• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekonomi Politik Lingkungan Studi Kasus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ekonomi Politik Lingkungan Studi Kasus"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH MATA KULIAH EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

“EKONOMI POLITIK LINGKUNGAN”

Disusunoleh:

FahryFadhlan 2010230081

NurulIslami 2015230022

Sella Simamora 2015230071

DwinieAdindaRamadinta 2015230107

DewiSetyawatiUtami 2015230131

Lulu Fitri Cahyani 2015230133

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

JAKARTA

(2)

Daftar Isi

Daftar Isi... 2

BAB I Pendahuluan... 3

1.1. Latar Belakang... 3

1.2. Rumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penulisan... 6

BAB II Pembahasan... 7

BAB III Penutup... 24

3.1. Kesimpulan... 24

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ranah ekologi politik, sejak permulaannya selama kurun waktu 1970-an dan 1980-an, telah berkembang dengan stabil sehingga mengisi tempat terkemuka dalam studi lingkungan. Secara sederhana, dua kontribusi utama dari ekologi politik dapat diringkas, pertama: sebagai perhatiannya kepada ‘skala’, yang memungkinkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi dan menganalisa rantai yang menghubungkan dinamika lingkungan dengan kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada berbagai situs konseptual dan fisik, dan kedua: fokusnya yang konsekuen pada ‘kuasa’ dalam berbagai perwujudannya sebagai kunci pusat untuk memahami bagaimana gagasan tentang kesinambungan diciptakan dan disebarkan. Dalam catatan singkat ini, tanpa mengabaikan kontribusi penting ini, kami berpendapat bahwa politik ekologi sejauh ini belum memenuhi janjinya karena gagal memberikan ‘peta jalan’ – ideologis mengeluh bahwa para pendukungnya terlalu asyik berpikir tentang pemahaman struktur sosial dan tidak memberikan perhatian seperlunya untuk memahami dan mendokumentasikan perubahan lingkungan, yang tidak selalu merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi dan politik.

Isu-isu global yang muncul dewasa ini menunjukkan pada kenyataan bahwa teknologi baru dalam transportasi, komunikasi, produksi dan distribusi terkait dengan perusakan lingkungan hidup. Dari isu dan kenyataan yang telah berlangsung tersebut kemudian tercipta sejumlah besar kaitan antar negara, masyarakat, kota, dan bahkan desa di seluruh muka bumi. Keterkaitan tersebut selanjutnya melahirkan berbagai isu global mengenai lingkungan hidup, energi, pangan, kependudukan, HAM, interdependensi/dependensi ekonomi, pembangunan, dan lain-lain.

Suatu itu disebut sebagai isu global jika jaringan yang terdiri dari penduduk berbagai belahan bumi ini meyakini bahwa hal tersebut memang menjadi isu yang menyangkut kepentingannya atau kalau sejumlah besar penduduk di bumi ini telah yakin bahwa isu itu memang telah menunjukkan gejala bahkan akibat yang nyata serta dirasakan dan memengaruhi di seluruh muka bumi.

(4)

Dan masalah ini hanya bisa dikelola secara efektif dengan berdasarkan pada kerja sama yang dilakukan oleh semua negara atau oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Masalah-masalah yang sedang menjadi isu bersama itu diantaranya; pemanasan global (global warming), perubahan iklim serta emisi gas rumah kaca, penipisan lapisan ozon, pencemaran lingkungan hayati, penggundulan hutan, pengelolaan dasar laut dan masalah-masalah lingkungan hidup lainnya.

Menurut pengertiannya secara umum (http://untreaty.un.org/), protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih detil dan spesifik.

Masalah-masalah yang sedang menjadi isu bersama itu diantaranya; pemanasan global (global warming), perubahan iklim serta emisi gas rumah kaca, penipisan lapisan ozon, pencemaran lingkungan hayati, penggundulan hutan, pengelolaan dasar laut dan masalah-masalah lingkungan hidup lainnya. Hal ini diperkuat dengan dirasakannya perubahan iklim akibat pemanasan global tersebut. Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang jumlahnya semakin banyak di atmosfer, diantaranya adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O).

(5)

memenuhisyarat“55 persen” danmenyebabkanpersetujuanitumulaiberlaku 16 Februari 2005. Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut termasuk Indonesia, Kanada, Jepang, Selandia Baru dan 24 negara anggota Uni Eropa. Ada enam negara yang telah menandatangani namun belum meratifikasi protokol Kyoto. Antara lain Australia, Monako, Amerika Serikat. SisanyaadalahKroasia,Kazakhstan, dan Zambia.1

1.2 Rumusan Masalah

a) Bagaimana mekanisme dalam Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab Global Warming tersebut?

b) Bagaimana sikap negara-negara maju dan berkembang dalam Protokol Kyoto? 1.3 Tujuan Penulisan

a) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme dalam Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai penyebab dariGlobal Warming.

b) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana sikap yang diambil negara-negara maju dan berkembang dalam Protokol Kyoto.

