• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Gizi Kurang pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Gizi Kurang pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

Status gizi berarti keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang

ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu

(Soekirman, 2000). Sedangkan menurut Supariasa dkk. (2002), satus gizi adalah

ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan

dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu dan merupakan indeks yang statis dan

agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan dalam waktu yang

pendek misalnya dalam sebulan.

Menurut Depkes RI (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan

seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan penggunaan zat gizi yang

berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat didasarkan pada kategori dan

indikator yang digunakan. Menurut Suharjo (2003), status gizi adalah keadaan

kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik dan

energi serta zat gizi lainnya yang diperoleh dari pangan, makanan dan fisiknya dapat

diukur secara antropometri. Menurut Almatsier (2009), status gizi adalah keadaan

tubuh sebagai akibat konsumsi makan dan penggunaan zat-zat gizi dan gangguan

gizi terjadi baik pada status gizi kurang maupun status gizi lebih. Status gizi balita

(2)

misalnya anak tersebut gizi kurang (underweight), kurus (wasted), pendek (stunted)

atau gizi lebih (overweight).

2.2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi, secara garis besar dibedakan atas 2 jenis yaitu: (1)

penilaian status gizi secara langsung yang terdiri dari: biokimia, klinis, antropometri,

dan biofisik, (2) penilaian status gizi secar tidak langsung terdiri dari: survei

konsumsi makanan, statistik vital dari faktor ekologi. Penggunaan metode penilaian

status gizi dengan pertimbangan tujuan unit sampel, jenis informasi tingkat

reliabilitas dan akurasi, ketersediaan fasilitas dan peralatan, tenaga dan waktu

penilaian.

Menurut Siagian (2010), penilaian status gizi balita yang paling sering

dilakukan adalah dengan cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk

melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.

Menurut Gibson (2005) salah satu metode untuk menilai status gizi secara

langsung adalah dengan antropometri. Antropometri berarti ukuran tubuh manusia,

sehingga antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran

dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Indeks antropometri yang direkomendasikan antara lain: berat badan menurut

(3)

umur (TB/U), lingkar lengan atas (LILA), lingkar dada menurut umur (LIDA),

lingkar kepala (LIKA), tebal lemak bawah kulit menurut umur dan rasio lingkar

panggul dengan pinggul.

2.2.1 Indeks Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tanggal 30

Desember 2010 Nomor : 1995/Menkes/SK/XII/2010 bahwa status gizi balita diukur

berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dan indeks massa tubuh

(IMT). Variabel ini disajikan dalam bentuk yaitu : berat badan menurut umur (BB/U),

panjang badan menurut umur (PB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan

berat badan menurut panjang badan (BB/PB), berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB) dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U).

a. Berdasarkan Kategori BB/U

Kategori gizi buruk Z-Score < -3 SD

Kategori gizi kurang Z-Score -3 SD sampai dengan < -2 SD

Kategori gizi baik Z-Score -2 SD sampai dengan 2 SD

Kategori gizi lebih Z-Score > 2 SD

b. Berdasarkan Kategori PB/U dan TB/U

Kategori sangat pendek Z-Score < -3 SD

Kategori pendek Z-Score -3 SD sampai dengan < -2 SD

Kategori normal Z-Score -2 SD sampai dengan 2 SD

(4)

c. Berdasarkan Kategori BB/PB dan BB/TB

Kategori sangat kurus Z-Score < -3 SD

Kategori kurus Z-Score -3 SD sampai dengan < -2 SD

Kategori normal Z-Score -2 SD sampai dengan 2 SD

Kategori gemuk Z-Score > 2 SD

Menurut Depkes RI (2008), status gizi balita berdasarkan indikator BB/U

memberikan gambaran tentang status gizi bersifat umum, tidak spesifik. Tinggi

rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya

masalah gizi pada balita, namun tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi

tersebut bersifat akut atau kronis.

