BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi telah menjadi tema diskusi di kalangan pemerintah maupun masyarakat. Respon terhadap gejala globalisasi sesungguhnya bergantung pada bagaimana cara yang dikreasian agar tidak terjerumus dalam persaingan dunia global tersebut. Era globalisasi yang sedang berkembang dewasa ini telah menimbulkan dampak yang dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi bukan hanya memberikan dampak yang positif dalam memajukan berbagai bidang kehidupan. Dampak negatif daripada era globalisasi juga menjadi permasalahan yang pelik di sejumlah negara, khususnya negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah pengangguran yang tinggi, juga menjadi salah satu dampak dari globalisasi.
Data Badan Pusat Statistik (bps.go.id, 2015) mencatat, per Februari 2015 pengangguran di Indonesia meningkat sejumlah 300ribu jiwa menjadi 7,54juta jiwa karena perlambatan ekonomi yang melambat dari kuartal sebelumnya sebesar 4,71%. Hal ini sangat berdampak terhadap bidang kehidupan yang lain. Meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya taraf hidup masyarakat, dan berbagai permasalahan sosial menjadi akibat dari tingginya angka pengangguran.
sebesar 2,59 persen. Data tersebut diperkuat dengan tabel di bawah yang pengangguran kaum perempuan lebih banyak daripada jumlah pengangguran laki-laki. Pengangguran di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan. Kaum perempuan sering dianggap tidak mampu untuk bersaing di dunia kerja, sehingga hal tersebut menimbulkan subordinasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan, dan menyempitnya kesempatan karir.
tersebut menyebabkan kesenjangan di masyarakat. Mau tidak mau, masyarakat harus mampu mengembangkan dan meningatkan kompetensi yang dimiliki sehingga dapat bersaing dalam dunia kerja. Meski begitu, tidak semua pelamar dapat terserap oleh penyedia lapangan kerja.
Leonardus Saiman (2014: 4) menyatakan, rendahnya kesempatan kerja yang tercipta dari setiap 1 persen pertumbuhan tidak dapat dilepaskan dari relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun pertumbuhan produktivitas per pekerja tidak banyak berubah. Kesenjangan antara permintaan dengan penawaran kerja ini terjadi di seluruh sektor, baik di dalam maupun di luar negeri yang meliputi sektor industri, pertanian, pertambangan, transportasi, pariwisata, dan lain-lain. Hal ini perlu menjadi sorotan bagi pemerintah terlebih lagi untuk memperhatikan penganggur yang tidak terdidik, tidak terampil, atau berpendidikan rendah. Apabila pengangguran tidak terserap dalam sektor formal, maka alternatif lain adalah pembekalan keterampilan, aksara kewirausahaan, dan bantuan lain secara moril maupun materil. Sehingga mereka tetap memperoleh penghasilan dan meningkatkan kesejahteraan tanpa harus bergantung pada lapangan kerja yang telah ada atau perusahaan.
Makin disadari bahwa dalam pembangunan untuk mencapai kesejahteraan material maupun spiritual yang merata, faktor manusia adalah yang terpenting. Sementara itu menurut Anwar (2004), masih banyak sumber daya manusia yang kurang berkualitas, tidak memiliki bekal hidup berupa keterampilan untuk hidup produktif. Seiring dengan pembangunan fisik, peningkatan kemampuan manusia, perubahan sikap dan perilaku manusia sesuai dengan perkembangan zaman perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh oleh pemerintah. Kenyataan itu mendorong masyarakat untuk berusaha belajar menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan belajar
Revolusi teknologi tersebut perlu disikapi sebagai sebuah tantangan dan peluang bagi dunia pendidikan. Usaha-usaha masyarakat dalam belajar dan menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam berbagai bidang, salah satunya melalui bidang pendidikan. Menurut Saleh Marzuki (2012: 13), untuk menyongsong era baru globalisasi tersebut, dunia pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dunia harus beradaptasi, bersentuhan, dan kompatibel dengan arah kecenderungan lingkungan strategisnya.
untuk aktivitas hidup. Sementara itu, pendapat lain mengenai pendidikan disampaikan oleh Saleh Marzuki (2012: 136-137), yang menyatakan bahwa:
“pendidikan dipandang sebagai proses belajar sepanjang hayat manusia untuk merubah dirinya ataupun orang lain, yang lebih dari sekedar masalah akademik atau perolehan pengetahuan, skill dan mata pelajaran yang konfensional, melainkan harus mencakup berbagai kecakapan yang diperlukan untuk menjadi manusia yang lebih baik.”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (2012), membagi pendidikan menjadi tiga jalur, yaitu; pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan in formal. Ketiga jalur pendidikan tersebut memiliki peran dan tujuan yang sama di masyarakat, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dewasa ini pemerintah terkesan hanya memprioritaskan pendidikan formal, dan kurang memperhatikan mutu pendidikan non formal dan in formal yang merupakan satuan pendidikan luar sekolah. Di sisi lain, Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (2009: 3) menyampaikan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan nonformal dan informal belum dapat direalisasikan secara optimal sebagai akibat rendahnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan
menyediakan sumber lainnya, melainkan karena pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pada dasarnya baik pendidikan formal maupun non formal dan in formal sama-sama memiliki peranan yang penting dalam transformasi sosial budaya lewat transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai budaya pada individu dan masyarakat. Hanya dengan pendidikan formal saja tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis dalam kehidupan. Menurut Mustofa Kamil (2012: 2), pendidikan formal lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan akan penguasaan pengetahuan dan kemampuan akademis, sementara untuk memenuhi kebutuhan praktis, masayarakat lebih mengandalkan pendidikan non formal. Sehingga pendidikan formal, non formal, dan in formal, diharapkan dapat menjadi pengisi kekurangan satu sama lain untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan di masyarakat.