BAB II PEMBAHASAN

(6)

2.1 Rezim Lingkungan Hidup Internasional

Fokus klasik dari kajian hubungan internasional salah satunya adalah mengenai konflik internasional, yang pada umumnya berkisar pada masalah peperangan dan perdamaian. Beberapa pakar setuju bahwa tipikal konflik serta upaya penyelesaian sengketa melalui penggunaan kekerasan, yang bersumber dari persoalan lingkungan hidup adalah bukan hanya berlangsung inter-state tetapi juga intra-state, yaitu konflik bisa berlangsung di dalam negara. Sebuah proyek penelitian yang dipimpin oleh Thomas Homer-Dixon menyatakan bahwa kekurangan atau keterbatasan lingkungan hidup dan kelangkaan sumber daya alam; akan melibatkan pergulatan, konflik dengan intensitas rendah yang tidak akan mengarah pada konfrontasi dramatis, tetapi dapat merepotkan pemerintah.

Contoh: persoalan lingkungan hidup itu bisa menyebabkan perpindahan penduduk, penurunan produktivitas ekonomi, dan konflik etnis. Konflik karena keterbatasan lingkungan hidup menggambarkan keterhubungan antara konflik internasional serta domestik dan disinilah para environmentalist hubungan internasional memfokuskan analisanya.

Tetapi persoalan lingkungan hidup ini juga dapat menekan dan mendesak negara-negara untuk terlibat dalam kerja sama internasional yang lebih besar. Alasan atau latar belakangnya adalah karena degradasi (penurunan kondisi) lingkungan hidup yang dapat dikatakan merupakan ancaman khusus yang bukan saja dialami oleh suatu negara saja, tetapi merupakan ancaman bagi umat manusia secara menyeluruh. Ancaman ini menyangkut common heritage milik bersama umat manusia yaitu lautan, samudera, udara, lapisan ozon dan sistem iklim yang merupakan sistem pendukung kehidupan bagi seluruh umat manusia.

Konsekuensinya adalah bahwa pemerintah negara-negara (sepaham dengan pakar hubungan internasional) melihat kebutuhan tentang perlunya kerja sama global dalam tatanan untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman kerusakan lingkungan hidup yang merupakan ‘milik bersama tersebut’.

2.2 Protokol Kyoto

(7)

dioksida dan gas rumah kaca lainnya. Protokol Kyoto diprediksikan akan mengurangi emisi gas rumah kaca di negara-negara industri sebesar 5.2% dibandingkan keadaan pada tahun 1990. Tetapi dibandingkan dengan tanpa adanya Protokol Kyoto, target ini berarti pengurangan emisi sebesar 29%. Ketentuan utama Protokol Kyoto yaitu mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi total emisi rata-rata mereka sebesar 5,2% di bawah tingkat emisi mereka pada tahun 1990 dalam periode tahun 2008 – 2012.2

Sebagai respon, pada tahun 1997, sebuah konferensi untuk membahas masalah ini diadakan di Kyoto, Jepang. Hasil konferensi lantas disebut sebagai Protokol Kyoto, yang selanjutnya mengikat secara hukum bagi negara peserta untuk mengurangi emisi karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC). Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Menurut Murdiyarso (2003), Protokol Kyoto sendiri merupakan protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada 1992). Persetujuan tersebut dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar

2“The Kyoto Protokol ; Status Of Agreement”,

(8)

5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-20012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."(Anonim, 2010).

2.3 Prinsip-Prinsip Protokol Kyoto

Adapun prinsip-prinsip dari Protokol Kyoto yaitu:

1) Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan global yang dilindungi PBB.

2) Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:

a. Negara-negara Annex I adalah Negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas sejak revolusi industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara Annex I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Jepang merupakan satu-satunya Negara Asia yang masuk dalam kategori ini.

b. Negara-negara non-Annex I adalah Negara berkembang. Mereka tidak mempunyai kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi dapat berpartisipasi melalui CDM (Clean Development Mechanism).

3) Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990.

4) Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca (GRK) dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia dan penambahan yang diijinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.

(9)

mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam Annex I.

6) Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara Annex I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari Negara lain. Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara non-Annex I melalui mekanisme CDM. Dapat juga melalui pengerjaan proyek di sesame Annex I melalui program joint implementation (JI) atau membeli langsung dari Negara Annex I yang sudah berada di bawah target.