Status gizi yang didasarkan pada indikator BB/TB menggambarkan status gizi

bersifat akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek

seperti menurunnya nafsu makan akibat sakit atau karena menderita diare. Dalam

keadaan demikian berat badan anak akan cepat turun, sehingga tidak proporsional

dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus. Selain mengindikasikan masalah

gizi bersifat akut, juga dapat digunakan sebagai indikator kegemukan. Dalam hal ini

berat badan akan melebihi proporsi normal terhadap tinggi badan. Besarnya masalah

kekurusan (kurus dan sangat kurus) pada balita yang masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat adalah jika prevalensi kekurusan >5%. Masalah kesehatan

masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kekurusan antara 10,1%-15,0%

(5)

Status gizi berdasarkan indikator TB/U menggambarkan status gizi bersifat

kronis, sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan,

perilaku pola asuh yang kurang baik, sering menderita penyakit secara berulang

karena higiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.

2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Anak Balita

Akar masalah faktor penyebab gizi kurang adalah krisis ekonomi, politik dan

sosial. Hal tersebut menyebabkan terjadinya berbagai masalah pokok dalam

masyarakat, seperti: (a) pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan,

(b) kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumber daya

masyarakat serta (c) kurang pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan.

Masalah-masalah pokok pada masyarakat menyebabkan 3 (tiga) hal sebagai penyebab tidak

langsung kurang gizi, yaitu (1) tidak cukup persediaan pangan, (2) pola asuh anak

tidak memadai, dan (3) sanitasi dan air bersih, pelayanan kesehatan dasar tidak

memadai. Timbulnya ketiga masalah tersebut mengakibatkan makanan tidak

seimbang serta menimbulkan penyakit infeksi sebagai penyebab langsung kurang gizi

(UNICEF, 1998).

Menurut Suhardjo (2003) faktor-faktor yang memengaruhi status gizi adalah :

(1) faktor pertanian yang meliputi seluruh usaha pertanian mulai dari penanaman

sampai dengan produksi dan pemasaran; (2) faktor ekonomi, yaitu besarnya

pendapatan keluarga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga;

(6)

yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan tertentu, kesukaan terhadap jenis

makanan tertentu; (4) faktor fisiologi, yaitu metabolisme zat gizi dan pemanfaatannya

oleh tubuh, keadaan kesehatan seseorang, adanya keadaan tertentu misalnya hamil

dan menyusui; dan (5) faktor infeksi, yaitu adanya suatu penyakit infeksi dalam

tubuh.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap status gizi selain faktor-faktor diatas

adalah besar keluarga, pengetahuan gizi dan tingkat pendidikan seseorang (Suhardjo,

2003). Besar keluarga meliputi banyaknya jumlah individu dalam sebuah keluarga,

pembagian makan dalam keluarga dan jarak kelahiran anak.

Pengetahuan gizi akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan

sehari-hari dalam menyediakan kebutuhan pangan, sedangkan tingkat pendidikan seseorang

akan memengaruhi daya nalar seseorang dalam interpretasi terhadap suatu hal.

Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan yang erat dengan

pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi mungkin

akan dapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh kembang dengan baik. Membesarkan

anak sehat tidak hanya dengan kasih sayang belaka namun seorang ibu perlu

keterampilan yang baik. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan kemampuan untuk

menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan penyebab kejadian

gangguan kurang gizi (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Soekirman (2000), faktor penyebab kurang gizi atau yang

(7)

1. Penyebab langsung, yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin

diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang,

tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan cukup baik, tetapi

sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi.

Demikian juga pada anak yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan

tubuhnya akan melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang

dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi.

2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan

anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan..

