Statistics. Pada tabel

tersebut tidak ada variabel independen yang memiliki nilai VIP lebih

dari 10. Intensitas pemeriksaan pajak memiliki nilai VIP 1.737,

keadilan pajak memiliki nilai VIP 2.553, kepatuhan wajib pajak

memiliki nilai 3.069, pengetahuan wajib pajak memiliki nilai VIP

2.246, sistem perpajakan memiliki nilai VIP 2.033, diskriminasi

perpajakan memiliki nilai VIP 2.695, dan kemungkinan terdeteksinya

kecurangan memiliki nilai VIP 1.646. Dengan demikian, pada data

tersebut tidak terdapat multikolinearitas karena secara keseluruhan

nilai VIP pada tabel tersebut kurang dari 10.

c. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Dengan menggunakan bantuan program SPSS 22 untuk

mengecek ada atau tidaknya heteroskedastisitas dengan rumus Rank

Order dari Spearman, maka perhitungan yang diperlukan untuk

menguji hipotesis tersebut dilakukan dengan tiga tahap. Pada tahap

pertama yaitu menghitung nilai residual masing-masing variabel

independen, tahap kedua menghitung nilai absolut dari residual

masing-masing variabel independen, dan tahap ketiga menghitung

(47)

variabel dengan nilai absolutnya. Perhitungan tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4.16

Hasil Uji Heteroskedastisitas Data Coefficientsa

a. Dependent Variable: Ares

Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Untuk menentukan apakah variabel tersebut memiliki

hubungan heteroskedastisitas atau tidak, maka dapat dilihat dari tingkat

signifikansi yang terdapat pada tabel tersebut. Apabila nilai

signifikansi di tabel lebih besar daripada nilai signifikansi alpha (0.05)

maka tidak terjadi heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan

(48)

lebih kecil daripada nilai signifikansi alpha (0.05) maka terjadi

heteroskedastisitas diantara data pengamatan dengan nilai residual

mutlaknya. Intensitas pemeriksaan pajak dengan nilai signifikansi

(0.146 > 0.05), keadilan pajak dengan nilai signifikansi (0.328 > 0.05),

kepatuhan wajib pajak dengan nilai signifikansi (0.903 > 0.05),

pengetahuan wajib pajak dengan nilai signifikansi (0.942 > 0.05),

sistem perpajakan dengan nilai signifikansi (0.300 > 0.05),

diskriminasi perpajakan dengan nilai signifikansi (0.492 > 0.05), dan

kemungkinan terdeteksinya kecurangan dengan nilai signifikansi

(0.402 > 0.05). Dengan demikian, tidak terjadi heteroskedastisitas

diantara data pengamatan dengan nilai residual mutlaknya.

4. Hasil Uji Regresi Linier Berganda

Regresi linier berganda digunakan untuk memodelkan hubungan

antara variabel dependen dengan variabel independen, dengan jumlah

variabel independen lebih dari satu. Secara umum, analisis regresi

biasanya adalah studi mengenai ketergantungan variabel dependen dengan

satu atau lebih variabel independen dengan tujuan untuk mngestimasi dan

atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen

berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui. Model regresi

berganda bertujuan untuk memprediksi besar variabel dependen dengan

menggunakan data variabel independen yang sudah diketahui besarnya

(49)

Tabel 4.17

Hasil Uji Regresi Linier Berganda

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients Standardized Coefficients

B Std. Error Beta

(Constant) 2.468 2.327

Intensitas Pemeriksaan Pajak -.047 .130 -.052

Keadilan pajak .115 .182 .110

Kepatuhan Wajib Pajak -.128 .195 -.125

Pengetahuan Wajib Pajak -.080 .159 -.082

Sistem Perpajakan -.327 .144 -.354

Diskriminasi Perpajakan .249 .159 .282

Kemungkinan Terdeteksinya

Kecurangan -.625 .147 -.597

a. Dependent Variable: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Koefisien regresi pada variabel keadilan berarah negatif dan