Pendidikan luar sekolah dalam hal ini pendidikan non formal, memiliki ranah cakupan yang luas, meliputi; pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, pendidikan kepemudaan, pendidikan berkelanjutan, pendidikan anak usia dini, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan pelatihan, dan pemberdayaan perempuan.
dewasa cenderung terlibat dalam kegiatan pendidikan di masyarakat atau yang sering disebut pendidikan luar sekolah.
Permasalahan lain yang tidak kalah kompleks, tidak jarang pengelola maupun fasilitator dalam kegiatan pendidikan tersebut tidak memahami secara mendalam mengenai pentingnya penerapan prinsip andragogi dalam pembelajaran orang dewasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati pada tahun 2011 (Skripsi, 2011), meskipun sebagian besar fasilitator senior di salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah telah menerapkan pendekatan andragogi, namun bagi fasilitator muda yang belum mendapatkan keilmuan mengenai pendidikan orang dewasa belum sepenuhnya memahami dan menerapkan pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa belum semua pendidik bagi orang dewasa menerapkan prinsip andragogi tersebut, bahkan cenderung memperlakukan orang dewasa seperti anak-anak pada saat pembelajaran. Tentu hal ini tidak akan sesuai dengan karakteristik yang telah dimiliki orang dewasa sebagai warga belajar dalam sebuah kegiatan pendidikan.
dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang mengutamakan praktek daripada teori. Pelatihan lebih banyak dilaksanakan dalam masyarakat atau dunia kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatan pelatihan dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan dan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah.
Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan layanan pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah Pintar Mata Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rumah Pintar Mata Aksara merupakan salah satu satuan pendidikan luar sekolah yang melayani masyarakat melalui pendidikan yang diselenggarakan secara gratis. Rumah Pintar Mata Aksara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, belajar bersama, bimbingan belajar, workshop, outbond, dan aktivitas pendidikan lainnya mulai dari tahap perencanaan program pendidikan sampai dengan evaluasinya dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, pendidikan kecakapan hidup berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja.
Melalui pendidikan kecakapan hidup tersebut, diharapkan masyarakat sebagai warga belajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan. Selain itu, penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran bahwa Rumah Pintar Mata Aksara mampu menerapkan prinsip andragogi pada proses pembelajaran pendidikan kecakapan hidup berupa Pelatihan Rajut bagi warga belajarnya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Tingginya angka pengangguran kaum perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Terdapat kesenjangan antara jumlah ketersediaan lapangan kerja, dengan jumlah pencari kerja.
3. Pendidikan yang belum tersebar rata di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
5. Belum semua penyelenggara pendidikan bagi orang dewasa menerapkan pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.
6. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara sudah menerapkan pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.
C. Batasan Masalah
pada penerapan prinsip andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara.
D. Rumusan Masalah
Setelah diidentifikasi dan dilakukan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman?
2. Bagaimana kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara?
3. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang diungkapkan di atas, adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
2. Untuk mendeskripsikan kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara.
3. Untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Pintar Mata Aksara
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan kegiatan Pelatihan Rajut dengan menerapkan pendekatan andragogi.
2. Bagi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam perkembangan kualitas pendidikan luar sekolah melalui pendidikan tinggi di Universitas Negeri Yogyakarta.
3. Bagi Peneliti
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah a. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (2012: 2-3) berbunyi:
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan pontensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.” Driyakarya (1980: 80) mendefinisikan pendidikan sebagai gejala semesta (fenomena universal) dan berlangsung sepanjang hayat manusia, di manapun manusia berada. Sementara itu menurut Sulistyono (dalam Dwi Siswoyo, dkk, 2007: 1), pendidikan adalah usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu. Dengan kata lain, pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia yang didasarkan pada pandangan hidup di masyarakat, serta pemikiran-pemikiran tertentu.
melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Menurut Ki Hajar Dewantara (1977: 20), yang dimaksudkan pendidikan yaitu, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Sugihartono, dkk (2012: 3-4) berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sementara itu menurut Peters (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4) mengemukakan kriteria untuk memudahkan memahami istilah pendidikan, diantaranya:
1) Pendidikan meliputi penyebaran hal yang bermanfaat bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
2) Pendidikan harus melibatkan pengetahuan dan pemahaman serta sejumlah perspektif kognitif.
3) Pendidikan setidaknya memiliki sejumlah prosedur, dengan asumsi bahwa peserta didik belum memiliki pengetahuan dan kesiapan belajar secara sukarela.
pemahaman yang bernilai untuk seluruh aktivitas kehidupan. Pendidikan digambarkan memiliki kaitan dengan pengembangan pengetahuan dan pemahaman. Pendidikan juga merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap segala perbuatannya.
Setiap orang memerlukan pendidikan agar mereka memiliki pengetahuan, yang luas, memiliki sikap yang diperlukan dalam hidupnya, memiliki keterampilan agar dapat bekerja mencari nafkah bagi kehidupannya. Kecakapan tersebut bukan hanya sekedar dimiliki, melainkan agar dapat dikembangkan di kemudian hari sepanjang kehidupannya, sehingga dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang selalu berubah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (2012), menyatakan bahwa pendidikan terbagi menjadi tiga jenis antara lain pendidikan formal, nonformal dan informal. Sementara itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (dalam Anwar, 2004) menetapkan pendidikan luar sekolah dalam Sistem Pendidikan Nasional, dan diselenggarakan di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan keluarga.
itu, Santoso S. Hamijoyo (dalam Sudjana, 2004) berpendapat pendidikan luar sekolah adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan secara terorganisasikan, terencana di luar sistem persekolahan, yang ditujukan kepada individu maupun kelompok, untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam hal ini, peningkatan kualitas individu dilakukan dengan membelajarkan individu agar terdapat perubahan tingkah laku, berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan kedua pendapat di atas, Saleh Marzuki (2012: 106) menyatakan bahwa pendidikan luar sekolah ditekankan pada peningkatan kemampuan individu untuk segera dapat mengatasi masalah dan kesulitan hidupnya. Dalam hal ini, pendidikan luar sekolah memiliki nilai informatif, praktis, dan aplikatif. Orientasi kebutuhannya adalah tertuju pada sekelompok sasaran didik tertentu, dan berupa pengembangan masyarakat.