Beberapa variabel yang merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian kurang gizi pada anak balita sebagai berikut:

a. Asupan Zat Gizi

Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan zat-zat gizi pada tingkat sel

dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi yang tepat yang diperlukan tubuh untuk

tumbuh, berkembang dan berfungsi normal. Makanan yang ideal harus mengandung

cukup energi dan semua zat gizi esensial (komponen bahan makanan yang tidak dapat

disintesis oleh tubuh sendiri tetapi diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan) harus

tersedia dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan sehari-harinya. Jumlah

energi dan protein yang diperlukan untuk pertumbuhan normal tergantung dari

kualitas zat gizi yang diasup, bagaimana zat gizi dicerna, bagaimana zat gizi diserap

(8)

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam

peningkatan kualitas fisik, mental dan kecerdasan. Oleh karena itu asupan pangan

masih perlu dipelajari karena berhubungan dengan keadaan kesehatan dan gizi

masyarakat atau individu di suatu wilayah (Prihatini et al., 2007). Status gizi buruk

pada anak balita akibat dari asupan gizi yang jelek, cenderung meningkat seiring

dengan menurunnya kemampuan masyarakat untuk memperoleh pangan (Aritoang,

2004).

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X tahun

2012, angka kecukupan gizi (AKG) kebutuhan energi usia 0-6 bulan dengan BB 6

kilogram dan TB 61 centimeter sebesar 550 kkal/ hari, usia 7-11 bulan dengan BB 9

kilogram dan TB 71 centimeter sebesar 725 kkal/ hari, usia 1-3 tahun dengan BB 13

kilogram dan TB 91 centimeter adalah berkisar 1125 kkal/ hari, dan untuk usia 4-6

tahun dengan BB 19 kilogram dan TB 112 centimeter sebesar 1600 kkal/hari.

Kebutuhan protein untuk anak usia 0-6 bulan adalah 12 gram/hari, usia 7-11 bulan 18

gram/hari, usia 1-3 tahun 26 gram/hari, dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 35 gram/hari

Menurut Siagian (2010) salah satu metode dalam menilai kebiasaan asupan

adalah FFQ (Food Frequency Questionnaire) merupakan salah satu metode yang

cocok untuk penilaian kebiasan asupan pangan dalam kajian epidemiologis. Dengan

modifikasi, metode ini dapat menyediakan data asupan kebiasaan zat gizi. FFQ sering

dirancang untuk mendapatkan informasi yang spesifik, seperti asupan zat gizi makro

(9)

Penelitian Preston et al, (2011) pada anak sekolah di Poerto Rico,

menunjukkan bahwa validasi dengan menggunakan metode FFQ adalah tepat

digunakan untuk mengestimasi asupan energi pada anak sekolah di Poerto Rico, serta

mikronutrien pada anak sekolah menengah atas. Hasil dari penelitian ini kini menjadi

instrumen terbaru yang digunakan pada studi dietary pada anak di Poerto Rico.

b. Penyakit Infeksi

Faktor lain yang secara langsung memengaruhi status gizi adalah adanya

infeksi. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan

makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya

malnutrisi walaupun ringan akan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh,

sehingga dapat menyebabkan infeksi (Pudjiadi, 2005).

Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal mendapat respon

metabolik bagi penderitanya yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Penelitian

yang dilakukan menunjukkan bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada

pertahanan tubuh. Di lain pihak, penyakit infeksi akan memberikan efek berupa

gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infelks

dapat menyebabkan kurang gizi, sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit

infeksi. Ada tendensi di mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi

kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis),

hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang

(10)

terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya angka kematian

(Supariasa, 2002).

Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita anak-anak antara lain;

a.Diare

Bayi dan balita dinyatakan menderita diare, apabila buang air besar tidak

normal atau bentuk tinja encer dengan frekuensi buang air besar lebih dari 3

kali. Diare yang bersifat akut dapat berubah menjadi kronis. Diare akut, yaitu diare

yang berlangsung secara mendadak, tanpa gejala gizi kurang dan demam serta

berlangsung beberapa hari. Sedangkan diare kronik, yaitu diare yang berlanjut

sampai lebih dari 2 minggu, biasanya disertai dehidrasi. Diare umumnya disebabkan

oleh infeksi virus, parasit atau racun dari bakteri. Diare dapat juga merupakan

gejala dari penyakit seperti disentri, kolera atau botulisme (Kamus Gizi, 2009).