signifikan sebesar –0.047, hal ini berarti jika variabel intensitas

pemeriksaan pajak bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib

pajak mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar 0.047 satuan

atau sebesar 4.7%. Koefisien regresi pada variabel keadilan pajak berarah

positif dan signifikan sebesar 0.115, hal ini berarti jika variabel keadilan

pajak bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib pajak mengenai

etika penggelapan pajak bertambah sebesar 0.115 satuan atau sebesar

11.5%. Koefisien regresi pada variabel kepatuhan wajib pajak berarah

negatif dan signifikan sebesar -0.128, hal ini berarti jika variabel

(50)

pajak mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar 0.128 satuan

atau sebesar 12.8%. Koefisien regresi pada variabel pengetahuan wajib

pajak berarah negatif dan signifikan sebesar -0.080, hal ini berarti jika

variabel pengetahuan wajib pajak bertambah satu satuan maka variabel

persepsi wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar

0,080 satuan atau sebesar 8%.

Koefisien regresi pada variabel sistem perpajakan berarah negatif

dan signifikan sebesar -0.327, hal ini berarti jika variabel sistem

perpajakan bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib pajak

mengenai etika penggelapan pajak berkurang sebesar 0.327 satuan atau

sebesar 32.7%. Koefisien regresi pada variabel diskriminasi perpajakan

berarah positif dan signifikan sebesar 0.249, hal ini berarti jika variabel

diskriminasi perpajakan bertambah satu satuan maka variabel persepsi

wajib pajak mengenai etika penggelapan pajak bertambah sebesar 0.249

satuan atau sebesar 24.9%. Koefisien regresi pada variabel kemungkinan

terdeteksinya kecurangan berarah negatif dan signifikan sebesar -0.625,

hal ini berarti jika variabel kemungkinan terdeteksinya kecurangan

bertambah satu satuan maka variabel persepsi wajib pajak mengenai etika

penggelapan pajak berkurang sebesar 0.625 satuan atau sebesar 62.5%.

Berdasarkan hasil uji persamaan regresi berganda maka dapat dilihat

variabel independen yang paling dominan mempengaruhi persepsi wajib

pajak mengenai etika penggelapan pajak adalah variabel diskriminasi

(51)

5. Hasil Uji Hipotesis Penelitian

a. Hasil Uji Statistik t (Uji Signifikansi Parsial)

Uji statistik t berguna untuk menguji pengaruh dari

masing-masing variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen.

Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh masing-masing variabel

independen secara parsial terhadap variabel dependen dapat dilihat

pada tingkat signifikansi 0.05. Hasil uji statistik t dapat dilihat pada

tabel 4.18, jika nilai probability t < 0.05 maka Ha diterima, sedangkan

jika nilai probability t > 0.05 maka Ha ditolak. (Ghozali, 2011: 101).

Tabel 4.18

Hasil Uji Statistik t (Uji Signifikansi Parsial)

Coefficientsa

Model

Intensitas Pemeriksaan Pajak -.047 .130 -.052 -3.363 .018

Keadilan pajak .115 .182 .110 2.632 .031

a. Dependent Variable: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak Sumber Data: Data Primer yang diolah, 2014.

Berdasarkan hasil pengujian dari tabel 4.18, maka dapat ditarik

(52)

1. Hasil Uji Hipotesis Satu: Intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

Hasil uji hipotesis 1 yang ditunjukkan pada tabel 4.18, variabel

intensitas pemeriksaan pajak mempunyai tingkat signifikasi sebesar

0.018 dan nilai t sebesar -3.363. Hal ini berarti Ha1 diterima sehingga

dapat dikatakan bahwa intensitas pemeriksaan pajak berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak karena tingkat

signifikasi yang dimiliki variabel intensitas pemeriksaan pajak < 0.05

(0.018 < 0.05) dan nilai t hitung > 1.68 (-3.363 > 1.68). Intensitas

pemeriksaan pajak merupakan salah satu aplikasi ataupun tindakan

antisipasi untuk mencegah terjadinya penggelapan pajak. Semakin

intensif pemeriksaan pajak dilakukan maka setiap Wajib Pajak akan

semakin takut untuk melakukan penggelapan pajak. Pada dasarnya,

penerapan self assessment system harus memiliki kontrol yang tinggi

dan salah satunya dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas

pemeriksaan pajak.