7) Sebuah proyek baru dapat dijual dalam perdagangan emisi karbon apabila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi Certified Emission Reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat diperjualbelikan.

8) Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang dapat menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual pada Negara Annex I.

2.4 Mekanisme Protokol Kyoto

Untuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto mengatur mekanisme fleksibel. Terdapat tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa:

1) Implementasi Bersama (Joint Implementation)

Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK. Hal ini dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional untuk memenuhi target pengurangan emisi.

(10)

modalnya.kegiatan JI akan didanai oleh sektor swasta untuk menghasilakn ERU (Emission Reduction Unit).

Pada awalnya perundingan tentang JI menimbulkan perdebatan yang sengit mengenai kemungkinan dimasukkannya negara berkembang dalam mekanisme ini. Negara-negara anggota OPEC menolak dengan alasan akan menjauhkan negara maju dari kemungkinan menandatangani Protokol Kyoto. India dan Cina mengharapkan kekompakan G77+Cina dan akhirnya memutuskan bahwa negara berkembang tidak akan ikut dalam JI dibawah Protokol Kyoto. Dalam konsultasi internal dikemukakan 4 alasan mengapa negara berkembang harus menolak JI:

a) Biaya transaksi yang tinggi, sehingga mengurangi keuntungan negara berkembang.

b) Tidak jelasnya penentuan garis awal sebelum proyek dilaksanakan dan kemungkinan adanya kebocoran (leakage) yang mendorong terjadinya kolusi antara kedua belah pihak.

c) Isu kesetaraan yang sulit dipertahankan karena negara maju akan mengubah strateginya jika biaya proyek JI sudah terlalu mahal, sementara negara berkembang belum siap memasuki industri rendah emisi yang teknologinya belum dikuasai.

d) Menurut pandangan G77+Cina, JI adalah bentuk neokolonialisme yang harus ditolak karena negara-negara maju akan memiliki posisi tawar yang makin kuat karena kemampuan teknologinya semakin baik, sementara emisinya dibayar dengan murah di negara berkembang.

Menjelang pelaksanaan CoP3 di Kyoto awal desember 1997 dalam pertemuan AGBM8 akhirnya di sepakati bahwa Ji hanya diselenggarakan di antara para pihak yang termasuk Annex I.

2) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism ― CDM) Clean Development Mechanism adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut.

(11)

(JI). Antara negara maju dan negara berkembang, melalui CDM. Negara-negara maju yang harus membatasi atau menurunkan emisinya harus mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga secara generik sebagai kredit karbon atau carbon credits. Untuk CDM, kredit karbon inilah yang disebut Certified Emissions Reduction(CER). Transfer sertifikasi penurunan emisi ini biasanya melalui perdagangan, dengan harga yang ditentukan oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan pasokan dari sertifikasi itu. Mekanisme kerjasama ini melahirkan sebuah pasar yang biasa disebut sebagai “pasar karbon” (carbon market).

Clean Development Mechanism (CDM) adalah satu-satunya mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk ikut serta. Interpretasi dari dua sisi tujuan CDM ini adalah bahwa untuk negara berkembang mencapai pembangunan berkelanjutan dan bersumbangsih dalam pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim. Untuk negara industri, mencapai ketaatan (compliance) pada komitmen terkuantifikasi mereka untuk membatasi dan menurunkan emisi sesuai dengan Pasal 3 Protokol Kyoto.

3) Perdagangan Emisi (Emission Trading)

Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Skema ini selanjutnya dikenal dengan nama perdagangan emisi dengan komoditas berupa unit jatah emisi (Assigned Amount Unit ― AAU). Namun demikian, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi harus tetap memenuhi kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protokol Kyoto. ET harus diperlakukan sebagai suplemen atas kegiatan domestik tersebut.

(12)

Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum, yang pertama adalah sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim, dan yang kedua adalah jumlah emisi total dari negara-negara Annex I peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi mereka di tahun 1990. Padatanggal 23 Mei 2002, Islandiamenandatanganiprotokoltersebut yang berartisyaratpertamatelahdipenuhi. Kemudianpadatanggal 18 November 2004 RusiaakhirnyameratifikasiProtokol Kyoto dan menandaijumlahemisi total dari negara Annex I sebesar 61.79%, iniberartisemuasyarattelahdipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnyaberkekuatanhukum 90 harisetelahratifikasiRusia, yaitupadatanggal 16 Februari 2005.