b. ISPA

ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut. Istilah ISPA

meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pemafasan dan akut. Salah satu penyebab

kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA yang diakibatkan oleh penyakit

pneumonia (infeksi paru yang berat). Pemeliharaan gizi anak harus diperhatikan

sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi terhadap

beberapa penyakit seperti penyakit tuberkulosa, campak, polio dan sebagainya

harus dilakukan sesuai waktu. Disamping itu pemeliharaan hygiene dan sanitasi

(11)

c. Tuberkolosis Paru (TB Paru)

Penyakit tuberkulosis atau lazim disebut TBC merupakan suatu penyakit

menular yang dapat menyerang semua kelompok masyarakat. Semua orang dari

berbagai golongan umur, status sosial ekonomi, ras maupun suku bangsa dan tempat

tinggal memiliki risiko untuk terkena penyakit TBC (Prabu,1996). Infeksi

tuberkulosis jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Hal ini

disebabkan oleh memburuknya keadaan sosial ekonomi dan kesehatan individu

seperti kemiskinan dan nutrisi yang kurang memadai (Mulyadi, 2003).

2.4 Pola Asuh

Pola asuh adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak termasuk

pangan dan gizi, kesehatan dasar, imunisasi, penimbangan, pengobatan,

papan/pemukiman yang layak, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang dan

rekreasi. Pola asuh yang memadai pada bayi adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan

biomedis anak terpenuhi secara optimal. Hal ini dilakukan melalui pemberian gizi

yang baik berupa pemberian ASI, pemberian makanan pendamping air susu ibu

(MP-ASI) tepat waktu dan bentuknya, melanjutkan menyusui sampai anak berumur 2

tahun, ibu punya cukup waktu merawat bayi, imunisasi dan memantau status gizi

melalui kegiatan penimbangan (Soekirman, 2000).

Menurut Azwar (2004), pola asuh adalah kemampuan keluarga untuk

menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh

kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan

anak merupakan sikap dan praktek ibu atau pengasuh lain dalam kedekatannya

(12)

2.4.1. Pola Asuh Makan

Pola asuh makan adalah cara seseorang, kelompok orang dan keluarga dalam

memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang

atau lebih dan mempunyai khas untuk satu kelompok tertentu. Penanaman pola

makan yang beraneka ragam makanan harus dilakukan sejak bayi, saat bayi masih

makan nasi tim, yaitu ketika usia baru enam bulan ke atas, ibu harus tahu dan mampu

menerapkan pola makan sehat (Widjaja, 2007). Pola asuh makan balita berkaitan

dengan kebiasaan makan yang telah ditanamkan sejak awal pertumbuhan (Karyadi,

2000).

Kasus gizi buruk banyak terjadi pada kelompok balita sehingga dikatakan

sebagai kelompok rentan karena pada usia tersebut merupakan masa pertumbuhan

yang pesat di mana memerlukan zat gizi yang optimal. Sampai saat ini masalah

kesehatan dan gizi masih diprioritaskan untuk kelompok balita karena rentan terhadap

masalah kesehatan dan gizi, pada masa tersebut merupakan periode penting dalam

proses tumbuh kembang. Pada masa ini proses tumbuh kembang berlangsung sangat

cepat disebut dengan masa keemasan (golden age), di mana pada masa ini otak

berkembang sangat cepat dan akan berhenti saat anak berusia tiga tahun. Balita yang

sedang mengalami proses pertumbuhan dengan pesat, memerlukan asupan zat

makanan relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik dan bergizi (Sutomo

dan Anggraini, 2010).

Menurut Engle, Menon dan Haddad (1996), faktor ketersediaan sumber daya

keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola

pengasuhan, sanitasi dan penyehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah,

(13)

terhadap status gizi anak, salah satu pola pengasuhan yang berhubungan dengan

status gizi anak adalah pola asuh makan.