Definisi lain mengenai pendidikan luar sekolah disampaikan oleh Phillips H Combs (dalam Soelaiman Joesoef, 1992: 50), yaitu:
“setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan belajar.”
Berdasarkan beberapa definisi pendidikan luar sekolah menurut para ahli di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan terorganisir, yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi untuk memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang berkualitas. Pendidikan luar sekolah dalam konteks pengembangan programnya berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami manusia, terutama masalah yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan, keterampilan, dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam konteks pendidikan persekolahan.
b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan. Adalah suatu yang logis bahwa pendidikan harus dimulai dengan tujuan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 (2012) menyampaikan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu tujuan dari pendidikan luar sekolah, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 (dalam Mustofa Kamil, 2012: 32-33) adalah:
1) Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat serta mutu kehidupannya.
2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Santoso S. Hamijoyo (dalam Sudjana, 2004) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggungjawab menjadi pendorong ke arah kemajuan, gemar berpartisipasi memperbaiki kehidupan mereka. Sementara itu HAR Tilaar (dalam Suprijanto, 2012: 108) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah:
potensi yang ada baik sosial maupun fisik, (b) mampu serta terampil memanfaatkan potensi yang ada dalam diri, kelompok, masyarakat, dan lingkungan fisiknya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan masyarakatnya.”
Definisi lain disampaikan oleh Jansen (dalam Saleh Marzuki, 2012: 107), yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah membimbing dan merangsang perkembangan sosial ekonomi suatu masyarakat ke arah peningkatan taraf hidup.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan pendidikan luar sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah untuk memecahkan masalah-masalah keterlantaran pendidikan, baik bagi mereka yang belum pernah sekolah maupun yang gagal sekolah, serta memberikian bekal sikap, keterampilan, dan pengetahuan praktis yang relevan dengan kebutuhan kehidupannya.
c. Jenis Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan terorganisir, yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi untuk memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang berkualitas. Dalam pengertian yang luas, setiap proses pendidikan yang secara sengaja di upayakan agar terjadi proses belajar dan pembelajaran yang mengarah pada perubahan positif dalam aspek mental dan intelektual individu dan masyarakat di luar sistem persekolahan.
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
1) Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan
Menurut Saleh Marzuki (2012), pendidikan keaksaraan merupakan kebutuhan dasar yang memiliki daya ungkit bagi pembangunan masyarakat dan berkaitan dengan kemampuan dasar yang sangat bermanfaat untuk berbagai macam aktivitas kehidupan. Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46) mendefinisikan pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara dengan SD/MI, SMP/Mts, dan SMA/MA.
Pada hakikatnya, pendidikan keaksaraan dan kesetaraan adalah salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal bagi warga masyarakat yang bertujuan untuk membuka wawasan warga belajar dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui pemberantasan buta aksara. Keduanya ditujukan kepada warga masyarakat yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan formal di sekolah.
dalam pembangunan. Sementara itu pendidikan kesetaraan dilakukan berjenjang yang setara dengan pendidikan formal, yaitu Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. 2) Pendidikan Kepemudaan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46), menyatakan bahwa pendidikan kepemudaan adalah:
“pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan atau kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam,serta kewirausahaan.”
Pendidikan kepemudaan merupakan upaya untuk membangun semangat pemuda dan mengembangkan segala potensi, keterampilan, dan kemandirian berusaha, sehingga pemuda berperan aktif dan ikut berpartispasi dalam pembangunan bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
3) Pendidikan Anak Usia Dini
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46), menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan anak usia dini adalah:
“suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”
pendidikan sekolah dasar. Sehingga kesiapan belajar anak lebih baik, dan siap untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. 4) Pemberdayaan Perempuan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46) mendefinisikan pendidikan pemberdayaan perempuan sebagai pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Lebih jauh, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2013 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Nonformal pasal 12 (dalam kemdikbud.go.id, 2014), menyatakan bahwa:
“program pendidikan pemberdayaan perempuan adalah program pendidikan nonformal yang diselenggarakan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis dalam upaya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.”
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri.
pembelajaran yang berpihak (affirmative action) terhadap peningkatan kemampuan kecakapan hidup meliputi kecakapan personal, sosial, intelektual, dan vokasional berkaitan dengan pendidikan karakter dalam keluarga, kesehatan reproduksi, keterampilan mengolah dan mendayagunakan sumber daya lokal yang memberikan nilai tambah pada kemandirian dan kehidupan keluarga.
5) Pendidikan Kecakapan Hidup
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46) mendefinisikan pendidikan kecakapan hidup sebagai pendidikan yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual, dan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Menurut Anwar (2006), pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada. Oleh karenanya, life skill memiliki cakupan yang cukup luas. Cakupan-cakupan life skill diantaranya seperti
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan usaha yang dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan potensi diri yang dimiliki dengan pengoptimalan sumber daya yang ada dalam pemenuhan kebutuhan akan kecakapan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kecakapan yang diperoleh tidak hanya dipergunakan dalam dunia pekerjaan saja, namun juga dapat digunakan dalam kehidupan bermasyarakat melalui kemampuan-kemampuan berkomunikasi dan memecahkan permasalahan yang ada.