Pada penelitian ini, hipotesis diterima bahwa intensitas

pemeriksaan pajak berpengaruh negatif. Apabila pihak fiskus

melakukan pemeriksaan secara baik maka penggelapan pajak dapat di

minimalisir. Singkatnya, intensitas pemeriksaan pajak akan

memberikan peranan yang lebih baik untuk menghindarkan terjadinya

penggelapan pajak. Tidak terbatas hanya berfokus pada Wajib Pajak,

(53)

penerapan Undang-Undang Perpajakan juga. Dengan demikian, segala

tindakan yang tidak baik dalam bidang perpajakan harus dilakukan

evaluasi baik bagi pihak pemerintahan maupun pihak Wajib Pajak.

2. Hasil Uji Hipotesis Dua: Keadilan berpengaruh positif terhadap etika penggelapan pajak.

Hasil uji hipotesis 2 yang ditunjukkan pada tabel 4.18, variabel

keadilan pajak mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0.031 dan nilai t

sebesar 2.632. Hal ini berarti Ha2 diterima sehingga dapat dikatakan

bahwa keadilan pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap etika

penggelapan pajak karena tingkat signifikasi yang dimiliki variabel

keadilan pajak < 0.05 (0.031 < 0,05) dan nilai t hitung > 1.68 (2.632 >

1.68). Keadilan pajak ataupun tax fairness diharapkan mampu

meningkatkan kesadaran Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran

pajak. Apabila keadilan yang diberikan oleh pihak Ditjen pajak

semakin baik, maka penggelapan pajak akan semakin berkurang

tentunya.

Kadang kala penggelapan pajak dianggap suatu hal yang etis

ataupun tidak etis tergantung bagaimana pemerintah mengelola dana

yang bersumber dari pajak negara, dimana masyarakat/WP

menganggap bahwa perwujudan keadilan dalam perpajakan belumlah

maksimal. Dalam hal ini Pemerintah harus mengantisipasi masalah

yang sangat mendasar yang selalu dijumpai dalam pemungutan dan

(54)

keadilan pajak, hal ini tidak mudah diterapkan karena keadilan

memiliki perspektif yang sangat luas, dimana menurut Siahaan dalam

Suryani (2010 : 114) keadilan antara masing-masing individu

berbeda-beda.

Keadilan di dalam bidang perpajakan memiliki pemahaman

yang cukup luas dan sulit untuk di deskripsikan. Namun demikian,

tidak dapat dipungkiri bahwa keadilan akan dapat dirasakan oleh

masyarakat apabila telah direalisasikan. Pertanyaan yang sangat

mendasar adalah, sejauh mana pemerintah sudah mampu memberikan

keadilan yang layak untuk diterima masyarakat atas dana perpajakan

yang telah mereka setorkan dan sejauh mana pula masyarakat telah

melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak untuk melakukan

penyetoran pajak. Dengan demikian masalah keadilan ini memang

harus lebih diperhatikan oleh pemerintah.

Setidaknya ada tiga aspek keadilan yang perlu diperhatikan

dalam penerapan pajak, yaitu: pertama, keadilan dalam penyusunan

undang-undang pajak terkait penyusunan undang-undang merupakan

salah satu penentu dalam mewujudkan keadilan perpajakan, karena

dengan melihat proses dan hasil akhir pembuatan undang-undang

pajak yang kemudian diberlakukan masyarakat akan dapat melihat

apakah pemerintah juga mengakomodasi kepentingan WP dalam

penetapan peraturan perpajakan, seperti ketentuan tentang siapa yang

(55)

pembayaran pajak, tindakan yang dapat diberlakukan oleh fiskus

kepada WP, sanksi yang mungkin dikenakan kepada WP yang tidak

melaksanakan kewajibannya secara tidak benar, hak WP, perlindungan

WP dari tindakan fiskus yang dianggapnya tidak sesuai dengan

ketentuan, keringanan pajak yang dapat diberikan kepada WP, dan hal

lainnya (Suryani, 2013).