Menurut Kemenkes RI (2011), pola makan yang baik bagi bayi dan balita

adalah sebagai berikut :

A. Usia 0-6 bulan

Usia 0-6 bulan pertama kehidupan bayi merupakan usia dimana bayi hanya

diberikan ASI saja. Yang harus diperhatikan oleh ibu adalah

1. Memberikan ASI yang pertama keluar, yaitu ASI yang berwarna kekuningan

(kolostrum).

2. Berikan hanya ASI (ASI eksklusif).

3. Tidak memberikan makanan maupun minuman lain selain ASI

4. Menyusui bayi sesering mungkin.

5. Memberikan ASI sekehendak keinginan bayi, minimal delapan kali sehari.

6. Apabila bayi tidur lebih dari tiga jam, membangunkannya untuk kemudian

menyusukannya

7. Menyusui dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian.

8. Menyusui sampai payudara terasa kosong, baru kemudian pindah ke payudara sisi

yang lainnya.

B. Usia 6-8 bulan

Pada usia 6-8 bulan, bayi sudah dapat diperkenalkan dengan makanan

pendamping ASI. Yang harus diperhatikan ibu adalah :

(14)

2. Mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) seperti bubur susu dan

makanan lumat (bubur lumat, sayuran, daging, dan buah yang dilumatkan, biskuit,

dan lain-lain) sebanyak 2-3 kali sehari.

3. Memberikan MP-ASI secara bertahap sesuai umur anak, pada tahap awal 2-3

sendok makan kemudian secara bertahap ditambah hingga mencapai setengah gelas

atau 125 cc setiap kali makan.

4. Memberikan ASI terlebih dahulu kemudian MP-ASI.

5. Memberikan makanan selingan seperti jus buah dan biskuit 1-2 kali dalam sehari

6. Memberikan tambahan 1-2 gelas susu perhari pada bayi yang tidak mendapat ASI

karena alasan medis.

C. Usia 9-11 bulan

Hal-hal yang harus diperhatikan ibu dalam memberi makan anak usia 9-11

bulan adalah:

1. Tetap meneruskan pemberian ASI.

2. Memberikan MP-ASI dalam bentuk makanan lembik seperti nasi tim atau makanan

yang dicincang kecil sehingga mudah ditelan anak dengan frekuensi pemberian 3-4

kali sehari.

3. Memberikan makanan dengan porsi setengah gelas/mangkuk atau sebanyak 125 cc

perkali makan.

4. Memberikan makanan selingan yang dapat dipegang anak diantara waktu makan

lengkap sebanyak 1-2 kali sehari.

5. Memberikan tambahan 1-2 gelas susu perhari pada bayi yang tidak mendapat ASI

(15)

D. Usia 1-2 tahun (12-24 bulan)

1. Mulai memperkenalkan anak dengan makanan keluarga yang terdiri dari ¾ gelas

nasi (200 cc), 1 potong kecil ikan/daging/ayam/telur, 1 potong kecil tempe/tahu

atau 1 sdm kacang-kacangan, ¼ gelas sayur, dan 1 potong buah dengan frekuensi

3-4 kali sehari.

2. Memberikan makanan selingan seperti bubur dan kue dua kali sehari.

3. Meneruskan pemberian ASI apabila memungkinkan.

E. Usia 2-5 tahun (24-60 bulan)

1. Memberikan anak makanan orang dewasa dengan frekuensi tiga kali sehari.

2. Memberikan anak ½ porsi makanan orang dewasa yang terdiri dari makanan

pokok, lauk pauk, sayur, dan buah.

3. Memberikan makanan selingan seperti bubur kacang hijau, biskuit, dan kue dua

kali sehari di antara waktu makan.

4. Tidak memberikan makanan manis berdekatan dengan waktu makan, karena dapat

mengurangi nafsu makan anak.