6) Pendidikan dan Pelatihan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 14) mencantumkan sebagai berikut:
Penelitian ini akan memperdalam pendeskripsian informasi pada jenis pendidikan nonformal pendidikan pelatihan saja. Maka dari itu, mengenai pendidikan pelatihan akan dipaparkan lebih jauh pada pembahasan poin berikutnya
7) Pendidikan Lain-lain
Segala bentuk pendidikan yang berlangsung di luar jalur persekolahan formal, yang memiliki tujuan untuk memberdayakan, memberikan pengetahuan dan keterampilan, adanya perubahan tingkah laku, bagi individu maupun kelompok di masyarakat.
d. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah 1) Pengertian Pelatihan
Istilah pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training”
dalam bahasa Inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah
“train”, yang berarti: (1) memberi pelajaran dan praktek (give teaching and practice), (2) menjadikan berkembang dalam arah yang dikehendaki (cause to grow in a required direction), (3) persiapan (preparation), dan (4) praktek (practice).
keterampilan seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan tertentu.
Definisi lain disampaikan oleh Ivancevich (dalam Marwansyah, 2000: 154) yang menyatakan bahwa pelatihan adalah proses sistematis untuk mengubah perilaku karyawan, yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sementara itu, William G. Scott (dalam Sedarmayanti, 2010: 163) mendefinisikan pelatihan sebagai:
“suatu kegiatan lini dan staf yang tujuannya mengembangkan pemimpin untuk mencapai efektivitas pekerjaan seseorang yang lebih besar, hubungan antar pribadi dalam organisasi yang lebih baik dan penyesuaian pemimpin yang ditinggalkan kepada konteks seluruh lingkungannya.”
Keempat definisi di atas, tampak pelatihan hanya dilihat dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam kenyataannya, pelatihan tidak harus selalu dalam kaitan dengan pekerjaan, atau tidak selalu diperuntukkan bagi pegawai. Berbeda dengan pendapat di atas, Henry Simamora (2004) mengartikan pelatihan sebagai serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap individu.
diinginkan. Definisi lain menurut Suprijanto (2012: 163), pelatihan adalah salah satu metode dalam pendidikan orang dewasa atau dalam suatu pertemuan yang biasa digunakan dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikap dengan cara yang spesifik.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disampaikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu sehingga terjadi perubahan pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku seorang individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang melayani masyarakat untuk memperoleh keterampilan berupa pengetahuan, skill, dan sikap, yang berguna bagi kehidupannya di masyarakat.
2) Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Pendapat lain disampaikan oleh Henry Simamora (2004), pelatihan, dapat disimpulkan bahwa tujuan pelatihan itu tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan juga untuk mengembangkan minat dan bakat.
Pelatihan dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan di masyarakat dengan harapan memetik manfaat daripadanya. Beberapa manfaat tersebut diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh Richard B Johnson (dalam Saleh Marzuki, 2012: 176):
meneruskan kepemimpinan, dan (10) menjamin ketahanan dan pertumbuhan perusahaan.”
Sementara itu menurut Suprijanto (2007: 160), manfaat pelatihan adalah agar individu dapat memecahkan suatu permasalahan yang ada dalam pekerjaan melalui kompromi dengan pengembangan empati.
Berdasarkan pemaparan kedua ahli di atas mengenai manfaat pelatihan, dapat ditarik sebuah benang merah yaitu, bahwa pelatihan mendatangkan manfaat untuk memecahkan suatu permasalahan yang timbul dalam kehidupan di masyarakat maupun dunia pekerjaan dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-dikap terhadap pekerjaan, dan sikap-sikap yang tidak produktif timbul dari salah pengertian dan kurangnya informasi mengenai suatu hal pada individu.
3) Pendekatan Sistem Pelatihan
tahapan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
4) Jenis-jenis Pelatihan
JC Denyer (dalam Mustofa Kamil, 2012: 15) membedakan pelatihan atas empat macam, yaitu:
a) Pelatihan induksi, yaitu pelatihan perkenalan yang biasanya diberikan kepada pegawai baru dengan tidak memandang tingkatannya.
b) Pelatihan kerja, yaitu pelatihan yang diberikan kepada semua pegawai dengan maksud untuk memberikan petunjuk khusus guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.
c) Pelatihan supervisor, yaitu pelatihan yang diberikan kepada supervisor atau pimpinan tingkat bawah.
d) Pelatihan manajemen, yaitu pelatihan yang diberikan kepada manajemen atau untuk pemagang jabatan manajemen.
e) Pengembangan eksekutif, yaitu pelatihan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat pimpinan
2. Pembelajaran Orang Dewasa
a. Konsep Dasar Pembelajaran Orang Dewasa
AG Lunandi (1982: 3) menyatakan bahwa orang dewasa bukan seperti gelas kosong yang dengan mudah dapat diisi sesuatu, oleh karena itu, orang dewasa tidak dapat diajarkan sesuatu untuk merubah tingkah lakunya. Terdapat perbedaan antara anak-anak dengan orang dewasa jika ditinjau berdasarkan umur, ciri psikologis, dan ciri biologis.
Donald H Brundage (dalam Saleh Marzuki, 2012: 187) menyatakan, perbedaan keduanya bukan merupakan perbedaan otomatis, karena kadang-kadang ciri yang ada pada anak juga ada pada orang dewasa atau sebaliknya walaupun kadar dan kualitasnya tidak sama. Sujarwo (2013: 1) mendefinisikan orang dewasa sebagai:
“orang yang telah memiliki pengalaman, kemampuan, konsep diri, keberanian, dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, sehingga orang dewasa lebih matang melaksanakan tugasm fungsim dan peran dalam kehidupannya di keluarga, maupun di masyarakat.”
Orang dewasa memiliki kewenangan dalam dirinya sendiri untuk menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan di masyarakat. Kondisi tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam penyiapan, pengelolaan, dan pengorganisasian pembelajaran. Belajar bagi orang dewasa berhubungan dengan bagaimana
mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari
jawabannya.