2.5 Studi Kasus

Dengan adanya perkembangan dan pembangunan diberbagai belahan dunia, secara tidak sadar bahwa telah terjadi sebuah keadaan yang akan membahayakan kehidupan manusia dikemudian hari. Dimana pembangunan tersebut ternyata memiliki dampak terhadap lingkungan yaitu terjadi apa yang disebut efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Untuk mengantisipasi ini maka lahirlah Protokol Kyoto yaitu protokol yang sesuai dengan namanya, Protokol Kyoto dihasilkan dalam pertemuan ketiga Conference of Parties (COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Yang menjadi perbedaan utama antara Konvensi dan Protokol yaitu Konvensi akan mendorong negara – negara industri untuk menstabilkan emisi GRK, sedangkan Protokol membuat mereka berkomitmen untuk melakukannya. Bagi negara yang menandatangani dan meratifikasinya, Protokol Kyoto akan mengikat secara hukum.3

Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang akan berakhir pada tahun 2012. Negara-negara penandatangan UNFCCC masih berada dalam proses perumusan perjanjian baru yang akan meneruskan atau menggantikan Protokol Kyoto setelah masa komitmen pertama berakhir. Untuk itu pada tahun 2007 telah dihasilkan Bali Roadmap yang melandasi perundingan internasional dalam mencapai hal tersebut. Protokol Kyoto memberikan izin adanya pembentukan sistem berbasis pasar untuk memperdagangkan sisa kuota karbon atau ‘Certified Emission Reduction’ (CERs). Perdagangan karbon memungkinkan perusahaan yang menyebabkan polusi mencapai targetnya dengan membeli emisi karbon dari perusahaan lain yang belum

(13)

menggunakan sisa kuotanya, atau kredit karbon yang dihasilkan oleh proyek pengurangan emisi. Secara khusus, Protokol Kyoto menyetujui hal-hal berikut:

1) Menentukan target emisi yang mengikat secara hukum untuk negara industri untuk mengurangi emisi CO2 kolektif hingga 5% di bawah level tahun 1990 dalam jangka waktu Komitmen tahun 2008 hingga tahun 2012.

2) Menentukan periode komitmen lima tahun berikutnya dimana pengurangan emisi CO2 lebih lanjut akan disepakati bersama antar negara-negara anggota protokol Kyoto.

3) Mendefinisikan sistem perdagangan internasional dimana sisa kuota emisi karbondioksida dan kredit dari komitmen dapat dibeli atau dijual.

4) Menyetujui sistem akreditasi dimana kredit karbon dapat dikeluarkan pada negara non industri berdasarkan Clean Development Mechanism (CDM) atau pada negara industri berdasarkan Joint Implementation Mechanism (JI).

5) Menentukan CO2 sebagai unit standar perdagangan, menentukan potensi pemanasan global pada setiap gas rumah kaca non-CO2.

6) Promosi kerjasama antar pemerintah, meningkatkan efisiensi energi, reformasi energi dan kebijakan transportasi, energi terbarukan dan mengelola endapan karbon seperti hutan dan lahan pertanian.

Meskipun terasa lambat, hingga saat ini Protokol Kyoto telah berkontribusi terhadap penurunan kadar emisi gas-gas rumah kaca, terutama emisi karbon. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh berbagai negara, termasuk negara di Eropa. Sebagai contoh ialah Inggris. Negara tersebut telah mengeluarkan kebijakan dengan tujuan akhir berupa 15% kebutuhan energi disuplai oleh sumber terbarukan pada tahun 2020. Pelaksanaan kebijakan tersebut didasarkan pada sebuah fakta yang menunjukkan bahwa energi berbasis fosil merupakan kontributor utama atas semakin meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer.

(14)

Protokol Kyoto merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim PBB, yaitu “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia/ antropogenis pada sistem iklim dunia”. Protokol Kyoto menempatkan beban berat pada negara-negara maju di bawah prinsip "common but differentiated responsibilities", hal ini dikarenakan negara-negara maju lebih bertanggung jawab atas tingginya tingkat emisi gas rumah kaca di atmosfer sebagai hasil dari lebih dari 150 tahun dari kegiatan industri di negara-negara maju tersebut.

Berdasarkan Protokol Kyoto Artikel 3, Annex I memiliki batas emisi GRK yang berbeda untuk periode 5 tahun dari tahun 2008-2012 (periode komitmen pertama). Dikarenakan tahun 2012 telah berlalu maka komitmen kedua tetap dilaksanakan oleh para pihak. Seperti yang tertuang dalam Konferensi Para Pihak ke-13 (COP ke-13) di Bali tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) sebagai sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim. Selain pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mencegah perubahan iklim.

(15)

iklim makin mendesak, karena dampak dari perubahan iklim makin nyata, merujuk pada laporan berkala kelima dari Panel Antar Pemerintah (Fifth Assesment Report IPCCC).