2.4.2. Pola Asuh Kesehatan

Asuh kesehatan berdasarkan aspek pola asuh menurut Engle et.al (1996),

meliputi praktek kebersihan dan sanitasi lngkungan dan perawatan anak balita dalam

keadaan sakit seperti pencarian pelayanan kesehatan. Anak balita adalah kelompok

usia yang rentan terserang penyakit, terkait dengan interaksi dengan sarana dan

prasarana di rumah tangga dan sekelilingnya. Jenis sakit yang dialami, frekuensi

sakit, lama sakit, penanganan anak balita sakit dan status imunisasi adalah faktor

(16)

Menurut Engle et.al (1996), perilaku ibu dalam menghadapi anak balita yang

sakit dan pemantauan kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang

sangat memengaruhi status gizi anak balita. Anak balita yang mendapatkan imunisasi

akan lebih rendah mengalami risiko penyakit. Anak balita yang dipantau status

gizinya di Posyandu melalui kegiatan penimbangan akan lebih dini mendapatkan

informasi akan adanya gangguan status gizi. Sakit yang lama, berulang akan

mengurangi nafsu makan yang berakibat pada rendahnya asupan gizi.

2.4.3. Pola Asuh Diri

Asuh diri meliputi perilaku ibu memelihara kebersihan rumah, higiene

makanan, kebersihan perseorangan (Anwar, 2000). Pemberian nutrisi tanpa

memperhatikan kebersihan akan meningkatkan risiko bayi mengalami infeksi, seperti

diare. Hasil penelitian Widodo (2005) mengungkapkan akibat rendahnya sanitasi dan

higiene pada pemberian MP-ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh

mikroba, sehingga meningkatkan risiko atau infeksi yang lain pada bayi. Sumber

infeksi lain adalah alat permainan dan lingkungan bermain yang kotor.

2.5. Karakteristik Keluarga 2.5.1. Pengetahuan

Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam penentuan konsumsi

makanan dalam keluaga khususnya pada anak balita. Pengetahuan yang dimiliki ibu

berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu

tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Pengetahuan

(17)

Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi mungkin akan dapat

kesempatan untuk hadir dan tumbuh kembang dengan baik. Membesarkan anak sehat

tidak hanya dengan kasih sayang belaka namun seorang ibu perlu keterampilan yang

baik. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan kemampuan untuk menerapkan

informasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan penyebab kejadian gangguan

kurang gizi (Notoatmodjo, 2007).

Bloom (1908) membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, ranah

atau kawasan yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotorik

(psychomotorik). Teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan

kesehatan yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik/tindakan

(practice) (Notoatmodjo, 2007). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini

dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni : Pengetahuan

adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap

suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo,

2007).

Indikator yang dapat digunaakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau

kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :

1. Pengetahuan tentang sehat dan penyakit meliputi :

a) Penyebab penyakit

b) Gejala dan tanda-tanda penyakit

c) Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan

d) Bagaimana cara penularannya

(18)

2. Pengetahuan tentang cara hidup sehat

a) Jenis-jenis makanan yang bergizi

b) Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan

c) Pentingnya olahraga bagi kesehatan

d) Penyakit-penyakit atau bahaya merokok, minum-minuman keras, narkoba,

dan sebagainya

e). Pentingnya istirahat cukup, rekreasi, dan lain sebagainya bagi kesehatan

3. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

a) Manfaat air bersih

b) Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk kotoran dan sampah

c) Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah sehat

d) Akibat polusi bagi kesehatan

Ibu yang mempunyai pengetahuan tentang makanan yang bergizi, cenderung

mempunyai anak dengan status gizi yang baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu akan

berpengaruh terhadap sikap perawatan anak serta dalam perawatan memilih makanan.