Mathias Finger dan Jose Manuel Asun (2004: 71) menyampaikan, pendidikan orang dewasa menjadi proses menghadapi diri sendiri secara tetap. Dalam hal ini, pemecahan masalah diterapkan dalam identitas pengembangan diri. Menurut Mathias Finger dan Jose Manuel Asun (2004: 71), peran pendidikan orang dewasa dalam penerapan pragmatisme ini adalah untuk memfasilitasi pemecahan masalah simbolis dan menyumbang pribadi, identitas, dan pengembangan kedewasaan.
Definisi lain megenai pendidikan orang dewasa, menurut Pannen (dalam Suprijanto, 2012: 11)
dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan
keinginan untuk bertanya dan belajar secara
berkelanjutan sepanjang hidup. Sementara itu menurut
Djuju Sudjana (2004: 50), pendidikan orang dewasa
adalah pendidikan yang disediakan untuk
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas
mengenai dasar pendidikan orang dewasa, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan orang
dewasa adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi
orang dewasa di masyarakat agar dapat
mengembangkan kemampuan melalui belajar secara
berkelanjutan.
Suharto dalam Sujarwo (2013: 6-8) menjelaskan secara singkat mengenai tujuan pendidikan orang dewasa, diantaranya tujuan pengembangan intelektual, aktualisasi diri, personal dan sosial, transformasi sosial, dan efektivitas organisasi. Orang dewasa masih membutuhkan pengetahuan dan pengalaman sebagai dasar dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam masyarakat, serta menjadi yang terbaik bagi dirinya. Selain itu, agar orang dewasa memiliki kesadaran dalan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat, maka perlu adanya sentuhan melalui proses pendidikan.
Sementara itu, tujuan pendidikan orang dewasa yang disampaikan oleh UNESCO (dalam Sudjana, 2004, 50-51),adalah supaya orang-orang dewasa mampu mengembangkan diri secara optimal dan berpartisipasi aktif, malah menjadi pelopor di masyarakat, dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang. b. Pendekatan Andragogi dalam Pendidikan Orang Dewasa
Andragogi berasal dari kata andros atau aner, yang berarti orang dewasa, dan agogos yang berarti memimpin. Jadi andragogi berarti memimpin orang dewasa.
Knowles (dalam Saleh Marzuki: 185), mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu tentang mengajar orang dewasa atau yang biasa disebut the art and science of teaching adult. Sementara itu menurut Saleh Marzuki (2012: 186) sendiri, cenderung melihat bahwa andragogi merupakan proses bantuan terhadap orang dewasa agar dapat belajar secara maksimal.
Lebih lanjut Knowles (dalam Basleman dan
Mappa, 2011: 126), menegaskan bahwa
pembelajaran orang dewasa akan berhasil dengan
baik jika:
“melibatkan baik fsik maupun mental emosionalnya, karena itu, pelaksanaan pembelajaran yang bersifat andragogi sebaiknya mengikuti langkah-langkah; (1) menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa, (2) menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif, (3) mendiagnosa kebutuhan belajar, (4) merumuskan tujuan belajar (5) mengembangkan rancangan kegiatan belajar, (6) melaksanakan kegiatan belajar, (7) mendiagnosa kembali kebutuhan belajar (evaluasi) dan mereka diperlukan sebagai teman belajar bukan seperti kedudukan antara warga belajar dengan instruktur.”
dan ilmu tentang bagaimana membantu orang dewasa dalam belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses bantuannya berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki keduanya sangat berbeda.
Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa memerlukan strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi, yang meliputi keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan
pedagogi. Andragogi pada dasarnya menggunakan
asumsi-asumsi konsep diri, pengamalan, kesiapan
belajar, dan orientaasi belajar. Perbedaan asumsi
antara pedagogi dengan andragogi menurut Knowles
dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:
adalah saling membantu yang
Sumber: Pembelajaran Orang Dewasa (Sujarwo, 2013)
Sujarwo (2013) menyatakan bahwa
asumsi-asumsi di atas menimbulkan bergbagai penerapan
strategi pembelajaran, strategi pembelajaran orang
dewasa lebih menekankan pada permasalahan yang
dapat dikatakan bahwa pendidikan orang dewasa
meliputi segala bentuk pengalaman belajar yang
diperlukan oleh orang dewasa dari intensitas
keikutsertaannya dalam proses belajar.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti
dapat mengambil sebuah kesimpulan dengan
menjabarkan maksud dari asumsi di atas:
a. Konsep Diri
Orang dewasa memiliki konsep diri yang
mandiri dan tidak bergantung, lebih bersifat pada
pengarahan diri. Oleh karena itu, seorang dewasa
memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai,
khususnya dalam pengambilan keputusan. Mereka
akan menolak apabila diperlakukan seperti
anakanak, seperti diberi ceramah apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh. Orang dewasa
akan menolak suatu situasi belajar yang kondisinya
bertentangan dengan konsep diri mereka sebagai
pribadi yang mandiri.
Sehingga apabila orang dewasa dibawa ke
dalam situasi belajar yang memperlakukan mereka
dengan penuh penghargaan, aka mereka akan
pelibatan dirinya secara mendalam. Dalam situasi
seperti ini, orang dewasa telah mempunyai kemauan
sendiri (pengarahan diri) untuk belajar.
b. Pengalaman
Orang dewasa mengumpulkan pengalaman
yang makin meluas, yang menjadi sumber daya
yang kaya dalam kegiatan belajar. Pengalaman yang
dimiliki orang dewasa menjadi konsekuensi dalam
belajar. Orang dewasa mempunyai kesempatan
yang lebih untuk mengkontribusikan dalam proses
belajar orang lain. Hal ini disebabkan karena ia
merupakan sumber belajar yang kaya.