2.6 Analisis Kepentingan Negara-negara Maju dan Negara Berkembang Terhadap Protokol Kyoto.

Negara-negara maju memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Untuk mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut dengan adanya Protokol Kyoto, satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding). Prinsipnya, industri di negara maju dapat membuang karbon sebanyak-banyaknya ke udara asalkan membayar kepada negara yang masih punya hutan sebagai penyerap karbon. Jual beli karbon ini diukur per ton karbon dioksida yang dapat diserap oleh sebuah kawasan hutan. Hutantropis di Asia dapatmeyerap 135-250 ton karbon per hektardenganhargabervariasi,dari US$6 hingga US$45 per ton.

DenganadanyaProtokol Kyoto,

kepentinganuntuknegaramajusendiriialahuntukmencapaipelaksanaanmembatasi,danm engurangi emisi yang dihasilkanaktifitasindustri di negaramajutersebut. CER

ataucertified emissions reductionakandidapatkanoleh

negaramajusebagaisebuahkreditapabilaproyek yang dilakukan di negaraberkembangtelahterbuktimenurunkanemisiGRK. Kredit yang dihasilkandari CER inikemudianakandihitungsebagaiemisi yang berhasilditurunkanolehnegara-negara Annex I melaluimekanisme CDM, yang dapatdigunakanuntukmemenuhi target mereka di dalamProtokol Kyoto.

Amerika Serikat (AS)

(16)

Amerika Serikat harus mengganti bahan bakar pabrik dan desain mesin-mesinnya. Hal ini pada gilirannya akan membuat industri Amerika Serikat merosot daya saingnya. Bush mengatakan bahwa protokol Kyoto akan menghancurkan ekonomi Amerika Serikat. Menurut Bush, menyangkut soal isu pemanasan global, Amerika Serikat akan berbicara kepada pemimpin lainnya mengenai teknologi baru sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah pemanasan global.

Amerika Serikat menolak Protokol Tokyo ini karena tidak adanya kewajiban yang mengharuskan 80% (delapan puluh persen) penduduk dunia yang berbeda di negara-negara berkembang untuk mentaati kesepakatan dalam Protokol Kyoto. Selain itu Amerika Serikat juga menyangsikan sempurnanya ilmu pengetahuan mengenai pemanasan Bumi dan solusinya, sehingga dari sebab itu diusulkan untuk mengurangi emisi dengan cara jual beli karbondioksida global.Amerika juga berpendapat bahwa motif protokol adalah politik dan ekonomi, dan diterapkan secara tidak fair, karena penerapan pembatasan tidak dilakukan terhadap negara-negara yang pesat perkembangan industrinya. Dalam hal ini RRC dan India, yang jumlah penduduknya sepertiga penduduk dunia.

Komitmen negara-negara maju sebagaimana diisyaratkan dalam sidang pertama Konferensi Para Pihak (First Session of the Conference of Parties, COP1) yang diadakan di Berlin,Jerman tahun 1995, para pihak memutuskan bahwa komitmen negara-negara maju yang bertujuan untuk mengembalikan emisi ke tingkat tahun 1990 menjelang tahun 2000, sangat tidak memadai untuk mencapai tujuan jangka panjang konvensi untuk menghindari pengaruh manusia yang membahayakan sistem iklim bumi. Oleh karena itu, para menteri dan para pejabat tinggi lainnya menanggapinya dengan menekankan dimulainya suatu proses yang memungkinkan pengambilan tindakan pada periode setelah tahun 2000, termasuk penguatan komitmen negara-negara maju.

(17)

penting dalam isu ini. Jika Amerika Serikat tidak mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan bersama dengan negara-negara di dunia maka hasilnya tidak akan maksimal, sedangkan Protokol Kyoto mewakili sikap negara-negara dalam meningkatkan rezim iklim internasional.

Uni Eropa

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa mempunyai ketergantungan besar terhadap minyak bumi untuk menopang industrinya. Karena itu, negara-negara maju anggota Uni Eropa sejak kenaikan harga minyak di akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an telah berusaha melakukan penghematan konsumsi minyak bumi sebagai bagian penghematan energi. Pemakaian energi untuk industri yang tidak terkendali merupakan salah satu sumber utama penghasil emisi. Oleh karena itu, tindakan penghematan yang lebih dulu dilakukan walaupun tidak sepenuhnya berhasil dapat menjadi modal bagi Uni Eropa dalam melakukan negosiasi mengenai pengurangan emisi. Sebagaimana Amerika Serikat, Uni Eropa adalah penyumbang terbesar emisi yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim global. Sehingga keberadaan Uni Eropa dalam negosiasi perubahan iklim sangat diharapkan mengingat kapasitas teknologi dan keuangan yang dimilikinya.