Menurut Suhardjo (2003) suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya

pengetahuan gizi didasarkan pada:

a. Tingkat pengetahuan sangat penting dalam meningkatkan status gizi yang

optimal. Status gizi yang cukup merupakan syarat penting untuk kesehatan.

b. Pengetahuan gizi seseorang akan mempengaruhi status gizinya jika makanan yang

dimakan dapat menyediakan zat-zat gizi yang nantinya diperlukan untuk

pertumbuhan tubuh.

c. Dengan adanya ilmu gizi masyarakat dapat belajar menggunakan pangan untuk

(19)

Pengetahuan ibu tentang gizi seimbang sangatlah penting. Mengingat peran

ibu dalam keluarga sebagai pengelola makanan. Ibu yang tidak tau gizi makanan,

akan menghidangkan makanan yang tidak seimbang gizinya. Berbagai faktor yang

secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada balita

adalah ketidaktahuan akan hubungan makananan dan kesehatan, prasangka buruk

terhadap bahan makananan tertentu, adanya kebiasaan atau pantangan yang

merugikan, kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu,

keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak kelahiran yang rapat (Suhardjo, 2003).

Ketidaktahuan ibu balita akan kebutuhan gizi balita bisa mengakibatkan

asupan gizi pada anak tidak terpenuhi dengan baik maka proses tumbuh kembang

anak akan terhambat, anak bisa mengalami penyakit kurang gizi. Anak yang

mengalami defesiensi gizi pada umur semakin muda, kemungkinan besar akan

mengalami hambatan pada pertumbuhan dan kapasitas intelektualnya rendah

(Sediaoetama, 2008).

2.5.2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan

perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan gizi yang lebih tinggi akan memudahkan

seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan menerapkan dalam

perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam kesehatan dan gizi (LIPI, 2000).

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh

kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orangtua dapat menerima

segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik,

(20)

merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk mengembangkan

diri. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam merespon sesuatu yang datang

dari luar, seperti sikap atau penerimaan anjuran atau nasehat. Orang berpendidikan

tidak akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingakn orang yang

berpendidikan rendah maupun yang tidak berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan

semakin mudah mengembangkan pengetahuan dan tekhnologi sehingga dapat

meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarga (Hapsari dkk, 2001).

Menurut Adisasmito (2007), unsur pendidikan ibu berpengaruh pada kualitas

pengasuhan anak, apabila ibu berpendidikan lebih baik maka mengerti cara

pemberian makan, menggunakan pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan

lingkungan bebas dari penyakit. Ibu yang berpendidikan lebih baik kemungkinan

menggunakan perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan yang

ada dari ibu yang tidak memiliki pendidikan.

2.5.3. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan dalam kualitas dan

kuantitas pada makanan. Pendapatan yang meningkat maka berpengaruh terhadap

perbaikan kesehatan dan keadaan gizi. Sedangkan pendapatan yang rendah akan

mengakibatkan lemahnya daya beli sehingga tidak memungkinkan untuk mengatasi

kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu secara efektif terutama untuk anak

mereka. (Notoatmodjo, 2007).

Indikator dari masalah gizi dapat diketahui dari taraf ekonomi keluarga dan

ukuran yang dipakai adalah garis kemiskinan. Stabilitas keluarga dengan ukuran

frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang

(21)

pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan di bidang memasak, konsumsi anak

keragaman jenis makanan yang mempengaruhi kejiwaan misalnya kebosanan

(Soegeng, 2009).

Kemiskinan sebagai penyebab kurang gizi menduduki posisi pertama pada

kondisi yang umum, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius karena

kemiskinan berpengaruh besar terhadap konsumsi makanan. Warga masyarakat yang

tergolong miskin adalah mereka yang mempunyai keterbatasan kemampuan dan

akses pada sumber daya dan dalam memperoleh pelayanan serta prasarana untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya masyarakat harus mengerti bahwa anak mereka

membutuhkan makanan dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka sehingga

anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi.

Kelompok anak balita merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan

yang pesat. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita

akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2008).

2.5.4. Jumlah Anggota Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi terlihat nyata pada

masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang miskin

akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makannya jika yang harus dilayani

jumlahnya sedikit. Besar keluarga mungkin berpengaruh terhadap distribusi makanan

dalam keluarga. Keadaan demikian juga dapat mengakibatkan perhatian ibu terhadap

perawatan anak menjadi berkurang, karena perhatian ibu dalam merawat dan

(22)

besar keluarga bertambah maka porsi makanan untuk setiap anak berkurang

(Notoatmodjo, 2007).