Orang dewasa mempunyai dasar pengalalman
yang lebih kaya yang berkaitan dengan pengalaman
baru (belajar sesuatu yang baru mempunyai
kecenderungan mengambil makna dari pengalaman
yang lama). Selain itu, orang dewasa juga telah
mempunyai pola pikir dan kebiasaan yang pasti dan
karenanya mereka cenderung kurang terbuka.
c. Kesiapan Belajar
Orang dewasa ingin belajar dan mempelajari
bidang permasalahan yang menjadi permasalahan
Sehingga dalam proses pembelajarannya, orang
dewasa terlibat secara aktif mulai dari tahap
perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran,
dan evaluasi pembelajaran.
d. Orientasi Belajar
Orientasi belajar pada orang dewasa lebih
berpusat pada masalah, dan kurang memungkinkan
berpusat pada subyek. Orang dewasa cenderung
untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya
mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka
terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian besar
karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan
dalam kehidupannya sekarang. Oleh karena itu
pendidikan bagi orang yang sudah dewasa
dipandang sebagai suatu proses untuk
meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan
masalah hidup yang ia hadapi.
4. Metode Pembelajaran Orang Dewasa
Metode pembelajaran dalam pembelajaran
orang dewasa merupakan suatu cara atau upaya yang
dilakukan oleh fasilitator agar proses belajar pada
digunakan dalam pembelajaran orang dewasa biasanya
adalah metode diskusi dan demonstrasi.
a. Metode Diskusi
Pegetahuan orang dewasa banyak diperoleh
melalui partisipasinya dalam diskusi di lingkungan
keluarga, masyarakat maupun tempat kerja. Diskusi
biasanya bersifat spontan. Menurut Gulo (dalam
Suprijanto, 2012: 97), diskusi kelompok merupakan
strategoi belajar mengajar yang tepat untuk
meningkatkan kualitas interaksi antara warga belajar
dengan fasilitator, dan warga belajar dengan warga
belajar.
Suprijanto (2012: 96) berpendapat bahwa
diskusi merupakan alat yang paling efektif dalam
pembelajaran orang dewasa, dengan syarat warga
belajar tidak lebih dari sepuluh orang. Berikut adalah
manfaat diskusi kelompok dalam pembelajaran
orang dewasa menurut Suprijanto:
1) Diskusi memberikan kesempatan kepada setiap
warga belajar untuk menyampaikan
pendapatnya, dan mendorong individu untuk berpikir dan mengambil keputusan.
2) Diskusi cenderung membuat warga belajar lebih toleran dan berwawasan luas.
4) Memberikan alat pemersatu fakta dan pendapat anggota kelompok sehingga kesimpulan dapat diambil.
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas
mengenai metode diskusi, maka dapat disimpulkan
bahwa metode diskusi dalam pembelajaran orang
dewasa menjadi sangat efektif digunakan karena
komunikasi sehari-hari yang digunakan oleh orang
dewasa adalah dengan melakukan diskusi untuk
memperoleh informasi. Selain itu, banyak
kebermanfaatan yang dapat dipetik oleh warga
belajar melalui metode diskusi.
b. Metode Demonstrasi
Suprijanto (2012: 143) mendefnisikan
demonstrasi sebagai metode pembelajaran yang
sering digunakan dalam bidang tertentu. Morgan,
Flores, Bueno, dan Lapastora (dalam Suprijanto,
2012) menyampaikan manfaat dari metode
demonstrasi:
1) Demonstrasi menarik dan menahan perhatian 2) Demonstrasi menghadirkan subyek dengan cara
yang mudah dipahami.
3) Meyakinkan hal-hal yang meragukan untuk dilakukan.
4) Menunjukkan pelaksanaan ilmu pengetahuan dengan contoh.
Berdasarkan pemaparan meengenai metode
demonstrasi dalam pembelajaran orang dewasa di
atas, dapat disimpulkan bahwa metode demonstrasi
dapat digunakan pada pengajaran yang
membeutuhkan contoh secara langsung, seperti
pengajaran keterampilan, cara melakukan sesuatu,
maupun untuk mengembangakan pengertian secara
lebih nyata. Metode demonstrasi tidak selalu dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, namun
hendaknya disesuaikan dengan situasi yang terjadi.
5. Prinsip-prinsip Andragogi
Orang dewasa dalam belajar mengikuti
prinsip-prinsip tertentu sesuai dengan ciri-ciri psikologisnya.
Prinsip belajar orang dewasa tersebut dapat ditinjau
dari berbagai segi. Menurut Ssaleh Marzuki (2012: 189),
prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ciri-ciri fsilogis. Menurut prinsip ini, belajar akan
efektif apabila orang dewasa berada dalam keadaan
yang sehat, kondisi fsik produktif.
b. Konsep tentang harga diri. Dalam hal ini, belajar
akan efektif apabila orang dewasa diberikan
penetapan pembelajaran sesuai dengan
kebutuhannya.
c. Emosi. Dalam hubungan ini, belajar akan lebih
efektif apabila orang dewasa diberikan kebebasan
dengan dorongan dan rangsangan yang halus,
kebebasan mengemukakan pendapat, dan
pelayanan yang multi channel.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai penerapan pendekatan andragogi
dalam program pelatihan ini bukan menjadi yang pertama
dilakukan. Beberapa penelitian yang relevan akan
disampaikan dengan tujuan dapat menjadi rujukan bagi
peneliti untuk meneruskan maupun menemukan hal baru dari
hasil penelitian.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati pada
tahun 2013. Penelitian tersebut berjudul “Penerapan Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa (Andragogi) Pada Program Life Skill Di Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Pati”. Penelitian tersebut menggunakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara,observasi,dan
dokumentasi. Subyek penelitian terdiri dari pengelola 7
orang, instruktur 3 orang dan warga belajar life skill
digunakan adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan: (1) profl SKB Pati merupakan UPT Disdik
Kabupaten Pati, dalam membelajarkan masyarakat
membuka 4 jenis program yaitu program PAUD, program
kesetaraan, program kursus dan pelatihan serta program
dikmas. (2) Pemahaman instruktur dalam tentang
prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa di SKB Kabupaten Pati
masih parsial dan praktis. (3) Penerapan prinsip-prinsip
pembelajaran orang dewasa pada program life skill di SKB
Kabupaten Pati pada umumnya dapat dilaksanakan
dengan cukup baik.