Uni Eropa dikenal sebagai pihak yang sangat aktif dalam memperjuangkan ratifikasi Protokol Kyoto.Hal ini dikarenakan Global Warming bagi Uni Eropadapat diartikan sebagai”End of The Day”.Melalui program perubahan iklim Eropa (EuropeanClimate Change Programme/ ECCP), UE berusahauntuk membatasi tingkat GRK sebesar 2 derajatCelcius pada tingkat industrinya.Uni Eropa mencoba untuk menerapkan segalapenghematan, seperti penghematan tingkatpermintaan energi, penghematan energi listrik,penghematan energi bahan bakar baik untukindustri maupun transportasi, serta pembaharuansuplai energi.

(18)

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sesuai aturan Uni Eropa, setiap perjanjian internasional termasuk kesepakatan internasional tentang perubahan iklim harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari seluruh parlemen negara anggota Uni Eropa untuk bisa diratifikasi.

Komitmen Uni Eropa untuk melakukan pengurangan emisi dalam mengantisipasi ancaman perubahan iklim global kemudian benar-benar diwujudkan pada 31 Mei 2002. Ke-15 negara Uni Eropa akhirnya secara resmi meratifikasi Protokol Kyoto. Tambahan 15 negara Uni Eropa sebenarnya menggenapi jumlah negara yang meratifikasi Protokol Kyoto menjadi 69 negara. Namun, protokol yang telah diratifikasi lebih dari 55 negara ini tetap belum mempunyai kekuatan hukum secara internasional karena jumlah total emisi karbon diosida dari negara maju yang meratifikasi masih kurang dari 55% jumlah karbon dioksida dunia. Ratifikasi yang dilakukan oleh Uni Eropa membuktikan kesungguhan mereka dalam merespon isu perubahan iklim global. Sekalipun protokol belum berlaku secara hukum, langkah Uni Eropa ini menunjukan adanya kemajuan yang berarti dalam upaya global mengantisipasi ancaman perubahan iklim global.

(19)

Negara Berkembang

Hingga saat ini, sebagian besar negara yang telah menegesahkan Protokol Kyoto adalah negara berkembang. Bahkan sebagian besar di antara mereka adalah negara-negarakepulauan yang tergabung di dalam AOSIS yang secara geografis memiliki kondisi dan tantangan yang sama dengan Indonesia.

Sebagian Negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand juga telah mengesahkan Protokol Kyoto dengan alasan dan pertimbangan masing-masing. Solidaritas kepada sesama anggota ASEAN juga perlu ditunjukkan, meskipun isu perubahan iklim tidak pernah dibicarakan secara formal dalam forum ASEAN. Adalah sangat strategis dan wajar bagi Indonesia yang telah mengesahkan Konvensi Perubahan Iklim, sekali lagi menunjukkan kepeduliannya akan masalah global tanpa harus mengorbankan kepentingan nasionalnya, melalui pengesahan Protokol Kyoto. Secara umum langkah ini diperkirakan akan membawa konsekuensi politik dalam hubungan internasional yang menguntungkan bagi Indonesia.

Pada dasarnya kebijakan yang diambil oleh negara-negara berkembang seperti Cina, India, Brazil,Indonesia dan Afrika Selatan terkait denganpemberlakuan Protokol Kyoto, berkaca padakebijakan negara-negara maju yang justru tidakmeratifikasi Protokol Kyoto.China, India, Indonesia, Arab Saudi, Meksiko danBrasil menekankan pada pentingnya penggunaanprinsip "Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan"Common But Differentiated Responsibilities(CBDR)sebagai wacana bahwa negara berkembang harusmenurunkan emisinya, namun secara sukarela. Pada konferensi perubahan iklim internasionalCOP-17 di Durban, Afrika Selatan, negosiatorCina Xie Zhenhua, menegaskan bahwa Cinahanya akan menerima kesepakatan dalamprotokol Kyoto terkait kewajiban penguranganemisi jika negara-negara maju seperti AS danKanada bersedia terikat dalam aturantersebut.

(20)

komitmen kepada negara-negara Annex I untuk menurunkan emisinya. Maka seharusnya dalam Protokol Kyoto hanya melibatkan negara maju saja dalam ratifikasi. Namun dalam kenyataannya beberapa negara berkembang ikut andil dalam melakukan ratifikasi. Negara berkembang berharap bahwa Protokol Kyoto dapat berjalan efektif dan mengikat negara maju untuk memenuhi komitmen mereka dalam mengurangi emisi. Dengan demikian, negara berkembang bertugas sebagai pengawas. Meratifikasi juga tidak terlalu memberatkan negara berkembang karena negara berkembang tidak memiliki kewajiban dalam mengurangi emisi mereka.