Keadaan ekonomi lemah dalam keluarga besar, anak-anak dapat menderita

oleh karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang. Semakin

banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin bervariasi aktivitas,

pekerjaan dan seleranya, sehingga jumlah anggota keluarga berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan gizi yang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Dalam hal ini

faktor selera dari masing-masing anggota keluarga sangat berpengaruh, karena tidak

semua anggota keluarga menyukai jenis makanan yang sama (Suhardjo, 2003).

2.6 Landasan Teori

Karakteristik keluarga seperti pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan

dan jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap kejadian kurang giji. Kurang gizi

adalah akibat dari rendahnya asupan gizi dan adanya penyakit infeksi, hal ini dapat

diketahui dari indikator berat badan menurut umur (BB/U) (WHO, 2000). Pola asuh

meliputi pola asuh makanan, pola asuh kesehatan dan pola asuh diri. Pola asuh

kesehatan dan asuh makan secara langsung memengaruhi status gizi anak balita,

sedangkan asuh diri tidak secara langsung memengaruhi status gizi anak balita,

sehingga dalam penelitian ini yang diteliti adalah pola asuh makan dan pola asuh

kesehatan yaitu: (a) pola asuh makan yang berupa sikap dan perilaku ibu atau

pengasuh lain dalam memberikan makan (Soekirman, 2000), dan (b) pola asuh

kesehatan sebagai sikap dan tindakan ibu terhadap perawatan balita dalam keadaan

(23)

Penyebab

kurang disebabkan oleh berbagai faktor, baik langsung maupun tidak langsung,

seperti pada skema berikut ini. Sebagai landasan teori dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(24)

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori di atas bahwa karakteristik anak dan keluarga

memiliki keterkaitan dengan kemampuan keluarga untuk menyediakan pangan di

tingkat rumah tangga yang memengaruhi asupan gizi anak balita. Pola asuh juga

memengaruhi status gizi meliputi pola asuh makan dan asuh kesehatan yang

diberikan kepada anak, terkait dengan perilaku ibu yang belum baik dalam

memberikan makan dan perawatan kesehatan pada anak balita, sehingga dapat

memengaruhi kejadian gizi kurang pada anak balita. Sebagai kerangka konsep

penelitian sebagai berikut:

Variabel independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Ibu Balita

a.Pengetahuan b.Pekerjaan

c.Pendapatan keluarga d.Jumlah anggota keluarga

Pola Asuh a. Asuh makan b. Asuh kesehatan

Gambar

Gambar 2.1  Landasan Teori
Gambar 2.2  Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, mulai adanya berbagai kepentingan terhadap sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung (PULL) (pemerintah, nelayan, pemilik modal) di wilayah

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran drill dengan modifikasi bola dapat meningkatkan hasil belajar passing

Telah dirancang sebuah prototype ruang penyimpanan benih padi berdasarkan pengontrolan temperatur dan kelembaban. Berdasarkan data referensi yang dikumpulkan, diperoleh

Praktikum kimia klinik dapat digunakan untuk melatih mahasiswa agar dapat belajar dan mengenal pemeriksaan urine secara makroskopis dan mikroskopis untuk membantu menegakkan suatu

ini. Ada beberapa agenda yang perlu diselesaikan kaum Muslimin pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, supaya Islam mampu bersaing dengan dunia

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang

Acara yang digawangi Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah ini memediasi dialog para pemangku kepentingan dalam sejumlah kegiatan, yaitu Dialog Literasi Sekolah, Unjuk Karya

Variabel terikat dari penelitian ini adalah motivasi belajar dan model Teams Games Tournament (TGT) matematika dengan pokok bahasan keliling dan luas daerah persegi, persegi