2. Penelitian yang dilakukan Marta Dwi Ningrum pada tahun 2015 yang berjudul “Dampak Program Pendidikan Kecakapan Hidup Di Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara Bagi Perempuan Di Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dampak dari program kecakapan hidup yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata Aksara. Hasil dari penelitian ini adalah dampak bertambahnya kemampuan yang dimiliki oleh sasaran program baik pada ketrampilan maupun pengetahuan sesuai dengan jenis kecakapannya. Letak relevansi pada penelitian ini adalah latar penelitian yang sama, yaitu di Rumah Pintar Mata Aksara. Sedangkan perbedaannya terletak pada tema penelitian yang diteliti.
Pelatihan adalah proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu sehingga terjadi perubahan pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku seorang individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang melayani masyarakat untuk memperoleh keterampilan berupa pengetahuan, skill, dan sikap, yang berguna bagi kehidupannya di masyarakat.
Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan layanan pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah
Pintar Mata Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Melalui
observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh gambaran umum mengenai jenis pelatihan yang diberikan dalam program pendidikan kecakapan hidup di Rumah Pintar Mata Aksara, yaitu Pelatihan Rajut. Program tersebut memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar khususnya kaum perempuan untuk dapat menguasai keterampilan khusus.
Pendidikan yang berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja, dalam hal ini adalah orang dewasa. Melalui pendidikan pelatihan tersebut, diharapkan masyarakat sebagai warga belajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan.
Pelatihan Orang DewasaPembelajaran Asumsi-asumsi pembelajaran orang dewasa Metode pembelajaran orang dewasa
Penerapan Pendekatan
Andragogi
diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi, yang meliputi keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan pengaturan lainnya yang menyangkut materi pelatihan, waktu penyelenggaraan, dan lain sebagainya. Andragogi merupakan seni dan ilmu tentang bagaimana membantu orang dewasa dalam belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses bantuannya berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki keduanya sangat berbeda. Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa memerlukan strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis.
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang akan diulas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah tujuan diselenggarakannya program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
2. Bagaimana proses pembelajaran yang berlangsung dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
3. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
4. Bagaimana kompeensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan andragogi?
5. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi pada proses pembelajaran program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian merupakan keseluruhan cara yang atau kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian mulai dari merumuskan masalah sampai dengan penarikan suatu kesimpulan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2010: 4), pendekatan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sementara itu menurut Moleong (2010: 6), penelitian kualitatif adalah:
“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.”
Berdasarkan beberapa pengertian pendekatan penelitian kualitatif menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan penelitian kualitatif adalah sebuah pendekatan dalam penelitian yang melibatkan proses alamiah berupa pengamatan langsung maupun dengan menggunakan berbagai metode yang hasil akhirnya berupa tulisan atau kata-kata (bukan angka).
Hal ini disesuaikan dengan karakteristik permasalahan yang akan diulas dalam penelitian ini, yaitu mengenai penerapan pendekatan andragogi pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat khususnya orang dewasa, penerapan pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran oleh fasilitator maupun pengelola. Sehingga pendekatan penelitian dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pencarian informasi atau berusaha mengungkapkan pemahaman terhadap fenomena tertentu di masyarakat.
B. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian
Penentuan subjek dan objek penelitian dalam penelitian ini didasarkan pada tujuan penelitian yakni mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi pada program Pelatihan Rajut di Mata Aksara Sleman. Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
1. Penentuan Subyek Penelitian
Pengambilan sumber data atau subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive, yaitu menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian yang diangkat.
Menurut Sugiyono (2010: 300), teknik purposive ialah dengan melakukan penentuan sumber data dengan memilih orang yang akan diwawancarai menggunakan pertimbangan tertentu. Sementara itu menurut Djam’an Satori (2011), dalam prosedur purposive peneliti memilih subyek sebagai unit analisis brdasarkan kebutuhan dan menganggap bahwa unit analisis tersebiut representatif.
Subyek dalam penelitian ini terdiri dari informan utama dan informan pendukung. Informan utama yaitu dua orang pengelola Rumah Pintar Mata Aksara, dan dua orang fasilitator program Pelatihan Rajut. Informan pendukung yaitu tiga orang warga belajar program Pelatihan Rajut. Maksud dari pemilihan subyek ini adalah untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari sumber yang berbeda sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya.
2. Penentuan Obyek Penelitian
Burhan Bungin (2011: 78) menjelaskan obyek dan informan penelitian kualitatif adalah menjelaskan obyek penelitian yang fokus pada penelitian, yaitu apa yang menjadi sasaran. Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut.
Adapun yang menjadi obyek dari penelitian ini adalah pelaksanaan program Pelatihan Rajut yang diselenggarakan di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
C. Setting Penelitian
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah:
1. Ketersesuaian antara permasalahan yang ada di masyarakat dengan obyek yang akan diteliti.
2. Rumah Pintar Mata Aksara Sleman merupakan salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang ada di kabupaten Sleman yang berperan secara aktif dalam menyelenggarakan berbagai macam kegiatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
3. Pengelola Rumah Pintar Mata Aksara Sleman memiliki sikap terbuka terhadap peneliti sehingga dapat mempermudah pemerolehan data di lapangan.
4. Lokasi Rumah Pintar Mata Aksara sangat strategis, yaitu berada di tepi jalan raya, sehingga mempermudah peneliti untuk menjangkau lokasi tersebut.
5. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara Sleman menerapkan pendekatan andragogi dalam program Pelatihan Rajut yang diselenggarakan.