Negara berkembang bisa perlahan-lahan meningkatkan industrinya dan minimal menyeimbangkan kemajuan industri negara maju. Emisi yang dikurangi berarti akan dikurangi juga kegiatan produksi. Sehingga impor barang-barang dari negara maju berkurang ke negara berkembang. Negara berkembang akhirnya bisa menghemat devisa negara dan memusatkan pada pembangunan ekonomi domestik dan mandiri. Maka dengan kata lain, protokol ini juga berguna untuk mengurangi dominasi negara maju untuk menguasai industri dan perekonomian di dunia.

Program CDM juga

memungkinkanpemerintahdanswastamelaksanakankegiatanpenguranganemisi di negaraberkembanguntukmemperolehCertifiedEmission ReductionUnits (CERUs)

sebagaiimbalannya. CERUs

dapatdipergunakanuntukmembantukepatuhanterhadapsebagiankewajibannegaramajud alammembatasidanmengurangiemisimerekasebagaimanayang telahditetapkan oleh COP.

Jepang

(21)

merupakan titikberbahaya dan seharusnya konsentrasi udara kotor hanya berada di angka 25.

Posisi Jepang menyatakan tidak ingin lagi berkomitmen dalam protokol kyotobagian ke dua, sudah dinyatakan sejak COP ke 16 di Meksiko,Cancun. Menurutnegosiator Jepang Akira Yamada, mereka tidak ingin mengakhiri Protokol Kyoto.Mereka hanya tidak mau ada komitmen kedua bila Amerika dan negara berkembangutama, seperti Cina, India, dan Brazil tidak kunjung ikut berkomitmenmereduksiemisi, Protokol Kyoto hanya mencakup sekitar 30 persen emisi globalkarena dua penyebab polusi utama, Cina dan Amerika tidak tercakup, Yamadamenyatakan tanpa Amerika dan Cina, Protokol kyoto bukanlah jalan yang adil dan efektif untuk perubahan. Ketidak berhasilan Protokol Kyotodibuktikandengangagalnyabeberapa negaradalammengurangiemisi GRK.

Jepang merupakan negarapenyumbang emisi terbesar ke lima setelah Rusia, India, China, dan Amerika Serikat. Keempat negara diatas Jepang ( US, China India, Rusia ) mereka tidak memiliki kewajiban hukum untuk mengurangi emisiGRK. Amerika Serikat memang tidak berkomitmen sejak Protokol Kyoto bagianpertama karena tidak meratifikasi Protokol Kyoto sehingga bukan merupakan negarapihak yang berkewajiban melaksanakan ketentuan pelaksanaan Protokol Kyoto.Sedangkan China dan India tidak termaksud kedalam negara Annex 1, karena masihtermasuk kedalam kelompok negara berkembang. Rusia dan Kanada memiliki posisiyang sama dengan Jepang bahwasanya ia tidak berkomitmen didalam Protokol Kyotopada COP 18 di Doha.

Kanada

Kanada telah menarik dukungannya dari Protokol Kyoto karena menilai Protokol Kyoto kurang efektif dalam menanggulangi masalah kerusakan lingkungan. Kanada menganggap bahwa Protokol Kyoto hanyaakan menjadi penghalang bagi kemajuan industrinya. Kanada berasumsi bahwa India, Brazil, dan Cina yang dulu masih digolongkan dalam negara berkembang, sekarang sudah menjadi negara penyumbang emisi gas rumah kaca dalam skala besar.

2.7 Protokol Kyoto dalam Perspektif Ekonomi Politik Global

(22)

masuk ke dalam agenda politik global yang mendapat perhatian serius negara maju maupun negara berkembang. Harapan negara berkembang agar negara maju segera melakukan pengurangan emisi terhambat sikap negara-negara maju yang meratifikasi protokol ini karena khawatir ekonominya terganggu.

Isu perubahan iklim mempunyai keterkaitan luas dengan berbagai macam sektor. Sektor perekonomian menjadi taruhan besar dalam setiap pembahasan dan perundingan perubahan iklim. Setiap langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat berakibat langsung pada perekonomian. Tidak dapat dipungkiri bahwa penghasil emisi terbesar adalah negara-negara maju. Sehingga, ketika ada tuntutan agar negara maju segera menetapkan target pengurangan emisi, maka muncul reaksi dari negara-negara maju. Mayoritas negara maju keberatan edengan tuntutan tersebut, diantaranya Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia. Sementara Uni Eropa memiliki sikap berbeda yakni meminta kesediaan negara-negara maju untuk mau memenuhi tuntutan tersebut. Sebab ancaman perubahan iklim bagi umat manusia adalah hal yang sangat serius sebagaimana first assesment report IPCC tahun 1990. Sehingga tanpa kemauan negara maju, maka ancaman perubahan iklim akan menjadi beban semua umat manusia. Di sisi lain, negara berkembang sedanf giat memacu pertumbuhannya ekonominya sehingga meminta ‘keadilan’ kesempatan untuk mengejar ketinggalan dengan negara maju. Itulah sebab mengapa ‘pertarungan’ negara maju dan negara berkembang tidak pernah usai dalam setiap pembahasan perubahan iklim.