Kedua, keadilan dalam penerapan ketentuan perpajakan yang

merupakan hal yang harus diperhatikan benar oleh Negara/pemerintah

sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh hukum pajak untuk

menarik/memungut pajak dari masyarakat. Dalam mencapai keadilan

ini, Negara/pemerintah melalui fiskus harus memahami dan

menerapkan asas-asas pemungutan pajak dengan baik. Ketiga, keadilan

dalam penggunaan uang pajak yang menjadi tolok ukur penerapan

keadilan perpajakan, berkaitan dengan harapan sampai dimana manfaat

dari pemungutan pajak tersebut dipergunakan untuk kepentingan

masyarakat banyak.

Keadilan yang bersumber pada penggunaan uang pajak sangat

penting karena membayar pajak tidak menerima kontraprestasi secara

langsung yang “dapat” ditunjuk atau yang seimbang pada saat

membayar pajak. Sehingga manfaat pajak untuk pelayanan umum dan

kesejahteraan umum harus benar-benar mendapatkan perhatian dan

dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang menjadi

(56)

menilai keadilan di dalam penggunaan uang pajak oleh pemerintah

(Suryani, 2013).

3. Hasil Uji Hipotesis Tiga: Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif terhadap etika penggelapan pajak.

Hasil uji hipotesis 3 yang ditunjukkan pada tabel 4.18, variabel

kepatuhan Wajib Pajak mempunyai tingkat signifikasi sebesar 0.018

dan nilai t sebesar -2.652. Hal ini berarti Ha3 diterima sehingga dapat

dikatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap etika penggelapan pajak karena tingkat signifikasi

yang dimiliki variabel kepatuhan Wajib Pajak < 0.05 (0.018 < 0.05)

dan nilai t hitung > 1.68 (-2.652 > 1.68). Setiap Wajib Pajak yang

memiliki kesadaran yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak,

diasumsikan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi pula untuk

melakukan pembayaran pajak dan mematuhi undang-undang

perpajakan yang dibuat oleh pemerintah.

Kepatuhan Wajib Pajak memiliki hubungan yang negatif

dengan etika penggelapan pajak. Mereka yang mematuhi

undang-undang perpajakan akan mampu menyadari kewajibannya sebagai

Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran pajak. Dengan demikian,

semakin tinggi tingkat kepatuhan Wajib Pajak maka akan semakin

minim tingkat penggelapan pajak. Baik kepatuhan secara materil

maupun formal memiliki hubungan yang negatif dengan etika

Gambar

Tabel 3.1 Operasional Variabel penelitian
Tabel 4.1  Data Distribusi Sampel Penelitian
Tabel 4.2 Sampel Penelitian
Tabel 4.3 Data Statistik Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena yang dijumpai dilapangan menunjukkan bahwa pembelajaran anti korupsi dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (Pkn) belum sesuai dengan apa yang

Sekarang ini perkembangan pelaku usaha dalam mendirikan jasa depot air isi ulang terus meningkat dikarenakan air isi ulang memudahkan konsumen dalam hal penyiapan

3 AISA Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk 55 KAEF Kimia Farma Tbk 4 AKKU Alam Karya Unggul Tbk 56 KARW Karwell Indonesia Tbk 5 AKPI Argha Karya Prima Industry Tbk 57 KBLI KMI Wire and

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas ditandai dengan keluarga klien mengatankan klien sesak napas, pasien tampak penurunan kesadaran, dengan nilai GCS

Batas maksimum cemaran bakteri Coliform pada teh kering dalam kemasan. Universitas

Hasil percobaan tersebut sesuai dengan teori, dimana dengan adanya penambahan suatu zat terlarut yang non volatil pada pelarut murni, maka titik beku dari larutan akan lebih rendah

disimpulkan bahwa masih tingginya impor bahan baku dan barang modal di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh masih besarnya ketergantungan proses produksi dalam

bakteri golongan coli dapat dilihat dengan menghitung tabung yang menunjukkan. reaksi positif terbentuk asam dan gas dan dibandingkan dengan