Sementara itu wawancara terhadap warga belajar akan dilakukan pada saat pembelajaran, dengan pertimbangan penciptaan iklim yang bersahabat dengan para warga belajar yang akan diwawancarai.sedangkan kegiattan observasi dan dokumentasi akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan data penelitian.
D. Metode Pengumpulan Data
Sugiyono (2010: 308) berpendapat bahwa teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utamanya dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2010:308). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Djam’an Satori (2011: 103) juga menyatakan fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data.
Moleong (2010: 121), dalam pengumpulan data, peneliti merupakan instrumen utama, interaksi antara peneliti dengan informan diharapkan dapat diperoleh informasi yang mampu mengulas permasalahan yang ada di lapangan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1. Observasi
Sugiyono (2010: 203), observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis.
Definisi lain mengenai observasi disampaikan oleh Syaodih (2006: 220), yang berpendapat bahwa observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang berlangsung. Pada intinya, observasi dilakukan untuk mencari data dan informasi yang diperlakukan melalui pengamatan. Menurut Nasution (2004), observasi merupakan dasar semua ilmu pengetahuan, yaitu fakta mengenai kenyataan yang diperoleh melalui pengamatan.
Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap kegiatan pembelajaran program Pelatihan Rajut yang sedang berlangsung di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman. Metode observasi ini digunakan peneliti untuk memperoleh data penelitian yang bersifat nyata dan bisa diamati, yang berkaitan dengan penerapan pendekatan andragogi pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman. 2. Wawancara
Nasution (2004: 113) mendefinisikan wawancara sebagai suatu bentuk komunikasi verbal yaitu semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi tertentu. Sementara itu, menurut Sugiyono (2010: 194):
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil.”
Definisi lain disampaikan oleh Djuju Sudjana (2000: 234), yang menyatakan bahwa wawancara adalah proses pengumpulan data atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya denan pihak yang ditanya. Menurut Moleong (2010: 184), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Menurut Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiyono (2010:194), anggapan yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam menggunakan metode interview adalah:
a. Bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
b. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
c. Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepaanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.
Penelitian ini menggunakan in-depth interview, yaitu wawancara dilakukan berkali-kali dengan informan di lapangan. Maka dari itu, akan dilakukan wawancara secara mendalam dengan pengelola Rumah Pintar Mata Aksara Sleman, fasilitator program Pelatihan Rajut, dan warga belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman. Pelaksanaan wawancara dilakukan di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman sendiri, pada waktu pembelajaran maupun diluar proses pembelajaran.
andragogi, dan penerapan pendekatan andragogi pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
3. Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Menurut Sugiyono (2010:329), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Sementara itu, Djam’an Satori (2011: 149) mendefinisikan studi dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian dari suatu kejadian.
Dokumen dalam penelitian dapat berupa arsip tertulis maupun foto. Menurut Moleong (2010: 217), dokumen digunakan sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah:
4
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk membantu peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan. Seperti yang dikatakan Sugiyono (2010: 307), dalam penelitian kualitatif yang merupakan instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri. Maka dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama. Selanjutnya dibantu oleh alat-alat pengumpul data yang lain seperti pedoman observasi, pedoman wawancara dan pedoman dokumentasi. Peneliti membuat dan merancang sendiri seperangkat alat observasi, wawancara, maupun pedoman penilaian dokumentasi yang akan digunakan sebagai panduan umum dalam proses pencatatan.
F. Metode Analisis Data
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan
Kesimpulan pengumpulan data. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sugiyono (2010: 91) juga menyampaikan bahwa data yang dikumpulkan dalam setiap pertemuan langsung dilakukan analisis data.
Nasution (2004) berpendapat, analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verivikasi.
Gambar 3.1
Analisis Data Model Interaktif Miles Huberman (1992: 16)
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Sugiyono (2010: 338) menyatakan, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Pada tahapan ini setelah data dipilah kemudian
memberi kemudahan dalam penampilan, penyajian, serta
untuk menarik kesimpulan sementara.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah penyajian data. Data-data tersebut kemudian dipilah-pilah dan disisikan untuk disortir menurut kelompoknya dan
disusun sesuai dengan katagori yang sejenis untuk
ditampilkan agar selaras dengan permasalahan yang
dihadapi, termasuk kesimpulan-kesimpulan sementara
diperoleh pada waktu data direduksi.
Tujuan dari display data dalam penelitian ini yaitu memudahkan peneliti dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
3. Verifikasi Data
Pada penelitian kualitatif, verifkasi data dilakukan
secara terus menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan. Kesimpulan dalam penelitian yang diharapkan adalah
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Menurut Sugiyono (2010, 345), temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi. Menurut Moleong (2010: 330), triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Sementara itu, menurut Tohirin (2012: 77), penggunaan metode triangulasi telah membantu peneliti menangani masalah yang timbul dalam kebenaran konstruk karena melalui berbagai bahan bukti dapat menyediakan berbagai ukuran terhadap fenomena yang sama.
Danzim (dalam Moleong, 2001: 178) membedakan
triangulasi menjadi empat tipe dasar triangulasi, yaitu (1)
triangulasi sumber adalah penggunaan beragam sumber data dalam suatu kajian, sebagai contoh, mewawancarai orang
pada posisi status yang berbeda atau dengan titik pandang
yang berbeda; (2) triangulasi penyelidik adalah penggunaan beberapa peneliti atau ilmuwan sosial yang berbeda; (3)
triangulasi teoriadalah penggunaan sudut pandang ganda dalam menafsirkan seperangkat tunggal data; dan (4) triangulasi
metode adalah penggunaan metode ganda untuk mengkaji masalah atau program tunggal, seperti wawancara,
pengamatan, daftar wawancara terstruktur, dan dokumen.
jalan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan
hasil wawancara; (2) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dengan
menggunakan teknik triangulasi, peneliti membandingkan
hasil wawancara yang telah diperoleh dari pengelola,
instruktur dan warga belajar atau membandingkan data hasil