Dalam COP 3, perdebatan negara maju dan negara berkembang menjadi pertarungan kelompok kepentingan yang sengit dan rumit. Setidaknya, perbedaan tersebut telah mendorong terbentuknya kelompok-kelompok kepentingan dalam rangka mencari dukungan pihak lain yang memiliki kepentingan serupa. Kelompok kepentingan tetap terbagi dalam negara dan negara berkembang, namun pengelompokan negara-negara kemudian menyebar menjadi beberapa kelompok kepentingan. Pertama,15 negara yang tergabung dalam Uni Eropa, yaitu Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Luksemburg, Perancis, Portugas, Spanyol, Swedia, dan Yunani. Sebelum terbentuk blok kerjasama Uni Eropa, negara-negara ini tergabung dalam European Economic Community (EEC). EEC merupakan satu-satunya organisasi internasional di luar negara yang meratifikasi UNFCCC.

(23)
(24)

BAB III PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan atau persetujuan internasional mengenai pemanasan global yang merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Protokol Kyoto dinegosiasikan di Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997, dibuka untuk penandatangan pada tanggal 16 Desember 1998 dan ditutup pada tanggal 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan negara Rusia pada tanggal 18 November 2004. Dan pada tanggal 3 Desember 2007, sebanyak 174 negara sudah meratifikasi protokol tersebut, salah satunya adalah Indonesia.

Protokol Kyoto sendiri berisi aturan-aturan stardarisasi mengenai emisi karbon dan gas efek rumah kaca yang timbul dari penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

(25)

Daftar Pustaka

Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto, Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Kompas.

Rudy, T. May. 2007. Ekonomi Politik Internasional: Peran Domestik hingga Ancaman Globalisasi. Bandung: Penerbit Nuansa.

Sumber Lain:

http://www.cnn.com/SPECIALS/1997/global.warming/stories/treaty.html Diakses pada Minggu, 14 Mei 2017, pada pukul 15.21 WIB.

http://hubud.dephub.go.id/?en/page/detail/1944Diakses pada Sabtu, 13 Mei 2017, pada pukul 17.31 WIB.

http://www.caneurope.org/EUenergy/ratification/calendar.html Diakses pada Sabtu 13 Mei 2017, pada pukul 20.12 WIB.

https://www.scribd.com/presentation/98385171/Ppt-Polin-Protokol-Kyoto Diakses pada Jumat 12 Mei 2017, pada pukul 21.07

http://www.digilib.unpas.ac.id/files/disk1/8/jbptunpaspp-gdl-inggasuwan-374-1-penolaka-u.pdf Diakses pada Jumat 12 Mei 2017, pada pukul 22.03 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini saya sedang melakukan penelitian tugas akhir atau skripsi yang mana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepercayaan, persepsi kemudahan,

Setelah diadakan penelitian secara teori dan hasil uji terhadap hipotesis yang didiagnosakan dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kendaraan bermotor, panjang jalan, jumlah

Pengaruh lebih lanjut dari produksi kompos dalam mereduksi emisi gas rumah kaca dalam bentuk karbon dioksida dapat dicapai dari penurunan penggunaan energi (reduksi

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa adapun langkah-langkah model pembelajaran Team Games Tournament adalah membentuk 4-5 kelompok yang memiliki

Semai sengiran ini ditemukan pada setiap petak pengamatan, sementara indeks nilai penting terendah pada tingkat semai yaitu jenis puspa sebesar 11.62%, yang

Penelitian ini menggunakan metode deskriptifyang menganalisis dan mendeskripsikan hal-hal mengenai kajian semantik terhadap peristilahan batu kecubung suku Melayu di

ini juga dibagi dua macam, yaitu: (1) kaidah yang bersumber dari al-nus } ûs } al-shar‘îyah secara tidak langsung (kontekstual), dan (2) kaidah yang bersumber ijtihad ulama

Nilai ini menunjukkan adanya penurunan dari kandungan gliserol total, hal ini dapat terjadi karena magnesium silikat (magnesol) melakukan penyerapan yang maksimal